KAJIAN SIFAT FISIKA TANAH GAMBUT PADA LAHAN RAWA DAN BEBERAPA JENIS LAHAN DENGAN TANAMAN BERBEDA DI
KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU
SKRIPSI
OLEH:
POPI POSMARIA
160308061/TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM
PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021
KAJIAN SIFAT FISIKA TANAH GAMBUT PADA LAHAN RAWA DAN BEBERAPA JENIS LAHAN DENGAN TANAMAN BERBEDA DI
KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU
SKRIPSI
OLEH:
POPI POSMARIA
160308061/ TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021
Panitia Penguji Skripsi
Delima Lailan Sari Nasution, STP, M.Sc Prof. Dr. Ir. Sumono MS
Achwil Putra Munir, STP, M.Si Lukman Adlin Harahap, STP, M.Si
ABSTRAK
POPI POSMARIA : Kajian Sifat Fisika Tanah Gambut Pada Lahan Rawa dan Beberapa Jenis Lahan dengan Tanaman Berbeda di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Dibimbing oleh DELIMA LAILAN SARI NASUTION
Kajian tentang tanah gambut ini di lakukan dalam rangka usaha pengembangan lahan gambut sebagai lahan pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi sifat fisika tanah gambut pada lahan rawa dan beberapa jenis lahan dengan tanaman berbeda untuk mengetahui potensi dari lahan gambut untuk budidaya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif eksploratif secara langsung pada lokasi penelitian dan dilanjutkan dengan pengambilan sampel untuk bahan analisis di laboratorium dengan parameter-parameter penelitian yang meliputi kematangan gambut, warna tanah, kedalaman muka air tanah, kerapatan massa tanah, kerapatan partikel tanah, kadar air dan bahan organik tanah. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau dengan luas masing-masing lahan 6 meter, 4 meter dan 3 meter. Analisa sifat fisika tanah dilakukan di laboratorium tanah Fakultas Pertanian Universitas Riau.
Kata Kunci : Tanah gambut, sifat fisika, lahan rawa.
ABSTRACT
POPI POSMARIA : Study of Physical Properties on Peat Soil and Several Types Cultivation on Marshland in Bengkalis Regency, Riau Province. Supervised by DELIMA LAILAN SARI NASUTION
Study on Peat Soil was Carried Out in the context of developing Peat Lands as Agricultural Land. This research was aimed to identify the physical properties on peat soil and Several Types Cultivation to find out the potential of peatland for cultivation. This research used exploratory descriptive method directly at the test site and proceed it with sampling for material analysis in laboratories which includes the level of maturity of peat, soil color, depth groundwater, bulk density, partikel density, groundwater level, organic matter. The research was carried out in Bengkalis Regency Riau Province the with an area of 6 meters, 4 meters and 3 meters. The soil physical analysis done in the laboratory of soil physics the Faculty of Agriculture Riau University.
Keywords : Peat soil, physical properties, marshland.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Duri pada tanggal 04 Januari 1998 dari bapak Parasian Hutapea dan ibu Hotmian Panggabean (+). Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.
Pada tahun 2016 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Mandau dan di tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Masuk Mandiri (SMM). Penulis memilih minat Teknik Tanah dan Air di Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian (IMATETA) Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Pernah menjabat sebagai pengurus Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian Indonesia (IMATETANI) sebagai anggota Humas periode 2018/2019.
Selain itu, penulis juga pernah menjadi anggota pengurus di UKM KMK USU Fakultas Pertanian tahun 2019 dan sebagai Ketua Komisi di UKM KMK USU Fakultas Pertanian tahun 2020.
Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kelurahan Pabatu, Kecamatan Padang Hulu, Kota Tebing Tinggi dari tanggal 16 Juli sampai 21 Agustus 2019. Penulis juga melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT.
Merbau Jaya Indah Raya Group, Desa Aek Korsik, Kecamatan Aek Kuo, Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara pada tanggal 20 Januari sampai 7 Februari 2020.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala berkat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“ Kajian Sifat Fisika Tanah Gambut pada Lahan Rawa dan Beberapa Jenis Lahan dengan Tanaman Berbeda Di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau ” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Orang tua penulis yang telah mendukung secara moral dan materil. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Delima Lailan Sari Nasution, STP., M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. Saya juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada teman-teman di Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan atas penyelesaian skripsi ini.
Penulis juga menyadari masih banyak terdapat kekurangan di dalam penyusunan skripsi ini. Penulis terbuka terhadap berbagai kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Medan, Desember 2021
Penulis
DAFTAR ISI
Hal
ABSTRAK ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
PENDAHULUAN Latar Belakang ...1
Tujuan Penelitian...6
Manfaat Penelitian...6
TINJAUAN PUSTAKA Tanah Gambut ...7
Sifat Fisika Tanah Gambut...9
Faktor Yang Mempengaruhi Sifat Fisika Tanah Gambut ...10
Kematangan Gambut ...10
Jenis Gambut ...11
Kedalaman Muka Air Tanah Gambut ...13
Warna Tanah Gambut ...13
Budidaya Tanaman Pada Lahan Gambut ...14
Sifat Fisika Tanah...16
Struktur Tanah ...17
Bahan Organik Tanah...17
Kerapatan Massa Tanah (Bulk Density) ...18
Kerapatan Partikel Tanah (Particle Density) ...19
Kadar Air Tanah ...20
Porositas Tanah ...21
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ...23
Bahan dan Alat ...23
Metode Penelitian...23
Prosedur Penelitian...24
Parameter penelitian ...24
HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Gambut berdasarkan Kematangan Gambut...26
Kedalaman Muka Air Tanah ...27
Warna Tanah ...29
Kerapatan Massa Tanah (Bulk Density) ...30
Kerapatan Partikel Tanah (Partikel Density) ...31
Porositas Tanah ...32
Kadar Air ...34
Bahan Organik Tanah...36
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan...38
Saran ...39
DAFTAR PUSTAKA ...40
LAMPIRAN ...45
DAFTAR TABEL
No. Hal
1. Kriteria kematangan gambut metode Von Post...11
2. Hasil Analisa Kematangan Gambut ...26
3. Hasil Analisa Ketinggian Muka Air Tanah Gambut ...27
4. Hasil Analisa Warna Tanah Gambut...29
5. Hasil Analisa bulk density Tanah Gambut ...30
6. Hasil Analisa partikel density Tanah Gambut...32
7. Hasil Analisa Porositas Tanah Gambut...34
8. Hasil Analisa Kadar Air Tanah Gambut ...36
9. Hasil Analisa Bahan Organik Tanah Gambut ...33
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal
1. Hasil Laboratorium ...51
2. Perhitungan Bahan Organik Tanah ...45
3. Perhitungan Porositas Tanah ...47
4. Dokumentasi Penelitian...51
5. Diagram Alir Penelitian ...49
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kajian tentang tanah gambut banyak di lakukan dalam rangka usaha pengembangan lahan gambut sebagai lahan pertanian. Pengetahuan tentang sifat gambut sangat penting karena selain sifatnya yang sangat khusus, data tersebut diperlukan apabila ingin mengembangkan lahan gambut sebagai lahan pertanian.
Seiring dengan peningkatan alih fungsi lahan pertanian subur di Riau yang selama ini juga ikut memasok kebutuhan pangan di Indonesia, lahan gambut menjadi lahan alternatif penting sebagai penunjang pembangunan pertanian. Hal ini menjadi alasan utama adanya pergeseran usaha tani ke lahan sub optimal antara lain lahan gambut. Apabila lahan gambut ini dimanfaatkan secara intensif diharapkan dapat menjadi lumbung pangan masa depan Indonesia (Haryono, 2013).
Lahan gambut adalah jenis lahan yang tumbuh pada suatu lapisan tebal dari bahan organik dengan tebal ± 50 cm. Lapisan bahan organik ini terdiri atas tumbukan tumbuhan yang telah mati seperti dedaunan, akar-akar, ranting, bahkan batang pohon lengkap, yang terakumulasi selama ribuan tahun. Lapisan gambut terbentuk karena tumbuhan yang mati dalam keadaan normal dengan cepat mengalami penguraian oleh bakteri dan organisme lainnya. Namun karena sifat tanah gambut yang anaerob dan memiliki keasaman tinggi, serta kurangnya unsur
hara, maka proses dekomposisi berlangsung lambat (Utomo, 2009).
Menurut Agus et al., (2011), lahan gambut yang masih alami berperan sebagai penyerap gas CO2 dan menyimpan cadangan air. Tanah gambut memiliki cadangan karbon dalam tanah sebesar 300 - 700 t/ha.
Berdasarkan data Global Wetlands pada April 2019, Indonesia memiliki lahan gambut terbesar kedua di dunia dengan luas mencapai 22,5 juta hektare (ha).
Sedangkan urutan pertama ditempati Brazil dengan luas lahan gambut sebesar 31,1 juta ha. Adapun di Indonesia, provinsi pemilik lahan gambut terbesar adalah Papua dengan luas 6,3 juta ha. Disusul kemudian Kalimantan Tengah (2,7 juta ha), Riau (2,2 juta ha), Kalimantan Barat (1,8 juta ha) dan Sumatera Selatan (1,7 juta ha).
Selain itu ada Papua Barat (1,3 juta ha), Kalimantan Timur (0,9 juta ha) serta Kalimanan Utara, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan yang masing-masing memiliki 0,6 juta ha.
Riau merupakan provinsi di pulau Sumatera yang mempunyai lahan gambut terluas, yakni 3,89 juta hektar dari 6,49 juta hektar total luas lahan gambut di pulau Sumatera. Saat ini diperkirakan lahan gambut yang terdegradasi di Provinsi Riau sekitar 2.313.561 ha atau 59,54% dari total luas lahan gambut di provinsi ini. Akan tetapi sekitar 1.037.020 ha dari lahan tersebut, dimanfaatkan petani untuk budidaya tanaman kelapa sawit, pangan dan hortikultura (Disbun Provinsi Riau, 2013).
Lahan gambut sebenarnya cukup potensial untuk di jadikan lahan pertanian;
dengan syarat adanya perbaikan yang cukup intensif untuk mengubah kondisi alamiahnya menjadi bentuk lahan pertanian yang menguntungkan. Penguasaan serta pengelolaan air merupakan kunci keberhasilan program pengembangan daerah rawa, khususnya rawa gambut. Dalam proyek-proyek pengembangan lahan gambut perencanaan, pengelolaan dan pengembangan sumberdaya air selama ini belum banyak mendapat perhatian. Hal yang mendasar dalam pengelolaan lahan rawa gambut adalah sistem drainase.
3
Potensi lahan gambut tipis terindikasi masih luas, tetapi pemanfaatannya masih terbatas karena keberadaannya yang terpencar-pencar dan aksesibilitasnya terbatas, sehingga secara ekonomi kurang menguntungkan, padahal berbagai teknologi untuk memanfaatkan lahan ini telah tersedia (Nursyamsi et al. 2014).
Petani banyak memanfaatkan gambut tipis untuk budidaya tanaman pangan
dan hortikultura dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya (Masganti dan Yuliani 2009). Bahkan diperkirakan 50-60% produksi tanaman
pangan dan hortikultura dihasilkan dari lahan ini, sehingga sangat potensial menjadi pemasok bahan pangan pada masa mendatang. Pemanfaatan lahan gambut tipis untuk memasok bahan pangan yang lebih masif, memerlukan informasi tentang potensi dan pemanfaatannya untuk tanaman pangan dan hortikultura. Jika sudah dikelola dengan baik, maka lahan gambut ini akan sangat potensial jika digunakan untuk lahan pertanian.
Menurut Masganti (2013), lahan gambut dapat menjadi pemasok bahan pangan pada masa mendatang, karena pada saat ini produktivitasnya rendah, tersedia lahan potensial luas, indeks pertanaman rendah, lahan terdegradasi yang potensial luas, pola produksi bahan pangan di lahan gambut bersifat komplementer dengan pola produksi bahan pangan di Riau, dan kompetensi pemanfaatan lahan untuk tujuan nonpertanian relatif rendah.
Secara umum ada 3 (tiga) kelompok tanaman yang dibudidayakan di lahan gambut terdegradasi, yakni (a) tanaman perkebunan, (b) tanaman pangan, dan (c) tanaman hortikultura (Sarwani et al. 2006; Najiyati et al. 2008; Masganti 2013).
Lahan gambut terdegradasi merupakan kontributor bahan pangan yang cukup potensial bagi penyediaan pangan di Indonesia (Haryono 2013; Masganti 2013).
Jenis tanaman pangan yang banyak dibudidayakan adalah padi. Selanjutnya juga
dibudidayakan jagung, kedele, ubi kayu, nanas dan ubi jalar (Sarwani et al. 2006; Masganti 2013). Selain itu di Riau tanaman pangan juga biasa
digunakan sebagai tanaman sela dalam kebun sawit dan kebun karet.
Bercocok tanam pada lahan gambut memang memiliki cukup banyak nilai potensial jika dikelola dengan baik. Tidak harus menggunakan jenis tanah lahan mineral tetapi dapat menghasilkan produksi yang tidak jauh berbeda dan menguntungkan bagi para petani. Namun perlu diperhatikan juga tantangan untuk bercocok tanam dan memanfaatkan lahan gambut seperti sifat-sifat fisika tanah gambut yang bisa mempengaruhi lingkungan yaitu subsiden, kematangan gambut, bahkan drainase harus dilakukan secara terkendali, salah satunya untuk melindungi cadangan karbon lahan gambut yang demikian besar. Agar pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian tidak berdampak buruk terhadap lingkungan, maka pemanfaatannya harus hati-hati melalui pengelolaan yang berwawasan lingkungan.
Diperlukan perencanaan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang tepat sesuai fungsi, dengan tetap memperhatikan dan juga mengakomodir berbagai kepentingan dengan mempertimbangkan baik aspek ekonomi, sosial budaya masyarakat, maupun lingkungan hidup dengan prinsif dasar tetap menjamin kelestarian fungsi ekosistem gambut tersebut sehingga dapat menunjang keberlanjutan dan kesinambungan ekosistem maupun kebermanfaatannya untuk kehidupan masyarakat ke depan. Berbagai tipe penggunaan lahan gambut yang berbeda mengakibatkan perubahan lingkungan seperti kedalaman muka air tanah, suhu tanah dan suhu udara. Perbedaan praktek budidaya pertanian dan perbedaan perlakuan karena perbedaan tipe penggunaan lahan yang mengakibatkan perbedaan
5
pada sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Perbedaan lingkungan dan perbedaan sifat fisika, kimia dan biologi gambut diduga mempunyai korelasi dengan besarnya emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut.
Perlu pengelolaan yang sesuai dimasing-masing daerah berdasarkan aspek kelokalan dan ciri khas tanah gambut. Oleh karena itu, perlunya mengetahui kondisi ekosistem gambut sebagai dasar pertimbangan pengelolaan gambut yang komprehensif diantara setiap kawasan hidrologi gambut, tidak terbatas oleh batasan administrasi saja. Ditunjang dengan kajian- kajian dan data-data informasi yang valid dan lengkap terkait karakteristiknya (fisika, kimia, biologi) sehingga tidak mengakibatkan salah pengelolaan yang berujung pada kerusakan dan pengelolaan yang tidak berkelanjutan.
Sifat fisika gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying) (Agus dan Subiksa, 2008).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa sifat fisika tanah gambut pada lahan rawa. Penelitian yang mendasar tentang gambut, khususnya sifat-sifat tanah gambut di Indonesia masih sangat terbatas. Pengetahuan tentang sifat gambut sangat penting karena selain sifatnya yang khusus, data mengenai sifat-sifat fisika tanah gambut diperlukan apabila ingin mengembangkan lahan gambut sebagai lahan pertanian. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk rekomendasi bagi para petani untuk bisa mengelola lahan rawa ini menjadi lahan pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk menanam genotip/varietas yang tepat sesuai daya adaptasinya terhadap tipe lahan gambut rawa.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa sifat fisika tanah gambut pada lahan rawa dan beberapa jenis lahan dengan tanaman berbeda untuk mengetahui potensi dari lahan gambut untuk budidaya di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau.
Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis, sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
2. Bagi mahasiswa, sebagai informasi pendukung untuk melakukan penelitian tentang kajian sifat fisika tanah gambut.
3. Bagi masyarakat, untuk membantu pengembangan dan pengelolaan tanah gambut yang sesuai untuk tanaman-tanaman tertentu.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Gambut
Gambut adalah bahan berwarna hitam kecoklatan yang terbentuk dalam kondisi asam, dan kondisi anaerobik lahan basah. Gambut terdiri dari bahan organik yang sebagian terurai secara bebas dengan komposisi lebih dari 50% karbon.
Gambut terdiri dari lumut Sphagnum, batang, dan akar rumput-rumputan sisa-sisa hewan, sisa-sisa tanaman, buah, dan serbuk sari. Tidak seperti ekosistem lainnya, tanaman/hewan yang mati di lahan gambut tetap berada dalam lahan gambut tanpa mengalami pembusukan sampai ratusan bahkan ribuan tahun. Ini terjadi karena kondisi air yang selalu menggenang, dimana terjadi kekurangan oksigen yang menyebabkan terhambatnya mikroorganisme untuk melakukan pembusukan tanaman/hewan yang sudah mati secara cepat. Hal tersebut menyebabkan materi organik di lahan gambut mudah di identifikasi. Pembentukan gambut merupakan proses yang sangat lambat dan hal ini memerlukan waktu sekitar 10 tahun untuk membentuk 1 cm gambut (Dion dan Nautiyal, 2008). Secara umum, gambut terbentuk di dataran rawa, berupa aluvium yang diendapkan pada suatu kawasan yang lingkungannya bersifat salin. atau payau, yang biasanya berada di laut dangkal. Adanya proses kimia, fisika, serta biologis menyebabkan tanah-tanah yang terbentuk mengandung pirit.
Dalam klasifikasi tanah (soil taxonomy), tanah gambut dikelompokkan kedalam ordo histosol (histos = jaringan) atau sebelumnya dinamakan organosol yang mempunyai ciri dan sifat yang berbeda dengan jenis tanah mineral umumnya.
Tanah gambut mempunyai sifat beragam karena perbedaan bahan asal, proses pembentukan, dan lingkungannya (Noor, 2001). Kedalaman gambut akan mempengaruhi kandungan air yang ada didalam tanah tersebut dan berpengaruh pada setiap kandungan yang ada di dalamnya. Hal ini sering dijadikan patokan untuk menganalisa yang ditentukan berdasarkan kedalaman tanah gambut (Perdana et al., 2015)
Secara global lahan gambut menyimpan sekitar 329 - 525 giga ton (Gt) karbon atau 15-35 % dari total karbon terestris. Sekitar 86 % (455 Gt) dari Karbon di lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate (Kanada dan Rusia)
sedangkan sisanya sekitar 14 % (70 Gt) terdapat di daerah tropis (Murdiyarso et al., 2004). Cadangan karbon yang besar ini pulalah yang
menyebabkan tinggginya jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer ketika lahan gambut di Indonesia terbakar pada tahun 1997, yang berkisar antara 0,81-2,57 Gt (Page, 2002). Dengan demikian, gambut memiliki peran yang cukup besar sebagai penjaga iklim global. Apabila gambut tersebut terbakar atau mengalami kerusakan, materi ini akan mengeluarkan gas terutama CO2, N2O dan CH4 ke udara dan siap menjadi perubah iklim dunia (Najiyati et al., 2005).
Indonesia memiliki areal gambut terluas di zona tropis, diperkirakan mencapai 21 juta ha, mempresentasekan 70% areal gambut di Asia Tenggara dan 50% dari lahan gambut tropis di dunia (Wibowo, 2009). Lahan gambut Indonesia terpusat di tiga pulau besar yaitu Sumatra (35%), Kalimantan (32%), Papua (30%), dan pulau lainnya (3%) dengan total luas 21 juta ha (Wahyunto & Heryanto, 2005).
Menurut Wahyunto dan Subiksa (2011), lahan gambut di Indonesia tersebar mulai dari daerah dataran rendah hingga daerah dataran tinggi.
9
Riau mempunyai lapisan gambut terdalam di dunia, yaitu mencapai 16 meter terutama di wilayah Kuala Kampar (Anonimous, 2006). Namun demikian selama dua dasa warsa terakhir, konversi lahan gambut terutama menjadi lahan pertanian, perkebunan kelapa sawit dan kayu kertas (pulp wood) diperkirakan telah merusak lahan gambut dengan segala fungsi ekologisnya. Di pihak lain Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan rapuh, karena lahan ini berada dalam suatu lingkungan rawa, yang terletak di belakang tanggul sungai. Pembukaan lahan gambut melalui penebangan hutan (land clearing) dan drainase yang tidak hati-hati akan menyebabkan penurunan permukaan (subsiden) permukaan yang cepat, pengeringan yang tak dapat balik (irreversible drying), dan mudah terbakar.
Pengaturan drainase dan tata air yang baik di lahan gambut sangat menentukan keberhasilan budidaya pertanian berkaitan dengan system perakaran.
Ameliorasi dan pemupukan diperlukan untuk memperbaiki pH dan meningkatkan keseburan tanah. Walaupun KTK gambut tinggi, namun daya pegangnya rendah terhadap kation yang dapat dipertukarkan sehingga pemupukan harus dilakukan beberapa kali (split application) dengan dosis rendah agar hara tidak banyak tercuci.
Tanah gambut juga kahat unsur mikro karena dikhelat (diikat) oleh bahan organik.
Sifat Fisika Tanah Gambut
Sifat fisika gambut sangat penting didalam usaha reklamasi dan pengelo1aan air pada tanah gambut. Kajian sifat fisika gambut sangat berhubungan dengan aspek mekanika tanah (soil mechanic), keteknikan tanah (soil engineering), serta konservasi gambut (peat conservation). Masalah penurunan muka tanah (soil subsidence), pengeringan bahan gambut, dan erosi (khususnya erosi air) merupakan contoh betapa pentingnya usaha mempelajari sifat fisika tanah gambut terutama
pengelolaan air, agar pengusahaan lahan gambut sebagai lahan pertanian dapat lestari.
Las et al. (2008) menyebutkan beberapa hal yang penting untuk dibahas dalam mempelajari sifat fisika tanah gambut, yaitu antara lain: ketersediaan air (water availability), kapasitas menahan air (water holding capacity), kerapatan lindak (bulk density), porositas (porosity), kering tak balik (irreversible drying).
Faktor Yang Mempengaruhi Sifat Fisika Tanah Gambut
Drainase tanah berkaitan dengan kecepatan air untuk meresap ke dalam tanah (infiltrasi) dan menunjukkan lamanya serta seringnya tanah jenuh air atau tergenang. Drainase juga mempengaruhi sifat fisika tanah gambut terutama dalam kaitan dengan sifat-sifat pengikatan lengas dan subsidensi. Untuk menekan pengaruh negatif dari drainase harus dilakukan pengendalian kedalaman air tanah.
Selain drainase, tata air juga mempengaruhi sifat fisika tanah gambut. Pengaturan tata air dapat dilakukan dengan mengatur air tanah agar selalu berada di atas bahan sulfidik yang apabila teroksidasi dapat menjadi racun bagi tanaman. Selain itu agar tinggi muka air tanah dapat dipertahankan pada musim kemarau, dan pembuangan air pada musim hujan agar tidak terjadi banjir (Najiyati et al., 2005).
Kematangan Gambut
Kematangan gambut pada lahan hutan sekunder terdiri dari tingkat kematangan fibrik, hemik dan saprik. Pada masing-masing kedalaman memiliki kadar serat yang berbeda pada setiap titiknya, tetapi pada kedalaman yang sama pada setiap titik yang berbeda memiliki kadar serat yang hampir sama dan memiliki kematangan gambut yang sama. Pada kedalaman 0-50 cm biasanya memiliki kadar
11
serat 38 % - 44 % tergolong gambut hemik, pada kedalaman 50-100 cm memiliki kadar serat 59 % - 63 % tergolong gambut hemik, sedangkan pada kedalaman 100- 150 cm memiliki kadar serat 67 % - 74 % tergolong gambut fibrik.
Tabel 1. Kriteria kematangan gambut metode Von Post (Barchia, 2006)
Kematangan Gambut Cairan Warna dan serat
H1 (fibrik) Jernih Kelabu kuning
H2 (fibrik) Jernih, berwarna Berserat coklat muda, hampir keseluruhan
berserat
H3 (fibrik) Berlumpur Coklat muda, sebagian
berserat
H4 (hemik) Kental Coklat muda, sebagian
berserat
H5 (hemik) Sangat kental Coklat, masih ada serat
H6 (hemik) Koloidal Coklat, masih berat agak
halus
H7 (hemik) Bahan gambut Coklat tua, berserat sedikit H8 (saprik) Tanpa berlemak Coklat tua, berserat
sedikit, sisa perasan sedikit H9 (saprik) Sukar terperas Coklat sangat tua,
hampir tidak berserat, tanpa berlemak H10 (saprik) Tidak terperas Hitam, tidak berserat,
tampak berlemak Secara umum tingkat dekomposisi pada lapisan gambut pada lapisan atas dan di atas muka air tanah lebih tinggi atau lebih lanjut daripada lapisan gambut di bawah muka air tanah. Berdasarkan penilaian terhadap perubahan kematangan
gambut, maka secara ekologis yang menjadi faktor utama yang mempengaruhi adalah tinggi muka air tanah (water level) (Suwondo et al., 2011).
Ketinggian muka air tanah akan mempengaruhi kematangan dan dekomposisi tanah gambut. Sebagaimana disebutkan oleh Las et al. (2008) bahwa pengaturan tata air makro maupun tata air mikro sangat mempengaruhi karakteristik lahan gambut. Tinggi muka air tanah akan mempengaruhi dekomposisi gambut (subsiden) dan kering tak balik (irreversibel drying). Untuk tinggi muka air yang diharapkan pada lahan gambut yaitu 40-60 cm dari permukaan atau bibir lahan gambut.
Jenis Gambut
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi saprik (matang), hemik (setengah matang), dan fibrik (mentah). Identifikasi tingkat kematangan tanah gambut bisa dilakukan secara langsung di lapangan, dengan cara meremas gambut dengan menggunakan tangan. Jika setelah diremas kurang dari sepertiga gambut yang tertinggal dalam tangan (lebih dari dua pertiga yang lolos) maka gambut digolongkan sebagai gambut saprik, sebaliknya jika yang tertinggal lebih dari dua pertiga maka gambut tergolong sebagai gambut fibrik. Gambut digolongkan sebagai gambut hemik, jika yang tertinggal atau yang lolos sekitar 50% . Pada gambut saprik, bagian gambut yang lolos relatif tinggi karena strukturnya relatif lebih halus, sebaliknya gambut mentah masih didominasi oleh serat kasar. Gambut yang terdapat di permukaan (lapisan atas) umumnya relatif lebih matang, akibat laju dekomposisi yang lebih cepat. Namun demikian seringkali juga ditemui gambut matang pada lapisan gambut yang lebih dalam. Hal ini mengindikasikan bahwa gambut terbentuk dalam beberapa tahapan waktu, artinya
13
gambut yang ada pada lapisan dalam pernah berada di posisi permukaan (Dariah., et al. 2012).
Kedalaman Muka Air Tanah Gambut
Kedalaman muka air tanah dari permukaan tanah memiliki kedalaman yang bervariasi. Muka air tanah semakin dekat dari saluran drainase, maka permukaan air tanah akan semakin dalam. Hal ini disebabkan oleh pergerakan air tanah semakin tinggi, sehingga terjadi pengurangan kadar air tanah gambut akibat pengeringan, yang menyebabkan daya retensi air tanah berkurang, pembuatan saluran drainase sangat mempengaruhi penurunan muka air tanah gambut.
Kondisi muka air tanah gambut selain dipengaruhi oleh pembukaan saluran drainase juga dipengaruhi oleh factor iklim, terutama curah hujan. Ketinggian muka air tanah akan mempengaruhi kematangan dan dekomposisi tanah gambut.
Sebagaimana disebutkan oleh Las et al. (2008) bahwa pengaturan tata air makro maupun tata air mikro sangat mempengaruhi karakteristik lahan gambut. Tinggi muka air tanah akan mempengaruhi dekomposisi gambut (subsiden) dan kering tak balik (irreversibel drying).
Warna Tanah Gambut
Warna tanah gambut pada umumnya akan berbeda di tiap lapisannya.
Menurut Suswati et al., (2011), bahwa perbedaan warna tanah pada umumnya disebabkan oleh perbedaan kandungan bahan organik, semakin tinggi bahan organik maka warna tanah akan semakin gelap. Pada umumnya bahan organik memberi warna kelam pada tanah, artinya jika tanah asalnya berwarna kuning atau coklat muda, kandungan bahan organik menyebabkan warna lebih cenderung
kearah coklat kelam. Makin stabil bahan organik makin tua warnanya, sedangkan makin segar maka makin cerah warnanya.
Warna disusun atas 3 variabel yaitu Hue menunjukkan warna spektrum.
Value menunjukkan kecerahan warna dan Chroma menunjukkan intensitas warna.
Warna tanah ditentukan dengan cara membandingkan warna tanah dengan warna baku pada Munsell Soil Color Chart. Penentuan warna meliputi : warna dasar tanah (matrix) dan warna karatan (jika ada). Penulisan warna ditulis menurut urutan hue, value, chroma, misalnya 10 YR ¾ (coklat).
Budidaya Tanaman Pada Lahan Gambut
Tanaman tahunan mempunyai jangkauan perakaran yang lebih luas dibandingkan dengan tanaman pangan, sehingga tanaman ini mempunyai daya adaptasi yang lebih tinggi di lahan gambut. Lahan gambut dengan ketebalan antara 1,4-2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk beberapa tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit, sedangkan gambut yang tipis termasuk agak sesuai (kelas kesesuaian S2). Gambut dengan ketebalan 2-3 m tidak sesuai untuk tanaman tahunan kecuali jika ada sisipan/pengkayaan lapisan tanah atau lumpur mineral (Djainudin et al., 2003). Gambut dengan ketebalan >3m diperuntukkan sebagai kawasan konservasi sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32/1990. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan lahan gambut dalam yang rapuh (fragile) apabila dikonversi menjadi lahan pertanian.
Tanaman pangan mempunyai perakaran yang pendek, dengan demikian jangkauan terhadap sumber unsur hara sebagai penopang pertumbuhannya juga terbatas. BBPPSLP (2008) memberikan saran pemanfaatan lahan gambut untuk tanaman pangan adalah yang mempunyai ketebalan kurang dari 100 cm. Dasar
15
pertimbangannya adalah gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif lebih tinggi dan memiliki risiko lingkungan lebih rendah dibandingkan gambut dalam.
Tanaman pangan yang mampu beradaptasi antara lain padi, jagung, kedelai, ubikayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya.
Jagung merupakan komoditas pertanian yang juga cukup menarik perhatian petani setelah padi. Namun seringkali permasalahan lahan menjadi kendala untuk meningkatkan produksi jagung. Untuk itu lahan-lahan alternatif sering menjadi solusi yang dikerjakan oleh para petani seperti pembukaan lahan di tanah gambut yang cukup potensial untuk budidaya tanaman jagung. Tanah gambut merupakan tanah yang memiliki tingkat kesuburan yang rendah, namun masih memberi harapan untuk dijadikan lahan produktif dengan menerapkan teknologi yang sesuai (Gonggo et al., 2004).
Tanaman nenas merupakan salah satu komoditas unggulan masyarakat yang bercocok tanam di lahan gambut. Jenis tanaman lain yang biasa ditanam di lahan gambut adalah tanaman lidah buaya, jagung, tanaman buah-buahan seperti pepaya dan rambutan, serta tanaman sayuran. Pada lahan gambut penanaman nenas sering di jadikan sampingan dari penanaman sawit pada lahan yang cukup luas.
Ubi kayu merupakan salah satu tanaman umbi-umbian sumber karbohidrat yang memiliki kandungan pati tinggi. Selain itu, tanaman ubi kayu memiliki kemampuan yang besar untuk tumbuh dan beradaptasi menghadapi perubahan iklim global, degradasi kesuburan lahan, dan perubahan-perubahan lingkungan yang lain. Komoditas ini sangat potensial dikembangkan sebagai sumber bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri dan produk-produk turunannya. Dengan kemampuan tanaman ubi untuk tumbuh dan beradaptasi dengan tempat tumbuhnya
akan mempermudah penyesuaian berkembang dan produktif di lahan gambut (Radjit et al., 2013).
Sifat Fisika Tanah
Sifat fisika tanah menjadi salah satu faktor penentu tingkat kesuburan tanah yang kurang diperhatikan. Sifat fisika tanah merupakan faktor yang bertanggung jawab terhadap pengangkutan udara, panas, air dan bahan terlarut dalam tanah.
Beberapa sifat fisika tanah dapat berubah dengan pengolahan tanah seperti temperature tanah, permeabilitas, kepekaan terhadap aliran permukaan (run-off) danerosi, kemampuan mengikat dan mensuplai air untuk tanaman dan lain-lain (Damanik, dkk. 2011).
Sifat-sifat tanah bervariasi menurut tempat dan waktu, yang dapat disebabkan oleh hasil akhir dari proses yang terjadi secara internal atau alami dan pengaruh dari luar, misalnya intervensi manusia. Proses yang sifatnya internal berkaitan dengan faktor-faktor geologi, hidrologi dan biologi yang dapat mempengaruhi pembentukan tanah.
Sifat fisika tanah merupakan kunci penentu kualitas suatu lahan dan lingkungan. Lahan dengan sifat fisika yang baik akan memberikan kualitas lingkungan yang baik juga. Sifat fisika tanah diambil sebagai pertimbangan pertama dalam menetapkan suatu lahan untuk pertanian (Yulnafatmawati et al., 2007).
Sedangkan menurut Wasis (2005) sifat fisika tanah merupakan komponen yang sangat penting dalam penyediaan sarana tumbuh tanaman dan mempengaruhi kesuburan tanah yang pada akhirnya akan menunjang pertumbuhan, bahkan lebih penting pengaruhnya dibandingkan dengan sifat kimia maupun biologi tanah. Sifat fisika tanah gambut (Suswati et al., 2011).
17
Struktur Tanah
Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur ini terjadi karena butir-butir pasir, debu dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi dan lain-lain.
(Hardjowigeno, 2007). Struktur tanah berfungsi memodifikasi pengaruh tekstur terhadap kondisi drainase atau aerasi tanah, karena susunan antar ped atau agregat tanah akan menghasilkan ruang yang lebih besar ketimbang susunan antarpartikel primer. Oleh karena itu, tanah yang berstruktur baik akan mempunyai kondisi drainase dan aerasi yang baik pula, sehingga lebih memudahkan sistem perakaran tanaman untuk berpenitrasi dan mengabsorpsi (menyerap) hara dan air sehingga pertumbuhan dan produksi menjadi lebih baik (Hanafiah, 2005).
Struktur tanah telah dianggap sebagai salah satu hal penting dalam menentukan kualitas tanah, yang mempengaruhi sifat hidrolik media tak jenuh, seperti kurva retensi air tanah. Pada dasar hukum hidostatik dan hidrodinamika, klasifikasi rinci pori-pori tanah, yaitu pori-pori submicroscopic, pori mikro dan pori makro, di mana pori mikro mencakup matriks pori-pori (tekstur komponen) dan pori-pori struktural. Namun, struktur pori-pori tanah dipengaruhi oleh tanah fase padat. Selain itu, pemisahan tanah (yaitu, tanah liat, lumpur dan pasir) mempengaruhi perbedaan pori-pori. Setiap tingkat partikel memiliki tingkat yang sesuai dari pori-pori partikel (Ding et al., 2015).
Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah adalah semua bahan organik di dalam tanah baik yang mati maupun yang hidup. Secara praktek analisis bahan organik dilakukan pada bahan tanah kering udara yang lolos dari ayakan 2 mm dan termasuk semua materi
hidup maupun mati yang ada di dalam tanah. Jumlah dan sifat bahan organik sangat menentukan sifat biokimia, fisika, kesuburan tanah dan membantumenetapkan arah proses pembentukan tanah.
Penetapan bahan organik di laboratorium dapat dilakukan dengan metode pembakaran (metode Walkley dan Black). Prinsip metode Walkley dan Black adalah C-organik dihancurkan oleh oksidasi Kalium bikromat yang berlebih akibat penambahan asam sulfat. Kelebihan kromat yang tidak direduksi oleh C-organik tanah kemudian ditetapkan dengan jalan titrasi dengan larutan ferro. Untuk menghitung kandungan bahan organik tanah dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Bahan organik = % C Organik x 1,724 ………(2) (Mukhlis, 2007).
Keuntungan dari adanya bahan organik pada tanah adalah mengurangi kerapatan massa pada tanah sehingga melarutkan mineral tanah. Kerapatan massa yang rendah biasanya berhubungan dengan naiknya porositas dikarenakan oleh adanya fraksi-fraksi organik dan anorganik pada tanah. Bahan organik dapat menahan air lebih besar dibandingkan beratnya sendiri. Bahan organik merupakan penyumbang nitrogen dan fosfat apabila tanah tidak diberikan pupuk (Yulipriyanto, 2010).
Kerapatan Massa Tanah (Bulk Density)
Bulk density adalah sifat fisika tanah yang penting dibutuhkan untuk memperkirakan karakteristik air tanah dan digunakan sebagai parameter untuk kebutuhan air dan transportasi nutrisi. Evaluasi bulk density yang dibutuhkan untuk mendapatkan perkiraan yang tepat dari bahan organik tanah. Faktor seperti
19
kedalaman, kandungan bahan organik atau padatan memiliki pengaruh pada nilai- nilai bulk density (Martin et al., 2016). Bulk density dihitung dengan rumus:
Bulk Density = BTSO-BR
VR (g/cm3)...(3) Dimana: BTSO = Berat Tanah Setelah Oven
BR = Berat Ring VR = Volume Ring
Tanah lebih padat mempunyai Bulk density yang lebih besar daripada tanah mineral bagian atas mempunyai kandungan Bulk density yang lebih rendah dibandingkan tanah dibawahnya. Bulk density atau kerapatan massa tanah banyak mempengaruhi sifat fisika tanah, seperti porositas, kekuatan, daya dukung, kemampuan tanah menyimpan drainase, dll. Sifat fisika tanah ini banyak bersangkutan dengan penggunaan tanah dalam berbagai keadaaan (Hardjowigeno, 2003). Sebagai dasar sifat fisika tanah, bulk density tidak hanya mempengaruhi kelembaban tanah dan nutrisi, tetapi juga secara tidak langsung mencerminkan kualitas tanah dan produktivitas. (Xu et al., 2016).
Kerapatan Partikel Tanah (Particle Density)
Kerapatan partikel merupakan perbandingan antara massa tanah kering (padatan) dengan volumenya (volume padatan).
P
d= MPVp
...(4)
dimana: Pd= Kerapatan partikel tanah (g/cm3) Mp= Massa padatan tanah (g)
Vp= Volume padatan tanah (cm3)
Kerapatan partikel merupakan fungsi perbandingan antara komponen bahan mineral dan bahan organik. Faktor-faktor yang mempengaruhi particle density yaitu kadar air, tekstur tanah, struktur tanah, bahan organik, dan topografi. Kadar air mempengaruhi volume kepadatan tanah, dimana untuk mengetahui volume kepadatan tanah dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah, sebab tanpa adanya pengaruh kadar air maka proses particle density tidak berlangsung, karena air sangat mempengaruhi volume kepadatan tanah. Kandungan bahan organik di dalam tanah sangat mempengaruhi kerapatan butir tanah. Semakin banyak kandungan bahan organik yang terkandung dalam tanah, maka makin kecil nilai particle density nya. Selain itu, dalam volume yang sama, bahan organik memiliki berat yang lebih kecil daripada benda padat tanah mineral yang lain. Top soil banyak mengandung bahan organik dan kerapatan butirnya sampai 2,4 g/cm3 porositas tanah atau bahkan lebih rendah dari nilai itu. Dengan adanya bahan organik, menyebabkan nilai partikel densitinya semakin kecil (Hanafiah, 2005).
Kadar Air Tanah
Kedalaman solum atau lapisan tanah menentukan volume simpan air tanah, semakin dalam suatu lapisan tanah maka kadar air tanah semakin tinggi. Ini disebabkan semakin dalam lapisan tanah maka kematangan gambut semakin rendah, sehingga tanah mampu memegang air lebih banyak. Noor (2001) menyebutkan bahwa kemampuan menyerap (absorbing) dan memegang (retaining) air dari gambut tergantung pada tingkat kematangannya. Kemampuan tanah gambut untuk menyerap dan mengikat air pada gambut fibrik lebih besar dari gambut hemik dan saprik, sedangkan gambut hemik lebih besar dari saprik (Suwondo et al., 2010).
21
Sedangkan menurut Saribun (2007), ketersediaan air tanah bukan hanya berdasarkan kematangannya saja, tetapi dipengaruhi juga oleh curah hujan atau air irigasi, kemampuan tanah menahan air, evapotranspirasi, dan tinggi muka air tanah.
Kadar air selain dipengaruhi oleh disebabkan oleh kepadatan tanah, karena tanah akan lebih sedikit memegang air (Mardiana, 2006).
Kemudian ditetapkan kadar airnya dengan metode gravimetrik dapat dihitung dengan rumus (Ramadhan et al., 2013).
Kadar Air =
[ (
BT SBO-BT KOBT KO
)
x 100%]
...(5)Dimana: BTSBO = Berat Tanah Sebelum Oven (g) BTKO = Berat Tanah Kering Oven (g) Porositas Tanah
Porositas atau ruang pori adalah rongga antar tanah yang biasanya diisi air atau udara. Pori sangat menentukan sekali dalam permeabilitas tanah, semakin besar pori dalam tanah tersebut, maka semakin cepat pula permeabilitas tanah tersebut. Permeabilitas meningkat apabila adanya bahan organik, agregasi butir tanah menjadi remah, dan porositas tanah yang tinggi (Sarief, 2005). Nilai Bulk density rendah akan berbanding lurus dengan nilai particel density rendah dan berbanding terbalik dengan nilai total ruang pori tanah yang akan tinggi. Nilai bulk density tinggi maka nilai particel density tinggi namun porositasnya akan rendah begitu sebaliknya (Hanafiah, 2007). Faktor porositas tanah dikendalikan oleh tekstur tanah, struktur, dan kandungan bahan organik. Pada tanah berpasir, porositas tanah didominasi oleh pori makro yang berfungsi sebagai lalu lintas air
sehingga infiltrasi meningkat. Sedangkan pada tanah berlempung, pori mikro lebih berperan dan daya hantar airnya rendah sehingga infiltrasi menurun (Hidayah et al., 2001). Bahan organik dan liat bagi agregat tanah berfungsi sebagai pengikat untuk kemantapan agregat tanah. Aktivitas akar tanaman menambah jumlah pori-pori tanah sehingga perkolasi semakin membaik. Selain itu, melalui retakan-retakan yang terbentuk oleh aktivitas akar tanaman secara tidak langsung melalui ikatan mekanis atau biologis dan kimia oleh humus dapat memantapkan agregat tanah, akibatnya laju infiltrasi menjadi meningkat (Hidayah et al., 2001). Semakin tinggi kandungan bahan organik dalam tanah, kondisi fisika tanah menjadi lebih baik bagi laju penurunan air ke dalam tanah.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2021 di perkebunan masyarakat, di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Analisis pengukuran sifat fisika tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Riau.
Bahan dan Alat
Bahan penelitian yang diperlukan adalah sampel tanah yang akan dianalisa dilaboratorium, kantong plastik untuk menutup sampel setelah diambil dan karet gelang.
Alat penelitian yang digunakan adalah ring sampel untuk pengambilan sampel tanah, kertas munsell soil color chart untuk panduan menentukan warna tanah, cangkul untuk membantu membersihkan sekitaran titik pengambilan sampel, meteran gulung, penggaris, patok kayu, alat tulis, dan camera.
Metode Penelitian
Metode Penelitian ini menggunakan metode deskriptif eksploratif dengan cara purposive random sampling untuk pengambilan sampel tanahnya. Pelaksanaan dari penelitian ini yaitu dengan survei lapangan dan di analisa di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Riau. Pengambilan sampel untuk penelitian ini di lakukan di tiga lahan gambut berbeda di Kecamatan Mandau, yaitu pada lahan sawit di Jalan Jurong dengan luas lahan 5ha dan kedalaman 6meter, pada lahan nenas di Jalan Tegar dengan luas lahan 3ha dan kedalaman 4meter dan lahan rawa di Jalan Cucut dengan luas lahan 10ha dan kedalaman 3meter. Dengan masing- masing lahan berjumlah 2 sampel pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm.
Prosedur Penelitian
- Menentukan titik pengambilan sampel tanah, yaitu pada lahan sawit, lahan nenas dan lahan rawa.
- Mengambil sampel tanah pada kedalaman 0 – 20 cm dan 20 - 40 cm dengan menggunakan ring sampel.
- Sampel tanah dimasukkan ke dalam plastik dan kotak
- Dilakukan analisa sifat fisika tanah di laboratorium, meliputi : bulk density, partikel density, kadar air dan C-Organik.
- Menentukan muka air tanah pada saat pengamatan di lapangan dengan menggunakan meteran, lalu diukur dari permukaan tanah sampai ke batas muka air tanah dan didapatkan hasilnya.
- Mengambil tanah masing-masing dengan jumlah yang sama, lalu dikeringkan dan dilakukan penentuan warna dengan meletakkan tanah kering di atas lembaran buku munsell soil color chart untuk dicocokkan sesuai warnanya menggunakan metode munsell soil color chart.
- Mengambil tanah masing-masing dengan jumlah yang sama, lalu meremas tanah dan diperhatikan jumlah serat yang tertinggal di telapak tangan untuk menentukan kematangan gambut sesuai jumlah serat yang tertinggal.
Parameter penelitian
1. Jenis Gambut berdasarkan Kematangan Gambut 2. Kedalaman Muka Air Tanah
3. Warna Tanah
4. Kerapatan Massa Tanah (Bulk Density) 5. Kerapatan Partikel Tanah (Partikel Density)
25
6. Kadar Air Tanah 7. Bahan Organik Tanah 8. Porositas Tanah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Gambut berdasarkan Kematangan Gambut
Terdapat 3 jenis gambut berdasarkan kematangannya, yaitu Saprik, Hemik dan Fibrik (Barchia, 2006). Pengamatan untuk jenis gambut dan kematangan gambut pada penelitian ini dilakukan dengan analisa langsung di lapangan dengan meremas tanah gambut lalu melihat sisa serat-serat yang tertinggal ditelapak tangan (Dariah et al., 2012) kemudian dihubungkan dengan metode Von Post yaitu menggunakan kriteria warna tanah gambut.
Tabel 2. Hasil Analisa Kematangan Gambut
Lahan Gambut Kematangan Gambut
Sawit Saprik
Nenas Saprik
Rawa Hemik
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tanah gambut pada lahan sawit dan lahan nenas merupakan jenis gambut saprik seperti terdapat pada Tabel 2. Jika dimasukkan kedalam metode Von Post dengan menggunakan kriteria warna, gambut ini berwarna coklat tua bahkan hitam. Jenis gambut ini merupakan gambut yang tingkat pelapukannya sudah lanjut (matang). Menurut Barchia (2006) gambut yang sudah matang akan berwarna lebih gelap dengan kandungan bahan organik yang cukup untuk tanaman. Pada lahan rawa merupakan jenis gambut hemik yang dimana gambut ini merupakan gambut yang memiliki tingkat kematangan sedang (setengah matang), sebagian tanah gambut telah mengalami pelapukan dan sebagian tanah lagi merupakan serat dengan jumlah serat 15-75% dengan warna
27
coklat. Menurut Najiyati et al. (2005), tingkat kematangan gambut bervariasi karena terbentuk dari bahan, kondisi lingkungan dan waktu yang berbeda.
Kematangan gambut menandakan bagaimana tanah gambut akan mampu menopang apa yang ada diatasnya yang dipengaruhi oleh serat-serat atau kandungan pada gambut tersebut. Secara umum berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan jenis gambut yang baik untuk digunakan sebagai lahan pertanian yaitu jenis hemik dan saprik, sehingga dapat disimpulkan dari ketiga jenis penggunaan lahan gambut pada penelitian ini, gambut jenis saprik pada lahan sawit dan nenas sudah termasuk baik karena sudah mampu menahan beban tanaman diatasnya dan gambut jenis hemik pada lahan rawa termasuk baik untuk budidaya pertanian dikarenakan komposisi tanah gambut sudah cukup matang dengan kandungan serat yang sudah cukup rendah sehingga sudah mampu untuk menahan beban diatasnya jika ingin digunakan sebagai lahan pertanian. Kandungan serat menandakan tingkat kematangan gambutnya, semakin banyak kandungan serat semakin tidak matang tanahnya dan begitu sebaliknya.
Kedalaman Muka Air Tanah
Tabel 3. Hasil Analisa Ketinggian Muka Air Tanah Gambut Lahan Gambut Ketinggian Muka Air
(cm) Kategori
Sawit
(Saprik) 53 Dangkal
Nenas
(Saprik) 49 Agak dangkal
Rawa
(Hemik) 43 Agak dangkal
Kedalaman muka air tanah ditentukan pada saat pengamatan di lapangan dengan menggunakan meteran dari permukaan tanah sampai ke batas muka air
tanah. berdasarkan hasil pengamatan dari data di lapangan pada lahan sawit, lahan nenas dan lahan rawa berada pada kondisi tidak tergenang dengan kedalaman muka air tanah tergolong dangkal hingga agak dalam. Pada lahan sawit kedalaman muka air tanah termasuk dangkal dengan ketinggian 53 cm dari permukaan tanah. pada lahan nenas kedalaman muka air tanah termasuk agak dangkal dengan ketinggian 49 cm dari permukaan tanah. Dan untuk lahan rawa kedalaman muka air tanah termasuk agak dangkal dengan ketinggian 43 cm dari permukaan tanah.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang ada ketinggian muka air tanah yang baik itu berkisar antara 40-60 cm dari permukaan atas tanah. Sehingga dapat disimpulkan dari ketiga lahan gambut pada penelitian ini memiliki kedalaman muka air tanah yang baik untuk digunakan sebagai lahan budidaya. Hal ini sesuai dengan Saragih dan Nazeni (2010) yang mengatakan bahwa muka air tanah 40 cm mampu menghasilkan produksi lebih tinggi dibandingkan dengan < 40 cm. Ketinggian muka air tanah sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetasi diatasnya. Jika kekurangan air maka tanah gambut akan bersifat hidrofob (menolak air). Keadaan ini dimana permukaan tanah gambut tidak dapat menahan (memegang) air. Hal ini juga dapat disebabkan oleh pergerakan air tanah semakin tinggi, sehingga terjadi pengurangan kadar air tanah gambut akibat pengeringan, yang menyebabkan daya retensi air tanah berkurang, pembuatan saluran drainase sangat mempengaruhi penurunan muka air tanah gambut. Sebagaimana disebutkan oleh Las et al. (2008) bahwa pengaturan tata air makro maupun tata air mikro sangat mempengaruhi karakteristik lahan gambut. Tinggi muka air tanah akan mempengaruhi dekomposisi gambut (subsiden) dan kering tak balik (irreversibel drying). Jika tinggi muka air tanah terlalu tinggi maka bisa menyebabkan banjir pada daerah
29
tanaman dan kebusukan pada bagian akar dan batang tanaman. Jika tinggi muka air terlalu rendah maka akan menyebabkan kekeringan pada tanaman.
Warna Tanah
Pengamatan warna tanah di lapangan menggunakan standart warna dari Munsell Soil Colour Chart yang dinyatakan dalam 3 satuan, yaitu Hue, Value dan Chroma.
Tabel 4. Hasil Analisa Warna Tanah Gambut Lahan Gambut Kedalaman Tanah
(cm) Warna tanah Keterangan
Sawit (Saprik)
0-20 10 YR 2,5/1 Coklat kehitaman 20-40 10 YR 3/4 Coklat gelap Nenas
(Saprik)
0-20 10 YR 2,5/1 Coklat kehitaman 20-40 7,5 YR 4/2 Coklat gelap Rawa
(Hemik)
0-20 7,5 YR 4/3 Coklat kemerahan 20-40 7,5 YR 4/4 Coklat kemerahan Hasil pengamatan untuk warna tanah gambut di tiga lahan penelitian pada kedalaman 0-20 cm, yaitu pada lahan sawit 10 YR 2,5/1 (coklat kehitaman), pada lahan nenas 10 YR 2,5/1 (coklat kehitaman) dan pada lahan rawa 7,5 YR 4/3 (coklat kemerahan). Sedangkan pada kedalaman 20-40 cm warna tanah gambut di ke tiga lahan, yaitu pada lahan sawit 10 YR 3/4 (coklat gelap), pada lahan nenas 7,5 YR 4/2 (coklat gelap) dan pada lahan rawa 7,5 YR 4/4 (coklat kemerahan). Warna tanah gambut pada setiap titik pengamatan lapisan paling atas memiliki warna lebih gelap dari pada lapisan bagian bawahnya, dikarenakan bagian atas gambut telah mengalami kebakaran. Sedangkan pada lapisan bawahnya tanah mengalami perubahan, hal ini dikarenakan pada lapisan paling bawah lebih banyak terdapat bahan organik tanah. Dari ketiga lahan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa
tanah yang baik untuk lahan budidaya adalah lahan sawit dan juga lahan nenas, dikarenakan warna lahan yang cukup gelap sehingga lebih banyak mengandung bahan organik yang baik untuk kesuburan tanah. Sedangkan lahan rawa masih memerlukan perhatian khusus untuk peningkatan bahan organik tanah agar meningkatkan kesuburan tanah seperti, penggunaan pupuk dan kompos yang telah mengalami dekomposisi terlebih dahulu agar dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Kerapatan Massa Tanah (Bulk Density)
Mengkaji nilai bulk density bertujuan untuk mengetahui kerapatan massa tanah gambut. Nilai bulk density yang baik adalah jika dikatakan nilainya tinggi karena daya dukung tanah terhadap apapun yang berada diatasnya akan lebih tinggi dan baik (Noor, 2001)
Tabel 5. Hasil Analisa bulk density tanah Gambut
Lahan Gambut Kedalaman Tanah Bulk Density (g/cm3) Sawit
(Saprik)
0-20 0,31
20-40 0,29
Nenas (Saprik)
0-20 0,22
20-40 0,20
Rawa (Hemik)
0-20 0,19
20-40 0,17
Nilai bulk density yang dianalisa di labolatorium menunjukkan nilai tertinggi terdapat pada lahan sawit, yaitu 0,31 g/cm3 dan diikuti dengan 0,22 g/cm3 pada lahan nenas. Tingginya nilai Bulk density dapat dipengaruhi oleh perbedaan tingkat kematangan gambut dan proses terjadinya pemadatan pada tiap lahan. Nilai BD yang cukup tinggi akan cukup baik untuk digunakan sebagai lahan pertanian karena kepadatan tanah sudah mampu untuk menahan beban yang ada diatasnya.
31
Sedangkan nilai Bulk density terendah yaitu pada lahan rawa, sebesar 0,17 g/cm3. Berdasarkan hasil analisis labolatorium seperti terdapat pada tabel 5, nilai bulk density tanah gambut pada lahan rawa dapat dikatakan masih rendah. Sehingga jika ingin dilakukan budidaya perlu melakukan peningkatan kepadatan karena pengaruh tekanan beban dari atas menyebabkan adanya proses pemampatan bahan penyusun tanah gambut dan terjadi pengurangan rongga-rongga udara, hal ini dapat menyebabkan peningkatan nilai bulk density tanah gambut. Menurut Noor (2001) nilai bulk density yang tinggi berkisar antara 0,25 g/cm3 – 0,4 g/cm3 dan nilai bulk density yang rendah berkisar antara 0,05 – 0,25 g/cm3.
Biasanya nilai bulk density yang rendah diakibatkan oleh adanya rongga pada gambut yang dipengaruhi oleh adanya akar-akar tumbuhan maupun dari kayu pepohonan. Selain itu jenis dan kematangan gambut juga mempengaruhi bulk density. Subagyono et al. (2000) menyatakan tanah gambut yang memiliki bulk density yang rendah maka tingkat dekomposisinya semakin lemah, atau kematangan gambutnya semakin rendah, karena masih banyak mengandung bahan organik. Sehingga daya topang terhadap beban diatasnya seperti tanaman, bangunan irigasi, jalan, dan mesin-mesin pertanian adalah rendah sehingga mengakibatkan daya dukung tanah rendah sehingga tanaman mengalami kendala dalam menjangkarkan akarnya, akibatnya banyak tanaman tahunan yang tumbuh condong dan tumbang.
Kerapatan Partikel Tanah (Partikel Density)
Particel density pada tanah gambut berpengaruh pada besar persentase total ruang pori pada gambut. Particel density adalah berat tanah per satuan volume partikel-partikel tanah yang dapat menggambarkan berat tanah.
Tabel 6. Hasil Analisa partikel density Tanah Gambut
Lahan Gambut Kedalaman Tanah Partikel Density (g/cm3) Sawit
(Saprik)
0-20 1,31
20-40 1,29
Nenas (Saprik)
0-20 1,28
20-40 1,25
Rawa (Hemik)
0-20 1,15
20-40 1,00
Hasil analisis untuk partikel density tanah gambut seperti terlihat pada Tabel 6, yaitu nilai tertinggi pada lahan sawit 1,31 g/cm3. Selanjutnya pada lahan nenas 1,28 g/cm3 dan nilai terendah pada lahan rawa 1,15 g/cm3. Nilai particel density ini termasuk rendah karena kerapatan partikel tanah berbanding lurus dengan kepadatan tanah dan akan berbanding terbalik dengan total ruang pori tanah. Nilai particel denisty yang rendah menunjukkan kurang baiknya untuk dijadikan lahan pertanian, kecuali dilakukan perbaikan sifat fisika tanahnya. Bulk density rendah, maka partikel density juga rendah namun total ruang porinya tinggi. Handayani (2005) menyatakan semakin tinggi kepadatan partikel tanah maka semakin rendah total ruang pori tanah, dan sebaliknya. Hal ini dapat disebabkan karena partikel density berhubungan dengan tekstur tanah dan tekstur tanah gambut ini masih berserat yang berarti kepadatan partikel tanahnya masih sangat rendah dan masih lemah untuk mendukung tanaman diatasnya.
Porositas Tanah
Porositas adalah perbandingan antara volume ruang pori terhadap volume total tanah. porositas ini dinyatakan dalam persen (%). Pada penelitian ini, porositas
33
dihitung secara langsung dari hasil laboratorium dengan perbandingan nilai bulk density dan particel density, dengan hasil perhitungan seperti pada tabel berikut Tabel 7. Hasil Analisa Porositas Tanah Gambut
Lahan Gambut
Kedalaman Tanah
(cm)
Bulk Density (Db) g/cm3
Particel Density (Pb) g/cm3
Porositas (%)
Sawit (Saprik)
0-20 0,31 1,31 76,3
20-40 0,29 1,29 77,5
Nenas (Saprik)
0-20 0,22 1,28 82,8
20-40 0,20 1,25 84
Rawa (Hemik)
0-20 0,19 1,15 83,48
20-40 0,17 1,00 83
Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai porositas terendah adalah lahan sawit sebesar 76,3% yang berarti dalam tanah sawit ini jumlah ruang-ruang pori tanah masih besar dan kemampuan tanah menyerap air masih cukup baik, yang dimana memiliki nilai particel density dan bulk density tertinggi. Nilai rata-rata porositas lahan nenas dan rawa dapat dikatakan tinggi, yaitu 84% dan 83,4% yang berarti ruang-ruang pori tanah masih sangat besar dan kemampuan menyerap air yang tinggi dimana nilai ini berbanding terbalik dengan nilai particel density dan bulk density. Porositas tanah mempengaruhi total ruang pori dimana semakin besar total ruang pori maka semakin mudah air untuk terus mengalir mengikuti gravitasi.
Handayani (2005) mengatakan bahwa semakin tinggi bulk density maka semakin rendah total ruang pori dan semakin rendah bulk density maka semakin tinggi total ruang pori. Kepadatan tanah juga mempengaruhi porositas tanah.
Tanah yang porositasnya baik adalah tanah yang porositasnya besar karena perakaran tanaman mudah untuk menembus tanah dalam mencari bahan organik.
Ketiga lahan yang diteliti memiliki nilai porositas yang cukup besar dan baik untuk tanaman. Selain itu, tanah akan mampu menahan air hujan sehingga tanaman tidak selalu kekurangan air. Tetapi jika porositasnya terlalu tinggi, juga tidak baik, karena air yang diterima tanah langsung turun ke lapisan berikutnya. Tanah seperti ini akan cepat membentuk pecahan yang berupa celah besar ketika musim kemarau.
Kadar Air
Tanah gambut mempunyai kapasitas mengikat atau memegang air yang relatif sangat tinggi atas dasar berat kering. Kapasitas mengikat air maksimum untuk gambut fibrik adalah 580-3000 %, untuk gambut hemik 450-850 % dan untuk gambut saprik < 450 %. Gambut akan berubah menjadi hidrofob (menolak air) kalau terlalu kering (Notohadiprawiro, 2000).
Berdasarkan hasil laboratorium didapati pada lahan sawit memiliki kadar air rata- rata 477,815 %. Pada lahan nenas memiliki kadar air rata-rata 582,92 % dan pada lahan rawa memiliki kadar air rata-rata 487,11 %. Pada setiap kedalaman dan masing- masing lahan, nilai kadar airnya bervariasi (Tabel 8).
Tabel 8. Hasil Analisa Kadar Air Tanah Gambut
Lahan Gambut Kedalaman Tanah Kadar Air Sawit
(Saprik)
0-20 456,29
20-40 699,34
Nenas (Saprik)
0-20 567,54
20-40 598,30
Rawa (Hemik)
0-20 462,67
20-40 511,91
Kadar air pada lahan nenas memiliki nilai kadar air tertinggi yaitu pada kedalaman 20-40 dengan nilai kadar air 598,30%. Nilai kadar air ini termasuk cukup tinggi dan baik untuk menahan terjadinya kekurangan air pada tanah. Untuk
35
lahan rawa nilai kadar air rata-rata 487,29% yang merupakan nilai cukup tinggi untuk kadar air tanah gambut dan mampu mengurangi bahkan mengatasi kekeringan pada tanah gambut. Sedangkan nilai kadar air terendah terdapat pada lahan sawit yaitu 456,29 %, termasuk nilai yang masih tinggi juga untuk sebuah lahan gambut dan cukup untuk berbagi pada tanaman-tanaman diatasnya. Kadar air dari ketiga lahan penelitian memiliki nilai yang masih cukup baik sesuai dengan kedalaman masing-masing lahan untuk dijadikan lahan pertanian. Nilai kadar air pada tiap-tiap lahan masih potensial, karena lahan gambut memerlukan kadar air yang cukup agar tidak terjadi subsidence. Jadi, kedalaman solum atau lapisan tanah menentukan volume simpan air tanah, semakin dalam suatu lapisan tanah maka semakin tinggi kadar airnya. Hal ini disebabkan oleh semakin dalam lapisan tanah maka kematangan gambutnya semakin rendah, sehingga tanah mampu menyerap air lebih banyak. Noor (2001) menyebutkan bahwa kemampuan menjerap (absorbing) dan memegang (retaining) air dari gambut tergantung pada tingkat kematangannya.
Kemampuan tanah gambut untuk menyerap dan mengikat air pada gambut fibrik lebih besar dari gambut hemik dan saprik, sedangkan gambut hemik lebih besar dari saprik. Akan tetapi, kadar air yang tinggi pada gambut inilah yang menyebabkan bulk density menjadi rendah sehingga gambut tidak mampu menahan beban. Sementara itu, volume gambut akan menyusut jika lahan gambut dikeringkan. Hal ini akan mengakibatkan penurunan permukaan tanah (subsidence) (Suwondo et al., 2010).
Bahan Organik Tanah
Tabel 9. Hasil Analisa Bahan Organik Tanah Gambut Lahan
Gambut
Kedalaman Tanah
Kadar C-Organik (%)
Kandungan Bahan Organik
(%)
Kategori
Sawit (Saprik)
0-20 1,92 3,31 Sedang
20-40 2,07 3,56 Sedang
Nenas (Saprik)
0-20 1,81 3,12 Sedang
20-40 1,75 3,01 Sedang
Rawa (Hemik)
0-20 2,31 3,98 Sedang
20-40 2,20 3,79 Sedang
Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa bahan organik tanah gambut yang tertinggi terdapat pada lahan rawa, yaitu 3,98 % dengan kategori sedang. Dan yang paling rendah terdapat pada lahan nenas, yaitu 3,01 % dengan kategori sedang. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya tumbuhan hidup yang berada diatas tanah gambut pada lahan rawa. Menurut Wulandari et al. (2007), menyebutkan bahwa apabila jumlah individu mesofauna dan makrofauna tanah meningkat maka laju dekomposisi bahan organik juga akan meningkat dan begitu sebaliknya. Makin tinggi kandungan bahan organik tanahnya maka tanah akan semakin gelap.
Lahan rawa memiliki kandungan bahan organik tertinggi juga dapat dipengaruhi oleh kematangan gambut dan suplai bahan organik ke tanah yang berasal dari vegetasi yang tumbuh diatasnya. Bahan organik yang tinggi terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk. Bahan organik tanah merupakan salah satu hal penting dalam pertumbuhan tanaman karena mempengaruhi penyediaan unsur hara untuk tanaman. Semakin tinggi kandungan