• Tidak ada hasil yang ditemukan

DRAFT ARTIKEL KONSTRUKSI SIKAP BERAGAMA PASCA BENCANA DI INDONESIA TIMUR: STUDI PADA MASYARAKAT KORBAN GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI PALU DAN LOMBOK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DRAFT ARTIKEL KONSTRUKSI SIKAP BERAGAMA PASCA BENCANA DI INDONESIA TIMUR: STUDI PADA MASYARAKAT KORBAN GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI PALU DAN LOMBOK"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

DRAFT ARTIKEL

KONSTRUKSI SIKAP BERAGAMA PASCA BENCANA DI INDONESIA TIMUR: STUDI PADA MASYARAKAT KORBAN

GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI PALU DAN LOMBOK

Miftahur Ridho, UINSI Samarinda, miftahurridho@gmail.com Hudriansyah, UINSI Samarinda, hudriansyah84@gmail.com

A. Latar Belakang

Kejadian bencana alam di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini muncul dalam frekwensi yang lebih sering. Posisi Indonesia yang berada di sepanjang wilayah Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire) menyebabkan Indonesia secara alamiah rentan untuk mendapatkan bencala alam berupa tsunami, gempa bumi, tanah longsor, dan jenis bencana alam lain (Novia Budi Parwanto and Tatsuo Oyama 2014:122–23).

Posisi Indonesia sebagai negara dengan potensi bencana alam yang cukup tinggi telah mendorong masyarakat untuk mengembangkan bentuk-bentuk kearifan lokal yang berguna untuk mengantisipasi dan mereduksi dampak buruk dari bencana alam bagi kehidupan masyarakat. Kearifan lokal tersebut salah satunya ditunjukkan oleh besarnya peran agama dalam konteks antisipasi dan respon terhadap bencana alam. Dalam hal ini, agama memainkan peran penting dalam membantu korban bencana untuk mengatasi tekanan psikologis yang muncul karena bencana.

Peran agama dalam membantu korban bencana alam untuk melanjutkan kehidupan secara normal sangat signifikan (Wignyo Adiyoso and Hidehiko Kanegae 2013). Korban bencana alam umumnya mengalami guncangan sosial dan psikologis yang disebabkan oleh dampak bencana berupa kehilangan orang-orang terkasih dan kehilangan harta benda. Agama, dalam hal ini, dinilai mampu memainkan peran yang signifikan karena ajaran-ajaran agama banyak berbicara tentang kesabaran, kehidupan setelah mati, dan pengorbanan.

Hampir setiap agama memiliki konsepsi yang khas tentang bencana alam yang terjadi di dunia. Dalam kitab suci Al Quran, misalnya, ayat-ayat yang berkaitan dengan kejadian-kejadian alam yang dapat disebut sebagai bencana seringkali diikuti oleh penjelasan mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut. Meski demikian, pada dasarnya ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa bencana terjadi karena perbuatan manusia yang berbuat kerusakan terhadap alam (Agus Indiyanto and Arqom Kuswanjono 2012).

Tafsir terhadap ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan bencana sebagai

akibat dari perbuatan manusia yang berbuat kerusakan di muka bumi,

bagaimanapun juga, tidak lepas dari kontestasi. Sejumlah kalangan berpandangan

bahwa perbuatan berbuat kerusakan di muka bumi yang dimaksud dalam ayat-ayat

tersebut adalah teguran dari Allah agar manusia memperhatikan dan tidak

mengeksploitasi alam (nature) secara semena-mena. Sejumlah kalangan lain

menyebut bahwa berbuat kerusakan di muka bumi tersebut tidak hanya mencakup

perbuatan merusak alam secara fisik namun juga mencakup segala bentuk

(2)

2 perbuatan dosa berupa tidak menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya (Roni ’Abdul Fattah n.d.).

Tafsir-tafsir yang berkembang terkait dengan bencana alam dalam pandangan agama pada dasarnya memiliki sisi positif dan negatif dalam konteks antisipasi dan penanganan dampak bencana alam di kalangan masyarakat (Lei Sun, Yan Deng, and Wenhua Qi 2018). Meskipun begitu, Narasi yang terbangun di tengah masyarakat dengan adanya penyebarluasan dari bentuk penafsiran yang disebut terakhir ini pada gilirannya selalu berakhir menjadi perdebatan politik, lebih tepatnya perdebatan dengan politisasi ajaran agama terkait bencana alam (Djadjat Sudradjat 2018).

Dalam konteks Indonesia sebagai negara yang berlokasi di zona rawan bencana alam (pacific ring of fire) dan sebagai negara dengan populasi sangat beragam dari segi agama dan aliran kepercayaan, penyebarluasan tafsir tentang bencana oleh para tokoh agama ke tengah-tengah masyarakat berpotensi menyebabkan terhambatnya upaya-upaya penanganan dampak paska bencana yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Lebih dari itu, kombinasi dari dua hal tersebut juga rentan menyeret masyarakat Indonesia menuju bentuk-bentuk konflik horizontal yang disebabkan oleh politisasi ajaran agama.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana bencana alam dipersepsikan oleh tokoh agama pasca bencana gempa bumi di Palu dan Lombok?

2. Bagaimana persepsi tersebut berdampak pada pandangan masyarakat tentang sikap beragama yang ideal pasca bencana?

C. Agama dan Bencana dalam Perspektif Ilmu Sosial

Salah satu cara untuk membaca dinamika dan pergeseran paradigma agama atas bencana adalah dengan melihat ideologi keagamaan yang membentuk interpretasi tokoh agama terhadap bencana. Pendekatan ini penting karena kebanyakan sarjana agama lebih fokus mengkaji tafsir di balik penyebab bencana serta respon agama terhadap bencana, sehingga mengabaikan hal lebih mendasar menyangkut faktor apa saja yang membentuk respon tersebut, baik dalam tataran ideologis maupun tataran praktik. Dalam konteks ini, peran doktrin keagamaan dalam pembentukan cara pandang para tokoh agama atas bencana menjadi penting.

Studi tentang agama dan bencana serta pengaruhnya terhadap konstruksi pengetahuan keagamaan masyarakat tentang bencana di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam dua fokus perhatian: interpretasi agama atas bencana dan bencana sebagai fenomena sosial-keagamaan. Studi literatur tentang interpretasi agama atas bencana memberikan perhatian khusus pada tafsir atau pandangan ulama/tokoh agama atas peyebab di balik terjadinya bencana, lembaga keagamaan sampai pada penganut agama hingga kajian teks kitab suci agama-agama atas bencana (Suranto 2012).

Studi-studi ini berusaha melacak tafsir agama atas bencana dan mendorong

peran agama sebagai kekuatan baru dalam proses kebangkitan/resiliensi korban

pasca bencana (Imron and Hidayat 2012; Umi Rohmah 2012). Upaya-upaya lain

juga mencakup tawaran untuk mengkonstruksi konsep eko-teologi Islam yang

(3)

3 lebih kontekstual dalam upaya memberikan kontribusi penting tidak hanya dalam upaya memahami bencana dalam konteks hukum agama tetapi juga dalam upaya membangun aktivisme sosial di masyarakat (Ikhwan dan Rubaidi : 2012). Agama juga secara aktif merespon bencana melalui peran organisasi keagamaan dalam bentuk aktivisme sosial berbasis iman (Dani Muhtada 2012; Mohammad Rokib 2012), atau kegiatan-kegiatan keagamaan semacam pengajian, istighasah, shalat taubat sebagai bentuk pendekatan diri kepada Tuhan. Studi model ini lebih banyak memberi perhatian pada pentingnya mempertimbangkan faktor agama dalam memahami bencana atau memberikan pendampingan pada korban bencana.

Berbeda dari studi literatur sebelumnya yang fokus pada interpretasi dan respon agama atas bencana, studi belakangan memperluas cakupan perhatiannya pada perubahan-perubahan di masyarakat pasca bencana. Hal itu Nampak dari terciptanya ruang-ruang baru bagi kelompok-kelompok sosial-keagamaan (dengan berbagai latar belakang) untuk saling berinteraksi satu dengan yang lain. Ruang interaksi baru tersebut dapat menjadi jembatan untuk menghilangkan berbagai stereotipe yang seringkali menjadi hambatan dalam integrasi sosial (Agus Indiyanto and Arqom Kuswanjono 2012). Akan tetapi, sebaliknya ruang interaksi yang terbuka tersebut juga rentan memicu konflik terutama ketika agama tidak mampu menjaga netralitasnya dalam penanganan korban bencana.

Nur Wahid Sofyan dan Laila Kholid Alfirdaus, misalnya, menunjukkan bagaimana peristiwa bencana erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta dan Gempa di Padang berpotensi menciptakan koflik baru antara komunitas Islam dan Katolik serta rentan menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap kelompok minoritas Cina dalam hal penanganan korban. Faktor kondisi kejiwaan masyarakat yang labil serta persaingan ekonomi pasca bencana serta berbagai stigma negatif terhadap kelompok minoritas kerapkali menjadi pemicu lahirnya konflik dan perlakuan diskrimiatif tersebut (Nur Wahid Sofyan 2012).

Meneruskan rintisan studi-studi terdahulu, penelitian ini akan memetakan dan mengkaji secara komprehensif konstruksi pengetahuan yang membentuk persepsi tokoh agama dan masyarakat tentang bencana dan pengaruhnya terhadap sikap keberagamaan masyarakat di Indonesia Timur (Lombok dan Palu). Lebih jauh, studi ini akan melihat apakah dengan terjadinya bencana, masyarakat semakin toleran ataukah justru bencana menjadikan orang semakin fanatik pada agama sendiri?

D. Sikap beragama paska Kejadian Bencana Alam di Lombok

Di Lombok, masyarakat muslim yang menganut tradisi wetu telu memposisikan bencana gempa sebagai ujian bagi keyakinan yang mereka anut.

Masyarakat muslim wetu telu telah lama dikenal sebagai kelompok masyarakat yang masih berpegang teguh pada tradisi-tradisi adat yang ramah dengan alam.

Pandangan masyarakat adat yang dapat dikelompokkan dalam kategori

sangat peduli lingkungan tersebut menyebabkan kelompok masyarakat muslim

wetu telu di Lombok berhadap-hadapan secara diametral dengan masyarakat

umum. Hal ini karena masyarakat umum pada dasarnya tidak terlalu sadar dengan

pentingnya menjaga lingkungan dan cenderung mendahulukan perkembangan

ekonomi.

(4)

4 Masyarakat Muslim wetu telu di Lombok merupakan sebuah entitas yang unik dalam berbagai segi. Pada aspek sosial, kelompok masyarakat ini merepresentasikan sisi religio-kultural dari masyarakat sasak di Lombok yang seringkali dibayang-bayangi oleh kebudayaan Bali. Pada segi religiusitas, masyarakat muslim wetu telu sering dirujuk sebagai sebuah manifestasi dari keragaman budaya yang terdapat di pulau lombok berkenaan dengan expresi beragama.

Meski demikian, satu aspek yang sering diabaikan mengenai masyarakat muslim wetu telu adalah peran mereka dalam menjaga kelestarian lingkungan di tengah masyarakat.

Secara umum, masyarakat muslim wetu telu mendiami wilayah utara pulau Lombok. Dalam beberapa tahun terakhir, wilayah tersebut mengalami pemekaran dan menjadi kabupaten sendiri, yaitu kabupaten Lombok utara. Sebagai sebuah kapbupaten paling muda, Kabupaten Lombok Utara adalah salah satu wilayah yang relative underdeveloped bila dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya di pulau Lombok.

Kondisi demikian, uniknya, berkorespondensi dengan kondisi masyarakat muslim wetu telu itu sendiri. Secara ekonomi, masyarakat muslim wetu telu adalah kelompok masyarakat agraris yang masih mengandalkan sector pertanian tradisional sebagai aktifitas ekonomi paling utama.

Adanya sejumlah fenomena yang diklaim sebagai bukti sacral tentang kebenaran dari ajaran yang mereka anut, seperti rumah ibadah yang tidak hancur diguncang gempa, semakin memperkuat keyakinan mereka tentang tradisi wetu telu.

Gempa bumi yang terjadi di pulau Lombok pada pertengahan tahun 2018 memberikan damapk yang signifikan terkait dengan pandangan masyarakat tentang kejadian bencana di pulau Lombok.

Masyarakat muslim wetu telu telah lama menjadi target dakwah dari kalangan muslim waktu lima yang lebih ortodoks. Hal ini disebabkan oleh pandanga dari kelompok muslim waktu lima yang menganggap bahwa wetu telu adalah symbol heterodoksi.

Bagi masyarakat luas di luar kelompok muslim wetu telu, praktek beragama yang dilaksanakan oleh orang-orang islam wetu telu adalah praktek yang belum sempurna. Terdapat sejumlah penjelasan yang berusaha untuk memahami bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Salah satu yang paling popular adalah anggapan bahwa wetu telu, yang secara harfiah berarti ‘tiga waktu’ adalah sebuah kondisi di mana kelompok tersebut belum selesai menerima dakwah sehingga belum sempurna. Sempurna dalam hal ini sering diasosiasikan dengan frase ‘waktu lima’

yang merepresentasikan masyarakat muslim pada umumnya di pulau Lombok.

Dengan dukungan pemerintah orde baru melalui program dai pembangunan, kelompok muslim wetu telu banyak menerima pukulan telak. Banyak anggota dari kelompok muslim wetu telu yang berpindah aliran dan keluar dari kelompoknya untuk bergabung dengan kelompok muslim mayoritas, yaitu waktu lima.

Pemosisian kelompok muslim wetu telu sebagai sasaran dakwah

menyebabkan mereka berada dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, dakwah

merupakan sebuah aktifitas yang mengandung banyak sekali manfaat karena pada

(5)

5 dasarnya aktifitas-aktifitas di bawah paying dakwah bermuara pada ajakan untuk berbuat dan menjadi lebih baik secara berkelanjutan.

Di sisi lain, posisi sebagai sasaran dakwah juga menyebabkan kelompok muslim wetu telu senantiasa berada dalam posisi konflik. Ajaran Islam yang didakwahkan oleh para da’I yang telah didukung oleh pemerintah sejak era orde baru tersebut pada dasarnya berseberangan dengan tradisi, keyakinan, dan praktik beragama yang dijalankan oleh kelompok masyarakat wetu telu tersebut. Oleh sebb itu, tidak jarang program dakwah yang menyasar mereka sering diartikan sebagai bentuk upaya menghapus eksistensid dari aliran wetu telu muslim di pulau Lombok.

Kejadian bencana alam berupa gempa yang melanda sejumlah tempat di wilayah timur Indonesia, termasuk di pulau Lombok, pada pertengahan tahun 2018 yang lalu telah membuka banyak kekurangan yang terdapat pada infrastruktur di pulau Lombok.

Modernisasi yang dilakukan pada wilayah-wilayah pedesaan di pulau Lombok pada dasarnya sering dilakukan tanpa memikirkan secara menyeluruh mengenai aspek perubahan lingkungan yang mungkin dapat ditimbulkano oleh pembangunan tersebut.

Di desa-desa, geliat modernisasi yang telah berlangsung sejak lama mengubah wajah desa yang identic dengan persawahan dan bangunan-bangunan tempat tinggal yang sederhana menjadi miniature perkotaan lengkap dengan bangunan-bangunan beton yang modern.

Bagi kelompok masyarakat muslim wetu telu, modernisasi tersebut seringkali ditawarkan sebagai bagian dari dakwah yang bertujuan untuk mendorong mereka mengikuti umat islam mainstream di Lombok, yaitu umat Islam waktu lima.

Hal ini sudah berlangsung sejak lama sehingga muncul anggapan di kalangan masyarakat bahwa menjadi modern bagi kalangan muslim wetu telu sama artinya dengan menanggalkan identitas wetu telu mereka.

Kelompok muslim wetu telu seringkali menghadapi situasi ini dengan perasaan inferior. Ditambah dengan situasi riil di lapangan yang menunjukkan bahwa modernisasi biasanya ditemukan pada kalangan masyarakat muslim waktu lima sementara kelompok muslim wetu telu umumnya hidup dekat dengan alam di daerah-daerah yang kurang tersentuh pembangunan.

Meski sering dipinggirkan secara tidak langsung, pada umumnya pemerintah menggunakan citra positif dari kelompok islam wetu telu untuk membangun image tentang masyarakat sasak yang toleran. Hal ini karena kelompok islam wetu telu adalah kelompok masyarakat muslim yang memiliki hubungan erat dan harmonis dengan komunitas hindu di pulau Lombok. Hal ini terlihat misalnya melalui praktek tradisi yang melibatkan dua kelompok agama, muslim wetu telu dengan hindu.

Dengan demikian, masyarakat muslim wetu telu juga sering dipromosikan sebagai daya Tarik wisata di pulau Lombok.

Kejadian gempa bumi yang melanda pulau Lombok pada tahun 2018 silam

memberikan dampat tersendiri bagi kalangan muslim wetu telu di Lombok. Gempa

yang tejadi pada tahun 2018 tersebut adalah salah satu gempa paling dahsyat yang

pernah dialami oleh masyarakat di pulau Lombok. Meski demikian, dampak gempa

tersebut pada dasarnya dirasakan secara berbeda-beda dari satu tempat ke tempat

lain.

(6)

6 Kawasan kaki gunung rinjadi adalah Kawasan yang terdampak relative paling serius selama terjadinya bencana gempa. Di sebelah timur pulau Lombok, tepatnya di desa sembalum, gempa bumi yang terjadi menyebabkan sejumlah longsor besar pada lereng-lereng di kaki gunung rinjani. Demikian juga dengan kaki gunung rinjani yang berada di bagian utara pulau Lombok.

Meski demikian, kondisi di mana kelompok masyarakat muslim wetu telu yang hidup secara lebih tradisional memberikan keuntungan tersendiri bagi mereka dalam menghadapi kejadian bencana gempa bumi tersebut. Mereka cenderung tidak mendapatkan kerusakan yang berarti karena tidak banyak bangunan-bangunan beton yang terdapat di wilayah mereka. Alih-alih, masyarakat muslim wetu telu pada umumnya tinggal pada rumah adat tradisional berbahan kayu dan bambu sehingga relative tidak terdapak serius oleh gempa.

Salah satu contoh menarik tentang ini dapat dilihat dari kondisi masjid utama kelompok muslim wetu telu, yaitu Masjid Kuno Bayan Beleq yang tetap berdiri dengan kokoh setelah dihajar oleh gempa besar. Meski demikian, sejumlah pembangunan fasilitas tambahan di sekitar masjid berupa toilet runtuh terkena gempa.

Rumah-rumah warga masyarakat muslim wetu telu yang terbuat dari kayu pada umumnya tidak terdampak serius. Pemandangan yang kontras dengan kondisi yang ditemukan pada pemukiman yang lebih modern di mana bangunan-bangunan rumah warga terbuat dari tembok batu bata. Situasi seperti ini memberikan dampak psikologis penting yang pada gilirannya mendorong masyarakat muslim wetu telu untuk merefleksikan bencana alam.

Paska terjadinya gempa, masyarakat muslim wetu telu semakin meyakini pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, hal yang selama ini identic dengan eksistensi dari mereka di pulau Lombok. Mereka beranggapan bahwa pada dasarnya alam memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan manusia dan karenanya manusia harus menyesuaikan diri dengan alam.

Masyarakat muslim wetu telu di sekitar Kawasan masjid kuno bayan beleq, misalnya, berencana untuk tidak membangun Kembali fasilitas tambahan berupa toilet umum dan lainnya yang hancur akibat gempa bumi. Menurut mereka, hal tersebut dilakukan sebagai pengingat bahwa pada saat gempa, yang bertahan hanya bangunan asli dari masjid kuno yang telah ada sejak abad ke-16 tersebut sementara bangunan moder di sekitarnya luluh lantak.

Sentimen kembali ke alam di kalangan masyarakat muslim wetu telu pada dasarnya memiliki makna yang lebih dari sekedar kembali kepada kehidupan yang lebih tradisional. Lebih dari itu, sentimen kembali ke alam yang menguat paska terjadinya bencana gempa bumi di pulau Lombok merujuk pada kesadaran kolektif untuk kembali menggali identitas sosial dan religious yang berjalan beriringan dengan kelestarian lingkungan.

Kejadian bencana alam berupa gempa bumi di pulau Lombok memberikan justifikasi tersendiri bagi kalangan masyarakat muslim wetu telu untuk memperkuat semangat menjaga tradisi keagamaan mereka yang khas dam cenderung berbeda dengan tradisi keagamaan masyarakat muslim mayoritas di pulau Lombok.

Semangat tersebut tidak hanya didukung oleh fakta bahwa cara hidup tradisional

(7)

7

lebih resisten terhadap kejadian bencana dibandingkan dengan cara hidup modern

yang kurang mempertimbangkan kondisi lingkungan.

(8)

8 E. Persepsi dan Sikap Beragama Pascagempa dan Tsunami di Kota Palu

Setiap bencana alam terjadi, seperti gempa dan tsunami, perubahan sosial- keagamaan juga ikut terjadi di dalam suatu masyarakat. Bencana alam telah menyebabkan terjadinya perubahan kondisi geografi serta komposisi penduduk, baik dalam skala kecil maupun besar. Selain itu, bencana juga menimbulkan kerusakan, baik dari segi kerusakan infrastruktur bangunan, maupun kerusakan dari segi psikis korban dan menyisakan duka mendalam terutama bagi mereka yang kehilangan anggota keluarga (korban jiwa). Peristiwa bencana juga membentuk persepsi masyarakat tentang bencana dan turut memengaruhi perilaku beragama mereka di masyarakat pascabencana. Penelitian ini berusaha melihat empat aspek perubahan sikap beragama di kalangan masyarakat Kota Palu pascabencana gempa dan tsunami yaitu religiusitas, solidaritas, hubungan antaragama dan kesadaran ekologi:

1. Religiusitas

Dalam Bahasa Latin, istilah "religiusitas" berakar kata “relegare” yang berarti mengikat secara kuat atau ikatan kebersamaan (Mansen, dalam Kaye & Raghavan, 2000). Religiusitas erat kaitannya dengan praktik ritual, sistem keyakinan, hukum dan nilai yang diekspresikan oleh seseorang secara spiritual (Kaye & Raghavan, 2000). Religiusitas merupakan bentuk penghayatan individu di dalam hati yang membentuk sikap beragama setelah melalui proses internalisasi nilai-nilai agama ke dalam diri seseorang (Mangunwija, 1986; Dister, 1988). Definisi lain mencoba melihat hubungan antara religiusitas dengan sesuatu yang sakral sebagai sebuah proses dalam menemukan hakikat kebenaran (Chatters, 2000). Berdasarkan definisi-defisnisi tersebut, religiusitas dipahami sebagai sebuah ekspresi keyakinan atas kenyataaan-kenyataan supra-empiris yang membentuk perilaku keberagamaan di masyarakat.

Peristiwa gempa dan tsunami Palu yang terjadi 2 tahun silam telah membentuk berbagai persepsi keagamaan di kalangan masyarakat Kota Palu. Secara garis besar, ada 3 pandangan umum yang kita temukan. Pertama, sebagian besar menyakini bencana tersebut sebagai bentuk teguran dari Allah Swt atas berbagai perilaku menyimpang di masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat dianggap perlu untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt dan menjauhi berbagai perilaku syirik.

Mereka meyakini bahwa semakin dekat mereka dengan Tuhan maka mereka semakin dijauhkan dari segala bencana. Kedua, sebagian lainnya meyakini bahwa bencana tersebut adalah akibat dari pergeseran lempengan sesar Palu Koro yaitu suatu perisitiwa alam yang tidak bisa dihindari. Pandangan seperti ini umumnya didasarkan pada sumber-sumber pengetahuan empiris dan fakta-fakta bencana yang selama ini terjadi di Sulawesi Tengah. Ketiga, pandangan kelompok muslim yang melihat bencana tersebut sebagai bentuk ujian dari Allah Swt. Pada dasarnya, ketiga pandangan tersebut telah membentuk suatu sikap beragama yang unik di kalangan masyarakat yang diekspresikan dalam berbagai bentuk religiusitas.

Salah satu bentuk peyimpangan yang diyakini oleh sebagian besar Kota Palu

adalah praktik ritual balia yaitu suatu ritual penyembuhan kuno Suku Kaili atas

penyakit yang tak kunjung sembuh atau diyakini sebagai gangguan kekuatan

supranatural. Pelaku ritual ini percaya bahwa api dapat mengusir penyakit. Praktik

ritual ini biasanya menggunakan berbagai sesajen sebagai persembahan dan sarana

(9)

9 penyembuhan. Pelaksanaan ritual bahkan bisa berlangsung selama tujuh hari tujuh malam sebagaimana dideskripsikan berikut ini:

…Tercatat ada sepuluh ritual yang harus dilakukan dalam prosesi balia yang terdiri atas ritual pompoura atau tala bala'a, ritual adat enje da'a, ritual tampilangi ulujadi, pompoura vunja, ritual symbol viata, ritual adat jinja, balia topoledo, vunja ntana, ritual tampilangi, dan nora binangga. Berbagai ritual tersebut dapat memakan waktu hingga tujuh hari tujuh malam, tergantung tingkat keparahan penyakit yang ingin diobati. Prosesi dimulai dengan persiapan berbagai bahan upacara mulai dari dupa, keranda, buah-buahan, hingga hewan kurban seperti ayam, kambing, atau kerbau tergantung kasta sang penyelenggara prosesi. Ketika persiapan rampung, pawang yang harus dibawakan oleh laki-laki mulai menyebut jampi dan mantra. Ia menyebutkan berbagai mantra untuk memanggil arwah dan memberikan sejumlah sesajian berbeda pada tiap prosesi yang diletakkan dekat dupa. Tarian khas balia juga harus terus dilakukan menemani orang sakit yang diusung hingga acara puncak, penyembelihan hewan kurban. Hewan kurban tersebut adalah simbol harapan kesungguhan atas kesembuhan”.

1

Dalam keyakinan sebagian kelompok muslim Palu, ritual balia dianggap sebagai penyebab utama di balik terjadinya gempa dahsyat di Kota Palu. Keyakinan tersebut didasarkan pada praktik ritual yang dianggap syirik dan mengundang murka Tuhan karena memohon pertolongan kepada selain Allah dan memberikan persembahan-persembahan kepada roh leluhur demi mendapatkan kesembuhan.

Keyakinan tersebut juga diperkuat oleh fakta yang diamati oleh masyarakat.

Mereka menyebut bahwa sejak ritual balia dipraktikan kembali oleh suku Kaili, berbagai peristiwa alam turut menyertai. Misalnya, pada tahun 2016, terjadi gempa di daerah Bora dan Sigi Biromaru. Kemudian, pada 2017, terjadi angin kencang dan hujan deras di Talise. Sedangkan pada 2018, terjadi gempa dan tsunami yang melanda tiga wilayah di Sulawesi Tengah.

Meski demikian, fakta lain menunjukkan bahwa praktik ritual balia ini sebenarnya sudah sangat jarang dilakukan di kalangan Suku Kaili sendiri. Bahkan, pelakunya diklaim hanya berasal dari kalangan tetua adat yang berada di 3 wilayah yaitu Balaroa, Donggala dan Pantai Barat.

Bentuk penyimpangan lain yang diyakini oleh masyarakat adalah pengabaian terhadap praktik dan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut, misalnya, diungkapkan oleh SA (35th):

Dulu, sebelum terjadi gempa, saya termasuk orang yang suka mengesampingkan urusan ibadah karena terlalu sibuk kerja, cari duit. Tapi setelah terjadi gempa, harta kekayaan saya lenyap dalam sekejap. Dari situ saya sadar bahwa harta itu hanya titipan dan bisa lenyap kapan saja. Alhamdulillah, sekarang saya sadar bahwa urusan ibadah harus dinomorsatukan karena hanya itu yang bisa menyelamatkan kita nanti di akhirat.

1 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181008063504-20-336500/protes-warga-palu-untuk- festival-nomoni-era-pasha-ungu diakses pada tanggal 15 Juli 2021.

(10)

10 Berdasarkan fakta-fakta tersebut, peneliti memahami bahwa peristiwa bencana telah melahirkan sebuah kesadaran baru dan berbagai bentuk penghayatan individu korban bencana serta mampu membentuk sikap beragama melalui proses internalisasi nilai-nilai agama ke dalam diri seseorang

Berbeda dengan pandangan pertama, sebagian lainnya meyakini bahwa bencana tersebut merupakan peristiwa alam yang tidak bisa dihindari yaitu akibat dari pergeseran lempengan sesar Palu Koro. Pandangan seperti ini umumnya didasarkan pada informasi dari para ahli kebencanaan dan fakta-fakta terkait topografi wilayah di Sulawesi Tengah. Penjelasan ilmiah, misalnya, disampaikan oleh Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Sukmandaru Prihatmoko:

…bahwa gempa yang mengguncang Donggala, Sulawesi Tengah, terkait dengan patahan atau sesar Palu Koro. Patahan atau sesar Palu Koro itu membelah dari kota Palu ke selatan maupun ke utara. Sesar Palu Koro adalah patahan yang arahnya hampir ke utara bagian barat dan ke arah selatan. Patahan ini membelah Kota Palu Patahan yang memanjang ke utara itu menyusur pantai dan kemudian masuk ke laut. Sementara, patahan yang ke arah selatan membelah Pulau Sulawesi, kemudian belok ke timur ke arah Sesar Matano.

Teori mengatakan pergerakan lempeng tektonik inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya gempa dan tsunami.

2

Kesadaran atas bencana sebagai siklus hidup sebenarnya merupakan bagian penting dalam memori panjang masyarakat Palu. Masyarakat Palu cukup akrab dengan peristiwa bencana seperti gempa dan tsunami. Catatan 7 peristiwa bencana dahsyat sejak 1905 hingga sekarang merupakan bagian penting dalam siklus hidup mereka. Riset-riset tentang kebencanaan juga semakin memperkuat kenyataan bahwa Kota Palu merupakan wilayah rawan bencana sehingga dibutuhkan upaya- upaya mitigasi yang baik dan berkelanjutan. Kesadaran tentang itu, misalnya, diungkapkan oleh SR (45th):

Kita harus sadar bahwa kota Palu merupakan wilayah rawan gempa. Itu tidak bisa dihindari. Yang paling penting, menurut saya, adalah mengedukasi masyarakat bahwa sebagai wilayah rawan bencana, kita selalu harus mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan terburuk. Oleh karena itu, kita harus percaya pada ilmu pengetahuan dan juga tidak mengabaikan nilai- nilai keagamaan. Dua-duanya harus sejalan.

Meski demikian, patut dicatat bahwa kesadaran masyarakat Palu tentang bencana sebagai peristiwa alam tidak bisa dilepaskan dari kesadaran mereka terhadap nilai-nilai agama. Oleh karena itu, perlu upaya menghubungkan antara keduanya sebagai bagian dari upaya membangun kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi setiap bencana alam yang tidak diprediksi.

Selain dua pandangan tersebut, sebagian besar menganggap bencana gempa dan tsunami tersebut sebagai ujian dari Allah. Pandangan dominan tersebut tidak terlepas dari pengaruh kelompok-kelompok muslim yang secara populasi

2 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181008063504-20-336500/protes-warga-palu-untuk- festival-nomoni-era-pasha-ungu diakses pada tanggal 15 Juli 2021.

(11)

11 merupakan kelompok mayoritas di Kota Palu. Mereka meyakini bahwa gempa bumi dan tsunami merupakan "skenario" dari Tuhan untuk menguji umat Islam.

Kelompok ini juga menyakini bahwa penjelasan sains dan agama terkait bencana tidak perlu dipertentangkan. Keduanya bisa berjalan beriringan dan saling melengkapi satu sama lain. Dengan begitu, ekspresi keberagamaan yang didasarkan pada pengetahuan/sains bisa menjadi modal utama dalam upaya mempersiapkan diri menghadapi bencana.

2. Solidaritas

Peristiwa bencana tak hanya mengubah perilaku beragama, tetapi juga membentuk kesadaran baru di masyarakat pascabencana yaitu solidaritas sosial.

Solidaritas adalah suatu kesadaran akan kepentingan bersama, sikap empati, sebagai salah satu bagian dari kelompok/komunitas yang sama untuk bekerja bersama. Pengalaman-pengalaman menghadapi bencana di masa lalu turut andil dalam membangun kesadaran tersebut. Masyarakat mulai membentuk pengetahuannya sendiri dalam upaya meminimalisir dampak dari suatu bencana di masa depan dan berushaa memahami keberadaannya di dunia ini. Masyarakat juga mulai merubah persepsi mereka tentang bencana. Tak hanya sebagai teguran dan ujian, bencana harus dihadapi sebagai sebuah kenyataan hidup. Masyarakat harus lebih siap dengan segala resiko terburuk dari setiap bencana. Kesadaran tersebut, misalnya, diungkapkan oleh AH (47th):

…sebagai warga yang hidup di wilayah bencana, kita harus selalu siap siaga dalam menghadapi resiko bencana. Kita harus siap dari sekarang, sebelum bencana tiba. Kita harus bersatu, tidak boleh egois dan saling menyalahkan.

Selain percaya pada pengetahuan, kita juga harus memperbaiki diri kita di hadapan sang Pencipta supaya hidup kita berkah dan dijauhkan dari segala bencana.

Peristiwa bencana mampu membentuk solidaritas masyarakat dalam upaya membantu korban dan juga memitigasi potensi bencana yang akan datang. Bencana juga memberi ruang baru bagi masyarakat untuk lebih peduli dan kreatif sehingga terbentuk jalinan kelompok yang solid dan tangguh. Solidaritas masyarakat juga nampak pada aktivitas keagamaan yang semakin semarak pascabencana. Misalnya, hal itu bisa diamati dari intensitas dan jumlah masyarakat muslim yang datang ke tempat ibadah. Masyarakat juga semakin aktif menggelar pembelajaran al-Qur’an dan hukum Islam, pengajian rutin, yasinan dan tahlilan. Solidaritas tersebut juga ditunjukkan melalui kepedulian terhadap mereka yang tertimpa musibah ataupun sakit. Solidaritas lain juga ditunjukkan oleh para nelayan berupa sedekah tangkapan ikan atau uang kepada anak yatim, masjid, dan balai pengajian.

3

3. Hubungan Antaragama

Dalam konteks hubungan antaragama, masyarakat Palu Nampak sangat heterogen, baik dari aspek suku maupun agama dan kepercayaan yang dianut.

Meski demikian, persaingan antara kelompok misionaris dan para pendakwah muallaf juga terus terjadi, khususnya di wilayah-wilayah pegunungan yang dihuni

3 Darmawansyah, Darmawansyah, and Hairuddin Cikka. "Makna Beragama Pascagempa,

Tsunami, Dan Likuifaksi (Studi Atas Masyarakat Palu, Sigi, Dan Donggala)." Jurnal Penelitian

Agama 21.2 (2020): hlm. 210.

(12)

12 oleh kelompok masyarakat adat. Umumnya, mereka tidak menganut agama resmi dari 6 agama resmi yang diakui oleh negara tetapi masih berpegang pada paham animisme dan dinamisme. Kontestasi perebutan jama'ah masih terus berlangsung sampai sekarang. BD (37th) menuturkan:

...di pegunungan Suku Lauje di Desa Babong, hidup sekelompok masyarakat adat. Mereka umumnya tidak menganut agama resmi. Akses ke kampung tersebut sangat sulit. Tapi, para misionaris dari LN dan lokal punya seribu cara untuk sampai ke sana. Bahkan, mereka menggunakan helikopter untuk sampai ke perkampungan. Mereka ambil warga lokal, dididik jadi pastor kemudian dikembalikan ke kampung itu. Kami, para pendakwah muallaf hanya bisa menggunakan motor trail. Itu pun dengan resiko jatuh atau tergelincir.

Pasca kedatangan para misionaris dan pendakwah muslim, suku Lauje kebanyakan mulai menganut satu dari dua agama resmi yaitu Islam dan Kristen.

Umumnya, mereka memilih beragama atas pilihan sendiri dan atas restu para Tuaka (orang yang dituakan). Tak jarang juga terjadi penolakan meskipun tidak sampai menimbulkan konflik atau perpecahan. Meskipun berbeda pilihan keyakinan, hubungan kekerabatan dan persaudaran di antara mereka masih terjalin dengan baik. Bahkan, dalam perayaan keagamaan ataupun ritual siklus hidup, misalnya, mereka tetap bisa saling bekerjasama dan saling membantu satu sama lain. BD (37th) mencontohkan bahwa dalam pembagian daging kurban oleh pihak muslim, mereka yang beragama Kristen juga mendapatkan bagian.

Pascagempa 2018, mereka yang beragama Islam (muallaf) ikut serta menggelar doa bersama yang diselenggarakan di Pesantren Ar-Rayan di Desa Babong. Dalam acara tersebut, hadir sekitar 700 KK dan beberapa tokoh agama nasional dan lokal.

Dalam pandangan mereka, peristiwa gempa dan tsunami yang terjadi di Palu tidak terlepas dari tiga pandangan mainstream yang dipaparkan sebelumnya. Meski sebatas dugaaan, mereka juga menganggap ritual balia suku Kaili sebagai salah satu pemicu terjadinya bencana, baik sebagai teguran maupun sebagai ujian.

4. Kesadaran Ekologi

Bencana alam telah menyebabkan terjadinya perubahan kondisi geografi.

Kondisi alam dan ekosistem juga turut mengalami degradasi sehingga berpotensi menebar ancaman lain bagi keselamatan manusia, seperti bencana longsor dan banjir, baik dalam skala kecil maupun besar. Oleh karena itu, kesadaran ekologi menjadi penting bagi masyarakat. Dalam penelitiannya, Hutabarat dkk (2019) menemukan bahwa secara umum warga warga Palu dan sekitarnya di Sulawesi Tengah masih belum sepenuhnya memahami konsep bangunan tahan gempa khususnya untuk rumah tinggal sederhana. Oleh karena itu, masyarakat diedukasi dan diberi assemen terhadap rumah hunian mereka. Hasilnya, warga memiliki pemahaman yang baik terkait konsep bangunan tahan gempa secara umum.

Mereka juga mulai sadar pentingnya konstruksi ulang rumah tinggal mereka agar lebih tahan gempa.

4

4 Hutabarat, Lolom Evalita, Pinondang Simanjuntak, and S. Tampubolon. "Peningkatan Kesadaran

Masyarakat terhadap Kerusakan Bangunan dan Lingkungan Pasca Gempa, Tsunami dan Likuifaksi

di Palu Sulawesi Tengah." JURNAL Comunità Servizio: Jurnal Terkait Kegiatan Pengabdian

(13)

13 5. Kesimpulan

Kejadian bencana alam berupa gempa bumi yang melanda pulau Lombok pada tahun 2018 telah memberikan kesempatan bagi kelompok muslim wetu telu di sana untuk merefleksikan kembali cara hidup yang mereka praktekkan berdasarkan tuntunan tradisi yang dilestarikan secara turun temurun. Cara hidup mereka yang erat dengan alam, seperti membangun rumah dengan material ramah lingkungan, memberikan mereka keuntungan tersendiri dalam kaitannya dengan mitigasi bencana. Dalam hal ini, meskipun tinggal pada wilayah geografis yang dihantam gempa dengan skala yang paling tinggi, kelompok masyarakat muslim wetu telu cenderung mampu menghadapi bencana dengan relative lebih mudah dibandingkan dengan masyarakat sasak di Lombok pada umumnya.

Terlepas dari menguatnya sentimen kembali ke alam yang menguat paska terjadinya bencana di pulau Lombok, bagi masyarakat muslim wetu telu di sana, sentimen tersebut pada dasarnya mengandung makna yang lebih dalam daripada sekedar mempromosikan cara hidup yang sadar akan kelestarian lingkungan. Bagi masyarakat muslim wetu telu, hal ini berarti kembali pada cara hidup yang diturunkan dari tradisi turun temurun yang telah lama mulai digerus oleh modernisasi yang turut serta dibawa oleh gelombang dakwah dari kelompok muslim mayoritas waktu lima.

Di Kota Palu, bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada tahun 2018 juga turut membentuk persepsi masyarakat tentang bencana dan memengaruhi perilaku beragama mereka di masyarakat pascabencana.

Secara garis besar, ada 3 pandangan umum yang kita temukan. Pertama, sebagian besar menyakini bencana tersebut sebagai bentuk teguran dari Allah Swt atas berbagai perilaku menyimpang di masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat dianggap perlu untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt dan menjauhi berbagai perilaku syirik. Mereka meyakini bahwa semakin dekat mereka dengan Tuhan maka mereka semakin dijauhkan dari segala bencana. Kedua, sebagian lainnya meyakini bahwa bencana tersebut adalah akibat dari pergeseran lempengan sesar Palu Koro yaitu suatu perisitiwa alam yang tidak bisa dihindari. Pandangan seperti ini umumnya didasarkan pada sumber-sumber pengetahuan empiris dan fakta-fakta bencana yang selama ini terjadi di Sulawesi Tengah. Ketiga, pandangan kelompok muslim yang melihat bencana tersebut sebagai bentuk ujian dari Allah Swt. Pada dasarnya, ketiga pandangan tersebut telah membentuk suatu sikap beragama yang unik di kalangan masyarakat yang diekspresikan dalam berbagai bentuk religiusitas.

Pascagempa dan tsunami, terjadi perubahan sikap beragama di kalangan masyarakat Kota Palu yaitu aspek religiusitas, solidaritas, hubungan antaragama dan kesadaran ekologi. Keempat kesadaran dan sikap tersebut cenderung menguat dan berdampak positif di kalangan masyarakat korban bencana.

kepada Masyarakat, terkhusus bidang Teknologi, Kewirausahaan dan Sosial Kemasyarakatan 1.2

(2019): 208-222.

(14)

14 Daftar Pustaka

Agus Indiyanto and Arqom Kuswanjono, eds. 2012. Kajian Integratif Ilmu, Agama, Dan Budaya. Cet. 1. Bandung: Kerja sama Mizan Pustaka [dan]

Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Dani Muhtada. 2012. “Respon Komunitas Keagamaan Di Porong Terhadap Bencana Lumpur Sidoarjo: Melacak Akar Teologis.” in Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya. Bandung: Mizan Pustaka dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Djadjat Sudradjat. 2018. “Terbunuhnya Akal Sehat.” Retrieved August 16, 2019 (https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1331-terbunuhnya- akal-sehat).

Hesse-Biber, Sharlene Nagy and Burke Johnson, eds. 2015. The Oxford

Handbook of Multimethod and Mixed Methods Research Inquiry. Oxford ; New York: Oxford University Press.

Imron and Hidayat. 2012. “Interpretasi Pesantren Atas Banjir: Studi Atas Pondok Pesantren Darun Najah Situbondo.” in Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya. Bandung: Mizan Pustaka dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Lei Sun, Yan Deng, and Wenhua Qi. 2018. “Two Impact Pathways from

Religious Belief to Public Disaster Response: Findings from a Literature Review.” International Journal of Disaster Risk Reduction 27:588–95.

Meredith B McGuire. 2008. Religion: The Social Context. Belmont, CA:

Wadsworth Thomson Learning.

Moch. Nur Ichwan. 2012. “Eko-Teologi Bencana, Aktivisme Sosial Dan Politik Kemaslahatan: Perspektif Islam.” in Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya. Bandung: Mizan Pustaka dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Mohammad Rokib. 2012. “The Significant Role of Religious Group’s Response to Natural Disaster in Indonesia: The Case of Santri Tanggap Bencana (Santana).” in Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya. Bandung:

Mizan Pustaka dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Novia Budi Parwanto and Tatsuo Oyama. 2014. “A Statistical Analysis and Comparison of Historical Earthquake and Tsunami Disasters in Japan and Indonesia.” International Journal of Disaster Risk Reduction 7:122–41.

Nur Wahid Sofyan. 2012. “Potensi Konflik Pasca Bencana: Komunitas Islam Dan Katolik Di Desa Ngargomulyo.” in Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya. Bandung: Mizan Pustaka dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Roni ’Abdul Fattah. n.d. “Membedah Hakikat Bencana Alam Dalam Al-Qur’an – Pondok Pesantren Daarut Tauhiid.” Retrieved August 1, 2019

(http://www.daaruttauhiid.org/membedah-hakikat-bencana-alam-dalam-al-

quran/).

(15)

15 Suranto. 2012. “Buddhisme Theravada Dan Gempa Bumi: Respon Umat Buddha

Di Gatak, Kotesan, Klaten Terhadap Gempa Bumi 27 Mei 2006.” in Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya. Bandung: Mizan Pustaka dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana

Universitas Gadjah Mada.

Umi Rohmah. 2012. “Resiliensi Dan Sabar Sebagai Respon Pertahanan Psikologis Dalam Menghadapi Post-Traumatic.” Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies 6(2):312–30.

Wignyo Adiyoso and Hidehiko Kanegae. 2013. “The Preliminary Study of the

Role of Islamic Teaching in the Disaster Risk Reduction (A Qualitative

Case Study of Banda Aceh, Indonesia).” Procedia Environmental Sciences

17:918–27.

Referensi

Dokumen terkait

Susunan stratigrafi daerah penyelidikan dari tua kemuda untuk batuan Pra Tersier adalah Kelompok Balaisebut, Kompleks Embuoi dan Kelompok Selangkai; Seri Batuan Tersier adalah

Pada sisi reheater katup pengaman diset lebih rendah dari pada sisi masuknya dengan tujuan yang sama% yaitu men$egah pipa reheater o6erheat Banyaknya katup pengaman dengan ukuran

menganalisa faktor-faktor tambahan apa saja yang merupakan persyaratan, yang mempengaruhi pemilihan pemenang yang ditunjuk oleh ULP dan persentase perbandingan antara

Setelah pembuatan kisi-kisi dan butir-butir pernyataan, tahap berikutnya adalah dengan melakukan penilaian terhadap instrumen yang telah dikembangkan. Penilaian ini dilakukan

Pengujian tegangan regangan beton dilakukan dengan cara memberi beban pada benda uji beton silinder sampai mencapai kondisi failure (inelastis).Dari keseluruhan

Hal ter- sebut dapat dilihat dari perkembangan jumlah pedagang warung HIK yang mengalami peningkatan cukup signifikan dari tahun ke tahun, kemampuan berkembang dan

Dari Gambar 3.3 tersebut dapat diketahui bahwa biomassa bulu ayam teraktivasi dengan ukuran 30 mesh memiliki kemampuan menyerap krom maupun tembaga lebih tinggi