10 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) 2.1.1 Definisi
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu penyakit yang tidak menular dengan angka mortalitas dan morbiditas yang cukup tinggi. COPD saat ini beresiko untuk semua kalangan, terutama pada usia dewasa dan lansia (Kholifah 2018). Menurut Rab dalam Lilyana (2018), mengatakan bahwa COPD dapat menyebabkan obstruksi saluran pernafasan yang bersifat ireversibel, sehingga dapat mempengaruhi aliran udara pernafasan yang sifatnya progresif sebagai respon peradangan yang tidak normal. Pada kondisi tertentu dapat terjadi perburukan fungsi nafas sehingga dapat menyebabkan terjadinya gagal nafas. COPD dapat ditandai dengan keterbatasan aliran udara pada saluran udara dan memiliki dampak yang besar terhadap fungsi fisik, psikologis dan sosial. Pada pasien COPD memiliki gejala utama yaitu dyspnea (Tabak 2014). Menurut GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2018, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah penyakit umum, dapat dicegah dan diobati yang ditandai dengan gejala pernapasan persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan karena kelainan saluran napas dan/atau alveolus. COPD biasanya disebabkan oleh paparan signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya. Hambatan jalan napas pada COPD disebabkan oleh obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim paru (emfisema).
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah salah satu penyakit tidak menular yang disebabkan oleh perilaku merokok yang menjadi masalah kesehatan masyarakat (Kusumawardani 2017). Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah suatu penyakit yang mempunyai karakteristik keterbatasan saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible dan dapat
dicegah keterbatasan saluran nafas yang dialami biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi yang disebabkan bahan atau gas yang merugikan. COPD bukan penyakit tunggal tapi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyakit paru yang kronis yang dapat menyebabkan keterbatasan aliran udara dalam paru. Kelainan utama yang tampak pada orang dengan COPD adalah bronkitis, emfisema dan asma (el Naser, 2016). COPD sendiri ditujukan untuk mengelompokkan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala berupa terhambatnya aliran udara pada pernafasan. Penyakit yang mengakibatkan masalah terhambatnya arus udara bisa disebabkan pada saluran perafasan ataupun pada parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimkasud adalah bronkitis kronik (masalah pada saluran peranfasan), emfisema (masalah pada prenkim) begitu pula asma bronkial kronik, fibrosiskistik dan bronkiektasis. Kasus obstruksi aluran udara pada saat ekspirasi dapat digolongakan sebagai COPD apabila obstruksi udara tersebut cenderung progresif. Kedua penyakit tadi (bronkitis kronik dan emfisema) dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit COPD apabila keparan penyakitnya telah berlanjut dan obstruksinya bersifat progresif (Djojodibroto, 2009: 120).
2.1.2 Etiologi
Berdasarkan GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2018, Meskipun merokok adalah faktor risiko COPD yang paling banyak diteliti, itu bukan satu-satunya faktor risiko dan ada bukti yang konsisten dari studi epidemiologi bahwa non-perokok juga dapat mengembangkan batasan aliran udara kronis. Menurut Kholifah (2018) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab yang menyebabkan COPD yaitu faktor genetik, riwayat penyakit infeksi pernafasan, jenis kelamin, usia, asap rokok serta polusi udara.
Menurut el Naser (2016) mengatakan pada penelitian yang dilakukan pada tahun 1990 sampai 2004 pada 28 negara prevalensi COPD lebih tinggi terjadi pada pasien yang merokok dibandingkan bukan perokok. Menurut data WHO 2008 diketahui bahwa merokok merupakan penyebab utamaterjadinya COPD. Menurut Ghobain dalam Kusumawardani (2017) menyatakan prevalensi COPD diperkirakan akan meningkat meningkatnya faktor penyebabnya seperti kebiasaan merokok, polusi udara serta lingkungan yang belum dapat dikendalikan dengan baik.
2.1.3 Patofisiologi
Menurut Djojodibroto (2009: 121) patofisiologi terjadinya obstruksi adalah peradangan pada saluran pernafasan yang kecil. Pada COPD yang stabil, terdapat ciri perdangan yang dominan adalah banyaknya sel neutrofilik yang ditarik oleh interleukin 8. Walaupun jumlah limfosit meningkat, namun yang meningkat hanya sel T CD8 helper tipe 1. Berbeda pada asma, yang dominan adalah eosionofil, sel mast, dan sel T CD4 helper tipe 2. Ketika terjadi eksaserbasi akut pada COPD, jumlah eosinofil meningkat 30 kali lipat. Perbedaan jenis sel yang menginfiltrasi inilah yang menyebabkan perbedaan respon terhadap kortikosteroid. Penurunan FEV1, per ttahun pada COPD adalah antara 50-70 mL/detik. Jika akhirnya FEV1 menjadi di bawah 1 liter, angka kesakitannya mencapai 10%.
Menurut GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2018, sekarang ada pemahaman yang baik tentang bagaimana proses penyakit yang mendasari pada COPD mengarah ke karakteristik kelainan dan gejala fisiologis. Misalnya, peradangan dan penyempitan saluran udara perifer menyebabkan penurunan FEV1. Penghancuran parenkim karena emfisema juga berkontribusi terhadap pembatasan aliran udara dan menyebabkan penurunan transfer gas. Ada juga bukti
yang muncul untuk menunjukkan bahwa selain penyempitan jalan napas, ada hilangnya saluran udara kecil, yang dapat berkontribusi terhadap keterbatasan aliran udara.
Chronic Obstructive Pulmonaly Disease atau biasa disebut COPD merupakan keadaan yang diandai dengan kelemahan kemampuan bernafas, mereka yang menderita COPD akan merasakan akibat dari kurangnya oksigen. Penurunan kadar oksigen dalam sirkulasi serta pada jaringan tubuh, menempatkan pasien pada resiko tinggi terhadap beberapa kondisi serius lainnya. Bila COPD menunjukkan keadaan ketidak seimbangan antara perbaikan paru dan mekanisme pertahanan diri sehingga menyebabkan fibrosis pada jalan nafas perifer, sehingga dapat menyebabkan rusaknya struktur bronkiolus dan melebarnya alveoli yang nantinya akan menyebabkan tahanan dijalan nafas perifer, sehingga memperberat penyempitn jalan nafas akibat adanya edema dan hiperesekresi mucus ((Brunner & Suddarth, dikutip dalam Wahyuni 2017)).
2.1.4 Tanda dan Gejala
Pasien dengan penyakit COPD akan mengalami keluhan berupa batuk kronis yang disertai dengan sputum dan sesak nafas yang disebabkan karena adanya gangguan yang terjadi pada fungsi paru (Schermer & Leenders, dikutip dalam Awalin, 2018). Ketika fungsi paru memburuk dan penyakit pada pasien PPOK bertambah parah, maka resiko terjadinya hipoksia juga akan semakin meningkat. Menurut Kholifah (2018) menyatakan bahwa keterbatasan aktivitas merupakan keluhan utama yang mempunyai dampak pada kualitas hidup pasien yang telah di diagnosa COPD. Manifestasi sistemik penderita COPD yaitu inflamasi sistemik, penurunan berat badan, meningkatnya resiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis serta depresi. Sesak nafas yang muncul pada penderita COPD dapat meneybabkan penderita PPOK menjadi
panik, cemas hingga frustasi. Keseluruhan dampak yang telah di sebutkan merupakan penyebab utama pasien COPD untuk mengurangi aktivitas fisiknya.
Orang dengan COPD dalam keadaan normal akan terlihat gejala dyspneu, batuk serta berdahak. Jika pasien COPD terjadi ekserbasi akut makan akan menyebabkan ketiga gejala tersebut semakin bertambah (Lilyana 2018). Tanda dan gejala pada penderita COPD yang paling dominan adalah sesak nafas yang sering kali dimulai saat melakuakan aktivitas (Muttaqin, dikutip dalam Purwanti 2016). Seringkali gejala dari COPD disertai batuk produktif yang mungkin mengahasilkan sputum. Gejala umum bersifat progresif dengan sesak nafas yang semakin berat serta berkurangnya toleransi aktivitas (Jeremy, dikutip dalam Purwanti, 2016).
Dispnea kronis dan progresif adalah gejala COPD. yang paling khas. Batuk dengan produksi dahak hadir hingga 30% dari pasien. Gejala-gejala ini dapat bervariasi dari hari ke hari 2 dan dapat mendahului perkembangan pembatasan aliran udara selama bertahun-tahun. Individu, terutama mereka yang memiliki faktor risiko COPD, menunjukkan gejala-gejala ini harus diperiksa untuk mencari penyebab yang mendasari. Gejala-gejala pasien ini harus digunakan untuk membantu mengembangkan intervensi yang tepat. Keterbatasan aliran udara yang signifikan juga dapat hadir tanpa dispnea kronis dan atau batuk dan produksi dahak dan sebaliknya. Meskipun COPD didefinisikan berdasarkan pembatasan aliran udara, dalam praktiknya keputusan untuk mencari bantuan medis biasanya ditentukan oleh dampak gejala pada status fungsional pasien. Seseorang dapat mencari pertolongan medis baik karena gejala pernapasan kronis atau karena episode akut dan sementara dari gejala pernapasan yang memburuk. (GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2018).
Bersasarkan (GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2018) terdapat 4 klasifikasi derajat COPD yaitu :
Stage I : COPD ringan FEV1 ≥ 80%
Dengan atau tanpa keluhan batuh kronis (batuk, sputum produktif). Stage II : COPD sedang
50% ≤ FEV1 < 80%
Dengan keluhan nafas pendek terutama saat latihan, terkadang ada keluhan batuk dengan seputum produktif.
Stage III : COPD berat 30% ≤ FEV1 < 50%
Keluhan nafas pendek bertambah, kemampuan latihan berkurang, lelah, dan eksaserbasi berulang hingga mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Stage IV : COPD Sangat Berat FEV1 < 30%
Gejala gagal jantung kanan dan atau pulmonal. Kualitas hidup sangat terganggu dan eksasrbasi bisa menyebabkan kematian.
2.1.5 Penatalaksanaan
Menurut Djojodibroto (2009: 124) mengatakan walaupun tidak dapat disembuhkan dan sering menjadi ireversible, dapat diupayakan agar progresifitas perburukan fungsi pernafasan diperlambat serta exercise tolerance ditingkatkan. Penatalaksanaan PPOK antara lain dapat dilakukan penghentian merokok, pemberian imunisasi terhadap influenza, pemberian vaksin pneumokokus, pemberian antibiotik, bronkodilator serta kortikosteroid, pemberian terapi oksigen, pengontrolan sekresi,
serta latihan dan rehabilitas yang berupa latihan fisik, latihan nafas khusus serta bantuan psikis. Pemberian terapi oksigen diyakini dapat mengurangi resiko terjadinya kor pulmonale. Sedangkan upaya mengontrol sekresi dilakukan dengan pencukupan asupan cairan dan kelembabapan, drainase postural, dan pemberian obat mukolitik untuk mengencerkan sekret.
2.2 Self Management 2.2.1 Definisi
Self management adalah sebuah proses dimana pasien mengarahkan sendiri perubahan tingkah lakunya dengan strategi terapeutik. self-management juga merupakan serangkaian teknis untuk mengubah atau mengontrol perilaku, pikiran, dan perasaan seseorang. Self-management bisa disebut sebagai suatu strategi kognitif behavioural yang bertujuan untuk membantu klien agar dapat mengubah perilaku negatifnya dan mengembangkan perilaku positifnya dengan jalan mengamati diri sendiri (Ilmi, 2018). Self management adalah suatu pengaturan diri terhadap penyakit dalam bentuk perawatan diri yang terpusat pada pengontrolan diri terhadap faktor yang dapat memperparah kondisi pasien (Oktarinda, 2014). Self-management juga dapat diartikan sebagai kemampuan pasien untuk menghadapi penyakit kronis. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan pasien untuk melakukan self management misalnya, tingkat keparahan penyakit pasien, depresi, pendidikan, faktor psikologis dan etnis (Jordan, 2015). Self-management dapat didefinisikan secara berbeda-beda, namun secara umum hal ini dideskripsikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengatur gejala-gejala, pengobatan, konsekuensi fisik dan psikis, serta perubahan gaya hidup individu dengan penyakit kronis (Lennon, 2013).
Menurut Sell (2016) menyatakan bahwa self management adalah proses belajar untuk menggabungkan keterampilan dan pengetahuan pasien yang dibutuhkan untuk
perawatan diri. Proses ini memberdayakan pasien sebagai klien yang dibimbing tentang manajemen gejala dan pengurangan faktor resiko terhadap penyakitnya. Self management juga artikan sebagai perawatan yang dilakuakn individu terhadap kesehatannya yang terdiri dari tindakan yang mereka lakukan untuk melaksanakan gaya hidup sehat guna memenuhi kebutuhan sosial, emosional dan psikologis mereka dan bertujuan untuk mencegah penyakit semakin parah dengan mengurangi gejalanya (Eikelenboom, 2015). Program self management dikembangakan untuk mendukung pasien dengan penyakit kronis, salah satunya adalah penyakit COPD (Isnaini, 2018).
Perilaku self management dapat dilakukan dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk melakukan pengontrolan terhadap penyakit, pengelolaan gejala, pengobatan, konsekuensi fisik, psikososial dan perubahan gaya hidup (Weiler & Janice, 2007, dikutip dalam Ernawati, 2015). Self management melibatkan kolaborasi antara tenaga perawat profesional dan pasien, sehingga pasien dapat memperoleh pengetahuan dan eterampilan yang diperlukan untuk mengelola kesehatan dirinya dan mengingkatkan kontrol terhadap penyakit mereka (Jordan, 2015). Kepatuhan terhadap self management pada penyakit kronis sangat penting untuk mencapai hasil peningkatan kesehatan, kualitas hidup, serta perawatan kesehatan yang hemat biaya (Hamine, 2015). Penerapan self management yang baik dapat menurunkan risiko terjadinya komplikasi, mengurangi kejadian hospitalisasi dan angka kematian akibat penyakit kronik (Mayberry, & Osborn, 2012 dalam Damayanti, 2014).
Kemampuan manajemen diri diperlukan untuk mengelola kesejahteraan fisik dan sosial agar tercapai, terpelihara, dan terpulihkan saat hilang. Enam kemampuan manajemen diri diperlukan untuk membentuk gabungan dari kemampuan manajemen diri atau self management ability. Enam kemampuan itu adalah :
1. Kemampuan untuk memastikan sumber daya multifungsi (kemampuan untuk mendapatkan dan memelihara sumber daya)
2. Kemampuan untuk mempertahankan variasi dalam sumber daya (kemampuan untuk mencapai dan mempertahankan berbagai macam sumber daya)
3. Kemampuan untuk menjaga kerangka berpikir positif (kemampuan mempertahankan prespektif tentang masa depan)
4. Kemampuan untuk berinvestasi dalam sumber daya untuk manfaat jangka panjang
5. Kemampuan memanfatkan sumber daya terhadap diri sendiri (kemampuan untuk mendapatkan dan mempertahankan kepercayaan pada kompetensi pribadi untuk mencapai kesajahtaraan)
6. Kemampuan untuk mengambil inisiatif (kemampuan untuk memotivasi diri sendiri)
2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Self Management
Faktor-faktor yang mempengaruhi self management pada pasien penyakit kronis diantaranya adalah :
1. Personal atau karakteristik gaya hidup
Pada faktor personal atau karakteristik gaya hidup yang mempengaruhi manajemen diri termasuk ; pengetahuan, kepercayaan (budaya, spiritual dan
kesehatan), tekanan psikologis, motivasi dan pola hidup (Schulman‐Green 2016)
a. Pengetahuan
Pengetahuan tentang proses penyakit, peran obat–obatan dan rencana pengobatan mereka untuk keberhasilan dalam kemampuan mengelola diri sendiri adalah penting. Yang paling penting pasien perlu tau bagaimana cara menerapkan pengetahuan manajemen diri untuk kehidupan mereka (Schulman‐Green 2016). Dalam penelelitian
Dwarswaard (2016) menyetakan bahwa pasien mebutuhkan informasi
dari seorang ahli tentang diagnosis, gejala, pemilahan pengobatan serta instruksi tentang cara mengurangi gejala penyakitnya sendiri. Dukungan instrumental yang berisi pengetahuan, informasi dan instruksi harus segera tersedia setelah gejala timbul atau ketika ada masalah terkait obat-obatan. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa informasi yang diberikan oleh kerabat adalah sebuah hal yang penting. b. Keyakinan (budaya, spiritual dan kesehatan)
Keyakinan dan tradisi budaya yang dianut jika mengalami ketidak sesuain antara keyakinan budaya dan praktek manajemen diri, maka dapat mempengaruhi manajemen diri pada pasien penyakit kronis (Schulman‐Green 2016).
Keyakinan spiritual pada pasien penyakit kronis dapat berdampak positif dan negatif pada chronic disease self management. Dampak postifnya mereka dapat menerima perubahan yang dihsilkan hidup, selain itu do’a dan keyakinan spiritual individu dapat menimbulkan rasa percaya diri dalam manajemen diri. Sedangkan dampak negatifnya yang disebut
sebagai potensi untuk manajemen diri misalnya, keyakinan spiritual tentang penyebab penyakit bisa mempengaruhi pilihan individu mengenai pilihan untuk melakukan pengobatan atau tidak (Schulman‐ Green 2016).
Keyakinan kesehatan yang bisa sebagai fasilitator dan hambatan untuk manajemen diri. Kontrol atas penyakit dan gejala di identifikasikan sebagai fasilitator penting dari manajemen diri. Keyakinan negatif terhadap manajemen diri, seperti percaya bahwa manajemen diri atau pengobatan dapat memakan waktu, dapat mengurangi rasa nyaman pasien, membutuhkan kerja keras (Schulman‐ Green 2016).
c. Tekanan psikologis
Tekanan psikologis pasien dapat mempengaruhi manajemen diri mereka. Seperti stress, tekanan dan peran ganda, ketakutan, kecemasan dan gangguan mood (Schulman‐Green 2016).
d. Motivasi
Motivasi dan ketekunan dapat mempengaruhi ketekunan dengan upaya manajemen diri (Schulman‐Green 2016).
e. Pola hidup
Hidup yang tidak terstruktur dapat menghambat kemampuan untuk memelihara rutinitas perawatan kesehatan (Schulman‐Green 2016).
2. Sumber daya
Sumber daya yang dapat mempengaruhi manajemen diri adalah keuangan, peralatan dan dukungan sosial (Schulman‐Green 2016). Ketidakmauan pasien untuk mengatasi dampak dari penyakit dapat disebabkan oleh ketidakpercayaaan diri yang dialami pasien, oleh karena itu beberapa studi menunjukkan bahwa pasien perlu seorang untuk membantu mereka membangun kepercayaan diri (Dwarswaard 2016).
3. Status kesehatan
Status kesehatan yang berpengaruh pada manajemen diri adalah tingkat keparahan penyakit, gejala, efek samping dari pengobatan, dan fungsi kognitif (Schulman‐Green 2016). Faktor psikososial pada pasien seperti keparahan yang dirasakan pada gejala rasa takut akan gejala yang semakin memburuk atau belum secara pulih mental atau fisik dapat mempengaruhi pasien dalam mengikuti program manajemen diri (Sohanpal 2016).
4. Karakteristik lingkungan
Yang termasuk dalam karakteristik lingkungan yang mempengaruhi manajemen diri pasien adalah kondisi rumah, pekerjaan yang dilakukan pasien, serta masyarakat sekitar pasien juga berpengaruh dalam manajemen diri pasien (Schulman‐Green 2016).
5. Sistem kesehatan
Akses menuju lokasi perawatan kesehatan, kemampuan untuk menjalankan sistem perawatan kesehatan dan menjamin kelangsungan perawatan, selain itu hubungan dengan penyedia layanan kesehtan juga dibutuhkan ketika pasien bingung dan bertanya-tanya apa yang harus mereka lakukan maka hubungan dengan penyedia layanan kesehatan dapat
dimanfaatkan sehingga mempengaruhi manajemen diri pasien (Schulman‐ Green 2016). Dukungan relasional yang berisi tentang hubungan pasien dengan profesional kesehtan dapat diperlakuakan sebagai seseorang yang membantu mereka untuk fokus pada kebutuhan mereka sendiri. Beberapa studi juga menunjukkan pasien ingin membangun kemitraan dengan peneyedia layanan kesehatan dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan dalam mengelola penyakit mereka (Dwarswaard 2016).
Sedangkan menurut Wu et .al, 2006 dikuttip dalam Ernawati, (2016) Self management dipengaruhi oleh motivasi yang ada pada diri pasien, selain itu menurut Gao, et.al, 2013; Ariani, 2011 dalam Ernawati, (2016) health belief, self efficacy, dan dukungan sosial juga mempengaruhi self management pasien dan faktor pengetahuan juga dapat mempengaruhi self management pasien (Kose & Gurkan, 2008 dikutip dalam Ernawati, 2016).
2.2.3 Self management pada Pasien COPD
Pedoman internasional untuk mengelola penyakit COPD menggunakan program self management sebagai bagian penting dari pengobatan COPD. Dukungan self management pada pasien adalah komponen yang diakui, dan telah menerima perhatian yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir di bidang COPD (Benzo, 2016). Program self management untuk pasien COPD didefinisikan sebagai pendekatan yang mendorong individu untuk membuat perubahan perilaku yang meningkatkan aspek sosial, emosional, kesehatan fisik mereka dan dengan hasil utama adalah peningkatan fungsi dan kualitas hidup (Cannon, 2016).
Self management pada pasien dengan COPD adalah sesuatu yang kompleks. Hal ini mengharuskan pasien untuk dapat melakukan pengelolaan dalam berbagai segi dari kondisi mereka setiap hari, termasuk dalam memahami dan memilih obat yang tepat
dengan teknik inhalasi yang benar, mengenali gejala eksaserbasi awal serta dorongan awal untuk pengobatan selama eksaserbasi. Sebuah survei yang dilakukan di Kanada pada tahun 2008 menyatakan bahwa meskipun pasien merasakan pengetahuan mereka tentang penyakit COPD itu baik, namun pada kenyataannya pengetahuan mereka tentang penyebab COPD, konsekuensi dari tidak mengikuti pengobatan, dan bagaimana cara mengatasi masa eksaserbasi bisa dibilang tidak memadai (Jordan, 2015).
2.3 Kualitas Hidup 1.3.1 Definisi
Kualitas hidup menurut WHO adalah suatu presepsi seseorang tentang keberadaannya dikehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai setempat dimana dia tinggal. Jadi dalam skala yang luas meliputi berbagai sisi kehidupan seseorang baik dari segi fisik, psikologis, kepercayaan pribadi, serta hubungan sosial untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya (Sulistyarini, 2013). Kualitas hidup merupakan suatu persepsi individu tentang posisinya dalam kehidupan yang berhubungan dengan cita-cita, pengharapan dan pandangan-pandangannya (Azizah, Baroya & Sandra 2016 dikutip dalam Sari, 2018). Kualitas hidup merupakan sesuatu yang bersifat subyektivitas dan multidimensi. Subyektivitas, mengandung arti bahwa kualitas hidup hanya dapat ditentukan dari sudut pandang pasien itu sendiri, sedangkan multidimensi bermakna bahwa kualitas hidup dipandang dari seluruh aspek kehidupan seseorang secara holistik meliputi aspek biologis, fisik, psikologis, sosiokultural dan spiritual (Rahman, 2016). Kualitas hidup adalah indikator penting untuk menilai keberhasilan intervensi pelayanan kesehatan, baik dari segi pencegahan maupun pengobatan. Kualitas hidup tidak hanya mencakup domain fisik, tetapi juga kinerja dalam memainkan peran sosial, keadaan emosional, fungsi intelektual dan kognitifserta perasaan sehat dan kepuasan hidup (WHO, 2004 dikutip dalam Alfian, 2017).
Pengingkatan kualitas hidup pada pasien tidak dapat jika hanya dilakukan melalui proses penyembuhan secara fisik, hal yang paling utama untuk dilakukan adalah meningkatkkan pemahaman pasien tentang penyakitnya, cara menangani penyakitnya dan merubah orientasi pemikiran pasien (Superkertia, 2016). Kualitas hidup merupakan salah satu hal yang penting untuk diperhatikan karena menurut konstitusi WHO tahun 1948, kesehatan meliputi kesehatan fisik, mental, serta sosial secara keseluruhan. Pengukuran kesehatan serta perawatan kesehatan tidak hanya ditunjukkan oleh perubahan frekuensi dan beratnya penyakit, melainkan juga harus meliputi kenyamanan hidup yang dapat dinilai melalui peningkatan kualitas hidup (Pangkahila, 2007 dikutip dalam Azizah, 2016). Kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan (health related quality of life/HRQOL) meliputi aspek fisik, psikologis, dan social, dari bidang kesehatan yang dipengaruhi oleh pengalaman pribadi seseorang kepercayaan, harapan serta persepsi (WHOQOL Group, 1998 dikutip dalam Sulistyarini, 2013).
2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Kualitas hidup dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah sosio demografi yaitu jenis kelamin, usia, suku / etnik, pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan. Kedua adalah medik yaitu lama menjalani hemodialisis, stadium penyakit, dan penatalaksanaan medis yang dijalani (Rahman, 2016). Penelitian Yuliaw, 2010 dalam Sagala, (2018) menemukan bahwa karakteristik individu yang terdiri dari pendidikan, pengetahuan, umur dan jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik. Yuliaw, 2010 dalam Sagala, (2018) juga menyatakan dalam penelitiannya bahwa beberapa peneliti lain juga menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas kehidupan secara signifikan adalah pendidikan, ras, dan status perkawinan. Kualitas hidup pasien dengan COPD memiliki sejumlah faktor penyebab, seperti merokok, gejal penyakit (sesak nafas, batuk
dan penurunan berat badan), disfungsi pernafasan, keparahan penyakit kecemasan dan depresi (Irianti, 2018).
2.3.3 Kualitas Hidup pada Pasien COPD
Penyakit COPD dapat menggangu gaya hidup pasien yang menyebabkan keterbatasan fisik, fungsional, sosial dan emosional yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien (Gunathunga, 2018). COPD juga menyebabkan sejumlah gejala yang melumpuhkan sehingga, kualitas hidup pasien COPD menunjukkkan penurunan dari waktu ke waktu (Rixon, 2017). Tujuan utama dari manajemen penyakit COPD adalah untuk meningktakan kualitas hidup pasien COPD (Tiemensma, 2016).
COPD merupakan salah satu penyebab gangguan pernafasan yang semakin sering dijumpai. Salah satu dampak negatif COPD adalah penurunan kualitas hidup pasiennya. Hal ini dikarenakan COPD atau penyakit paru kronik, progresif nonreversibel. Salah satu gejala COPD yaitu sesak nafas, akibat sesak nafas yang sering terjadi penderita menjadi panik, cemas dan frustasi sehingga penderita mengurangi aktifitas untuk menghindari sesak nafas yang menyebabkan penderita tidak aktif. Penderita akan jatuh dalam dekondisi fisik yaitu keadaan merugikan akibat aktifitas yang rendah dan dapat mempengaruhi sistem muskuloskletal, respirasi, kardiovaskular dan lainnya. Kemampuan penderita untuk aktivitas fisik juga menurun. Keadaan ini menyebabkan kapasitas fungsional menjadi menurun sehingga kualitas hidup juga menurun. Penderita PPOK juga sering mengalami COPD eksaserbasi akut yang akan memperburuk keadaan penderitanya (Restuastuti, 2015).