• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. GAMBARAN UMUM KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5. GAMBARAN UMUM KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

DI INDONESIA

Pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja, memeratakan distribusi pendapatan masyarakat, meningkatkan hubungan ekonomi regional dan mengusahakan pergeseran kegiatan ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. Pembangunan ekonomi merupakan prioritas utama bagi bangsa Indonesia dalam merealisasikan kesejahteraan masyarakat karena dengan lancarnya pelaksanaan pembangunan di bidang ekonomi, diharapkan akan secara langsung berpengaruh terhadap tingkat pendapatan masyarakat. Dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dipungkiri bahwa energi merupakan salah satu syarat utama, terutama setelah menjadi energi listrik.

Listrik merupakan tulang punggung bagi awal dan kelanjutan pengembangan industri dan tingkat hidup masyarakat. Hal ini dikarenakan energi listrik merupakan bahan bakar bagi industri sehingga tersedianya tenaga listrik akan memudahkan perkembangan industri yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu adanya penerangan listrik memungkinkan masyarakat melakukan aktivitas di malam hari yang akan dapat menambah penghasilan. Konsumen listrik dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama merupakan kelompok konsumtif, termasuk di sini adalah rumahtangga yang menggunakan listrik untuk penerangan dengan pola permintaan cenderung pada malam hari. Kelompok yang kedua adalah kelompok produktif, termasuk disini adalah industri yang komersial yang menggunakan listrik sebagai sumber tenaga proses produksi dengan pola permintaan cenderung siang hari. (Hayati, 2008).

Listrik merupakan komoditi yang vital dan merupakan barang publik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang bersifat natural monopoli dimana distribusi dan transmisinya tidak dapat dilakukan oleh banyak perusahaan. Di Indonesia perusahaan pembangkit listrik lebih dari satu tetapi yang mendistribusikan listrik kekonsumen listrik hanya PLN. Monopoli listrik oleh PLN ini bertujuan agar kesejahteraan masyarakat dapat diutamakan karena pemerintah dapat memberikan harga yang sesuai daya beli masyarakat melalui kebijakan tarif dasar listrik (TDL) yang berbeda pada setiap kelompok pelanggan listrik.

(2)

5.1 Sistem Ketenagalistrikan Indonesia.

Sistem ketenagalistrikan di Indonesia dikelola oleh PT. PLN yang melakukan transmisi dan distribusi listrik kepada seluruh masyarakat Indonesia. Penyediaan energi listrik oleh PLN bersumber dari listrik yang diproduksi sendiri maupun yang dibeli dari perusahaan listrik swasta (luar PLN). Tahun 2009 jumlah energi listrik yang diproduksi sendiri sebesar 120.628 GWh (77 persen), dari jumlah tersebut 38 persen diproduksi oleh PLN Holding dan 62 persen diproduksi anak perusahaan yaitu PT. Indonesia Power, PT. PJB, PT. PLN Batam dan PT. PLN Tarakan. Energi listrik yang dibeli dari luar PLN sebesar 36.168 GWh (23 persen), dimana pembelian terbesar berasal dari PT. Jawa Power di Jawa Timur yaitu mencapai 25,2 persen dan PT. Paiton Energy Company sebesar 24,8 persen.

Tabel 10 Komposisi energi yang di produksi menurut pembangkit

PLTA PLTU PLTG PLTGU PLTP PLTD Total

2004 9,60 44,73 3,41 32,97 3,38 5,91 100,00 2005 10,01 43,05 6,15 31,85 3,06 5,87 100,00 2006 8,62 46,98 4,95 30,41 3,09 5,95 100,00 2007 9,84 48,35 4,38 29,05 2,95 5,42 100,00 2008 9,48 46,19 4,69 31,53 2,99 5,13 100,00 2009 8,93 45,88 6,77 30,10 3,04 5,29 100,00

Komposisi Energi yang diproduksi (persen) Tahun

Sumber : Diolah dari Statistik PLN tahun 2009.

PLN dalam memproduksi listrik menggunakan bermacam jenis pembangkit listrik sesuai dengan kondisi wilayahnya. Tahun 2009, energi listrik paling besar yaitu hampir 46 persen dihasilkan oleh PLTU yang berbahan bakar utama batubara. PLTGU merupakan pembangkit listrik yang bahan bakar utamanya gas alam dan batubara, menduduki peringkat kedua dalam menghasilkan energi listrik dengan share sebesar 30 persen. PLTA dengan biaya produksi paling murah hanya memiliki share sebesar 9 persen terhadap total produksi listrik. PLTG, PLTD dan PLTP masing-masing memiliki share sebesar 7 persen, 5 persen dan 3 persen dari total produksi listrik PLN seperti pada tabel 10.

(3)

Tabel 11 Perbandingan biaya pembangkitan listrik rata-rata tahun 2004-2009

PLTA PLTU PLTG PLTGU PLTP PLTD Total

2004 123,26 273,46 862,66 370,27 415,62 673,34 351,34 2005 114,71 316,72 953,79 560,78 514,70 925,18 469,78 2006 143,19 389,48 1.999,15 889,33 579,74 1.631,36 705,96 2007 118,80 405,91 2.155,67 873,80 615,10 2.438,47 706,62 2008 131,60 597,26 3.298,03 1.278,45 746,61 3.578,25 1.051,84 2009 139,48 598,31 1.422,71 739,79 639,87 2.696,52 767,79

Tahun Biaya Pembangkitan rata-rata (Rp/Kwh)

Sumber : diolah dari Statistik PLN tahun 2009.

PLN dalam membangkitkan listrik menggunakan pembangkit listrik yang berbeda tergantung dengan kondisi wilayahnya dan kepentingan. Pembangkit listrik jenis PLTA memerlukan biaya pembangkitan listrik paling rendah yaitu hanya Rp. 139.48 per KWh pada tahun 2009. Hal ini disebabkan PLTA dalam memproduksi listrik memanfaatkan tenaga air yang sudah tersedia. Keberadaan air yang selalu mengalir sangat diperlukan PLN untuk membuat PLTA sehingga jumlah PLTA sangat terbatas. Begitu juga dengan pembangkit PLTP yang memiliki biaya pembangkitan rata-ratanya rendah namun terbatas dengan sumber daya yang ada. PLTU dengan bahan bakar utama batubara, biaya pembangkitan rata-ratanya cukup murah yaitu Rp. 598,31 per KWh pada tahun 2009. Sejalan dengan kenaikan harga BBM, biaya pembangkitan listrik pada PLTD paling tinggi hingga mencapai Rp. 2.696,52 per KWh. Seperti pada Tabel 11.

5.2 Perkembangan Pelanggan Listrik yang diproduksi dan dijual di Indonesia.

Kebutuhan listrik masyarakat selama dipenuhi oleh PLN dimana pemerintah ikut mengawasi pelaksanaan transimisi dan distribusi listrik keseluruh wilayah Indonesia melalui kebijakan tarif dasar listrik (TDL). Tarif dasar listrik ditentukan pemerintah atas persetujuan DPR dengan harga yang berbeda pada setiap pelanggan. Perbedaan harga listrik diberlakukan dengan harapan sesuai dengan daya beli masyarakat sehingga roda pembangunan tetap berputar.

(4)

Perkembangan jumlah pelanggan, jumlah tenaga listrik yang dibangkitkan dan dijual di Indonesia seperti pada Tabel 12.

Tabel 12 Perkembangan jumlah pelanggan listrik, KWh yang dibangkitkan dan KWh yang dijual di Indonesia

Tahun Pelanggan Pertum buhan

Kwh yang diproduksi (Gwh) Pertum buhan Kwh yang dijual (Gwh) Pertum buhan 2002 30.953.919 3,78 108.359,85 6,60 87.088,74 3,04 2003 32.151.416 3,87 113.019,68 4,30 90.440,95 3,85 2004 33.366.446 3,78 120.244,31 6,39 100.097,47 10,68 2005 34.559.353 3,58 127.369,82 5,93 107.032,23 6,93 2006 35.751.224 3,45 133.108,39 4,51 112.609,83 5,21 2007 37.333.729 4,43 142.440,79 7,01 121.246,81 7,67 2008 38.844.086 4,05 149.436,51 4,91 129.018,81 6,41 2009 40.117.685 3,28 156.797,27 4,93 134.581,98 4,31

Sumber : Diolah dari Statistik PLN tahun 2009.

Pada periode tahun 2002-2009 jumlah pelanggan listrik terus meningkat dari 30.953.919 pelanggan pada tahun 2002 menjadi 40.117.685 pelanggan pada tahun 2009 atau mengalami pertumbuhan rata-rata 3,77 persen pertahun. Meningkatnya jumlah pelanggan ini dikarenakan banyak didirikan perumahan-perumahan baru baik oleh perorangan maupun oleh pengembang, juga semakin banyaknya jumlah rumahtangga yang semula tidak menggunakan listrik, sekarang mulai menggunakan listrik. Selain itu sektor industri dan komersial semakin berkembang sebagai wujud pembangunan ekonomi di Indonesia.

Peningkatan jumlah pelanggan listrik yang diiringi dengan meningkatnya jumlah KWh yang dibangkitkan rata-rata sebesar 5,57 persen pertahun, dari 108.360 GWh pada tahun 2002 menjadi 156.797 GWh pada tahun 2009. Permintaan listrik masyarakat juga meningkat yang ditunjukan dari peningkatan KWh yang terjual dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 6,01 persen pertahun. Pertumbuhan permintaan listrik pada periode tahun 2004-2008 ternyata lebih tinggi dari listrik yang disediakan. Peningkatan jumlah pelanggan pada tahun 2009 hanya mencapai 3,28 persen sehingga pertumbuhan permintaan listriknya lebih rendah dari produksi listriknya.

(5)

Tabel 13 Produksi, susut energi, energi yang terjual dan jumlah pelanggan listrik menurut wilayah di Indonesia tahun 2009.

Luar Jawa Jawa Total Luar Jawa Jawa Total

Produksi (Gwh) 37.742 116.784 154.526 24,42 75,58 100,00 Susut Energi (Gwh) 4.097 11.262 15.359 26,68 73,32 100,00 Energi Terjual (Gwh) 33.263 101.319 134.582 24,72 75,28 100,00 Jumlah Pelanggan 13.780.397 26.337.288 40.117.685 34,35 65,65 100,00 Daftar Menunggu 973.405 322.056 1.295.461 75,14 24,86 100,00 Share Uraian Wilayah

Sumber : diolah dari Statistik PLN Tahun 2009.

Pada tahun 2009 listrik yang diproduksi untuk wilayah luar Jawa hanya mencapai 37.742 Gwh (24, 42 persen) padahal jumlah pelanggannya mencapai 34,35 persen. Bahkan share daftar tunggu untuk berlangganan listrik di luar Jawa mencapai 75,14 persen ini ini menunjukkan produksi listrik diluar Jawa masih kurang sehingga pemerintah perlu membuat pembangkit listrik untuk memenuhi konsumsi listrik terutama untuk luar Jawa. Proyek PLTU 10.000 MW yang diresmikan tahun 2006 hingga sekarang belum selesai, padahal ini proyek ini dibuat dengan tujuan untuk mengatasi pasokan listrik yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Proyek PLTU 10.000 MW diharapkan tidak akan ada lagi pemadaman listrik bergilir dan kebutuhan listrik untuk wilayah Jawa dan luar Jawa terpenuhi.

PLN dalam membangkitkan listrik selalu mengalami susut energi baik pada saat transmisi maupun saat distribusi. Pada tahun 2009, susut energi listrik pada transmisi hanya 2,18 persen namun susut saat distribusi mencapai 7,93 persen dari total listrik yang dibangkitkan. Tingginya susut saat distribusi salah satu penyebabnya adalah tingginya tingkat pencurian listrik di Indonesia. Namun dengan peningkatan efisiensi baik dalam proses produksi maupun pengawasan pada saat distribusi listrik ke pelanggan maka kerugian PLN bisa diminimisasi.

Pertumbuhan permintaan listrik yang lebih cepat dari jumlah pelanggan listrik, menunjukan besar konsumsi listrik bukan hanya disebabkan meningkatnya penggunaan listrik oleh pelanggan, namun perkembangan teknologi yang mendorong munculnya produk-produk baru yang menggunakan tenaga listrik juga

(6)

ikut berperan. Pendapatan masyarakat yang meningkat juga menambah kemampuan masyarakat untuk meningkatnya permintaan akan barang/jasa termasuk barang yang bertenaga listrik.

Rumah tangga 37,099,830 92% Industri 47.900 0% Bisnis 1.879.429 5% lainnya 1.090.526 3%

Gambar 15. Jumlah pelanggan listrik di Indonesia tahun 2009.

Pelanggan listrik PLN menurut pengguna dibedakan menjadi 6 kelompok yaitu rumahtangga, industri, bisnis, sosial, pemerintah dan penerangan jalan umum. Hal ini dilakukan oleh PLN supaya dapat membedakan besarnya tarif dasar listrik pada setiap kelompok pelanggan sesuai daya belinya. Pelanggan listrik PLN dengan jumlah terbesar yaitu kelompok rumahtangga dimana tahun 2009 berjumlah 37.099.830 dengan share mencapai 92 persen dari total pelanggan listrik di Indonesia. Pelanggan listrik PLN lainnya jumlahnya jauh lebih sedikit, bahkan share dari seluruh pelanggan industri, bisnis dan lainnya hanya 8 persen. Seperti terlihat di gambar 15.

5.3 Pola Konsumsi Listrik Industri dan Rumahtangga di Indonesia. Dengan melihat pola konsumsi energi listrik menurut sektor (rumahtangga, industri, komersial, dan publik/lainnya) di suatu negara atau suatu wilayah dapat diketahui karakteristik perekonomian negara atau wilayah tersebut. Negara industri seperti Amerika Serikat mempunyai pola konsumsi listrik menurut sektor yang mencerminkan karakter perekonomiannya sebagai negara maju. Share di antara ketiga sektor tidak berbeda secara tajam. Bahkan, tidak seperti di negara berkembang, share sektor industri telah

(7)

terlampaui oleh share sektor rumahtangga dan komersial. Hal ini dapat mencerminkan berbagai hal: tingkat elektrifikasi yang sudah sangat tinggi, peran sektor jasa (services) yang lebih tinggi dibandingkan peran sektor industri, serta penggunaan listrik oleh sektor industri yang lebih efisien dibandingkan penggunaan listrik oleh sektor industri di negara berkembang. Tabel 14 Listrik yang terjual dan share perkelompok pelanggan di Indonesia

tahun 2002-2009

RT Industri Bisnis Sosial Pemerintah Penerangan jalan Jumlah 2002 Listrik terjual(GWh) 33.993,56 36.831,30 11.845,04 1.842,89 1.281,49 1.294,46 87.088,74 Share (%) 39,03 42,29 13,60 2,12 1,47 1,49 100,00 2003 Listrik terjual(GWh) 35.753,05 36.497,25 13.223,84 2.021,60 1.433,19 1.512,02 90.440,95 Share (%) 39,53 40,35 14,62 2,24 1,58 1,67 100,00 2004 Listrik terjual(GWh) 38.588,28 40.324,26 15.257,73 2.237,86 1.644,74 2.044,60 100.097,47 Share (%) 38,55 40,28 15,24 2,24 1,64 2,04 100,00 2005 Listrik terjual(GWh) 41.184,29 42.448,36 17.022,84 2.429,84 1.725,66 2.221,24 107.032,23 Share (%) 38,48 39,66 15,90 2,27 1,61 2,08 100,00 2006 Listrik terjual(GWh) 43.753,17 43.615,45 18.415,52 2.603,63 1.807,93 2.414,13 112.609,83 Share (%) 38,85 38,73 16,35 2,31 1,61 2,14 100,00 2007 Listrik terjual(GWh) 47.324,91 45.802,51 20.608,47 2.908,70 2.016,36 2.585,86 121.246,81 Share (%) 39,03 37,78 17,00 2,40 1,66 2,13 100,00 2008 Listrik terjual(GWh) 50.184,17 47.968,85 22.926,29 3.082,42 2.095,80 2.761,28 129.018,81 Share (%) 38,90 37,18 17,77 2,39 1,62 2,14 100,00 2009 Listrik terjual(GWh) 54.945,41 46.204,21 24.825,24 3.384,36 2.334,66 2.888,10 134.581,98 Share (%) 40,83 34,33 18,45 2,51 1,73 2,15 100,00 TAHUN Pelanggan

Sumber : diolah dari Statistik PLN tahun 2009

Indonesia termasuk negara sedang berkembang, namun pada periode 2002-2009 telah terjadi terjadi pergeseran share konsumen listrik terbesar yaitu dari pelanggan industri ke pelanggan rumahtangga. Perkembangan konsumsi listrik PLN oleh pelanggan dilihat melalui listrik yang terjual pada setiap pelanggan. Listrik yang terjual pada kelompok industri pada tahun 2002 sebesar 33.993,56 GWh dengan share mencapai 42,29 persen dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 46.204,21 GWh namun sharenya mengalami penurunan menjadi 34,33 persen dari total listrik yang dijual PLN. Pergeseran dominasi

(8)

share penjualan energi listrik PLN kepada pelanggannya dari kelompok

pelanggan Industri ke kelompok pelanggan rumahtangga, dalam Tabel 14 terlihat pangsa industri dalam pembelian listrik PLN cenderung mengalami penurunan. Sebaliknya share kelompok rumahtangga mengalami peningkatan yaitu dari 39,09 persen pada tahun 2002 menjadi 40,83 persen pada tahun 2009.

5.3.1 Pola Konsumsi Listrik Industri di Indonesia.

Pergeseran dominasi share penjualan energi listrik PLN kepada pelanggannya dari kelompok pelanggan industri ke kelompok pelanggan rumahtangga ditenggarai adanya deindustrialisasi dan switching. Pengalihan sumber listrik di sektor industri dari PLN ke non PLN, yang bisa berupa pembangkitan sendiri atau pembelian listrik dari perusahaan lain. Keterbatasan jumlah, jaringan, dan kualitas listrik PLN di satu sisi, sementara di sisi lain harga bahan bakar minyak domestik yang masih disubsidi, impor diesel/genset yang dibebaskan bea masuknya, serta dibukanya peluang bagi swasta untuk berinvestasi di bidang pembangkitan telah mendorong industri untuk melakukan switching. Selain faktor deindustrialisasi dan switching, penurunan share penjualan listrik ke sektor industri juga disebabkan oleh transformasi struktur ekonomi dari perekonomian industri ke perekonomian jasa-jasa. Transformasi struktur ekonomi tidak relevan dalam kasus Indonesia.

Penurunan share kelompok industri dalam total penjualan listrik PLN tersebut akan berdampak negatif terhadap masa depan kinerja PLN. Sebagaimana diketahui, biaya produksi listrik, selain ditentukan oleh harga bahan bakar juga ditentukan oleh waktu/saat listrik dikonsumsi pelanggan. Pola harian konsumsi listrik oleh pelanggan dari kelompok industri umumnya bersifat flat atau tidak mengalami perbedaan yang tajam antara saat konsumsi tinggi dengaan saat konsumsi rendah. Perbedaan konsumsi listrik industri pada pagi dan siang hari tidak terlampau berbeda dengan konsumsi pada malam hari sehingga bisa menekan biaya operasional PLN.

Listrik merupakan komoditi yang cukup strategis terutama untuk industri besar dan sedang dimana hampir semua industri tersebut menggunakan listrik

(9)

untuk berproduksi. Nilai listrik yang dikonsumsi pada setiap sektor industri di Indonesia tergantung dari jumlah perusahaan dan besar listrik yang digunakan untuk produksi. Tabel 15 menunjukan sektor industri besar sedang yang mengkonsumsi listrik terbesar adalah industri mesin dan alat-alat perlengkapan listrik karena listrik termasuk bahan baku utama dalam proses produksi sektor tersebut. Industri mesin dan alat-alat perlengkapan konsumsi listriknya sebagian menggunakan listrik non PLN sehingga dampak kenaikan TDL tidak langsung meningkatkan harga outputnya.

Tabel 15 Nilai dan share listrik yang dibeli Industri Besar Sedang (IBS) di Indonesia Tahun 2008

PLN Non PLN Jumlah PLN Non PLN Jumlah

1 Industri makanan, minuman dan

tembakau 7.194 4.568 162 4.730 15,51 2,55 13,20

2 Industri tekstil, pakaian dan kulit

dan pemintalan 5.695 5.819 152 5.971 19,75 2,38 16,66 3 Industri Bambu, Kayu, rotan &

Barang dari Kayu 1.435 1.017 45 1.062 3,45 0,71 2,96 4 Industri kertas, barang dari kertas

dan karton 1.225 2.874 178 3.052 9,75 2,80 8,52

5 Industri Kimia, Pupuk,dan hasil

kilang 1.140 2.478 250 2.727 8,41 3,92 7,61

6 Industri barang karet , plastik &

mineral bukan logam 3.623 3.848 800 4.648 13,06 12,57 12,97

7 Industri semen 20 1.709 1 1.710 5,80 0,01 4,77

8 Industri logam dasar besi dan baja

& bukan besi 252 2.398 1.025 3.423 8,14 16,10 9,55 9 Industri barang dari logam 913 828 162 990 2,81 2,54 2,76 10 Industri mesin, alat-alat, perlengkapan listrik dan alat

pengangkutan dan perbaikannya

1.628 3.282 3.560 6.842 11,14 55,91 19,10

11 Industri lainnya 2.569 641 33 673 2,17 0,51 1,88

Total 25.694 29.461 6.368 35.829 100,00 100,00 100,00 No. SEKTOR PerusahaanJumlah Nilai Listrik yang Dibeli (Miliar Rp.) Share (Persen)

Sumber : diolah dari Statistik Industri Besar Sedang tahun 2008, BPS.

Di Indonesia jumlah perusahaan industri makanan, minuman dan tembakau yang memiliki pegawai 20 orang ke atas mencapai 7.194 perusahaan, sehingga konsumsi listrik di sektor tersebut juga besar hingga 13,20 persen. Begitu juga dengan sektor industri teksil, pakaian, kulit dan pemintalan yang share konsumsi listrik hingga 16,66 persen akibat jumlah

(10)

industrinya yang mencapai 5.965 perusahaan. Industri makanan, minuman, dan tembakau juga industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan pemintalan konsumsi listriknya sebagian besar dari PLN sehingga kenaikan TDL mendorong peningkatan biaya produksi.

Industri semen di Indonesia hanya berjumlah 20 perusahaan, namun

share konsumsi listriknya terhadap total konsumsi listrik industri

besar-sedang mencapai 4,77 persen. Hal ini menunjukan industri semen konsumsi listriknya sangat besar sehingga tergantungnya dengan listrik terutama listrik PLN. Kenaikan TDL pada industri semen akan sangat memengaruhi melonjaknya harga semen karena listrik yang digunakan mencapai 10 persen dari total biaya produksi semen. Selain itu listrik hanya diproduksi didalam negeri sehingga kenaikan TDL tidak bisa dihindari. Industri logam dasar besi baja dan bukan besi konsumsi listriknya cukup besar karena mesin-mesin industrinya digerakan dengan energ litrik yang sebagian berasal dai PLN dan juga membangkitkan sendiri dengan generator.

5.3.2 Pola Konsumsi Listrik rumahtangga di Indonesia

Rasio elektrifikasi Indonesia tahun 2009 baru mencapai 63,75 persen artinya, baru 63,75 persen dari total keluarga di Indonesia yang dapat menikmati fasilitas listrik. Sementara itu sisanya, sebanyak 36,25 persen belum mendapatkan fasilitas pelayanan listrik. Penyebab utamanya adalah kekurangmampuan mereka untuk membayar biaya beban listrik atau lokasi rumah mereka yang belum terjangkau jaringan listrik. Hal ini mengindikasikan bahwa industri listrik di Indonesia masih harus dikembangkan lagi di masa yang akan datang, agar rasio elektrifikasi di Indonesia bisa lebih ditingkatkan lagi.

Kelompok rumahtangga yang belum menikmati pasokan listrik pada dasarnya dapat dibedakan antara kelompok rumahtangga yang berada di daerah terpencil dan rumahtangga yang sebenarnya berada dalam jangkauan pelayanan PT. PLN, tetapi belum tersedia jaringan yang mengarah ke daerah tersebut. Jumlah pelanggan yang terbatas akan menyebabkan biaya operasional perusahaan lebih besar dari pendapatan yang mereka peroleh. Namun sebagai warga negara,

(11)

mereka berhak mendapatkan pelayanan yang sama maka diperlukan subsidi bagi perusahaan penyedia fasilitas listrik dalam rangka investasi dan operasi. Bagi rumahtangga yang secara ekonomis kurang mampu perlu disediakan subsidi terarah. Pola subsidi ini, masyarakat yang kurang mampu, yaitu masyarakat yang menggunakan daya listrik sampai jumlah tertentu, diberi kemudahan untuk membayar tagihan rekening listrik dengan tarif di bawah standar. Rumahtangga mampu dan rumahtangga berlebih tidak perlu diberikan subsidi listrik sehingga beban subsidi dapat dikurangi..

Pola harian konsumsi pelanggan rumahtangga secara keseluruhan sangat

fluktuatif, yaitu konsumsi pada malam hari (beban puncak) jauh lebih tinggi

dari pada konsumsi pada pagi dan siang hari. Mengingat share rumahtangga relatif dominan, sebagai konsekuensinya biaya pembangkitan listrik di malam hari jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di pagi dan siang hari. Penurunan

share industri di satu sisi dan peningkatan share rumahtangga di sisi lain akan

berimplikasi pada meningkatnya biaya pembangkitan listrik. Mengingat biaya transmisi dan distribusi untuk pelanggan rumahtangga relatif lebih mahal dibandingkan untuk pelanggan industri, secara total pergeseran share tersebut akan mengakibatkan peningkatan total biaya pengadaan listrik.

Peran sektor rumahtangga dalam total permintaan energi, termasuk dan terutama energi listrik, telah dan akan terus bertumbuh dengan laju pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan permintaan energi listrik oleh sektor industri dan sektor komersial. Beberapa faktor penjelas hal tersebut antara lain adalah: (1) pertumbuhan penduduk dan perubahan demografi serta urbanisasi, dan (2) peningkatan taraf ekonomi. Urbanisasi juga menyebabkan meningkatnya permintaan listrik oleh rumahtangga. Di satu sisi keluarga inti cenderung tinggal di perkotaan, sementara di sisi lain kota-kota kecil tumbuh menjadi kota besar baik karena pertumbuhan yang otonom maupun karena efek ekspansi kota besar yang berdekatan. Pertumbuhan kota tersebut tentunya menuntut peningkatan jumlah dan kualitas pasokan energi listrik. Peningkatan taraf ekonomi yang ditunjukkan oleh peningkatan pendapatan perkapita akan menyebabkan meningkatnya

(12)

permintaan energi listrik oleh rumahtangga.

Tabel 16 Konsumsi dan share rumahtangga persektor tahun 2008

HouseHB HouseHA HouseHB HouseHA

1 Pertanian 354.403 60.842 16,44 8,13

2 Pertambangan dan penggalian 899 173 0,04 0,02

3 Industri makanan, minuman dan tembakau 526.298 85.277 24,42 11,40 4 Industri tekstil, pakaian dan kulit dan pemintalan 81.804 15.031 3,80 2,01 5 Industri Bambu, Kayu, rotan & Barang dari Kayu28.256 5.229 1,31 0,70 6 Industri kertas, barang dari kertas dan karton 13.163 2.107 0,61 0,28 7 Industri Kimia, Pupuk,dan hasil kilang 76.919 15.875 3,57 2,12 8 Industri barang karet , plastik & mineral bukan logam 54.132 11.172 2,51 1,49

9 Industri semen 0 0 0,00 0,00

10 Industri logam dasar besi dan baja & bukan besi 0 0 0,00 0,00

11 Industri barang dari logam 15.814 2.531 0,73 0,34

12 Industri mesin, alat-alat, perlengkapan listrik dan alat pengangkutan dan perbaikannya192.044 30.735 8,91 4,11

13 Industri lainnya 8.951 1.433 0,42 0,19

14 Listrik berdaya 900 VA kebawah 25.695 0 1,19 0,00

15 Listrik berdaya 1300 VA keatas 0 4.384 0,00 0,59

16 Gas kota & air 7.663 1.308 0,36 0,17

17 Bangunan 0 0 0,00 0,00

18 Perdagangan, hotel dan restoran, 200.115 415.910 9,28 55,58

19 Pengangkutan dan komunikasi 214.813 37.159 9,97 4,97

20 Lembaga keuangan, real estat dan jasa perusahaan130.780 22.520 6,07 3,01

21 Jasa lain 223.823 36.654 10,38 4,90

Total 2.155.572 748.340 100,00 100,00

Konsumsi (Milyar Rp)

Sektor Share (%)

Kode

Sumber : diolah dari Tabel I-O

Peningkatan permintaan listrik rumahtangga disebabkan oleh peningkatan daya beli dan pengalihan penggunaan energi non-listrik seperti kayu bakar dan miyak tanah, ke energi listrik yang memberikan kemudahan dan kenyamanan. Rumahtangga di perkotaan konsumsi listriknya lebih banyak

dibanding rumahtangga di pedesaan sesuai dengan pendapatan

masyarakatnya. Berdasarkan faktor-faktor demografis tersebut, dapat diduga pertumbuhan permintaan listrik oleh sektor rumahtangga di masa mendatang akan lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan listrik oleh sektor industri.

Rumahtangga dalam penelitian ini dipisah menjadi 2 yaitu rumahtangga bawah (HouseHB) dan rumahtangga atas (HouseHA). Rumahtangga bawah adalah rumahtangga yang berdaya listrik 450 VA hingga 900 VA sedangkan

(13)

rumahtangga atas adalah rumahtangga yang berdaya listrik 1300 VA ke atas. Pada umumnya rumahtangga atas tinggal diperkotaan yang kebutuhan akan listriknya tinggi. Pendapatan rumahtangga atas yang jauh lebih besar dibanding rumahtangga bawah, sehingga share konsumsi listrik (0,59 persen) pada rumahtangga atas terhadap total konsumsinya lebih kecil dibanding rumahtangga bawah (1,19 persen), seperti di tabel 16.

5.4 Kebijakan Kenaikan Tarif Dasar Listrik di Indonesia.

Listrik merupakan salah satu komoditi strategis dalam perekonomian Indonesia karena selain digunakan secara luas oleh masyarakat terutama untuk keperluan penerangan, listrik juga merupakan salah satu sumber energi utama bagi sektor industri. Oleh karena itu, Pemerintah menaruh perhatian yang cukup besar terhadap harga penjualan listrik kepada konsumen, mengingat perubahan harga listrik akan mempunyai dampak yang cukup siginifikan terhadap kenaikan harga-harga umum, yang pada gilirannya akan berpengaruh juga terhadap perekonomian secara makro. Salah satu faktor yang menentukan tingkat harga penjualan listrik adalah biaya penyediaan tenaga listrik.

Pada tanggal 1 April 2001 pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM dunia industri sekitar 50 sampai 100 persen. Pada tanggal 17 Mei 2001 kembali menaikkan harga semua jenis BBM sebesar 30 persen dan mulai 15 Juni 2001, tarif dasar listrik (TDL) naik sebesar 20 persen. Selain itu, pada Juli 2001 pemerintah juga menaikkan PPN (pajak pertambahan nilai) dari 10 persen menjadi 12,5 persen. Hal ini terjadi karena adanya komitmen pemerintah untuk mengurangi segala bentuk subsidi secara bertahap termasuk subsidi BBM dan TDL, sesuai dengan nota kesepakatan antara pemerintah RI dengan IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI).

Kenaikan tarif dasar listrik pada tahun 2003 tertuang dalam Kepres No 89/2002 dimana kenaikan TDL per tiga bulan 6 persen, mulai Januari 2003 dan hanya berlaku pada tahun 2003. Kenaikan abonemen (biaya beban) untuk golongan rumahtangga R-1, misalnya, untuk 900 VA naik dari Rp16.200 menjadi Rp18.100. Biaya beban golongan industri I-2 di atas 2200 VA sampai 200 KVA naik dari Rp28.700 menjadi Rp30.400. Alasan kenaikan TDL pada tahun 2003

(14)

tersebut untuk mengantisipasi terjadinya krisis listrik di Jawa dan Bali 2004-2005.

Tabel 17 Kebijakan kenaikan tarif dasar listrik di Indonesia tahun 2001-2011

TAHUN DITETAPKAN TINGKAT KENAIKAN

(persen) KETERANGAN

15 Juni 2001 20

Januari 2003 6 per tiga bulan naik

1 Juli 2010 6-20 berbeda tiap pelanggan

Rencana Tahun 2011 15 ditunda

Peraturan Menteri ESDM Nomor : 07 Tahun 2010 mengatur tentang kenaikan tarif dasar listrik yang berlaku mulai 1 Juli 2010, selain itu juga menetapkan biaya-biaya lain, yaitu: (1) Biaya kelebihan pemakaian daya reaktif (kVArh), (2) Biaya penyambungan tenaga listrik, (3) Uang jaminan langganan, (4) Biaya keterlambatan pembayaran, (5) Tagihan susulan atas penertiban pemakaian listrik tidak sah. Peraturan Menteri ESDM tersebut juga menegaskan, bahwa PLN harus meningkatkan pelayanan dengan ditetapkannya beberapa indikator tingkat mutu pelayanan, antara lain lama gangguan, jumlah gangguan dan atau kesalahan baca meter. Apabila tingkat mutu pelayanan tersebut tidak terpenuhi, maka PLN wajib memberikan pengurangan tagihan listrik kepada konsumen yang bersangkutan. Kenaikan TDL ini memberi sinyal yang baik bagi calon investor kelistrikan untuk berinvestasi di Indonesia, dan memberi sinyal positip bagi pelanggan untuk berhemat.

Kebijakan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) telah diberlakukan per 1 Juli 2010 merupakan bagian dari langkah pemerintah dalam menghemat pengeluaran terutama pada bidang energi. Pemerintah dan DPR sudah menyetujui kenaikan tarif dasar listrik (TDL) bagi semua pelanggan kecuali untuk golongan berdaya 450 sampai 900 VA mulai 1 Juli 2010. Kelompok rumahtangga mengalami kenaikan TDL sebesar 18 persen, sedangkan kelompok industri kenaikan TDL berkisar antara 6-15 persen dan kelompok bisnis sekitar 12-16 persen. Adanya

(15)

kenaikan tarif dasar listrik pada kelompok pelanggan industri dan bisnis tentunya akan disikapi oleh pelaku usaha baik dalam bentuk efisiensi, penurunan margin, maupun hingga peningkatan harga jual.

Kebijakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) tahun 2010 ditetapkan dengan alasan pertama, kenaikan TDL terakhir kali adalah tahun 2003 atau tujuh tahun lalu. Kedua, TDL bisa berdampak serius, mengingat selisih antara biaya keekonomian dan tarif listrik makin jauh. Artinya, PLN bisa kesulitan melakukan investasi dan rakyat yang dirugikan karena kurang pasokan listrik. Alasan lain pemerintah menaikkan TDL adalah dikarenakan bahwa beban biaya operasional yang ditanggung oleh PLN semakin berat, subsidi listrik yang didapat PLN dari pemerintah tidak menutupi biaya produksi, dan harga listrik saat ini dipandang belum mencapai harga yang ekonomis. Kenaikan TDL tahun 2010 disebabkan beberapa alasan tersebut untuk menutupi kekurangan subsidi listrik dan pemerintah ingin menaikkan marjin keuntungan PT PLN dari 5 persen menjadi 8 persen.

Kebijakan kenaikan TDL tahun 2010 yang naik rata-rata 10 persen dimana pelanggan untuk golongan 450-900 VA tidak mengalami kenaikan, padahal jumlah pelanggan golongan tersebut 32 juta pelanggan. Dalam keputusan kenaikan TDL juga ditetapkan tarif dayamax dan multiguna dihapuskan, padahal BUMN listrik itu mendapat tambahan pendapatan sebesar Rp 12 triliun. Akibatnya, yang harus naik hanya 8 juta pelanggan, sementara dari jumlah pelanggan tersebut, ada juga pelanggan golongan industri yang justru mengalami penurunan. PLN mengalami kesulitan dalam mengatur kenaikan TDL yang berbeda pada setiap pelanggannya apalagi dengan diberlakukan pembatasan

(capping) kenaikan TDL tahun 2010 maksimum 18 persen pada kelompok

industri atas persetujuan DPR.

Kenaikan TDL diperkirakan masih akan terjadi, pemerintah mengusulkan kenaikan TDL pada tahun 2011 walaupun akhirnya ditunda. Alasan kenaikan TDL tahun 2010 adalah harga jual minyak mentah Indonesia yang diperkirakan di level 80 dollar AS per barrel serta nilai tukar rupiah di posisi Rp 9.300 per dollar AS. Tahun 2010 nilai tukar rupiah diasumsikan berada di level rata- rata Rp

(16)

9.200 per dollar AS. Sementara marjin usaha PLN ditetapkan 8 persen. Alasan lain, diperkirakan terjadi kenaikan penjualan listrik dari 6,6 persen pada 2010 menjadi 7,4 persen pada tahun 2011, selain itu diperkirakan susut jaringan menurun dari 9,41 persen menjadi 9,35 persen. Kenaikan TDL tahun 2010 menambah besar biaya produksi sehingga sektor ekonomi pengguna energi listrik cukup terbebani dengan kebijakan tersebut. Pelanggan bisnis merasa keberatan dengan rencana kenaikan TDL tahun 2011 sehingga DPR membuat pembatasan (capping) kenaikan TDL di bawah 18 persen untuk sektor industri.

Pada awal tahun 2011 tagihan listrik beberapa sektor industri mengalami kenaikan, hal ini terjadi karena PLN mencabut capping TDL untuk sektor industri yang sebesar maksimum 18 persen. Komisi VII DPR meminta pemerintah untuk tetap memberlakukan capping TDL untuk sektor industri, namun anggaran subsidi listrik tetap berpedoman kepada UU NO. 10 tahun 2010 tentang APBN 2011 yaitu sebesar Rp 40,7 Triliun. PLN tetap mencabut capping tersebut karena subsidi listrik tidak mampu menutupi biaya operasional PLN, selain itu juga karena industri yang menikmati insentif capping hanya sekitar 9.000-an perusahaan dari total 48.000 pelanggan industri. Kalau capping tidak dicabut, maka sejumlah industri akan mendapat tarif lebih murah dari umumnya industri sejenis. Kebijakan tersebut melanggar UU persaingan usaha yang dikontrol oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sehingga mulai tahun 2011 seluruh pelanggan industri pada sesetiap kelompok mengalami kenaikan TDL yang sama yaitu 20-30 persen.

Dengan adanya kenaikan TDL pada bulan Juli 2010, khususnya pada kelompok industri, secara tidak langsung akan berpotensi terjadinya inflasi. Biaya bahan baku dan bahan penolong meskipun tidak terkait langsung dengan kenaikan TDL, untuk beberapa industri yang sumber bahan baku atau bahan penolongnya juga menggunakan komponen listrik maka terdapat potensi peningkatan harga bahan baku/bahan penolong yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan biaya produksi secara umum sehingga laju inflasi sudah dipastikan akan semakin naik. Pemerintah berkilah bahwa kenaikan TDL hanya berlaku bagi pelanggan kategori besar, dan tidak untuk pelanggan kategori kecil, namun dampak yang

(17)

ditimbulkan tentu saja akan lebih dirasakan oleh masyarakat kecil. Kenaikan TDL untuk industri misalnya, tentu saja akan memicu laju kenaikan harga barang-barang produksi sehingga membuat harga barang-barang-barang-barang kebutuhan pokok masyarakat juga ikut melambung (multiplier efek) penurunan daya beli dan berujung pada penurunan produksi yang berdampak pada pemutusan hubungan karyawan/pengangguran.

5.5 Problematika Ketenagalistrikan di Indonesia

Persoalan kelistrikan di Indonesia adalah selain mahalnya biaya produksi listrik juga adalah kurangnya pasokan listrik sehingga banyak masyarakat yang tidak dapat menikmati aliran listrik. Penyebab masalah di atas adalah inefisiensi dan mahalnya bahan bakar pembangkit listrik yang berasal dari BBM serta tidak mencukupinya pasokan bahan bakar pembangkit listrik. Kenaikan BBM akan menyebabkan naiknya biaya produksi listrik pada pembangkit yang berbahan bakar BBM. Pembangkit listrik yang berbahan bakar batu bara dan gas yang harganya jauh lebih murah dari BBM, ternyata pasokan untuk kebutuhan dalam negeri justru tidak mencukupi, karena lebih banyak untuk kepentingan ekspor. Pada tahun 2009 ekspor gas bumi Indonesia mencapai 390.450,85 MMSCFD melalui tanker, sebanyak 219.485,26 MMSCFD melalui pipa. Tahun 2008 ekspor gas bumi melalui tanker sebesar 994.627 MMSCFD dan melalui pipa 234.964 MMSCFD. Meskipun berdasarkan data ekspor gas Indonesia sesetiap tahunnya memang terus turun namun angkanya masih sangat besar yang diekspor (Detik Finance, 2010)

Pemerintah sesungguhnya mudah mengatasi mahalnya harga BBM dan kurangnya pasokan bahan baku pembangkit listrik jika PLN menggunakan bahan baku batubara dan gas alam yang murah dan pasokannya sangat besar dan mencukupi. Namun kebijakan tersebut tidak diambil pemerintah, padahal pemerintah bisa membuat kebijakan untuk memberikan prioritas pasokan bahan baku industri dalam negeri ketimbang ekspor. Wewenang pengelolaan BUMN MIGAS ada pada pemerintah namun seolah ada faktor lain yang membuat masalah dalam kebijakan energi yang ada tidak bisa dirubah.

PLN berencana membangun PLTG skala besar dengan membeli semua gas dari proyek Donggi Senoro di Sulawesi Tengah dengan harga US$ 6-6,5 per

(18)

MMBTU. Listrik yang dihasilkan dari pembangkit tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Sulawesi, bahkan kalau pasokan gasnya berlebih, sebagian akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Ambon dan sekitarnya. Pemerintah telah mengesahkan alokasi gas dari lapangan Donggi-Senoro dengan porsi gas domestik dari lapangan tersebut hanya 25 persen, sisanya untuk alokasi ekspor. Padahal jika kebutuhan pasokan gas domestik mendapat prioritas, maka kekurangan pasokan gas untuk PLN akan terpenuhi.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 BBM BATUBARA GAS ALAM

Gambar 16 Share biaya bahan bakar pembangkitan listrik PLN.

Pada tahun 2009, energi yang dibangkitkan PT. PLN paling besar dari PLTU (45,88 persen) dan PLGU (30,10 persen) yang bahan bakar utamanya gas bumi dan batubara. Selain itu PLN juga menggunakan PLTD yang berbahan bakar minyak (BBM) dengan energi yang diproduksi sebesar 5,29 persen dari total listrik yang dibangkitkan. Energi listrik yang dihasilkan PLTD kecil, namun biaya bahan bakarnya paling besar karena harga BBM sangat tinggi terutama terutama saat ada kebijakan kenaikan BBM pada tahun 2005 dan 2008. Batubara merupakan bahan bakar pembangkit listrik yang paling murah, dimana Indonesia kaya akan sumberdaya tersebut. Jika ketersediaan bahan bakar pembangkit yang murah dan dalam jumlah besar terjamin, maka pemerintah melalui PLN dapat segera memperbesar kapasitas produksi listrik, sehingga dapat mengatasi kekurangan pasokan serta menambah luasnya jangkauan pelayanan listrik kepada masyarakat bahkan mengurangi subsidi sehingga harga TDL tidak perlu mengalami kenaikan.

(19)

PT. PLN pada Maret 2006 mendapat tugas untuk membangun proyek PLTU 10.000 MW senilai Rp. 170 triliun (sekitar 56 persen untuk investasi pembangkit). Proyek PLTU dipilih karena cadangan batubara di Indonesia melimpah dengan harapan dalam waktu 3 tahun mampu memenuhi kekurangan pasokan listrik di Indonesia. Proyek tersebut hingga sekarang belum selesai karena menggunakan pembangkit teknologi China yang harus menggunakan batubara dengan sulfur rendah padahal di Indonesia batubara tersebut sulit didapat.

Menurut Kurtubi, renegosiasi gas Tangguh dengan China perlu dipertimbangkan dan diteruskan. Gas Tangguh yang tidak jadi dijual ke Sempra dan gas Donggi Senoro sebaiknya dialihkan ke PLN sehingga 2011 tidak perlu menaikkan TDL. Pemerintah tidak melakukan perbaikan kebijakan sehingga alokasi bahan bakar gas alam untuk PLN tetap kurang. Hal ini bisa terjadi jika ada kepentingan pihak yang tidak ingin kehilangan penghasilannya dari pasokan BBM ke PLN atau karena ada komisi dari penjualan ekspor gas keluar negeri. Kenyataanya kebijakan migas memberikan keleluasaan bagi swasta untuk mendapatkan keuntungan yang banyak-banyaknya.

Dari segi ekonomi, seharusnya pemerintah tidak boleh menjadikan rakyat sebagai tumbal untuk menanggung beban operasional PLN. Padahal masalah sebenarnya sejak zaman orde baru hingga saat ini adalah sebagian daya listrik PLN dipasok oleh pembangkit-pembangkit swasta atau Independent Power

Producer (IPP), sehingga PLN membeli lebih mahal daripada harga yang

semestinya. Mahalnya BBM untuk PLN akibat kebijakan pemerintah yang mengharuskan PLN membeli sumber energinya (BBM, gas, batubara) dengan harga internasional yang dikehendaki oleh perusahaan-perusahaan asing juga menambah beban biaya produksi listrik. Pasokan gas alam dan batubara yang sangat minim untuk PLN sehingga sangat menghambat PLN dalam memenuhi kebutuhan listrik disetiap wilayah Indonesia.

Gambar

Tabel 10  Komposisi energi yang di produksi menurut pembangkit
Tabel 11  Perbandingan biaya pembangkitan listrik rata-rata tahun 2004-2009
Tabel 12  Perkembangan jumlah pelanggan listrik, KWh yang dibangkitkan dan  KWh yang dijual di Indonesia
Tabel 13  Produksi, susut energi, energi yang terjual dan jumlah pelanggan listrik  menurut wilayah di Indonesia tahun 2009
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pada umumnya biaya pembangkitan pembangkit listrik berbahan bakar renewable dan nuklir lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pembangkit listrik berbahan bakar fosil (batubara,

Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) adalah suatu stasiun pembangkit tenaga, dimana sebagai penggerak mula adalah sebuah mesin diesel yang mendapat energi dari bahan bakar

Untuk mengetahui tingkat produktivitas yang dicapai, berikut disajikan tabel mengenai detail pekerjaan karyawan PLN Pusat Pemeliharaan Listrik Unit Pelaksana

penggunaan pembangkit terbarukan akan memperbesar biaya modal pembangunan pembangkit, namun secara bersamaan menurunkan secara drastis biaya bahan bakar, seperti

Unsur-unsur yang termasuk dalam perhitungan harga pokok produksi listrik di PT PLN Batam adalah unsur-unsur yang termasuk dalam pembangkit PLN seperti bahan bakar yang

Menguraikan data potensi energi primer, wilayah usaha, konsumsi tenaga listrik, kapasitas pembangkit terpasang tenaga listrik, sistem transmisi, sistem distribusi, Rasio

Konsumsi bahan bakar pembangkit listrik PLN dan IPP pada tahun 2006 untuk kasus dasar (harga minyak mentah 30 $/barel dan pertumbuhan PDB 4% per tahun) didominasi oleh bahan

Namun dengan kondisi gas sebagai bahan bakar yang akan terus memasok pembangkit listrik untuk produksi aluminium secara terus-menerus dan fakta bahwa pembangkit listrik berada di