• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka

Pangan adalah komoditas strategis karena merupakan kebutuhan dasar manusia. Pangan tidak saja berarti strategis secara ekonomi, tetapi juga sangat berarti dari segi pertahanan dan keamanan, sosial, dan politis. Situasi pangan di Indonesia cukup unik disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, tetapi juga adanya keragaman sosial, ekonomi, kesuburan tanah, dan potensi daerah (Hasan, 1994).

Secara umum indikator kesejahteraaan suatu masyarakat adalah terpenuhinya lima kebutuhan pokok (basic need) manusia, yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Hal itu berarti tingkat kesejahteraan rumah tangga akan ditentukan oleh seberapa besar pengeluaran rumah tangga mereka dibandingkan pengeluaran perkapita rumah tangga menurut garis kemiskinan. Secara teoritis garis kemiskinan dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pedapatan, dan pendekatan pengeluaran (Sumodiningrat, 1996).

Secara garis besar kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan kedalam dua kategori besar, yaitu kebutuhan pangan dan non pangan. Dengan demikian pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Secara alamiah kuantitas pangan yang dibutuhkan seseorang akan mencukupi sementara kebutuhan bukan pangan, termasuk kualitas pangan tidak terbatasi dengan cara yang sama. Dengan

(2)

demikian, besaran pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan dari suatu rumah tangga dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut. Dengan kata lain semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan, brarti semakin kurang sejahtera rumah tangga yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin kecil pangsa pengeluaran pangan maka rumah tangga tersebut semakin sejahtera (Mulyanto, 2005). Pola konsumsi khususnya konsumsi pangan rumah tangga merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesehatan dan produktivitas rumah tangga. Dari sisi norma gizi terdapat standar minimum jumlah makanan yang dibutuhkan seorang individu agar dapat hidup sehat dan aktif beraktivitas.

Kekurangan konsumsi bagi seseorang dari standar minimum tersebut akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, aktivitas dan produktivitas kerja. Dalam jangka panjang kekurangan konsumsi pangan dalam jumlah dan kualitas (terutama pada anak balita) akan berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia. Pemahaman terhadap perubahan pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga berguna untuk memahami kondisi kesejahteraan rumah tangga, tingkat dan jenis-jenis pangan yang dikonsumsi serta perubahan yang terjadi. Masalah gizi yang dihadapi seorang individu terkait erat dengan pola konsumsi rumah tangga pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia pada umumnya terdiri dari : padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani,lemak (minyak), buah/biji, sayur-sayuran, gula,kacang-kacangan, dan lain-lain (Ariani, 2004).

Mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar, maka secara teoritis seseorang akan mengalokasikan pengeluaran untuk pangan terlebih dahulu, kemudian tahap berikutnya untuk pengeluaran non pangan. Secara empiris terbukti bahwa semakin

(3)

tinggi pendapatan rumah tangga semakin rendah pangsa pengeluaran untuk pangan (Rahman dan Suhartini, 1996).

Pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak azasi setiap insan. Oleh sebab itu, upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus dilaksanakan secara adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia (Sawit, 2003).

Pangan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) mengandung arti bahwa negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pangan bagi warganya. Pemenuhan kebutuhan pangan dalam konteks ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembentukan sumber daya manusia berkualitas yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran global (Suryana, 2004). Pendapatan rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya makin baik tingkat pendapatan, tingkat konsumsi makin tinggi. Karena ketika tingkat pendapatan meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi semakin besar dan pola hidup juga menjadi berubah (Sumardi, 2003).

Setiap orang atau keluarga mempunyai skala kebutuhan yang dipengaruhi oleh pendapatan. Kondisi pendapatan seseorang akan mempengaruhi tingkat konsumsinya. Makin tinggi pendapatan, makin banyak jumlah barang yang dikonsumsi. Sebaliknya, makin sedikit pendapatan, makin berkurang jumlah barang yang dikonsumsi. Bila konsumsi ingin ditingkatkan sedangkan pendapatan tetap, terpaksa tabungan digunakan akibatnya tabungan berkurang (Prayudi, 2000).

(4)

Permintaan terhadap barang non pangan pada umumnya tinggi. Keadaan ini terlihat jelas pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi pangan sudah mencukupi, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang nonpangan, ditabung, ataupuninvestasi (Kuncoro, 2007).

Pada tingkat pendapatan yang dibelanjakan atau pendapatan disposebel yang sangat rendah pengeluaran rumah tangga adalah lebh besar dari pendapatannya. Ini berarti pengeluaran konsumsi bukan saja dibiayai oleh pendapatannya tetapi juga dari sumber-sumber lain seperti dari tabungan yang dibuat pada masa lalu, dengan menjual harta kekayaannya, atau dari meminjam. Keadaan dimana terdapat kelebihan pengeluaran jika dibandingkan dengan pendapatan ini dinamakan dissaving. Semakin tinggi pendapatan disposible yang diterima rumah tangga, makin besar pula konsumsi pangan yang akan mereka lakukan. Akan tetapi pertambahan konsumsi pangan yang akan terjadi adalah lebih rendah dari pendapatan yang berlaku. Maka makin lama kelebihan konsumsi rumah tangga yang wujud (kalau dibandingkan dengan pendapatan yang diterimanya) akan menjadi bertambah kecil (Sukirno, 1981).

Pada suatu tingkat pendapatan disposiblel yang cukup tinggi, konsumsi rumah tangga akan sama besarnya dengan pendapatan disposiblenya. Apabila pendapatan disposible mencapai tingkat yang lebih tinggi, rumah tangga tidak akan menggunakan seluruh pendapatan yang dapat dibelanjakannya tersebut. Ini berarti pengeluaran rumah tangga lebih rendah daripada pendapatan disposebelnya. Pendapatan disposible rumah tangga yang tidak digunakan untuk pembelanjaan tersebut merupakan tabungan yang dilakukan oleh rumah tangga (Sukirno, 1981).

(5)

Penggolongan untuk karyawan yang bekerja di PTPN IV terdiri dari enam belas jenis penggolongan yang dikelompokkan menjadi enam strata. penetapan calon karyawan dilakukan oleh Direksi melalui orientasi selama minimal satu tahun berdasarkan golongan dan jenjang kepangkatan maka masing-masing strata dan golongan dapat dituliskan sebagai berikut :

1. Strata I

• Golongan IA berpangkat pelaksana pratama • Golongan IB berpangkat pelaksana muda 2. Strata II

• Golongan IC berpangkat juru pratama • Golongan ID berpangkat juru muda 3. Strata III

• Golongan IIA berpangkat penyelia pratama • Golongan IIB berpangkat penyelia muda • Golongan IIC berpangkat penyelia madya • Golongan IID berpangkat penyelia utama 4. Strata IV

• Golongan IIIA berpangkat pengatur pratama • Golongan IIIB berpangkat pengatur muda • Golongan IIIC berpangkat pengatur madya • Golongan IIID berpangkat pengatur utama 5. Strata V

• Golongan IVA berpangkat penata madya • Golongan IVB berpangkat penata utama

(6)

6. Strata VI

• Golongan IVC berpangkat pembina madya • Golongan IVD berpangkat pembina utama

Ketentuan strata menurut bidang tugas adalah berbeda-beda. Strata I dapat dipangku oleh karyawan pelaksana dengan tugas pemanen, boyan, pelayan, petugas tanaman, pemangkas, pos afdeling, centeng, dan tukang kebun. Strata II dapat dipangku oleh karyawan pelaksana dengan tugas petugas pemeriksa buah, juru ukur, petugas laboratorium, kerani, pos unit, pompa air pabrik, operator limbah, operator pabrik, pembantu kerani afdeling, kerani tata usaha, kerani gudang, mandor pemeliharaan tanaman, dan kerani tehnik. Strata III dapat dipangku oleh karyawan pemangku jabatan seperti kerani-I urusan kantor pusat, kerani –I afdeling, mandor transport, mandor tehnik, mandor I afdeling. Strata IV dipangku oleh karyawan pemangku jabatan seperti assisten dan assisten urusan. Strata V dipangku oleh karyawan pemangku jabatan seperti kepala dinas dan kepala urusan. Strata VI dipangku oleh karyawan pemangku jabatan seperti manejer unit, manejer group, dan kepala bagian. Setiap karyawan memiliki lima hari kerja atau enam hari kerja bergantung pada kepentingan dan kebutuhan perusahaan dengan satu hari kerja setara dengan tujuh jam. Sehingga apabila ada kelebihan waktu bekerja akan dihitung sebagai waktu kerja lembur dan kelebihan waktu bekerja tersebut akan dibayar sebagai upah lembur. Adapun komponen pendapatan karyawan pimpinan terdiri dari : gaji pokok + premi (kapasitas kerja)+tunjangan. Sedangkan komponen pendapatan karyawan pelaksana terdiri

dari : gaji pokok+ premi (kapasitas kerja)+tunjangan+catu beras+lembur (PTPN IV, 2010).

(7)

2.2. Landasan Teori Pola Konsumsi

Seorang ahli ekonomi yang bernama Christian Lorent Ersnt Engel mengemukakan sebuah ”Hukum Konsumsi”. Hukum ini berdasarkan pada hasil penelitiannya yang dilakukan pada abad ke 19 di Eropa. Menuru Engel, semakin miskin suatu keluarga atau bangsa, akan semakin besar pula persentase pengeluaran yang digunakan untuk barang pangan (Sudarman, 2004).

Konsep konsumsi merupakan konsep yang di Indonesiakan dari bahasa inggris yakni ”Consumption”. Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang dan jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi (Cahyono, 2003).

Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga/keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumah tangga tersebut. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi pangan mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Dengan kata lain dapat dikatakan

(8)

bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk pangan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non pangan (Purwitasari, 2007).

Besar kecilnya konsumsi dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya :

1. Tingkat pendapatan dan kekayaan. Sangat lazim apabila tinggi rendahnya daya konsumsi seseorang atau masyarakat berhubungan dengan tinggi rendahnya tingkat pendapatan, karena perilaku konsumsi secara psikologis memang berhubungan dengan tingkat pendapatan, artinya bila pendapatan tinggi maka konsumsinya semakin tinggi (baik dalam jumlah maupun dalam nilai) karena ini berhubungan dengan pemenuhan kepuasan yang tak terbatas itu. Apabila pendapatan rendah maka konsumsinya juga relatif rendah karena berhubungan dengan keinginan bertahan hidup, jadi konsumsi untuk bertahan hidup dan pemenuhan kepuasan yang tinggi semuanya karena faktor pendapatan. Selain pendapatan mka kekayaan juga sangat berpengaruh. Kekayaan bisa saja sebagai akibat dari tingkat tabungan dari masa lalu atau karena warisan dan lain sebagainya.

2. Tingkat suku bunga dan spekulasi. Bagi masyarakat tentu adakalanya mau mengorbankan konsumsi untuk mendapatkan perolehan yang lebih besar dari suku bunga yang berlaku dari uang yang ditabung, sehingga manakala suku bunga tinggi konsumsi masyarakat berkurang meskipun pendapatan tetap. Akan tetapi manakala suku bunga demikian rendahnya maka masyarakat akan lebih condong untuk menggunakan semua uangnya untuk konsumsi, sehingga hampir tidak ada yang ditabung. Selain suku bunga, tingkat spekulasi masyarakat juga mempengaruhi tingkat konsumsi, masyarakat bisa saja

(9)

mengurangi konsumsinya karena berharap pada hasil yang besar dari uang yang dikeluarkan untuk main dipasar saham atau obligasi (menunda konsumsi tinggi)dnegan harapan tentunya akan bisa melakukan konsumsi yang lebih besar apabila dalam kegiatan spekulasi itumendapatkan hasil sesuai yang diharapkan.

3. Sikap berhemat. Memang terjadi paradoks antara sikap berhemat dengan peningkata kapasitas produksi nasional. Di satu sisi untuk memperbesar kapasitas produksi nasional maka konsumsi harusalah ditingkatkan. Akan tetapi disisi lain untuk meningkatkan pendanaan dalam negeri agar investasi dapat berjalan dengan mudah dan relatif murah serta aman maka tabungan masyarakat perlu ditingkatkan. Akan tetapi manakala tingkat perekonomian sudah mencapai kondisi ideal biasanya masyarakatnya akan cenderung hidup berhemat sehingga akan memperbesar proporsi tabungan dari pada proporsi konsumsi dari pendapatannya.

4. Budaya, Gaya hidup (pamer, gengsi dan ikut arus) dan demonstration effect. Gaya hidup masyarakat yang cenderung mencontoh konsumsi baik itu konsumsi dari tetangganya, masyarakat sekitarnya dan atau dari masyarakat yang pernah di bacanya di mass media menjadikan konsumsi masyarakat terpengaruh. Konsumsi untuk produk-produk yang belum saat ini dibutuhkan dan dibeli hanya demi gengsi, ikut arus membuat tingkat tabungan masyarakat menjadi rendah. Demikian juga halnya dengan dampak demonstration effect yang menjadikan pola konsumsi masyarakat yang terlalu konsumtif sehingga akan mengurangi tingkat tabungan.

(10)

5. Keadaan perekonomian. Pada saat perekonomian dalam kondisi stabil maka konsumsi masyarakat juga akan stabil, akan tetapi manakala perekonomian mengalami krisis maka biasanya tabungan masyarakat akan menjadi rendah dan konsumsi akan menjadi tinggi karena kurangnya kepercayaan pada lembaga perbankan dan semakin mahalnya dan langkahnya barang-barang kebutuhan. (Putong, 2010)

Konsumsi

Teori Konsumsi keynes di dasarkan pada 3 postulat :

1. Menurut hukum psikologis fundamental (katakanlah ia sebagai hukum Keynes), bahwa konsumsi akan meningkat apabila pendapatan meningkat, akan tetapi besarnya peningkatan konsumsi tidak akan sebesar peningkatan pendapatan, oleh karena nya adanya batasan dari Keynes sendiri yaitu bahwa kecenderungan mengkonsumsi marginal =MPC= C / Y (Marginal Propensity to consume) adalah antara nol dan satu, dan pula besarnya perubahan konsumsi selalu di atas 50% akan tetapi tetap tidak sampai 100%(0,5>MPC<1).

2. Rata-rata kecenderungan mengkonsumsi =APC= C / Y (Average Propensity to consume) akan turun apabila pendapatan naik, alasannya sederhana saja, karena peningkatan pendapatan selalu lebih besar dari peningkatan konsumsi, sehingga pada setiap naiknya pendapatan pastilah akan memperbesar tabungan. Dengan demikian dapat dibuatkan satu pernyataan lagi bahwa setiap terjadi peningkatan pendapatan maka pastilah rata-rata kecenderungan menabung akan semakin tinggi.

(11)

3. Bahwa pendapatan adalah merupakan determinan (faktor penentu utama) dari konsumsi. Faktor-faktor lain dianggap tidak berarti. (Putong, 2010)

Elastisitas Pendapatan

Elastisitas pendapatan adalah koefisien yang menunjukkan sampai dimana besarnya perubahan permintaan terhadap sesuatu barang sebagai akibat perubahan pendapatan dinamakan elastisitas permintaan pendapatan atau elastisitas pendapatan.Konsep elastisitas ini mengukur sejauh mana kuantitas permintaan berubah mengikuti perubahan pendapatan. Elastisitas pendapatan dari permintaan didefinisikan sebagai persentase perubahan kuantitas barang yang dikonsumsi dibagi persentase perubahan pendapatan (Sirojuzilam, 2005).

Jenis-jenis elastisitas pendapatan dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Ep = 1, ini dinamakan uniter elastis, artinya bila jumlah barang yang di konsumsi naik/turun sebanyak 1% maka pendapatan akan turun/naik sebanyak 1% pula (persentase perubahan jumlah pendapatan sama dengan persentase perubahan barang yang dikonsumsi).

2. Ep > 1, dinamakan elastis, artinya bila pendapatan naik/turun sebesar 1%, maka jumlah barang yang dikonsumsi akan turun/naik lebih dari 1% (persentase perubahan jumlah barang yang dikonsumsi lebih besar dari pada persentase perubahan pendapatan  jumlah barang yang di konsumsi sangat peka terhadap perubahan pendapatan).

3. Ep < 1, dinamakan inelastis, artinya bila jumlah barang yang dikonsumsi naik/turun 1% maka pendapatan akan turun/naik kurang dari 1%. (persentase perubahan jumlah barang yang dikonsumsi lebih kecil dari pada persentase

(12)

perubahan pendapatan  jumlah barang yang dikonsumsi kurang peka terhadap perubahan pendapatan).

4. Ep = 0, dinamakan inelastis sempurna, yaitu bila pendapatan tidak tanggap terhadap perubahan jumlah barang yang dikonsumsi, jadi berapa saja jumlah barang yang dikonsumsi, jumlah pendapatan akan tetap, (kurva permintaan sejajar dengan sumbu vertikal).

5. Ep =

~

(tak hingga), ini dinamakan elastis sempurna, (kurva permintaan sejajar dengan sumbu horizontal). (Putong, 2010)

Untuk suatu barang normal, elastisitasnya adalah positif karena kenaikan pendapatan mengakibatkan kenaikan pembelian akan barang tersebut. Selain barang normal, di pasar juga tersedia barang inferior. Untuk barang inferior, elastisitasnya adalah negatif karena kuantitas permintaannya menurun ketika pendapatan konsumen meningkat. Dengan kata lain, barang inferior adalah barang yang dibeli oleh orang – orang yang tidak mampu membeli barang lain yang lebih baik atau karena harganya lebih tinggi. Contohnya adalah angkutan umum bis kota. Jika pendapatan masyarakat meningkat, mereka tentu akan membeli mobil sendiri akibatnya permintaan jasa angkutan bis kota menurun. Alasannya, karena barang pangan merupakan kebutuhan pokok sehingga naik atau tidaknya pendapatan, orang tetap akan membelinya. Jika pendapatan naik, kuantitas permintaannya memang bertambah, tapi tidak banyak. Berbeda dengan barang – barang mewah seperti mobil atau barang – barang elektronik, baru akan dibeli jika pendapatan meningkat. Itu sebabnya kuantitas permintaan barang – barang mewah naik mencolok ketika pendapatan masyarakat meningkat (Sukirno, 2008).

(13)

2.3. Kerangka Pemikiran

Para karyawan di PTPN IV Kebun Air Batu terbagi atas dua yaitu karyawan pimpina dan karyawan pelaksan kedua karyawan ini memiliki pendapatan yang berbeda tergantung posisi yang didudukinya. Perbedaan pendapatan rumah tangga pada masing-masing karyawan menyebabkan perbedaan pola konsumsi dan pengeluaran konsumsinya.

Pola konsumsi pangan dapat diukur dengan persentase rata – rata pengeluaran konsumsi pangan yang dapat melihat jumlah pengeluaran konsumsi pangan terhadap jumlah total pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran konsumsi dapat diukur dengan elastisitas pendapatan dimana perubahan pendapatan menyebabkan perubahan pola konsumsi, sehingga nilai yang memperlihatkan tambahan konsumsi akibat tambahan pendapatan dapat diukur dengan MPC (Marginal Propensity to Consume).

Perbedaan pendapatan antara karyawan pimpina dan karyawan pelaksan menyebabkan adanya perbedaan pengeluaran konsumsi pangan pada keluarga karyawan pimpinan dan karyawan pelaksana. Perbedaan pengeluaran konsumsi pangan yang disebabkan oleh perbedaan pendapataan antara karyawan pimpinan dan karyawan pelaksana dapat diketahui dengan cara melihat pola konsumsi pangan, menghitung % pengeluaran konsumsi pangan, menghitung MPC, dan melihat elastisitas pendapatan antara karyawan pimpinan dan karyawan pelaksana.

(14)

Secara skematis kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar sebagai berikut :

Keterangan : Hubungan Pengaruh

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Pola Konsumsi Pangan Pendapatan Karyawan Pimpinan Elastisitas Pendapatan Karyawan

PTPN IV Kebun Air Batu

% Pengeluaran Konsumsi Pangan Elastis MPC Pendapatan Karyawan Pelaksanaa Pengeluaran Konsumsi Pangan Karyawan Pimpinan Pengeluaran Konsumsi Pangan Karyawan Pelaksana Inelastis Perbandingan antara Karyawan Pimpinan dan

(15)

2.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut :

1) Tingkat elastisitas pendapatan dengan jumlah pengeluaran konsumsi di daerah penelitian adalah ”inelastis”.

2) Karyawan pimpinan memiliki pendapatan yang lebih tinggi dari pendapatan karyawan pelaksana sehingga diduga konsumsi pangan karyawan pelaksana lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan pimpinan..

3) Perubahan konsumsi pangan karyawan pimpinan dan karyawan pelaksana dipengaruhi oleh perubahan pendapatan di daerah penelitian.

Gambar

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Pola  Konsumsi  Pangan Pendapatan Karyawan Pimpinan  Elastisitas  Pendapatan Karyawan

Referensi

Dokumen terkait

Policijski pogajalci so v reševanje krizne situacije vključeni šele kasneje, pogajanja z osebo prevzamejo ali pa policistom nudijo pomoč z nasveti, kar je razvidno tudi iz

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pemberian Pakan

TOTO menyatakan bahwa mencatatkan penjualan yang relatif sama dengan tahun lalu merupakan hal yang baik.. Sebagai informasi, TOTO pada tahun 2019 mencatatkan penjualan

1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dijelaskan pengertian Pegawai Negeri Sipil adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan,

Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa problem dalam penyusunan analisis beban kerja di Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Sulawesi Selatan khususnya dalam

Adapun proses-proses dari ekstraksi metalurgi / ekstraksi logam itu sendiri antara lain adalah pyrometalurgy (proses ekstraksi yang dilakukan pada temperatur

Uji coba performa pada sistem ini dilakukan dengan mengecek keberhasilan pengiriman data ke server dan mengukur penurunan daya tahan baterai dengan

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh senyawa 2’,4’-dimetil-3,4- metilendioksikalkon dari 2,4-dimetilasetofenon dan piperonal melalui reaksi kondensasi Claisen-Schmidt