• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN MANDIRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN MANDIRI"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

i

LAPORAN PENELITIAN MANDIRI

Pidana Tambahan Pemenuhan Kewajiban Adat Setempat Atau Kewajiban

Menurut Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat Sebagai Refleksi

Restorative Justice Dalam Rancangan KUHP Indonesia

PENELITI :

DIAH RATNA SARI HARIYANTO

MAHASISWA :

1. Bayu Anggara (NIM : 1216051184)

2. Daniel Alexandr Soebroto AM (NIM : 1215051206)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

BULAN AGUSTUS TAHUN 2016

(2)
(3)

iii DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

DAFTAR ISI ... iii

RINGKASAN ... iv BAB I PENDAHULUAN ……….…...……… 1 1.1 Latar Belakang ………..……….... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 8 1.3 Tujuan Penulisan ... ... .... 8 1.3.1 Tujuan Umum ………..………...……... 8 1.3.2 Tujuan Khusus ………..……… ... 8 1.4 Manfaat ………..………..………...…. 9 1.5 Urgensi Penelitian ... ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... ... 10

BAB III METODE PENULISAN ………..……….…. 19

BAB IV PEMBAHASAN ……….……….…... 22

4.1 Pidana Tambahan Pemenuhan Kewajiban Adat Setempat Atau Kewajiban Menurut Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat Sebagai Refleksi Restorative Justice Dalam Rancangan KUHP Indonesia ... ... 22

BAB V PENUTUP ………. ... .... 33

5.1 Kesimpulan ………....…... 33

5.2 Saran-Saran ………... 33

BAB V BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN ... 34 DAFTAR PUSTAKA

(4)

iv RINGKASAN

Pidana Tambahan Pemenuhan Kewajiban Adat Setempat Atau Kewajiban Menurut Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat Sebagai Refleksi Restorative Justice Dalam

Rancangan KUHP Indonesia

Jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat ini menarik untuk dikaji karena merupakan salah satu bentuk pencapaian hukum yang responsif dan progresif dalam mencapai rasa keadilan masyarakat. Jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana yang diatur dalam Rancangan KUHP dalam Pasal 67 ayat (1) huruf e merupakan konsep yang tepat dalam mencapai hukum yang responsif dan progresif, serta dalam memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain. Pidana tambahan ini dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Jika dikaji maka dasar hukum kewenangan hakim untuk menjatuhkan jenis pidana ini adalah ketentuan Pasal 100 Rancangan KUHP. Dalam penerapan Jenis Pidana Tambahan Berupa Pemenuhan Kewajiban Adat Setempat Atau Kewajiban Menurut Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat, hakim harus memperhatikan dan wajib mempertimbangkan hal-hal yang diatur dalam mengenai pedoman pemidanaan dan juga memperhatikan tujuan pemidanaan. Pidana tambahan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan refleksi restorative justice.

Penelitian ini menggunakan metode pnelitian hukum normatif, yang sumbernya berasal dari bahan hukum primer yakni peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder dan dilakukan dengan beberapa pendekatan yakni, berbagai pendekatan yakni dengan pendekatan kasus (The Case Approach), pendekatan perundang-undangan (The Statute

Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach),

Pendekatan Sejarah (Historical Approach), dan pendekatan perbandingan (Comparative

Approach). Adapun penyajian dari paper ini disusun secara deskriptif yang disajikan secara

(5)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hukum pidana dikaji dari fungsinya tentu memiliki peranan yang sangat penting di dalam mengatur kehidupan masyarakat, untuk mencapai keamanan, ketentraman, kesejahteraan, dan kebahagiaan di dalam masyarakat. Dapat dikatakan bahwa, hukum pidana memiliki arti yang penting dalam lingkup hukum publik. Sebagaimana yang telah kita ketahui, secara yuridis hukum pidana (materiil) yang berlaku hingga saat kini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrechts (W.v.S).

Dari segi historisnya, Mokhammad Najih menyatakan bahwa Bangsa Indonesia sejak kemerdekaannya pada pada tanggal 17 Agustus 1945 telah memilih untuk menggunakan undang-undang hukum pidana yang pernah diberlakukan pada masa kolonial, sebagaimana dikukuhkan dalam UU No. 1/1946 yang mengukuhkan W.v.S menjadi KUHP induk dari segala hukum pidana.1 Berdasarkan hal itu, dapat diketahui bahwa setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, untuk mengisi kekosongan hukum pidana, maka dengan dasar Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945 dengan menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia maka Wetboek van Strafrechts voor

Nederlandsch Indie (WvSNI) tetap diberlakukan. Berdasarkan hal tersebut juga dapat

diketahui bahwa, KUHP yang berlaku hingga kini adalah warisan kolonial yang tentu secara substansi belum mencerminkan nilai-nilai, karakter, dan kepribadian Bangsa Indonesia, sehingga banyak hal yang perlu dirubah sehingga mampu memberikan keadilan bagi bangsa Indonesia.

Dalam perkembangan hukum pidana, seiring dengan perkembangan teknologi serta kebutuhan hukum yang kian meningkat, pembaharuan hukum pidana menjadi hal yang penting dalam reformasi dan pembangunan hukum pidana ke arah yang lebih baik. Pembaharuan hukum ini diperlukan sebagai suatu upaya dalam reorientasi dan reformasi hukum pidana yang juga meliputi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat yang sesuai dengan

volk geist (jiwa bangsa) yang mencerminkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum

bagi masyarakat Indonesia. Mengingat bahwa hukum tidaklah statis, demikian pula masyarakat yang terus berkembang dan dinamis. Oleh sebab itu, hukum haruslah dinamis dengan melakukan perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan zaman, kebutuhan hukum, dan dinamika kehidupan masyarakat.

1Mokhammad Najih, 2014, Politik Hukum Pidana; Konsepsi Pembaharuan Hukum Pidana dalam Cita

(6)

2

Mengacu pada KUHP, KUHP yang berlaku saat ini tentu juga perlu diperbaharui. Pembaharuan KUHP Indonesia menemui berbagai kendala yang menyebabkan hingga saat ini rancangan tersebut belum disahkan dan diberlakukan. Rancangan KUHP ini terus diperbaharui dengan berbagai konsep yang diharapkan mampu efektif menanggulangi kejahatan serta memberikan keadilan dan perlindungan bagi masyarakat, korban kejahatan dan juga pelaku tindak pidana (restorative justice).

Memiliki KUHP nasional atau Hukum Pidana Indonesia dalam sistem hukum nasional tentu merupakan harapan besar bagi bangsa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa, sejak kemerdekaan hingga sampai saat ini keinginan mewujudkan sistem hukum nasional merupakan agenda utama dalam pembanguan hukum nasional. Politik hukum pidana dalam hal ini tentu memiliki andil dalam setiap proses pembaharuan hukum pidana Indonesia. Sangat besar harapan bangsa Indonesia untuk memiliki KUHP Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai, pandangan, konsep, ide, gagasan, cita-cita, dan ideologi bangsa Indonesia. Namun, senyatanya hingga kini hal tersebut belum dapat terwujud, walaupun proses pembaharuannya telah berjalan sudah sangat lama namun belum disahkan hingga saat ini.

Jika dikaji, naskah RUU KUHP memiliki sejarah riwayat yang sangat panjang. Barda Nawawi Arief dalam Makalahnya yang berjudul “RUU Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi/Reformasi Sistem Hukum Pidana Indonesia” yang disampaikan pada Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi di Surabaya 9-11 Maret 2015 menguraikan riwayat singkat perkembangan RUU KUHP. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa, embrio RUU KUHP ini sudah berumur sekitar 51 tahun, sejak tahun 1964 (konsep 1) sampai konsep 2014/2015. RUU KUHP ini sudah berada dalam periode 13 Menteri Kehakiman, yaitu Ismail Saleh (1983-1933), Oetojo Oesman (1993-1998), Muladi (1998-1999), Yusril Ihza Mahendra (1999-2001), Baharudin Lopa (2001-2001), Marsilam Simanjuntak (2001), Mohammad Mahfud MD (2001), Yusril Ihza Mahendra (2001-2004), Hamid Awaluddin (2004-2007), Muhammad Andi Mattalatta (2007-2009), Patrialis Akbar (2009-2011), Amir Syarifudin (2011-2014), dan Yasonna Hamonangan Laoly (2014-sekarang).2

Barda Nawawi Arief dalam makalahnya juga menyebutkan bahwa, pada tahun 1993, konsep 1991/1992 (edisi revisi s.d Maret 1993), disampaikan ke Menkeh Ismail Saleh, tetapi tidak pernah diteruskan ke DPR. RUU KUHP pertamakali masuk ke DPR sewaktu periode Presiden SBY dengan Menkumhamnya Amir Syarifudin yang dimasukkan konsep RUU KUHP 2012. Pada periode Presiden Jokowi, dengan Menkumhamnya Yasonna Laoly, RUU

2Barda Nawawi Arief I, 2015, RUU Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi/Reformasi Sistem Hukum

Pidana Indonesia, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi, Mahupiki dan Fakultas Hukum Pelita Harapan

(7)

3

KUHP 2012 dikembalikan dan dibahas ulang pada tanggal 1 s.d 6 Desember 2014 (yang disebut sebagai RKUHP 2014/2015). Konsep RUU KUHP ini belum diajukan lagi ke DPR.3 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, konsep RUU KUHP 2015 memang telah ada dan sedang berproses, namun belum rampung hingga saat ini.

Pembaharuan hukum pidana khususnya mengenai hukum pidana materiil (substantif) merupakan hal yang penting dan mendasar, karena KUHP sekarang tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan hukum dan rasa keadilan masyarakat Indonesia. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa, “Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk bidang hukum pidana, merupakan masalah besar dalam agenda kebijakan/politik hukum di Indonesia. Khususnya pembaharuan sistem hukum pidana nasional masih sangat memprihatinkan...”.4 Uraian ini menegaskan bahwa, pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional yang berjalan sangat lamban ini mengarah pada anggapan bahwa, pembaharuan hukum pidana Indonesia khususnya sistem hukum nasional yang berlandaskan aspek ke Indonesiaan bukanlah hal yang mudah.

Perlu dipahami bahwa, menurut Barda Nawawi Arief, membangun atau melakukan pembaharuan hukum (law reform, khususnya “penal reform”) pada hakikatnya adalah “membangun/memperbaharui pokok-pokok pemikiran/konsep/ide dasarnya”, bukan sekedar memperbaharui/mengganti perumusan pasal (undang-undang) secara tekstual. Oleh karena itu, kajian atau diskusi tekstual mengenai konsep RUU KUHP harus disertai dengan diskusi konseptual.5 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, pembaharuan hukum pidana dilakukan secara total, bukan merupakan tambal sulam dengan hanya mengganti secara tekstual (substansi) dari Undang-Undang. Secara total disini artinya yakni, bahwa yang diperbaharui adalah konsepnya, ide-idenya, pokok pikirannya, gagasan, pandangan, nilai-nilainya yang diarahkan pada karakter, kepribadian bangsa Indonesia dan tetap mengacu pada Pancasila. Pembaharuan hukum dalam hal ini untuk mengefektifkan penegakan hukum maka dapat dimaknai sebagai kebijakan untuk memperbaharui substansi hukum.

Barda Nawawi Arief juga menyatakan bahwa, makna dan hakikat reformasi atau pembaharuan KUHP :

1. KUHP merupakan suatu sistem hukum, khususnya merupakan sistem hukum pidana (penal system) atau sistem pemidanaan (sentecing system). Oleh karena itu

3Ibid, h. 12-13.

4Barda Nawawi Arief II, 2011, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan,

cetakan kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. V.

(8)

4

pembaharuan KUHP pada hakikatnya adalah pembaharuan sistem hukum pidana/sistem pemidanaan.

2. KUHP Pada hakikatnya merupakan pembaharuan nilai budaya hukum/ide dasar.6 Hal ini menunjukkan bahwa, pembaharuan hukum tidak hanya merupakan pembaharuan secara substantif, tapi merupakan pembaharuan sistem hukum, yang juga meliputi pembaharuan struktur hukum dan budaya hukum.

Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa terdapat 3 (tiga) masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu tindak pidana, kesalahan, dan pidana, jika dikaji 3 masalah pokok inilah yang kemudian menjadi fokus dalam Rancangan KUHP Indonesia. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa :

Konsep rancangan KUHP Baru disusun dengan bertolak pada tiga materi/substansi/masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu :

1) Masalah tindak pidana;

2) Masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan 3) Masalah pidana dan pemidanaan.7

Masalah pidana dan pemidanaan menjadi salah satu materi/substansi dalam rancangan KUHP. Jika dikaji, mengenai Pidana dan pemidanaan dalam konsep rancangan KUHP telah mengalami perubahan mendasar karena telah diaturnya mengenai tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan dalam konsep Rancangan KUHP yang semula tidak diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini. Dapat dikatakan bahwa, telah terjadi perubahan yang signifikan. Tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan ini menjadi dasar yang menjiwai ketentuan dan pelaksanaan dari pidana dan pemidanaan. Konsekuensi dari hal ini melahirkan perubahan mengenai jenis pidana, salah satunya adalah mengenai jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini merupakan hal baru yang diatur dalam Pasal 67 ayat (1) huruf e Rancangan KUHP.

Jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat ini menarik untuk dikaji karena merupakan salah satu bentuk pencapaian hukum yang responsif dan progresif dalam mencapai rasa keadilan masyarakat. Hal ini tentu dapat memberikan arah yang positif untuk mencapai penanggulangan kejahatan yang lebih efektif dan mencapai rasa keadilan masyarakat dengan cara pemulihan keseimbangan yang terganggu akibat terjadinya sebuah tindak pidana. Dapat dikatakan bahwa jenis pidana tambahan ini merupakan salah satu bentuk upaya pembaharuan

6Barda Nawawi Arief I, op.cit, h. 3.

(9)

5

yang sangat tepat untuk mencapai tujuan dari pemidanaan itu sendiri.

Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang telah ada sejak dahulu, yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam aspek keberlakuannya, hukum adat ini hingga kini masih eksis bahkan lebih ditakuti oleh masyarakat setempat. Keberlakuan hukum adat juga diakui dalam konstitusi negara Indonesia.

Jika dikaji, eksistensi atau pentingnya hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat juga didukung dalam berbagai instrumen internasional. Diantaranya yakni dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), menyebutkan bahwa, “Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any

person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principles of law recognized by the community of nations”. Selain

itu, juga dapat ditemukan dalam rekomendasi dari Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” yang pada intinya menyatakan bahwa dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada umumnya bersifat “obsolete and unjust” (telah usang dan tidak adil) serta “outmoded and

unreal” (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan). Alasannya karena

sistem hukum di beberapa negara tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada “diskrepansi” dengan aspirasi masyarakat, serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini.8

Dalam kenyataannya sering ditemukan bahwa, penyelesaian masalah secara yuridis formal dengan menjatuhkan sanksi pidana pokok saja belum dirasakan merupakan penyelesaian masalah yang tuntas.9 Selain itu, juga dianggap belum mampu memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, terutama yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat yang memandang bahwa tindak pidana menyebabkan terganggunya keseimbangan. Oleh sebab itu, sanksi atau jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan hal yang sangat penting. Secara sosiologis, mengingat pentingnya KUHP dalam penegakan hukum maka KUHP harus segera diganti, RUU KUHP harus segera dirampungkan. Mengingat bahwa, KUHP yang berlaku sekarang adalah merupakan produk hukum warisan zaman kolonial tentu sudah tidak memadai lagi memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa

8http://www.kompasian.com, dibuka pada tanggal 19 Juni 2015, diakses pada pukul 11.29 wita.

9Barda Nawawi Arief III, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan

(10)

6

dalam penegakan hukum harusnya telah terjadi suatu pergeseran paradigma dari legalistik formal kearah hukum yang progresif dan responsif untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Hal ini sebagaimana yang kemukakan oleh Gustav Radbruch. Ahmad Rifai menyatakan bahwa :

... tujuan hukum sebenarnya sama dengan apa yang kemukakan oleh Gustav Radbruch sebagai 3 (tiga) nilai dasar dari hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Selanjutnya, Radbruch juga mengajarkan penggunaan asas prioritas dari ketiga asas tersebut, dimana prioritas utama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum.10

Sesuai dari penggunaan asas prioritas tersebut dapat diketahui bahwa, keadilan tentu harus diutamakan dalam hal ini.

Sebagai hukum asli Indonesia, walaupun hukum adat telah ada sejak dahulu bahkan sejak sebelum adanya KUHP namun, dalam hal ini perlu di rumuskan sebagai bentuk integrasi dalam penanggulangan kejahatan. Sehingga, konsep jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan kebijakan yang tepat dalam rangka pembaharuan hukum pidana.

Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, KUHP (W.v.S) yang berlaku saat ini belum mampu memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat ketika tindak pidana yang terjadi bersentuhan dengan hukum adat yang berlaku pada masyarakat setempat. Salah satu contoh kasus atau fenomena yang mewakili hal ini adalah kasus maraknya pencurian pratima di Bali. Walaupun pelaku tidak lepas dari jeratan hukuman berdasarkan Pasal 362 KUHP mengenai pencurian, namun sanksi pidana yang diberikan KUHP tidak mampu memberikan rasa keadilan masyarakat, karena bagi masyarakat adat (sebagai korban) lebih menuntut adanya pengembalian keseimbangan yang terjadi akibat tindak pidana tersebut.

Masyarakat adat tidak melihat ini sebagai pencurian ringan ataupun dengan kwalifikasi pemberatan, karena kerugiannya bukan dari segi materiil namun juga terganggunya keseimbangan serta mengganggu rasa kebatinan mayarakat. Karena, pratima adalah benda suci yang sakral yang tidak ternilai harganya. Dalam pelaksanaannya, penegak hukum berusaha untuk memenuhi tuntutan masyarakat dengan mengkombinasikan hukum nasional dan hukum adat. Hal ini dilakukan untuk mengurangi rasa kekecewaan masyarakat dan juga menghindari adanya main hakim sendiri dari masyarakat. Namun, hal tersebut tidak efisien, oleh sebab itu pembaharuan hukum pidana mengenai jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam

10Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, cetakan kedua,

(11)

7

masyarakat merupakan langkah yang sangat tepat sehingga terpenuhi rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat. Selain itu, banyak kasus-kasus lainnya di Indonesia yang menunjukkan bahwa konsep jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan terobosan yang menjawab kebutuhan masyarakat adat ketika terjadinya tindak pidana di daerahnya.

Fenonema dalam fakta-fakta atau dass sollen inilah yang menunjukkan perlunya pembaharuan hukum pidana mengenai pidana dan pemidanaan. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa KUHP yang berlaku sekarang sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat. Konsekuensi dari hal ini, maka semakin lamanya RUU KUHP dirampungkan atau disahkan maka banyak permasalahan yang akan ditimbulkan. Semakin lamanya RUU KUHP dirampungkan atau disahkan maka masyarakat akan semakin terjauh dari keadilan bangsa Indonesia. Selama KUHP warisan Belanda belum diganti, selama itu pulalah hukum nasional kita tidak memiliki jati diri. Hukum Pidana Nasional kita membutuhkan KUHP yang berkarakter, berkepribadian, dan jiwa yang mendasarinya adalah Pancasila. Secara filosofis hal ini penting untuk dibangun, salah satunya yakni gagasan tentang keadilan berdasarkan pancasila.

Oleh sebab itu asas hukum yang terdapat dalam KUHP harus sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, sesuai dengan karakter, kepribadian, dan pandangan hidup bangsa dengan kata lain juga harus sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Oleh sebab itu, penulisan ini juga bermanfaat untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa keadilan berdasarkan pancasila harus ditegakkan demi terwujudnya hukum yang responsif dan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia.

Konsep jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat adalah konsep yang sangat menarik karena memperhatikan keadilan korban, pelaku, dan juga masyarakat luas (restorative

justice), namun berbicara mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat yang sangat erat

hubungannya dengan keanekaragaman maka pelaksanaannya sangat diharapkan diterapkan dan dilaksanakan secara hati-hati dan bijak sebagai upaya untuk menanggulangi gesekan-gesekan, perbedaan kepentingan serta kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda. Dalam menghadapi pluralisme mengenai hukum adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya hingga keadilan dapat terwujud maka sangat diperlukan cara-cara yang tepat dan bijaksana. Hal ini penting untuk dikaji sebagai upaya reformasi dan pembangunan hukum pidana nasional ke arah yang lebih baik.

(12)

8

Berdasarkan hal-hal seperti yang telah penulis uraikan diatas, maka merupakan pendorong bagi penulis untuk menulis karya tulis dengan judul : “Pidana Tambahan Pemenuhan Kewajiban Adat Setempat Atau Kewajiban Menurut Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat Sebagai Refleksi Restorative Justice Dalam Rancangan KUHP Indonesia”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, hal yang dapat menjadi Rumusan Masalah adalah sebagai berikut :

 Konsep pidana tambahan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai refleksi restorative justice dalam rancangan KUHP Indonesia.

1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai pidana tambahan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai refleksi restorative justice dalam rancangan KUHP Indonesia.

1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui dan memahami lebih lanjut mengenai konsep pidana tambahan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai refleksi restorative justice dalam rancangan KUHP Indonesia.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat pengembangan ilmu hukum dan dapat memberikan inovasi atau terobosan baru dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. Pengkajian mengenai pidana tambahan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai refleksi restorative

justice dalam rancangan KUHP Indonesia akan memberi manfaat pengetahuan

(13)

9 1.4.2 Manfaat Praktis

Dengan mengetahui serta memahami jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai refleksi restorative justice dalam rancangan KUHP Indonesia akan bermanfaat bagi penegak hukum dan masyarakat. Dengan adanya pembaharuan hukum mengenai konsep ini, akan mempermudah penegak hukum dalam menangani kasus yang bersentuhan dengan hukum adat, karena telah ada peraturan yang jelas sehingga tercapai kepastian hukum. Penegak hukum tidak akan ragu lagi dalam menegakkan hukum adat bersama dengan hukum nasional karena telah diatur dalam KUHP yang baru. Secara praktis, hal ini juga bermanfaat bagi masyarakat, karena akan memberikan rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Selain itu, dengan pemahaman dan pengetahuan masyarakat mengenai jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat akan memudahkan masyarakat secara praktis jika mengalami kasus ini, karena telah mengetahui prosedur, ketentuan, tata cara, dll mengenai hal ini.

1.5 Urgensi Penelitian

Penelitian ini penting untuk dilakukan dalam rangka menyempurnakan konsep pidana dan pemidanaan yang berlaku di Indonesia, sehingga dapat memberikan keadilan bagi masyarakat dalam tataran pencapaian hukum yang progresif dan responsif. Dengan diberlakukannya pidana tambahan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai refleksi restorative justice, dengan penekanan aspek mengembalikan keseimbangan yang telah dirusak karena terjadinya pemidanaan tentu merupakan usaha pemenuhan keadilan yang diperlukan bagi bangsa Indonesia. Dengan mengacu pada penerapan restorative justice sangat diharapkan mampu memberikan keadilan ke semua pihak.

(14)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Hukum Responsif dari Nonet-Selznick.

Nonet-Selznick melalui hukum responsif menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan pada masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi disekitarnya. Nonet-Selznick menyatakan bahwa, “....Thus a distinctive feature of respomsive

law is the search of implicite values in rules and polices.. a more flexible interpretation that sees rules as bound to specific problem and contexts, and undertakes to indentify the values at stake in procedural protection”.11

Teori Hukum Responsif dari Nonet-Selznick ini relevan digunakan, karena konsep jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan langkah yang tepat dalam menjawab kebutuhan hukum masyarakat akan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan (sarana respond).

2.2 Teori Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo.

Konsep jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat tentu merupakan sebuah terobosan atau progres yang terkait dengan perluasan asas legalitas materiil dan sifat melawan hukum materiil dalam hukum pidana. Oleh sebab itu, sangat terkait dengan teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo.

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa, “Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dan sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.12 Hukum progresif merupakan paradigma baru yang hendak menjawab permasalahan

11Bernard L Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2006, Teori Hukum, Genta Publishing,

Yogyakarta, h. 206-207.

12Satjipto Rahardjo I, 2006, Membedah Hukum Progresif, cetakan pertama, PT Kompas Media Nusantara,

(15)

11

muktakhir yang tidak lagi dapat diselesaikan berdasarkan paradigma lama, yakni paradigma positivisme.13

Secara singkat, asumsi dasar dari gagasan hukum progresif ini : Pertama, bahwa hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya. Kedua, hukum bukan institusi yang mutlak dan final, melainkan dalam proses untuk terus menjadi, Ketiga, orientasi hukum progresif ini bertumpu pada peraturan dan perilaku. Keempat, bahwa hukum progresif adalah tipe ilmu yang selalu gelisah melakukan pencarian, pembebasan, dan pencerahan.14

2.3 Teori Keadilan Restorative (restorative justice)

Permasalahan ini juga sangat terkait dengan keadilan, karena jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan suatu langkah untuk mencapai keadilan bukan hanya keadilan bagi korban, pelaku, dan juga bagi masyarakat luas. Oleh sebab itu digunakan teori keadilan restorative (restorative justice).

Dikutip dari makalah Nyoman Serikat Putra Jaya dengan judul “Peradilan Pidana Adat Dalam Kerangka Restoratif Justice”, yang disampaikan pada Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi, Mahupiki dan Fakultas Hukum Pelita Harapan Surabaya 9-11 Maret 2015 menjelaskan bahwa :

Howard Zehr yang dipandang sebagai “visionary and architeck of the restorative justice movement” (dalam bukunya Changging Lenses, 1990) menyatakan bahwa, “Restorative justice ia a process to involve, to extend possible, those who have a stake in soecific offense and to collectively identity and address harms, needs and obligations, in order to head and put things as right as possible”.15

Afthonul Afif yang dikutip dari pandangan Margarita Zernova dalam bukunya yang berjudul Restorative Justice; Ideals and Realities menyatakan bahwa, Restorative justice memahami tindak kejahatan tidak semata-mata sebagai pelanggaran terhadap sebuah entitas abstrak yang bernama negara, melainkan lebih sebagai pelanggaran terhadap keadilan yang berlaku di masyarakat dan hubungan-hubunga sosial. Titik tekan penyelesaiannya tidak diarahkan untuk menghukum pelaku kejahatan karena telah melanggar hukum negara, tapi pada upaya-upaya untuk memulihkan hubungan-hubungan sosial dan keadilan masyarakat yang rusak akibat tindak kejahatan. Metode restoratif menekankan keterlibatan aktif

13Myrna A. Safitri, dkk, 2011, Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif; Urgensi dan Kritik, cetakan

pertama, EpistemaHuMa, Jakarta, h. viii.

14Faisal, 2012, Menerobos Positivisme Hukum, cetakan kedua, Gramata Publishing, Jakarta, h. 33-34.

15Nyoman Serikat Putra Jaya dengan judul “Peradilan Pidana Adat Dalam Kerangka Restoratif Justice”,

(16)

12

pihak yang terdampak (langsung maupun tidak) tindak kejahatan untuk menemukan jalan penyelesaian sengketa, bukan bergantung pada petugas negara dan mekanisme hukum formal yang berlaku.16

Perlu diketahui bahwa, di Indonesia keadilan restoratif ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 1 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menentukan bahwa keadilan restoratif adaah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

2.4 Teori/Aliran Sociological Jurisprudence dari Eugen Ehrlich

Kajian ini sangat terkait dengan eksistensi hukum adat dalam sebuah mastyarakat dan dalam sebuah negara oleh sebab itu juga digunakan teori/aliran sociological jurisprudence dari Eugen Ehrlich. Menurut aliran Sosiological Jurisprudence, hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Aliran ini memisahkan dengan jelas antara hukum positif (the positif law) dengan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis) Positivisme hukum dan (antitesis) Mazhab sejarah. Mengenai hal ini aliran Sosiological Jurisprudence menganggap kedua aliran itu sama pentingnya.17

Eugen Ehrlich dianggap sebagai pelopor aliran Sosiological Jurisprudence di Eropa. Ia sebagai ahli hukum dari Austria dan tokoh pertama yang meninjau hukum dari sudut sosiologi. Menurutnya, hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Titik pusat perkembangan hukum terletak pada masyarakat itu sendiri. Dan hukum terikat pada kekuatan sosial tertentu. Bagi Ehrlich, tertib sosial didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam sistem hukum. Kenyataan-kenyataan sosial yang anormatif dapat menjadi normatif sebagai Kenyataan-kenyataan hukum atau hukum yang hidup, dengan melaui 4 cara: (1) kebiasaan. (2) kekuasaan efektif, (3) milik efektif, dan (4) pernyataan kehendak pribadi.18

16Afthonul Afif, 2015, Pemaafan, Rekonsiliasi, dan Restorative Justice;Diskursus Perilah Pelanggaran di

Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 409.

17Darji Darmodiharjo dan Sidartha, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat

Hukum Indonesia), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 128.

(17)

13 2.5 Teori manfaat dari Jeremy Bentham

Jeremy Bentham merupakan salah satu tokoh dalam aliran Utilitarianisme atau Utilisme

sebagai aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happininess). Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.19

Jeremy Bentham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahan. Kebaikan adalah kebahagiaan, dan kejahatan adalah kesusahan. Ada keterkaitan yang erat diantara itu. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Tegasnya, memelihara kegunaan. Ia menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, bukan langsung ke masyarakat secara keseluruhan. Walau perhatiannya terletak pada individu, namun ia tidak tidak menyangkal masyarakatpun juga harus diperhatikan. Untuk menyeimbangkan hubungan antar kepentingan (individu dan masyarakat), Betham menyarankan agar ada “simpati” dari tiap individu untuk mencapai kebahagiaan dalam suatu masyarakat secara simultan. Pemidanaan menurut Bentham harus bersifat spesifik untuk setiap kejahatan, dan Pemidanaan bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar. Ajaran ini didasarkan atas hedonistic

utilitarianism.20 Teori ini relevan digunakan karena konsep pidana tambahan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai refleksi restorative justice ini banyak memberikan kemanfaatan dibandingkan dengan sistem pidana saat berlakunya KUHP (W.v.S).

2.6 Konsep Keadilan Berdasarkan Ideologi Pancasila

Selain keadilan restoratif, permasalahan juga dikaji secara ideologis dengan menggunakan teori hukum pancasila yang akan mengkaji konsep keadilan berdasarkan pancasila. Permasalahan pertama juga mengkaji secara ideologis dengan mengacu pada pemenuhan keadilan berdasarkan pancasila. Menurut Moerdiono dkk, Ideologi sendiri dapat berarti kompleks pengetahuan dan nilai yang secara keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang. Ideologi juga merupakan produk kebudayaan suatu masyarakat dan karena itu dalam arti tertentu merupakan kenyataan sosial juga. Pada hakekatnya, ideologi adalah hasil

19Ibid, h. h. 117.

(18)

14

refleksi manusia berkat kemampuannya mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya. Ideologi mencerminkan cara berfikir masyarakat, namun juga membentuk masyarakat menuju cita-cita. Dengan demikian ideologi bukanlah sesuatu yang bersifat teoritis, tetapi merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan.21 Ideologi bangsa Indonesia adalah Pancasila.

Menurut Kaelan, “Pancasila adalah dasar filsafat negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 bersama-sama dengan batang tubuh UUD 1945”.22 Mengacu pada pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa, “Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”. Terkait dengan keadilan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, “Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Selain itu pada alinea ke empat pembukaan UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada pada sila-sila pancasila.

Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa, keadilan yang sesuai dengan rasa keadilan bangsa Indonesia adalah keadilan pancasila yang mengacu pada sila kedua dan sila ke lima pancasila, yakni Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, kedua sila tersebut juga terlefleksikan atau juga terkait dengan sila-sila lainnya sehingga menjadi kesatuan yang untuh untuk dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Hal ini juga terkait dengan kedudukan pancasila sebagai sebagai suatu sistem filsafat. Pancasila yang terdiri dari 5 sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan merupakan kesatuan yang sistematis. Perlu dipahami bahwa, susunan kesatuan sila-sila pancasila itu bersifat organis, bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal, serta rumusan

21Moerdiono, et. al, 1991, Pancasila Sebagai Ideologi; Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat,

Berbangsa dan Bernegara, cetakan pertama, BP-7 Pusat, Jakarta, 47.

(19)

15

hubungan kesatuan sila-sila pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi.23 Hal inilah

yang menunjukkan bahwa, pancasila merupakan sistem filsafat, sehingga perlu dikaji ke 5 sila tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh.

Munir Fuady menyatakan bahwa, teori hukum pancasila bergerak dari suatu prinsip bahwa setiap hukum harus dengan pancasila sebagai tolak ukurnya. Setiap kaidah hukum harus sesuai dengan kelima nilai dari Pancasila. Dengan demikian, hukum di Indonesia harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a. Sesuai dengan kaidah agama (sila ketuhanan).

b. Mengandung unsur prikemanusiaan, adil, dan beradab.\ c. Mengandung unsur persatuan Indonesia.

d. Sesuai dengan kedaulatan rakyat. e. Mengandung unsur keadilan sosial.24

Yudi latief menyatakan bahwa, sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan ligatur (pemersatu) dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Pancasila adalah dasar statis yang mempersatuan sekaligus bintang penuntun (Leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisinya itu, Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan haluan keselamatan bangsa.25

Perlu dipahami bahwa, pancasila adalah merupakan dasar Negara Republik Indonesia dan menjadi sumber hukum dasar nasional yang telah disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pancasila juga merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara, sumber dari tertib hukum, selain itu Pancasila juga merupakan ideologi, serta menjadi dasar falsafah Negara Indonesia. Pancasila juga sebagai nilai dasar fundamental bagi bangsa dan negara Republik Indonesia. Mengenai kedudukannya, pancasila memiliki kedudukan yang paling tinggi, yakni sebagai cita-cita serta pandangan hidup bangsa dan pandangan hidup Negara Republik Indonesia. Pancasila juga dijadikan sebagai pedoman, landasan, atau kerangka berfikir, serta pandangan hidup bangsa dan pandangan hidup negara. Oleh sebab itu, kajian secara idiologis berdasarkan pancasila sangatlah tepat dilakukan untuk dapat mencapai rasa keadilan masyarakat.

2.7 Pidana dan Pemidanaan

Dalam perkembangannya, seiiring dengan perubahan paradigma masyarakat mengenai fungsi dan tujuan pemidanaan, metode penyelesaian kasus melalui pemidanaan juga berkembang dari masa ke masa.

23Ibid, h. 57-61.

24 Munir Fuady, 2010, Dinamika Teori Hukum, cetakan kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 167.

25Yudi Latif, 2011, Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, cetakan kedua,

(20)

16

Masruchin Ruba’i mengemukakan bahwa, mengenai konsep tujuan pemidanaan, dalam rangka mencari dasar pembenaran dari pemberian pidana, sebagai upaya untuk menjadikan pidana lebih fungsional maka akan dikaji mengenai teori tentang tujuan pemidanaan yang dikaitkan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana. Aliran yang pertama adalah aliran-aliran klasik. Aliran ini menghendaki hukum pidana tersusun secara sistematik serta menitikberatkan kepada kepastian hukum. Aliran ini menitikberatkan pada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana.26

Aliran yang kedua adalah aliran neo klasik yang disebut juga sebagai aliran sosiologis. Aliran ini sebagai kompromis antara aliran klasik dan aliran modern. Dari aliran klasik diterima sistem pidana dan hukum pidana didasarkan atas asas kesalahan. Aliran ini berprinsip bahwa, suatu kenyataan anak-anak dan orang gila tidak dapat mempertimbangkan antara kesakitan dan kesenangan. Mereka tidak dapat dipandang sebagai penjahat dan tidak dapat dipidana. Prinsip ini memperluas paham klasik dengan suatu sistem yang mengindahkan hal-hal yang meringankan. Aliran yang ketiga adalah aliran modern atau aliran positif. Aliran ini menitikberatkan perhatiannya kepada orang yang melakukan tindak pidana. Menurut aliran ini, pemberian pidana atau tindakan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana.27

Mengenai filosofi pemidanaan, Masruchin Ruba’i yang mengutip dari Andi Hamzah juga menyatakan bahwa, tujuan pemidanaan yang terus berkembang dari dahulu sampai kini telah menjurus ke arah yang lebih rasional. Tujuan pemidanaan yang dianut dewasa ini bukanlah merupakan pemikiran yang baru, melainkan masih mendapat pengaruh dari pemikiran-pemikiran para penulis dari beberapa abad yang lalu. Mereka telah mengeluarkan pendapat mengenai dasar pembenaran dari suatu pemidanaan.28

Masruchin Ruba’i mengemukakan bahwa, tujuan pemidanaan yang paling tua adalah pembalasan (revenge) yaitu untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat maupun pihak yang menjadi korban kejahatan. Tujuan pemidanaan yang juga dipandang kuno adalah retribusi (retribution), yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan balance atau memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh kejahatan. Tujuan pemidanaan yang berlaku sekarang adalah variasi dari bentuk-bentuk : penjeraan, yang ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang memiliki potensi menjadi penjahat, perlindungan masyarakat dari perbuaan jahat, perbaikan terhadap penjahat. Selanjutnya, tujuan pemidanaan yang paling modern dewasa ini adalah

26Masruchin Ruba’i, 2014, Buku Ajar Hukum Pidana, cetakan pertama, Bayumedia Publishing, Malang, h.

125-126.

27Ibid, h. 127.

(21)

17

memperbaiki kondisi pemenjaraan dan mencari alternatif yang lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum.29

Berkaitan dengan tujuan pidana, maka ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana :

a. Teori absolut atau teori pembalasan

Pada teori ini, penjatuhan pidana bertitik pangkal pada pembalasan yang diberikan oleh negara kepada penjahat. Siapa saja yang berbuat jahat maka harus dibalas dengan memberikan pidana. Tidak melihat akibat-akibat apa saja yang dapat timbul karena dijatuhkan pidana. Yang dilihat hanyalah masa lalu, tidak melihat akibat-sebab apa saja yang akan ditimbulkan karena adanya penjatuhan pidana, tidak melihat masa yang akan datang bagi terpidana. Tujuan menjatuhkan pidana untuk menjadikan si penjahat menderita.

b. Teori relatif atau nisbi

Pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib dalam masyarakat. Menurut teori ini, kejahatan tidak hanya diikuti dengan suatu pidana saja, namun harus dipersoalkan tentang manfaat suatu pidana bagi masyarakat dan bagi penjahat itu sendiri. Teori ini tidak saja dilihat pada masa lampau melainkan juga pada masa depan terpidana. Pada teori ini, tujuan pidana diarahkan kepada usaha agar kejahatan yang telah dilakukan oleh penjahat tidak terulang lagi (prevensi).

c. Teori Gabungan

Teori ini mendasarkan pidana atas asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib hukum masyarakat. Teori gabungan ini dibagi menjadi tiga golongan yakni :

- Teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan, tetapi tidak boleh melampaui batas dan cukup untuk mempertahankan tata tertib.

- Teori gabungan yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Penjatuhan pidana bertujuan untuk mempertahankan tata tertib masyarakat, namun penderitaan atas pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.

- Teori gabungan yang menganggap bahwa pidana memenuhi keharusan pembalasan dan keharusan melindungi masyarakat, memberikan titik berat yang sama antara pembalasan dan perlindungan masyarakat.30

29Ibid, h. 129-130.

(22)

18

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa, tujuan dari dijatuhkannya pidana mengalami suatu kemajuan dalam perkembangannya yang lebih manusiawi dan rasional. Dalam perkembangannya, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan pemidanaan yang paling modern dewasa ini adalah memperbaiki kondisi pemenjaraan dan mencari alternatif yang lain yang bukan bersifat pidana. Pidana bukan lagi digunakan sebagai sarana utama dalam penanggulangan kejahatan. Hal ini kemudian direalisasikan dalam tujuan pidana yang semakin menarik untuk dikaji saat ini yakni restorative (keadilan restoratif/restorative juctice). Dalam hal ini tujuan pemidanaan yang bersifat pencegahan sebagai salah satu tujuan dari Sistem Peradilan Pidana juga mulai diketengahkan.

Pidana terjemahan dari straf (hukuman) yang dapat berarti derita/penderitaaan, nestapa, siksaan. Menurut Simons, pidana adalah suatu penderitaan yang oleh UU pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang bersalah.31

Mengenai jenis pidana di Indonesia, dalam Pasal 10 KUHP terdiri dari : A. Pidana pokok 1. Pidana mati. 2. Pidana penjara 3. pidana kurungan 4. pidana denda b. Pidana tambahan

1. pencabutan hak-hak tertentu 2. perampas barang-barang tertentu 3. pengumuman putusan hakim

31Ibid, h. 124.

(23)

19 BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian.

Penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif, yang mengkaji mengenai “Pidana Tambahan Pemenuhan Kewajiban Adat Setempat Atau Kewajiban Menurut Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat Sebagai Refleksi Restorative Justice Dalam Rancangan KUHP Indonesia. “Amiruddin dan Zainal Asikin menyatakan bahwa, “Pada penelitian hukum jenis ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas”.32 Hal ini juga dikemukakan oleh Sudikno Mertokusomo. Menurut Sudikno Mertokusomo penelitian hukum normatif, adalah penelitian hukum yang meneliti kaidah atau norma.33 Dengan demikian, pengkajian dalam penelitian ini akan bertumpu pada premis normatif.

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa, penelitian hukum normatif mencangkup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.34 Peter Mahmud Marzuki juga mengemukakan pendapatnya mengenai penelitian hukum normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum adalah proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.35 Penelitian ini mengkaji mengenai norma yakni KUHP khususnya mengenai konsep jenis pidana dan pemidanaannya yang untuk penyempurnaan perlu dilakukan pembaharuan sesuai dengan apa yang diarahkan pada konsep rancangan KUHP Indonesia.

3.2 Jenis Pendekatan.

Dalam penelitian ini untuk kedalaman pengkajian dan sesuai dengan konteks permasalahan yang dibahas, digunakan empat jenis pendekatan yakni pendekatan kasus (The

Case Approach), pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach), pendekatan

32Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cetakan keempat, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 118.

33Sudikno Mertokusumo, 2014, Penemuan Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, (Selanjutnya

disebut Sudikno Mertokusumo II), h.37.

34Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2013, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h.14.

(24)

20

analisis konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach), Pendekatan Sejarah (Historical

Approach), dan pendekatan perbandingan (Comparative Approach).

3.3 Sumber Bahan Hukum.

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

a) Bahan hukum primer, yaitu asas dan kaidah hukum. Dalam penelitian ini dapat berupa bahan-bahan hukum yang mengikat, yang dalam penelitian ini terdiri dari peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan :

a. Pancasila.

b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

b) Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : pendapat para pakar hukum (doktrin), buku-buku hukum (text book), dan artikel dari perkembangan informasi internet.

c) Bahan hukum tersier/tertier yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia.

3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan bahan hukum dalam penelitian ini adalah teknik studi dokumen. Amiruddin dan Zainal Asikin menyatakan bahwa, studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum.36 Teknik studi dokumen ini dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan dbahan hukum, dilakukan dengan menggunakan sistem kartu. Peneliti membuat kartu-kartu yang digunakan untuk mencatat hasil dari studi dokumen tersebut.

3.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Keseluruhan bahan-bahan hukum yang telah terkumpul akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis bahan hukum berupa teknik deskripsi yang akan disajikan secara sistematis. Bahan-bahan yang telah terkumpul akan disusun secara deskriptif yang menggambarkan tentang pidana tambahan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai refleksi restorative justice

(25)

21

dalam rancangan KUHP Indonesia. Melalui metode hukum normatif semuanya dirangkum dan dianalisa hingga penulis mampu menyelesaikan tugas ini.

(26)

22 BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Pidana Tambahan Pemenuhan Kewajiban Adat Setempat Atau Kewajiban Menurut Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat Sebagai Refleksi Restorative Justice Dalam Rancangan KUHP Indonesia

4.1.1 Eksistensi Hukum Adat dan Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan KUHP Indonesia

Sebelum membahas mengenai penerapan jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat Setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat berdasarkan Rancangan KUHP, maka perlu diketahui mengenai eksistensi hukum adat dan juga hukum pidana sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat di Indonesia, yang pada dasarnya sangat berkaitan dengan pembaharuan jenis pidana tambahan ini.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa, pada asasnya, terminologi hukum adat berasal dari kata adatrecht dipergunakan Snouck Hurgronye dan dipakai sebagai terminologi teknis yuridis oleh van Vollenhoven. Kemudian, terminologi hukum adat dikenal dalam zaman Hindia Belanda diatur ketentuan Pasal 11 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor

Indonesia (AB) dengan terminologi godsdientige wetten, volksinstelingen en gebruiken,

ketentuan Pasal 75 ayat 3 Reglement op het Beleid der Regeling van Nederlands Indie (RR) dengan terminologi Instellingen en gebruiken des volks, berikutnya menurut ketentuan Pasal 128 Wet op de Staatsinrichting van Nederlandsch Indie atau Indische Saatsregeling (IS) dipergunakan terminologi godsdientige wetten en oude herkomsten dan berdasarkan ketentuan Stb. 1929 Nomor 221 jo Nomor 487 terakhir dipergunakan terminologi

adatrecht.37

Dalam seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta, 17 Januari 1975 disimpulkan bahwa Hukum adat adalah, “… hukum Indonesia asli yang tidak terlulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana sini mengandung unsur agama”.38 Sebagai hukum Indonesia asli, hukum adat memiliki posisi yang sangat penting

dalam konstitusi Negara Indonesia dan juga peraturan perundang-undangan yang berlaku dibawahnya. Hukum adat berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri,

37http://pn-kepanjen.go.id/, dibuka pada tanggal 19 Juni 2015, diakses pukul 19.00 wita.

38Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, cetakan pertama, Lembaga

(27)

23

hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu seniri.39 Hukum

adat memancarkan nilai-nilai yang bersifat hakiki yang mencerminkan perasaan hukum bangsa Indonesia. Sebagai hukum Indonesia asli, hukum adat memiliki kedudukan atau posisi yang penting dalam konstitusi Negara Republik Indonesia (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945), karena hukum adat sebagai hukum yang hidup (living law) yang tumbuh, hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat mencerminkan jiwa bangsa (volk geist) yang melandasi pembentukan dan isi dari konstitusi Indonesia. Berdasarkan hal ini, maka hukum adat patut mnjadi sumber pembentukan bagi peraturan perundang-undangan dan dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional (KUHP). Pada umumnya, hukum adat dikenal dengan istilah, “hukum yang hidup dalam masyarakat”, “living

law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, dan lain sebagainya. Eksistensi berlakunya hukum adat selain dikenal dalam

instrumen hukum nasional juga diatur instrumen Internasional.

Terminologi hukum pidana adat, delik adat, hukum pelanggaran adat atau hukum adat pidana cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat. Apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik sumber tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti serta ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Menurut Hilman Hadikusuma, “Hukum Pidana Adat adalah hukum yang hidup (living law) dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang-undangan”.40

Dalam hukum pidana adat berlaku sanksi adat yang dijatuhkan kepada pelanggarnya. I Made Widyana menyatakan bahwa, sanksi adat adalah merupakan bentuk tindakan ataupun usaha-usaha untuk mengembalikan ketidakseimbagan temasuk pada keseimbangan yang bersifat magis akibat adanya gangguan yang merupakan pelanggaran adat. Beliau juga menyebutkan bahwa dalam alam pikiran tradisional Indonesia yang bersifat kosmis yang penting adalah pengutamaan terhadap terciptanya keseimbangan.41 Penanggulangan kejahatan melalui KUHP yang dibangun berdasarkan

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat atau hukum adat, maka hukum pidana yang dihasilkan akan mencerminkan nilai-nilai sosial, budaya, struktural masyarakat Indonesia. Sudah sepatutnya KUHP berakar pada identitas dan budaya bangsa Indonesia.

Pada asasnya, secara substansial sistem hukum pidana adat berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam suatu masyarakat dengan bercirikan asas kekeluargaan, religius magis, komunal dengan bertitik tolak bukan atas dasar keadilan individu akan tetapi keadilan secara bersama. Konsekuensi logis dimensi demikian maka penyelesaian dalam suatu

39R. Soepomo, 2007, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, cetakan ketujuh belas, PT PRadnya Paramita, Jakarta,

h. 3.

40Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Nasional, cetakan pertama, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 34.

(28)

24

masyarakat adat berlandaskan pada dimensi penyelesaian yang membawa keselarasan, kerukunan dan kebersamaan. Tegasnya, hukum pidana adat lebih mengkedepankan eksistensi pemulihan kembali keadaan terguncang akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku. Soepomo menyebutkan dalam sistem hukum pidana adat tujuan dijatuhkannya sanksi adat sebagaimana berlaku dan dipertahankan pada suatu masyarakat adat bukanlah sebagai suatu pembalasan agar pelanggar menjadi jera akan tetapi adalah untuk memulihkan perimbangan hukum yang terganggu dengan terjadinya suatu pelanggaran adat. Perimbangan hukum itu meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib. Penjatuhan pidana yang dijatuhkan hakim adalah sebuah proses mengadili dengan bertitik tolak alat bukti, proses pembuktian, hukum pembuktian dan ketentuan hukum acara pidana. Pada asasnya, hukum pidana adat adalah perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan ketentraman dan keseimbangan masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut terjadi reaksi-reaksi adat sebagai bentuk wujud mengembalikan ketentraman magis yang terganggu dengan maksud sebagai bentuk meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial akibat suatu pelanggaran adat.42

Nyoman Serikat Putra Jaya menyatakan bahwa, dalam pembaharuan hukum termasuk pidana harus mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. lebih kongkrit lagi bahwa hukum tidak tertulis harus dipertimbangkan dalam rangka pembaharuan hukum pidana. Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan penggunaan hukum pidana, tidak bisa meninggalkan masalah nilai dalam masyarakat.43 Berdasarkan hal-hal ini maka jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan cerminan dari hukum adat, hukum pidana adat, khususnya mengenai sanksi adat.

Berdasarkan hal tersebut dan juga berdasarkan teori/aliran sociological jurisprudence dari

Eugen Ehrlich maka jenis sanksi pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau

kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan langkah yang tepat karena hukum adat dianggap sebagai hukum Indonesia asli yang sesuai dengan Bangsa Indonesia dan sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat Indonesia. Dari segi aksiologisnya, pada dasarnya selain diarahkan untuk mencapai kebahagiaan atau kemanfaatan bagi masyarakat (berdasarkan teori manfaat dari Jeremy Bentham), jenis sanksi pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat juga diarahkan untuk mencapai rasa keadilan masyarakat.

42http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=139, loc.cit.

(29)

25

Dalam konsep Rancangan KUHP, rasa keadilan ini mencakup keadilan bagi korban, pelaku, dan masyarakat sebagaimana dalam teori restorative justice dari yang berupaya untuk memulihkan hubungan-hubungan sosial dan keadilan masyarakat yang rusak akibat tindak kejahatan, dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

4.1.2 Konsep Jenis Pidana Tambahan Berupa Pemenuhan Kewajiban Adat Setempat Atau Kewajiban Menurut Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat Dalam Rancangan KUHP Indonesia

Jika dikaji, jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan konsep yang baru, atau dengan kata lain dalam KUHP yang berlaku sekarang tidak dikenal jenis pidana tambahan ini. Jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana yang diatur dalam Rancangan KUHP 2012 dalam Pasal 67 ayat (1) huruf e. Untuk lebih jelasnya, jenis pidana yang diatur dalam rancangan KUHP adalah :

Pasal 65

(1) Pidana pokok terdiri atas: a. pidana penjara;

b. pidana tutupan; c. pidana pengawasan; d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial.

(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana.

Pasal 66

Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.

Pasal 67

(1) Pidana tambahan terdiri atas: a. pencabutan hak tertentu;

b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim

d. pembayaran ganti kerugian; dan

e. pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.

Mengenai penerapan jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam rancangan KUHP ditentukan bahwa, Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri

(30)

26

sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain. Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Dalam hal ini, Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana dapat dikenakan pidana tambahan ini sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Tentara Nasional Indonesia. Selanjutnya, ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan jenis pidana ini dengan Undang-Undang.

Mengenai penerapan jenis pidana pada awalnya merupakan konsekuensi dari adanya asas legalitas dalam konsep rancangan KUHP yang memperluas rumusannya secara materiil.

Pasal 1

(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi. Pasal 2

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

(2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Dengan demikian, maka apabila suatu tindak pidana memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1), sanksi/jenis pidana berupa pemenuhan kewajiban adat merupakan pidana pokok yang harus diutamakan. Apabila sanksi pemenuhan kewajiban adat tidak dapat dilaksanakan, maka sebagai penggantinya dikenakan sanksi ganti kerugian. Namun demikian tidak berarti bahwa suatu tindak pidana yang memenuhi ketentuan UU tidak dapat dijatuhi sanksi pemenuhan kewajiban adat, tindak pidana tersebut dapat dijatuhi sanksi adat, tetapi hanya sebagai pidana tambahan. Atau dengan kata lain, jenis tindak pidana lainnya, juga bisa dikenakan jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat, asalkan dibutuhkan untuk mengembalikan keseimbangan atau pertimbangan lainnya yang berkaitan untuk melindungi masyarakat, korban kejahatan, dan pelaku tindak pidana. Dalam hal in peranan hakim sangat menentukan dalam hal penjatuhan jenis pidana tambahan ini. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 100 Rancangan KUHP :

Pasal 100

(1) Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.

(2) Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pidana pokok

(31)

27

atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

(3) Kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda Kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana.

(4) Pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat juga berupa pidana ganti kerugian.

Jika dikaji maka dasar hukum kewenangan hakim untuk menjatuhkan sanksi adat berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat adalah ketentuan Pasal 100 ayat (1) diatas, kemudian jika perbuatan pelaku merupakan tindak pidana adat sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) maka penjatuhan pidana oleh hakim berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan. Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Dalam hal ini, Nyoman Serikat Putra Jaya menyatakan bahwa, sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat memberikan peluang untuk diterapkan walaupun tidak dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana, dengan syarat keadaan daerah dimana tindak pidana dilakukan menghendaki dijatuhkan sanksi adat berupa pemenuhan kewajiban adat itu. Dengan demikian, di sini berlaku asas lex specialis derogat

legi generally.44

Eksistensi adanya penjatuhan pidana tambahan dimaksudkan untuk menambah pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Tegasnya hakim bebas dalam menentukan pidana tambahan baik bersama dengan pidana pokok atau sebagai pidana berdiri sendiri atau juga dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain, meskipun tidak dicantumkan sebagai ancaman dalam rumusan tindak pidana.

Menurut Muladi, keberhasilan pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat sebagai sanksi alternatif harus berdasarkan beberapa faktor :

- Sanksi alternatif harus cocok untuk menggantikan pidana kemerdekaan, dalam arti kesanggupan untuk mencapai tujuan dan fungsi yang sama.

Gambar

Foto copy dan jilid laporan akhir (final)  3.000.000.00  1.000.000.00  893.000
Foto copy dan jilid  laporan akhir (final)

Referensi

Dokumen terkait

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 yang selanjutnya disebut RPJMD Provinsi Jawa Tengah adalah dokumen perencanaan

Secara garis besarnya PLTU yang ada di Indonesia memnggunakan bahan bakar HSD dan a, dimana memilik kesamaan dari siklusnya tetapi perbedaannya terletak pada Produksi

Proses pelaksanaan mengurangi adiktif youtube melali pendekatan cognitive behavior therapy dengan teknik self control pada remaja terdapat lima langkah proses konseling

Bahan bantu mengajar ini juga dapat menyelesaikan pelbagai masalah dalam kaedah pengajaran guru yang sentiasa berubah mengikut peredaran zaman (OmardinAshaari,

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil analisis data penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat ditarik lima kesimpulan dalam penelitian ini,

Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu penentuan pola peningkatan kadar asam lemak bebas bekatul selama 24 jam pasca penggilingan, penentuan komposisi asam lemak

Hal ini artinya bahwa Corporate Social Responbility (CSR) yang dilakukan oleh perusahaan perusahaan sektor pertambangan dan sektor industri dasar dan kimia pada

Calon peserta seleksi penerimaan mahasiswa baru PSPA Angkatan XI Farmasi UMI diwajibkan melampirkan Bukti Pendaftaran TOEFL dari Language Center Fakultas Sastra