• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengembangkan Identitas Budaya Individu Dalam Keragaman Budaya Masyarakat Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Mengembangkan Identitas Budaya Individu Dalam Keragaman Budaya Masyarakat Indonesia"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

58

Mengembangkan Identitas Budaya Individu Dalam Keragaman Budaya Masyarakat Indonesia

Ari Khusumadewi, S.Pd., M.Pd Kiriko_kade@yahoo.com BK FIP Universitas Negeri Surabaya

Abstrak

Indonesia merupakan sebuah Negara dengan tingkat keragaman yang tinggi. Komposisi etnis di Indonesia amat bervariasi karena negeri ini memiliki ratusan ragam suku dan budaya. Hal tersebut menunjukkan besarnya potensi keragaman budaya di Indonesia. Potensi tersebut sangatlah penting untuk dijadikan salah satu alat dalam persatu Negara dan sebuah modal dalam pengembangan kesejahteraan masyarakat. Keragaman tidak serta merta menguntungkan. Adanya gesekan-gesekan budaya menyebabkan munculnya potensi perpecahan. Oleh karena itu sangatlah penting bagi individu untuk dapat menunjukkan dan mengembangkan identitas dirinya dalam keberagaman negara Indonesia.

Identitas merupakan jati diri yang dimiliki seseorang yang diperoleh sejak lahir melalui proses interaksi yang dilakukan setiap hari dalam kehidupannya yang membentuk suatu pola khusus yang mendefinisikan dirinya. Identitas budaya adalah sebuah cara yang mana anggota kelompok budaya minoritas bergabung dan bersatu dengan kelompok yang mereka bentuk sebagai sebuah kejelasan dan komitmen sebagai bagian dari masyarakat mayoritas yang besar. Identitas budaya sebagai sebuah perasaan yang dimiliki oleh individu atau kelompok, mengerti jelas arti keanggotaan kelompok, perilaku positif ke arah kelompok, keakraban dengan sejarah dan budaya serta keterlibatan dalam kegiatan kelompok. Sehingga individu harus memliki identitas budayanya sendiri dan dapat menunjukkan identitas budayanya tesebut. Model pengembangan identitas budaya menggambarkan proses pengalaman individu menjadi sadar, menerima, dan positif dalam sikap mereka tentang mereka sendiri atau ras lain / latar belakang etnis.

Kata kunci: identitas budaya individu, keragaman budaya Indonesia

Pendahuluan

Kesadaran, pengetahuan, dan hubungan masyarakat pribumi di seluruh dunia telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Ada lebih dari 370 juta masyarakat pribumi yang tinggal di sekitar 70 negaradi seluruh dunia. Dalam populasi ini, ada lebihdari 5000 kelompok individu, mewakili sekitar4000 bahasa. Pribumi Istilah ini sering digunakansinonim dengan suku asli pada suatu wilayah seperti jawa di pulau Jawa, Madura di pulau Madura, dll dengan penggunaan yang berbeda pada suku di berbagai wilayah di dunia. Adat adalah kata yang paling sering digunakan dalam laporan internasional seperti yangditerbitkan oleh PBB. Namun, pribumi juga disebut sebagaiasli, suku, First Nation, tradisional.Apapun istilah yang digunakan, ada preferensi yang berkembang dalam masyarakat bahwa menyebut diri mereka secara lebihtepat dan terhormat yang mengakui nama asli dari suku individu atau kelompok (Mandelbaum, 2000). Misalnya, di Amerika Serikat, orang mungkin menyebut diri mereka sebagai Dine', Comanche,Lumbee dan lain sebagainya.

Sebuah studi tentang masalah diskriminasi terhadap penduduk asli (pribumi) dijelaskan bahwa masyarakat pribumi dan negara memiliki hubungan secara historis. Masyarakat pribumi sangat memahami perkembangan masyarakat di wilayah mereka, yang dimulai pada erapenjajahan sampai pada era globalisasi ini dimana komposisi masyarakat selalu berkembang dinamis. Hal tersebut yang menyebabkan adanya perkembangan nilai-nilai, aturan dan norma yang ada di masyarakat. Masalah yang terjadi adalah munculnya diskriminasi pada masyarakat pribumi yang dikarenakan mereka menjadi kelompok minoritas sehingga mereka tidak mampu menunjukkan identitasnya. Oleh karena itu akhir-akhir ini berkembanglah sebuah tekat untuk melestarikan, mengembangkan nilai-nilai adat kepada generasi masa depan yang sesuai dengan budaya asli masyarakat.

Berkaitan dengan hal tersebut maka sangatlah penting untuk bisa menunjukkan identitas diri

sebagai individu maupun kelompok kepada masyarakat. Identitas diri tersebut berkaitan dengan

budaya-budaya yang berkembang dalam suatu kelompok masyarakat. Indonesia merupakan negara

dengan jumlah dan pertumbuhan penduduk yang besar dan berpenduduk banyak. Indonesia juga terdiri

atas ribuan pulau, beragam budaya, ratusan suku, dan ratusan bahasa daerah. Hal ini pula yang menjadi

(2)

59

keunggulan Indonesia dilihat dari segi kependudukannya. Pada tahun 2013, Indonesia tidak memiliki kegiatan pemutakhiran data penduduk, karena biasanya sensus diadakan setiap 10 tahun sekali. Namun dengan menggunakan angka pertumbuhan penduduk di Indonesia, diperkirakan jumlah keseluruhan penduduk Indonesia pada tahun 2013 sebesar 250 juta jiwa dengan pertumbuhan penduduk sebesar 1,49% per tahun. Keadaan jumlah penduduk sebesar itu, tentu memerlukan perhatian yang besar dari pemerintah/negara atau lembaga terkait untuk dapat memenuhi kebutuhan penduduknya, agar jumlah penduduk yang besar ini dapat berperan sebagai sumber daya pembangunan di tanah air. Jumlah penduduk di setiap wilayah/provinsi maupun pulau juga berbeda-beda, demikian juga dengan angka pertumbuhan yang berbeda pula.

Dengan jumlah total populasi kurang lebih 250 juta penduduk, Indonesia adalah negara berpenduduk terpadat nomor empatdi dunia. Komposisi etnis di Indonesia amat bervariasi karena negeri ini memiliki ratusan ragam suku dan budaya. Hal tersebut menunjukkan besarnya potensi keragaman budaya di Indonesia. Potensi tersebut sangatlah penting untuk dijadikan salah satu alat dalam persatu Negara dan sebuah modal dalam pengembangan kesejahteraan masyarakat.

Keragaman tidak serta merta menguntungkan. Adanya gesekan-gesekan budaya menyebabkan munculnya potensi perpecahan. Oleh karena itu sangatlah penting bagi individu untuk dapat menunjukkan dan mengembangkan identitas dirinya dalam keberagaman negara Indonesia.

A. Identitas Budaya

Identitas merupakan jati diri yang dimiliki seseorang yang diperoleh sejak lahir melalui proses interaksi yang dilakukan setiap hari dalam kehidupannya yang membentuk suatu pola khusus yang mendefinisikan dirinya. Identitas budaya adalah sebuah cara yang mana anggota kelompok budaya minoritas bergabung dan bersatu dengan kelompok yang mereka bentuk sebagai sebuah kejelasan dan komitmen sebagai bagian dari masyarakat mayoritas yang besar. Identitas budaya sebagai sebuah perasaan yang dimiliki oleh individu atau kelompok, mengerti jelas arti keanggotaan kelompok, perilaku positif ke arah kelompok, keakraban dengan sejarah dan budaya serta keterlibatan dalam kegiatan kelompok.

Identitas budaya sebagai bagian dari selfconcept seseorang yang datang dari pengetahuan tentang keanggotaan dalam kelompok sosialdan nilai atau makna emosional yang melekat pada keanggotaan itu (Tajfel, 1981). Identitas budaya sebagai terdiri dari penyamaan kepentingannya degan kepentingan lain sebagai anggota kelompok, rasa memiliki, dan seseorang sikap terhadap kelompok seseorang yang mencakup aspek-aspek status social budaya, seperti jenis kelamin, orientasi seksual, atau status, untuk membentuk identitas budaya individu (Phinney, 1990).Identitas budaya (atau juga disebut sebagai identitas etnis) sedikitnya dapat dilihat daridua cara pandang yaitu identitas budaya sebagai sebuah wujud dan identitas budaya sebagai proses menjadi. Dalam cara pandang pertama, identitas budaya dilihat sebagai suatu kesatuan yang dimiliki bersama atau yang merupakan “bentuk dasar atau asli”

seseorang dan berada dalam diri banyak orang yang memiliki keasamaan sejarah dan leluhur. Identitas budaya adalah cerminan kesamaan sejarah serta kode-kode budaya yang membentuk sekelompok orang yang menjadi satu. Sudut pandang ini melihat bahwa ciri fisik atau lahiriah mengidentifikasikan mereka sebagai suatu kelompok. Identitas budaya merujuk pada seberapa besar orang merasa sebagai bagian dari sebuah kelompok atau budaya dari etnis tertentu dan bagaimana perasaan tersebut mempengaruhi perilakunya.Contoh identitas budaya misalnya budaya jawa terkait memiliki ciri-ciri rumah adat joglo, tarian remo, serta bahasa krama yang dimiliki berbeda dengan budaya bali yang memiliki tarian kecak, upacara pemakaman ngaben yang berbeda dengan budaya lainnya pula.

Permasalahan dalam proses pengembangan identitas budaya adalah pemberian label (labeling) pada individu maupun kelompok. Labeling adalah identitas yang diberikan oleh kelompok pada individu berdasarkan pada ciri-ciri yang dianggap minoritas oleh suatu kelompok masyarakat. Labeling cenderung diberikan pada orang yang mempunyai penyimpangan perilaku yang tidak sesuai dengan norma di masyarakat. Pemberian label suatu identitas yang diberikan oleh seseorang atau kelompok lain atas dasar ciri-ciri sosial yang dimiliki. Identitas yang diberikan sifatnya membedakan seseorang atau kelompok tersebut. Ciri-ciri yang diberikan dapat berasal dari ciri fisik yang menonjol, penyakit menetap yang diderita, karakter seseorang, orientas seksual, ciri kolektif ras, etnik dan golongan.

Seseorang yang diberi label akan cenderung berbuat seperti label yang diberikan kepadanya dan akan

terkurung dalam label tersebut.Pemberian label dapat berbentuk positif atau negatif yang dapat

(3)

60

mempengaruhi perilaku individu. Label positif merupakan pemberian label yang mempunyai makna yang baik sehingga cenderung akan memberikan dampak positif bagi individu yang diberi label.

Contohnya individu yang dicap sebagai “orang yang baik” oleh lingkungan sekitarnya. Individu tersebut akan berusaha bersikap seperti apa yang dicap orang terhadapnya karena individu tersebut merasa dihargai dan pada akhirnya labeling itu akan melekat cukup kuat pada individu.

Sedangkan label negatif merupakan pemberian label yang bermakna negatif sehingga cenderung memberikan dampak negatif bagi penerimannya. Label negatif diberikan kepada seseorang yang dianggap menyimpang dari norma umum. Teori labeling menyatakan bahwa label negatif yang diberikan pada seseorang memiliki dampak besar bagi kehidupan orang tersebut. Misalnya jika anak terus menerus disebut bodoh oleh orang tuanya maka anak cenderung mengembangkan konsep diri yang rendah. Contoh lain jika gadis remaja mendapat reputasi sembarangan dan teman sebaya mendapatkan pelabelan seperti itu maka gadis-gadis lain akan mengucilkan remaja yang mendapat yang mendapat label dan remaja laki-laki akan memberikan ejekan. Dampak label negatif yaitu menurunkan motivasi, kesulitan menyelesaikan tugas dan menarik diri dari orang lain.

B. Model Pengembangan Identitas Budaya

Model pengembangan identitas budaya menggambarkan proses pengalaman individu menjadi sadar, menerima, dan positif dalam sikap mereka tentang mereka sendiri atau ras lain / latar belakang etnis. Ada banyak model dalam mengembangkan identitas budaya seperti Marcia model of identity, 5 model akulturasi, race and cultural identity model, white racial identity ego statuses and helms information and processing strategy, Phinney model of adolescent ethnic identity development, minority identity development model, racialand cultural identity model, feminist identity model, homosexual identity model, faith model dan lain sebagainya. Artikel ini akan membahas beberapa model pengembangan identitas budaya antara lain:

1. Racial and cultural identity development model (R/CID

Racial and cultural identity development model (R/CID) merupakan sebuah model pengembangan identitas budaya yang dikembangkan oleh Sue and Sue pada tahun 2003. Model ini adalah pengembangan dari minority identity development model yang dikembangkan oleh Atkinson, Morton dan Sue pada tahun 1998. R/CID menekankan pada setiap tahapannya bagaimana individu dapat merasakan apa yang ada dan terjadi pada dirinya sendiri, kelompoknya atau kelompok lain, baik sebagai anggota kelompok minoritas maupun mayoritas (Sue and Sue, 2003). Tahapan dalam R/CID yaitu Kesesuaian (conformity), Disonansi (dissonance), Perlawanan dan perendaman (resistance and immersion), Introspeksi (introspection), Kesadaran integratif (integrative awareness).

a. Kesesuaian (conformity)

Individu menunjukkan pilihan yang kuat pada nilai-nilai, keyakinan dan hal-hal lain yang dominan pada budayanya. Sehingga memungkinkan munculnya perilaku-perilaku negatif individu pada kelompok lain khususnya pada kelompok yang minoritas. Kondisi ini biasanya terjadi pada kelompok anggota mayoritas atau dominan.

b. Disonansi (dissonance)

Suatu kondisi dimana terjadi pembahasan tentang informasi nilai dan keyakinan yang dimilikinya. Ini merupakan keadaan konflik psikologis dimana identitas budaya dan rasa harga diri untuk menyadari dampak budaya atau kehidupan dalam dirinya sendiri. Pada tahap ini individu mulai berpikir tentang apa yang dilakukan baik negatif maupun positif.

c. Perlawanan dan Perendaman (resistance and immersion)

Pada tahap ini individu mulai melengkapi kekurangan pada kelompok minoritas dan menolak budaya-budaya mendominasi kelompok dengan melibatkan rasa baru penghargaan diri kelompok. Individu mulai muncul perasaan malu dengan apa yang selama ini suka dilakukannya sehingga berkontribusi pada kemarahan, ketidakpercayaan dan ketidaksukaannya pada kelompok dominan. Individu terinspirasi untuk menemukan apa yang membentuk budayanya yang sangat erat hubungannya dengan kelompok.

d. Introspeksi (introspection)

Individu pada tahap ini mulai meninggalkan perasaan-perasaan yang selalu memunculkan

kemarahan pada kelompok budaya dominan dan mengarahkan energinya kedalam

(4)

61

pemahaman diri dan kelompoknya. Pada tahap ini individu juga sudah mulai meninggalkan tahap pembahasan menuju sebuah kemandirian yang melibatkan kekhawatiran atas dasar penghargaan-diri dan pertanyaan dari etnosentrisme sebagai premis untuk menilai orang lain.

e. Kesadaran integratif (integrative awareness)

Pada tahap ini individu mulai mampu mengunakan hati nuraninya untuk bisa menilai mana hal-hal yang positif dan negatif pada budayanya dan pada kelompok mayoritas/dominan.

Individu melibatkan kemampuan untuk menghargai diri sendiri serta yang lain.

2. White racial identity ego statuses and helms information and processing strategy.

Model ini dikembangkan oleh Helm’s pada tahun 1995 berdasarkan asumsi bahwa perilaku rasisme merupakan bagian sentral masyarakat Eropa-Amerika dan pengembangan identitas kesehatan mental masyarakat kulit putih berhubungan dengan asal mula ide-ide rasisme dimunculkan sebagai bagian diri mereka sendiri sebagai hal yang non rasisme (Sue, 2006). Model ini diwujudkan dalam enam tahap yaitu:

a. Status Hubungan (contact status)

Kepuasan pada status rasial yang tetap hingga terlupa bahwa mereka cenderung menuju rasisme dan mereka berpartisipasi untuk itu. Jika faktor-faktor rasial telah mempengaruhi mereka maka itu secara mudah akan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Kunci dalam proses strategi ini adalah kepuasan.

b. Kehancuran Status (Disintegration status)

Kesalahan orientasi dan kecemasan muncul dari dilemma moral rasisme bahwa salah satu kekuatan untuk memilih diantara loyalitas pada kelompok sendiri atau kemanusiaan.

Beberapa individu mengalami permasalahan pada kondisi ini. Kunci dalam proses strategi ini adalah penindasan dan ambivalensi.

c. Penyatuan kembali status (Reintegration status)

Idealisasi dari sebuah status social kelompok. Penghapusan dan tidak menghargai kelompok lain. Faktor-faktor rasisme mempengaruhi kehidupan individu dengan sangat kuat. Kunci pada proses strategi ini adalah pemilihan persepsi mengeluarkan distorsi kelompok yang negatif.

d. Kebebasan yang palsu (pseudo-independence status)

Komitmen pemikiran yang logis pada kelompok social ras sendiri, mulai menerima dan menghargai kelompok lain. Beberapa mengambil keputusan untuk “membantu kelompok ras lain”. Kunci pada proses strategi ini adalah pembentukan ulang realitas dan pemilihan persepsi.

e. Pembasahan status (immersion/emersion status)

Pada tahap ini individu mencari sebuah pemahaman pribadi tentang makna rasisme dan jalan yang memberikan sebuah keuntungan dan mendefinisikan ulang makna kulit putih.

Pilihan hidup disesuaikan dengan aktivitas kelompok ras. Kunci pada proses strategi ini adalah kewaspadaan yang tinggi dan pembentukan ulang.

f. Status otonomi (autonomy status)

Pada tahap ini membentuk komitmen positif kelompok ras, menggunakan standar internal makna diri individu, kemampuan untuk memaknai rasisme secara khusus berdasarkan makna diri. Kemungkinan pada beberapa individu menghindari tekanan-tekanan rasisme kelompok. Kunci pada proses strategi ini adalah fleksibilitas dan kompleksitas.

3. Feminist identity development

Model ini dikembangkan oeh Mc Namara and Richard (Sue, 2008). Tahapan pengembangan identitas model ini yaitu:

a. Penerimaan pasif (passive acceptance)

Pada tahap ini wanita menerima aturan-aturan gender tradisional, melihat dari sudut pandang manfaat bagi wanita dan menjadikan posisi laki-laki superior dibanding perempuan. Mereka tidak sadar akan kondisi ketidakadilan tersebut dan diskriminasi yang ditimbulkannya. Laki-laki lebih berkonstribusi pada perkembangan seni, bisnis, drama dan nilai-nilai lebih dibanding wanita.

b. Pengungkapan (revelation)

(5)

62

Perkembangan tentang makna keseksian masih merupakan pemikiran yang sulit untuk dihapuskan atau dihilangkan. Hal tersebut membangunkan kepribadian untuk adil, menjadi marah, dan menjadi malu ketika tidak menyadari hal tersebut. Ini merupakan ujian diri yang sering muncul dan pemisahan pikiran.sebagian besar kelompok laki-laki tertekan akan hal tersebut dan sebagian besar perempuan merasakan arah kemajuan positif.

c. Menempelkan-memancarkan kondisi diri (embeddedness-emanation)

Pada tahap ini perempuan mulai menunjukkan ekspresi emosinya dalam berhubungan dengan perempuan lain. Artinya dalam satu kelompok mereka sudah mulai bisa mengekspresikan emosinya. Pemberian bantuan dalam rangka meningkatkan kemampuan mengekspresikan emosi dalam lingkungan yang mendukung. Identitas feminis menjadi lebih kuat dan menggabungkan pemikiran-pemikiran realistic dibanding dengan dualisme pemikiran kelompok laki-laki.

d. Sintesis (synthesis)

Pada tahap ini identitas feminis telah berkembang secara positif. Paradigma keseksian perempuan tidak lagi menjadi masalah secara social tetapi lebih pada masalah individu dan factor-faktor penyebab masalah tersebut. Perempuan dapat berpikir secara berbeda dari paham feminis dan dapat memperbarui identitas feminisnya.

e. Komitmen aktif (active commitment)

Pada tahap ini perempuan sudah tertarik dan ikut serta berperan dalam merubah pergerakan social.

4. Faith development

Model ini dikembangkan oleh Fowler pada tahun 1981. Tahapan pada model ini yaitu:

a. Primal or undifferentiated faith (0-2 tahun)

Karakteristik individu dimulai dari masa-masa belajar awal yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti kehangatan, kenyamanan, keamanan, sakit hati, kekerasan, ketidaknyamanan pada individu. kondisi ini sangat bergantung pada lingkungan alamiah individu. pengalaman negatif sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan individu pada dunia luar. Tahap ini merupakan tahap transisi pada tahap berikutnya yang merupakan integrasi dari pikiran dan bahasa yang teraplikasi pada simbol-simbol dalam percakapan dan bermain individu.

b. Intuitive projective faith (3-7 tahun)

Tahap ini merupakan tahap awal dari membuka psikis yang bebas menuju ke kondisi ketidak sadaran. Sehingga semua pengalaman-pengalaman individu akan asuk ke dalam memori tidak sadar.

c. Mythic-literal faith (usia sekolah)

Pada tahap ini individu memiliki keyakinan yang kuat terhadap aturan-aturan dimasyarakat dan memberikan respon timbal-balik kepada dunia luar dan dapat mengidentifikasi hal-hal yang selalu dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya.

d. Synthesis-conventional faith (awal remaja: 12 tahun sampai dewasa)

Pada tahap ini karakteristik indibidu dibentuk dari penyesuaian ketaatan terhadap kepercayaannya dan pengembangan identitas individu. beberapa konflik yang terjadi berkaitan dengan keyakinan akan menghilangkan pertanyaan-pertanyaan yang menakutkan berkaitan dengan sebuah ketidak konsistenan individu.

e. Individuate-reflective faith (pertengahan usia 20-an sampai akhir 30-an)

Sebuah tahap kecemasan dan perjuangan . Individu mengambil tanggungjawab pribadi dalam sebuah keyakinan dan perasaan . Sebagai salah satu kemampuan merefleksikan keyakinannya sendiri, ada keterbukaan untuk sebuah pemikiran kompleksitas, tetapi ini juga meningkatkan kesadaran akan adanya konflik dalam keyakinannya.

f. Conjunctive faith (pertengahan krisis kehidupan)

Mengakui adanya paradoks dan transendensi berkaitan realitas di balik simbol-simbol dari sistem yang turun menurun. Individu menyelesaikan konflik dari tahap sebelumnya dengan pemahaman yang kompleks dari multidimensi, saling tergantung pada "kebenaran” yang tidak dapat dijelaskan dengan pernyataan tertentu.

g. Universalizing faith

(6)

63

Pada tahap ini muncul apa yang disebut“pencerahan ". Individu akanmemperlakukan setiap orang dengan kasih sayang karena ia memandang orang sebagai dari komunitas universal, dan harus diperlakukan dengan prinsip-prinsip cinta universal dan keadilan sosial.

C. Kesimpulan dan saran

Keragaman budaya Indonesia adalah hal yang mutlak dihadapi. Sehingga permasalahan pembentukan identitas pada masyarakatnya sangatlah mungkin terjadi, pergesekan antar budaya, akulturasi budaya, asimilasi budaya atau bahkan kehilangan identitas budaya. Oleh karena itu sangatlah penting bagi orang tua, guru, konselor untuk dapat membimbing anak/ siswa/ konseli untuk memahami dan mengembangkan identitas budayanya. Sehingga dapat menjawab pertanyaan yang paling mendasar pada perkembangan hidup individu yaitu “siapa saya? (who Am I?)”. Hal serupa juga disampaikan oleh Erik erikson bahwa salah satu tugas perkembangan individu yang penting untuk diselesaikan adalah pencarian identitas (Papalia, Olds & Feldman, 2001).

Berbagai model pengembangan identitas budaya dapat digunakan untuk mengembangkan identitas budaya individu dalam sebuah kelompok. Keanekaragaman budaya Indonesia memungkinkan adanya keragaman identitas budaya individu. Sehingga konselor sangat dituntut untuk bisa memahami keragaman indentitas dari konseli mereka, baik dalam bentuk identitasnya maupun proses pembentukan identitas tersebut.

DAFTAR RUJUKAN

Fowler, J. 1981. Stages of Faith. San Francisco: Harper & Row.

Gill, C. 1997. Four types of integration in disability identity development. Journal of Vocational Rehabilitation, 9, 39-46.

Mandelbaum, M. 2000. The new European diasporas: national minorities and conflict in Eastern Europe. New York: Council on Foreign Relations Press

McNamara, K., & Rickard, K.M. 1989. Feminist identity development: Implications for feminist therapy with women. Journal of Counseling and Development, 68, 184-189.

Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. 2001. Human development (8th ed.). Boston: McGraw- Hill

Phinney. Jean S. 1996. Understanding ethnic diversity the role of ethnic identity. Journal of American Behavioral Scientist Vol 40 Number2.

Sue, D. W. 2006. Multicultural social work practice. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.

Sue, D. & Sue, D. 2008. Counseling the Culturally Diverse. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.

Taifel, H. 1981. Human Groups and Sosial Categories. New York: Cambridge University Press.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya gejala tersebut, maka diperlukan pembahasan, penelitian, dan perancangan identitas (branding) dan promosi kelompok seni budaya kuda lumping mekar sari yang

Integritas nasional adalah suatu proses penyatuan atau pembauran berbagai aspek sosial budaya ke dalam kesatuan wilayah dan pembentukan identitas nasional atau bangsa (Kamus

Salah satu kelompok yang dimaksud adalah perkumpulan sukubangsa yang menjadi identitas bagi para pendatang yang berasal dari berbagai daerah lain di Indonesia.. Anggota

Remaja dalam masyarakat urban yang terpapar budaya pop akan dengan mudah terpengaruh karena sikap dasar dari budaya pop yang banyak disukai oleh masyarakat, sehingga

Kita akan menjadi lebih sadar tentang identitas budaya sendiri manakala kita hidup di dalam kebudayaan orang lain, berinteraksi dengan beberapa orang dari kebudayaan yang berbeda;

Menurut Tajfel (dalam Hogg, 2003), identifikasi merupakan identitas sosial yang melekat pada individu, mengandung adanya rasa memiliki pada suatu kelompok, melibatkan emosi

Masyarakat cyber membentuk budaya mereka sendiri, dimana lambang-lambang yang memiliki makna dalam kebudayaan itu disetujui oleh setiap anggota kelompok dalam masyarakat

Selanjutnya berdasarkan hasil wawancara di Kelurahan Bali I Dompu dapat dikatakan bahwa telah terjadi pengikisan sikap budaya atau perilaku budaya yang seharusnya menjadi identitas