• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEK SILANG DALAM (KAWIN SEDARAH) TERHADAP UKURAN TUBUH KERBAU MURRAH (River Buffalo) DI SUMATERA UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EFEK SILANG DALAM (KAWIN SEDARAH) TERHADAP UKURAN TUBUH KERBAU MURRAH (River Buffalo) DI SUMATERA UTARA"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

DI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh:

MUHAMMAD ARY SYAPUTRA 167040004

PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2019

(2)

DI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh :

MUHAMMAD ARY SYAPUTRA 167040004

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Peternakan pada Program Studi Magister Ilmu Peternakan

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2019

(3)
(4)

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, M.S Anggota : Dr. agr. Asep Gunawan, S.Pt, M.Sc Penguji : 1. Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt, M.Si

2. Dr. Ma’aruf Tafsin, M.Si

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam tesis EFEK SILANG DALAM (KAWIN SEDARAH) TERHADAP UKURAN TUBUH KERBAU MURRAH (RIVER BUFFALO) DI SUMATERA UTARA adalah benar merupakan gagasan dan hasil penelitian saya sendiri di bawah arahan komisi pembimbing saya. Semua data dan sumber informasi yang digunakan dalam tesis ini telah dinyatakan secara jelas dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis serta dapat diperiksa kebenarannya. Tesis ini juga belum pernah di ajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis di perguruan tinggi lainnya.

Medan, Mei 2019

Muhammad Ary Syaputra NIM 167040004

(6)

Muhammad Ary Syaputra, 2019 “Efek Silang Dalam (Kawin Sedarah) Terhadap Ukuran Tubuh Kerbau Murrah (River Buffalo) di Sumatera Utara”di bimbing oleh Sayed Umar dan Asep Gunawan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh silang dalam terhadap ukuran tubuh kerbau Murrah. Penelitian ini dilaksanakan di BPTU-HPT Siborong – borong dan di Peternakan masyarakat Kabupaten Deli Serdang yaitu Desa Tanjung Garbus dan Desa Amplas Tambak Rejo. Penelitian ini menggunakan 41 ekor ternak kerbau Murrah terdiri dari 23 ekor betina dan 18 ekor jantan ( Umur 1 - 4 bulan) dan data silsilah ternak kerbau Murrah. Variabel yang diamati adalah koefisien silang dalam, ukuran populasi efektif, laju silang dalam dan pengaruh silang dalam terhadap tubuh tubuh kerbau murah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai koefisien silang dalam di BPTU- HPT Siborong – borong dan Deli serdang adalah 0,218 dan 0,062. Ukuan populasi efektif Kerbau Murrah di Sumatera Utara sebesar 61 ekor dengan laju silang dalam per generasi sebesar 0,81%. Disimpulkan bahwa Inbreeding yang terjadi di BPTU-HPT Siborong- borong dan Deli Serdang berpengaruh terhadap ukuran tubuh yaitu nilai rataan tinggi pundak, panjang badan, lingkar dada, lebar dada, dalam dada, tinggi pinggul, lebar pinggul, panjang pinggang, dan lebar pinggang.

Kata kunci : kerbau murrah, koefisien silang dalam, ukuran populasi efektif, laju silang dalam, ukuran tubuh

(7)

Muhammad Ary Syaputra, 2019 “effect of inbreeding on body size of Murrah buffalo in north sumatera” by Sayed Umar and Asep Gunawan.

This study was aimed to identify effect of inbreeding on body size of Murrah buffalo. The research was done in the BPTU-HPT Siborong–borong and in the community farm of Deli Serdang Regency (Tanjung Garbus village and Amplas Tambak Rejo village). The sample of murah bufallo used 41 heads consist females and males as many as each 23 and 18 heads (age of 1 – 4 months) and data of Murrah buffalo pedigree. The variables measurement were inbreeding coefficient, effective population size, rate of inbreeding and the affect of inbreeding to body size of Murah buffalo. The results showed that coeficient of inbreeding coefficient in the BPTU- HPT Siborong–borong and Deli Serdang were 0.218 and 0.062. The efefective population size of Murrah buffalo in North Sumatra are 61 heads, with the rate of inbreeding per generation were 0.81 percents. It could be concluded that inbreeding that occurred in BPTU-HPT Siborong-borong and Deli Serdang the value of shoulder height, body lenght, chest circumference, chest width, chest depth, hip height, hip width, waist lenght, and waist width.

Keywords : Murrah buffalo, inbreeding coefficient, effective population size, rate of inbreeding, body size.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Muhammad Ary Syaputra, dilahirkaan di Desa Mayang, Kecamatan Bosar Maligas, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, tanggal 17 Maret 1994, merupakan anak kedua dari dua bersaudara, anak dari Bapak M. Panut dan Ibu N.Ginting.

Masuk SMAN 1 Bandar Perdagangan pada tahun 2008 dan lulus pada tahun 2011 dan pada tahun yang sama memasuki perguruan tinggi pada program studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur SNMPTN-tertulis.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Muslim Peternakan (HIMMIP) Periode 2013 – 2014, pernah menjabat di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai Kepala Bidang Perguruan Tinggi Kemahasiswaan dan Pemuda (PTKP) periode 2013 - 2014 dan sebagai Ketua umum Ikatan Mahasiswa Peternakan (IMAPET) periode 2013 – 2014.

Pada tahun 2016 melanjutkan pendidikan Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul “Efek Silang Dalam (Kawin Sedarah) Terhadap Ukuran Tubuh Kerbau Murrah (River Buffalo) di Sumatera Utara”.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua saya atas doa, didikan, dukungan serta pengorbanan baik itu moral maupun materi yang telah diberikan selama ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt., M.Si. selaku ketua Program Studi Magister Ilmu Peternakan yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, M.S selaku ketua komisi pembimbing, Dr. agr. Asep Gunawan, S.Pt, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing dan Fuad Hasan, S.Pt, M.Si selaku dosen USU yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis juga mngucapkan terimakasih kepada BPTU-HPT Siborong – borong dan peternakan masyarakat Deli Serdang yang telah memberikan tempat lokasi penelitian.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh civitas akademika di Program Studi Magister Peternakan serta rekan-rekan mahasiswa yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini. Penulis berharap, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya pembaca.

(10)

DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... ii

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR. ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 5

Tujuan Penelitian ... 5

kegunaan Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau ... 6

Sifat Kuantitatif ... 8

Sifat Kualitatif ... 9

Populasi Kerbau ... ... 10

Inbreeding ... 11

Koefesien Silang Dalam ... 12

Ukuran Populasi Efektif (Ne) ... 13

Laju Silang Dalam ... 13

Ukuran Tubuh Ternak ... 13

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 15

Bahan dan Alat Penelitian ... 15

Bahan ... 15

Alat ... 15

Metode Penelitian... 15

Parameter Penelitian... 16

Pembuatan Diagram Silsilah ... 16

Perhitungan Koefisien Silang Dalam ... 17

Perhitugan Ukuran Populasi Efektif (Ne) dan Laju Silang Dalam ... 17

Perhitungan Ukuran tubuh ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 20

Kabupaten Tapanuli Utara ... 20

(11)

Kabupaten Deli Serdang ... 21

Manajemen Perkawinan ... 22

Nilai Koefisien silang dalam Kerbau Murrah ... 23

Ukuran Populasi Efektif (Ne) danLaju Silang Dalam... 25

Efek Inbreeding terhadap Performan Kerbau Murrah ... 27

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 31

Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32 LAMPIRAN

(12)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Popilasi Kerbau ( ekor) di Indonesia berdasarkan lokasi dan tahun... 11

2. Diagram Alur Siborong - borong... 24

3. Nilai Koefisien Inbreeding Kerbau Murrah... 24

4. Ukuran Populasi Efektif (Ne) dan Laju inbreeding Pergenerasi ... 26

5. Rata- rata ukuran tubuh Pedet kerbau Murrah... 28

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Sketsa pengukuran ukuran tubuh ternak ... 18

2. Peta kabupaten Tapanuli Utara... 20

3. Peta kabupaten Deli Serdang ... 21

4. Bentuk alokade S.038 silsilah siborong- borong ... 23

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Identitas Individual Kerbau Murrah di Siborong - borong ... 1

2. Identitas Individual Kerbau Murrah di Deli Serdang ( Desa Amplas Tambak Rejo)... 1

3. Identitas Individual Kerbau Murrah di Deli Serdang (Desa Tanjung Garbus) ... 2

4. Data Silsilah Kebau Murrah Siborong – borong... 2

5. Data Silsilah Kerbau Murrah Deli serdang (Desa Tanjung Garbus) ... 5

6. Data Silsilah Deli serdang (Desa Amplas Tambak Rejo) ... 10

7. Data Ukuran Tubuh Anak Kerbau Murrah di Bptu Hpt Si borong – Borong ... 13

8. Data Ukuran Tubuh Anak Kerbau Murrah di Deli Serdang (Desa Tanjung Garbus) ... 14

9. Data Ukuran Tubuh Anak Kerbau Murrah di Deli Serdang (Desa Amplas Tambak Rejo)... 15

(15)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kerbau merupakan ternak ruminansia yang termasuk kedalam famili Bovidae genus Bubalus. Menurut Hardjosubroto dan Astuti (1992), populasi

kerbau yang ada diseluruh dunia saat ini berasal dari daerah India yang merupakan hasil domestikasi dari kerbau liar (Bubalus arnee). Kerbau yang ada sekarang dibagi atas dua tipe yaitu Kerbau Lumpur (Swamp buffalo) dan Kerbau Sungai (River buffalo). Kerbau Lumpur pada umumnya digunakan sebagai penghasil daging dan tenaga kerja. Kerbau sungai sebagai penghasil susu seperti;

Kerbau Murrah, Kerbau Surti, Kerbau Nili, dan Kerbau Ravi (Anonimous, 1998).

Ternak kerbau yang dikembangkan di Indonesia dibedakan atas tiga jenis yaitu Kerbau Lumpur, Kerbau Murrah dan Kerbau Lokal (Rukmana, 2003)

Keunggulan biologis kerbau dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya adalah kemampuannya dalam mencerna serat kasar. Pada kondisi lingkungan ekstrim tropis dengan kandungan hijauan yang tersedia umumnya memiliki serat kasar yang sangat tinggi, dimana ternak ruminansia lain tidak mampu hidup, namun kerbau masih mampu hidup dan berkembangbiak dengan baik disebabkan oleh kemampuannya mencerna serat kasar yang tinggi dan ketahanannya terhadap parasit eksternal (Lemcke 2011). Menurut Desta (2012) kemampuannya dalam mengubah serat kasar tinggi seperti jerami menjadi daging yang kaya protein dan rendah kolesterol ini disebabkan oleh gerakan mengunyah pakan dalam proses ruminasi yang lebih lambat dan efisien termasuk pergerakan lidah dan otot pencernaan.

(16)

Pengembangan kerbau di Sumatera Utara memiliki potensi yang besar untuk memenuhi kebutuhan daging dan susu regional. Haloho dan Yufdi (2006) menyatakan bahwa sekitar 40% pemenuhan kebutuhan daging di Sumatera Utara diperoleh dari daging kerbau. Ternak kerbau biasanya dipelihara dengan cara tradisional mengandalkan pakan dari padang penggembalaan dan limbah pertanian (Halohodan Yufdi, 2006).

Pemanfaatan utama ternak kerbau sampai saat ini selain sumber daging juga merupakan ternak penghasil susu. Populasi kerbau di Sumatera Utara pada tahun 2017 adalah 108.792 ekor meningkat menjadi 113.774 ekor pada tahun 2018, dimana sebagian besar kerbau dipelihara oleh peternak kecil dengan tingkat kepemilikan 4-5 ekor (Ditjen PKH, 2018).

Kualitas kerbau di Sumatera Utara pada umumnya mengalami kemunduran, sebagai akibat penurunan mutu genetik dan faktor lain seperti menejemen pemeliharaan yang kurang tepat. Penurunan produktivitas selain dicerminkan dengan penurunan bobot badan sebagai akibat dari penurunan ukuran-ukuran linear permukaan tubuh kerbau, juga dapat disebabkan faktor genetik diantaranya karena silang dalam atau inbreeding.

Sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh sepasang gen dan bersifat tidak aditif. Sifat kualitatif meliputi warna, pola warna, sifat bertanduk atau tidak bertanduk sangat mudah dibedakan tanpa harus diukur. Sifat kualitatif lebih banyak diatur atau ditentukan oleh genotipe individu sehingga peranan faktor lingkungan sangat kecil (Martojo, 1992). Sifat kualitatif pada kerbau diantaranya warna kulit, tanda di kepala dan tanda di kaki.

(17)

Sifat kuantitatif dikontrol oleh banyak gen yang aksinya bersifat aditif, dominan dan epistatik serta bersama-sama dengan pengaruh lingkungan (nongenetik), menghasilkan ekspresi fenotipik sebagai sifat kuantitatif tersebut (Noor, 2008; Martojo, 1992). Keragaman sifat kuantitatif bersifat kontinyu berkisar diantara nilai minimum dan maksimum serta menggambarkan suatu distribusi normal (Martojo, 1992). Sifat kuantitatif diantaranya ukuran tinggi dan bobot badan, laju pertumbuhan, kecepatan lari dan banyak sifat lain.

Silang dalam adalah perkawinan antara dua individu yang masih mempunyai hubungan kekerabatan. Dua individu dikatakan berkerabat atau mempunyai hubungan keluarga, bila kedua individu tersebut memiliki satu atau lebih tetua bersama (common ancestor) dalam 4 sampai 6 generasi kebelakang.

Tingkat kekerabatan antara dua individu dalam populasi tergantung dari besarnya populasi, sehingga akan dapat dihitung berapa jumlah tetua bersama yang terjadi.

Inbreeding mengakibatkan peningkatan derajat homozigositas dan pada

saat yang bersamaan menurunkan derajat heterozigositas. Peningkatan frekuensi homozigot resesif dapat menyebabkan peluang gen lethal muncul lebih besar, juga akan mengakibatkan penurunan performans atau produksi ternak. Peristiwa penurunan produksi ternak sebagai akibat perkawinan silang dalam disebut sebagai tekanan inbreeding (Hardjosubroto, 2001). Tekanan inbreeding terjadi karena peningkatan homozigositas atau pengurangan heterozigositas (Allendorf dan Luikart, 2008).

Tekanan inbreeding juga berdampak negatif pada kinerja reproduksi pejantan dan induk. Losdat et al. (2014) melaporkan bahwa pengaruh inbreeding menyebabkan penurunan kualitas sperma pejantan sehingga menghasilkan

(18)

rendahnya tingkat kebuntingan betina yang dikawinkan. Penurunan kualitas sperma menimbulkan penurunan kualitas morfologi, motilitas, konsentrasi sperma dan volume semen. Menurut Roldan dan Gomendio (2009) Kejadian inbreeding menyebabkan penurunan kualitas reproduksi dan individu menjadi sensitif terhadap patogen.

Beberapa cara untuk mengurangi dampak inbreeding dalam teknisnya di lapangan yaitu dengan memperbesar populasi, mengarahkan pola perkawinan dan meningkatkan nilai heritabilitas individu, titik berat program pemuliaan berdasar informasi famili, penggunaan indeks yang setara dalam menduga nilai pemuliaan (Haley,1994). Salah satu dampak nyata dari inbreeding yang terjadi pada kerbau Murrah di Sumatera Utara diduga dengan semakin kecilnya ukuran tubuh dari ternak tersebut.

Ukuran tubuh ternak adalah suatu studi yang berhubungan dengan variasi dan perubahan dalam bentuk dan ukuran dari organisme, meliputi pengukuran panjang dan analisis kerangka suatu organisme. Studi morfometri didasarkan pada sekumpulan data pengukuran yang mewakili variasi bentuk dan ukuran hewan (ternak). Dalam biologi hewan (ternak) pengukuran morfometri digunakan untuk mengukur ciri-ciri khusus dan hubungan variasi dalam suatu taksonomi populasi hewan (ternak) yang mengindikasikan kekhasan dari suatu bangsa atau rumpun (Tzeng et al., 2000). Penelitian ini dilakukan untuk mengethaui efek silang terhadap ukuran tubuh pada populasi kerbau Murrah di Sumatra Utara.

(19)

Perumusan Masalah:

Perumusan masalah yang dapat deskripsikan tentang kerbau Murah diantaranya sebagai berikut:

1. Belum ada informasi tentang nilai silang dalam kerbau Murrah di BPTU-HPT Kerbau Siborong – borong dan di Peternakan Masyarakat Kabupaten Deli Serdang

2. Belum diketahui seberapa besar pengaruh silang dalam terhadap ukuran tubuh Kerbau Murrah

3. Belum ada upaya untuk mempertahankan plasma nutfah kerbau Murrah sampai pola perkawinanya.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai koefisien silang dalam, ukuran populasi efektif (Ne), laju silang dalam pergenerasi dan efek silang dalam terhadap ukuran tubuh kerbau .

Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai bahan informasi bagi pengambil kebijakan dan aplikasinya bagi peternak dampak dari nilai koefisien silang dalam, ukuran populasi efektif (Ne), laju silang dalam pere generasi dan efek silang dalam terhadap ukuran tubuh kerbau Murrah dan manajemen perkawinan kerbau Murrah.

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Kerbau

Kerbau termasuk dalam sub famili Bovinae, genus Bubalus. Dari beberapa spesies kerbau, hanya spesies Bubalus arnee yang dapat dijinakkan, sedangkan yang tidak dapat dijinakkan yaitu spesies kerbau liar seperti kerbau anoa, kerbau Mindoro, Bubalus cafeer dan kerbau merah (Hardjosubroto 1994). Penyebaran kerbau di dunia cukup merata dikarenakan memiliki daya adaptasi yang baik pada berbagai kondisi agroklimat yang ada. Kandeepan et al. (2009)

Domestikasi kerbau sungai diperkirakan berlangsung terlebih dahulu di India utara sekitar 6000-5000 tahun yang lalu. Sedangkan domestikasi kerbau rawa dilakukan belakangan di sekitar daerah perbatasan antara China selatan dan Vietnam utara sekitar 4000-5000 tahun yang lalu (Wang et al., 2017).

Kerbau hasil penjinakan (domestikasi) dikenal dengan nama kerbau piara (Bos babullus vulgaris). Kerbau piara ini menyebar ke Afrika, Asia Selatan, Eropa Selatan dan Amerika Utara yang kemudian popular disebut Water buffalo. Dari Water buffalo kemudian turunannya dikenal dua jenis kerbau, yaitu kerbau yang

senang berkubang di lumpur (Swamp buffalo) dan kerbau yang senang mandi dan berenang di air (River buffalo). Ternak kerbau dijinakkan dan dipelihara oleh manusia, mengakibatkan kerbau piara mempunyai sifat yang berbeda dengan kebiasaan aslinya yang suka merendam diri (Rukmana, 2003).

Beberapa tipe kerbau liar masih dapat ditemukan, antara lain Anoa (Bubalus depressicornis) terdapat di daerah Sulawesi, kerbau Mindoro (Bubalus mindoronensis) terdapat di Filiphina, Bubalus caffer yang terdapat di Afrika Timur dan Barat Daya dan kerbau merah terdapat di daerah Tsad, Niger, Kongo

(21)

dan Maroko Selatan. Kerbau yang didomestikasi sekarang secara umum dibagi menjadi dua yaitu kerbau rawa atau Swamp buffalo yang berkembang di Asia Tenggara: Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Philipina, Malaysia, dan Indonesia;

dan kerbau sungai atau River buffalo yang berkembang di Eropa, Mesir, Aserbajar, Bulgaria, Italia, Afganistan, Pakistan, dan India (Siregar et al., 1996).

Karakteristik sifat yang lain seperti penampilan luar (fenotipe) dan ukuran tubuh merupakan salah satu indikator pembeda antar rumpun kerbau. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk melihat karakteristik dari suatu ternak melalui analisis morfometrik. Muliadi (1996) menyatakan, morfometrik merupakan ukuran - ukuran tubuh seperti tinggi pundak, panjang badan, lingkar dada, panjang telinga, berat badan, panjang ekor, dan tinggi pinggul, dan morfometrik tubuh merupakan salah satu alat untuk seleksi pada ternak. Analisis indeks morfometrik merupakan suatu metode yang digunakan sebagai alternatif dalam penilaian ternak dan fungsi ternak (Alderson, 1999).

Kerbau dari berbagai daerah memiliki perbedaan morfometrik yang disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat mempengaruhi performa kerbau tersebut. Haryono (2001) menyatakan, bahwa setiap spesies mempunyai sebaran geografi tertentu yang dikontrol oleh kondisi fisik lingkungannya. Sebaran dan variasi morfometrik yang muncul merupakan respon terhadap lingkungan fisik tempat hidup spesies tersebut. Variasi karakter morfometrik dapat disebabkan oleh perbedaan faktor genetik dan lingkungan. Pengujian perbedaan genetika antar populasi dapat menggambarkan perbedaan genetik antar populasi dan perbedaan lingkungan geografi di masing-masing lokasi (Tzeng et al., 2000).

(22)

Sifat Kuantitatif

Informasi ukuran tubuh ternak kerbau hanya sedikit dibandingkan dengan ternak sapi, padahal ukuran tubuh ini penting dalam manajemen produksi ternak.

Pengukuran tubuh ternak sering digunakan untuk estimasi produksi, misalnya untuk pendugaan bobot badan (Saleh, 1982). Tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada merupakan parameter yang sering digunakan untuk mempelajari fenotifik kerbau. Lingkar dada memiliki nilai korelasi tertinggi untuk penentuan bobot badan, sehingga peubah ini sering digunakan untuk kriteria seleksi dan memilih calon bibit (Aisiyah, 2000).

Chantalakhana dan Skunmum (2002) meneliti ukuran tubuh kerbau murrah dibeberapa negara Asia. Ukuran tubuh kerbau Murrah di China misalnya memiliki tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada pada jantan berurutan 129; 143 dan 188 cm sedangkan pada betina berurutan 124; 132 dan 179 cm.

Kerbau Murrah di Malaysia untuk ketiga ukuran tubuh tersebut dilaporkan pada jantan berurutan 129; 123 dan 183 cm pada betina berurutan 121; 121 dan 180 cm.

Ukuran tubuh kerbau Murrah di Thailand padajantan berurutan 129;144 dan 197 cmserta pada betina berurutan 123; 134 dan 182 cm.

Pengamatan morfometrik kerbau Murrah di beberapa wilayah di Indonesia sudah dilaporkan sejumlah penelitian. Penelitian Hidayat (2007) di Propinsi Banten, misalnya pada kerbau jantan melaporkan tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada berurutan 121, 121 dan 166 cm; sedangkan pada betina berurutan 117, 110 dan 171 cm. Kerbau Murrah di Provinsi Sumatera Utara untuk ketiga ukuran tubuh tersebut pada jantan berurutan 126, 118 dan 182 cm; sedangkan betina berurutan 118, 117 dan 168 cm. Penelitian Kampas (2008) di Kabupaten

(23)

Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara melaporkan bahwa kerbau Murrah jantan memiliki tinggi pundak, tinggi pinggul, panjang badan, lebar pinggul, lebar dada, dalam dada dan lingkar dada berurutan 128, 126, 135, 31, 96, 78 dan 194 cm; sedangkan pada betina berurutan 126, 124, 134, 31, 95, 77 dan 193 cm.

Sifat Kualitatif

Kerbau Murrah memiliki kulit coklat kehitam-hitaman, berkembang di Asia Tenggara diantaranya Vietnam, Kamboja, Thailand, Philipina, Malaysia dan Indonesia (Siregar et al., 1996). Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau Murrah biasanya berwarna abu-abu dengan warna yang lebih cerah di bagian kaki.

Warna yang lebih terang dan menyerupai garis kalung juga terdapat di bawah dagu dan leher.

Penelitian Robbani (2009) melaporkan bahwa kerbau Murrah di Kabupaten Bogor sebagian besar memiliki tanduk melingkar ke belakang, warna kulit abu-abu gelap, warna kaki dominan putih, unyeng-unyeng terdapat di kepala dan memiliki garis kalung Double. Erdiansyah (2008) melaporkan bahwa kerbau rawa di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat memiliki tanduk melingkar ke atas, garis kalung Double, warna kaki putih, unyengunyeng terdapat di pinggang dan jenis teracak mangkok. Kampas (2008) melaporkan bahwa kerbau murrah di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara memiliki warna kulit abu-abu gelap, tanduk melingkar ke atas, garis kalung Double, unyeng-unyeng terdapat di pinggang dan kaki memiliki Stocking.

Kerbau Murrah mempunyai 24 pasang kromosom (48 kromosom), sedangkan kerbau sungai mempunyai 25 pasang (50 kromosom) (Hasinah dan Hadiwirawan, 2006). Selain adanya perbedaan dalam hal pasangan jumlah

(24)

kromosom, ada pula perbedaan pada besarnya seks kromosom diantara dua sub grup tersebut. Pada kerbau rawa besar kromosom Y tidak melebihi dari 1/3 besarnya kromosom X, sedangkan pada kerbau sungai besar kromosom Y mencapai sekitar ½ dari kromosom X (Chavanikul, 1994).

Terdapat perbedaan lain pada bentuk kromosom ke-1 autosom, yang mana pada kerbau rawa bentuknya metasentrik sedangkan kerbau sungai sub metasentrik. Handiwirawan et al. (2004) menjelaskan bahwa perbedaan- perbedaan tersebut akan menyebabkan terjadinya polymorphism (bentuk yang bermacam-macam yang tidak dapat diramal terlebih dahulu) jika dilakukan persilangan di antara keduanya.

Populasi kerbau

Populasi kerbau nasional saat ini berjumlah sekitar 1.382.683 ekor .Berdasarkarkan sebaran populasi kerbau antara pulau seperti pada Tabel 1, populasi kerbau terbesar terdapat pada tiga pulau, meliputi Sumatera (3,32%), Jawa (1,55%), dan Nusa Tenggara (1,76%). Untuk pulau lainnya memiliki populasi kerbau kurang dari 3,5%.

Tabel 1. Populasi kerbau (ekor) di Indonesia berdasarkan lokasi pulau dan tahun

Provinsi 2015 2016 2017 % Total

Sumatera 575.141 573.871 596.870 3,32

Jawa 304.884 297.929 308.455 1,55

Bali 1.670 1.865 1.882 0,91

Kalimantan 51.895 52.751 54.767 0,02

Sulawesi 122.605 129.707 133.657 2,5

Nusa Tenggara 2465.283 282.039 286.279 1,76

Maluku 20.516 16.121 15.519 - 1,96

Papua 752 768 773 0,32

Total di Indonesia 1.346.917 1.355.124 1.382.683 2,96 Sumber: Ditjen Peternakan (2017)

(25)

Inbreeding

Inbreeding adalah perkawinan antara dua individu yang masih mempunyai hubungan kekerabatan. Dua individu dikatakan berkerabat atau mempunyai hubungan keluarga, bila kedua individu tersebut memiliki satu atau lebih tetua bersama (common ancestor) dalam 6 sampai 8 generasi kebelakang. Tingkat kekerabatan antara dua individu dalam populasi tergantung dari besarnya populasi, sehingga akan dapat dihitung berapa jumlah tetua bersama yang terjadi (Hardjosubroto, 1994).

Salah satu hal yang menjadi permasalahan peternakan kerbau adalah Langkanya pejantan pemacek, akibatnya kerbau betina banyak yang dikawinkan dengan pejantan muda yang masih berkerabat dekat sehingga inbreeding meningkat. Menurut Lita (2009). Banyaknya jumlah pejantan tanpa seleksi pada peternakan rakyat akan menimbulkan kemungkinan adannya pejantan tangguh namun tidak memiliki performa produktivitas yang baik, sehingga dapat berakibat pada keturunan berikutnya yaitu terjadinya inbreeding. Menurut Deptan (2008) perbandingan jantan dan betina diusahakan 1:8 hingga 10 ekor. Kerbau jantan 1 ekor dengan kualitas genetik yang baik dikawinkan dengan 8 - 10 ekor induk kerbau dapat memperbaiki performa produktivitas ternak kerbau. Nisbah jantan : betina (1:8) dapat memperce pat umur berahi kerbau hingga 1 tahun dan memperkecil tingkat kematian anak menjadi 7,38% ( Lita, 2009).

Pengaruh genetik dan kawin silang yang biasanya merugikan yaitu penurunan daya tahan, kesuburan ternak dan bobot lahir ternak (Sariubang et al., 1998). Hal ini sesuai dengan pernyataan Mikema (1987) bahwa pengaruh silang dalam dapat meningkatkan proporsi lokus-lokus genetik yang heterosigot,

(26)

bersamaan dengan itu akan terjadi "depresi persedarahan" yang berakibat pada berkurangnya daya tahan, kesuburan dan bobot lahir ternak.

Koefisien Silang Dalam

Koefisien silang dalam adalah ukuran persentase peningkatan homozigositas dari ternak – ternak silang dalam dibandingkan dengan rataan populasi. Koefisien silang dalam dapat digunakan untuk mengukur peningkatan homozigositas suatu individu akibat silang dalam tersebut. Koefisien silang dalam juga dapat digunkan untuk mengukur penurunan derajat derajat heterozigositas suatu individu relatif terhadap tetuanya pada populasi yang sama (Noor, 2008).

Peningkatan koefisien in-breeding dinyatakan dengan Δ F sama dengan

½(Ne) bila jumlah ternak jantan sama dengan jumlah ternak betina, namun demikian karena jumlah ternak jantan dan ternak betina tidak sama maka besarnya populasi N adalah jumlah ternak betina (Nf) ditambah jumlah ternak jantan (Nm), sehingga mempunyai nilai rata - rata adalah 1/{½(1/Nm+1/Nf)}, maka besarnya populasi yang efetif (Ne) adalah 4 kali hasil kali populasi betina dengan populasi jantan, dibagi dengan jumlah populasi jantan dan betina. Oleh karena itu Δ F adalah 1/(8 kali jumlah populasi betina-Nf) ditambah 1/(8 kali jumlah populasi\

betina-Nm) (Falconer and Mackay, 1996). Laju inbreeding akan semakin besar bila jumlah ternak betina jauh lebih banyak dibandingkan ternak jantan, misalnya pada domba dengan sex-ratio 1 ekor jantan terhadap 20 ekor betina.

Beberapa cara untuk mengurangi in-breeding dalam teknisnya di lapangan yaitu dengan memperbesar populasi, mengarahkan pola perkawinan, membatasi seleksi, meningkatkan nilai heritabilitas individu, titik berat program pemuliaan

(27)

berdasar informasi famili, penggunaan indeks yang setara dalam menduga nilai pemuliaan (Haley, 1994).

Ukuran Populasi Efektif (Ne)

Populasi merupakan kumpulan individu suatu spesies yang mempunyai potensi untuk melakukan hubungan secara dinamis antara satu individu atau kumpulan organisme sejenis yang hidup pada daerah tertentu (Warwick et al., 1990).

Pengetahuan mengenai ukuran populasi dan laju penurunan populasi suatu rumpun ternak sangat penting untuk mengklasifikasikan status populasi ternak.

Salah satu tahap awal dalam program pelestarian plasma nutfah adalah menentukan status populasi ternak. Status populasi dapat ditentukan dengan menghitung jumlah ternak dewasa yang digambarkan dari jumlah betina dewasa dan jumlah populasi efektif (Subandriyo, 2004).

Laju Silang Dalam

Suatu populasi dapat bertahan apabila laju silang dalam per generasi lebih kecil atau sama dengan satu persen. Namun, dalam jangka panjang kecenderungan peningkatan silang dalam dapat saja terjadi jika populasi tetap dalam keadaan terisolir (tertutup) kemudian diikuti oleh oleh sistem perkawinan yang tidak terkontrol khususnya ketersediaan dan pemanfaatan ternak unggul yang tidak terdistribusi dengan baik (Salamena et al., 2007).

Ukuran Tubuh Ternak

Parameter tubuh adalah nilai-nilai yang dapat diukur dari bagian tubuh ternak termasuk ukuran-ukuran yang dapat dilihat pada permukaan tubuh kerbau,

(28)

antara lain ukuran kepala, tinggi, panjang, lebar, dalam dan lingkar (Alderson, 1999). Parameter tubuh yang sering dipergunakan dalam menilai produktivitas antara lain tinggi badan, lingkar dada dan panjang badan. Lingkar dada dan panjang badan dapat digunakan untuk melakukan pendugaan bobot hidup kerbau.

Ukuran ukuran tubuh memiliki hubungan erat dengan komponen tubuh, ukuran permukaan dan bagian tubuh ternak mempunyai banyak kegunaan karena dapat digunakan dalam penaksiran bobot badan dan karkas. Ukuran-ukuran tubuh seperti lingkar dada, panjang badan dan tinggi pundak dapat memberikan petunjuk bobot badan ternak dengan ketelitian yang cukup baik (Santosa, 1995).

Ukuran tubuh ternak adalah suatu studi yang berhubungan dengan variasi dan perubahan dalam bentuk dan ukuran dari organisme, meliputi pengukuran panjang dan analisis kerangka suatu organisme. Studi morfometri didasarkan pada sekumpulan data pengukuran yang mewakili variasi bentuk dan ukuran hewan (ternak). Dalam biologi hewan (ternak) pengukuran morfometri digunakan untuk mengukur ciri-ciri khusus dan hubungan variasi dalam suatu taksonomi populasi hewan (ternak) (Tzeng et al., 2000). Oleh karena itu, sebaran dan variasi morfometri yang muncul merupakan respon terhadap lingkungan fisik tempat hidup ternak tersebut.

(29)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di BPTU-HPT Kerbau Siborong – borong dan di Peternakan masyarakat Kabupaten Deli Serdang yaitu Desa Tanjung Garbus dan Desa Amplas Tambak Rejo. Penelitian ini dimulai dari bulan Mei sampai Desember 2018.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan

Bahan yang digunakan yaitu data dari memori ingatan peternak dan data silsilah ternak kerbau Murrah yang dimiliki oleh BPTU-HPT Siborong – borong yaitu 7 ekor betina dan 6 ekor jantan sedangkan untuk peternakan masyarakat Desa Tanjung Garbus 7 ekor jantan 12 ekor betina dan Desa Amplas Tambak Rejo 5 ekor jantan dan 4 ekor betina dengan total ternak kerbau Murrah betina 23 ekor dan jantan 18 ekor (Umur 1 - 4 bulan).

Alat

Alat yang digunakan yaitu tongkat ukur untuk mengukur tinggi pundak, panjang badan, dalam dada, tinggi pinggul, dan panjang pinggul. Pita ukur digunakan untuk mengukur lingkar dada. Caliper digunakan untuk mengukur lebar dada, lebar pinggul dan lebar pinggang, alat pencatatan data seperti buku data, alat tulis.

Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode survey langsung ke

(30)

diperoleh dengan pengamatan dan pengukuran langsung terhadap sampel. Data sekunder diambil dari catatan yang ada di Dinas dan peternakan masyarakat.

Parameter Penelitian

Pembuatan Diagram Silsilah

Penghitungan koefisien inbreeding menggunakan metode analisis silsilah yang dikembangkan oleh Allendorf dan Luikart (2008). Langkah pertama menggambar silsilah, dimana setiap individu hanya muncul satu kali, dibuat dalam bentuk alokade atau tanda panah. Selanjutnya, dianalisis silsilah leluhur (moyang) dari induk dan pejantannya. Jika tidak memiliki moyang bersama, individu tersebut bukanlah hasil perkawinan sedarah, dan nilai koefisien inbreeding (Fx) = 0. Namun, jika memiliki moyang bersama, telusuri semua

silsilah dari mulai orangtua individu tersebut, lalu menuju moyang bersama dan kembali lagi ke orangtua yang lain dari individu tersebut

Sebagai contoh, perhitungan koefisien inbreeding dari seekor ternak X yang dihasilkan dari satu generasi perkawinan saudara kandung dimana moyang bersamanya bukan inbred dapat digambarkan sebagai berikut:

A C

X

B D

(Warwick,1990) Keterangan ; A ; jantan

B ; betina

C dan D ; Nenek moyang

(31)

1. Perhitungan Koefisien Silang Dalam

Nilai F berkisar antara 0 (tidak perkawinan sedarah sama sekali) sampai 1 (kawin sedarah total) (Allendorf dan Kuikart, 2008).

( ) = ∑[( )

n + 1

( 1 + f

a

)]

Keterangan :

Fx : koefisien silang dalam ternak X Fa : koefisien silang dalam tetua bersama

n : banyaknya tanda panah dari X ke moyang bersama dan kembali ke X

2. Perhitungan Ukuran Populasi Efektif (Ne) dan Laju Silang Dalam

Status populasi dapat ditentukan dengan menghitung jumlah ternak dewasa yang digambarkan dari jumlah betina dewasa dan jumlah populasi efektif.

Sedangkan Laju silang dalam per Generasi dapat dihitung berdasarkan data struktur populasi, yaitu jumlah pejantan dan calon pejantan serta jumlah betina yang dapat dikawinkan. dengan rumus dari Wiener (1994) yaitu:

Jumlah populasi efektif dihitung menurut Hamilton (2009), yaitu: Ne = ( 4 Nm Nf )

Nm + Nf

Laju Silang dalam per generasi dapat di hitung menurut Wiener (1994) ΔF = 1 + 1

8Nm 8Nf

(32)

Keterangan

ΔF : laju silang dalam per generasi Nm : Jumlah pejantan dan calon pejantan Nf : Jumlah betina yang dapat dikawinkan.

Ne : ukuran populasi efektif

3. Pengukuran ukuran tubuh

Pengukuran bagian – bagian permukaan tubuh diambil ketika ternak dalam kondisi berdiri normal dengan kepla tegak dan bobot badan bertumpuh pada ke empat kakinya. Bagian – bagian permukaan tubuh yang diukur sesuai gambar 1 meliputi, tinggi pundak, panjang badan, lingkar dada, lebar dada, dalam dada, tinggi pinggul, lebar pinggul, panjang pinggang, dan lebar pinggang.

Gambar 1. Sketsa pengukuran tubuh ternak

(33)

1. Tinggi pundak (TP) diukur dari bagian tertinggi pundak melalui belakang scapula tegak lurus sampai permukaan tanah, menggunakan tongkat ukur (cm)

2. Panjang badan (PB) diukur dari tepi tulang humerus sampai benjolan tulang tapis atau duduk (tuber ischii) menggunakan tongkat ukur (cm)

3. Lingkar dada (LiD) diukur melingkar tepat sekeliling rongga dada, dibelakang sendi bahu (os scapula) menggunakan pita ukur (cm).

4. Lebar dada (LbD) diukur dari bahu sendi kiri ke kanan (antara tuberositas humeri sinister dan dexter) menggunakan caliper (cm)

5. Dalam dada (DD) iukur dari bagian tertinggi pundak sampai dasar dada, denga menggunakan tongkat ukur (cm)

6. Tinggi pinggul (TPgl) diukur dari titik tertinggi pinggul secara tegak lurus ke tanah, menggunakan tongkat ukur (cm).

7. Lebar pinggul (LPgl) diukur jarak lebar antara kedua sendi pinggul dengan menggunakan caliper (cm).

8. Pnajang pinggang (PPg) diukur dari pin bone sampai hip dengan menggunakan tongkat ukur (cm).

9. Lebar pinggang (LPg) diukur pada jarak antara tuber femoris kiri dan kanan dengan menggunakan caliper (cm)

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Tapanuli Utara

Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu daerah Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara terletak di wilayah pengembangan dataran tinggi Sumatera Utara berada pada ketinggian antara 300-1500 meter di atas permukaan laut.

Penelitian yang dilaksanakan di Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Siborongborong terletak di Instalasi Bahal Batu, Desa Bahal Batu, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Jarak Instalasi Bahal Batu ke kantor pusat yang terletak di Desa Siaro, Kecamatan Siborongborong adalah ±14 km. Lokasi yang digunakan untuk pengembangan ternak kerbau lokal dan babi ini memiliki luas lahan sekitar

±59.5 ha.

Gambar 2. Peta kabupaten Tapanuli Utara

(35)

Topografi dan kontur tanah Kabupaten Tapanuli Utara beraneka ragam yaitu yang tergolong datar (3,16 persen), landai (26,86 persen), miring (25,63 persen) dan terjal (44,35 persen).

Secara astronomis Kabupaten Tapanuli Utara berada pada posisi 1° 20’ - 2° 41’ Lintang Utara dan 98°05’–99°16’ Bujur Timur. Sedangkan secara geografis letak Kabupaten Tapanuli Utara dihapit atau berbatasan langsung dengan lima kabupaten yaitu, disebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu, disebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan dan disebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasundutan dan Tapanuli Tengah.

Kabupaten Deli Serdang

Kabupaten Deli Serdang secara geografis terletak diantara 2°57’-3°16’

Lintang Utara dan antara 98°33’ -99°27’ Bujur Timur, merupakan bagian dari wilayah pada posisi silang di kawasan Palung Pasifik Barat dengan luas wilayah 2.497,72 km².

Gambar 3.Petakabupaten Deli Serdang

(36)

Topologi Wilayah Kabupaten Deli Serdang terdiri dari daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi pegunungan dengan luas ± 2.497.72 Ha terdiri dari 22 kecamatan, 380 desa dan 14 kelurahan.Datarann pantai terdiri dari 4 kecamatan ( Hamparan Perak, Labuhan Deli, Percut Sei Tuan,dan Pantai Labu).

Jumlah Desa sebanyak 64 Desa/Kelurahan. Potensi Utama adalah: Pertanian Pangan,Perkebunan Besar,Perkebunan Rakyat, Peternakan, Industri, Perdagangan dan Perikanan.

Pertambahan populasi ternak selama dua tahun terankhir ini menunjukkan perubahan besar. Misalnya pada tahun 2001 populasi kerbau sebanyak 16.132 ekor bertambah menjadi 16.168 ekor selama tahun 2008.

Manajemen Perkawinan

Manajemen perkawinan yang terjadi di Kabupaten Deli serdang dengan cara penukaran pejantan setiap dua tahun sekali sehingga kemungkinan terjadi inbreeding sangat rendah serta penggunaan pejantan bangsa murni. Hal ini sesuai dengan pernyatann Sevinga et al. (2004), bahwa salah satu kebijakan dalam pembibitan diantaranya melakukan penekanan penggunaan pejantan sehingga menghasilkan keturunan dengan koefisien inbereeding relatif rendah.

Sedangkan manajmen perkawinan yang terjadi di Siborong – siborong yaitu dengan menggunakan kawin alami dan inseminasi buatan namun untuk pejantan tidak ada pertukaran sehingga kemungkinan inbereeding relatif tinggi.

Umumnya perkawinan ternak kerbau menggunakan pejantan yang tersedia di lahan penggembalaan. Kadangkala pejantan disewa dari petani lainnya, karena tidak semua petani memiliki kerbau pejantan. Ternak kerbau yang berahi dikawini oleh pejantan yang berkuasa dikelompok itu. Pejantan yang berkuasa biasanya

(37)

yang tubuhnya lebih besar. Walaupun sulit diatur, betina sebaiknya dikawinkan pertama kali pada umur 2 tahun, dewasa ini teknik inseminasi buatan sudah mulai dilakukan pada ternak kerbau, walaupun belum sepesat pada sapi.

Nilai koefisien Silang dalam Kerbau Murrah

Laju inbreeding akan semakin besar bila jumlah ternak betina jauh lebih banyak dibandingkan ternak jantan, misalnya pada domba dengan sex-ratio 1 ekor jantan terhadap 20 ekor betina.

Koefisein inbreeding dapat dihitung setelah merunut data silisah yang telah berhasil direkonstruksi. Data silsilah berupa diagram alokade disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Bentuk alokade S.038 silsilah siborong- borong

Proses rekonstruksi diagram alokade dimulai dengan membuat diagram panah, selanjutnya pembuatan diagram alur berdasarkan jalur lintasan yang terdiri dari moyang bersama dari tetua yang inbred. Kontribusi dari masing-masing alur

S.038

0459

055 1549

1534 085 085

(38)

dihitung untuk mendapatkan nilai koefisien inbreeding. Diagram alur silislah untuk menghitung koefisien inbreeding disajikan pada Tabel 2

Tabel 2. Diagram Alur S.038 Siborong – borong

Lintasan N Kontribusi

S.038 085 055 0459 S.038 3 (1/2)3 = 0,125

FX 0,125

Berdasarkan data yang diperoleh, nilai koefisien inbreeding di Siborong – borong (0,218) lebih besar dari pada di Deli serdang (0,0625). Hal ini menunjukkan bahwa kerbau di Deli serdang memiliki kualitas yang lebih unggul baik secara fenotip maupun genetik (Tabel 3). Inbreeding adalah persilangan antar ternak yang memiliki hubungan keluarga yang lebih dekat jika dibanding dengan rataan hubungan kekerabatan kelompok tempat ternak tersebut berada (Noor, 2008). Kedua individu yang dikawinkan secara inbreeding tersebut akan mempunyai moyang bersama pada beberapa generasi ke atas, sehingga informasi mengenai silsilah keturunannya sangat diperlukan. Menurut Cervantes et al.

(2007), nilai koefisien inbreeding bergantung pada kualitas informasi silsilah khususnya pada generasi awal yang terdaftar.

Tabel. 3 Nilai Koefisien Inbreeding Kerbau Murrah

Siborong – borong Desa Tanjung Garbus No.

Jenis Nama Koefisien Jenis

Kelamin

Nama Koefisien

Kelamin Kerbau Inbreeding Kerbau Inbreeding

1. Jantan S.016 0,25 Betina Bolli 0,0625

2. Betina S.018 0,25

3. Betina S.038 0,125

4. Betina S.040 0,25

rata-rata 0,218

(39)

Nilai koefisien inbreeding di Siborong - borong dan di Desa Tanjung Garbus tersebut termasuk kategori sedang. Hal ini disebabkan keterbatasan jumlah pejantan dalam populasi sehingga pergerakan dari setiap individu terbatas. Kerabu tersebut hanya dikawinkan dengan individu disekitarnya. Perkawinan dari populasinya tidak secara acak bahkan ada kemungkinan masih memiliki hubungan keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat (Haley, 1994), Beberapa cara untuk mengurangi in-breeding dalam teknisnya di lapangan yaitu dengan memperbesar populasi, mengarahkan pola perkawinan, membatasi seleksi, meningkatkan nilai heritabilitas individu, titik berat program pemuliaan berdasar informasi famili, penggunaan indeks yang setara dalam menduga nilai pemuliaan.

Jumlah individu dalam suatu populasi sangat mempengaruhi tingkat inbreeding, dimana semakin kecil populasi maka semakin besar tekanan inbreeding terhadap suatu sifat, sayed et al. (2012) melaporkan tingkat inbreeding kerbau di Mesir menurun secara nyata yaitu sebesar 43% dengan meningkatnya ukuran populasi dari 1.000 menjadi 2.500 ekor. Sayed et al. (2012) juga melaporkan bahwa pengaruh tekanan inbreeding terhadap sifat reproduksi menurun 25% reproduktivitasnya pada populasi kecil dan 8% pada populasi besar.

Ukuran Populasi Efektif (Ne) dan Laju Silang Dalam

Suatu populasi yang kecil dapat menyebabkan inbreeding terjadi secara bebas dan sulit dihindari. Peningkatan inbreeding dalam populasi dapat diduga secara kasar berdasarkan jumlah pejantan yang digunakan dan jumlah betina yang dijadikan induk. Berdasarkan hasil perhitungan (Tabel 4), laju inbreeding di Siborong – borong sebesar 2,29% dan di Deli Serdang masing-masing 1.96% dan

(40)

4,75 %. Jumlah pejantan yang dihitung di Sibororng - borong adalah sebanyak 8 ekor dan di Peternakan rakyat Deli Serang sebanyak 7 ekor dan 3 ekor.

Tabel 4. Ukuran Populasi Efektif (Ne) dan Laju Silang Dalam per Generasi dari Kerbau Murrah

No Peubah

Sumatera Utara

total siborong

borong

Tanjung garbus

Amplas T. Rejo 1 kerbau jantan dewasa (Number of

breed male, Nm). (ekor). 8 7 3 18

2 kerbau betina dewasa (Number of

breed female, Nf). (ekor). 17 68 21 106

3 Jumlah populasi efektif (Ne).

(ekor).

22 25 11 61

4 Laju inbreeding (%) 2,29 1,96 4,75 0,81

Ukuran populasi efektif (Ne) kerabau Murrah masig – masing di siborong – borong, tanjung garbus dan di amplas Tanjung rejo adalah sebesar 22, 25 dan 11 dengan total sebesar 61 dengan laju silang dalam (inbreeding) per generasi sebesar 0.81 persen (Tabel 4). Hasil ini menunjukkan bahwa tekanan silang dalam (inbreeding) belum terjadi pada populasi kerbau Murrah. Menurut Notter et al., (1994) dan Simon (1999) bahwa suatu populasi dapat bertahan apabila laju silang dalam per generasi lebih kecil atau sama dengan satu persen. Namun demikian dalam jangka panjang kecenderungan peningkatan silang dalam (inbreeding) dapat saja terjadi jika populasi tetap dalam keadaan terisolasi (tertutup) kemudian diikuti oleh sistem perkawinan yang tidak terkontrol.

Tingginya nilai koefisien dan laju inbreeding di Deli Serdang desa Amplas disebabkan beberapa faktor, diantaranya jumlah pejantan yang digunakan relatif sedikit (3 ekor), efektivitas ukuran populasi yang kurang proporsional dan penggunaan recording yang belum optimal. Menurut Toelihere (1993), jumlah Kerbau betina yang dapat dilayani seekor pejantan dengan inseminasi buatan

(41)

adalah sebanyak enam ekor per ejakulat Menurut Sevinga et al. (2004), dengan laju inbreeding yang rendah, resiko kehilangan variasi genetik dalam populasi berkurang dan diharapkan efek dari tekanan inbreeding pun dapat lebih baik.

Suatu populasi dapat bertahan apabila laju silang dalam per generasi lebih kecil atau sama dengan satu persen. Sementara itu Praharani et al. (2009) menyatakan bahwa kenaikan 1% dari tingkat inbreeding per generasi akan menurunkan produksi dan menyebabkan penurunan sifat performa pada ternak.

Namun dalam jangka panjang kecenderungan peningkatan silang dalam dapat saja terjadi jika populasi tetap dalam keadaan terisolir (tertutup) kemudian diikuti oleh oleh sistem perkawinan yang tidak terkontrol khususnya ket ersediaan dan pemanfaatan ternak unggul yang tidak terdistribusi dengan baik (Salamena et al., 2007). Demi pelestarian sumberdaya genetik dan upaya untuk meningkatkan jumlah produktivitas kerbau Murrah khususnya di Sumatera Utara akan lebih baik jika dilakukan penambahan jumlah populasi jantan ataupun melakukan pertukaran pejantan setiap dua tahun sekali dengan peternakan kerbau di daerah sekitarnya.

Efek Inbreeding terhadap ukuran tubuh kerbau Murrah

Produktivitas kerbau Murrah diamati untuk melihat pengaruh tekanan inbreeding. Perbandingan antara ukuran tubuh kerbau murah yang tidak inbreeding dan inbreeding disajikan pada Tabel. 5.

(42)

Tabel 5. Rata - Rata Ukuran Tubuh Pedet Kerbau Murrah

No Ukuran

tubuh

Sumatera Utara

Siborong-borong Tanjung Garbus Amplas T.Rejo Tidak

inbreed±

SD

Inbreed±

SD

Tidak inbreed±

SD

Inbreed

Tidak inbreed±

SD 1. Tinggi

Pundak 69,81±4,1 63±1,4 70,05±7,6 60 68,77±4,4 2. Panjang

Badan 55,54±5,5 48±3,1 56,94±3,9 50 57,77±2,9 3. Lingkar

Dada 67,72±11,3 65,5±1,2 64,72±8,2 50 64,77±3,0 4. Lebar

Dada 21,45±4,1 17,5±1,2 22,44±4,0 21 22,22±2,7 5. Dalam

Dada 33,45±4,4 31,5±1,7 32,88±4,0 29 28,88±2,9 6. Tinggi

Pimggul 67,45±3,2 66±1,4 65,94±7,4 60 67,55±3,6 7. Lebar

Pinggul 22,45±3,2 18,5±1,2 22,05±2,5 21 20,22±2,1 8. Panjang

Pinggang 18,18±3,3 15,5±1,7 17,27±2,4 16 17,11±1,4 Lebar

Pinggang 18,54±3,3 14,5±1,0 22,72±2,1 19 19,44±1,2

Secara umum ukuran tubuh kerbau murah yang tidak inbreeding dibandingkan dengan kerbau murah yang inbreeding memiliki ukuran tubuh yang relatif lebih besar baik di BPTU Siborong-borong maupun di kabupaten Deli Serdang (Tabel 3). Salah satu dampak yang disebabkan oleh inbreeding diantaranya menurunkan performa ternak pada generasi berikutnya. Hal ini sesuain Neaves et al. (2015) yang menyatakan bahwa pengaruh peningkatan derajat inbreeding terhadap penurunan performans dari berbagai penelitian dari jenis ternak yang berbeda. Sebanyak 81,9% menyebutkan pengaruh tekanan inbreeding terhadap penurunan daya hidup, 52% tentang pengaruh negatif

(43)

terhadap ukuran tubuh, 12,5% dampak terhadap ketahanan penyakit patogen, parasit, cekaman (stres) dan kegagalan kebuntingan.

Rata-rata tinggi pundak ternak di Siborong – siborong yang tidak inbreeding sebesar 69,81 dan yang inbreeding sebesar 63, ini menunjukan bahwa ukuran tubuh ternak kerbau tidak jauh beberda,hal ini disebabkan karena jumlah populasi pejantan yang terbatas di wilayah tersebut dan umur ternak yang diukur terlalu muda, hal ini sama dengan yang ada diwilayah kabupaten Deli Serdang.

Tekanan inbreeding (inbreeding depression) merupakan terminologi yang telah lama digunakan sejak zaman Darwin (Paige 2010). Pengaruh negatif yang ditimbulkan dari besarnya tingkat inbreeding dikenal dengan istilah tekanan inbreeding. Frekuensi alel dalam populasi inbreeding sebenarnya tidak berubah,

namun distribusi genotipe saja yang berubah (Falleiro et al., 2014).

Pada umumnya, tekanan inbreeding akan lebih berdampak negatif pada sifat yang berkaitan dengan daya ketahanan hidup termasuk tingkat daya hidup, fertilitas dan kesehatan ternak (Paige 2010). Inbred ternak akan mengalami penurunan kelangsungan hidup yang berkaitan erat dengan kinerja reproduksi dan mortalitasnya dibandingkan dengan ternak non-inbred. Gullstrand (2015) juga menjelaskan tingginya tekanan inbreeding mempengaruhi kerentanan ternak terhadap penyakit yang menyebabkan tingginya kematian pada embryo, neo-natal akibat gen resesif ternak yang memiliki efek negatif. Populasi inbred mengalami penurunan jumlahnya disebabkan ketahanan daya hidupnya lebih rendah dibandingkan dengan non-inbred (Bezdicek et al., 2007).

Menurut Yatim (1991), dengan inbreeding terus menerus, kehomozigotan semakin meningkat antara individu suatu populasi atau antara gen dalam satu

(44)

individu. Kehomozigotan ini akan melemahkan individu terhadap perubahan lingkungan, tetapi variasi makin sedikit. Inbreeding akan mempengaruhi sifat reproduksi seperti libido pada pejantan, litter size, bobot badan, tingkat ketahanan hidup dan laju pertumbuhan (Buchanan, 2000). Salah satu akibat dari inbreeding adalah tekanan inbreeding yang mampu menurunkan rataan nilai fenotipik, khususnya untuk karakteristik yang berhubungan dengan kemampuan reproduksi dan produksi (Miglior et al., 1992).

(45)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Nilai koefisien inbreeding tertinggi di BPTU-HPT Siborong - borong sebesar 0,25, sedangkan yang terendah juga di BPTU-HPT siborong - borong sebesar 0,125. Jumlah individu yang inbreeding ditemukan sebanyak 26,66% di BPTU-HPT Siborong - siborong dan 5,2% di desa Tanjung Garbus, sedangkan di desa Amplas Tambak Rejo tidak ditemukan ternak yang inbreeding. Ukuan populasi efektif Kerbau Murrah di Sumatera Utara sebesar 61 ekor dengan laju silang dalam per generasi sebesar 0,81%. Inbreeding yang terjadi pada Kerbau Murrah di Sumatera Utara berpengaruh terhadap rataan tinggi pundak, panjang badan, lingkar dada, lebar dada, dalam dada, tinggi pinggul, lebar pinggul, panjang pinggang, dan lebar pinggang

Saran

Upaya pemuliaan yang terarah perlu dilakukan oleh peternak rakyat di Desa Tanjung Garbus dan Desa Amplas Tambak melalui pendataan dan rekording data silsilah ternak dengan mencatatnya secara baik. Dampak dari inbreeding pada ternak kerbau Murrah di BPTU-HPT Siborong - borong dapat ditekan dengan cara penambahan jumlah pejantan, penyiapan calon pejantan unggul atau dengan melakukan pertukaran pejantan dengan peternak lain.

.

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Aisiyah, N. 2000. Studi ukuran tubuh sapi madura di Desa Samaran, KecamatanTambelayan, Kabupaten Sampang, Madura. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Alderson GLH. 1999. A System to Maximise the Maintenance of Genetic Variability in Small Populations ; In L.Alderson and I.Bodo (eds) Genetic Conservation of Domestic Livestock (Vol. II) CAB International, Wallingford.

Allendorf, F. W. & G. Luikart. 2008. Conservation and the genetics of population.

Blackwell Publishing Victoria.

Anonimous. 1998. Buku Pintar Peternakan. Dinas Peternakan. Pekanbaru.

Pemerintah Provinsi Tingkat I Riau.

Bezdicek J, Subrt J, Filipeik R, Bjelka M, Dufek A. 2007. The effects of inbreeding on service period and pregnancy length in Holsteins and Czech Fleckviehs after the first calving. Arch Tierz, Dummerstorf.

50:455-463.

Buchanan, D. S. 2000. Inbreeding in Swine. Oklahoma State University. Purdue University Cooperative Extension Service West Lafayette, IN 47907 Cervantes, I., A. Molina, F. Goyache, J.P. Gutiérrez, & M. Valera. 2007.

Population history and genetic variability in the spanish arab horse assessed via pedigree analysis. Elsevier B. V. Livestock Science 113: 24–

33.

Chantalakhana, C. & P. Skunmum. 2002. Suitainable Smallholder Animal System in The Tropics. Kasetsart University Press, Bangkok.

Chavananikul, V., P. chantaraprateep, N. Sanghuayprai and B. BUARAK. 1994.

Phenotypes of F2 crossbred between riverine and Thai swamp buffaloes.

Long term genetic improvement of the buffalo. 1994. Proceedings of the first ABA (Asian Buffalo Association) Congress. Buffalo and Beef Production, Research and Development Center, Thailand.

Desta TT. 2012. Introduction of domestic buffalo (Bubalus bubalis) into Ethiopia would be feasible. Renew Agric Food Syst. 27:305-313.

Ditjen Peternakan. 2017. Statistik Peternakan,Deptan RI. Jakarta

Ditjen PKH. 2018. Statistik peternakan 2018. Jakarta (Indonesia): Direktoral Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.

(47)

Erdiansyah. E. 2008. Studi keragaman fenotipe dan pendugaan jarak genetik antar kerbau lokal di Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat. Skripsi.

Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Fahimudin, M. 1975. Domestic Water Buffalo. Oxford and I. B. H. Publishing Co.

New Delhi.

Falconer, D.S. and T.F.C. Mackay. 1996. Introduction to Quantitative Genetics.

4Th ed. Longman Group Ltd., England.

Falleiro VB, Malhado CHM, Malhado ACM, Carneiro PLS. 2014. Population structure and genetic variability of Angus and Nellore Herds. J Agric Sci.

6:277-286.

Gullstrand P. 2015. Control of inbreeding in dairy cattle in the genomic era [Bachelor Thesis]. [Uppsala (Swedia)]: Swedish University of Agricultural Sciences

Haley, C. 1994. In-breeding. Animal Breeding 2. Rostin Institut. London

Haloho, L dan P. Yufdi. 2006. Kondisi ternak kerbau di kawasan agropolitan dataran tinggi bukit barisan Sumatera Utara.. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor..

Hamilton, M. B. 2009. Population Genetics. Blackwell Publishing, John Wiley &

Sons Ltd, The Atrium, Southern Gate, Chichester, West Sussex,PO19 8SQ, UK.

Handiwirawan, E dan Subandriyo. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Bali. Wartazoa Vol. 14 No. 3 : 107-115.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta:

PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Hardjosubroto, W dan Astuti JM. 1992. Buku Pintar Peternakan . Yogyakarta.

Hardjosubroto, W. 2001. Genetika Hewan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Haryono. 2001. Variasi morfologi dan morfometri ikan dokun di sumatera. Biota Vol. VI (3): 109 -116. ISSN 0853 -8670.

Hidayat, U. 2007. Karakteristik fenotipik kerbau Banten dan Sumatera Utara.

Skripsi.Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kandeepan G, Biswas S, Rajkumar RS. 2009. Buffalo as a potential food animal.

J Livst Prod 1:001-005.

(48)

Kampas, R. 2008. Keragaman fenotipik morfometrik tubuh dan pendugaan jarak genetic kerbau rawa di Kabupaten Tapanuli Selatan Propinsi Sumatera Utara. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Lemcke B. 2011. Is there a major role for buffalo in Indonesia’s beef self sufficiency program by 2014? Dalam: Talib C, Herawati T, Matondang RH, Praharani L, penyunting. Percepatan Perbibitan dan Pengembangan Kerbau melalui Kearifan Lokal dan Inovasi Teknologi untuk Mensukseskan Swasembada Daging Kerbau dan Sapi serta Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Peternakan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Lebak, 2-4 November 2010. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 1-6.

Lita, M.2009. Produktivitas kerbau rawa di kecamatan Muara Muntai kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Losdat S, Chang SM, Reid JM. 2014. Inbreeding depression in male gametic performance. J Evol Biol. 27:992-1011.

Martojo, H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Miglior, F., B Szkotnicki, & E. B. Burnside. 1992. Analysis of levels of

inbreeding and inbreeding depression in jersey cattle. J. Dairy Sci. 75:4.

Mikema, D. 1987. Dasar Genetik dalam Pembudidayaan Ternak. Jakarta: Bharata Karya Aksara.

Muliadi D. 1996. Sifat fenotip kambing kacang di Kabupaten Pandeglang dan Garut [disertasi]. Bogor (ID) : IPB Pr.

Neaves LE, Eales J, Whitlock R, Hollingsworth PM, Burke T, Pullin AS. 2015.

The fitness consequences of inbreeding in natural populations and their implications for species conservation - A systematic map. Environ Evid.

4:5.

Noor.R. R. 2008. Genetika Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta

Notter, D.R., A.S. Mariante and Z. Sheng. 1994. Modern approaches to active conservation of domestic animal diversity. Proc. 5th World Congress on Genetic Applied to Livestock Production. Dept. Animal and Poultry Science, University of Guelph. Ontario, Canada. Vol. 21. : 509-516.

Paige KN. 2010. The functional genomics of inbreeding depression: A new approach to an old problem. Bioscience. 60:267-277.

(49)

Praharani L, E. Juarni dan L. G. M. Budiarsana. 2009. Parameter indikator inbreeding rate pada populasi ternak kerbau di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Makalah pada Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau. Bogor Robbani, A. R. 2009. Karakteristik fenotipik kerbau rawa di Kabupaten Bogor.

Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Roldan, E.R.S. and M. Gomendio. 2009. Sperm and conservation. p. 539-564. In Birkhead, T., Rt. Roush, D.J. Hosken, and S. Pitnick (eds.) Biology of Sperm: An Evolutionary Perspective. London, UK Academic Press.

Rukmana, R. 2003. Potensi dan Analisis Usaha Beternak Kerbau. Aneka Ilmu.

Semarang.

Salamena. J. F.,R. R.Noor., C. Sumantri dan I. Inounu. 2007. Hubungan Genetik, ukuran populasi efektif dan laju silang dalam per generasi populais domba di Pulau Kisar. J. Indon. Trop. Anin.agric.32:71- 75.

Saleh, A. R. 1982. Korelasi antara bobot badan, lingkar dada, lebar dada, tinggi pundak, panjang badan dan dalam dada pada Sapi Ongole di Pulau Sumba. Media Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Santosa, U. 1995. Studi Ukuran Tubuh Kerbau di Beberapa Wilayah di Kabupaten Lebak,Propinsi Banten. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sariubang, M., D. Pasambe, dan Chalidjah. 1998. Pengaruh kawin silang

terhadap performans hasil turunan pertama (F1) pada sapi Bali di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998.

Sayed AI, Abdel-Salam SA, Elsayed M, Abou-Bakr S. 2012. Inbreeding Coefficient in simulated open nucleus breeding scheme in Egyptian buffalo. Egypt J Anim Prod. 49:1-8.

Sevinga, M., T. Vrijenhoek, J. W. Hesselink, H. W. Barkema, & A. F. Groen.

2004. Effect of inbreeding on the incidence of retained placenta in friesian horses. J.Anim. Sci. 82: 982–986

Simon, D.L. 1999. Genetic resources and consevation. In: Fries, R. and Ruvinsky, A. (eds), The Genetics of Cattle. CABI Publishing, Wallingford, Oxon, UK, p475-495.

Siregar, A. R, K. Diwyanto, E. Basuno, A. Thalib, T. Sartita, R.H. Matondang, J.

Betari, M. Zulbadri, M. Sitorus, T. Panggabean, E. Handriwirawan, Y.

Widiawati & N. Supriyatna. 1996. Karakteristik dan konservasi keunggulan genetik kerbau di Pulau Jawa. Buku 1 : Penelitian Ternak Ruminansia Besar. Balai Penelitian, Ciawi. Bogor.

(50)

Subandriyo, 2004. Pengelolaan Data Plasma Nutfah Ternak. Buletin Plasma Nutfah 10 (2): 90-100.

Toelihere, M. R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.

Tzeng, T.D., Chiu, C. S,. Yeh, S. Y., 2000. Morphometric Variation in Redspot Prawn (Metapenaeopsis barbata) in Defferent Geographick Waters of Taiwan. Institute of Oceanography, National Taiwan University. Taypei 106, Taiwan ROC.

Vale WG, Minervino AHH, Neves KAL, Morini AC, Coelho JAS. 2013. Buffalo geneticresources in Latin America: Constraints and treats on its

sustainability. Buffalo Bull. 32:121-131.

Van Wyk JB, Fair MD, Cloete SWP. 2009. Case study: The effect of inbreeding on the production and reproduction traits in the Elsenburg Dormer sheep stud. Livest Sci. 120:218-224.

Wang, N. Chen, M. R. Capodiferro, T. Zhang, H. Lancion, H. Zhang, Y. Miao, V.

Chanthakhoun, M. Wanapat, M. Yindee, Y. Zhang, H. Lu, L. Caporali, R. Dang, Y. Huang, X. Lan, M. Plath, H. Chen, J. A. Lenstra, A. Achilli and C. Lei. 2017. Whole mitogenomes reveal the history of swamp buffalo: initially shape by glacial periods and eventually modeled by domestication. Sientific Reports. 7: 4708.

Warwick E.J., J.M. Astuti, W. Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan Ternak.

Gadjahmada University Press, Yogyakarta.

Warwick E.J., J.M. Astuti, W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan Ternak.

Gadjahmada University Press, Yogyakarta.

Weiner, G. 1994. Animal Breeding. Centre for Tropical Veterinary Medicine.

University of Edinburgh, Edinburgh.

Yatim, W. 1991. Genetika. Penerbit Tarsito, Bandung .

(51)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Identitas Individual Kerbau Murrah di Siborong – borong

No. Nama

Pejantan

Nama Induk

Nama Anak

Jenis Kelamin

Tanggal Lahir

1 1549 S.0556 S.016 ♂ 10/02/ 2018

2. 085 S.1555 S.018 ♀ 12/02/ 2018

3. 1549 104 S.030 ♂ 15/02/ 2018

4. 085 089 S.031 ♀ 25/02/ 2018

5. 085 0496 S.033 ♂ 19/03/ 2018

6. 1549 087 S.034 ♀ 29/03/ 2018

7. 085 S.109 S.035 ♀ 02/04/ 2018

8. 1549 090 S.036 ♂ 06/04/ 2018

9. 1549 098 S.037 ♂ 07/04/2018

10. 085 0459 S.038 ♀ 14/04/2018

11. 1549 S.140 S.039 ♂ 22/04/ 2018

12. 085 S.0456 S.040 ♀ 23/04/ 2018

13. 085 S.097 S.041 ♀ 24/04/ 2018

Lampiran 2. Identitas Individual Kerbau Murrah di Deli Serdang (Desa Amplas Tambak Rejo)

No. Nama Pejantan Nama Induk

Nama Anak

Jenis Kelamin

Tanggal Lahir

1. Buntung Kutil Pida ♀ 09/2018

2. Buntung Blanda Aceh ♂ 10/2018

3. Buntung Chelsea Wiro ♂ 10/2018

4. Buntung Roma Moti ♀ 10/2018

5. Buntung Lambat Menggi ♀ 10/2018

6. Buntung Baru Loi ♀ 11/2018

7. Buntung Jawi Bolli ♂ 11/2018

8. Buntung Panjang Bintang ♂ 10/2018

9. Buntung Iri Rakes ♂ 11/2018

(52)

Lampiran 3. Identitas Individual Kerbau Murrah di Deli Serdang ( Desa Tanjung Garbus)

No. Nama Pejantan Nama Induk

Nama Anak

Jenis Kelamin

Tanggal Lahir

1. Burrah Pida Pida ♀ 02/2018

2. Burrah Aceh Aceh ♀ 02/2018

3. Burrah Wiro Wiro ♂ 02/2018

4. Burrah Moti Moti ♀ 03/2018

5. Burrah Menggi Menggi ♂ 03/2018

6. Burrah Loi Loi ♀ 03/2018

7. Burrah Bolli Bolli ♀ 02/2018

8. Burrah Bintang Bintang ♂ 03/2018

9. Burrah Rakes Rakes ♂ 03/2018

10. Burrah Jago Jago ♀ 03/2018

11. Burrah Mayang Mayang ♀ 04/2018

12. Burrah Mio Mio ♀ 04/2018

13. Burrah Santi Santi ♂ 04/2018

14. Burrah Nisan Nisan ♀ 03/2018

15. Burrah Mawar Mawar ♀ 04/2018

16. Burrah Jablay Jablay ♂ 03/2018

17. Burrah Buti Buti ♂ 04/2018

18 Burrah Niko Niko ♀ 02/2018

19. Burrah Buntung Buntung ♀ 03/2018

Lampiran 4. Data Silsilah Kebau Murrah Siborong – borong 1). S.016

1549 Fx S.016

S.0556

2). S.018

085 Fx S.018

S.155

Lintasan N kontribusi

S.016 1549 - S.0556 S.016 2 (1/2)2= 0,25 Fx 0,25

Lintasan N kontribusi

S.018 085 - S.1555 S.018 2 (1/2)2= 0,25 Fx 0,25

S.016 1549

0473

S.018

1554

(53)

3). S.030

1549 Fx S.030

1461 4). S.031

085 Fx S.031

089

5). S.033

085 Fx S.033

0496

6). S.034

1549 Fx S.034

087

7). S.035

085 Fx S.035

S.109

Lintasan N kontribusi

- - -

Fx 0

Lintasan N kontribusi

- - -

Fx 0

Lintasan N kontribusi

- - -

Fx 0

Lintasan N kontribusi

- - -

Fx 0

Lintasan N kontribusi

- - -

Fx 0

S.03

S.031

S.033

S.034

S.035

(54)

8). S.036

1549 Fx S.036

090

9). S.037

1549 Fx S.037

098

10). S.038

085 Fx S.038

0459

11). S.039

1549 Fx S.039

S.140

12). S.040

085 Fx S.40

0456

Lintasan N kontribusi

- - -

Fx 0

Lintasan N kontribusi

- - -

Fx 0

Lintasan N kontribusi

S.038 085 055 0459 S.38

3 (1/2)3= 0,125 Fx 0,125

lintasan N Kontribusi

- - -

Fx 0

Lintasan N kontribusi

S.040 085 - 0456 S.040 2 (1/2)2= 0,25 Fx 0,25

S.036

S.037

S.038 1549

1534 o 085 055

S.039

085

1473 o

S.040

0495

Gambar

Gambar 1. Sketsa pengukuran tubuh ternak
Gambar 2. Peta kabupaten Tapanuli Utara
Gambar 3. Peta kabupaten Deli Serdang
Gambar 4. Bentuk alokade S.038 silsilah siborong- borong

Referensi

Dokumen terkait

 Peserta bersifat perseorangan terdiri dari putra (Qari) dan Putri (Qari’ah).  Materinya adalah maqra’ yang ditentukan langsung oleh Dewan Juri pada saat Peserta naik

Implementasi LKM Posdaya Kenanga dikatakan baik karena dari hasil tabel frekuensi menunjukkan tingkat ketepatan sasaran, tingkat pemberian sumber daya, dan tingkat

a) Musyawarah dipimpin oleh Ketua BPD. Apabila Ketua BPD berhalangan hadir, harus memberitahukan ketidakhadirannya dengan alasan yang benar untuk selanjutnya diinformasikan

Keempat, analisis data telah membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan prestasi belajar IPS antara siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe

Variabel terikat adalah akibat yang muncul ketika peneliti mengubah variabel bebas, Variabel terikat dalam penelitian ini adalah hasil jadi pewarnaan biji buah

Meskipun sudah banyak kritikan dari berbagai kalangan namun tayangan TV dari tahun ke tahun tidak ada perubahan yang berarti sesuai dengan fungsinya, di mana fungsi TV

Salah satu metode pembelajaran yang dilatarbelakangi permainan dalam salah satu situs Depdiknas adalah metode Crush Word (tebak kata )(www.dikmegnum.go.id ). Tebak