• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802007067 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802007067 Full text"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA

SELF -EFFICACY

DENGAN SIKAP

TERHADAP PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA

SMK NEGERI 1 SALATIGA

MARKELINA SUWARNO PUTRI

802007067

Pembimbing I

Berta Esti A. P., S.Psi., MA

Pembimbing II

Ratriana Y.E.K. M.Si, Psi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan sikap terhadap perilaku menyontek pada siswa SMK N 1 salatiga. self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuannya dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas akademik yang dihadapi, sehingga mampu mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkan dengan mendapatkan nilai yang memuaskan. Sedangkan menyontek adalah tindak kecurangan dalam tes melalui pemanfaatan informasi yang berasal dari luar secara tidak sah. Tingkat perilaku menyontek antar individu berbeda, dapat bervariasi dari yang selalu menyontek sampai kadang-kadang menyontek. Dalam penelitian ini menggunakan sampel acak dengan subjek penelitian 99 siswa siswi SMK N 1 Salatiga. Variabel menyontek diukur dengan menggunakan skala likert yang disusun berdasarkan bentuk –bentuk menyontek menurut Klausmeier, dan variabel self efficacy disusun berdasarkan aspek-aspek self efficacy menurut Bandura. Analisis data menggunakan Karl Pearson’s Product Moment didapatkan hasil perhitungan korelasi dengan nilai r = -0,006 dan nilai p = 0,954 lebih besar dari 0,05. hasil ini menunjukkan tidak ada hubungan antara self-efficacy dengan sikap terhadap perilaku menyontek pada siswa SMK N 1 Salatiga.

Kata Kunci : self efficacy, menyontek

(8)

ABSTRACT

This study aimed to determine the relationship between self-efficacy with attitudes toward cheating behavior on students SMK N 1 salatiga. self-efficacy is the belief or confidence in the ability of individuals to carry out and complete the academic tasks facing, so as to overcome obstacles and achieve the expected goals by obtaining satisfactory value. While cheating is fraud in the test through the use of information derived from outside illegally. The level of cheating behavior among different individuals, may vary from that always cheat to cheat sometimes. In this study using a random sample of 99 research subjects students of SMK N 1 Salatiga. Cheat variables measured using a Likert scale which is based on the shape-shape cheated by Klausmeier, and self efficacy variable is based on the aspects according to Bandura's self-efficacy. Analysis of data using Kar l Pearson's product moment correlation calculation results obtained with r = -0.006 and p = 0.954 greater than 0.05. The results showed no relationship between self-efficacy with attitudes toward cheating behavior in students of SMK N 1 Salatiga.

(9)

PENDAHULUAN

Untuk mencapai tujuan pendidikan di Indonesia, pemerintah tidak henti-hentinya

memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia. Arifin (2004) mengungkapkan, salah satu

upaya untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional ke arah yang lebih baik adalah

dengan cara membenahi sistem ujian sekaligus standar minimum kelulusan. Standar

tersebut dibuat untuk menyeragamkan standar kelulusan di seluruh tanah air dari empat

bidang studi yang diujikan. Hal ini penting, mengingat standar itu sangat dibutuhkan

karena berkaitan dengan mutu pendidikan di Indonesia.

Standar kelulusan memang harus ditentukan, namun demikian standar kelulusan ini

seringkali menimbulkan kecemasan bukan saja diantara para peserta ujian, melainkan juga

pihak sekolah akan merasa cemas apabila jumlah lulusan tidak mencapai target yang

ditetapkan. Terlepas dari berbagai permasalahan yang ada, namun dapat dipastikan bahwa

seorang yang akan menghadapi tes, apapun bentuk tes itu, akan mengalami kecemasan.

Tingkat kecemasan yang terlalu tinggi mendorong munculnya keinginan untuk mengambil

jalan pintas, yaitu menyontek.

Menyontek merupakan perilaku yang dapat terjadi karena adanya pengaruh

dari dalam diri maupun karena interaksi dengan dunia luar. Sebagaimana diungkapkan oleh

Sarwono (2004), bahwa perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam

pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk

pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan reaksi individu

terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Sebagai sebuah

bentuk perilaku, menyontek merupakan hasil bentukan akibat pengamatan atau hasil

interaksi dengan lingkungan. Individu yang tertekan karena takut gagal dalam

(10)

Sujana & Wulan (1994) menyatakan bahwa menyontek adalah tindak kecurangan

dalam tes melalui pemanfaatan informasi yang berasal dari luar secara tidak sah. Tingkat

perilaku menyontek setiap individu berbeda, dapat bervariasi dari yang selalu

menyontek sampai kadang-kadang menyontek. Hal ini dipengaruhi oleh faktor yang

berbeda. Faktor tersebut berkenaan dengan bagaimana individu mempersepsikan dan

menilai perilaku menyontek. Dengan kata lain, bagaimana sikap individu terhadap

perilaku menyontek. Sumarman (2002) menyatakan, bahwa sikap merupakan evaluasi dari

seseorang yang dipelajari dengan mengungkapkan perasaan individu tentang suatu obyek

apakah disukai atau tidak. Jadi apabila individu menunjukkan sikap setuju terhadap

perilaku menyontek, maka ia akan menyontek. Sedangkan individu yang menunjukkan

sikap tidak setuju, maka ia tidak akan menyontek.

Banyak faktor yang mendorong timbulnya perilaku menyontek, antara lain tinggi

rendahnya self-efficacy yang dimiliki oleh setiap individu berperan penting terhadap

timbulnya perilaku menyontek. Perilaku menyontek lebih sering terjadi saat para pelajar

merasa tidak siap dan mungkin kurang percaya diri. Keadaan ini akan menimbulkan

kecemasan dan rasa takut gagal yang menunjukkan rendahnya self-efficacy (Calabrese &

Cochran dalam Anderman, dkk. 2007). Siswa yang memiliki self-efficacy tinggi memiliki

pengharapan akan memperoleh nilai yang bagus dan nilai yang memuaskan karena sudah

mempersiapkan diri sebelum ujian. Sebaliknya siswa yang memiliki self-efficacy rendah

akan merasa cemas pada saat menghadapi ujian, menunjukkan sikap yang tidak tenang

karena khawatir tidak mampu menyelesaikan soal-soal ujian, dan akhirnya memutuskan

untuk menyontek. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Aini (2010) yang

(11)

dan perilaku menyontek (cheating) mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Malang,

dengan nilai koefisien korelasi -0,415 dan nilai signifikansi 0,001.

Kecenderungan menyontek merupakan salah satu fenomena pendidikan yang sering

dan bahkan selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari-hari.

Demikian pula yang terjadi di SMK Negeri 1 Salatiga. Dalam penelitian pendahuluan yang

telah dilakukan di SMK Negeri 1 Salatiga ditemukan 30 siswa menjawab “pernah” yang terdiri dari 20 siswa menjawab “sering”, enam siswa menjawab “kadang-kadang”, empat siswa menjawab “jarang” menyontek, dan 2 siswa tidak menjawab terhadap pertanyaan

tentang perilaku menyontek. Temuan ini menunjukkan bahwa menyontek sudah dianggap

biasa oleh siswa SMK Negeri 1 Salatiga. Mereka sudah tidak menghiraukan lagi akibat

buruk dari menyontek.

Berbagai alasan dikemukakan siswa ketika mereka ditanya mengapa mereka

menyontek. Salah satu alasan yang mereka sebutkan adalah karena mereka tidak

benar-benar memahami materi dan tidak cukup belajar, sehingga mereka merasa tidak percaya

diri akan kemampuan mereka dan takut mengalami kegagalan. Oleh karena itu, penelitian

ini diarahkan untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan sikap terhadap

perilaku menyontek pada siswa SMK Negeri 1 Salatiga. Adapun rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara self-efficacy dengan sikap terhadap

perilaku menyontek pada siswa SMK Negeri 1 Salatiga. Sedangkan tujuan dilakukannya

penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara self-efficacy dengan sikap

(12)

A. Sikap Terhadap Perilaku Menyontek

1. Pengertian

Sikap adalah salah satu istilah bidang psikologi yang berhubungan dengan persepsi

dan tingkah laku.Istilah sikap dalam bahasa Inggris disebut attitude, yaitu suatu cara

bereaksi terhadap suatu perangsang atau suatu kecenderungan untuk bereaksi terhadap

suatu perangsang atau situasi yang dihadapi. Azwar (2007) menjelaskan, bahwa sikap

merupakan suatu respon evaluatif, yang hanya akan timbul apabila individu dihadapkan

pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti

bahwa reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi

dalam diri individu yang memberikan kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai

baik-buruk, positif-negatif, menyenangkan, tidak menyenangkan, yang kemudian

mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap. Sikap positif akan terbentuk

apabila rangsangan yang datang pada seseorang memberi pengalaman yang

menyenangkan. Sebaliknya sikap negatif akan timbul, bila rangsangan yang datang

memberi pengalaman yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu, sikap merupakan

pernyataan evaluatif, baik yang menguntungkan maupun tidak menguntungkan

mengenai obyek, orang, atau peristiwa. Dengan demikian, sikap adalah suatu sistem

evaluasi positif atau negatif terhadap suatu stimulus, yakni suatu kecenderungan untuk

menyetujui atau menolak.

Individu akan memiliki sikap positif terhadap perilaku apabila mempunyai

keyakinan dan penilaian yang positif terhadap hasil dari perilaku tersebut. Sebaliknya,

sikap terhadap perilaku negatif jika keyakinan dan penilaian terhadap hasil perilaku

negatif. Fishbein dan Ajzen (1975) menjelaskan, bahwa sikap terhadap perilaku yang akan

(13)

membawa pada konsekuensi-konsekuensi tertentu dan penilaian individu terhadap

konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi pada individu. Keyakinan tentang konsekuensi

perilaku terbentuk berdasarkan pengetahuan individu tentang perilaku tersebut, yang

diperoleh dari pengalaman masa lalu dan informasi dari orang lain.

Sebagaimana dijelaskan oleh Ajzen (1991), bahwa sikap terhadap perilaku

merupakan derajat penilaian positif atau negatif terhadap perwujudan perilaku tertentu.

Individu memiliki sikap positif terhadap perilaku bila mempunyai keyakinan dan penilaian

yang positif terhadap hasil dari tindakan tersebut. Sebaliknya, sikap terhadap perilaku

negatif jika keyakinan dan penilaian terhadap hasil perilaku negatif.

Azwar (2007) mengungkapkan, bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu

proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan. Sikap yang diperoleh dari

pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku. Pengaruh langsung

tersebut akan direalisasikan apabila kondisi dan situasi memungkinkan. Apabila individu

berada dalam situasi yang betul-betul bebas dari berbagai bentuk tekanan atau hambatan

yang mengganggu ekspresi sikapnya, maka dapat diharapkan bahwa bentuk-bentuk

perilaku yang tampak merupakan ekspresi sikap yang sebenarnya.

Terbentuknya suatu perilaku, dimulai dari pemahaman informasi (stimulus) yang

positif kemudian sikap yang ditunjukkan akan sesuai dengan informasi. Selanjutnya sikap

akan menimbulkan respon berupa perilaku atau tindakan terhadap stimulus atau objek tadi.

Apabila penerimaan perilaku melalui proses yang didasari oleh sikap yang positif maka

perilaku tersebut akan berlangsung lama. Dengan demikian apabila pemahaman terhadap

menyontek adalah positif, maka perilaku menyontek akan dilakukan secara berulang-ulang

(14)

Alhadza (2005) mengungkapkan, bahwa menyontek atau cheating merupakan

wujud dari suatu perilaku dan ekspresi mental seseorang yang merupakan hasil belajar

dari interaksi dengan lingkungannya. Perbuatan yang termasuk dalam kategori cheating

dalam konteks pendidikan atau sekolah antara lain meniru pekerjaan teman, bertanya

langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes atau ujian, menerima kiriman

jawaban dari pihak luar, mencari bocoran soal, saling tukar pekerjaan tugas dengan

teman, menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian

di kelas dan take home test.

Haryono, dkk. (2001) mendefinisikan menyontek sebagai segala macam

tindakan dalam ujian atau tes untuk memperoleh nilai secara tidak sah. Sedangkan

Indarto dan Masrun (2004) mendefinisikan menyontek sebagai perbuatan curang, tidak

jujur, dan tidak legal dalam mendapatkan jawaban pada saat tes. Dengan demikian, sikap

terhadap perilaku menyontek dapat diartikan sebagai keyakinan individu untuk

melakukan segala macam perbuatan tidak jujur yang dilakukan dengan sengaja untuk

mendapatkan jawaban pada saat tes dengan tujuan memperoleh nilai secara tidak sah

dengan memanfaatkan informasi dari luar.

2. Aspek Sikap

Menurut Azwar (2007), sikap memiliki 3 komponen yaitu:

a. Komponen kognitif. Komponen kognitif merupakan komponen yang berisi

kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek

sikap.

b. Komponen afektif. Komponen afektif merupakan komponen yang menyangkut masalah

emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini

(15)

c. Komponen perilaku. Komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap

menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri

seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Komponen perilaku sebuah

sikap berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk bertindak terhadap hal

tertentu dengan cara tertentu.

3. Bentuk Perilaku Menyontek

Menurut Klausmeier (1985) dalam Setyani (2007), menyontek dapat dilakukan

dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

a. Menggunakan catatan jawaban sewaktu ujian/tes.

b. Mencontoh jawaban siswa lain.

c. Memberikan jawaban yang telah selesai kepada teman.

d. Mengelak dari peraturan-peraturan ujian, baik yang tertulis dalam peraturan

ujian maupun yang ditetapkan oleh guru.

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap

Menurut Azwar (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap

adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa,

institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri

individu.

a. Pengalaman pribadi. Sikap akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang

terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Situasi yang melibatkan emosi

akan menghasilkan pengalaman yang lebih mendalam dan lebih lama membekas.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting. Pada umumnya, individu cenderung untuk

memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya

(16)

c. Pengaruh Kebudayaan. Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi individu

dalam suatu masyarakat. Kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap individu

terhadap berbagai masalah. Kebudayaan yang berkembang dimana seseorang hidup dan

dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap.

d. Media Massa. Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan

opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan

kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat,

pesan-pesan sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga

terbentuklah arah sikap tertentu.

e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama. Pemahaman akan baik dan buruk diperoleh

dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Dalam hal seperti itu,

ajaran moral yang diperoleh dari lembaga pendidikan atau lembaga agama sering kali

menjadi determinan tunggal yang menentukan sikap.

f. Faktor Emosional. Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi

sebagai semacam penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan

ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu

frustrasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang bertahan lama.

Adapun beberapa faktor yang dapat menjadi pendorong peserta didik untuk

melakukan tindakan menyontek, menurut Hartanto (2012) dapat dibagi menjadi dua

yaitu faktor internal dan faktor external. Faktor internal dalam perilaku menyontek

misalnya self-efficacy yang rendah, kemampuan akademik yang rendah, pengaturan

waktu, dan prokrastinasi. Faktor eksternal misalnya tekanan dari teman sebaya, tekanan

dari orang tua, peraturan sekolah yang kurang jelas, dan sikap guru yang kurang

(17)

Sedangkan menurut Irawati (2008), faktor–faktor yang menjadi penyebab seseorang menyontek adalah a) tekanan yang terlalu besar yang diberikan kepada “hasil studi” berupa angka dan nilai, b) pendidikan karakter baik di rumah maupun di

sekolah kurang diterapkan dalam kehidupan peserta didik, c) sikap malas dan rendahnya

motivasi belajar, sehingga ketinggalan dalam menguasai mata pelajaran dan kurang

bertanggung jawab, d) pengaruh teman sebaya, dan e) tidak memiliki self-efficacy

terhadap kemampuannya sendiri dalam menyelesaikan tugas/soal ujian.

B. Self-Efficacy

1. Pengertian

Bandura (1997) dalam Pudjiastuti (2012) mendefinisikan konsep self-efficacy

sebagai keyakinan tentang kemampuan yang dimiliki untuk mengatur dan melakukan

serangkaian tindakan yang diperlukan dalam mencapai keinginannya. Pengertian lain

diberikan oleh Baron dan Byrne (2003) yang mendefinisikan bahwa self-efficacy

merupakan penilaian seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk

melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Berdasarkan

beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan

individu terhadap kemampuan atau kompetensi yang ada dalam dirinya dalam melakukan

suatu tugas guna mencapai suatu tujuan.

Dalam kaitannya dengan peserta didik, maka self-efficacy merupakan keyakinan

atau kepercayaan individu terhadap kemampuannya dalam melaksanakan dan

menyelesaikan tugas-tugas akademik yang dihadapi, sehingga mampu mengatasi

rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkan dengan mendapatkan nilai yang

(18)

tindakan, pergerakan usaha, serta keuletan seseorang. Self-efficacy menunjukkan pada

keyakinan seseorang bahwa dirinya dapat melakukan tindakan yang dikehendaki oleh

situasi tertentu dengan berhasil. Bandura (1997) dalam Pasaribu (2009) juga mengatakan

bahwa self-efficacy merupakan keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk

menghasilkan sesuatu dari peristiwa yang dihadapi dalam hidupnya. Hal ini akan

berpengaruh dalam pemilihan perilaku, usaha, dan ketekunan seseorang dalam mencapai

tujuan yang diharapkan. Bandura menambahkan, bahwa persepsi individu terhadap

kemampuannya (mencakup penilaian kemampuan) akan mengatur dan menjalankan

tindakan dalam jenis performansi tertentu. Individu yang memiliki self-efficacy tinggi

akan mempersepsi bahwa mereka mampu mengintegrasikan kemampuannya untuk

melewati dan menyelesaikan tugas-tugas akademik sehingga mencapai suatu hasil yang

optimal, sesuai dengan yang diharapkan. Sebaliknya, individu dengan self-efficacy

rendah akan mempersepsi bahwa kemampuannya belum tentu dapat menyelesaikan

tugas-tugas akademik yang dihadapi dengan baik untuk mendapatkan hasil sesuai dengan yang

diharapkan. Self-efficacy tidak menitikberatkan pada jumlah kemampuan yang dimiliki,

tetapi pada keyakinan tentang apa yang mampu dilakukan dengan apa yang dimiliki

pada berbagai variasi situasi.

2. Aspek-Aspek Self-Efficacy

Aspek-aspek self-efficacy dalam penelitian ini menggunakan aspek-aspek

self-efficacy menurut Bandura (1997) dalam Pasaribu (2009), yaitu:

a. Magnitude Level (tingkat kesulitan tugas). Magnitude level berkaitan dengan tingkat

kesulitan tugas yang dihadapi. Persepsi setiap individu akan berbeda dalam

memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas. Ada yang menganggap suatu tugas itu

(19)

sedikit rintangan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas, maka tugas tersebut akan

semakin mudah dilakukan. Magnitude level terbagi atas 3 bagian, yaitu:

1) Analisis pilihan perilaku yang akan dicoba, yaitu seberapa besar individu merasa

mampu atau yakin untuk berhasil menyelesaikan suatu tugas dengan pilihan

perilaku yang akan diambil.

2) Menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuan, yaitu

seberapa besar keyakinan atau kemampuan individu dalam menghindari situasi dan

perilaku yang dirasa berada di luar batas kemampuannya.

3) Menyesuaikan dan menghadapi langsung tugas-tugas yang sulit, yaitu seberapa

besar keyakinan dan kemantapan individu dalam menjalankan tugas dan tantangan

pekerjaan.

b. Generality (luas bidang perilaku). Berkaitan dengan luas bidang perilaku dimana

seseorang merasa yakin bahwa dirinya mampu untuk mengerjakan suatu tugas baik

pada setiap bidang yang biasa dijalaninya maupun pada bidang yang belum pernah

dilakukannya.

c. Strength (kemantapan keyakinan). Berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu

dalam pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang

kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan terus bertahan

dalam usahanya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan.

3. Efek Self-Efficacy

Self-efficacy memiliki aspek yang mempengaruhi proses kognitif. Fungsi utama

dari proses kognitif adalah memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian, serta

mengembangkan cara untuk mengontrol kehidupannya. Keterampilan pemecahan masalah

(20)

diterima. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif adalah semakin efektif kemampuan

individu dalam analisis dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan pribadi,

maka akan mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang

diharapkan.

C. Logika Berpikir

Pelaksanaan evaluasi proses belajar sangat dibutuhkan untuk mengukur

ketercapaian tujuan pembelajaran. Tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran dapat

dilihat dari perubahan yang terjadi pada peserta didik. Perubahan pada aspek

pengetahuan dapat dievaluasi melalui serangkaian tes yang akhirnya akan menggambarkan

hasil belajar peserta didik. Fenomena yang berkembang menunjukkan bahwa seringkali

terjadi kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan tes, khususnya tes tertulis. Salah

satu bentuk kecurangan yang sering terjadi adalah munculnya aktivitas menyontek

yang dilakukan oleh sebagian peserta didik. Saat ini menyontek pada saat ulangan

sepertinya bukan hal yang tabu lagi bagi sebagian kalangan peserta didik. Berbagai cara

dan strategi mulai dari yang termudah hingga tercanggih dilakukan untuk memperoleh

jawaban. Mulai dari bertanya pada teman, bahkan saling tukar lembar jawaban, hingga

melihat catatan kecil di kertas atau di handphone yang telah dipersiapkan

sebelumnya.

Fenomena menyontek terjadi karena terdapat hal-hal yang mendukung untuk

dilakukannya perilaku tersebut. Menurut pendapat Notoatmodjo (2003), perilaku manusia

sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan,

keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Perilaku menyontek

(21)

sempurna dari nilai rata-rata. Perasaan takut gagal mendorong munculnya sikap yang

kemudian menimbulkan respon berupa perilaku menyontek.

Perilaku menyontek yang dilakukan oleh individu dipengaruhi oleh beberapa

faktor, salah satu diantaranya adalah self-efficacy. Bandura (1997) dalam Pudjiastuti

(2012) mendefinisikan konsep self-efficacy sebagai keyakinan tentang kemampuan yang

dimiliki untuk mengatur dan melakukan serangkaian tindakan yang diperlukan dalam

mencapai keinginannya. Dalam kaitannya dengan pendidikan, self-efficacy merupakan

keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuannya dalam melaksanakan

ujian atau tes dan menyelesaikan tugas-tugas yang dihadapi, sehingga mampu mengatasi

rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkannya dengan mendapatkan nilai yang

memuaskan.

Individu yang memiliki self-efficacy tinggi akan mempersepsikan bahwa mereka

mampu mengintegrasikan kemampuannya untuk melewati dan menyelesaikan ujian atau

tes sehingga mencapai suatu hasil yang baik sesuai dengan yang diharapkan. Sebaliknya,

seseorang dengan self-efficacy rendah akan mempersepsi bahwa kemampuannya belum

tentu dapat membuat mereka berhasil lulus ujian atau menyelesaikan tugas untuk

mendapatkan hasil sesuai dengan harapan mereka. Oleh karena itu, bagi individu yang

memiliki self-efficacy rendah cenderung mengambil jalan pintas agar lulus dalam

menghadapi tes atau ujian yaitu dengan cara menyontek. Berdasarkan uraian di atas, dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara self-efficacy dengan perilaku menyontek.

Sebagaimana hasl penelitian yang dilakukan oleh Sari (2011) yang menemukan bahwa

(22)

D. Hipotesis Penelitian

Ho: tidak ada hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan sikap

terhadap perilaku menyontek.

Ha: terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-efficacy dengan sikap

terhadap perilaku menyontek.

METODE PENELITIAN

Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMK Negeri I Salatiga yang berjumlah

1.317 orang, sedangkan sampel yang digunakan adalah siswa SMK Negeri 1 Salatiga

berjumlah 99 orang. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif yaitu

metode penelitian yang menggunakan alat-alat atau instrumen untuk mengukur

gejala-gejala tertentu dan diolah secara statistik (Faisal, 1990).

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh

secara langsung dari obyek penelitian dengan cara membagikan skala secara langsung dan

diisi oleh responden. Sedangkan analisis item dalam alat ukur diukur dengan menggunakan

skala Likert dengan empat pilihan jawaban yaitu SS (sangat sesuai), S (sesuai), TS (tidak

sesuai) dan STS (sangat tidak sesuai).

Seleksi item dalam penelitian ini menggunakan teknik corrected item-total

correlation. Azwar (2012) menyebutkan bahwa item dapat dinyatakan lolos apabila

koefisien korelasinya minimal 0,30. Oleh karena itu apabila terdapat item yang memiliki

skor dibawah 0,30 dinyatakan gugur. Sedangkan uji reliabilitas menggunakan teknik

(23)

penentuan kategori tingkat reliabilitas dengan koefisien Alpha mengacu dari Sugiyono

(2012) seperti tampak pada Tabel 1. berikut:

Tabel 1.

Skala self-efficacy disusun berdasarkan aspek-aspek self-efficacy menurut Bandura

(1997) dalam Pasaribu (2009), yaitu: magnitude level (tingkat kesulitan tugas), generality

(luas bidang perilaku), dan strength (kemantapan keyakinan). Hasil seleksi item terhadap

butir-butir pernyataan dalam skala self-efficacy menghasilkan nilai corrected item total

correlation yang bergerak dari 0,363 sampai dengan 0,809. Hal ini menunjukkan bahwa 32

butir pernyataan dalam skala self-efficacy kesemuanya lolos karena > 0,30.

Perhitungan reliabilitas dilakukan dengan menggunakan teknik Cronbach’s Alpha.

Nunnally (1994) dalam Gozali (2013:48) menyatakan bahwa skala dianggap reliabel ketika memenuhi koefisien alpha (α) lebih besar dari 0,70. Hasil uji reliabilitas terhadap skala

self-efficacy memperoleh nilai alpha 0,966 seperti tampak pada tabel berikut:

Tabel 2.

Hasil Uji Reliabilitas Variabel Self-efficacy

Cronbach's

Alpha N of Items

(24)

2. Skala Perilaku Menyontek

Skala perilaku menyontek disusun berdasarkan bentuk-bentuk menyontek menurut

Klausmeier (1985) dalam Setyani (2007), yatu: 1) menggunakan catatan jawaban

sewaktu ujian/tes, 2) mencontoh jawaban siswa lain, 3) memberikan jawaban yang telah

selesai kepada teman, dan 4) mengelak dari peraturan-peraturan ujian, baik yang tertulis

dalam peraturan ujian maupun yang ditetapkan oleh guru. Skala perilaku menyontek

terdiri dari 48 butir pernyataan yang terdiri dari 24 butir pernyataan mendukung

(favorable) dan 24 butir pernyataan tidak mendukung (unfavorable). Hasil uji validitas

yang telah dilakukan terhadap 48 butir pernyataan dalam skala perilaku menyontek

terdapat 3 butir yang tidak lolos, sehingga untuk mengukur konsep perilaku menyontek

dalam analisis selanjutnya adalah 45 pernyataan dengan nilai corrected item total

correlation yang bergerak dari 0,317 sampai dengan 0,698. Hal ini menunjukkan bahwa

45 butir pernyataan dalam perilaku menyontek kesemuanya lolos karena > 0,30.

Hasil uji reliabilitas terhadap skala perilaku menyontek memperoleh nilai alpha

0,943, seperti tampak pada tabel berikut:

Tabel 3.

Hasil Uji Reliabilitas Variabel Perilaku Menyontek

Cronbach's

Alpha N of Items

.943 45

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Hasil Uji Deskriptif

(25)

Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel self-efficacy

digunakan 5 kategori. Oleh karena jumlah butir valid sebanyak 32 dengan rentang pilihan

jawaban dari skor 0 hingga 100, maka skor tertinggi adalah 100 x 32 = 3.200 dan skor

terendah adalah 0 x 32 = 0. Lebar interval dapat dihitung dengan mengacu rumus Sudijono

(2012) sebagai berikut:

Dengan demikian tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel self-efficacy dapat

dikategorikan sebagai berikut:

Dari Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa 24 responden (24,24%) mempunyai

efficacy dengan kategori sangat tinggi dan 50 responden (50,51%) mempunyai

efficacy dengan kategori tinggi. Sedangkan 25 responden (25,25%) mempunyai

self-efficacy dengan kategori sedang. Dari tabel 3 juga dapat diketahui kecenderungan

(26)

Hal tersebut diperkuat dengan besarnya nilai rata-rata sebesar 2.180,86 berada pada

kategori tinggi.

b. Pengukuran Perilaku Menyontek

Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel perilaku

menyontek digunakan 5 kategori, oleh karena jumlah butir valid sebanyak 45 dan

banyaknya pilihan jawaban 4, maka skor tertinggi adalah 4 x 45 = 180 dan skor terendah

adalah 1 x 45 = 45. Dengan demikian tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel perilaku

menyontek dapat dikategorikan sebagai berikut :

Tabel 5.

Hasil Pengukuran Variabel Perilaku Menyontek

Nilai Kategori Mean f Prosentase (%)

153 > x < 180 Sangat sering

94,11

0 0%

126 > x < 153 Sering 40 40,40%

99 > x < 126 Jarang 0 0%

72 > x < 99 Sangat jarang 49 49,50% 45 > x < 72 Tidak pernah 10 10,10%

Jumlah 99 100%

SD = 16,42 Min= 48 Max = 124

Dari Tabel 5 di atas menunjukkan hanya 10 responden (10,0%) yang tidak pernah

menyontek. Sedangkan sisanya 89 responden, 49 responden (49,50%) diantaranya pernah

menyontek dengan frekuensi sangat jarang dan 40 responden (40,40%) sering menyontek.

Dari Tabel 4 juga dapat diketahui adanya kecenderungan responden untuk menyontek

tidak ada. Hal ini diperkuat dengan besarnya rata-rata adalah 94,11 berada pada kategori

(27)

2. Uji Normalitas

Sebelum melakukan pengujian hipotesis, terlebih dahulu akan dilakukan Uji

Normalitas. Hasil Uji normalitas terhadap variabel dependen dan variabel independen

dalam penelitian ini tampak pada Tabel 6, dimana variabel self-efficacy dan perilaku

menyontek mempunyai tingkat probabilitas lebih besar dari 0,05. Variabel self-efficacy

mempunyai tingkat probabilitas sebesar 0,924 dan perilaku menyontek siswa mempunyai

tingkat probabilitas sebesar 0,695. Hal ini bermakna bahwa data untuk self-efficacy dan

perilaku menyontek siswa telah terdistribusi dengan normal.

Tabel 6.

Hasil Uji Normalitas Variabel Self-efficacy dan Perilaku Menyontek

Self-efficacy Menyontek

N 99 99

Normal Parametersa Mean 2180.859 94.1111 Std. Deviation 205.061 16.4229

Untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel self-efficacy dengan

perilaku menyontek, dilakukan analisis dengan menggunakan analisa statistik korelasi Karl

(28)

Tabel 7

Korelasi Antara self-efficacy dengan perilaku menyontek

Correlations

efficacy dengan perilaku menyontek. Hal ini berarti apabila self-efficacy semakin meningkat maka

tidak akan diikuti oleh menurunnya perilaku menyontek siswa.

B. Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara self-efficacy dengan perilaku

menyontek siswa SMK Negeri 1 Salatiga tahun 2014, didapatkan hasil perhitungan

korelasi dengan nilai r = -0,006 dan nilai p = 0,954 lebih besar dari 0,05. Hal ini

menunjukkan tidak ada hubungan antara self-efficacy dengan perilaku menyontek siswa

SMK Negeri 1 Salatiga tahun 2014. Hasil korelasi tersebut mempunyai makna bahwa

semakin tinggi self-efficacy yang dimiliki oleh siswa SMK Negeri 1 Salatiga, tidak selalu

diikuti dengan naik / turunnya skor perilaku menyontek siswa SMK Negeri 1 Salatiga.

Berdasarkan penelitian Whitley & Finn (dalam Hendra, 2011), dapat diketahui

siswa yang berpikir bahwa nilai adalah segalanya akan menghalalkan berbagai macam cara

(29)

baik maka mereka akan mendapatkan masa depan yang baik. Keinginan ingin

mendapatkan nilai yang tinggi tersebut dapat menjadi penyebab seorang siswa mencontek.

Oleh karena itu, meskipun siswa memiliki self -efficacy tinggi, tetapi didorong oleh

keinginan memperoleh nilai yang tinggi maka siswa tersebut mungkin saja akan tetap

menyontek.

Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa self efficacy tidak mempunyai

hubungan dengan perilaku menyontek. Sebagaimana diungkapkan oleh Haryono dkk.

(2001) bahwa, pada umumnya siswa memutuskan untuk menyontek antara lain disebabkan

oleh tuntutan orang tua untuk memperoleh nilai yang baik atau peringkat kelas yang baik.

Berdasarkan wawancara penulis dengan siswa pada tanggal 15 April 2015, siswa

yang memiliki self-efficacy yang tinggi juga memiliki kecenderungan untuk tetap

melakukan perbuatan menyontek karena adanya dorongan dari teman-temannya. Dorongan

yang dimaksud adalah dorongan atau paksaan untuk memberikan jawaban kepada

teman-temannya. Rasa solidaritas dan rasa kesetiakawanan dijadikan alasan mengapa mereka mau

memberikan jawaban atau contekan kepada teman-temannya. Mereka juga tidak mau

dianggap pelit, dan dijauhi oleh teman-temannya apabila tidak memberikan contekan.

Sebagian siwa berpendapat bahwa memberikan contekan itu adalah perbuatan menolong.

Mereka cenderung tidak tega apabila melihat teman sekelompoknya tidak bisa

mengerjakan soal, hal inilah yang mendorong siswa untuk memberikan jawaban atau

contekan kepada teman dan yang paling sering dilakukan adalah menggeserkan lembar

jawabannya agar dapat dilihat oleh temannya. Disini siwa yang dianggap pandailah yang

biasanya diandalkan untuk dimintai contekan.

Berdasarkan wawancara, lemahnya pengawasan juga menjadi faktor mengapa

(30)

terpasang CCTV, para siswa mengaku mereka masih bisa mencuri kesempatan untuk

menyontek. Tidak diberlakukannya hukuman yang berat juga menjadi alasan mengapa

siswa masih berani untuk melakukan perbuatan menyontek, para siswa mengaku selama ini

yang ketahuan menyontek hanya mendapat teguran dari guru saja, sehingga hal tersebut

tidak membuat siswa jera dan masih terus melakukan kegiatan menyontek.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik

kesimpulan:

1. Tidak ada hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan perilaku

menyontek.

2. Mayoritas responden mempunyai self-efficacy tinggi dengan rincian 24 responden

(24,24%) mempunyai self-efficacy dengan kategori sangat tinggi dan 50 responden

(50,51%) mempunyai self-efficacy dengan kategori tinggi.

3. Mayoritas responden pernah melakukan menyontek dengan rincian 49 responden

(49,50%) diantaranya pernah menyontek dengan frekuensi sangat jarang dan 40

responden (40,40%) sering menyontek.

B. Saran

1. Kepada pihak sekolah maupun orang tua siswa disarankan untuk tidak memberikan

target nilai yang harus diperoleh anak yang akhirnya membuat anak anak menjadi

tertekan. Lebih baik adalah mengontrol bagaimana proses belajar anak. Memicu anak

agar memperoleh nilai tinggi dengan iming-iming hadiah akan mendorong anak untuk

(31)

tentang pentingnya proses belajar yang harus dilewati. Disamping itu pengawasan pada

saat ujian ataupun tes juga harus ditingkatkan, pemberian hukuman kepada siswa yang

ketahuan menyontek juga diperlukan agar siswa jera dan tidak melakukan perbuatan

menyontek lagi.

2. Untuk penelitian lanjutan. Mencermati hasil penelitian yang membuktikan bahwa tidak

terdapat hubungan antara self-efficacy dengan perilaku menyontek di SMK Negeri I

Salatiga, maka perlu dilakukan penelitian lain dengan variabel berbeda yang dapat

mendukung terciptanya hubungan antara self-efficacy dengan perilaku menyontek,

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. (1999) Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Aini, D.N. (2010) Hubungan Academic Self-efficacy Dengan Perilaku Menyontek (cheating) Pada Mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Negeri Malang. Skripsi. Malang: Universitas Negeri Malang.

‘Alawiyah, H. (2011) Pengaruh Self-efficacy, Konformitas, dan Goal Orientation Terhadap Perilaku Menyontek (Cheating) Siswa MTs Al-Hidayah Bekasi. Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Alhadza, A. (2005) Masalah Menyontek (Cheating) Di Dunia Pendidikan. http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/38/MASALAH_MENYONTEK_DI_DUNIA__ %20PENDIDIKAN.htm

Arikunto, S. (2010) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

--- (2013) Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Edisi ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baron & Byrne. (2003) Psikologi Sosial 1. Edisi Kesepuluh. Jakarta: Erlangga

Chaplin, P.J. (2006) Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada.

Gerungan WA. (2000) Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama

Ghozali, I. (2009) Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Jakarta: Gema Pertama

Handayani, P.W. (2013) Hubungan Antara Self-Efficacy Dengan Konformitas Teman Sebaya Pada Siswa SMAN 57 Jakarta. Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Esa Unggul.

Hartanto, D. (2011). Penggunaan REBT Untuk Mereduksi Perilaku Mencontek Pada Siswa Sekolah Menengah. https://bkpemula.files. wordpress.com/2011/12/06-dody-debt_untuk_academic_cheating. pdf

Hartanto, D. (2012) Mengatasi Masalah Menyontek. Jogyakarta: Indeks Jakarta.

Hartanto, D. (2012). Menyontek: mengungkap akar masalah dan solusinya. Jakarta: Indeks.

(33)

Hendra. (2011) Hubungan Antara Efikasi Diri Dan Orientasi Akademik Dengan Perilaku Menyontek Siswa Pada Mata Pelajaran Matematika. TESIS. Surakarta: Magister Sains Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Indarto,Y. dan Masrum. (2004) Hubungan Antara Orientasi Penguasaan dan Orientasi Performasi dengan Intensi Menyontek. Jurnal Sosiosain, 17,3 Juli, 411-421.

Irawati, I. (2008) Budaya Menyontek Di Kalangan Pelajar. Opini; Kabar Indonesia On-line.

Kartono, K. dan Gulo D. (1987) Kamus Psikologi. Bandung: CV. Pionir Jaya, 1987, h. 26.

Musslifah, A.R. (2012) Perilaku Menyontek Siswa Ditinjau Dari Kecenderungan Locus Of Control. Talenta Psikologi. Vol.1 No.2, Agustus 2012.

Nitisusastro, M. (2011) Perilaku Konsumen dalam Perspektif Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta.

Notoatmodjo, S. (2003) Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

--- (2007) Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta; Rineka Cipta

Pasaribu, M.A. (2009) Self-Efficacy Pada Anak Jalanan. Skripsi. Medan: Fakultas Psikologi, Universitas Sumatra Utara.

Prakosa, H. (1996) Cara Penyampaian Hasil Belajar Untuk Meningkatkan Self-efficacy Mahasiswa. Jurnal Psikologi. No. 2,11-22.

Pudjiastuti, E. (2012) Hubungan Self-Efficacy Dengan Perilaku Mencontek Mahasiswa Psikologi. Jurnal MIMBAR, Vol. XXVIII, No. 1 Juni, 2012.

Purnamasari, D. (2013) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecurangan Akademik Pada Mahasiswa. Educational Psychology Journal 2 (1). ISSN 2252-634X. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Riski, S.A. (2009).Hubungan Prokrastinasi Akademis dan Kecurangan Akademis Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Sari, V.J. (2011) Hubungan Antara Efikasi Diri Akademik Dengan Perilaku Mencontek Pada Siswa SMA. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi Dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia.

Sarwono, S.W. (2004) Psikologi Sosial, Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Refika Aditama.

(34)

Smert, B. (1994) Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Grasindo.

Sudijono, Anas (20112) Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. (2010) Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sumarwan, U. (2002) Perilaku Konsumen, Teori dan Penerapannya Dalam Pemasaran. Bogor. Penerbit Kerja Sama: PT. Ghalia Indonesia dengan MMA-IPB.

Sunyoto, Danang. (2012) Konsep Dasar Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Yogyakarta: CAPS.

Gambar

Tabel 1. Pedoman Penilaian Reliabilitas Skala
Tabel 3. Hasil Uji Reliabilitas Variabel Perilaku Menyontek
Tabel 4.  Kategorisasi Hasil Pengukuran Variabel Self Efficay
Tabel 5.  Hasil Pengukuran Variabel Perilaku Menyontek
+3

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu terdapat hasil yang signifikan dari % Inhibisi yang di dapat dari uji antioksidan ekstrak rimpang temu giring dengan

Pengujian jenis suara mezzo sopran dilakukan dengan cara membunyikan suara dengan huruf vokal A selama 10 detik pada sub menu jenis suara mezzo sopran pada aplikasi

Dari hasil uji hipotesis kelima untuk variabel artinya Due Professional care memiliki nilai t hitung sebesar 3,156 &gt; t tabel (2,004) dan nilai signifikan sebesar 0,003 &lt;

Pada perusahaan PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten, perusahaan yang memonopoli kelistrikan negara tersebut memang mengalami keuntungan tiap tahunnya

Dari hasil analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa pemberian pupuk majemuk Intan Super dan pupuk NPK Mutiara menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap produksi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dibuat kesimpulan bahwa Ada hubungan positif dan signifikan antara sikap terhadap Alat Pelindung Diri (APD) dengan

Hal tersebut didukung oleh (Hastuti et al., 2017) bahwa pemberian amonium glufosinate 3 l/ha dapat mengendalikan gulma jenis rumput berbeda dengan pemberian herbisida