• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan asumsi skrip seksual ditinjau dari Sumber informasi pada remaja perempuan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan asumsi skrip seksual ditinjau dari Sumber informasi pada remaja perempuan."

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

i

Perbedaan Asumsi Skrip Seksual Ditinjau Dari

Sumber Informasi pada Remaja Perempuan

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Tyastri Alita Petronela

NIM : 109114114

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”

- Matius 11:28

“Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan

kepadamu.” - Markus 11:24

“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.”

- Filipi 4:13

“Be the best version of yourself, Ash. No need to compare yourself with other people.”

- Tyastri Alita.

“Don’t cry because it’s over, smile because it happened.” - Dr. Seuss

Karya ini penulis persembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus. Penyelenggara kehidupan yang Maha Rahim, yang kasih dan

berkat-Nya selalu menyertai manusia. Ad Maiorem Dei Gloriam.

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Lembaga pendidikan yang berusaha

memanusiakan manusia, sekaligus membentuk karakter yang cerdas dan humanis.

Keluarga, sahabat dan rekan. Kita sempurna dalam ketidaksempurnaan kita.

(5)
(6)

vi

PERBEDAAN ASUMSI SKRIP SEKSUAL DITINJAU DARI SUMBER INFORMASI PADA REMAJA PEREMPUAN

Tyastri Alita Petronela

ABSTRAK

Salah satu bentuk cognitive scripts yang dikembangkan pada masa remaja adalah sexual

script, atau yang disebut juga skrip seksual (Krahe dkk, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui perbedaan asumsi skrip seksual pada remaja perempuan berdasarkan sumber informasi yang berbeda, yakni pendidikan seksual dan pornografi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif, dengan subjek berjumlah 103 orang (N = 103). Subjek pada penelitian ini adalah remaja perempuan yang berusia 15-18 tahun yang masih bersekolah dan belum menikah. Data dianalisis menggunakan uji non-parametrik Mann-Whitney. Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan bahwa terdapat perbedaan asumsi skrip seksual yang signifikan antara kelompok remaja yang mendapatkan pendidikan seksual dengan remaja yang mengonsumsi pornografi. Remaja yang mendapatkan pendidikan seksual cenderung memiliki asumsi skrip seksual yang kontemporer, sedangkan remaja yang mengonsumsi pornografi cenderung memiliki asumsi skrip seksual tradisional.

(7)

vii

DIFFERENT SEXUAL SCRIPT ASSUMPTIONS BASED ON INFORMATION RESOURCES ON FEMALE ADOLESCENTS

Tyastri Alita Petronela

ABSTRACT

Sexual script is one of cognitive script forms that emerges in adolescence (Krahe et all, 2007). This research aims to understand the sexual script’ assumptions difference between female adolescents based on their information resources, id est sexual education and porn. This research is a quantitative comparative research that involved 103 subjects (N = 103). The subjects are unmarried female high school students whose ages are 15-18 years old. Data were analyzed using non-parametric Mann-Whitney test. The result of statistic analysis shows a significant difference between female adolescents’ sexual script assumptions who get formal sexual education from their school and female adolescents’ who consume porn. Female adolescents who get formal sexual education from school tend to have contemporary sexual script assumptions, and female adolescents’ who consume porn tend to have traditional sexual script assumptions.

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Rasa syukur dan terima kasih penulis haturkan ke hadirat Tuhan yang

Mahakasih, karena hanya melalui berkat dan kasihnya, penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbedaan Asumsi Skrip Seksual Ditinjau

Dari Sumber Informasi pada Remaja Perempuan”, sebagai syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Psikologi, serta sebagai penanda berakhirnya proses

kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Remaja perempuan diangkat sebagai subjek dalam skripsi ini, dikarenakan

penulis melihat semakin banyaknya kasus yang menimpa remaja perempuan

akhir-akhir ini. Mulai dari kasus pemerkosaan, kehamilan di luar nikah maupun di

usia yang terlalu muda, serta perilaku seks bebas. Selain itu, tak bisa dipungkiri,

bahwa saat ini pengaksesan materi pornografi semakin mudah, termasuk oleh

remaja perempuan. Ada banyak upaya yang coba dilakukan beberapa pihak untuk

mengurangi dampak-dampak negatif yang telah disebutkan di atas, misalnya dari

pihak sekolah yang memberikan pendidikan seks. Isu-isu ini mendorong penulis

untuk melakukan penelitian terkait dengan pendidikan seks dan pornografi.

Semoga penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan dan

kesejahteraan psikologis maupun fisik para remaja perempuan Indonesia.

Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada orang-orang yang

(10)

x

1. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang juga berperan sebagai Dosen

Pembimbing Akademik penulis selama kuliah. Terima kasih karena tak

bosan-bosannya mendorong para mahasiswanya untuk segera lulus kuliah

di saat KRS-an.

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku Kepala Program Studi

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang telah mengizinkan

saya untuk menyelesaikan studi.

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi.

Terima kasih karena selalu memberikan insight dan masukan mengenai

penelitian ini, serta selalu bersabar menanti kehadiran saya untuk

bimbingan.

4. Ibu MM. Nimas Eki Suprawati, Psi., M.Si., selaku Dosen Pembimbing

Skripsi selama 2014-2015. Terima kasih untuk perhatian serta pertemanan

yang Ibu tawarkan.

5. Ibu Passchedona Henrietta PDADS, S. Psi., selaku Dosen Pembimbing

Akademik di semester-semester akhir perkuliahan. Terima kasih karena

tetap sabar membimbing dan mendukung penulis dan teman-teman

angkatan 2010.

6. Karyawan dan staf Sekretariat Psikologi: Bu Nanik, Mas Gandung, dan

student staffs yang silih berganti. Para penanggungjawab di laboratorium

Psikologi, Mas Muji dan Mas Donny beserta para asisten. Terima kasih

(11)

xi

7. Seluruh pengajar, staf, serta mahasiswa angkatan 2010 Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma. Terima kasih karena sudah hadir dan menyapa

hidup penulis.

8. Ibu Tetty dan Bapak Alio, En dan Esh, selaku orangtua serta kakak-kakak

penulis. Terima kasih karena terus memberikan dukungan moral, materi,

dan kasih sayang. Terima kasih karena tak hentinya bersabar, mendukung,

menyemangati dan mendoakan penulis. Kita sempurna dalam

ketidaksempurnaan kita.

9. Rainbowie: Silvia, Tirsa Brenda Trivena Angel Sampara, Nani Nurita,

Theresia NurWidy Irmayani, dan Nova Vita Oktavianey Tuah Talino; The

Boys: Yoga Kinaryoaji Tridarmanto, Gregorius Radityo Hanindyo Putro,

Masadjie Abisuryo dan Gerardus Mayella; Cantikers: Viensensia Rina

Christanti, Wuri Diastari, Cicilia Verina, Bernadetta Febyana, dan Hilda

Muliastu Widesti; serta Bianca Erika Atmadjaja dan Engger Zheng.

Terima kasih atas persahabatan yang tulus dan positif, serta bantuan fisik

dan psikologis selama pengerjaan skripsi ini, juga selama kita menuntut

ilmu di Psikologi Sanata Dharma. Thanks for being there for me and for

us.

10. Segenap staf perpustakaan Sanata Dharma Paingan maupun Mrican.

Terima kasih atas kenyamanan dan pelayanan yang telah diberikan.

11. Untuk Universitas Sanata Dharma, terima kasih karena sudah memberikan

(12)
(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 16

1. Manfaat Teoretis ... 16

(14)

xiv

BAB II LANDASAN TEORI ... 17

A. Asumsi Skrip Seksual ... 12

1. Definisi Asumsi Skrip Seksual ... 12

2. Jenis Asumsi Skrip Seksual ... 15

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Asumsi Skrip Seksual ... 22

a) Sosialisasi Perbedaan Biologis ... 22

b) Norma dan Gender ... 23

c) Agama dan Keyakinan ... 23

B. Sumber Informasi ... 24

1. Pendidikan Seksual ... 25

a) Definisi Pendidikan Seksual ... 26

b) Jenis Pendidikan Seksual ... 26

1) Pendidikan Seksual Abstinence-Only ... 26

2) Pendidikan Seksual Komprehensif ... 27

c) Dampak Pendidikan Seksual ... 28

2. Pornografi ... 29

a) Definisi Pornografi ... 29

b) Jenis-jenis Pornografi ... 31

c) Dampak Pornografi... 31

C. Remaja ... 34

1. Pengertian Remaja ... 34

(15)

xv

3. Tugas Perkembangan Remaja ... 37

4. Perkembangan Seksualitas Remaja ... 39

D. Gambaran Asumsi Skrip Seksual Ditinjau dari Pendidikan Seksual dan Pornografi pada Remaja Perempuan ... 41

E. Hipotesis ... 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 47

A. Jenis Penelitian ... 47

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 47

1. Variabel Bebas ... 47

2. Variabel Tergantung ... 47

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 48

1. Asumsi Skrip Seksual ... 48

2. Sumber Informasi ... 49

D. Subjek Penelitian ... 49

E. Metode dan Instrumen Penelitian... 50

F. Kredibilitas Instrumen Penelitian ... 53

1. Uji Validitas ... 53

2. Seleksi Item ... 54

3. Uji Reliabilitas ... 56

G. Metode Analisis Data ... 57

1. Uji Asumsi ... 57

a. Uji Normalitas ... 57

(16)

xvi

2. Uji Hipotesis ... 58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 60

A. Pelaksanaan Penelitian ... 60

1. Persiapan Penelitian ... 60

2. Proses Penelitian ... 60

3. Deskripsi Karakteristik Subjek ... 61

B. Hasil Penelitian ... 66

1. Deskripsi Hasil Penelitian ... 66

2. Hasil Uji Asumsi ... 68

a) Uji Normalitas ... 68

1) Uji Normalitas Kelompok Sampel Pornografi ... 68

2) Uji Normalitas Kelompok Sampel Pendidikan Seksual ... 69

b) Uji Homogenitas ... 69

3. Hasil Uji Hipotesis ... 70

4. Kategorisasi ... 72

C. Pembahasan ... 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Keterbatasan Penelitian ... 81

C. Saran ... 82

1. Bagi Subjek Penelitian ... 82

(17)

xvii

3. Bagi Orang tua ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84

(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Aspek Skrip Seksual ... 21

Tabel 2 Pemberian Skor Skala Skrip Seksual ... 52

Tabel 3 Blue Print dan Distribusi Item Skala Skrip Seksual (Sebelum Tryout) ... 53

Tabel 4 Blue Print dan Distribusi Item Skala Skrip Seksual (Setelah Tryout) ... 56

Tabel 5 Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia ... 62

Tabel 6 Karakteristik Subjek Berdasarkan Kelas ... 62

Tabel 7 Karakteristik Subjek Berdasarkan Asal Sekolah ... 63

Tabel 8 Karakteristik Subjek Berdasarkan Pertama Kali Mengonsumsi Konten Porno ... 63

Tabel 9 Karakteristik Subjek Berdasarkan Frekuensi Mengonsumsi Konten Porno ... 64

Tabel 10 Karakteristik Subjek Berdasarkan Tujuan Mengonsumsi Konten Porno ... 64

Tabel 11 Karakteristik Subjek Berdasarkan Media yang Digunakan Untuk Mengonsumsi Konten Porno ... 65

Tabel 12 Karakteristik Subjek Berdasarkan Pendapat Mengenai Tingkat Realitas Konten Porno ... 65

(19)

xix

Tabel 14 Deskripsi Data Penelitian ... 66

Tabel 15 Hasil Penghitungan Skor Empiris dan Teoritis ... 68

Tabel 16 Ringkasan Hasil Uji Normalitas Kelompok Pornografi ... 69

Tabel 17 Ringkasan Hasil Uji Normalitas Kelompok Pendidikan Seksual ... 69

Tabel 18 Ringkasan Hasil Uji Homogenitas ... 70

Tabel 19 Ringkasan Hasil Uji Hipotesis ... 72

Tabel 20 Kategori Siswa Berdasarkan Jenis Skrip Seksual ... 73

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Skala Asumsi Skrip Seksual Sebelum Uji Coba ... 93

Lampiran 2 Skala Asumsi Skrip Seksual Setelah Uji Coba ... 105

Lampiran 3 Analisis Reliabilitas Skala dan Kualitas Item Skala ... 116

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai seorang manusia, akan ada beberapa tahapan kehidupan yang

dilewati, yaitu masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan usia lanjut. Masa

remaja sendiri merupakan suatu tahapan yang dinamis. Kedinamisan masa

remaja tampak dari banyaknya perubahan yang terjadi, baik dari segi fisik,

emosional, kognisi, moral, sosial, maupun intelektual (Hurlock, 1990). Masa

remaja ini disebut juga sebagai masa pubertas, yaitu masa terjadinya sebuah

perubahan cepat pada kematangan fisik manusia, yang meliputi perubahan

hormonal dan tubuh, yang terutama terjadi pada masa remaja awal (Santrock,

2002).

Pada masa remaja ini pula, remaja akan mengembangkan cognitive

scripts (skrip kognitif), yaitu struktur pengetahuan yang skematis, mengenai

“urutan kejadian yang sesuai dalam suatu konteks tertentu” (Schank &

Abelson 1977, dalam Krahe dkk, 2007). Pembentukan cognitive scripts ini

difasilitasi oleh perubahan pada kognisi remaja, yakni berkembangnya

kemampuan berpikir lebih abstrak dan membuat penilaian moral yang lebih

baik (Papalia & Feldman, 2014). Skrip-skrip ini membantu remaja dalam

(21)

memproses, dan mengambil informasi-informasi sosial, dan berfungsi sebagai

panduan dalam berperilaku (Krahe dkk, 2007).

Salah satu bentuk dari cognitive scripts adalah sexual script (skrip

seksual) (Krahe dkk, 2007). Contoh lain dari cognitive scripts adalah

restaurant script” (Steffen Werner, 2004). Dalam skrip restoran tersebut,

dicontohkan seorang lelaki datang ke sebuah restoran karena ia merasa lapar,

kemudian memilih tempat duduk, kemudian memesan makanan, dan

seterusnya; bahwa dalam skrip restoran, ada urutan perilaku tertentu yang

sesuai saat berada di restoran. Konsep sexual script sendiri dicetuskan

pertama kali oleh William Simon dan John H. Gagnon. Skrip seksual pada

individu didasarkan pada konsep bahwa seksualitas adalah hal yang dipelajari

dari lingkungan sosialnya (Mahoney, 1983). Dua tokoh tersebut menjelaskan

bahwa skrip seksual yang terdiri dari 3 dimensi, yakni cultural scripts,

interpersonal scripts dan intrapersonal scripts adalah seperangkat norma

sosial yang dipelajari individu dari masyarakat dalam menentukan jenis

perilaku seksual yang dapat muncul pada seseorang, seperti (a) tipe individu

yang sesuai untuk dijadikan pasangan seksual (misal dari ras, usia, agama,

gender pasangan); (b) waktu dan tempat yang tepat dalam mengeskpresikan

perilaku seksual; serta (c) perilaku yang sesuai untuk ditampilkan (Simon dan

Gagnon 1983 dalam DeLamater, 1986). Rebecca Hagelin dalam artikelnya

yang berjudul “Sexual Scripts Affect Decision” yang dimuat dalam The

Washington Times (2011) mengatakan bahwa skrip seksual adalah aturan tak

(22)

dilakukan, atau bagaimana, kapan, dan mengapa seseorang harus melakukan

perilaku seksual. Dalam skrip seksual, akan ada konsep mengenai runtutan

suatu kejadian serta konteks yang menyertainya. Hal ini dikarenakan skrip

seksual merupakan salah satu himpunan bagian dari cognitive scripts (Schank

& Abelson 1977, dalam Krahe dkk, 2007). Namun terdapat pula

asumsi-asumsi dalam suatu bentuk skrip seksual, yang merupakan ide ataupun

gagasan individu mengenai perilaku seksual, posisi pria dan wanita, serta

mengenai hubungan seksual yang disetujuinya.

Skrip seksual berperan dalam menyediakan kerangka teoritis yang

membantu individu dalam mendefinisikan pengalaman seksual yang

romantis, kasual, hingga transaksional (Krahe dkk, 2007). Ini berarti bahwa

skrip seksual merupakan antiseden perilaku seksual seseorang, sehingga dapat

menggambarkan perilaku seksual apa yang dapat muncul. Hal ini dapat

menjadi bentuk intervensi maupun pencegahan efektif dari perilaku seksual

yang tidak aman, bila individu mampu membentuk pemahaman yang baik

mengenai perilaku seksual (Winzer, 2011).

Skrip seksual dipelajari melalui lingkungan sosial, seringkali terbentuk

melalui informasi seksual yang bersumber dari nasihat orang tua, ajaran

agama, pergaulan di antara teman-teman, dan media massa, serta melalui

pengalaman individu sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung

(Hagelin 2011, Krahe dkk 2007). Informasi seksual ini yang nantinya

membantu dalam pembentukan skrip seksual, juga berguna untuk

(23)

jenis kelamin. Ketika terdapat skrip seksual pada seorang remaja, yang berisi

runtutan kejadian dan perilaku yang sesuai dalam suatu konteks tertentu,

secara beriringan juga akan terbentuk suatu asumsi, pendapat, pemahaman

mengenai perbedaan skrip seksual pada laki-laki dan perempuan, misalnya

asumsi bahwa skrip seksual laki-laki akan cenderung maskulin dan agresif

(Denov, 2003).

Beberapa penelitian pun menyebutkan bahwa remaja mendapatkan

informasi mengenai seksualitas terutama dari teman-teman, media, guru mata

pelajaran seksualitas di sekolah, dan terakhir dari orang tua (Kaiser Family

Foundation dkk 2003, Chandra dkk 2008). Menurut Brown (dalam Hanani,

1995), remaja menemukan informasi mengenai seksualitas melalui siaran

televisi, video, majalah dan internet. Pada remaja perempuan, informasi

mengenai seksualitas untuk pertama kali didapatkan melalui ibu dan teman

perempuan mereka (Hurlock, 1973).

Informasi mengenai seksualitas juga diperoleh remaja dari pendidikan

seksual di sekolah mereka. Bahkan, sekolah dianggap lebih bertanggung

jawab untuk memberikan pendidikan seksual (Hurlock, 1973), dan para orang

tua pun menganggap bahwa sekolah merupakan tempat utama untuk

memperoleh pendidikan seksual. Meskipun disadari bahwa pendidikan

seksual dari sekolah cukup penting bagi remaja, di masa lampau terdapat

beberapa hal yang menjadi penghalang kesuksesan sekolah menjadi pemberi

infomasi seksual yang paling utama bagi remaja, yakni (1) kurangnya tenaga

(24)

yang masih belum memadai, (3) manfaat dan kebutuhan akan pendidikan

seksual baru dirasakan akhir-akhir ini, terutama di kota-kota besar, (4)

seksualitas masih dianggap tabu, dan (5) kondisi sosio-kultural di masyarakat

yang dianggap mempersulit tugas para pendidik di sekolah (Heuken dkk,

1974).

Masa kini, semakin banyak sekolah yang menyelenggarakan pendidikan

seksual di sekolah. Meski belum semua sekolah memberikannya melalui mata

pelajaran khusus, pendidikan seksual seringkali disampaikan secara

terintegrasi dalam mata pelajaran yang terkait, yakni Biologi, Penjaskesor

(pendidikan jasmani, kesehatan dan olah raga), Ilmu Pengetahuan Sosial, dan

Pendidikan Agama (Utama, Donald, & Hull 2012, dalam Pakasi &

Kartikawati, 2013). Di beberapa sekolah yang menerapkan pendidikan

seksual yang komprehensif, diberikan juga materi yang mengedukasi remaja

bahwa mereka adalah makhluk seksual, sehingga mampu membuat keputusan

untuk menahan dan menghindarkan diri dari perilaku seksual yang dilarang

ataupun kehamian yang tidak diinginkan (UNFPA, 2016).

Pentingnya pendidikan seksual di sekolah berpengaruh terhadap tingkat

kepuasan hidup (life satisfaction) remaja. Mereka yang mendapatkan

pendidikan seksual di sekolah memiliki informasi yang lebih lengkap,

komprehensif dan mendalam dalam hal kualitas dan kuantitas dibandingkan

dengan teman-teman mereka yang tidak memperoleh pendidikan seksual di

sekolah (Hurlock, 1973). Pendidikan seksual di sekolah di Amerika Serikat

(25)

seksual (PMS), dan bagaimana mengatakan “tidak” pada hubungan seksual

pranikah. Hasilnya, para remaja tersebut cenderung menunda hubungan

seksual -yang merupakan cara paling efektif dalam mengontrol kehamilan-

serta menggunakan alat kontrasepsi saat melakukan hubungan seks (Papalia

dkk, 2008).

Sebaliknya, Indonesia adalah negara hukum yang melarang adanya

hubungan sebelum menikah antara laki-laki dan perempuan, baik anak,

remaja maupun orang dewasa. Maka, jenis pendidikan seksual yang cocok

diterapkan di Indonesia adalah pendidikan seksual yang komprehensif; yang

secara tegas melarang terjadinya hubungan seksual sebelum menikah

(abstinence), namun juga memberikan informasi yang mengenai kesehatan

reproduksi, perubahan fisik dan non-fisik di masa pubertas, bahayanya

melakukan perilaku seksual sebelum menikah, alat kontrasepsi, kekerasan

dalam pacaran, HIV/AIDS, serta dorongan seksual dan pengendaliannya

(Pakasi & Kartikawati, 2013). Pendidikan seksual di sekolah sebaiknya

berpedoman pada nilai positif dari seksualitas seorang manusia dan peranan

seks dalam membentuk kepribadian dewasa pria maupun wanita. Hal ini

dapat membantu pendidik untuk menyampaikan informasi mengenai

seksualitas, sehingga meminimalisir pendapat bahwa seksualitas adalah hal

yang tabu untuk dibicarakan. (Heuken dkk, 1974).

Di sisi lain, meski secara tegas dilarang untuk dikonsumsi, nyatanya

pornografi menjadi salah satu media pembelajaran seksualitas, yang turut

(26)

yang dilakukan oleh DKT Indonesia, sebanyak 64% remaja mencari

informasi seksual dari film porno, sebanyak 54% mengaku mendapatkan dari

temannya, dan hanya 35% yang mengaku mendapatkan informasi melalui

diskusi bersama orangtua (http://www.bkkbn.go.id). Selain itu, berdasarkan

survei yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

terhadap 4500 remaja di 12 kota besar di Indonesia pada tahun 2007,

menemukan bahwa 97% remaja pernah menonton adegan porno

(http://www.bin.go.id). Novita (2005) yang melakukan penelitian di sebuah

SMA di Palembang menyebutkan bahwa sekitar 66,3% subjek mengakses

pornografi melalui majalah, dan 53,7% melalui tabloid. Sedangkan sekitar

81,1% subjek menonton materi pornografi melalui televisi, dan 49,5%

melalui CD (Compact Disc). Berdasarkan hasil survey yang dilakukan

Seymour dan Wyckoff (2006) terhadap siswa dan siswi di Colby College,

sekitar 93% laki-laki dan 79% perempuan pernah menonton konten

pornografi, dengan tujuan untuk masturbasi.

Survei yang dirilis dalam Pornography Statistic, memaparkan bahwa

perempuan juga menjadi pengakses situs. Sekitar 17% merupakan perempuan

yang kecanduan mengakses konten porno, dan sekitar 13% mengaku

mengaksesnya pada saat bekerja (http://www.bin.go.id). Situs CovenantEyes

mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian yang dirilis dalam Journal of

Adolescent Research, sekitar 49% perempuan muda setuju bahwa melihat

konten pornografi adalah hal yang wajar dalam menunjukkan seksualitas

(27)

Brazil, pornografi merupakan salah satu variabel bebas yang mempengaruhi

perilaku seksual, dan dimediasi oleh skrip seksual. Maka, materi pornografi

merupakan salah satu media bagi remaja untuk memperoleh informasi

mengenai seksualitas, sekaligus membangun asumsi mengenai skrip seksual.

Terkait dengan pornografi, terdapat kasus-kasus perempuan yang

menjadi korban hamil di luar nikah, penyakit menular seksual (PMS),

maupun HIV/AIDS akibat terpapar konten porno. Hasil survei terhadap 3.600

remaja perempuan di wilayah Jakarta, Tangerang dan Bekasi menunjukkan

bahwa sekitar 20,9% pernah hamil di luar nikah. Menurut Dr. Sudibyo

Alimoesa MA, Deputi KS-PK BKKN, kasus-kasus tersebut terjadi akibat

remaja meniru adegan porno melalui telepon genggam. Di sisi lain, remaja

dan keluarganya tersebut tidak mau menerima pendidikan seksual berupa

konseling kesehatan reproduksi remaja serta bahaya perilaku seksual pranikah

pada remaja (www.merdeka.com, www. tribunnews.com).

Meski merupakan media belajar dalam membentuk asumsi skrip

seksual, keterpaparan pornografi pada remaja dapat menimbulkan efek

negatif. Praharesti Eriany (1999) menyatakan bahwa remaja yang

mengonsumsi pornografi dengan frekuensi tinggi dapat membentuk konsep

bahwa perempuan merupakan objek seksual. Hal ini dapat diakibatkan terlalu

seringnya melihat tubuh perempuan telanjang dari televisi, film, dan majalah,

sehingga menempatkan perempuan sebagai objek seksual. Hal ini dapat

membahayakan remaja perempuan bila mereka sampai membentuk konsep

(28)

pelecehan seksual di masyarakat karena menganggap hal tersebut merupakan

kewajaran (Adrina dalam Kusmiati, 2001).

Terkait jenis kelamin, terdapat perbedaan mengenai asumsi skrip

seksual pada perempuan dan laki-laki di masa tradisional. Laki-laki

dipandang agresif secara seksual, dan ketika sudah melakukan hubungan

seksual, akan sulit untuk dikendalikan (Denov 2003, dalam Strong dkk,

2007). Seorang terapis, Bernie Zilbergeld (1993, dalam Strong dkk, 2007)

mengidentifikasi asumsi skrip seksual pada laki-laki tradisional, di antaranya

bahwa laki-laki adalah orang yang bertanggung jawab dalam menginisiasi

hubungan seksual, dianggap sebagai “sutradara” dan aktor utama dalam

hubungan seksual, serta tidak perlu diberi tahu mengenai kebutuhan wanita.

Berkebalikan dengan asumsi skrip seksual pada laki-laki, asumsi skrip

seksual pada wanita tradisional cenderung berfokus pada perasaan daripada

hubungan seksual, lebih pada cinta daripada gairah (Strong dkk, 2007).

Barbach (1982, dalam Strong dkk, 2007) menyatakan beberapa asumsi skrip

seksual pada wanita tradisional, yakni (a) seks itu bisa dianggap baik (jika

sudah menikah atau hidup bersama) atau bisa pula dianggap buruk; (b)

perempuan tidak perlu mengetahui detail alat genital mereka; (c) hubungan

seksual itu diperuntukkan bagi kepuasan laki-laki, perempuan harus pasif

secara seksual; (d) perempuan tidak boleh memberi tahu apa yang mereka

inginkan dalam sebuah hubungan seksual agar image mereka tetap polos dan

murni; (e) perempuan tidak boleh berbicara mengenai hal seksual; (f)

(29)

besar, langsing, dan tanpa lemak bergelambir; (g) wanita adalah pengasuh

(nurturer), memberikan penghiburan dan tubuh mereka kepada laki-laki, dan

mengutamakan kebutuhan laki-laki; dan (h) hanya ada satu cara yang tepat

dalam mengalami orgasme, yakni penetrasi penis (Barbach 1982 dalam

Strong dkk 2007, Krahe dkk 2007).

Beberapa aspek mengenai asumsi skrip seksual tradisional cenderung

tidak cocok untuk diterapkan pada zaman ini. Misalnya saja, asumsi bahwa

perempuan tidak perlu mengetahui detail alat genital, baik melihat,

menyentuh ataupun mengeksplorasi alat genital mereka. Hal ini dapat

menyebabkan remaja perempuan kesulitan mengidentifikasi dan memiliki

pengetahuan yang kurang memadai mengenai alat genital mereka (Strong

dkk, 2007). Seperti yang diungkap dalam penelitian Eve Appeal di Inggris,

yang menyatakan sekitar setengah dari jumlah remaja perempuan tidak

mengetahui di mana lokasi vagina dan detail sistem reproduksi pada

perempuan (http://www.huffingtonpost.com). Hal ini dapat membahayakan

remaja perempuan karena pengetahuan yang minim mengenai tubuh mereka

sendiri dapat memperbesar kemungkinan tumbuh dan berkembangnya

penyakit, seperti keputihan, penyakit menular seksual (PMS), serta kanker

serviks (leher rahim) di masa dewasanya. Selain itu, aspek fisik yang

diprioritaskan pada asumsi skrip seksual tradisional dapat memberikan

dampak buruk pada kepercayaan diri remaja perempuan, jika memiliki

(30)

Seiring berjalannya waktu, teknologi yang semakin berkembang dan

pola pikir yang semakin terbuka, membuat suatu perubahan dalam peran

gender, yang juga turut mempengaruhi asumsi yang terdapat pada skrip

seksual pada laki-laki dan perempuan (Sanders 2008, Strong dkk 2007).

Beberapa asumsi skrip seksual yang tadinya tradisional, berkembang menjadi

semakin liberal dan setara antara pria dan wanita. Banyak perempuan di masa

kini secara terang-terangan menolak asumsi skrip seksual tradisional,

khususnya pada bagian dikotomis antara “gadis baik-gadis nakal”, serta

keyakinan bahwa “gadis baik-baik” tidak menikmati hubungan seksual dan

perilaku-perilaku seksual (Moffatt 1989 dalam Strong dkk 2007). Skrip yang

lebih setara ini dikenal sebagai “Contemporary Scripts” (Strong dkk, 2007),

dan diklaim lebih mengakui seksualitas perempuan. Menurut Gagnon dan

Simon (1987) serta Rubin (1990), skrip seksual kontemporer memiliki

asumsi-asumsi sebagai berikut, di antaranya (a) ekspresi seksual adalah hal

yang positif; (b) aktivitas seksual adalah bentuk pertukaran yang saling

menguntungkan dari kenikmatan erotis; (c) aktivitas seksual dapat dimulai

dari perempuan maupun laki-laki; (d) seksualitas melibatkan kedua pasangan,

dan mereka sama-sama aktif; (e) kedua pasangan sama-sama memiliki hak

untuk mengalami orgasme, baik melalui persetubuhan, oral seks, atau

stimulasi manual; (f) aktivitas seksual yang sah tidak terbatas hanya pada

persetubuhan, namun juga masturbasi dan oral seks; (g) hubungan seksual

tanpa menikah dapat diterima dalam sebuah hubungan pria dan wanita; dan

(31)

perguruan tinggi maupun di kota-kota besar (Gagnon dan Simon 1987; Rubin

1990 dalam Strong dkk, 2007). Inilah sebabnya asumsi-asumsi dalam skrip

seksual yang kontemporer memberikan ruang yang lebih berfokus pada

hubungan antara laki-laki dan perempuan, serta mengakui kesetaraan

perempuan dengan laki-laki, yang berkebalikan dengan asumsi skrip seksual

tradisional yang lebih berfokus pada kepuasan laki-laki.

Meski demikian, menurut tata krama dan budaya yang berlaku di

Indonesia, tidak semua asumsi dari skrip seksual tradisional merupakan hal

yang buruk, dan sebaliknya, tidak setiap asumsi dari skrip seksual

kontemporer cocok untuk diterapkan oleh remaja perempuan di Indonesia.

Misalnya saja, menurut asumsi skrip seksual tradisional, ekspresi seksual

akan dianggap baik, jika laki-laki dan perempuan sudah menikah, dan akan

dianggap buruk jika pasangan tersebut belum menikah. Hal ini cocok bagi

kondisi budaya di Indonesia, maka menjadi sebuah pengecualian dalam

asumsi skrip seksual tradisional.

Selaras dengan hal tersebut, pada skrip seksual kontemporer yang salah

satu asumsinya menyatakan bahwa hubungan seksual tanpa menikah adalah

hal yang dapat diterima. Pada masyarakat Indonesia, hal ini merupakan suatu

larangan yang berlaku tidak hanya bagi remaja, namun bagi semua umur.

Pemuasan hasrat seksual di luar lembaga pernikahan adalah hal yang

diharamkan dan melanggar hukum di banyak negara, termasuk Indonesia

(Ibrahim, 2002). Maka aspek ini dapat dikatakan tidak cocok dengan budaya

(32)

Namun secara keseluruhan, internalisasi asumsi skrip seksual

kontemporer pada remaja perempuan dapat membantu mereka dalam

memahami hubungan yang setara antara laki-laki dan perempuan (Strong

dkk, 2007). Hal ini didukung oleh proses emansipasi bagi perempuan yang

didengungkan oleh sejarah Indonesia, agar memiliki persamaan kedudukan

sebagai warga negara Republik Indonesia, baik di hadapan hukum, di bidang

pendidikan, kesehatan, termasuk seksualitas. Hal ini dimaksudkan untuk

mencapai derajat yang sama antara laki-laki dan perempuan sebagai individu.

Selain itu, hubungan seksual merupakan hubungan yang sama-sama disetujui

oleh kedua belah pihak, yakni laki-laki dan perempuan, sehingga dalam

hubungan seksual tidak ada yang akan merasa terpaksa atau dipaksa, yang

dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual (Santrock, 2007).

Internalisasi asumsi skrip seksual kontemporer juga memberikan keluasan

wawasan pada remaja perempuan, bahwa selain kategori heteroseksual,

terdapat pula kategori homoseksual serta biseksual (LGBT) yang selama ini

masih ditolak di dalam masyarakat Indonesia (http://www.rmol.co,

http://www.kaskus.co.id.) dan selain itu, menerima kehadiran mereka.

Konsep mengenai asumsi skrip kontemporer ini dapat membantu

remaja perempuan dalam memenuhi tugas perkembangan yang harus dicapai,

terutama jika mereka mampu melihat seksualitas sebagai sesuatu yang positif,

dan merupakan bagian dari aspek kehidupan orang dewasa. Tugas

perkembangan yang dicetuskan oleh Havighurst (dalam Hurlock, 1990) ini

(33)

membawa ke arah keberhasilan, namun jika gagal akan menimbulkan rasa

tidak bahagia dan kesulitan menghadapi tugas-tugas berikutnya. Dalam hal

ini, tugas perkembangan remaja di antaranya adalah berhubungan baik

dengan lawan jenisnya, yakni remaja laki-laki, mencapai hubungan baru,

yang lebih matang dengan teman sebaya, baik pria maupun wanita, serta

memahami dan menerima peran seks usia dewasa. Tanpa adanya asumsi

mengenai skrip seksual dirinya sendiri dan lawan jenisnya, akan sulit bagi

remaja untuk mencapai tugas-tugas perkembangan tersebut.

Pendidikan seksual di sekolah dan konten pornografi ternyata

sama-sama dapat membentuk asumsi skrip seksual pada perempuan. Meskipun

demikian, peneliti melihat adanya kemungkinan perbedaan asumsi yang

dimiliki individu, akibat perbedaan sumber informasi dan materi yang

dipelajari oleh remaja dari pendidikan seksual dan konten porno. Hal ini juga

belum diungkap dalam pelbagai penelitian yang mengambil sampel pada

perempuan. Selain itu, penelitian lain mengenai skrip seksual juga ingin

melihat kaitannya dengan peristiwa pemerkosaan atau hubungan seksual yang

tidak diinginkan (bandingkan Ellison dkk 2009, Ryan 2011, dan Krahe dkk

2007).

Perempuan merupakan “sexual gatekeepers”, yang artinya

perempuanlah yang memegang peranan dalam menolak atau menyetujui

sebuah hubungan seksual (Hagelin 2011, Krahe dkk 2007). Asumsi mengenai

skrip seksual dapat diposisikan pula sebagai guideline ataupun blueprint bagi

(34)

diekspektasikan oleh standar masyarakat (Krahe dkk 2007, French 2013).

Inilah mengapa perempuan layak diangkat dalam penelitian ini, sebab dengan

memiliki asumsi skrip seksual kontemporer yang berasal dari pendidikan

seksual yang komprehensif, asumsinya perempuan akan berperilaku seksual

yang aman dan sesuai dengan standar masyarakat; memiliki konsep mengenai

kesetaraan laki-laki dan perempuan; menguatkan posisi remaja perempuan

sebagai seorang sexual gatekeeper; menghindarkan remaja perempuan dari

kemungkinan mengalami kekerasan seksual (nonconsensual sex) serta

cenderung memilih keperawanan -daripada seks bebas yang mungkin

menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan- (Hagelin, 2011). Penelitian

ini juga penting untuk mengokohkan pentingnya fungsi pendidikan seksual

bagi anak dan remaja, yakni mengedukasi dan memberikan pengetahuan

seksualitas, serta mencegah dan menurunkan perilaku seksual yang tidak

diinginkan. Hal ini mengingat masih adanya kontra mengenai kehadiran

pendidikan seksual bagi anak dan remaja, di tengah masyarakat

(www.endahyulianingsi.blogspot.co.id). Penelitian ini juga penting untuk

dilakukan, mengingat belum banyaknya penelitian dengan topik serupa di

Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi dasar untuk

menentukan langkah bagi remaja untuk membangun asumsi-asumsi skrip

(35)

B. Rumusan Masalah

Adakah perbedaan asumsi skrip seksual pada remaja perempuan yang

memperoleh informasi seksual dari pendidikan seksual di sekolah dan konten

pornografi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perbedaan asumsi skrip

seksual pada remaja perempuan yang perempuan yang memperoleh informasi

seksual, baik dari pendidikan seksual di sekolah maupun dari konten

pornografi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan, khususnya di bidang psikologi perkembangan dan sosial,

serta menambah informasi pada bidang penelitian seksualitas manusia.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat menjadi dasar bagi orangtua untuk

menginisiasi pendidikan seksual yang komprehensif sejak dini bagi

putra-putri mereka dalam rangka membentuk asumsi skrip seksual kontemporer

yang baik, serta menjadi dasar agar lembaga pendidikan memasukkan

(36)

17

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Asumsi Skrip Seksual

1. Definisi Asumsi Skrip Seksual

Skrip seksual merujuk pada seperangkat norma sosial yang

dipelajari individu dari masyarakat dalam menentukan jenis perilaku

seksual yang dapat muncul pada seseorang, seperti (a) tipe individu yang

sesuai untuk dijadikan pasangan seksual (misal dari ras, usia, agama,

gender pasangan); (b) waktu dan tempat yang tepat dalam

mengeskpresikan perilaku seksual; serta perilaku yang sesuai untuk

ditampilkan (Simon dan Gagnon 1983 dalam DeLamater, 1986).

Strong dkk (2010, dalam Putri dan Mansoer, 2012) menjelaskan

bahwa skrip seksual adalah tritmen, aturan dan ekspektasi mengenai

beberapa peran khusus, terutama bagaimana seseorang berperilaku sesuai

gender mereka.

Menurut Krahe dkk (2007), konsep skrip seksual merujuk pada

representasi kognitif dari urutan kejadian dalam suatu interaksi seksual.

Sedangkan Jones & Hostler (2002) menyatakan bahwa skrip seksual

adalah kesadaran subjektif seseorang mengenai seksualitas mereka, dan

hal tersebut menentukan pilihan-pilihan individu dalam melakukan

perilaku seksual dan pemahaman mengenai perilaku tersebut.

Berdasarkan teori yang diungkapkan di atas, kata kunci skrip

(37)

menyertainya. Maka, batasan definisi yang digunakan oleh peneliti untuk

menjelaskan asumsi skrip seksual adalah suatu konsep, gagasan, ide dan

aturan mengenai perilaku seksual yang sesuai peran gender yang terdapat

dalam skrip seksual, yang dipelajari oleh remaja dari masyarakat di sekitar

mereka. Definisi asumsi skripsi seksual yang digunakan dibatasi dari

adanya urutan kejadian serta konteks yang menyertai, seperti yang terdapat

pada definisi skrip seksual. Asumsi-asumsi skrip seksual ini akan

membantu remaja untuk memutuskan kriteria pasangan, perilaku seksual

yang tepat untuk dilakukan, waktu dan tempat yang tepat dalam

melakukan hubungan seksual, serta mengetahui tujuan dari hubungan

seksual yang dilakukan.

2. Jenis Asumsi Skrip Seksual

Berdasarkan perkembangannya, asumsi skrip seksual terbagi

menjadi dua, yakni asumsi skrip seksual tradisional dan kontemporer. Pada

skrip seksual perempuan tradisional, Barbach (1982, dalam Strong dkk

2007) memaparkan asumsi sebagai berikut, yaitu (a) seks itu bisa dianggap

baik (jika sudah menikah atau hidup bersama) atau bisa pula dianggap

buruk (jika belum menikah); (b) perempuan tidak perlu mengetahui detail

alat genital mereka; (c) seks itu diperuntukkan bagi kepuasan laki-laki,

perempuan harus pasif secara seksual; (d) perempuan tidak boleh memberi

tahu apa yang mereka inginkan dalam sebuah hubungan seksual agar

(38)

mengenai seks; (f) perempuan harus tampil layaknya seorang model yang

cantik, muda, berdada besar, langsing, dan tanpa lemak bergelambir; (g)

wanita adalah pengasuh (nurturer), memberikan hiburan dan tubuh mereka

kepada laki-laki, dan mengutamakan kebutuhan laki-laki, dan (h) hanya

ada satu cara yang tepat dalam mengalami orgasme, yakni penetrasi penis.

Sebaliknya, asumsi skrip seksual kontemporer menyatakan bahwa

(a) ekspresi seksual adalah hal yang positif; (b) aktivitas seksual adalah

bentuk pertukaran yang saling menguntungkan dari kenikmatan erotis; (c)

aktivitas seksual dapat dimulai dari perempuan maupun laki-laki; (d)

seksualitas melibatkan kedua pasangan, dan mereka sama-sama aktif; (e)

kedua pasangan sama-sama memiliki hak untuk mengalami orgasme, baik

melalui persetubuhan, oral seks, atau stimulasi manual; (f) aktivitas

seksual yang sah tidak terbatas hanya pada persetubuhan, namun juga

masturbasi dan oral seks; (g) hubungan seksual tanpa menikah dapat

diterima dalam sebuah hubungan pria dan wanita; dan (h) kaum LGBT

dapat diterima atau ditoleransi, terutama di lembaga perguruan tinggi

maupun di kota-kota besar. (Gagnon dan Simon 1987; Rubin 1990 dalam

Strong dkk, 2007).

Individu yang memiliki asumsi skrip seksual kontemporer dinilai

lebih positif dan terbuka dalam memandang seksualitas, karena dapat

membantu mereka dalam memahami hubungan yang setara antara laki-laki

dan perempuan (Strong dkk, 2007). Selain itu, seksualitas merupakan

(39)

laki-laki dan perempuan, sehingga dalam hubungan seksual tidak ada yang

akan merasa terpaksa atau dipaksa, yang dalam hal ini dapat dikategorikan

sebagai kekerasan seksual (Santrock, 2007). Asumsi skrip seksual

kontemporer juga memberikan keluasan wawasan pada remaja perempuan,

bahwa terdapat kategori heteroseksual, homoseksual serta biseksual

(LGBT), sebagai suatu bagian dari aspek kepribadian manusia dewasa.

Dari asumsi skrip kontemporer tersebut, peneliti membaginya

menjadi 5 aspek, yakni ekpresi seksual, pengetahuan mengenai alat

genital, kesetaraan dalam hubungan pria dan wanita, persepsi terhadap

kondisi fisik perempuan, serta persepsi terhadap kaum LGBT.

Perbandingan antaraspek tersebut dapat dilihat dalam tabel di halaman

(40)

Tabel 1. Aspek Skrip Seksual

No. ASPEK ASUMSI TRADISIONAL ASUMSI KONTEMPORER

1. Ekspresi Seksual

* ekspresi seksual itu bisa dianggap baik, jika sudah menikah atau hidup bersama.

* ekspresi seksual adalah hal yang positif;

* seks tanpa menikah dapat diterima dalam sebuah hubungan pria dan

* Perempuan harus mengetahui detail alat genital mereka

* seks itu diperuntukkan bagi kepuasan laki-laki, perempuan memberi tahu apa yang mereka inginkan dalam sebuah pertukaran yang saling menguntungkan dari kenikmatan erotis;

* kedua pasangan sama-sama memiliki hak untuk mengalami orgasme.

* seksualitas melibatkan kedua pasangan, dan mereka sama-sama aktif;

* aktivitas seksual dapat dimulai dari perempuan maupun laki-laki;

(41)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Asumsi Skrip Seksual

a. Sosialisasi Perbedaan Biologis

Remaja laki-laki dan perempuan dapat mempunyai asumsi

skrip seksual yang berbeda akibat internalisasi pengajaran yang

diterima anak karena adanya perbedaan-perbedaan pada tubuh

mereka (Sakaluk dkk, 2013). Sosialisasi mengenai perbedaan

biologis ini dimulai dari masa kanak-kanak, di mana anak lelaki

diajarkan untuk memegang penisnya sendiri saat buang air kecil,

sedangkan anak perempuan tidak diperbolehkan untuk memegang

klitorisnya. Anak perempuan harus berhati-hati untuk

memperlakukan alat kelamin mereka, agar tetap bersih dan tidak

terkena bakteri dari anus. Hasil dari pengajaran ataupun sosialisasi

dari orang tua ini, anak laki-laki belajar bahwa memegang kelamin

mereka sendiri adalah hal yang nyaman dan tidak kotor, sedangkan

anak perempuan belajar bahwa kelamin mereka sulit, bahkan

hampir tidak mungkin untuk dilihat dan terdapat kemungkinan

untuk menjadi “kotor” bila tidak diperlakukan dengan benar

(Wiederman, 2005).

Perbedaan ini juga memberikan implikasi terhadap

ekspektasi sosial dan pesan-pesan yang mereka terima selama masa

(42)

b. Norma dan Peran Gender

Hampir sama dengan aspek biologis, peran gender juga

memberikan ruang yang lebih luas bagi laki-laki untuk

mengeksplorasi seksualitas mereka. Peran gender maskulin

mengajarkan independensi, keasertifan serta eksplorasi, sedangkan

peran gender feminim lebih berdasar pada bagaimana

mengendalikan perilaku. Kemudian, adanya fakta bahwa

perempuan dapat hamil, sedangkan laki-laki tidak. Hal ini yang

kemudian menyebabkan banyak orangtua lebih memperhatikan

seksualitas dan membicarakan seks lebih banyak dengan anak

perempuan mereka dibandingkan anak laki-laki. Pembicaraan

mengenai seksualitas yang dilakukan pun berkisar pada peringatan

akan bahaya dan resiko perilaku seksual. Itulah sebabnya,

perempuan menjadi “sexual gatekeeper” pada hubungan antara

laki-laki dan perempuan (Wiederman, 2005).

c. Agama dan Keyakinan

Agama dan keyakinan memegang peranan penting dalam

pembentukan asumsi skrip seksual pada seseorang. Dalam ajaran

Kristiani misalnya, kepercayaan kepada Tuhan (faith) lebih

daripada sekedar sistem keyakinan, hal ini adalah sebuah

panggilan, hubungan dan cara hidup di dalam Tuhan dan

komunitas di mana seseorang tinggal. Ajaran Kristiani memandang

(43)

Tubuh manusia adalah ciptaan Tuhan yang sempurna, sesuai

dengan gambar dan citra-Nya (Kejadian 1:27). Hubungan seksual

(sexual intercourse) hanya boleh dilakukan oleh laki-laki dan

perempuan yang telah sah menjadi suami dan istri, sehingga

hubungan seksual dilarang bagi orang yang belum menikah. Hal ini

menjadi pedoman akan larangan terhadap inses, pemerkosaan,

perzinahan, homoseksualitas, dan nafsu birahi. Hubungan seksual

juga harus dipandang secara alkitabiah yang menyadari kebutuhan

biologis, menciptakan rasa nyaman di antara pasangan, serta untuk

membesarkan anak-anak (Jones & Hostler, 2002).

B. Sumber Informasi

Informasi mengenai seksualitas –yang kemudian menjadi dasar pembentukan asumsi skrip seksual pada individu- bisa didapatkan remaja dari

berbagai sumber, baik formal maupun informal. Sumber formal misalnya dari

sekolah melalui pendidikan seksual, dan sumber informasi informal misalnya

dari obrolan bersama teman, orangtua dan eksperimen remaja sendiri.

Eksperimen remaja dapat bersumber dari membaca majalah porno, menonton

film/video porno, serta mengakses situs porno di internet. Pada penelitian ini,

peneliti hanya akan memfokuskan pada pendidikan seksual dan pornografi

(44)

1. Pendidikan Seksual

Menurut Sarlito W. Sarwono (2011), pendidikan seksual di

Indonesia selayaknya memang dimulai dari keluarga, sebagai lingkungan

pertama kehidupan individu. Salah satu penyebabnya adalah karena

seksualitas merupakan hal yang sangat privat, dan jika hendak dijadikan

materi pendidikan pun perlu disampaikan secara pribadi. Namun, banyak

orang tua yang kurang mampu memberikan pendidikan seksual bagi anak

remaja mereka. Selain karena merasa tabu, kurangnya pemahaman yang

mendalam juga menjadi alasan terhambatnya proses pendidikan seksual

oleh orang tua.

Inilah sebabnya sekolahpun diandalkan untuk menjadi media lain

dalam memberikan pendidikan seksual bagi remaja. Selain sebagai tempat

menuntut ilmu, sekolah juga merupakan lingkungan kedua bagi remaja

untuk melakukan berbagai kegiatan dan membangun hubungan sosial

dengan sesamanya, sehingga sekolah cukup berpengaruh bagi remaja

(Needlman, 2004). Secara umum, pendidikan seksual yang diberikan di

sekolah berkisar mengenai informasi seksualitas dan mengajarkan

kemampuan untuk mengambil keputusan mengenai seksualitas (Mueller

dkk, 2008). Selain itu, pendidikan seksual formal di sekolah juga meliputi

metode pengontrolan kehamilan, penyakit menular seksual (PMS),

perilaku seks aman untuk menghindari infeksi HIV, dan bagaimana

menolak hubungan seksual (Papalia dkk, 2008). Tujuan pendidikan

(45)

perilaku seksual pra-nikah, seperti kehamilan yang tidak diinginkan,

penyakit menular seksual, HIV/AIDS, serta aborsi (Sarwono 2011, Kirby

dkk 2007, Kohler dkk 2008).

a. Definisi Pendidikan Seksual

Pendidikan seksual merupakan pendidikan mengenai anatomi

organ seksual, alat dan kesehatan reproduksi, hubungan seksual,

hubungan emosional, hak-hak reproduksi dan tanggung jawabnya,

pantangan seksual, alat kontrasepsi, perencanaan keluarga, body

image, orientasi seksual, kenikmatan seksual, nilai-nilai, pembuatan

keputusan, komunikasi, kencan, hubungan berpacaran, penyakit

menular seksual (PMS), cara mencegah penyakit menular seksual,

serta metode pengontrolan kehamilan (Fentahun dkk, 2012).

b. Jenis Pendidikan Seksual

1) Pendidikan Seksual Abstinence-only

Pendidikan seksual jenis ini melarang seseorang untuk

melakukan perilaku seksual sebelum individu tersebut menikah.

Pendidikan seksual abstinence-only mempromosikan pantangan

seksual, melakukan diskusi mengenai nilai-nilai dan norma di

masyarakat, membentuk karakter remaja, dan mengajarkan

kemampuan untuk menolak hubungan seksual. Abstinence-only

mengajarkan untuktidak melakukan hubungan seksual sama sekali

dan menentang penggunaan kondom atau alat kontrasepsi lainnya.

(46)

aborsi, penyakit menular seksual dan HIV/AIDS (Fentahun dkk,

2012). Abstinence-only bertujuan untuk menunda munculnya

perilaku seksual hingga individu tersebut menikah (Kohler dkk,

2008). Bentuk pendidikan seksual abstinence-only ini juga

beragam, ada yang menyangkutpautkan dengan ajaran agama, ada

pula yang mengajarkannya dalam bentuk “pendidikan karakter”

(Kirby, 2007).

2) Pendidikan Seksual Komprehensif

Pendidikan seksual komprehensif disebut pula

Abstinence-Plus. Pendidikan jenis ini menyadari bahwa banyak individu akan

menjadi aktif secara seksual pada masa remajanya, sehingga

menekankan Abstinence-only sebagai perilaku teraman, dan

ditambah pula dengan informasi mengenai metode pengendalian

kelahiran untuk mencegah kehamilan (misalnya penggunaan

kondom serta alat kontrasepsi), aborsi dan penyakit menular

seksual, serta HIV/AIDS (Kohler dkk 2008, Kirby 2007, Fentahun

dkk 2012). Pendidikan seksual ini bertujuan untuk mengurangi

resiko munculnya perilaku seksual, misalnya kehamilan pranikah,

HIV/AIDS, dan penyakit menular seksual dengan cara menunda

melakukan perilaku seksual hingga saatnya menikah (abstinence)

dan memakai alat kontrasepsi ketika melakukan perilaku seksual

(47)

c. Dampak Pendidikan Seksual

Pendidikan seksual yang dilaksanakan di sekolah dapat

dimungkinkan melalui 2 cara, yakni abstinence-only dan

komprehensif. Beberapa pendidikan seksual abstinence-only yang

telah didesain secara baik dan intensif terbukti tidak cukup efektif

dalam mengubah perilaku. Hanya sedikit bukti bahwa pendidikan

seksual abstinence-only mampu menunda inisiasi hubungan seksual

pada remaja (Kirby, 2007).

Di sisi lain, pendidikan seksual komprehensif mempunyai

dampak yang positif. Dari 29 penelitian yang direviu oleh Kirby

(2007), tampak jelas bahwa program pendidikan seksual tidak

meningkatkan perilaku seksual, namun mampu menurunkan beberapa

perilaku seksual secara signifikan. Dari penelitian-penelitian tersebut,

sekitar 44% remaja mampu menunda inisiasi hubungan seksual,

frekuensi hubungan seksual turun hingga 35%, dan sekitar 47% remaja

mampu mengurangi jumlah pasangan seksual. Para peneliti juga

menemukan bahwa terjadi peningkatan penggunaan kondom sekitar

43% dan penggunaan alat kontrasepsi meningkat sebesar 40%.

Pendidikan seksual komprehensif efektif dalam menurunkan frekuensi

hubungan seksual yang tidak aman pada remaja (Kirby, 2007).

Pendidikan seksual komprehensif mampu membentuk asumsi

skrip seksual yang lebih kontemporer pada remaja, terutama remaja

(48)

komprehensif akan mendapat lebih banyak pengetahuan mengenai

seksualitas mereka, alat dan kesehatan reproduksi, kenyataan bahwa di

masyarakat terdapat individu dengan orientasi seksual yang berbeda

(LGBT), beragam alat kontrasepsi dan penyakit menular seksual

(PMS), fakta bahwa pada masa remaja, mereka akan menjadi aktif

secara seksual serta bagaimana menolak hubungan seks yang tidak

diinginkan atau mengandung unsur pemaksaan.

2. Pornografi

a. Definisi Pornografi

Pornografi berasal dari kata porne, yang berarti pelacur dan

graphein, yang dalam bahasa Yunani memiliki arti menulis atau

menggambar. Pornographos sendiri diartikan sebagai penggambaran

ataupun tulisan-tulisan mengenai pelacur atau pelacuran. Menurut

Lesmana (1995), pornografi didefinisikan sebagai gambar atau

tulisan-tulisan yang dibuat dengan tujuan untuk membangkitkan gairah atau nafsu

birahi individu yang melihat ataupun membacanya.

Menurut UU No. 44 tahun 2008, pornografi adalah segala bentuk

kecabulan atau eksploitasi seksual, yang dimuat dalam media komunikasi

berupa gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar

bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, maupun melalui

pertunjukan di muka umum. Menurut UU No. 44 tahun 2008, pornografi

(49)

1) Persetubuhan, termasuk persetubuhan yang menyimpang (misalnya

sesama jenis).

2) Kekerasan seksual.

3) Masturbasi atau onani.

4) Ketelanjangan atau penampilan yang menampilkan ketelanjangan.

5) Alat kelamin dan pornografi yang melibatkan anak-anak.

Lesmana (1995) mengungkapkan, bahwa tulisan, gambar, foto,

maupun tontonan yang tergolong pornografi adalah:

a. Dengan sengaja bertujuan untuk membangkitkan nafsu seksual

orang lain.

b. Memiliki tujuan sejak awal untuk merangsang birahi

pembaca/penontonnya.

c. Karya tersebut tidak memiliki nilai apapun, selain hanya sebagai

stimulus perangsang nafsu.

d. Menurut nilai dan norma masyarakat sekitar, materi tersebut tidak

pantas dipertontonkan secara umum.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, peneliti mengambil

kesimpulan bahwa pornografi adalah segala bentuk materi, baik yang

diwujudkan melalui tulisan maupun melalui media elektronik, dan

mengandung unsur-unsur ketelanjangan, alat kelamin, dan persetubuhan.

Pornografi ini tidak memiliki tujuan dan nilai apapun, hanya ingin

(50)

b. Jenis-jenis Pornografi

Menurut Lesmana (1995), pornografi dibedakan menjadi 2 jenis,

yakni:

a. Hardcore Pornography, yang menggambarkan adegan seks dengan

sangat eksplisit, dalam arti sama dengan pemeran telanjang bulat,

organ seksual yang diekspos dengan amat mencolok dengan segala

teknik permainan seksual yang dipertunjukkan secara jelas.

b. Softcore pornography, di mana seks tidak pernah dilukiskan secara

utuh, pemerannya seringkali telanjang bulat, namun organ seksual

biasanya tidak diperlihatkan, juga tidak pernah ada variasi permainan

seksual yang sering disebut “abnormal”, seperti adegan homoseksualitas, dan lain-lain.

c. Dampak Pornografi

Alan McKee (2007), dalam penelitiannya menunjukkan adanya

dampak positif dari pornografi. Subjek penelitiannya yang merupakan para

konsumen pornografi, melaporkan adanya perasaan rileks, nyaman dan

lebih terbuka terhadap seks. Selain itu, pornografi juga membuat individu

merasa lebih open-minded dan toleran terhadap gaya kepuasan seksual

orang lain. Individu juga merasa dapat belajar mengenai ide dan teknik

bercinta, serta lebih memperhatikan kepuasan pasangan saat melakukan

hubungan seksual. Mengonsumsi pornografi juga membuat seseorang

menjadi lebih terbuka untuk mendiskusikan seksualitas dengan

(51)

Di sisi lain, McKee (2007) juga mengungkap berbagai sisi negatif

dari pornografi. Seperti yang disampaikan oleh respondennya, pornografi

membuat mereka mengobjektifikasi orang (menganggap bahwa tubuh

seseorang hanyalah objek pelampiasan nafsu), menumbuhkan harapan

yang tidak realistis, baik terhadap tubuh sendiri maupun orang lain.

Responden lain merasa bahwa pornografi mendatangkan masalah dalam

hubungannya dengan pasangan. Selain itu, ada responden yang merasa

kehilangan minat untuk melakukan kontak seksual yang nyata dengan

orang lain, dan yang terakhir adalah timbulnya rasa kecanduan pada

pornografi.

Meskipun masih dipertentangkan mengenai dampak positif dan

negatifdari pornografi terhadap perkembangan otak dan perilaku remaja,

nyatanya dampak negatif merupakan hal yang paling disorot di Indonesia.

Selain karena merupakan negara hukum yang religius, yang masih

memandang seksualitas secara konservatif / tradisional (Hald & Mulya,

2013), Indonesia juga memiliki undang-undang yang mengatur pornografi

dan hubungan seksual di luar nikah. Negativitas pornografi ditunjukkan

melalui penelitian Praharesti Eriany (1999). Penelitiannya mengenai

pelecehan seksual menunjukkan adanya kecenderungan anggapan bahwa

perempuan merupakan objek seks. Hal ini disebabkan oleh tingginya

frekuensi dalam melihat tubuh perempuan telanjang dari televisi, film, dan

majalah, sehingga menempatkan perempuan sebagai objek seksual. Hal ini

(52)

konsep bahwa diri mereka adalah objek seksual dan menerima secara

pasrah perlakuan pelecehan seksual di masyarakat karena menganggap hal

tersebut merupakan kewajaran (Adrina dalam Kusmiati, 2001). Selain itu,

menonton tayangan yang mengandung unsur pornografi mendorong

remaja melakukan peniruan. Remaja termotivasi dan terangsang untuk

meniru hal yang dilihat atau dibacanya, sehingga mengakibatkan remaja

menjadi semakin permisif dengan perilaku dan norma yang ada (Supriati

dan Fikawati, 2009).

Pada kebanyakan tayangan porno, perempuan ditampilkan dengan

rambut pirang atau kecoklatan, bertubuh langsing, namun berdada dan

bokong besar. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan remaja

perempuan membentuk ideal-self mereka seperti para pemeran perempuan

dalam film porno tersebut. Selain itu, perempuan juga direpresentasikan

sebagai individu yang pasif dan bergantung seperti budak kepada laki-laki.

Perempuan akan merasa puas jika laki-laki dapat memuaskan diri

menggunakan tubuh mereka (Longino, 1980). Pada beberapa genre,

perempuan juga ditampilkan mengalami kekerasan seksual, seperti

diperkosa, dan hal tersebut memberikan kenikmatan seksual pada

perempuan. Hal ini sejalan dengan asumsi pada skrip seksual tradisional,

(53)

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Menurut Hurlock (1990), kata remaja atau adolescence berasal dari

bahasa Latin adolescere yang memiliki arti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Saat ini, istilah adolescence memiliki arti yang lebih

luas, yang menyangkut kematangan fisik, kognisi, moral, emosional, sosial

dan intelektual individu. Selain itu, masa remaja juga merupakan masa

perpindahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, baik dari segi

fisik dan psikologisnya (Hurlock, 1990).

Menurut Daradjat (1974), remaja adalah salah satu tahapan

perkembangan manusia yang paling banyak terdapat perubahan, dari masa

kanak-kanak menuju masa dewasa. Perubahan-perubahan tersebut

biasanya dimulai dengan perubahan jasmani yang meliputi aspek-aspek

seksual, dan diikuti segi kehidupan lainnya seperti rohani, perasaan,

pikiran dan sosial.

Sarwono (1989) memberikan pandangannya mengenai remaja,

yakni suatu masa perkembangan manusia yang penuh emosi yang

meledak-ledak, dan sulit untuk dikontrol. Emosi yang menggebu-gebu ini

di satu sisi membuat orang lain sulit untuk memahami remaja, namun di

sisi lain membantu remaja untuk menemukan identitas dirinya.

Masa remaja juga dianggap sebagai masa sulit, karena mengalami

banyak perubahan, serta masalah yang dialami sebelum seseorang

(54)

berada di posisi sulit, karena tidak memiliki tempat yang jelas. Mereka

tidak dapat lagi digolongkan sebagai anak kecil, namun juga masuk

kategori orang dewasa. Hal ini disebabkan remaja dipandang belum

mampu menguasai dan mengatur fungsi fisik maupun psikologisnya.

Menurut beberapa definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa

remaja merupakan suatu masa dalam perkembangan hidup manusia, yang

mengalami banyak perubahan, baik dari segi fisik, emosional, pola pikir,

interaksi sosial, maupun aspek-aspek psikologis lainnya. Hal ini

merupakan tahapan yang akan dilalui setiap individu yang beranjak dari

masa kanak-kanak untuk menuju masa dewasa.

2. Batasan Remaja

Karena luasnya area perkembangan remaja, beberapa ahli

memberikan batasan-batasan mengenai definisi remaja berdasarkan usia

dan tugas perkembangannya. Menurut Hurlock (1990), remaja dibagi

menjadi dua bagian, yakni remaja awal, yang berlangsung kira-kira antara

13-16 tahun, dan remaja akhir, yang rentang usianya antara 16-18 tahun.

Batasan usia remaja yang ditetapkan oleh WHO (World Health

Organization) adalah pada usia 10-20 tahun, dengan pembagian usia 10-14

tahun sebagai fase remaja awal, dan usia 15-20 tahun sebagai fase remaja

akhir (WHO, dalam Sarwono, 1989).

Sarwono (1994) juga membagi remaja dalam beberapa fase, yakni

(55)

pertengahan yang berusia kira-kira 15-18 tahun, dan fase remaja akhir,

yakni antara 18-24 tahun. Sarwono membuat pertimbangan tersebut

berdasarkan pandangan masyarakat Indonesia:

a. Bahwa sekitar usia 11 tahun, mulai muncul tanda-tanda perubahan

seksual sekunder pada individu.

b. Di kalangan beberapa masyarakat Indonesia, pada usia 11 tahun

individu dianggap telah melalui proses akil balig, baik menurut

adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi

memperlakukan mereka sebagai anak-anak.

c. Pada rentang usia tersebut mulai tercapai identitas diri individu

(ego identity), kemudian mencapai fase genital dari perkembangan

psikoseksual, serta merupakan puncak dari perkembangan kognitif

serta moral.

d. Pada batasan akhir 24 tahun merupakan batas maksimal seseorang

untuk bergantung pada orang tuanya, belum memiliki hak orang

dewasa secara penuh (baik adat maupun tradisi), dianggap belum

dapat memberikan opini sendiri, dan lain sebagainya.

e. Selain itu, definisi remaja juga dikaitkan dengan kondisi belum

menikah, karena pada umumnya masyarakat menilai kedewasaan

seseorang berdasarkan status pernikahan mereka. Pada usia

berapapun seseorang menikah, mereka akan dianggap dan

diperlakukan sebagai orang dewasa. Maka dari itulah, batasan

(56)

Monks (1994) juga memilah remaja berdasarkan usia kronologis

mereka. Dengan mematok rentang usia antara 12-21 tahun, remaja dibagi

menjadi 3 bagian, yaitu masa remaja awal, yakni 12-15 tahun, masa

remaja pertengahan 15-18 tahun, serta 18-21 tahun untuk masa remaja

akhir.

Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebanyakan

peneliti perkembangan membagi usia remaja menjadi 3 fase, yakni fase

remaja awal, remaja pertengahan, serta remaja akhir, yang ditandai dengan

terjadinya perubahan fisik, intelektual, emosional, hormonal, dan sosial.

Pada penelitian ini, peneliti mengacu pada batasan yang digunakan oleh

Sarwono, yakni remaja perempuan pertengahan pada rentang usia 15-18

tahun yang sedang duduk di bangku SMA, dan belum menikah.

3. Tugas Perkembangan Remaja

Havighurst (Havighurst dalam Hurlock, 1990) memberikan

penjelasan mengenai tugas perkembangan. Hal ini didefinisikan sebagai

tugas yang muncul pada suatu masa tertentu dari kehidupan seorang

individu, yang jika dapat diselesaikan dengan baik akan membawa

kebahagiaan dan membuat individu berhasil melaksanakan tugas-tugas

selanjutnya. Namun jika gagal, dapat menimbulkan kesulitan pada tugas

perkembangan berikutnya. Beberapa tugas muncul baik karena

Gambar

Tabel 14 Deskripsi Data Penelitian  .......................................................
Tabel 1. Aspek Skrip Seksual
Tabel 2. Pemberian Skor Skala Asumsi Skrip Seksual
Tabel 3. Blue Print dan Distribusi Item Skala Asumsi Skrip Seksual
+7

Referensi

Dokumen terkait

sesuai sikap spiritual yang ditampilkan oleh peserta didik, dengan kriteria sebagai berikut : 4 = selalu, apabila selalu. melakukan

Memeriksa dan merekomendasikan hasil pekerjaan para bawahan dalam hal mutu dan jumlah, untuk memastikan bahwa hasil proses layanan tersebut bisa ditindaklanjuti oleh

Ada beberapa kebingungan tentang penggunaan akronim yang melibatkan HSDPA , dan evolusi lebih lanjut untuk High Speed Uplink Packet Access ( HSUPA ) , karena istilah ini

Kemudian, menyatakan ketentuan Pasal 38 juncto Pasal 55 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi atau Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

Berdasarkan hasil penelitian di wilayah sasaran adapun data data bentuk gugus konsonan [mb] dalam bahasa Sasak di Desa Ubung Kecamatan Jonggat yang di dapat

Hiperglikemia, hiperglikemia, atau gula darah tinggi adalah suatu kondisi di mana jumlah yang berlebihan glukosa beredar dalam plasma darahm. Namun, tingkat kronis

Penelitian ini adalah penelitian lapangan ( field research ) dan jenisnya adalah deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini yaitu sumber data primer yakni guru

Selopuro Blitar, implementasi metode usmani melalui pembelajaran talaqqi,. dan implementasi metode usmani melalui pembelajaran