• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penguatan Kelembagaan Tani Mendukung Pertanian Bioindustri Berbasis Integrasi Tanaman-Ternak Berkelanjutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penguatan Kelembagaan Tani Mendukung Pertanian Bioindustri Berbasis Integrasi Tanaman-Ternak Berkelanjutan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Penguatan Kelembagaan Tani Mendukung Pertanian Bioindustri

Berbasis Integrasi Tanaman-Ternak Berkelanjutan

(Strenghtening Farmer Institution to Support Agricultural Bioindustry

Based on Sustainability of Crop-Livestock Integration)

Rachmat Hendayana1, Sunandar N2

1Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 10, Bogor 16114 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat, Jl. Kayu Ambon No. 80, PO Box 8495, Lembang 40391

rhendayana@gmail.com

ABSTRACT

The farmer institutional is a key factor supporting the sustainability of agricultural bioindustry. An assessment was conducted in Majalengka, West Java Province early 2014. This study aimed to determine farmer institutional capacity and capability and farmer institution strenghtening formulate for sustainability of agricultural bioindustry based on crop-livestock integration. Data was collected through field observations with focus group discussions involving 15 members of the Jati Kersa and Lengo farmers group in Majalengka District. Based on qualitative and quantitative descriptive analysis sharpened with SCP and SWOT analysis, it is concluded: First, farmer institutional strengthening becomes the main factor for sustainability of agricultural bioindustry based on the integration of corn and cattle in Majalengka, West Java Province. Second, main steps for farmers institutional strengthen needs to be done through farmer group revitalization for more effective, accommodating and proactive to support for sustainability of agricultural bioindustry system. Third, training facilitation, open access to capital resources and facilitating the implementation of existing facilities crop-livestock integration, were needed to ensure the continuing for sustainability of agricultural bioindustry systems.

Key Words: Bioindustri, Crop-Livestock Integration, Farmer Institutional Strengthening

ABSTRAK

Kelembagaan tani merupakan faktor kunci mendukung sistem pertanian bioindustri berkelanjutan. Pengkajian dilakukan di Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat awal tahun 2014, dengan tujuan untuk mengetahui kapasitas dan kapabilitas kelembagaan tani dan memformulasikan penguatan kelembagaan tani untuk mendukung pengembangan pertanian bioindustri berbasis integrasi tanaman-ternak. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapangan disertai diskusi kelompok terfokus yang melibatkan 15 orang petani anggota Kelompok Tani Jati Kersa dan Lengo di Kecamatan Majalengka. Dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif dipertajam dengan analisis SCP dan SWOT, disimpulkan: Pertama, penguatan kelembagaan tani menjadi faktor penentu keberlanjutan sistem pertanian bioindustri berbasis integrasi jagung dan sapi di Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Kedua, langkah penguatan kelembagaan tani perlu dilakukan melalui revitalisasi dan reorientasi kelompok tani ke arah yang lebih efektif, lebih akomodatif dan proaktif untuk mendukung sistem pertanian bioindustri berkelanjutan. Ketiga, untuk menjamin berlangsungnya sistem pertanian bioindustri berkelanjutan, diperlukan fasilitasi pelatihan petani, penciptaan akses petani ke sumber permodalan dan fasilitasi sarana dan prasarana pelaksanaan integrasi tanaman-ternak.

Kata Kunci: Bioindustri, Integrasi Tanaman-Ternak, Penguatan Kelembagaan Tani

PENDAHULUAN

Salah satu strategi untuk meningkatkan daya saing produk pertanian dan nilai tambah usaha pertanian ke depan yang digagas Kementerian Pertanian adalah mengembangkan sistem pertanian bioindustri berkelanjutan.

Implementasinya diarahkan pada

pengembangan kawasan sentra pertanian (Suswono 2014). Melalui kebijakan tersebut, komoditas strategis dan unggulan pertanian dikembangkan pada kawasan andalan, menuju satu kesatuan sistem pertanian bioindustri. Pengelolaan usaha taninya, menerapkan prinsip

(2)

pertanian lestari, memanfaatkan agro input setempat dan mengelola limbah untuk manfaat yang lebih besar.

Menurut Simatupang (2014) pembaruan dalam perspektif pertanian bioindustri ditunjukkan oleh usaha pertanian berbasis ekosistem intensif, pengolahan seluruh hasil pertanian didasarkan konsep whole biomas biorefinery dan integrasi usaha pertanian-biodigester-biorefiner. Salah satu varians sistem pertanian bioindustri yang banyak diekspos ke permukaan adalah sistem pertanian bioindustri berbasis tanaman-ternak, salah satunya integrasi jagung-sapi potong.

Informasi keberhasilan integrasi jagung-sapi ini telah banyak diekspos melalui forum seminar, antara lain seperti yang diprakarsai Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan tahun 2004 dan tahun 2006. Pada intinya sistem integrasi tanaman ternak, terbukti memberikan beberapa keuntungan seperti terungkap dari paparan Diwyanto (2001; 2002); Pamungkas et al. (2006); Anggraeny et al. (2005); Aryogi et al. (1994); Rohaeni et al. (2004).

Keuntungan dari integrasi tanaman ternak tersebut, antara lain (1) Pemanfaatan potensi limbah tanaman sebagai pakan ternak; (2) Pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk organik; (3) Penciptaan lapangan kerja baru di perdesaan; dan (4) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan usaha agribisnis yang berdaya saing, ramah lingkungan dan mandiri.

Pertanyaannya, bagaimanakah peran kelembagaan tani dalam perspektif integrasi tanaman-ternak menuju sistem pertanian bioindustri berkelanjutan? dan bagaimanakah formulasi penguatan kelembagaan tani tersebut untuk mendukung sistem pertanian bioindustri berkelanjutan, berbasis integrasi tanaman-ternak?

Makalah bertujuan untuk mengelaborasi peran kelembagaan tani dalam perspektif integrasi tanaman-ternak menuju sistem pertanian bioindustri berkelanjutan dan memformulasikan penguatan kelembagaan tani untuk menjamin pelaksanaan sistem pertanian bioindustri berkelanjutan berbasis integrasi tanaman-ternak. Hasil pengkajian akan menjadi masukan bagi pemerintah daerah setempat dalam mengembangkan pertanian bioindustri berbasis integrasi tanaman-ternak.

MATERI DAN METODE

Pengkajian dilakukan di Kelurahan Cicurug, Kecamatan/Kabupaten Majalengka, pada awal tahun 2014, terhadap Kelompok Tani Jati Kersa pelaksana integrasi jagung dan sapi potong. Pengumpulan data melalui pemahaman perdesaan secara partisipatif (participatory rural appraisal = PRA) di wilayah kerja kelompok tani dan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion = FGD). Focus group discussion melibatkan 15 orang anggota kelompok tani dengan fokus membahas perspektif integrasi jagung-sapi potong menuju sistem pertanian bioindustri berkelanjutan. Materi diperkaya dengan hasil tinjauan pustaka.

Untuk menganalisis eksistensi

kelembagaan, digunakan structure conduct performance (Marion 1976) dan analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman atau analisis SWOT (strenghthening, weaknesses, opportunities, threats) mengikuti cara Alferd dalam Rangkuti (1999).

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksistensi dan kapabilitas kelompok tani

Kelompok tani merupakan salah satu wujud kelembagaan tani yang perannya sangat penting dalam mendukung kelancaran dan keberlanjutan kegiatan. Kinerja integrasi tanaman-ternak di Kelurahan Cicurug Majalengka ini juga erat kaitannya dengan kapabilitas kelompok tani yang menjadi aktornya.

Keberadaan Kelompok Tani Jati Kersa di lokasi pengkajian sejak 14 tahun lalu (tahun 2000), didorong oleh keinginan warga tani di Kelurahan Cicurug, Kecamatan Majalengka untuk memperbaiki dan meningkatkan kehidupannya. Peran Kelompok Tani Jati Kersa ini sudah teruji baik yang dibuktikan dengan adanya pengakuan dari berbagai pihak, diantaranya Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka, BP3K Kecamatan Majalengka dan BPTP Jawa Barat. Kelompok Tani Jati Kersa ini berada di posisi sebagai kelompok tani madya, artinya sudah relatif lebih maju, lebih tinggi kelasnya dari kelompok tani tingkat lanjut.

(3)

Wilayah kerja Kelompok Tani Jati Kersa mencakup hamparan seluas 35 ha lahan sawah, berada di dataran rendah pada ketinggian sekitar 141 m dpl. Kelompok tani ini secara keseluruhan beranggota 94 orang, dengan aktivitas beragam. Di antara jumlah anggota kelompok tani itu yang terlibat dalam integrasi tanaman-ternak tercatat ada 20 orang. Inventaris yang dimiliki kelompok tani adalah berupa corn sheler, traktor, timbangan, hand sprayer dan gudang saprodi masing-masing satu unit. Visi yang diemban kelompok tani ini adalah “Terwujudnya peningkatan pendapatan petani melalui pengembangan agribisnis jagung”.

Berdasarkan hasil evaluasi administratif dan implementasinya di lapangan diperoleh gambaran bahwa Kelompok Tani Jati Kersa telah berorientasi ke perbaikan ekonomi anggota. Indikasinya terlihat dari kemampuan kelompok menganalisis usahatani secara tertulis dan lengkap, serta perhitungannya benar. Di samping itu, kelompok tani ini juga sudah berperan menampung hasil usahatani anggota untuk dijual ke pasar, mampu memprediksi dinamika harga di tingkat pedagang besar. Anggota kelompok tani juga sudah merasakan nilai tambah dari kegiatan yang dikoordinasikan oleh pengurus kelompok tani.

Dari aspek teknis, semua anggota kelompok tani ini sudah menggunakan varietas unggul dalam usahataninya. Mutu benih yang digunakan setiap musim berlabel biru, pemupukan berimbang sesuai anjuran. Pola tanam sesuai anjuran, kemudian membuat saluran drainase dan melakukan penyiraman tanaman secara periodik. Disamping aspek ekonomi dan teknis tersebut, kelompok tani ini juga sudah menginisiasi kemitraan dengan lembaga penyedia agro input (benih, pupuk, pestisida), pemasaran hasil dan kelembagaan sosial lainnya yang relevan.

Keberhasilan kelompok tani ini tidak terlepas dari peran ketua kelompok tani yang aktif dan proaktif. Sejak tahun 2003 hingga 2011, ketua kelompok tani yang dipilih secara musyawarah mufakat ini telah mengikuti berbagai kegiatan peningkatan kapabilitas kepemimpinan kelompok tani. Diantaranya, pelatihan agriculture extention activities pada tahun 2003 dari proyek irigasi andalan Jawa Barat, mengikuti pendidikan dan pelatihan

terpadu tanaman pangan bagi kelompok tani pada tahun 2007 di Pusat Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian (PPMKP), pelatihan agribisnis palawija pada tahun 2007 di Balai Pelatihan Petani Provinsi Jawa Barat sebagai utusan Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat. Ia mendapat apresiasi dari Menteri Pertanian (2007) sebagai petani berprestasi dan dari Panglima Kodam III Siliwangi (2007) sebagai Petani Muda Indonesia (Anonim 2012).

Kelembagaan informal lainnya selain kelompok tani di wilayah pengkajian juga terdapat kelembagaan pasar input (sarana produksi), kelembagaan pasar hasil usahatani, pengolahan hasil dan penyuluh swakarsa. Sementara itu, kelembagaan yang sifatnya formal di bidang pertanian, diantaranya Kantor Cabang Dinas Pertanian dan Perikanan, Kantor BP3K, Penyuluh Pertanian PNS.

Keberhasilan usaha ternak tidak hanya ditentukan kinerja kelompok tani yang menjadi aktor kegiatan, akan tetapi juga dipengaruhi keberadaan kelembagaan pendukungnya seperti kelembagaan pasar. Pasar selain berperan mendukung aliran barang dari produsen kepada konsumen juga menunjukkan distribusinya (Kohl & Uhl 1990; Tjiptono 1998).

Keterlibatan lembaga pemasaran dalam pergerakan produk dari produsen kepada konsumen ada kaitan dengan proses pembentukan harga. Marjin terjadi karena biaya-biaya pemasaran (pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan dan lain-lain) dan keuntungan lembaga pemasaran (Hendayana & Wally 2004; Tomek & Robinson 1981; Dahl & Hamond 1977; Cramer & Jensen 1979).

Keberadaan kelembagaan pasar itu akan menjadi mediasi pemecahan masalah petani (Gunawan et al. 1989). Secara umum, kelembagaan merupakan fenomena sosial ekonomi yang berkaitan dengan hubungan antara dua atau lebih pelaku interaksi sosial ekonomi mencakup dinamika aturan-aturan yang berlaku dan disepakati bersama oleh para pelaku interaksi, disertai dengan analisis mengenai hasil akhir yang diperoleh dari interaksi yang terjadi. Kelembagaan itu dicirikan oleh adanya batas yurisdiksi, property right dan aturan representasi (Taryoto 1995; Pakpahan 1989).

(4)

Integrasi tanaman-ternak menuju pertanian bioindustri berkelanjutan

Integrasi tanaman-ternak di lokasi pengkajian berlangsung pada skala tanaman jagung lima hektar dan sapi PO 15 ekor. Tanaman jagung dikelola 20 orang petani anggota kelompok tani, yang berarti tiap petani mengusahakan lahan rata-rata sekitar 2.500 m2

atau 0,25 hektar. Sementara itu, sapi yang 15 ekor diusahakan oleh 13 orang diantara anggota kelompok. Artinya, sebaran pemilikan sapi tidak merata pada setiap anggota kelompok tani. Setiap anggota kelompok tani memiliki satu ekor dan ada satu orang di antaranya memiliki tiga ekor.

Peran kelembagaan dalam implementasi usaha tani jagung dan usaha ternak sapi di lokasi pengkajian ditunjukkan oleh adanya komitmen petani sebagai anggota kelompok tani mentaati peraturan yang dihasilkan kelompok tani. Peraturan kelompok tersebut merupakan refleksi kesepakatan semua anggota kelompok di bawah koordinasi ketua kelompok tani.

Konsep integrasi jagung-sapi yang dikembangkan di lokasi pengkajian didasarkan pada optimalisasi sumberdaya. Tanaman jagung, selain menghasilkan biji jagung yang menjadi produk utama juga menghasilkan limbah berupa jerami jagung, kelobot, tongkol. Dari ternak sapi, selain menghasilkan daging sapi sebagai produk utama juga menghasilkan kotoran. Limbah dari jagung dimanfaatkan untuk ransum pakan sapi dan kotoran sapi dimanfaatkan untuk pupuk tanaman jagung dan juga dijadikan biogas.

Pemanfaatan limbah tanaman oleh peternak sudah biasa dilakukan di pedesaan. Aryogi et al. (1994) mengidentifikasi sekitar 64,8-71,3% petani peternak di pedesaan yang memanfaatkan limbah tanaman untuk ternak. Di antara limbah yang dianggap paling tinggi gizinya dan disukai ternak adalah limbah jagung (Gohl 1981). Dibandingkan dengan jerami padi, posisi jerami jagung berada di posisi kedua. Menurut Sariubang & Pasambe (2006) limbah jagung yang diproduksi sebagai pakan ternak mencapai kisaran 2,1-6,0 BK/ha/panen, tergantung varietasnya. Varietas Bisma menghasilkan biomas 3,2 ton BK/ha/panen (Yusran 2000).

Pamungkas et al. (2006) mengutip Rohaeni (2005), mengungkapkan potensi limbah jagung lokal dari daun dan batang segar bisa mencapai 12,2 ton/ha di Kalimantan Selatan, di Sumba Timur bahkan mampu menghasilkan batang dan klobot jagung 2.700 ton kering per tahun dengan potensi tongkol jagung 320 ton kering per tahun (Hardianto 2005).

Jagung di lokasi pengkajian ditanam pada MK I dan atau MK II setelah padi dengan pola tanam padi-jagung-jagung dan atau padi-padi-jagung. Pada pola tanam yang pertama, hasil jagung yang diutamakan bukan pipilan kering, tetapi jagung rebus. Alasan petani memanen jagung rebus karena agar dapat mengusahakan jagung kedua. Varietas jagung yang pertama diusahakan adalah varietas Bima-14, tetapi karena kebutuhan varietas Bima-14 tidak mencukupi kebutuhan, petani beralih menanam jagung varietas P-21.

Dari pengalaman tahun 2013, setiap satu hektar tanaman jagung menghasilkan limbah tongkol jagung 4,02 ton untuk varietas P-21 dan 7,86 ton/ha untuk jagung Bima-14. Setiap satu ton tongkol jagung dapat digunakan sebagai pakan sapi 2 kg/ekor/hari. Sapi yang diberi pakan fermentasi tongkol jagung dapat mendorong pertambahan bobot badan harian (PPBH) sapi sekitar 0,88 kg/ekor/hari sedangkan sapi tanpa tambahan pakan dari tongkol jagung PPBH-nya 0,55 kg/ekor/hari. Artinya, penambahan tongkol jagung pada ransum pakan sapi memberikan tambahan sekitar 0,33 kg/ekor/hari (BPTP Jawa Barat 2013).

Pemanfaatan tongkol jagung untuk formulasi pakan ternak terlebih dulu melalui proses pencacahan dan fermentasi. Dalam jumlah banyak, pencacahan tongkol tersebut memerlukan mesin pencacah yang tentu memerlukan biaya modal. Dalam hal ini, pengadaan mesin pencacah tongkol jagung merupakan bantuan dari pemerintah daerah sehingga petani tidak mengeluarkan biaya pembelian mesin. Biaya yang dikeluarkan hanya untuk bahan bakar.

Sapi yang diusahakan petani jenisnya terdiri dari Cross Limosin, Cross Simmental, Limousin, Simmental dan Peranakan Ongole. Dari limbah sapi, petani mendapatkan limbah padat (kotoran) dan limbah cair (urine). Namun, pemanfaatan oleh petani masih terbatas hanya memanfaatkan limbah padat

(5)

untuk pupuk setelah diproses menjadi kompos. Bukan hanya itu, petani belum dengan intensif menghitung produk limbah padat ini, terlebih lagi limbah cairnya. Petani anggota Kelompok Tani Jati Kersa belum mendapatkan pengetahuan pemanfaatan urine yang dapat dimanfaatkan langsung pada tanaman atau dijual secara komersial.

Dari uraian di atas, tertangkap kesan bahwa integrasi jagung sapi di lokasi pengkajian belum dijalankan secara optimal. Indikator belum optimalnya integrasi jagung sapi di lokasi pengkajian dilihat dari masih adanya limbah jagung yang belum termanfaatkan dan di sisi lain, limbah padat dan cair sapi yang berpotensi dimanfaatkan untuk kompos dan atau biogas belum dikerjakan sehingga peluang peningkatan nilai tambah dan peningkatan kualitas produk yang menjadi ciri dari pertanian bioindustri di lokasi ini peluangnya masih terbuka luas.

Penguatan kelembagaan tani

Dengan memahami struktur kelompok tani, implementasi kegiatan kelompok tani di lapangan yang mencerminkan keragaan kelompok tani (structure-conduct performance) terdapat beberapa keunggulan yang dimiliki kelompok tani, namun juga masih ada aspek yang masih perlu ditingatkan kinerjanya.

Melalui penelaahan terhadap kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman kelompok tani diperoleh indikasi kekuatan kelompok tani pada unsur-unsur sebagai berikut:

- Aksebilitas kelompok tani sangat kondusif. Sebagai daerah dengan status kelurahan, menunjukkan daerah ini dekat ke sumber pertumbuhan perekonomian/perkotaan.

- Wilayah kerja kelompok tani terbuka dalam arti komunikasi dengan lingkungan luar sangat mendukung.

- Apresiasi masyarakat tani di lingkungan ini cukup baik, terbukti banyaknya warga yang mau bergabung dalam kegiatan kelompok tani.

- Kepengurusan organisasi kelompok tani cukup manageable. Pengelolaan kelompok cukup baik terbukti dari apresiasi aparat pemerintah daerah yang baik.

-Stuktur organisasinya yang mantap, prestasinya sudah nyata, didukung kelengkapan administrasi yang baik.

Dari sisi kelemahannya, tidak teridentifikasi secara nyata karena tertutup dengan kekuatan yang dimiliki. Namun, yang nyata dihadapi kelompok tani ini adalah adanya ancaman keberlanjutan ke depan. Anggota masyarakat yang bergabung di kelompok tani mayoritas di atas usia yang menjelang tidak produktif. Total anggota kelompok tani yang berada pada usia produktif (30-55 tahun) tercatat sebanyak 40% dari 90 orang. Sisanya yang 60% tergolong usia tidak produktif (>55-62 tahun). Generasi muda yang tergabung dalam kelompok masih sangat sedikit dan tidak terjadi regenerasi. Kegiatan kelompok tani, tampaknya belum memiliki daya tarik bagi generasi muda untuk bergabung. Disamping faktor usia petani, penguasaan lahan di kelurahan ini relatif sempit (rata-rata 0,25 ha).

Dalam konteks mengarahkan kegiatan integrasi tanaman-ternak menuju sistem pertanian bioindustri di wilayah ini, penguatan kelembagaan menjadi faktor utama yang perlu mendapat perhatian.

Dengan asumsi petani anggota kelompok tani sudah memahami manfaat integrasi tanaman-ternak, maka langkah penguatan kelembagaan yang diperlukan untuk mendukung sistem pertanian bioindustri berkelanjutan lebih ditunjukkan pada perlunya revitalisasi dan reorientasi kelompok tani.

Kegiatan kelompok tani lebih difokuskan pada upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang dihasilkan dari tanaman jagung dan usaha ternak ke arah perolehan nilai tambah. Petani tidak hanya berorientasi mendapatkan pendapatan dari menjual biji jagung dan menjual sapi. Akan tetapi, orientasi sumber pendapatannya bisa juga diperoleh dari pemanfaatan limbah dari tanaman jagung berupa jerami jagung, batang, daun, kelobot dan tongkol jagung serta limbah dari usaha ternak berupa limbah padat dan limbah cair.

Limbah padat, selain dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik juga dapat menghasilkan biogas. Orientasinya tidak hanya untuk digunakan sendiri, tetapi dapat dikomersialkan. Demikian juga dengan limbah

(6)

cair berupa urine yang dapat oleh menjadi urine yang sangat bermanfaat, selain untuk pupuk cair juga sebagai biopestisida. Seperti halnya limbah padat, biourine ini selain untuk digunakan sendiri juga dikomersialkan.

Penguatan kelembagaan tani berikutnya yang dapat dilakukan adalah pengelolaan kelompok tani yang profesional, selain mampu memenuhi prinsip kebutuhan juga disesuaikan dengan kondisi lingkungan sosial budaya setempat, meningkatkan partisipasi anggota kelompok tani. Dengan demikian, daya tarik kelompok tidak terbatas pada kelompok petani usia tua tetapi juga pemuda calon petani.

Penumbuhan kelembagaan harus melibatkan para petani di lingkungan setempat, sehingga selain dapat mengakomodasi aspirasi petani, pengembangan yang dibangun secara partisipatif akan mampu membangun rasa kepedulian dan kepemilikan serta proses melalui bekerja bersama.

Kelompok tani harus lebih akomodatif, tetapi tetap mengedepankan pemenuhan kebutuhan petani anggota kelompok tani. Selanjutnya upayakan menjadi kelompok mandiri dalam arti mampu mendorong peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok tani. Kemitraan yang sudah terjalin dapat ditingkatkan lebih intens lagi, melibatkan lebih banyak lagi pemangku kepentingan (stakeholders), seperti penyedia sarana produksi, tokoh-tokoh masyarakat tani, dunia usaha, perguruan tinggi dan instansi sektoral terkait dalam setiap kegiatan.

Prinsip dasar pengembangan kelembagaan tani tetap mengacu pada prinsip kebutuhan, efektivitas, efisiensi, fleksibilitas, asas manfaat, pemerataan dan keberlanjutan. Untuk memenuhi kebutuhan, kelompok tani agar dibangun berdasarkan kebutuhan secara fungsional dan keberadaannya jangan di paksakan. Kelembagaan tani itu hanyalah sebuah alat, bukan tujuan. Sebagai sebuah alat, maka elemen kelembagaan yang dikembangkan haruslah efektif untuk mencapai tujuan. Terkait prinsip efisiensi, penumbuhan elemen kelembagaan harus dipilih opsi paling efisien, yaitu relatif murah, mudah dan sederhana namun tetap mampu mendukung pencapaian tujuan. Pengembangan kelembagaan tani disesuaikan dengan sumberdaya yang tersedia dengan tetap berbasis budaya setempat.

KESIMPULAN

1. Penguatan kelembagaan tani menjadi faktor penentu keberlanjutan sistem pertanian bioindustri berbasis integrasi tanaman jagung dan ternak sapi di Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Langkah penguatan kelembagaan tani diantaranya perlu dilakukan melalui revitalisasi kelembagaan tani ke arah yang lebih efektif, lebih akomodatif dan proaktif. 2. Untuk menjamin berlangsungnya sistem

pertanian bioindustri di lokasi pengkajian, diperlukan fasilitas pelatihan petani, penciptaan akses permodalan dan fasilitasi sarana dan prasarana pelaksanaan integrasi tanaman-ternak.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeny YN, Umiyasih U, Pamungkas D. 2005. Pengaruh suplementasi multinutrien terhadap performans sapi potong yang memperoleh pakan basal jerami jagung. Dalam: Mathius IW, Bahri S, Tarmudji, PrasetyoLH, Triwulanningsih E, Tiesnamurti B, Sendow I, Suhardono, penyunting. Inovasi teknologi peternakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan nasional. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12-13 September 2005. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 147-152.

Anonim. 2012. Profil Kelompok Tani Jati Kersa. dalam rangka penerimaan penghargaan peningkatan motivasi kelompok tani berprestasi tahun 2012. Majalengka (Indonesia): Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka.

Aryogi, Wardhani NK, Musofie A. 1994. Pola penyediaan hijauan pakan ternak di daerah sentra pemeliharaan sapi perah di dataran tinggi di Jawa Timur. Dalam: Prosiding dan Pertemuan Ilmiah Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Pasuruan (Indonesia): Sub Balai Penelitian Ternak.

BPTP Jawa Barat. 2013. Model pengembangan pertanian perdesaan melalui inovasi berbasis integrasi tanaman jagung-sapi potong di Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat. Lembang (Indonesia): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Jawa Barat. Cramer GL, Jansen CW. 1979. Agricultural

(7)

(USA): An introduction. John Willey & Sons, Inc.

Dahl D, Hamond JW. 1977. Market and price analysis.the agricultural industries. New York (USA): Mc Graww Hill.

Diwyanto K. 2001. Model perencanaan terpadu: proyek integrasi tanaman ternak (crop livestock system). Bahan diskusi. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak.

Diwyanto K. 2002. Pemanfaatan sumberdaya lokal dan inovasi teknologi dalam mendukung pengembangan sapi potong di Indonesia. Orasi APU. Jakarta (Indonesia): Balitbangtan. Gohl N. 1981. Tropical feed. 2nd ed. Rome (Italy):

Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Gunawan M, Pakpahan A, Pasandaran E. 1989. Perubahan kelembagaan pertanian pada pascaadopsi padi unggul. Dalam: evolusi kelembagaan pedesaan di tengah perkembangan teknologi pertanian. Prosiding Patanas. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian Agro Ekonomi.

Hardianto R. 2005. Studi potensi pengembangan industri pakan dari bahan baku lokal di Kabupaten Sumba Timur. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi dan Kelembagaan Agribisnis Tahun 2004. Jakarta (indonesia): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Hendayana R, Wally F. 2004. Analisis kelembagaan pasar input dan output usaha ternak rakyat. [Internet]. [Sitasi 20 Juni 2014]. Tersedia dari http://download.portalgaruda.org/article.php?a rticle=13057&val=926&title=ANALISIS%20 KELEMBAGAAN%20PASAR%20INPUT% 20DAN%20OUTPUT%20USAHA%20TERN AK%20RAKYAT

Kohls RL, Uhl JN. 1990. Marketing of agricultural products. 7th ed. New York (USA): MacMillan Publishing Company.

Marion BW. 1976. Application of the structure, conduct performace paradigm to subsector analysis. Ottawa (Canada): University of Winconsin.

Pakpahan A. 1989. Kerangka analitik untuk penelitian rekayasa sosial: Perspektif ekonomi institusi. Dalam: evolusi kelembagaan pedesaan di tengah perkembangan teknologi pertanian. Prosiding Patanas. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Pamungkas D, Romjali E, Anggraeny YY. 2006.

Peningkatan mutu biomas jagung menunjang penyediaan pakan sapi potong sepanjang tahun. Dalam. Diwyanto K, Subandriyo, Inounu I, Djajanegara A, Haryanto B, Priyanti A, penyunting. Prosiding Lokakarya Nasional:

Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung-Sapi, Pontianak 9-10 Agustus 2006, Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 142-148.

Rangkuti F. 1999. Analisis SWOT teknik membedah kasus bisnis. Reorientasi konsep perencanaan strategis untuk menghadapi abad 21. Jakarta (Indonesia): Gramedia.

Rohaeni ES, Subhan A, Amali N, Sumanto, Darmawan A. 2004. Kontribusi pendapatan pemeliharaan ternak sapi dalam sistem integrasi jagung dan ternak sapi di lahan kering. Dalam: Thalib A, Sendow W, Purwadaria T, Tarmudji, Darmono, Triwulanningsih E, Beriajaya, Natalia L, Nurhayati, Ketaren PP, Priyanto D, Iskandar S, Sani Y, penyunting. Iptek sebagai motor penggerak pembangunan sistem dan usaha agribisnis peternakan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4-5 Agustus 2004. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm.186-194.

Sariubang M, Pasambe D. 2006. Sistem integrasi tanaman jagung-sapi potong di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Dalam: Mathius IW, Sendow I, Nurhayati, Murdiati TB, Thalib A, Beriajaya, Prasetyo LH, Darmono, Wina E, penyunting. Cakrawala baru IPTEK menunjang revitalisasi peternakan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 5-6 September 2006. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 285-291.

Suswono. 2014. Kementan siapkan pembangunan pertanian bioindustri. [Internet]. [Disitasi 20 Juni 2014]. Tersedia dari http://www.antaranews. com

Simatupang P. 2014. Sekilas tentang konsep sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan. Bahan diskusi. Jakarta (Indonesia): Balitbangtan. Taryoto AH. 1995. Analisis kelembagaan dalam

penelitian sosial ekonomi pertanian. Dalam: Taryoto AH et al., penyunting. Kelembagaan dan prospek pengembangan beberapa komoditas pertanian. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.

Tjiptono F. 1998. Strategi pemasaran. Yogyakarta (Indonesia): Penerbit Andi.

Tomek WG, Robinson KL. 1981. Agricultural product prices. 2nd ed. London (UK): Cornell University Press.

Yusran MA, Rasyid A, Aryogi, Umiyasih U. 2000. Pengkajian pertanaman lorong glirisida

dengan jagung. Prosiding Seminar Hasil. Malang (Indonesia): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso.

Referensi

Dokumen terkait

Komposisi dewan komisaris merupakan salah satu karakteristik dewan yang berhubungan dengan informasi laba.Melalu perannya dalam menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan

Artinya semakin baik persepsi wajib pajak orang pribadi usahawan atas pelaksanaan self assessment system akan membuat sanksi pajak semakin rendah atau wajib pajak cenderung

mengajar kelas pendidikan khas masalah penglihatan, guru ICT, guru data, guru bestari, warden, penasihat pengakap.. 93 Dapatan kajian dibahagikan kepada tiga tema iaitu

Penelitian hasil perbaikan dimaksud tidak perlu dilakukan apabila pasangan calon yang di dukung oleh partai politik atau gabungan partai politik tidak ada

Rataan jumlah daun per rumpun (helai) tiga varietas bawang merah 2 sampai 7 MST pada pemberian beberapa jenis pupuk organik disajikan pada Tabel 2...

 Agar tidak mengganggu kontinuitas produksi daun serai wangi, peremajaan dapat dilakukan dengan cara menanaman bibit baru pada sela-sela atau tengah barisan

pemilihan yang sesuai agar tipografi dapat mereperesentasikan identitas lembaga. Huruf yang sudah didesain dengan perhitungan yang sangat akurat dan dibentuk dengan

Hal-hal apakah yang penting yang harus kita ketahui tentang dunia di sekitar kita, gereja dan kehidupan pribadi setiap orang kristen yang telibat dalam pelayanan untuk berdoa