• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMUNIKASI PARIWISATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOMUNIKASI PARIWISATA"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

(4)

Penerbit

Taman Karya Pekanbaru

2020

KOMUNIKASI PARIWISATA

Tata Kelola Pengembangan Pulau Rupat Utara

sebagai Destinasi Wisata Unggulan

(5)

KOMUNIKASI PARIWISATA Tata Kelola Pengembangan Pulau Rupat Utara

sebagai Destinasi Wisata Unggulan Penulis

Dr. Noor Efni, M.Si Editor Zulkarnaini, S.Sos, M.Si

Sampul Syamsul Anwar Perwajahan arnain ’99 Cetakan I Oktober 2020 Penerbit TAMAN KARYA Anggota IKAPI Puri Alam Permai C/12 Pekanbaru

E-mail: arnain.99@gmail.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku tanpa isin tertulis dari Penerbit

(6)

PRAKATA

Alhamdulillah, berkat rahmat dan ridha Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan buku dengan judul “Komunikasi Pariwisata: Tata Kelola Pengembangan Wisata Pulau Rupat Utara sebagai Destinasi Wisata” dengan baik, lancar dan sesuai dengan target. Buku ini menarik untuk diterbitkan karena dunia pariwisata dengan segala kompleksitasnya merupakan kajian yang layak dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat yang bersangkutan.

Pariwisata Pulau Rupat telah ditetapkan menjadi daerah Ka-wasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) sesuai dangan Undang-undang No. 50 Tahun 2011, karena merupakan salah satu pulau terluar Indonesia yang berhadapan dengan Malaysia, memiliki pantai yang indah sekaligus pasir putih terpanjang di Indonesia (+17 km), dan desa wisata budaya (zapin api dan mandi safar) yang memiliki nilai jual yang eksotis. Jika wisata ini ditangani dengan baik dapat meningkatkan perekonomian masyarakat yang bersangkutan.

Buku ini dapat diselesaikan tidak terlepas dari dukungan baik langsung maupun tidak langsung dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya ke-pada Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Keke-pada Masyarakat (LPPM) Universitas Riau Bapak Prof. Dr. Almasdi Syahza, SE., MP

(7)

yang telah memberikan dukungan baik pendanaan maupun fasilitas yang terkait dengan penelitian ini. Selanjutnya kami juga berterima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Dr. Syafri Harto, M.Si yang telah mendukung dan memfasilitasi penelitian ini, serta pihak-pihak lain seperti, Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Kabupaten Bengkalis dan kelompok sadar waisata (POKDAR-WIS) Pulau Rupat Utara dan pihak-pihak lain yang tidak kami se-butkan satu persatu.

Buku ini tentu saja masih banyak kelemahan atau ketidak-sempurnaan dalam penyajiannya, oleh karena itu mohon saran dan kritikan demi sempurnanya hasil yang diharapkan pada masa-masa mendatang .

Pekanbaru, September 2020

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... 5

DAFTAR ISI ... 7

BAB I PENDAHULUAN ... 9

BAB II TATA KELOLA,DESTINATION BRANDING, DAN KOMUNIKASI PARIWISATA... 15

2.1 Tata Kelola. ... 15

2.2Destination Branding... 16

2.3 Strategi Komunikasi Pariwisata ... 17

2.4 Roadmap. ... 18

BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM ... PENGEMBANGAN PULAU RUPAT UTARA 21 3.1 Posisi dan Ketentuan Pulau Rupat Utara ... 21

3.2 Rancangan Strategi Pengembangan Pulau Rupat Utara 25 3.3Place Branding Pulau Rupat Utara ... 31

BAB IV UPAYA PENGEMBANGAN PULAU RUPAT UTARA SEBAGAI WISATA BUDAYA ... 32

4.1 Membangun Ruang Publik sebagai Wisata Budaya 32 4.2 Pemetaan Infrastruktur terhadap Perkembangan Wisata Budaya dan Sektor-sektor Lainnya ... 51

(9)

BAB VKOMUNIKASI DALAM PENGEMBANGAN ..

DESTINASI WISATA PULAU RUPAT UTARA ... 57

5.1 Pesona Wisata Pulau Rupat Utara ... 57 5.2 Keterlibatan Masyarakat Lokal dalam Program

Destination Branding di Pulau Rupat Utara ... 61 5.3 Pengelolaan Kesenian Tradisional sebagai

Daya Tarik Wisata Budaya di Pulau Rupat Utara 71 5.4 Sarana dan Strategi Komunikasi dalamDestination

BrandingPariwisata di Pulau Rupat Utara ... 85 5.5 Teknik PromosiDestination BrandingPariwisata

di Pulau Rupat Utara ... 92 BAB VI PENUTUP ... 101 DAFTAR PUSTAKA ... 105

(10)

Sektor pariwisata yang merupakan salah satu penunjang utama keberlangsungan hidup sebuah masyarakat kini mulai bergeser dari

industrial perspective menuju kecultural perspective (Stebbins, 2006). Wisata budaya atau turisme kultural tidak hanya menciptakan kontak antara turis (orang asing) dengan orang atau wilayah baru, tetapi me-nghadapkan mereka dengan budaya baru, yang berlainan, memper-temukan mereka dengan orang-orang yang menjadi bagian dari komunitas atau masyarakat etnis tertentu (Xie, 2010). Komponen yang terlibat dalam bidang ini tidak hanya pemerintah, pelaku bisnis dan turis, tetapi yang terpenting adalah juga masyarakat etnis yang mendiami wilayah objek wisata kultural tertentu.

Secara luas,cultural tourism didefinisikan sebagai semua per-gerakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan keragaman, meningkatkan level kultural, dan menambah pengetahuan, penga-laman dan pertemuan-pertemuan baru. Sementara itu, secara khusus

cultural tourism adalah pergerakkan orang-orang yang didorong oleh motivasi kultural yang berbentuk study tour, kunjungan ke per-tunjukan seni dan festival-festival budaya, kunjungan ke situs-situs budaya dan monumen, desa wisata dan perjalanan yang sifatnya ziarah (Prohaska, 2005).

Dalam perspektif etnografi,cultural tourism merupakan turisme minat khusus yang menekankan pada partisipasi pengunjung pada

BAB I

(11)

pengalaman kultural yang dalam dan baru yang bisa berbentuk pengalaman estetik, intelektual, emosional atau psikologis (Reisinger, 2004). Secara antropologis, kultur di sini merujuk pada ritual, upacara, tari dan pertunjukkan yang dipersembahkan warga lokal kepada turis atau pengunjung (Fridgens, 2006).

Pergeseran perspektif turisme dari yang industrial ke kultural ini juga terjadi di Indonesia. Bahkan, aspek kultural merupakan penggerak utama dunia wisata di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Sanger (1988) tentang desa wisata di Bali khususnya dalamevent

pertunjukkan Tari Barong merupakan satu contoh studi yang meng-uraikan urgensi dan signifikansi wisata kultural di Indonesia. Apa yang diupayakan di Bali, kemudian dikembangkan pula di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satunya Propinsi Riau, dengan mengusung wisata budaya Melayu. Selain wisata alam dan wisata bahari yang menonjol, wisata kuliner, wisata konvensi, wisata sejarah dan wisata ziarah yang merupakan bagian dari wisata budaya terus ditingkatkan kualitasnya demi menarik wisatawan untuk datang berkunjung.

Pemerintah Provinsi Riau akhir-akhir ini bergiat untuk men-jadikan beberapa wilayahnya sebagai destinasi terutama wisata budaya, salah satunya adalah Pulau Rupat. Pulau ini secara administratif berada di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau yang memiliki luas sekitar 1.500 km2 dan dihuni sekitar 47 ribu penduduk, terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Rupat dan Rupat Utara. Kecamatan Rupat Utara inilah yang sedang dikembangkan menjadi daerah wisata, baik alam maupun terutama wisata budaya. Sebagai kawasan terluar Indonesia, pembangunan Pulau Rupat juga menjadi perhatian dan prioritas Pemerintah Republik Indonesia. Contoh nyatanya bertempat di Desa Pangkalan Nyirih, Kecamatan Rupat, pada 15 Oktober 2009, ketika Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Republik Indonesia ketika itu secara resmi telah mencanangkan dimulainya pembangunan Kota Terpadu Mandiri (KTM) Pulau Rupat.

Penelitian ini difokuskan di Pulau Rupat Utara, karena wilayah ini memiliki berbagai potensi wisata, baik wisata bahari maupun wisata budaya, hal ini dapat kita ketahui dari pantai pasir putih(the longest

(12)

white sandy beach island)yang indah dan terpanjang di Indonesia (17 km) terbentang berhadapan langsung dengan Malaysia. Oleh karena itu akhir-akhir ini pemeritah pusat, provinsi, dan kabupaten berse-mangat mengembangakan pariwisata ini sebagaidestination branding. Beberapa upaya yang telah dilakukan mulai dari wisata pantai (eventful public space) yang rutin diselenggarakan oleh masyarakat tersebut, dan berbagai atraksi kesenian tradisional, seperti mandi safar dan tari zapin api yang merupakan kesenian daerah yang unik dan merupakan satu-satunya di dunia terus ditingkatkan kualitasnya demi menarik wisatawan untuk datang berkunjung.

Pulau Rupat Utara identik wisata air dengan pasir putih yang sangat bersih dan kawasan ekologi yang khas. Salah satu pantai yang dikenal adalah Pantai Pesona yang memanjang dari timur ke barat dan berhadapan langsung dengan Tanjung Rusa di Port Dickson, Malaysia. Dari pantai ini, kapal-kapal nasional dan internasional yang melintas dapat terlihat. Pantai ini juga dimanfaatkan untuk kegiatan yang sifatnya leisureness, seperti voli pantai, berjemur, berenang, menyelam, bahkan berselancar. Pantai pesona ini juga termasuk salah satu dari lima daerah unggulan wisata dalam Master Plan Pariwisata Nasional untuk Provinsi Riau di samping, Candi Muara Takus, Istana Kesultanan Siak, Bukit 30 dan Kota Pekanbaru.

Dalam konteks pariwisata, apa yang tengah diupayakan peme-rintah adalah menjadikan Rupat Utara sebagaidestination branding, atau lebih spesifik lagi wilayah di mana terdapat seperangkat wisata, kombinasi antara alam dan budaya lokal menjadikan pulau ini memiliki nilai jual yang tinggi, yang berujung pada peningkatan ekonomi lokal. Berbagai fasilitas pendukungpun sudah dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Bengkalis dan Pemerintah Provinsi Riau, seperti akses jalan dan dermaga pelabuhan fery penyeberangan. Pemerintah juga akan memperbanyak penginapan sederhana (home stay), membuat paket wisata serta menciptakan keamanan, ketertiban dan kebersihan secara umum.

Selain wisata air, bahari dan pantai, Pulau Rupat Utara juga memiliki wisata budaya yang merupakan sifat utama yang mendukung identitas wilayah sebagaidestination branding. Yang paling terkenal

(13)

antara lain pertunjukkan tarian Zapin Api, atau menari di atas bara api, yang merupakan tarian khas Melayu di Kabupaten Bengkalis, dan hanya bisa ditemukan di Rupat Utara. Namun demikian, dibanding-kan dengan pengembangan jenis wisata yang lain, wisata budaya ini masih sangat terbatas eksplorasinya. Padahal, melihat karakter dan situasi Pulau Rupat sendiri, wisata budaya juga perlu ditingkatkan.

Wisata air ini menjadi salah satu tonggak utama, mengingat Pulau Rupat Utara merupakan salah satu pulau terluar yang berbatasan langsung dengan area mancanegara seperti Malaysia, dan terletak di Selat Malaka yang merupakan daerah perairan internasional yang sangat ramai. Pemerintah Provinsi Riau juga telah sepakat dengan Peme-rintah Kabupaten Bengkalis, akan menjadikan Tanjung Medang (salah satu pantai di Pulau Rupat) sebagai pintu masuk wisatawan manca-=negara. Kedatangan wisatawan asing ini seharusnya juga disambut dengan suguhan kultural yang dominan. Namun, program ini belum menyuguhkan unsur budaya Melayu dengan maksimal.

Mengacu pada penjelasan di atas, maka yang menjadi perta-nyaan adalah bagaimana menata kelola Pulau Rupat Utara sebagai

destination brandingKabupaten Bengkalis? Untuk menata kelola pu-lau ini melibatkan beberapa komponen tidak hanya pemerintah sebagai pembuat kebijakan, pelaku bisnis dan turis, tetapi yang terpenting adalah juga masyarakat etnis yang mendiami wilayah objek wisata kultural yang bersangkutan. Selain itu juga bagaimana mensinkronisasi aspek-aspek tersebut, dan bagaimana mengoptimalkan keterlibatan masyarakat dalam pengembangan Pulau Rupat Utara ini sebagai

destination branding.

Untuk menguraikan berbagai masalah ini telah dilakukan kajian sebelumnya, yaitu menelusuri Undang-undang dan peraturan yang sudah disusun, penataan atau ruang publik sebagai pintu gerbang buadaya, rancangan-rancangan infrastruktur sebagai upaya untuk men-jadikan Pulau Rupat sebagai destination branding. Untuk keber-lanjutan kajian ini penulis bertujuan untuk menelusuri, menemukan dan mendeskripsikan beberapa poin terkait dengan pengembangan wisata di Pulau Rupat Utara.

(14)

Buku ini secara garis besar memfokuskan masalah-masalah ter-sebut untuk kemudian menguraikan berbagai kemungkinan penataan untuk meningkatkan keefektifan program destination branding di Pulau Rupat Utara. Penulis berasumsi bahwa programdestination branding

di sini masih lemah, karena ditentukan sejauh mana partisipasi mas-yakarat lokal setempat dalam seluruh program tersebut. Dengan berbagai persoalan yang muncul tersebutlah menjadi motivasi sekaligus yang melatarbelakangi penulisan buku ini.

(15)
(16)

BAB II

TATA KELOLA,

DESTINATION BRANDING

,

DAN KOMUNIKASI PARAWISATA

2.1 Tata Kelola

Tata kelola adalah sebuah istilah yang menunjukan sebuah pe-ngelolaan, mengelola, menata, atau memenej. Jadi tata kelola disini berarti menata ulang atau memenej kembali hal-hal yang sudah dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian ini tata kelola atau menata kelola kembali pengembangan Pulau Rupat dimulai dari proses pengembangan potensi budaya. Mengembangkan potensi budaya tersebut berarti mengembangkan nilai ekonomi dari produk unggulan budaya lokal. Tahap selanjutnya adalah tahap pengembangan yang merupakan kelanjutan dari tahap penggalian potensi-potensi budaya yang ada di Pulau Rupat. Produk-produk budaya dapat dikembangkan dengan penyediaan daya dukung yang dapat meningkatan nilai seni budaya sekaligus nilai-nilai ekonomi.

Tahapan terakhir adalah aktualisasi tata kelola pengembangan Pulau Rupat sebagaidestination branding yang merupakan manifestasi atas tahap pengembangan yang sudah dilakukan. Tahapan ini akan melibatkan aktor-aktor pelaksana baik perangkat daerah, pembuat kebijakan dan pengemangan sebagai pelaksana kebijakan tersebut. Tata kelola juga membutuhkan dukungan dan komitmen semua pihak yang terlibat untuk mencapai suatu pengelolaan yang terpadu dalam upaya melestarikan budaya lokal sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal setempat.

(17)

Untuk menata kelola kembali Pulau Rupat Utara sebagai

destination branding yang telah dan tengah dilakukan, peran teknologi komunikasi menjadi sangat vital. Perkembangan teknologi ko-munikasi dan informasi juga menjadi suatu peluang bagi pengem-bangan tata kelola pulau ini untuk meluaskan jaringan promosi budaya lokal dan mempermudah usaha-usaha pemasaran sosial terhadap aktivitas-aktivitas budaya lokal yang diadakan di suatu daerah.

2.2 Destination Branding

Istilahdestination branding merupakan petunjuk dalam me-ngembangkan strategi yang juga kerangka evaluasi untuk menilai keberhasilanbranding suatu daerah tujuan wisata (Blain, Levy, dan Ritchie, 2005: 78). Secara umum,destination branding dipahami se-bagai keseluruhan aksi untuk membangun citra positif atas sebuah wilayah dan mengomunikasikan aksi tersebut kepada berbagai kel-ompok yang menjadi sasaran melalui visual, naratif, event, baik yang bersifat lokal dan internasional untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan yang bisa dikompetisikan dengan kota lain (Kavaratzis, 2008).

Kavaratzis (2004:53-54) menjelaskan bahwa konsepdestination branding itu didasarkan pada pemahaman bahwa wilayah menyerupai sebuah institusi tertentu karena kompleksitas identitas yang ada di dalamnya, beserta berbagai stakeholders dan tanggung jawab serta aturan-aturan sosial di dalamnya. Oleh karena itu, sebuah wilayah bisa dikembangkan dan dipromosikan selayaknya sebuah institusi atau perusahaan tertentu. Seperti halnya produk yang dipasarkan dengan

brand tertentu, berbagai aspek sebuah wilayah juga bisa dipasarkan demikian. Misalnya, wilayah bisa dipromosikan sebagai tempat untuk tinggal, bekerja atau destinasi yang layak dikunjungi dan bahkan tempat untuk berinvestasi (Kavaratzis, 2005).

Secara umum,destination branding memiliki berbagai tujuan, yang antara satu dengan lainnya berbeda-beda. Beberapa kota me-ngatakan destination branding untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi, sementara yang lainnya untuk meningkatkan aspek-aspek

(18)

sosial budayanya. Kavaratzis sendiri mengutamakandestination bran-ding sebagai upaya yang dikaitkan utamanya dengan aktivitas yang bisa meningkatkan kualitas hidup warga setempat. Pengertian dari Kavaratzis (2005) inilah yang akan digunakan untuk melandasi pene-litian ini. Jadi,destination branding Pulau Rupat Utara dilakukan demi meningkatkan taraf hidup masyarakat pengusung budaya Melayu yang menempatinya.

Morgan & Pritchard (2004 : 69) menyebutkan bahwa ada lima langkah untuk melaksanakan destination branding dalam merubah citra sebuah wilayah, antara lain:Market investigation, analysis and strategic recommendations. Langkah ini ini bertujuan untuk melaku-kan penelitian dalam pemetaan potensi pasar, apa saja yang dapat di-kembangkan, dan merencanakan strategi yang sesuai dalam mengem-bangkan destinasi.

Dalam konteks penelitian ini, Pulau Rupat Utara dibranding bukan hanya sebagai tempat tetapi juga melalui produk-produk budaya Melayu yang dihasilkan masyarakatnya. Selain itu, diharapkan bisa menjadicreative city bagi masyarakat tersebut danexperience city

bagi turis yang datang mengunjunginya.

2.3 Strategi Komunikasi Pariwisata

Cultural tourism is such a tourism product in which the moti-vation of the tourist (providing the supply side) is getting acquainted with new cultures, participate in cultural events and visiting cultural attractions and the demand side’s core element is the peculiar, unique culture of the visited destination”. (Michalkoì & Raìtz, 2011). Selanjutnya menurut Czapo (2011), ada beberapa tipe cultural tourism, yakni heritage tourism, cultural thematic routes, cultural city tourism/ cultural tours, traditional or ethnic tourism, event and festival tourism, religious tourism and pilgrimage routes, and creative tourism.

Berdasarkan pembagian di atas, maka wisata budaya di Pulau Rupat terutama yang tengah mendapat perhatian khusus pemerintah yakni Festival Mandi Safar dan Tari Zapin Api termasuk secara bersamaan traditional or ethnic tourism dan event and festival tourism.

(19)

Dua even kultural di Pulau Rupat ini merupakan produk budaya masyarakat atau etnis lokal yang mendiami pulau tersebut yang juga mencerminkan identitas mereka. Sebagai sebuah even, perayaan terhadap dua produk budaya ini semakin tahun semakin besar sehingga membutuhkan penelusuran lebih lanjut. Selain dua produk utama, Pulau Rupat juga memiliki produk lain yang berpotensi menjadi aspek-aspek cultural tourism seperti produk terkait praktik spiritual, architectural/cultural heritage site, gastronomic, dan lain-lain.

Dalam definisi paling kontemporer, komunikasi adalah proses multidimensional atas meaning making yang bersifat interaktif dan partisipatoris (e.g. Blichfeldt & Smed, 2015; Gyimothy, 2013). Definisi ini mencakup pemahaman bahwa communication models should not be sender/receiver oriented, but actor-oriented as all actors should be seen as active and able to take initiatives in order to create, exchange, share and advance meanings (Blichfeldt, 2017).

Selanjutnya, sebuah komunikasi dikatakan strategis jika me-libatkan deliberate spread of information, ideas, principles, doctrines etc. Dan strategi komunikasi ini merupakan terma yang biasa dipakai oleh organisasi dan institusi seperti pemerintahan, agen-agen nasional dan bisnis, organisasi non profit dan lain-lain. Namun tidak hanya itu, strategi komunikasi juga terjadi pada komunikatornya langsung (Blichfeldt, 2017), yang dalam konteks penelitian ini adalah wisatawan, wisatawan dan komunitas lain yang terlibat.

2.4 Roadmap

Kajian ini dilakukan berdasarkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan sebelumya, terutama terkait dengan pengembangan budaya lokal yang saat ini menjadi perhatian pemerintah dalam mening-katkan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Secara ringkas berikut ini peneliti menampilkan hasil kajian terdahulu sebagai rangkaian dilakukannya kajian pada buku ini.

Pertama, penelitian ini diawali dengan hasil penelitian yang dilakukan peneliti tentang strategi komunikasi budaya masyarakat Riau dalam melestarikan budaya Melayu pada tahun 2014-2015, hasil penelitian tersebut secara ringkas menunjukan bahwa sejak

(20)

diber-lakukannya Peraturan Daerah (Perda) No.36 tahun 2001 tentang Visi pembangunan Riau yang ingin menjadikan Provinsi Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara pada tahun 2020, me-nimbulkan semangat yang tinggi dalam menjunjung nilai-nilai budaya Melayu Riau (Efni, 2015) sehingga manyarakat Riau bisa mem-pertahankan nilai-nilai budayanya agar identitas budaya Melayu Riau tetap terjaga terhadap berbagai ancaman, baik modernisasi, teknologi maupun globalisasi. Nilai-nilai budaya yang terjaga dan menjadi icon masyarakat Riau hingga saat ini adalah penggunaan pakaian, kuliner, kesenian, event budaya dan arsitektur perumahan Melayu Riau.

Upaya lain yang dilakukan untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya Melayu Riau ini, peneliti juga telah melakukan penelitian tentang “Tata kelola event budaya dalam mempromosikan program Siak The Truly Malay sebagai penguatan ekonomi lokal dan revitalisasi budaya Melayu” Hasil penelitian menunjukan bahwa event budaya yang yang merupakan produk unggulan dan hanya dimiliki oleh masyarakat Riau adalah Siak Bermadah dan Ghatib Beghanyut, yang kini merupakan agenda tahunan masyarakat Riau terutama Siak (Efni, 2016).

Selanjutnya, untuk meneliti tata kelola pengembangan wisata Pulau Rupat Utara Kabupaten Bengkalis sebagaidestination branding

ini,sebelumnya telah dilakukan penelitian awal dengan penelitian tata kelola pengembangan Pulau Rupat sebagai desa wisata budaya yang merupakanDestination Branding Kabupaten Bengkalis (Efni, 2019) menemukan bahwa pengembangan Pulau Rupat Utara telah diatur dalam peraturan daerah dan Rencana Pembangunan Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Riau, dimana Pulau Rupat bersama Dumai dan Duri dirancang menjadi salah satu kawasan segitiga andalan untuk pusat pertumbuhan ekonomi baru di Riau.

Berbagai upaya terlah dilakukan oleh segenap masyarakatnya dalam membangun ruang publik sebagai sarana wisata pantai maupun budaya, sepertieventful public space (festival pantai Rupat, festival mandi safar, International Moto Cross), recreational public spaces (seluruh pantai), dan yang paling menarik penyelenggaraan kesenian tradisional (tari zapin api), namun, wisata ini belum banyak dikenal

(21)

masyarakat luas, hal ini terlihat dari tingkat kunjungan mayarakat ke Rupat Utara ini masih rendah.

(22)

Pengembangan Pulau Rupat Utara sebagai desa wisata budaya di Riau memiliki landasan yuridis dan konstitusional pada beberapa undang-undang, keputusan dan ketetapan yang dibuat oleh peme-rintah baik pada level nasional maupun provinsi. Bagian ini akan merunut kembali peraturan-peraturan tersebut dan menggarisbawahi beberapa poin pentingnya sebagai starting point dalam melakukan penelitian dan menganalisis data yang ditemukan di lapangan.

3.1 Posisi dan Ketentuan Pulau Rupat Utara

Beberapa hal yang perlu dicermati pertama-tama adalah peraturan yang menguraikan posisi dan ketentuan terkait Pulau Rupat Utara di Indonesia. Pulau Rupat Utara diputuskan sebagai salah satu dari 111 Pulau Kecil Terluar dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No.06 Tahun 2017. Pulau Rupat Uatara berada pada dalam nomor urut 101, dengan data sebagai berikut: Pulau Rupat Utara di perairan Selat Malaka dengan koordinat titik terluar 02°05’42"U 101°42’30"T dengan titik dasar TD.186 dan TR.186 dan Jarak TD.186-TD.186A-57,08nm Garis Pangkal Lurus Kepulauan yang berada di Provinsi Riau.

Kebijakan lain yang relevan adalah Peraturan Pemerintah RI no. 62 Tahun 2010 tentang pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Poin terpenting dari peraturan ini adalah penjelasannya tentang ca-kupan dan definisi pulau kecil sebagai berikut:

BAB III

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM

PENGEMBANGAN PULAU RUPAT UTARA

(23)

Pasal 1

1.Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.

2.Pulau-Pulau Kecil Terluar, selanjutnya disingkat PPKT adalah pulau-pulau kecil yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional.

3.Kawasan Strategis Nasional Tertentu, selanjutnya disingkat KSNT adalah kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pe-ngendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional.

4.Pemanfaatan PPKT adalah kegiatan yang berkaitan dengan upaya memanfaatkan potensi sumber daya PPKT dan perairan di sekitarnya sampai paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai dalam upaya menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5.Peran serta masyarakat adalah keterlibatan masyarakat secara fisik atau nonfisik, langsung atau tidak langsung, atas dasar kesadaran sendiri atau akibat peranan pembinaan dalam pemanfaatan PPKT.

Peraturan ini juga menyinggung beberapa poin pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) dalam pasal-pasalnya yang lain. Misalnya, pada pasal 5 peraturan ini menyebutkan bahwa Pemanfaatan PPKT hanya dapat dilakukan untuk: a. pertahanan dan keamanan; b. kesejahteraan masyarakat; dan/atau c. pelestarian lingkungan. Se-lanjutnya, pada pasal 7, dijelaskan lebih lanjut pemanfaatan PPKT untuk kesejahteraan masyarakat, yang merupakan inti penelitian ini yang meliputi 1). usaha kelautan dan perikanan; 2). ekowisata bahari; 3). pendidikan dan penelitian; 4). pertanian subsisten; 5). penempatan sarana dan prasarana sosial ekonomi; dan/atau 6). industri jasa maritim. Peraturan berikutnya adalah UU RI No.1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan ini membahas lebih detil tentang proses pemanfaatan pulau kecil terluar seperti sudah dibahas

(24)

pada peraturan sebelumnya. Untuk kepentingan penelitian yang tengah dikerjakan, undang-undang ini merupakan peraturan yang paling kontekstual karena membicarakan terutama bagaimana pulau-pulau tersebut, termasuk Pulau Rupat Utara salah satunya dimanfaatkan.

Untuk itu perlu dikutipkan beberapa pasal yang perlu dicermati dari undang-undang tersebut, yang krusial dan menjadi landasan pene-litian ini sebagai berikut.

Pasal 1

Angka 1: Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Angka 4: Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir. Angka 30: Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, danMasyarakat.

Angka 31: Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan, atau bantuan kepada Masyarakat dan nelayan tradisional agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari.

(25)

Angka 32: Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri atas Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pasal 19

Angka 1: Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk kegiatan: 1) produksi garam; 2) biofarmakologi laut; 3) bioteknologi laut; 4) pe-manfaatan air laut selain energi; 5) wisata bahari; 6) pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau 7) pengangkatan benda muatan kapal tenggelam, wajib memiliki Izin Pengelolaan.

Pasal 23

Angka 2:  Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitar-nya diprioritaskan untuk kepentingan sebagai berikut: 1) konservasi; 2) pendidikan dan pelatihan; 3) penelitian dan pengembangan; 1) budi daya laut; 2) pariwisata; 3) usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari; 4) pertanian organik; 5) peternakan; dan/atau 6) pertahanan dan keamanan negara.

Secara spesifik, pemerintah juga memasukkan Pulau Rupat dalam Peraturan Pemerintah RI No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025, yakni pada pasal 35 tentang Arah kebijakan pengembangan citra pariwisata yang meliputi: 1). Peningkatan dan pemantapan citra pariwisata Indonesia secara berkelanjutan baik citra pariwisata nasional maupun citra pariwisata destinasi; dan 2). peningkatan citra pariwisata Indonesia sebagai Destinasi Pariwisata yang aman, nyaman, dan berdaya saing. Dan untuk membangun citra ini, pemerintah menamai pariwisata di Pulau Rupat khususnya pantainya sebagaiThe Longest White Sandy Beach Island.

Kemudian, dalam tingkat provinsi, dalam Musyarawah Rencana Pembangunan Propinsi Riau yang diadakan pada 01 Juli 2019 lalu, pemerintah memutuskan untuk memasukkan pembangunan sejumlah infrastruktur pariwisata Pulau Rupat akhirnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Riau 2019-2024. Rencana pembangunan ini diusulkan oleh Pemerintah

(26)

Kabupaten Bengkalis dan setelah disetujui akan segera dibentuk peraturan daerahnya.

Usulan dari Pemerintah Kabupaten Bengkalis tersebut meliput sejumlah sektor. Diantaranya, penguatan dan peningkatan pemba-ngunan pariwisata Pulau Rupat, peningkatan status dari Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pulau Rupat, kemudian konektivitas antar pulau, jembatan, pelabuhan dan RoRo, peningkatan status dan penguatan kualitas jalan dan pengembangan wilayah pesisir dan perbatasan; pe-nanganan abrasi, pemberdayaan dan peningkatan ekonomi masyarakat dan pengelolaan lahan gambut (AntaraRiau, 3 Juli 2019).

3.2 Rancangan Strategi Pengembangan Pulau Rupat Utara

Secara lebih spesifik, yakni dalam hubungannya dengan rencana pengembangan desa wisata di Pulau Rupat Utara, kita bisa menilik rancangan strategi dari pemerintah pusat terkait Desa Wisata yang disusun oleh Tim Percepatan Wisata Desa dan Kota pada 20 September 2017. Landasan program ini adalah keinginan langsung dari Presiden Joko Widodo untuk “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”1. Keinginan ini kemudian disambut oleh kolaborasi antara Kementerian Pariwisata, Kementerian Koperasi dan UMKM, dan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT) dalam pengembangan Desa Wisata di Indonesia.

Seperti dicatat oleh Kementerian Pariwisata RI, portofolio produk pariwisata Indonesia dibagi menadi wisata alam (nature) sebesar 35%, budaya (culture) 60% dan buatan manusia (man made) 5%. Berdasarkan portofolio ini dapat dipahami bahwa porsi pariwisata kultural sangat diutamakan. Produk wisata kultural ini dirinci lagi menjadi wisata warisan budaya dan sejarah (heritage and pilgrim tourism) sebanyak 20%, wisata belanja dan kuliner (culinary and shopping tourism) sebanyak 45% dan wisata kota dan desa (City and Village Tourism) (35%).

(27)

peme-rintah telah menyiapkan Anggaran Dana Desa (ADD) tahun 2017 sebesar Rp. 60 Trilyun. Dengan dana itu, pemerintah mendata terdapat 1902 desa yang berpotensi mejadi desa wisata. Dana itu di-aplikasikan pada beberapa strategi pengembangan desa wisata yang kemudian dibagi menjadi tiga, yakni atraksi, aksesibilitas dan amenitas. Atraksi meliputi diversifikasi aktivitas wisata, manajemen pengunjung dan sadar wisata. Aksesibilitas meliputi sarana dan prasarana serta sistem transportasi. Strategii terakhir adalam amenitas yang mencakup pra-sarana umum, fasilitas umum, fasilitas pariwisata dan standardisasi dan sertifikasi usaha pariwisata.

Secara lebih riil, langkah-langkah pemerintah antara lain: 1. Pembangunan Destinasi Pariwisata: Peningkatan 3A dengan standar internasional, pengelolaan desa yang profesional dan terpadu (centralized), dan kolaboasi indusri pemerintah-destinasi-pelaku usaha; 2. Pemasaran Pariwisata Nasional: mendatangkan sebanyak mungkin wisatawan mancanegara dengan mapping segmentasi pasar

youth travellers, elderly dankids-family dengan target negara asal: Eropa dan Asia-Pasific, serta meningkatkan gairah wisatawan nusantara untuk wisata kembali ke desa;

3. Pembangunan Industri Pariwisata: meningkatkan partisipasi usaha lokal dalam industri pariwisata desa (UMKM) serta mening-katkan keragaman dan daya saing produk/jasa pariwisata desa (paket, aktivitas, trail) di setiap destinasi periwisata yang menjadi fokus pe-masaran;

4. Pembangunan Kelembagaan Pariwisata: membangun sumber daya manusia di desa serta organisasi kepariwisataan di desa.

Strategi ini hanya bisa terlaksana oleh kerjasama atau sinergi dari berbagai pihak yang tergabung dalam model Pentahelix, yakni akademisi sebagai konseptor, pemerintah sebagai pengatur, pelaku bisnis atau swasta, media dan komunitas sebagai katalisator.

Merujuk pada beberapa peraturan, undang-undang dan hasil berbagai perencanaan yang telah disusun baik oleh pemerintah pusat dan lokal di atas, dapat ditarik beberapa fokus utama dan posisi Pulau Rupat dalam wacana pariwisata Indonesia sekarang ini, untuk

(28)

kemu-dian bisa menjadi latar belakang penelitian yang tengah dikerjakan ini. Sebagai salah satu pulau kecil dalam kategori terluar, aspek pertama yang ditekankan pemerintah adalah pertahanan dan keamanan. Prioritas ini memberikan nuansa yang menutup kemungkinan terjalinnya hubungan dinamis pulau-pulau itu dengan wilayah di luar negeri. Hal ini sedikit kontradiktif dengan semangat pemerintah dalam bidang pariwisata yang justru ingin membuka seluas-luasnya pulau-pulau tersebut untuk bisa dijangkau pengunjung dari dalam dan luar negeri. Oleh karena itu, diperlukan penjelasan lebih detil terkait poin perta-hanan yang sekaligus mempertimbangkan atau bahkan mendukung program lain pemerintah seperti halnya pengembangan aspek wisata tersebut.

Kekhawatiran ini tampaknya tidak perlu diperlanjut karena ber-dasarkan kebijakan pemerintah Bengkalis dan Riau yang terbaru, akan ada rute baru penyeberangan antar negara melalui jalur laut dengan kapal yang dilayani PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) yakni dari Dermaga A Pelabuhan Pelindo I Dumai, Riau dan Pelabuhan Tanjung Bruas Malaka, Malaysia, yang segera beroperasi mulai Oktober 2019. Menurut Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya, saat mengunjungi Terminal Penumpang Domestik Pelabuhan Bandar Sri Junjungan Kota Dumai, Riau pada Selasa (20/8/2019) “Di Dumai yang terpenting adalah akses Dumai – Malaka karena itu merupakan pintu masuk tercepat wisman tercepat seperti Singapura yang berkunjung ke Kepulauan Riau mencapai 2,5 juta. Oleh karena itu dalam waktu akhir bulan ini akan ada uji coba Ferry Dumai-Malaka, sekitar 800 sampai 1000 penumpang, 3000 GT.”

Kapal Roll On-Roll Off (RoRo) dengan Rute Dumai-Malaka ini merupakan komitmen Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dalam mewujudkan konektivitas antar negara, khususnya di Asia Tenggara. Hal tersebut disampaikan Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Arif Toha. Ia mengataan itu dalam kapasitasnya sebagai Ketua Delegasi Indonesia pada pertemuan 3rd Task Force Melaka-Dumai RoRo Ferry Operation Meeting yang digelar di Kuala Lumpur, Malaysia pada 4 April 2019.

(29)

“Rute RoRo Dumai-Malaka ini merupakan pilot project untuk ASEAN Single Shipping Market (ASSM),” ujar Arif lagi. Ia me-nambahkan, RoRo Dumai-Malaka ini diharapkan dapat diim-plementasikan melalui penandatanganan Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Indonesia dan Malaysia pada akhir tahun ini. ”Persyaratan peraturan transportasi darat juga menjadi highlight pembahasan antara Indonesia dan Malaysia. Kedua negara sepakat untuk menyempurnakan aturan-aturan yang ada tentang transportasi darat di negara masing-masing,” imbuh Arief3.

Perjanjian dan kebijakan penciptaan rute ini menunjukkan ada-nya sikap progresif pemerintah yang mengutamakan kepentingan pariwisata dan kesejahteraan rakyat termasuk masyarakat Pulau Rupat dibandingkan wacana tentang pertahanan dan keamanan yang kerap dimunculkan terutama terkait Indonesia dan Malaysia. Namun demikian, wacana ini juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Kerjasama dan pintu terbuka harus senantiasa diiringi oleh kesepahaman dan keamanan yang terjamin.

Selanjutnya adalah poin terkait pemanfaatan terhadap Pulau Rupat Utara. Dalam hal ini, hampir di semua peraturan mementingkan aspek pariwisata sebagai salah satu bidang yang bisa dimaksimalkan pemanfaatannya. Namun jika diperhatikan, pariwisata itu merujuk sebagian besar ke pariwisata alam, yang sumbernya adalah nature, bukan berpusat pada manusia atau masyarakatnya. Padahal sudah disebut dalam platform desa wisata yang disusun pemerintah, program kerja pariwisata Indonesia ke depannya didominasi oleh wisata budaya. Fokus pemerintah ini harus diturunkan dan diterapkan pula di pe-merintahan daerah terutama Provinsi Riau dan Kabupaten Bengkalis dalam mengembangkan Pulau Rupat.

Dalam konteks penelitian ini, peneliti menemukan kesadaran untuk memaksimalkan Pulau Rupat sebagai sebuah entitas budaya dengan masyarakat pengusungnya yang bermukim dalam kantung-kantung desa budaya belum tercermin dengan jelas. Pulau Rupat Utara dikenal selalu berkenaan dengan pantai-pantai pasir putihnya yang indah. Bahkan pantai inilah yang membawa Rupat Utara masuk menjadi salah satu dari lima daerah unggulan wisata dalam MasterPlan

(30)

Pariwisata Nasional untuk Propinsi Riau bersama dengan Candi Muara Takus, Istana Kesultanan Siak, Bukit 30 dan Kota Pekanbaru. Dalam masterplan desa wisata yang sudah diuraikan di atas, dari persetujuan tiga kementerian didapatkan 10 desa pilot pengembangan desa wisata di 10 destinasi wisata prioritas nasional. Dan Pulau Rupat Utara di Kabupaten Bengkalis juga belum termasuk dari sepuluh prioritas pemerintah itu.

Bukti di atas menunjukkan bahwa dari pihak pemerintah pun belum memiliki kesadaran untuk mengembangkan aspek ‘kultural’ Pulau Rupat Utara dan itu tercermin dalam kebijakan-kebijakan mereka juga. Problem ini berkaitan langsung dengan poin berikutnya, yakni tentang Pemangku Kepentingan Utama yang merupakan masyarakat setempat sebagai pengguna utama sumber daya yang ada di Pulau Rupat Utara. Masyarakat atau komunitas adat yang tinggal dan masih eksis di Pulau Rupat Utara bernama Suku Akit. Suku ini tinggal bersamaan dengan masyarakat dari etnis lain yakni etnis Melayu dan Tionghoa.

Berdasarkan undang-undang dan berbagai peraturan di atas, mereka adalah pihak terpenting dalam hubungannya dengan sumber daya yang ada di Pulau Rupat Utara. Semua layanan hendaknya di-arahkan kepada mereka dan semua yang ada pada mereka hendaknya juga dimaksimalkan, termasuk bagaimana mereka sebagai kesatuan desa budaya juga diangkat dan dimaksimalkan eksistensinya. Untuk menindaklanjuti niat ini, perlu dilihat masyarakat adat dan penduduk Pulau Rupat Utara ini dalam bingkai warisan budaya (cultural heritage) yang dimilikinya. Karena warisan inilah yang menjadi aspek utama dalam penciptaan sebuah desa wisata.

UNESCO mendefinisikancultural heritage sebagai berikut: Cultural heritage is the legacy of physical artefacts and intangible attributes of a group or society that are inherited from past generations, maintained in the present and bestowed for the benefit of future generations.  

Dancultural heritage ini dibagi menjadi dua:

(31)

places, monuments, artifacts, etc., which are considered worthy of preservation for the future.  These include objects significant to the archaeology, architecture, science or technology of a specific culture.

Intangible cultural heritage means the practices, repre-sentations, expressions, knowledge, skills – as well as the instruments, objects, artefacts and cultural spaces associated therewith – that communities, groups and, in some cases, individuals recognize as part of their cultural heritage. This intangible cultural heritage, transmitted from generation to generation, is constantly recreated by communities and groups in response to their environment, their interaction with nature and their history, and provides them with a sense of identity and continuity, thus promoting respect for cultural diversity and human creativity. For the purposes of this Convention, consideration will be given solely to such intangible cultural heritage as is compatible with existing international human rights instruments, as well as with the requirements of mutual respect among communities, groups and individuals, and of sustainable development.

Berdasarkan pengertian yang dirumuskan UNESCO di atas, maka desa wisata di Pulau Rupat Utara akan meliputi masyarakat Bersama warisan budayanya, baik warisan budaya benda (tangible heritage) dan warisan budaya takbenda (intangible heritage). Warisan budaya benda meliputi objek-objek arkeologis, arsitektur, sains dan teknologi serta objek bersejarah yang lainnya. Di Pulau Rupat, kita bisa temukan kompleks kampung budaya Suku Akit, Kampong Nelayan Tanjung Jaya, Klenteng Vidya Sagara, Klenteng Cin Bu Kiong, Klenteng Cin Hang Keng, dan kompleks arsitektur lainnya. Warisan budaya tak benda di Rupat Utara juga sangat menarik dan signifikan ragam jumlahnya. Misalnya saja masyarakat Suku Akit, dalam aspek kesenian mereka memiliki Musik dan Tari Gedubang dan Joged Asli. Dalam aspek kepercayaan, mereka memiliki upacara keagamaan untuk memuja Datuk Kimpung dan Nenek Bakul dan

(32)

juga merayakan Imlek dalam situasi kultural yang bercampur antara tradisi lokal dan Konghucu. Dalam bidang pertanian mereka memiliki upacara Buang Anca. Mereka juga memiliki tradisi sunat dan tindik dan upacara pembersihan kampung yang bernama Upacara Semah Laut, yang kemudian diikuti oleh Upacara Belo Kampung (Limbeng, 2011).

3.3Place Branding Pulau Rupat Utara

Menilik pada berbagai aspek warisan budaya tersebut, maka citra yang diciptakan terkait Pulau Rupat Utara bukan hanya sebagai tempat di mana terdapat The Longest White Sandy Beach Island, namun harus lebih dari itu. Citra tersebut perlu diperluas dan secara bersamaan diperinci dengan memasukan aspek masyarakat beserta warisan budayanya sebagai salah satu penyangga utama aset wisata kultural. Diperluas dalam artian tetap harus mencakup citra keseluruhan aspek di Pulau Rupat Utara, yang berpusat atau diwakilkan oleh salah satu aspek paling menonjol, yaknicultural village. Dan kembali pada tema utama penelitian ini, yakni destination branding, maka beberapa strategi branding harus juga ditentukan secara detil dan relevan.

Secara umum,place branding adalaha perception that people have about a place, city, region or a country and a place’s reputation among those people that the place embraces (Satya, 2015). Place branding, in its simplest form, and by logical extension of the outline of product branding above, is a‘brand’ developed for a place, be it a nation, a region or a city. Such place branding is an important com-ponent of selling places, as in public relations and tourism marketing, but the diverse and complex nature of a placebrand transcends the narrow confines of any single industry sector(Rausch, 2008).

Berdasarkan pengertian di atas, maka branding terhadap desa wisata di Rupat Utara, yang mencakup baik warisan budaya benda dan tak bendanya harus berkesadaran multidimensional. Branding itu harus terdiri atas aspek ekonomi, masyarakat, kebijakan, budaya, ekologi dan geografi. Pada konteks inilah, kajian ini menjadi bagian dari sumbangsih akademisi untuk kemudian mengonsepbranding desa

(33)

wisata sebagai bagian dari pariwisata di Pulau Rupat Utara, untuk kemudian bisa dipertimbangkan sebagai salah satu sumber data faktual bagi berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan desa wisata Pulau Rupat Utara.

(34)

3.1 Membangun Ruang Publik sebagai Wisata Budaya

Ruang publik ataupublic space secara general didefinisikan se-bagai ‘panggung’ di mana drama kehidupan sebuah masyarakat di-bentangkan (Carr, Francis, Rivlin, & Stone, 1992).Public space me-miliki peran signifikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut dan merupakan ruang sehari-hari mereka sebagai komunitas (Gallacher, 2005). Posisinya saling menjalin dengan aktivitas sosial harian masyarakat tersebut.Public space meliputi tidak hanya dimensi fisik tetapi juga dimensi sosial dan psikologis masyarakat tersebut. Dimensi fisik meliputi lingkungan yang menjadi latar dari interaksi sosial sementara dimensi sosial merujuk pada aktivitas yang terjadi di latar tersebut (Carmona, Tiesdell, Heath, & Oc, 2010). Dan dimensi psikologis berhubungan dengan persepsi terhadappublic space, yang diekspresikan melalui bagaimana masyarakat mengintepretasi dan memberikan makna terhadap ruang-ruang tersebut, dan bagaimana pemaknaan itu membantu mereka mengembangkan sense komunitas. Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa latar atau dimensi fisiklah yang memberikan pengaruh besar terhadap pemaknaan dan sense komunitas itu (David, Enric, & David, 2002; Dempsey, 2009; Garcia-Ramon, Ortiz, & Prats, 2004; Peters, 2011).

Secara lebih terperinci, Sun (2009) membedakan beberapa jenis

public spaceberdasarkan fungsinya antara lain sebagai berikut:

UPAYA PENGEMBANGAN PULAU RUPAT

UTARA SEBAGAI WISATA BUDAYA

(35)

1. Eventful Public Spaces yang meliputi situs upacara-upacara per-nikahan atau kematian, situs upacara bersih desa, dan lain-lain.

2. Religious Public Spaces yang meliputi berbagai tempat periba-datan atau pemujaan.

3. Daily Life Public Spaces yang meliputi situs-situs di mana mas-yarakat melakukan kegiatan sehari-hari seperti pusat perbelanjaan, lahan pertanian, kompleks nelayan, kompleks pemandian umum, dan lain-lain.

4. Recreational Public Spaces yang meliputi tempat-tempat masyarakat mendapatkan hiburan atau melakukanleisure activi-ties.

Berdasarkan pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan ruang publik di Pulau Rupat Utara sebagai desa wisata budaya adalah latar atausetting, baik fisik, sosial dan psikologis di Pulau Rupat Utara di mana terjadi interaksi sosial antar sesama masyarakat setempat ataupun masyarakat dengan wisatawan dalam konteks kepariwisataan. Dalam perincian yang dibuat Sun, semua jenispublic spaces di atas bisa ditemukan di Pulau Rupat Utara. Pertanyaan yang muncul kemudian, yang menjadistarting point pembahasan bagian ini adalah sejauh mana pemerintah mengetahui dan menyadari keberadaan berbagai public spaces ini terutama dalam konteks pengembangan Rupat Utara sebagai Desa Wisata dan sejauh mana kepekaan peme-rintah terhadappublic spacesyang sifatnya sosial dan psikologis?

Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu dicermati terlebih dahulu

Focus Group Discussion yang dilakukan Pemerintah Provinsi Riau pada 2016 yang menghasilkan dokumen terkait Rencana Induk dan Rencana Detil Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Pe-ngembangan Kawasan Wisata Pulau Rupat Utara. KSPN adalah Kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata nasional yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan.

Beberapa poin yang mendasari rencana ini adalah kedudukan Pulau Rupat Utara sebagai bagian dari Kawasan Strategis Provinsi

(36)

(KSP) yang disebut dengan Kawasan Strategis Duri-Dumai-Rupat. Di tingkat kabupaten, berdasarkan arahan kebijakan RTRW Kabu-paten Bengkalis 2011-2031, Rupat (Tanjung Medang) juga menjadi Kawasan Strategis Kabupaten (KSK). Dari rincian FGD ini peme-rintah telah merinci beberapaspaces dengan jenis yang berbeda-beda yang tujuan utamanya sebagai destinasi wisata yang akan diuraikan lebih detil dalam poin-poin di bawah ini.

1. Eventful Public Spaces

Beberapa yang termasuk ke dalameventful public space di Pulau Rupat antara lain Festival Pantai Rupat, Festival Mandi Safar, Interna-tional Moto Cross (Ketapang-Lelong-Lohong-Makeruh), dan migrasi burung Raptor. Festival Mandi Safar adalah contoh menarik dan sig-nifikan terkait upaya pemerintah Riau dan Bengkalis dalam mengem-bangkan eventful public spaces. Seperti yang diungkapkan oleh Sadikin Ketua POKDARWIS di Pulau Rupat Utara bahwa, “mandi safar merupakan agenda tahunan pemerintah kabupaten Bengkalis, yang diselenggarakan ditepi Pantai Tanjung Lapin.

Festival ini tidak hanya bisa disebut sebagaieventful public space, tetapi juga secara bersamaan beririsan denganreligious danrecreational public spaces. Festival ini merupakan tradisi yang sudah ada sejak puluhan tahun silam. Festival ini dilaksanakan setiap minggu keempat bulan Safar. Konon, setiap hari Rabu minggu keempat itu dianggap memiliki hari naas sehingga tidak baik untuk melakukan perjalanan. Untuk menghindari hal-hal yang tidak baik, pada hari itu, masyarakat Rupat sejak puluhan tahun lalu melakukan ritual Mandi Safar yang dipusatkan di Pantai Tanjung Lapin. Air yang digunakan untuk Mandi Safar ini merupakan air yang didoakan yang sumbernya diambil dari sumur tua yang berada tidak jauh dari Pantai Tanjung Lapin, Desa Tanjung Punak, Rupat Utara.

Ada beberapa prosesi dalam kegiatan Mandi Safar, diantaranya zikir Bersama, kemudian arak-arakan diiringi kompang menuju sumur tua. Selanjutnya prosesi pengambilan air dari sumur tua oleh tokoh adat. Air diambil menggunakan timba yang terbuat dari upih, selanjutnya di-masukkan ke dalam wadah sebanyak tiga buah. Air

(37)

diambil oleh tiga tokoh ada kampung secara bergantian. Masing-masing orang menimba tiga kali untuk dimasukkan ke dalam tiga tempat yang disediakan. Setelah itu baru dilanjutkan proses peman-dian. Gayng untuk mandi terbuat dari tempurung kelapa dengan tangkai kayu.

Selain untuk keperluan mencegah hal-hal buruk, Mandi Safar juga merupakan hari pertemuan bujang dan dara ditandai dengan digelarnya Joget Lambak atau sering disebut Serampang Laut. Dalam joget ini, bujang dan dara saling berpandangan dan berbalas pantun dengan harapan bertemu jodohnya.

Seperti sudah disinggung sedikit di awal, festival ini termasuk yang multidimensional. Tujuannya meluas tidak hanya sebagai sebuah even budaya, tetapi juga sarana untuk rekreasi, dan lebih penting lagi, memberikan fungsi dan makna yang kaya untuk masyarakat pen-junjungnya.

Sebagai sebuah ruang publik rekreasional, Festival Mandi Safar menawarkan banyak hiburan yang lain di luar acara inti festival itu sendiri. Sebagai contoh kita bisa melihat susunan acara Festival Mandi Safar tahun 2018 lalu, yang dilaksanakan selama delapan hari pada tanggal 4-11 November 2018 di Pantai Lapin, Rupat Utara. Pada hari pertama, acara pembukaan diikuti oleh olahraga pantai pada pagi hari dan se-nandung Melayu pada malam hari. Di dua berikutnya, kegiatan olahraga yang sama dilakukan dan kemudian diikuti oleh pertunjukkan pelangi budaya nusantara yang diisi oleh berbagai paguyuban seni. Hari keempat merupakan acara puncak mandi Safar diikuti oleh kegiatan beach fishing dan pertunjukkan musik. Pada hari kelima adalah kegiatan Tabligh Akbar. Hari keenam dijadwalkan untuk permainan tradisional dan pertunjukkan Zapin Api. Hari ketujuh diisi oleh olahraga dan teater tradisional. Hari kedelapan adalah penutupan diiringi bersih pantai.

Dari paparan jadwal di atas, dapat dipahami betapa luas jangkauan dan betapa banyak pihak dilibatkan sertaspace digunakan untuk ber-interaksi dalam mengikuti rangkaian acara festival itu. Dan yang ter-penting adalah bagaimana festival ini bermakna dan memberikan

(38)

peranan yang signifikan dalam kehidupan masyarakat Rupat. Peran dan makna itu berayun dari hal-hal yang sifatnya sangat psikologis dan filosofis sampai peranan yang praktis. Untuk melihat itu, bisa dikutipkan beberapa tanggapan warga setempat terhadap festival tersebut yang dilaporkan beberapa media sebagai berikut.

Warga di sekitar Pantai Tanjung Lapin merasakan keuntungan di aspek ekonomi dan kepuasan rekreasional dari Festival Mandi Safar seperti dipaparkan mereka kepada media riaugreen.com:

Salah seorang warga Tanjung Lapin mengaku senang setiap tahun di kampungnya dijadikan acara tahunan Festival Mandi Safar. Karena wisatawan yang datang banyak, sehingga mampu mendongkrak perekonomian masyarakat.

“Warga setempat bisa berjualan, homestay-homestay ditempati para wisatawan. Kalau hari biasa, jumlah wisatawan yang datang minim, kecuali hari Lebaran,” ungkap Ali yang mendadak alih profesi berjualan panganan.

Sementara itu Suryaman yang datang dari Desa Cingam, Kecamatan Rupat, sengaja datang ke Pantai Tanjung Lapin, untuk menyaksikan kemeriahan Festival Mandi Safar, juga untuk mengabadikan setiap momen dalam jepretan kameranya. Menurutnya, meskipun perjalanan dari Batu Panjang menuju lokasi keramaian harus ditempuh dengan perjalanan melelahkan, namun tidak menyurutkan niatnya untuk datang.

Sementara itu, jajaran pemerintah mengakui bahwa festival ini mencerminkan upaya pelestarian terhadap tradisi dan khasanah budaya masyarakat pengusungnya, yang secara bersamaan juga menjadi des-tinasi wisata yang signifikan seperti dituturkan kepada media poros riau.com sebagai berikut:

Lebih lanjut mantan Kepala Desa Muara Basung mengatakan, kegiatan Festival Pesta Mandi Safar, tidak hanya sekedar acara ritual tahunan. Namun tak kalah penting, sebagai upaya meles-tarikan tradisi dan khasanah yang dimiliki masyarakat, terutama di Rupat Utara.

(39)

pantai pasir putih, telah ditetapkan sebagai kawasan destinasi nasional. Untuk itu perlu upaya untuk menggali seluruh potensi yang ada, seperti potensi budaya, kuliner maupun adat istiadat setempat.

Warga lain menyoroti fungsi spiritual festival ini sebagaisuatu upaya spiritual ke arah pendekatan diri kepada sang pencipta yang dilakukan oleh sebagian masyarakat muslim di beberapa wilayah di Nusantara, seperti di Pulau RupatUtaraKabupaten Bengkalis.  Dan ada pula yang melihat dalam perspektif kewilayahan di mana Rupat

Utara merupakan area perbatasan sebagai berikut:

“…potensi wisata bahari bila dibarengi dengan kegiatan Atraksi, seni pertunjukan, festival, juga berbagai kegiatan lainya bila dikemas dengan baik tentunya akan menarik perhatian wisatawan baik nusantara dan mancanegara.

“Bila ini dapat diwujudkan perbatasan tidak lagi sepi, tidak lagi dianggap sebagai daerah pinggiran, tetapi justru menjadi wilayah terdepan di tanah air”, ujar Kadispar Riau Fahmizal.

Dari sejarah, pemaparan, pelaksanaan dan tanggapan masyarakat tentang Festival Mandi Safar ini dapat disimpulkan bahwa festival ini menjadi contoheventful public spaces yang kaya dan multidimen-sional. Festival ini memunculkan kesadaran akan suatu ruang atau tempat publik misalnya kepedulian pemerintah dalam peningkatan nilai pantai-pantai di Pulau Rupat, juga kemudian kesadaran akan pentingnya Pulau Rupat itu sendiri sebagai pulau terluar yang kini diubah persepsinya menjadi wajah terdepan Indonesia, yang memiliki begitu banyak potensi wisata. Fungsi dan simbol yang meluas ini menjadi salah satu bukti signifikansipublic space di sebagai salah satu elemen pembentuk desa wisata di Pulau Rupat Utara. Dan lebih jauh dari itu, bagaimana warga terlibat dan memberikan tanggapan ini memunculkan apa yang disebutpublic behavior landscape. Jika sikap publik terhadap sebuah tempat bisa dipetakan, maka akan semakin mudah untuk membangun tempat tersebut.

Kemajuan yang sama, meski dalam ruang lingkup berbeda, juga bisa dilihat pada even Festival Pantai Rupat dan Kelolema (Ketapang, Lohong, Lehong dan Makeruh) Motocross yang diadakan tiap

(40)

tahunnya. Festival-festival ini, selain sebagai eventful public space, juga sekaligusrecreational public space. Menyikapi posisi tersebut, pemerintah secara massif terus menerus melakukan perbaikan dan pembangunan terhadap fasilitas-fasilitas yang menunjangpublic space

yang rekreasional itu. Hal ini bisa dilihat pada Penyusuran Rencana Induk dan Rencana Induk Detil terhadap KSPN Pulau Rupat Utara. Prasarana dan sarana dasar yang akan dipersiapkan pemerintah untuk mendukung pengembangan Kawasan Strategis Rupat (Tanjung Medang) antara lain:

- Pengembangan gerbang wisata; - Permukiman perkotaan;

- Fasilitas pendukung wisata;

- Pelabuhan, jaringan jalan lingkar (Lokal Primer); - Air bersih;

- Energi dan telekomunikasi serta;

- Penyediaan bandar udara pariwisata Rupat.

Walaupun belum seluruhnya terlaksana, poin-poin di atas meru-pakan elemen dari ruang publik yang perlu dibangun dan ditingkatkan keberadaannya dalam rangkabranding programcultural village di Pulau Rupat.

2. Religious Public Spaces

Sementera itu, religious public spaces meliputi aktivitas yang dilakukan di tempat ibadah atau lokasi lain yang memiliki asosiasi spiritual seperti kegiatan di Klenteng Vidya Sagara, Klenteng Cin Bu Kiong, Klenteng Cin Hang Keng dan ziarah kubur Putri Sembilan. Festival Mandi Safar seperti sudah diuraikan pada bagian sebelumnya juga termasuk dalam jenisreligious public spaces ini.

Yang menarik pada bagian ini adalah bagaimana aktivitas di reli-gious public spaces menunjukkan keberagaman dalam aspek keya-kinan dan toleransi serta sikap multikulturalis yang tinggi. Perayaan masing-masing ritual keagamaan ini melibatkan tidak hanya orang-orang dengan kepercayaan yang sama tetapi seluruh masyarakat di Rupat Utara. Perayaan yang sifatnya eksklusif ini menjadi

(41)

di-inklusifkan menjadi milik seluruh golongan masyarakat dan situs-situsnya menjadi berbagaipublic spaces yang terbuka untuk umum. Contoh yang paling aktual bisa dilihat dari perayaan tahun baru Imlek dan ulang tahun Klenteng Cin Bu Kiong Vihara Vidya Sagara ke-45 yang baru dilaksanakan Januari-Februari lalu di Desa Kadur, Rupat. Perayaan itu dihadiri oleh artis dari dalam dan luar negeri (Taiwan, Singapura, Thailand) dan dimeriahkan oleh pertunjukkan barongsai. Umat Buddha dari berbagai daerah di Indonesia dan bahkan dari luar negeri datang untuk melakukan sembahyang dan ritual keagamaan yang menyertainya. Perayaan ini juga disambut meriah oleh warga sekitar karena bisa menambah penghasilan mereka dengan berjualan berbagai macam makanan atau cendera mata.

Ritual lain yang berkenaan dengan kepercayaan masyarakat dan menjadi situs untukpublic spacesadalah kunjungan atau ziarah ke kompleks Makam Putri Sembilan yang juga berada di Desa Kadur, Kecamatan Rupat Utara. Tempat ini tidak terlalu jauh dari Pantai Pesona, salah satu pantai terkenal di Rupat Utara.

Ada dua buah makam yang berada di areal kompleks ini. Di sisi kanan dari pintu masuk, ada makam empat orang sekaligus, yakni datuk dan nenek dari Putri Sembilan, serta kedua orang tuanya yang bernama Abdullah dan Umi binti Ikhwan. Persis di sampingnya, berdiri makam Putri sembilan.

Putri Sembilan dan makamnya yang banyak dikunjungi orang mempunyai latar belakang kisah sejarah yang panjang yang bersumber baik dari sejarah lisan maupun mitologi yang berkembang di masyarakat. Kisah Putri Sembilan berawal pada abad ke-10. Saat itu, Abdullah – ayah Putri Sembilan – menyembunyikan 9 kakak-beradik ini dari kejaran seorang raja dari negeri Melaka. Sebab, sang raja mendapat kabar dari pengawalnya bernama Patih Kemunir, bahwa di negeri jiran ada sembilan dara cantik.

Abdullah, seorang panglima di kerajaan Siak ketika itu, lantas menyembunyikan ke-9 anaknya di pulau dengan memasukkan ke sebuah lubang besar. Sebab, dia takut sang raja akan memperistri anaknya. Setelah menyembunyikan anaknya, Abdullah pun berangkat

(42)

berperang. ‘’Dia berpesan dan berjanji, kalau suatu hari ayah datang, berarti ayah selamat. Ayah akan buka (lubangnya). Kalau lebih dari satu hari ayah tak datang, berarti ayah telah tiada,’’ cerita Eduar.

Tapi, setelah lebih dari satu hari, sang ayah tak kunjung datang. Sementara, di lubang persembunyian, Abdullah lupa membuat lubang untuk bernafas. Ke-9 putrinya pun terkubur dalam posisi berdiri dengan pakaian yang berbeda. Sembilan putri ini masing-masing, dimulai dari si sulung bernama Aisyah, Cendana, Husnah, Al-Jannah, Al-Huda, As-Syabdiana, Al-Isrobiatun, At-Tausyiah, dan si bungsu Nurfatiha.

Salah seorang kerabat dari ayah Putri Sembilan bernama Al-Fatir kemudian yang memasangkan batu pertama kali di makam ini. Batu-batu itu dianggap berasal dari luar daerah Rupat karena jenis batu itu tidak ditemukan di daerah sekitar makam. Kemudian sejak 2014, pemerintah daerah Bengkalis mulai membangunkan rumah di makam ini dan menyusun ulang posisi makam melalui perantara tetua sekitar.

Seperti sudah diungkap di bagian awal, banyak mitologi yang melingkupi Makam Putri Sembilan ini, dan mitologi ini secara langsung ataupun tidak menjadi salah satu faktor yang menarik pengunjung untuk datang ke kompleks ini. Misalnya, cerita bahwa batu nisan sembilan Puteri yang sudah disusun itu bisa berubah-ubah lagi posisinya. Juga cerita tentang sumur tua di sekitar kompleks yang selalu ditaburi bunga, yang diyakini tidak pernah kering. Konon, di sumur itu dulu ada warga yang meninggal usai meminum airnya. Ia meninggal bukan karena air sumur mengandung racun, melainkan orang tersebut dihukum atas perbuatannya yang meninggalkan salat demi memuaskan nafsu duniawi. Selain sumur, anak sungai kecil dekat sekitar makam juga ditaburi bunga setiap hari. Alasannya karena di sungai itu juga ada roh seorang nelayan yang serakah saat menjala lokan (kerang) disungai tersebut. Nelayan itu terlalu gembira banyak mendapatkan lokan, sehingga lupa dengan waktu solat meskipun adzan magrib sudah berkumandang. Nelayan itu tenggelam bersama lokan yang sudah dikemas dalam karung. Selain itu, ada fenomena alam lainnya yang membuat takjub warga sekitar, yakni di sekitar

(43)

makam terdapat pasir seperti butiran kristal dengan berbagai warna, coklat dan putih. Pasir ini mengundang perhatian masyarakat sekitar. Sebab sepanjang jalan dari pemukiman warga sekitar yang mayoritas suku Akit itu hingga ke area pemakaman masih berlumpur.

Berbagai cerita di atas mengundang rasa penasaran warga untuk datang dan beraktivitas di sekitar Makam Puteri Sembilan. Jika dicermati lebih jauh, cerita-cerita itu juga mengandung pesan moral yang ditujukan pada setiap pendengarnya. Terdapat nilai-nilai religiusitas juga di dalamnya. Jadi, selain menjadi tempat warga dan pengunjung beraktivitas (ziarah atau rekreasi), religious public spaces juga me-nyediakan dan memelihara nilai-nilai agama dan moral dari warga setempat. Eksistensinya menunjukkan kebertahanan nilai-nilai itu juga. Warga dan pengunjungpun bersentuhan tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental dan spiritual di ruang publik tersebut.

3. Daily Life Public Spaces

Daily life public spaces adalah berbagai tipe public space yang menjadi ruang di mana kegiatan sehari-hari berlangsung (Sun, 2009:22).Daily life public spaces belum termasuk atau disebut dalam rencana induk dan renacan detil Kawasan Strategi Pariwisata Nasional (KSPN) Pulau Rupat Utara. Artinya,daily public spaces yang justru menjadi tempat aktivitas masyarakat setempat, tidak menjadi tonggak utama destinasi wisata Pulau Rupat. Kesadaran ini perlu dibangkitkan mengingatdaily public spaces justru menjadi destinasi utama sebuah desa wisata.

Yang termasukdaily public spaces di Pulau Rupat sebenarnya dapat ditelusuri melalui aktivitas sehari-hari masyarakat penghuninya. Sebagai contoh bisa dikutipkan hasil penelitian Julianus Limbeng tahun 2011 terhadap Suku Akit di Pulau Rupat, yang juga menjadi salah satu destinasi wisata budaya pemerintah Riau.

Akit telah mengambil tempat pemukiman di daerah aliran sungai atau selat antara pulau-pulau yang ditumbuhi oleh hutan bakau. Mereka menggantungkan hidup mereka kepada lingkungan atau alam dimana mereka berada. Oleh sebab itu mata pencaharian mereka tidak terlepas

(44)

dari sumber-sumber alam untuk dimanfaatkan, bahkan pada saat ini sebagian dari mereka telah mampu mengolah sumber-sumber alam tersebut, misalnya mengolah kayu menjadi arang. Namun tradisi mereka yang masih tetap dipertahankan sampai sekarang adalah kegiatan menangkap ikan. Hampir 80 persen suku Akit bekerja menangkap ikan dan berkebun karet.

Karena mata pencaharian mereka mayoritas menangkap ikan, maka pemukiman mereka juga tidak jauh dari sungai dan laut meskipun sebagian dari suku Akit juga mengenal perkebunan di ladang. Mereka membuat rumah sepanjang pinggiran sungai sepanjang Selat Morong atau di Teluk atau Ceruk lading-ladang mereka (Limbeng, 2011:36-37).

Dari paparan Limbeng di atas, kita bisa mendeteksi beberapa

daily public spaces yang berpotensi menjadi titik-titik destinasi desa wisata budaya di Rupat, antara lain, pertama-tama adalah area permukiman masyarakat. Kedua adalah area mata pencaharian mereka, yang meliputi hutan karet, pantai dan sungai tempat mereka menangkap ikan dan yang terakhir perkebunan tempat mereka meladang.

Sebenarnya, pemerintah Provinsi Riau tidak serta merta me-nutup mata terhadap daily spaces tersebut. Dalam konteks yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat, pemerintah telah melakukan beberapa upaya konkret, misalnya terkait permukiman. Sejak tahun 2001 lalu, pemerintah mempunyai program pemberian bantuan Rumah Layak Huni (RLH) kepada warga-warga yang membutuhkan di berbagai desa di Riau. Pada periode pertama, RLH yang dibangun melalui APBD Kabupaten Bengkalis telah didirikan sebanyak 218 unit yang terdiri dari rumah type 45 dan 36. Sayangnya, di Pulau Rupat baru dibangun satu unit tepatnya di Kelurahan Batu Panjang (Riauterkini.com).

Kemudian program yang sama dilaksanakan lagi pada tahun 2008. Departemen Sosial memberikan bantuan berupa rumah baru kepada dua puluh lima orang Kepala Keluarga di Dusun Anak Kembung Desa Penebal Kecamatan Bengkalis. Secara simbolis,

(45)

penyerahan kunci RLH type 36 yang dibangun Departemen Sosial melalui APBN 2007 itu dilakukan oleh Sekretaris Daerah Bengkalis, H Sulaiman Zakaria. Selain Sulaiman, turut menyerahkan kunci kepada 5 orang perwakilan dalam acara yang dipusatkan di Balai pertemuan Suku Akit itu, antara lain Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial (Kadis Kesos) H Arianto, Ketua Dharmawanita Persatuan Ny Hj Darmiwati Sulaiman serta Kepala Desa Penebal Misdar. Perumahan Komunitas Adat Terpencil yang dibangun tersebut merupakan program pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup Komunitas Adat Terpencil yang berorientasi dan menyentuh kondisi kehidupan sosial secara luas. Salah satu upaya pemberdayaan yang dilakukan pemerintah itu adalah untuk meningkatkan kemandirian mereka. Rumah-rui’nah yang dibangun tersebut tidak dapat dijual atau dipindah tangankan ke pihak lain (Limbeng, 2011:38-39).

Meskipun tidak secara langsung, perbaikan terhadap permu-kiman warga bisa memberikan sumbangsih kesejahteraan dan juga menjaga keberadaan daily public spaces. Walaupun di sisi lain, dalam hubungannya dengan otentisitas artifak kultural sebuah masyarakat, penggantian permukiman ini bisa mengurangi bangunan atau arsitektur asli masyarakat di Pulau Rupat. Permukiman ini akan menggantikan rumah asli orang Akit yang bisa dibilang khas dan merupakan salah satu kekayaan budaya yang perlu dilestarikan. Rumah itu terbuat dari bahan kayu bulat dengan dinding dan lantai terbuat dari kulit kayu. Atapnya terbuat dari daun kepau atau daun rumbia. Rumah-rumah orang Akit biasanya berbentuk panggung dan menggunakan tangga yang terbuat dari kayu. Bagian depan biasanya

umba-umbaatau teras sebagai tempat beristirahat, kamudian ruang utama dan dapur.

Pembangunan permukiman atau RLH untuk masyarakat di Rupat harus dilandasi kesadaran untuk tetap melestarikan rumah-rumah asli yang masih ada. Jalan keluar yang bisa diambil adalah dengan mempreservasi beberapa rumah yang masih original, memugarnya, dan menjadikannya sebagai museum atau cagar budaya.

Selain permukiman, aktivitas nelayan di pantai juga bisa menjadi salah satu bentuk daily life public spaces. Pemerintah sudah

(46)

menyinggungnya menjadi salah satu atraksi wisata budaya yakni Kampung Nelayan Tanjung Jaya. Asumsi dari memasukkan Kampung Nelayan ini dalam atraksi budaya adalah focus utama pada aktivitas masyarakat di sekitar kampung tersebut. Namun, sampai kini, perhatian pemerintah lebih kepada area kampung nelayan sebagai bagian dari pantai yang merupakanrecreational public spaces.

Untuk memusatkan fokus atraksi wisata pada daily activity di kampung nelayan, pemerintah bisa mulai menaruh perhatian pada aktivitas regular dari nelayan tersebut. Yang paling utama tentu saja aktivitas melaut dan mencari ikan, aktivitas menjual dan mengolah ikan, aktivitas antar-nelayan ketika tidak sedang melaut, dan ritual-ritual dalam skala kecil yang mereka lakukan di tengah-tengah aktivitas sehari-hari mereka.

Terkait kehidupan nelayan ini, Pulau Rupat berada di Kabu-paten Bengkalis yang notabene dikenal sebagai penghasil Ikan Terubuk yang kemudian dijadikan simbol Kabupaten Bengkalis sendiri. Sejarah kepopuleran ikan Terubuk ini sudah ada sejak lama. Dimulai pada tahun 1645, Bengkalis sudah terkenal sebagai kampung nelayan. Kemudian pada tahun 1678 daerah ini menjadi tempat pertemuan pedagang-pedagang Melayu, Jawa, Arab yang membawa barang dagangannya bersama dengan pedagang-pedagang dari Palembang, Jambi, Indragiri, Aceh, Kedah, Perak, Kelong, Johor, Penang, Petani, Siam, Kamboja, Kocin, Cina dan orang-orang Minangkabau yang mendiami Sumatera dan datang ke sana untuk mengambil garam, beras, dan juga ikan (terubuk) yang banyak ditangkap oleh orang-orang Selat. Bahkan cerita ini sudah melegenda dengan adanya Syair Ikan Terubuk dengan 285 rangkaian bait dan telah diterbitkan sekitar dua puluh versi, salah satunya ditulis oleh Ulul Azmi. Syair ikan Terubuk merupakan karya sastra sarat makna dan bernilai tinggi yang mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat Bengkalis, khususnya di laut muara sungai Siak, Riau. 

Selain aktivitas perairan dan nelayan, legenda serta sejarah terkait aktivitas sehari-hari nelayan inilah yang juga perlu diangkat untuk melengkapi keberadaandaily life public spaces di Pulau Rupat Utara.

(47)

4.Recreational Public Spaces

Recreational public space ada untuk memenuhi kebutuhan mas-yarakat akan tempat umum yang bisa digunakan untuk menghabiskan waktu luang dan mendapatkan hiburan (Sun, 2009). Sementara itu, Carr dkk (1992) mengidentifikasi setidaknya ada lima kebutuhan yang dicari masyarakat dari recreational public space, yaitu kenyamanan, tempat istirahat, keterlibatan dengan lingkungan baik pasif maupun aktif dan discovery. Berdasarkan pengertian dan kategori ini akan dilihat sejauh mana keberadaan dan perkembanganrecreational public spaces di Pulau Rupat.

Recreational Public Spaces di Pulau Rupat meliputi seluruh pantai yang menjadi objek wisata utama hingga kini. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat di dalam blueprint denah recreational public spaces yang akan dibangun di beberapa titik potensi wisata di Pulau Rupat, terutama area pantai di bawah ini:

Gambar

Gambar 4.1. Blueprint Denah Recreational Public Spaces Pulau Rupat
Gambar 4.2.  Keterbatasan Aksesibilitas ke Pulau Rupat Infrastruktur juga terkait dengan amenitas
Gambar 4.3 Kondisi Infrastruktur Pendukung di Pulau Rupat Utara Melihat pemetaan infrastruktur di Pulau Rupat utara yang sudah dilakukan pemerintah di atas, tampaknya sektor ini yang paling membutuhkan banyak perhatian dalam level urgensi yang tinggi mengi
Gambar 5.2 Gambaran wilayah Pulau Rupat Utara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Manakala untuk menyelesaikan masalah kita perlu berfikir sejenak dan men(ari jalan serta memeikirkan langkah#langkah tertentu yang mungkin tidak pernah di(uba sebelum itu,

Perubahan lingkungan fisik dapat disebabkan diantaranya oleh angin, sinar matahari, gelombang laut dan ..... Angin darat dan angin laut dapat dirasakan pada daerah

Mulia, 2012), 29.. Hal ini terjadi karena salah dalam pola asuh sejak kecil, atau karena pergaulan yang salah. Untuk jenis yang pertama ini, penanganannya bukan dengan cara

Secara operasional penelitian ini bertujuan untuk mengkaji temuan empirik tentang: (1) perbedaan hasil belajar pengetahuan antara kelompok siswa yang diajar

Metode Kauny Quantum Memori dapat menjadi ragam baru bagi pengembangan metode menghafal dalam dunia pendidikan, yang dapat menjadi alternatif bagi guru dalam

Menimbang : bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 17 ayat (2), dan Pasal 20 ayat (1) Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 14 tahun 2017 tentang

Dalam perancangan destination branding ini, Kampung Wisata Batik Kauman Solo memposisikan dirinya sebagai kampung wisata budaya batik yang memiliki potensi-potensi beragam

Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan, maka menghasilkan sebuah perancangan destination branding desa wisata Dompyong sebagai upaya meningkatkan