• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Ritual Dalam Tembang Cianjuran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Aspek Ritual Dalam Tembang Cianjuran"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

1

Aspek Ritual Dalam Tembang Cianjuran

RITUAL merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus (O'Dea, 1995).

Dalam pelaksanaannya, upacara ritual dapat menimbulkan rasa hormat yang luhur serta bersifat sakral, karena upacara ritual dapat dikatakan sebagai suatu pengalaman yang suci untuk menyatakan hubungan manusia dengan yang "transenden". Oleh karena itu, upacara ritual hanya dapat dilakukan dalam acara-acara khusus, serta dalam situasi dan kondisi tertentu.

Perilaku yang mengungkapkan adanya aspek ritual, dapat ditemukan pada seni tradisi Sunda, di antaranya dalam tembang sunda cianjuran. Hal tersebut dapat terjadi, salah satunya karena tembang cianjuran merupakan jenis kesenian hasil karya local genius budaya Sunda yang memiliki nilai adiluhung. Dengan kata lain, dalam penciptaannya, tembang cianjuran melalui proses-proses khusus, tidak

sagawayah, serta dipengaruhi unsur-unsur tertentu, sperti unsur religius.

Sehingga, di dalamnya memiliki kandungan yang mengakibatkan tembang cianjuran dapat menyeret para apresiatornya pada suatu pengalaman spiritual. Bahkan, bisa jadi pengalaman seperti itu terjadi juga pada para penyajinya sendiri. Salah satu bukti ihwal adanya pengalaman atau impresi tertentu tatkala mengapresiasi tembang cianjuran, di antaranya pernah ditulis oleh Wiratmadja. Ketika di Utrecht, Frank Hamel, seorang penikmat seni klasik bersungut-sungut. Ketika istirahat, ia bercerita merasa terganggu dengan senyum penembang, ia merasa diganggu dari keasyikannya menikmati Euis dan Ida (penembang) yang menurutnya sangat fantastik. "Jiwa saya tengah melayang entah ke mana. Mungkin saya sedang berkelana di alam maya. Saya diseret oleh lagu itu kepada "Yang Esa". Tiba-tiba ia tersenyum. Why? itu lagu ketuhanan, itu musik yang dapat menyeret jiwa siapapun ke alam sana" (Wiratmadja, 1996: 8).

Ciri ritualistik

Selain keterangan di atas, aspek ritual dapat diketahui juga dari beberapa fenomena yang terjadi dalam tembang cianjuran. Pertama, dari perilaku pemain. Pada waktu menyajikan tembang cianjuran, perilaku pemain merupakan suatu hal yang sangat memengaruhi terhadap aspek keritualannya. Seperti yang terjadi pada Frank Hammel di atas, ia merasa terganggu hanya dengan senyum penembang.

(2)

2

Bahkan Wim Van Zanten (1989) berpandangan, khusus untuk pemain kacapi indung, harus menggambarkan kacapi indung sebagai seorang wanita yang telah meninggal (mayat wanita). Artinya, pemain tersebut harus memandang kacapi indung dengan penuh konsentrasi, melihat-lihat ke sekitar ketika memainkan kacapi indung bukanlah sikap yang benar.

Kedua, dari simbol perkawinan. Dalam tembang cianjuran, makna dari

perkawinan adalah penyatuan rasa dari seluruh pemain yang bersifat paradoks. Artinya, jika semua pemainnya cocok atau berjodoh, akan tercipta suatu "kharisma" sebagai keberhasilan dari perkawinan tersebut. Bahkan untuk pemain kacapi indung, perkawinan juga terjadi dengan waditra (instrumen) kacapi indungnya. Menurut seorang ahli kacapi indung, Gan-Gan Garmana, makna dari perkawinan tersebut adalah sebagai proses dalam mempelajari kacapi indung. Maksudnya, mempelajari kacapi indung secara rutin dan mendalam, sampai benar-benar memahami dan menguasainya.

Namun dalam makna yang lain, perkawinan tersebut diartikan sebagai hubungan antara suami-istri. Dalam hal ini, pemaknaannya adalah bahwa pemain kacapi menggambarkan kacapi indung sebagai istrinya. Seperti yang dikatakan Zanten, ketika pemain kacapi indung memainkan kacapinya, mulai dari membuka kain penutup kacapi, dapat dikatakan ia akan “mengawini” waditra tersebut (Zanten, 1989). Jika pemainnya berjodoh dengan kacapi indungnya, akan berhasil dalam menghadirkan daya-daya “transenden”. Oleh sebab itu, pemain kacapi indung biasanya seorang pria, karena kacapi indung disimbolkan sebagai seorang wanita.

Ketiga, dari penyediaan sesajian. Meskipun penyediaan sesajian bukan aturan

yang mutlak dalam tembang cianjuran, namun di kalangan dan di tempat-tempat tertentu, masih ada yang selalu menyediakan sesajian ketika menyajikan tembang cianjuran. Ditinjau dari segi ritualistik, hal tersebut dapat berupa ungkapan bahwa tembang cianjuran merupakan sebuah sajian yang berhubungan dengan dunia metafisik sehingga menggunakan sesajian dalam penyajiannya. Seperti yang diceritakan oleh seorang ahli kacapi indung, Ruk-Ruk Rukmana, ia pernah mengalami menyediakan sesajian dalam menyajikan tembang cianjuran, di antaranya sebagai penghormatan terhadap para karuhun (leluhur). Namun sekarang, seiring dengan perkembangan zaman tradisi seperti itu kelihatannya mulai hilang.

Keempat, dari lagu yang disajikan. Dari enam wanda yang terdapat dalam

tembang cianjuran (“Papantunan”, “Jejemplangan”, “Dedegungan”, “Rarancagan”, “Kakawen”, dan “Panambih”), menurut beberapa sumber terdapat

(3)

3

satu wanda yang lagunya memiliki kandungan ritual, yakni wanda “Papantunan”. Seperti yang dikemukakan oleh Sukanda, terhadap lagu-lagu “Papantunan” banyak yang beranggapan bahwa lagunya mengandung efek bagi yang mendengarkannya, yakni "geueuman", "keueung", melankolik, dan juga heroik. Yang jelas, adanya unsur religius (Sukanda, 1983). Begitu juga Wiratmadja (1996) berpandangan, bahwa lagu dalam wanda “Papantunan” terkesan ritual sakral dan "keueung".

Sebagai contohnya lagu “Papantunan” yang memiliki impresi sakral yakni lagu "Rajah". Lagu “Rajah” terkesan sakral karena lagu ini merupakan doa dan mantra yang digunakan untuk memohon ampun, salah satunya kepada segenap roh nenek moyang penguasa wilayah, dan mendatangkan daya-daya tak tampak mereka di tempat penyajian. Menurut Setia Hidayat & Haesy (2004), lagu “Rajah” yang berirama lirih dan spiritualistik, mengekspresikan doa penuh keikhlasan, disampaikan keharibaan Allah, sang mahakreator, yang mahaindah, dan mencintai keindahan. Dari sini, esensinya adalah bahwa penggunaan lagu “Rajah” dalam tembang cianjuran, merupakan salah satu bagian dari keritualan karena bersentuhan dengan pesona yang sakral.

Musikalitas ritual

Jakob Sumardjo mengemukakan, bahwa musik dalam ritual adalah "musik transenden" (baca: Estetika Paradoks, 2006). Artinya, kualitas bunyi yang dihasilkannya harus mengandung daya-daya transenden. Oleh sebab itu, aspek musikal yang terdapat dalam tembang cianjuran, sebagai kesenian yang memiliki kandungan ritual, tentu musiknya pun harus mengandung daya-daya transenden. Rukmana menceritakan, bahwa ia pernah dikunjungi seorang wartawan wanita dari Prancis, yang sengaja datang ke Bandung untuk mengetahui ihwal tembang cianjuran. Wartawan tersebut bertanya, "Sesungguhnya ada apa dalam tembang sunda cianjuran?" Karena, ketika ia mendengarkannya, ia merasakan adanya "sesuatu" yang menyebabkannya "merinding bulu kuduk", terutama "sesuatu" yang terkandung dalam musiknya. Bahkan Frank Hammel pun telah mengungkapkan, bahwa musik dalam tembang cianjuran adalah musik yang dapat menyeret jiwa kita ke "alam sana". Dari keterangan tersebut, dapat menjadi salah satu bukti bahwa musik dalam tembang cianjuran mengandung daya-daya transenden.

Berikut akan dipaparkan sedikit kajian ihwal aspek musikalnya, terutama aspek musikal pada waditra kacapi indung yang berperan sebagai waditra pokok.

(4)

4

Sebagai bahan kajiannya, akan dikemukakan berdasarkan dua hal.

Pertama, berdasarkan nada yang dimainkan. Dalam hal ini, terdapat nada-nada

yang apabila dimainkan dirasakan memiliki kualitas bunyi yang dapat menimbulkan suasana tertentu. Nada-nada tersebut adalah nada-nada yang dimainkan secara bersamaan atau dimainkan dengan teknik kemprangan, dengan permainan kempyung, dan dimainkan pada wilayah bass (rendah), yakni nada 1 (Da) dengan 4 (Ti), 2 (Mi) dengan 5 (La), dan 3 (Na) dengan 1 (Da). Pasangan nada 1 dengan 4, dan nada 3 dengan 1 dapat ditemukan dalam wanda

“Jejemplangan” (Pantun Barang), sedangkan pasangan nada 2 dengan 5 dapata

ditemukan dalam wanda “Papantunan”.

Ketiga pasangan nada tersebut, merupakan pasangan nada-nada yang menjadi ciri khas dalam tembang cianjuran, selain kekhasan dalam suasananya, juga menjadi ciri dari setiap wanda yang disajikan. Apalagi jika dimainkan oleh kacapi indung dengan menggunakan surupan yang rendah, yakni surupan 60 sampai 62, akan berbeda "dangiangnya" bila dibandingkan dengan kacapi yang menggunakan

surupan tinggi, yakni sekitar 50 sampai 59. Karena surupan rendah dalam kacapi

indung, dapat menimbulkan suasana "geueuman", atau dangiangnya akan lebih terasa.

Kedua, berdasarkan teknik permainan. Dalam hal ini, terdapat suatu teknik dalam

memainkan waaditra kacapi indung yang dapat menyebabkan timbulnya suasana

"keueung", yakni teknik kaut. Teknik tersebut dimainkan dengan cara khusus,

dengan membunyikan dua buah nada hampir bersamaan, yakni nada 5 (La) dan 4 (Ti) pada wilayah bass, yang tentunya dipadukan dengan pola tabuhan

kemprangan lainnya. Sehingga, hasilnya dapat menimbulkan suatu efek tersendiri

dari nada yang dibunyikannya. Oleh sebab itu, dalam pirigan kacapi indung teknik ini merupakan suatu teknik yang sangat penting dan fungsional, karena dapat menghasilkan kualitas bunyi yang “transnden”.

Teknik tersebut dapat ditemukan dalam tabuhan wanda “Papantunan” dan wanda

“Jejemplangan”. Dalam wanda “Papantunan”, ditemukan dalam sebuah lagu

yang bersifat sakral, yakni lagu "Rajah" atau “Kunasari". Dalam hal ini, selain jenis lagunya yang bersifat sakral, ternyata dalam pirigannya pun mengandung unsur-unsur musikal dengan kualitas bunyi “transenden”. Sehingga, bertambah sakralah penyajian tembang sunda cianjuran ketika menyajikan lagu tersebut Selain itu, teknik kaut'lebih banyak ditemukan dalam tabuhan wanda

(5)

5

“Jejemplangan” menggunakan teknik tersebut. Di antaranya dalam lagu

“Jemplang Panganten”, “Jemplang Cidadap”, “Jemplang Pamirig”, dan “Jemplang Bangkong”. Semua lagu tersebut harus diiringi dengan menggunakan teknik kaut, karena jika tidak menggunakanya, maka tidak akan terasa karakteristik

"keueungnya". Dalam hal ini, Garmana mengungkapkan perlu latihan tersendiri

untuk dapat menguasai teknik tersebut, terutama untuk para pemain kacapi indung yang kurang memerhatikannya.

Dari beberapa paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam tembang sunda cianjuran terdapat hal-hal yang berhubungan dengan mitologi dan kepercayaan. Sehingga, sedikit atau banyak tembang cianjuran dapat masuk pada wilayah ritual. Meskipun keritualannya tersebut, tidak sesarat atau seritual seni-seni lainnya yang lazim dikatakan sebagai seni-seni ritual. Karena, dalam tembang cianjuran terdapat beberapa wanda yang memiliki karakteristik masing-masing baik pirigan maupun sekarnya, sehingga menimbulkan impresi yang berbeda-beda bergantung kepada para penyaji dan apresiatornya.***

JULI WIRIADIKARTA

Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Seni UPI Bandung

(Pikiran Rakyat, 14/06/07. P.31)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang positif sebagai umpan balik guru untuk menggunakan permainan monopoli sebagai media

Karena populasi penelitian merupakan pengusaha industri kecil muslim sarjana S1 lulusan Universitas Narotama Surabaya, tentunya mereka memiliki karakteristik

Abstracts: The development of Rural Community ICT (RC-1CT) in developed country is influenced by the limited by several resources. This research is to investigate the potential that

Metode six sigma perlu ditambahkan terutama untuk memperbaiki, meningkatkan kualitas dan mengukur kestabilan dari hasil produksi selain metode DMAIC yang sudah mulai

Suhu degradasi dari selulosa hasil isolasi jerami padi sekitar 462,5 °C, sedangkan pada kopolimer A dan B berturut-turut adalah 550 °C dan 535 °C sehingga dapat

Akan tetapi kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum mengerti tentang tata cara permohonan hak atas tanah beserta syarat memperoleh hak atas tanah, serta hambatan yang

diperoleh hasil tingkat penyesuaian diri siswa tertinggi adalah aspek.. menghargai

(Our results are based on Groeneboom [ 10 ] and the related results by Salminen [ 21 ] .) Other simple integral formulas for the distribution and density functions of N and M have