• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 KAJIAN TEORI Model Pembelajaran Kooperatif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI 2.1 KAJIAN TEORI Model Pembelajaran Kooperatif"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 KAJIAN TEORI

2.1.1 Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan system yang memberikan kesempatan pada anak didik untuk bekerjasama dengan sesame siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Dalam pembelajaran kooperatif memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan yang efektif diantara anggota kelompok (Sugandi:14). Setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk sukses. Aktivitas belajar berpusat kepada siswa dalam bentuk diskusi, mengerjakan tugas bersama, saling membantu dan mendukung dalam memecahkan masalah. Melalui interaksi belajar yang efektif, siswa lebih termotivasi, percaya diri, mampu mengutarakan strategi berfikir, serta mampu membangun hubungan interpersonal.

Karakterisitik pembelajaran kooperatif :

1. Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis.

2. Anggota kelompok diatur sendiri dari siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah.

3. System penghargaan yang berorientasi pada kelompok dari individu.

Menurut Slavin (2005 : 8) menyatakan bahawa dalam model pembelajaran kooperatif, para siswa akan duduk bersama dalam kelompok yang beranggotakan empat orang untuk manguasai materi yang disampaikan oleh guru.

La Iru dan La Ode (2012 : 47) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dalam kelompok- kelompok kecil, dengan anggota kelompok 3-5 orang, yang dalam menyelesaikan tugas kelompoknya setiap anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling

(2)

membantu untuk memahami materi, sehingga setiap siswa selain mempunyai tanggung jawab individu, tanggung jawab berpasangan, juga mempunyai tanggung jawab kelompok.

Dari definisi- definisi para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dimana siswa dibagi dalam kelompok- kelompok kecil dengan beranggotakan siswa yang heterogen mulai dari kemampuan akademik, jenis kelamin, suku/ras dan di dalam kelompok tadi terjadi kerjasama dan pembelajaran yang positif serta saling membelajarkan satu sama lain untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Para ahli telah menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif mempunyai efek yang berarti terhadap penerimaan yang luas terhadap keragaman ras, budaya, dan agama, strata sosial, kemampuan dan ketidakmampuan. Pembelajaran kooperatif memberikan peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas- tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain.

Roger dan David Johnson (Lie, Anita, 2008 : 31) menyatakan bahwa tidak semua kerja kelompok dapat disebut dengan pembelajaran kooperatif. Terdapat lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif yang harus diterapkan, antara lain :

1) Saling ketergantungan positif

Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka. 2) Tanggung jawab perseorangan

Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran kooperatif, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif dalam model pembelajaran kooperatif membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga

(3)

masing- masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.

3) Tatap muka

Dalam pembelajaran kooperatif setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.

4) Komunikasi antar anggota

Unsur ini mengehndaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai ketrampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Ketrampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang.Namunn, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional siswa.

5) Evaluasi proses kelompok

Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dnegan lebih efektif.

Sedangkan ciri- ciri model pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut :

1. Siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.

2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda- beda, baik tingkat kemampuan tinggi

3. Penghargaan lebih menekankan pada kelompok dari pada masing- masing individu.

(4)

Dalam pembelajaran kooperatif dikembangkan diskusi dan komunikasi dengan tujuan agar siswa saling berbagi kemampuan, saling belajar berpikir kritis, saling menyampaikan pendapat, saling memberi kesempatan menyalurkan kemampuan, saling membantu belajar, saling menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun teman lain.

Jadi dapat disimpulkan bahwa model pendekatan kooperatif adalah sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara kolaborasi serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinterkasi dan belajar bersama- sama siswa yang berbeda- beda latar belakangnya. Dengan bekerja secara kolaboratif untuk mencapai sebuah tujuan bersama, maka siswa akan mengembangkan ketrampilan berhubungan sesama manusia yang akan sangat bermanfaat bagi kehidupan diluar sekolah.

2.1.2 Model Pembelajaran Group Investigation

2.1.2.1 Pengertian Model Pembelajaran Group Investigation

Menurut Huda (2011) Group investigation adalah suatu metode pembelajaran yang dikembangkan oleh Sharan dan Sharan ini lebih menekankan pada pilihan dan kontrol siswa daripada menerapkan tehnik-tehnik pengajaran di ruang kelas. Selain itu juga memadukan prinsip belajar demokratis dimana siswa terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran baik dari tahap awal sampai akhir pembelajaran termasuk di dalamnya siswa mempunyai kebebasan untuk memilih materi yang akan dipelajari sesui dengan topik yang sedang dibahas.

Huda (2011) mengemukakan bahwa model pembelajaran ini lebih menekankan pada pilihan dan kontrol siswa daripada PBM di dalam kelas. dan disini model pembelajaran ini lebih menekankan pada demokratis sehingga siswa akan terlihat aktif dalam mengikuti PBM mulai dari awal pembelajaran sampai akhir pembelajaran, sehingga siswa mempunyai kebebasan memilih materi sesuai dengan topik pembelajaran.

(5)

Menurut Suprijono (2008) mengemukakan bahwa dalam penggunaan metode Group investigation maka setiap kelompok akan bekerja untuk melakukan investigasi sesuai dengan masalah yang mereka pilih. Sesuai dengan pengertian-pengertian tersebut maka dapat diketahui maka pembelajaran dengan metode Group investigation adalahpembelajaran yang melibatkan aktivitas siswa dan tentu akan membangkitkan semangat serta motivasi siswa untuk belajar.

Hampir sama dengan pemikiran yag dikemukakan oleh Huda, Suprijono juga mengemukakan bahwa model group investigation ini adalah pembelajaran dengan sistem kelompok yang melakukan investigasi sesuai masalah yang mereka pilih. Disini siswa juga dituntut untuk selalu aktif sehingga akan membangkitkan senangat serta motivasi siswa untuk belajar, sehingga siswa tidak akan bosan dalam mengikuti pembelajaran.

Narudin (2009) group Investigationn merupakan salah satu bentuk metode pembelajaran kooperatif yang menekankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia, misalnya dari buku pelajaran atau siswa dapat mencari melalui internet.

Narudin (2009) juga mengemukakan bahwa group investigation adalah model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar untuk membangkitkan aktivitas belajar siswa,selain itu siswa juga harus mencari jawaban sendiri tentang masalah tyang sudah dipilih oleh siswa.dalam hal ini pembelajaranm ini tridak menfokuskan pada buku saja tapi juuaga dapat melalui internet.

Dari beberapa definisi tentang pengertian gruop investigation dapat disimpulkan bahwa GI merupakan strategi belajar kooperatif yang menempatkan siswa ke dalam kelompok untuk melakukan investigasi terhadap suatu topik. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa metode Group Investigation mempunyai fokus utama untuk melakukan investigasi terhadap suatu topik atau objek khusus. Selain itu pembelajaran

(6)

tidak hanya mengunakan buku saja tapi juga dapat mencari melalui sumber-sumber lain.

2.1.2.2 Langkah langkah pembelajaran group investigasi :

Slavin (2010) mengemukakan enam langkah pembelajaran menggunakan Model Group investigation yaitu:

1. Grouping (menetapkan jumlah anggota kelompok)

2. Planning (menetapkan apa yang akan dipelajari, bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa).

3. Investigation (saling tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis data, membuat inferensi).

4. Organizing (anggota kelompok menulis laporan, merencanakan presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator, dan notulis).

5. Presenting (salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati, mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan).

6. Evaluating (masing-masing siswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing).

Menurut Slavin (2010) mengemukakan bahwa ada 6 dalam langkah dalam melakukan model group investigation ini, tapi dalam hal ini slavin lebih menakan kan pada presentasi, diman dalam presentasi ini kelompok bekerja dari awal sampai akhir, yaitu membuat, merencanakan, presentasi laporan sehingga semua yang terdapat dalam model group investigation ini semua aktif dalam proses belajar mengajar, sehingga aktivitas belajar dapat berjalan dengan baik.

Menurut Huda (2011) langkah-langkah pembelajaran dalam menggunakan metode Group investigation terdiri dari:

1. Siswa dibentuk kedalam kelompok kecil secara heterogen 2. Masing-masing kelompok diberi tugas/ proyek

3. Setiap anggota berdiskusi dan menentukan informasi apa yang akan dikumpulkan, bagaimana mengolahnya, bagaimana menelitinya, dan bagaimana menyajikan hasil penelitiandidepan kelas.

(7)

4. Selama proses penelitianatau investigasi siswa akan terlibat dalam aktivitas berpikir tingkat tinggi, seperti sintesis, meringkas, hipotesis, dan kesimpulan.

5. Menyajikan laporan akhir

Hampir sama dengan langkah – langkah yang dikemukakan oleh Slavin, Huda juga memaparkan langkah dalam pembelajaran dengan model ini semua siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok berdiskusi untuk memecahkan masalah yang telah dipilih. Setelah semua jadi siswa akan mempresentasikan atau mendemonstrasikan hasil kerja kelompok di depan kelas sehingga akan memperoleh aktivitas belajar yang terdapat timpal balik.

Agus Suprijono dalam bukunya yang berjudul “Cooperative Learning”, juga mengemukakan langkah - langkah pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran group investigation yaitu :

1. Pembagian kelompok yang dilakukan oleh guru

2. Guru beserta siswa menentukan atau memilih topik-topik tertentu dengan permasalahan yang dapat dikembangkan dari topik tersebut.

3. Guru dan siswa menentukan metode penelitianan yang dikembangkan untuk memecahkan masalah.

4. Setiap kelompok bekerja berdasarkan metode investigasi yang telah di rumuskan

5. Para siswa mempresentasikan hasil investigasinya oleh masing-masing kelompok.

6. Evaluasi. Evaluasi dapat masuk asasmen individual maupun kelompok Agus Suprijono juga mengemukakan tentang langkah dalam model group investigation ini ada beberapa langkah yang harus di lakukan dalam model ini yaitu dengan pembagian kelompok,setiapkelompok mennganalisis tugas kelompok masing – masing dan mempresentasikan hasil kerjanya di

(8)

depan kelas, selain itu juga dilakukan evaluasi baik kelompok maupun individu.

Jadi, dari beberapa langkah yang sudah dijabarkan oleh para ahli, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa model pembelajaran GI mempunyai 6 langkah dalam pelaksanaanya, yaitu :

1. pembentukan kelompok beranggotakan 2 – 6 kelompok. 2. memilih topik permasalahan.

3. merencanakan tugas (metode penelitian) 4. investigasi :

a. mengumpulkan informasi

b.menganalisis data terdiri dari klasifikasi, klarifikasi, sintesis c. membuat simpulan

5. membuat laporan.

6. presentasi hasil investigasi.

7. evaluasi hasil investigasi yang berupa diskusi kelas dan presentasi baik secara individu maupun kelompok.

2.1.2.3 Kelebihan dan Kelemahan Model Group Investigation

Aunurrahman (2010: 152) mengungkapkan beberapa kelebihan dari model investigasi kelompok (Group Investigation) yaitu sebagai berikut.

”Model ini juga akan mampu menumbuhkan kehangatan hubungan antar pribadi, kepercayaan, rasa hormat terhadap aturan dan kebijakan, kemandirian dalam belajar serta hormat terhadap harkat dan martabat orang lain. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa model investigasi kelompok dapat dipergunakan pada seluruh areal subyek yang mencakup semua anak pada segala tingkatan usia dan peristiwa sebagai model inti untuk semua sekolah”.

Menurut Setiawan (2006:9), Model Pembelajaran Group Investigation selain memiliki kelebihan juga terdapat beberapa kekurangannya, yaitu:

1. Sedikitnya materi yang tersampaikan pada satu kali pertemuan. 2. Sulitnya memberikan penilaian secara personal.

(9)

3. Tidak semua topik cocok dengan model pembelajaran GI, model pembelajaran GI cocok untuk diterapkan pada suatu topik yang menuntut siswa untuk memahami suatu bahasan dari pengalaman yang dialami sendiri.

4. Diskusi kelompok biasanya berjalan kurang efektif.

2.1.3 Model Pembelajaran Talking Stick

2.1.3.1. Asal Mula Model Pembelajaran Talking Stick

Model pembelajaran Talking Stick adalah model yang pada mulanya digunakan oleh penduduk asli Amerika untuk mengajak semua orang berbicara atau menyampaikan pendapat dalam suatu forum. Sebagaimana dikemukakan Carol Locust (Deden: 2010) berikut ini:

“The talking stick has been used for centries by many Indian tribes as a means of just and important hearing. The talking stick has commonly used in council cie=rcles to decide who had the right to speak. When matters of great concern would come before the council, the leading elder would hold the talking stick, and begin the discussion. When he would finish what we had to say, he would hold out the talking stick, and whoever would speak after him would take it. In this manner, the stick would be passed from one individual to another until all who wanted to speak had done so. The stick was then passed back to the elder for safe keeping.”

Tongkat berbicara telah digunakan selama berabad-abad oleh suku-suku Indian sebagai alat menyimak secara adil dan tidak memihak. Tongkat berbicara sering digunakan kalangan dewan untuk memutuskan siapa yang mempunyai hak berbicara. Pada saat rapat pimpinan rapat mulai berdiskusi dan membahas masalah, ia harus memegang tongkat berbicara. Tongkat akan pindah ke orang lain apabila ia ingin berbicara atau menanggapinya. Dengan cara ini tongkat berbicara akan berpindah dari satu orang ke orang lain jika orang tersebut ingin mengemukakan pendapatnya. Apabila semua mendapatkan giliran berbicara, tongkat itu lalu dikembalikan lagi ke ketua/pimpinan rapat. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa

(10)

Talking Stick dipakai sebagai tanda seseorang mempunyai hak suara (berbiacara) yang diberikan secara bergilirian/bergantian.

2.1.3.2. Pengertian model pembelajaran Talking Stick

Model pembelajaran Talking Stick adalah model pembelajaran yang dipergunakan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Talking Stick sebagaimana dimaksudkan dalam penelitian ini, dalam proses belajar mengajar di kelas berorientasi pada terciptanya kondisi belajar melalui permainan tongkat yang dilakukan dengan bernyanyi atau dengan menggunakan musik. Ketika siswa bernyanyi tongkat berjalan secara bergiliran untuk diberikan dari satu siswa ke siswa yang lainnya dan ketika lagu atau musik yang diputar berhenti, maka siswa yang memegang tongkat berkesempatan untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru seperti menjawab pertanyaan. Sebelum melakukan permainan Talking Stick, guru terlebih dahulu menjelaskan materi pelajaran dan selanjutnya mengajukan pertanyaan tentang materi yang telah disajikan. Setelah guru selesai menjelaskan materi selanjutnya dilakukan permainan tongkat berjalan dengan diiringi bernyanyi oleh siswa dikelas. Siswa yang memegang tongkat ketika lagu berhenti ialah siswa yang memperoleh kesempatan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal tersebut dilakukan hingga semua kelompok berkesempatan mendapat giliran menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru.

2.1.3.3. Langkah-langkah Model Pembelajaran Talking Stick

Teknis pelaksannan model Talking Stick sebagai mana tercantum dalam buku panduan materi sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Nasional 2006 dapat digambarkan sebagai berikut :

(11)

2) Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk membaca dan mempelajari materi.

3) Setelah selesai membaca materi pelajaran, siswa dipersilakan untuk menutup buku.

4) Guru mengambil tongkat dan memberikan kepada siswa, setelah itu guru memberikan pertanyaan pada siswa yang memegang tongkat tersebut dan kelompok harus menjawabnya, demikian seterusnya hingga seluruh kelompok mendapat giliran untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru.

5) Guru memberikan kesimpulan. 6) Melakukan evaluasi

7) Menutup pelajaran.

Menurut Suherman (2006:84) sintaks pembelajaran Talking Stick adalah sebagai berikut :

1) Guru menyiapkan tongkat. 2) Guru menyajikan materi pokok.

3) Siswa diberikan kesempatan untuk membaca materi lengkap pada wacana. 4) Siswa diminta menutup bukunya.

5) Guru menjelaskan aturan permainan.

6) Guru mengambil tongkat dan memberikan tongkat kepada siswa yang nantinya akan diputar dengan diiringi music dari siswa satu ke siswa yang lain dan siswa yang memegang tongkat saat putaran berhenti melaksanakan instruksi dari guru misalnya diminta menjawab pertanyaan dari guru atau menyatakan pendapat, begitu seterusnya sampai sebagian besar siswa sudah menjawab.

7) Guru membimbing siswa dalam pembelajaran. 8) Guru dan siswa menarik kesimpulan.

(12)

10) Guru member ulasan terhadap seluruh kegiatan yang dilakukan oleh siswa.

11) Siswa diberi evaluasi.

2.1.3.4 Kelebihan dan Kekurangan Talking Stick

Kelebihan dari model pembelajaran Talking Stick antara lain : 1) Siswa terlibat langsung dalam kegiatan belajar dalam permainan. 2) Terdapat interaksi antara guru dan siswa.

3) Melatih kesiapan siswa.

4) Kegiatan belajar menjadi lebih menyenangkan.

Adapun kekurangan dari model ini adalah :

1) Siswa yang lebiih pandai lebih siap dalam menjawab pertanyaan. 2) Guru kesulitan melakukan pengawasan.

3) Ketenangan kelas kurang terjaga.

Solusi dalam menghadapi kelemahan tersebut menurut peneliti dapat dilakukan dengan pengkondisian kelas yang lebih kondusif. Guru harus mampu memunculkan kekompakan kelas sehingga guru mudah dalam mengatur dan mengawasi jalannya proses pembelajaran.

2.1.4. Hakekat IPA

Permendiknas no. 22 tahun 2006 diharapkan ditingkat SD ada penekanan pembelajaran salingtemas (sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat) yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana. Wahyana (dalam Trianto, 2013: 136), ” mengatakan bahwa IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik,

(13)

dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam”. Perkembangan tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah. Dapat disimpulkan bahwa IPA adalah pengetahuan yang rasional dan objektif, berhubungan dengan gejala-gejala alam.

Tujuan pembelajaran IPA di SD menurut Kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) secara terperinci adalah:

1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan – Nya.

2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep – konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari – hari. 3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang

adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.

4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

5) Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.

Berdasarkan tujuan umum mata pelajaran IPA, maka dalam jenjang pendidikan sekolah dasar mata pelajaran IPA mempunyai ruang lingkup bahan kajian, yaitu :

1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.

(14)

3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana.

4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya.

2.1.5. Hasil Belajar

Dimyati dan Mudjiono (2009:250) hasil belajar merupakan hasil proses belajar atau proses pembelajaran. Berarti hasil belajar diperoleh yang diperoleh dari proses pembelajaran seseorang itu sendiri. Sedangkan menurut Suprijono (2009:5), “hasil belajar adalah pola- pola peraturan, perbuatan nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan ketrampilan”. Definisi dari pendapat para ahli dapat disimpulkan, bahwa hasil belajar adalah hasil belajar yang diperoleh siswa dari proses suatu pembelajaran.

Hasil belajar sangat penting karena siswa akan mengalami perubahan tingkah laku belajar yang lebih baik sebagai akibat dari proses belajar. Hasil belajar diukur dari tingkat keberhasilan siswa tersebut mencapai tujuan pengajaran. Hasil ini di wujudkan dalam bentuk nilai yang dapat memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan siswa dan merupakan bukti dari keberhasilan siswa dalam pencapaian belajarnya.

Hasil belajar sering digunakan sebagai ukuran apakah proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan siswa berhasil atau tidak. Hasil belajar yang diperoleh siswa adalah sebagai akibat dari proses belajar yang dilakukan oleh siswa. Semakin tinggi proses belajar yang dilakukan oleh siswa, harus semakin tinggi hasil belajar yang diperoleh siswa. Proses belajar merupakan penunjang hasil belajar yang dicapai siswa (Sudjana, 2010). Jadi secara tidak langsung hasil belajar adalah gambaran umum tentang kemampuan pemahaman siswa terhadap suatu materi yang telah diajarkan oleh guru.

Faktor –faktor yang mempengaruhi hasil belajar banyak jenisnya, namun dapat digolongkan menjadi dua faktor yatu intern dan ekstern. Faktor

(15)

intern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar, sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada di luar individu. (Slameto, 2010: 54)

Faktor intern adalah faktor – faktor yang mempengaruhi hasil belajar yang timbul dari sisi individu yang sedang belajar, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Faktor yang ada pada diri individu yang sedang belajar disebut faktor intern yang meliputi:

a. Faktor jasmaniah, meliputi kesehatan, cacat tubuh

b. Faktor psikologis, meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, kesiapan.

c. Faktor kelelahan baik itu kelelahan jasmani maupun rohani.

Faktor ekstern merupakan faktor yang berasal dari luar atau bukan dari sisi individu siswa yang sedang belajar yang dapat mempengaruhi hasil belajar, dapat disimpulkan sebagai berikut:

2) Faktor yang ada pada luar individu yang disebut faktor ekstern, yang meliputi:

a. Faktor keluarga, meliputi cara orang tua mendidik, relasi antaranggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, latar belakang kebudayaan.

b. Faktor sekolah, meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan, gedung, metode belajar, tugas rumah.

c. Faktor masyarakat, meliputi kegiatan siswa dalam masyarakat, media masa, teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat.

2.2. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Rahayu, Murti (2011) melakukan penelitian dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Model Group Investigation Bagi

(16)

Siswa Kelas IV SD N Soso 03 Gandusari Kabupaten Blitar”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model group investigation dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang terlihat dari peningkatan perolehan pra tindakan sampai pada siklus kedua yang mencapai peningkatan sebesar 13% dari 16 siswa yang tuntas 14 siswa dan belum tuntas 2 siswa. Kelebihan : model group investigation adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang sulit untuk diterapkan, namun peneliti mampu meningkatkan hasil belajar secara maksimal. Kelemahan : sayang sekali masih ada 2 siswa yang belum tuntas dalam pembelajaran menggunakan grup investigation. Cara mengatasi kelemahan tersebut dengan lebih memaksimalkan pembelajaran ini, karena 2 siswa yang belum tuntas ini sangat disorot oleh pembaca.

Budiyono, Cendot (2011) melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Group Investigation Dipadu Dengan Game Puzzle Untuk Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas VII-B SMP Negeri 1 Bondowoso”. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa penerapan metode GI yang dipadu game puzzle, dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dari siklus 1 73,63% dengan kriteria baik dan pada siklus 2 sebesar 89,57% dengan criteria sangat baik sehingga terjadi peningkatan sebesar 15,94%. Kelebihan : selain dapat meningkatkan hasil belajar, model pembelajaran GI juga dapat meningkatkan aktivitas siswa. Kelemahan : model pembelajaran GI menuntut siswa untuk berfikir aktif dan kritis, kalau ada siswa yang tidak aktif maka akan menghambat tujuan pembelajaran. Cara mengatasi kelemahan yaitu dengan melakukan pemantauan secara menyeluruh supaya para siswa tetap aktif dalam masing-masing kelompoknya.

Penelitian yang dilakukan oleh Ratih Endarini Sudaromono (2011) dengan judul “Peningkatan Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa Kelas V Melalui Penerapan Model Pembelajaran Group Investigation Pada Mata Pelajaran IPA Di SD Sidorejo Lor 02 Salatiga Seester 1 Tahun Ajaran

(17)

2009/2010”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran GI dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dari siklus I sebesar 77% dan pada siklus II dengan presentase 89%. Peningkatan aktivitas siswa memberikan dampak yang positif terhadap hasil belajar yaitu pada ulangan harian siswa dengan nilai rata-rata mencapai 88. Kelebihan : model GI bisa masuk ke dalam beberapa mata pelajaran sehingga siswa dapat berlatih berfikir unuk memecahkan suatu masalah.

Penelitian yang dilakukan oleh Winda Sustyanita Murtarto dengan Judul : Penerapan model pembelajaran Talking Stick untuk meningkatkan pembelajaran IPA kelas IV SD N 2 Pringapus Kecamatan DOngko Kabupaten Trenggalek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model talking stick dapat meningkatkan pembelajaran IPA kelas IV, kompetensi dasar “mendeskripsikan perubahan kenampakan bumi” SD N 2 Pringapus Kecamatan Dongko Kabupaten Trenggalek. Penerapan model pada siklus I dan II memperoleh nilai 89,59 dan 95. Aktivitas belajar siswa meningkat ketika diterapkan model talking stick, pada siklus I dan II diperoleh nilai rata-rata 73,2 dan 87,05. Siswa yang mendapat criteria tuntas belajar meningkat dari siklus I ke siklus II setelah diterapkan model Talking Stick yaitu 57,69% menjadi 88,81%. Sedangkan rata-rata ketuntasan klasikal kelas siklus I dan siklus II sebesar 73,08%. Skor tersebut telah mencapai skor ketuntasan klasikal yang ditetapkan oleh peneliti yaitu 70%.

Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Enggar Septiyani berjudul “Penerapan Model Talking Stick untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran PKn kelas V SD N Tanjungrejo 2 Malang” dimana hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penerapan model Talking Stick pada Mata Peajaran PKn dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SD N Tanjungrejo 2 Malang. Hal tersebut dilihat dari perolehan rata-rata hasil belajar siswa yang terus meningkat, mulai dari nilai rata-rata sebelumnya 62 mengalami peningkatan pada siklus I dengan nilai rata-rata kelas sebesar 66

(18)

dan presentase ketuntasan belajar kelasnya yaitu 50% meningkat pada siklus II dengan nilai rata-rata kelasnya sebesar 80 dan presentase ketuntasan belajar kelasya sebesar 93%.

2.3. Kerangka Pikir

Keberhasilan proses pembelajaran juga didukung oleh penggunaan model atau metode pembelajaran yang tepat, sesuai mata pelajaran, materi dan kondisi siswa secara keseluruhan, selain oleh kemampuan siswa itu sendiri. Salah satu wujud model pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa adalah dengan model pembelajaran Group Investigation dan Talking Stick. Metode ini merupakan metode pembelajaran yang mengikutsertakan siswa dalam pembelajaran, mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaannya, sehingga pembelajaran tidak hanya didominasi oleh guru, tetapi siswa juga menjadi bagian dalam pembelajaran.

Model pembelajaran Group Investigation dan Talking Stick adalah pembelajaran kooperatif dengan diskusi kelompok yang saling bekerja sama, dalam menerima suatu materi dan setiap kelompok harus bertanggung jawab untuk dapat menyampaikan materi yang dipelajarinya kepada orang lain. Jadi, dengan menerapkan model pembelajaran Group Investigation dan Talking Stick dapat meningkatkan hasil belajar siswa karena siswa dapat lebih aktif serta lebih mudah memahami dan mengingat materi pembelajaran. Dalam pembelajaran ini terdapat empat kali tatap muka yang terbagi dalam dua siklus, apabila pada siklus I hasil belajar dinilai belum memenuhi kriteria ketuntasan minimal, maka pembelajaran pada siklus I akan di observasi dan direfleksi untuk selanjutnya diadakan perbaikan lagi pada siklus II. Hingga terlihat hasil akhir dimana hasil belajar siswa yang meningkat dan telah memenuhi kriteria ketuntasan minimal yaitu 75.

(19)

Hasil belajar siswa rendah

Melalui penerapan model GI dan TS hasil belajar IPA siswa pada pokok bahasan jenis-jenis tanah dan

peristiwa alam, kelas V SD N Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang dapat meningkat. Metode pembelajaran yang konvensional Siklus 2 Proses pembelajaran pada siklus 2 adalah refleksi dari pelaksanaan siklus 1 Siklus1 Proses pembelajaran menekankan pada: 1.Diskusi, kerjasama. 2.Bertanggung jawab

atas suatu materi yang dipelajari

3.Dapat menyampaikan materi pada orang lain. Menerapkan model GI dan TS (Group Investigation dan Talking Stick) TINDAKAN KONDISI AKHIR KONDISI AWAL Gambar 2.1

Kerangka Pikir Hasil Belajar Siswa menurut Slavin

(20)

2.4. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian teoritis dan hasil penelitian sebelumnya, maka diajukan hipotesis tindakan sebagai berikut : “ Melalui penggunaan model pembelajaran Group Investigation dan Talking Stick dapat meningkatkan hasil belajar IPA bagi siswa kelas V SD N Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang pada semester II tahun pelajaran 2012/2013 ”.

2.5. Indikator Keberhasilan

Indikator keberhasilan penelitian tindakan kelas ini adalah apabila hasil belajar siswa dapat mencapai KKM yaitu 75. Pelajaran IPA merupakan salah satu mata pelajaran utama yang dipelajari di SD. Namun, siswa di SD Negeri Wonoyoso kelas V masih mengalami kesulitan memahami materi dilihat dari hasil belajar mereka yang sebagian besar belum memenuhi KKM. Materi yang disampaikan terlihat sulit untuk diterima oleh siswa. Hasil belajar siswa kelas V pada mata pelajaran ini kurang begitu maksimal. Dapat dikatakan bahwa tujuan pembelajaran belum bisa dicapai sepenuhnya.

Penyampaian materi dengan model ceramah adalah salah satu faktor utama penyebab tidak maksimalnya pencapaian tujuan pembelajaran. Sebagian besar siswa cenderung merasa jenuh dengan model pembelajaran ini yang pada akhirnya memicu berkurangnya konsentrasi siswa terhadap penerimaan materi pelajaran. Siswa kesulitan untuk menerima materi yang terlalu banyak dengan guru sebagai pusat pembelajaran.

Siswa yang merasa bosan dalam kegiatan pembelajaran tidak akan bisa menangkap materi pelajaran dengan maksimal. Diperlukan strategi pembelajaran dengan model yang baru agar bisa menarik minat siswa untuk belajar. Model pembelajaran secara bervariasi dirasa mampu mengatasi persoalan tersebut. Model pembelajaran yang baru bagi siswa mampu membuat siswa menjadi lebih tertarik untuk memahami suatu materi. Siswa

(21)

yang sudah kembali memiliki minat yang bagus untuk mempelajari materi, akan memiliki peluang lebih baik dalam meningkatan hasil belajar.

Model pembelajaran Group Investigation dan Talking Stick adalah kombinasi model pembelajaran yang efektif untuk membangkitkan minat siswa dalam belajar. Model pembelajaran ini mengajak siswa secara aktif mempelajari materi ajar. Model Group Investigation & Talking Stick sangat tepat dipadukan karena Group Investigation yang bersifat student centered dan konstruktivistik dalam menginvestigasi suatu topik dianggap cocok dan tepat jika dipadukan dengan model pembelajaran Talking Stick yang sintaks pembelajarannya terdapat permainan tongkat yang dilakukan dengan iringan musik atau dengan bernyanyi yang tentunya akan sangat menyenangkan jika disajikan dalam sebuah pembelajaran.

Kedua model pembelajaran diatas merupakan model pembelajaran yang berpusat pada siswa dan bersifat menyenangkan, karena siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Apabila minat siswa dapat ditumbuhkan ketika ia mempelajari sesuatu, kemudian ia terlibat secara aktif dan penuh dalam membahas materi yang akan dipelajarinya, maka pada akhirnya dia akan terkesan dengan proses pembelajaran yang diikutinya, sehingga pendalaman akan materi yang dipelajari dapat muncul sangat kuat” (Hernowo 2007 : 21).

Apabila proses pembelajaran berlangsung dengan maksimal, maka tujuan pembelajaran menjadi lebih mudah dicapai oleh guru. Dengan minat siswa yang lebih baik dalam menerima pelajaran maka akan cenderung membuat hasil belajar siswa meningkat sesuai dengan tujuan pembelajaran.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui keadaan Kerajaan Siak pada masa pemerintahan sebelum Sultan Assaidis Syarif Hasyim Abdul Jalili Saifuddin, untuk

Sunatan oleh masyarakat Dompu disebut suna ro ndoso, merupakan bagian dari upacara adat yang senantiasa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki budaya, bukan hanya

satuan kerja untuk pelaksanaan sebuah proses • Perancangan organisasi sebaiknya dibuat untuk. memastikan eksekusi proses yang paling efisien dan

Salah satunya model jaring laba-laba (webbed model), penggunaan model pembelajaran di dalam kegiatan belajar mengajar dikelas dapat membantu guru dalam menyampaikan

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Efektivitas Pembelajaran

Iodine atau iodium merupakan komponen penting dari hormon tiroid, dan asupan iodium yang memadai sangat diperlukan untuk fungsi normal tiroid.. Asupan iodium dari

Gambaran faktor perilaku responden SCP penasun tahun 2013 di DKI Jakarta diperoleh bahwa proporsi penasun yang positif HIV tertinggi pada kelompok penasun yang menyuntikkan

Menurut Arso Martopo (2004), Sebagai bagian dari upaya mewujudkan keselamatan pelayaran dan perlindungan terhadap lingkungan laut, penataan alur pelayaran dan sarana