• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS. tetap monolingual. Sedangkan masyarakat tutur terbuka adalah masyarakat yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS. tetap monolingual. Sedangkan masyarakat tutur terbuka adalah masyarakat yang"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS

2.1 Kontak Bahasa

Masyarakat tutur terdiri atas dua, yakni masyarakat tutur tertutup dan masyarakat tutur terbuka. Masyarakat tutur tertutup adalah masyarakat yang tidak tersentuh oleh dunia luar dan mampu menjadikan bahasa mereka statis sehingga tetap monolingual. Sedangkan masyarakat tutur terbuka adalah masyarakat yang mempunyai hubungan dengan masyarakat tutur lainnya sehingga akan mengalami kontak bahasa dengan segala peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi.

Kontak bahasa terjadi pada masyarakat yang bilingual ataupun multilingual. Thomason (2001:1) mengatakan bahwa kontak bahasa adalah peristiwa penggunaan lebih dari satu bahasa dalam tempat dan waktu yang sama. Dalam hal ini masyarakat bilingual ataupun multilingual tidak dituntut untuk dapat berbicara dua bahasa dengan lancar sebagai dwibahasawan atau multibahasawan. Komunikasi yang terjadi antara penutur dua bahasa yang berbeda merupakan peristiwa kontak bahasa.

Kontak bahasa mengakibatkan beberapa kasus seperti multilingualisme, pilihan bahasa, pemertahanan bahasa, pergeseran bahasa, kepunahan bahasa, dan lain-lain. Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada masyarakat Pakpak Dairi dalam masyarakat multilingualisme.

(2)

2.2 Multilingualisme

Adanya kontak bahasa menyebabkan perubahan terhadap masyarakat monolingual menjadi bilingual dan pada akhirnya menjadi multilingual. Hal ini disebabkan banyak faktor, seperti perkembangan teknologi komunikasi, adanya globalisasi, dan pesatnya dunia pendidikan. Hal itu juga menyebabkan kebutuhan masyarakat mengenai bahasa mengalami pergeseran.

Multilingualisme dihubungkan dengan masyarakat multilingual, masyarakat yang anggota-anggotanya berkemampuan atau biasa menggunakan lebih dari dua bahasa bila berkomunikasi antar sesama anggota masyarakat lainnya (Holmes, 2001:19). Masyarakat multilingual mengembangkan kemampuan mereka dalam masing-masing kode untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kemampuan mereka menggunakan bahasa bergantung pada situasi dimana masing-masing bahasa digunakan. Multilingualisme terjadi karena adanya kontak bahasa (Chaer, 2007:65). Kontak bahasa adalah penggunaan lebih dari satu bahasa pada tempat dan waktu yang bersamaan (Thomason, 2001:1). Peristiwa kontak bahasa ini hanya terjadi pada masyarakat terbuka. Masyarakat terbuka adalah masyarakat yang mempunyai hubungan dengan masyarakat lain.

Keanekaragaman bahasa merupakan gejala bahasa yang sangat menarik untuk peneliti sosiolinguistik. Keanekaragaman ini menyebabkan para peneliti ingin mengetahui lebih dalam lagi mengenai fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat, khususnya perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan. Dengan kata lain, para peneliti ingin mengkaji penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan gejala sosial, unsur globalisasi dan unsur budaya. Gejala sosial, unsur globalisasi dan unsur budaya

(3)

ini berpengaruh terhadap penggunaan bahasa, yakni pergeseran, kepunahan dan pemertahanan bahasa. Pergeseran, kepunahan dan pemertahanan bahasa terdapat pada masyarakat multilingual. Inilah yang menjadi fenomena dalam masyarakat multilingual. Dalam hal ini masyarakat penutur minoritas dituntut untuk dapat mempertahankan dan melestarikan bahasa minoritas (bahasa daerah) diantara masyarakat penutur mayoritas. Ini merupakan ancaman dan tantangan bagi masyarakat penutur minoritas.

Keanekaragaman dapat terjadi karena migrasi. Migrasi atau perpindahan penduduk menimbulkan fenomena kebahasaan. Migrasi ini juga berpengaruh terhadap penggunaan bahasa. Migrasi dapat menyebabkan suatu masyarakat meninggalkan bahasa daerahnya atau menggeser bahasa daerahnya ke bahasa lain. Migrasi juga tidak selamanya mengarah ke arah kemunduran tetapi bisa juga mengarah kemajuan, yakni pemertahanan bahasa (language maintenance). Pemertahanan bahasa bergantung pada masyarakat tutur itu sendiri sebagai pemakai bahasa.

2.3 Sikap Bahasa

Sikap adalah cara seseorang untuk melakukan sesuatu sesuai yang diinginkannya. Sejalan dengan itu, Rokeach (dalam Halim, 1983: 138) mengatakan bahwa sikap adalah jaringan keyakinan (kognisi) dan nilai yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk berbuat atau bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu yang disenanginya.

Sikap memiliki tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif dan komponen konatif (Lambert, 1967:91-102). Komponen kognitif

(4)

menyangkut pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipakai dalam proses berpikir. Komponen afektif menyangkut perasaan atau emosi yang mewarnai atau menjiwai pengetahuan atau gagasan yang terdapat dalam komponen kognitif. Komponen konatif menyangkut nirai rasa „baik atau tidak baik‟, „senang‟ atau „tidak senang‟ terhadap sesuatu. Apabila seseorang memiliki sikap „positif‟ terhadap sesuatu tersebut, komponen konatif ini pada umumnya tertanam sejak lama dan merupakan salah satu aspek dari sikap yang paling bertahan lama. Sebaliknya, apabila seseorang mempunyai rasa „tidak senang‟ atau „tidak suka‟ terhadap sesuatu, maka ia mempunyai sikap „negatif‟. Komponen konatif menyangkut kecendrungan seseorang untuk berbuat atau bereaksi dengan cara tertentu terhadap suatu keadaan.

Garvin dan Mathiot (dalam Suwito, 1983:91) mengatakan bahwa sikap bahasa itu setidak-tidaknya mengandung tiga ciri pokok, yaitu kesetiaan bahasa (language loyalty), kebanggaan bahasa (language pride) dan kesadaran akan norma bahasa (awareness of the norm). Kesetiaan bahasa (language loyalty) adalah keinginan masyarakat pendukung bahasa itu untuk memelihara dan mempertahankan bahasa itu. Sejalan dengan Garvin dan mathiot, Weinreich (1974:99) mengatakan bahwa kesetiaan bahasa (language loyalty) itu sama halnya seperti nasionalisme, yaitu daya ide yang mengisi mental dan hati manusia dengan pikiran-pikiran dan sistem dan mengendalikan manusia untuk menerjemahkan kesadarannya dalam tingkah laku berpola. Artinya kesetiaan itu mengandung nilai mental dan emosi yang sangat menentukan tingkah laku berbahasa dan kesetiaan bahasa inilah terutama mendorong seseorang untuk berusaha mempertahankan bahasanya. Kebanggaan bahasa (language pride) merupakan penanda jati diri atau

(5)

identitas sebagai pemakai bahasa. Sedangkan kesadaran akan norma bahasa (awareness of the norm) adalah pemakaian bahasa sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku, sopan, baik dan benar.

Intinya, sikap bahasa ini yang pada akhirnya akan menentukan apakah suatu guyup (komunitas) akan mempertahankan bahasa daerah mereka atau mereka akan memilih bahasa kedua untuk mereka gunakan nantinya. Sikap bahasa itu semua bergantung pada guyup (komunitas) tersebut. Apabila mereka mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap bahasa daerah mereka, mereka akan memelihara dan mempertahankan bahasa daerah mereka yang sekaligus menunjukkan identitas mereka sebagai pemakai bahasa.

2.4 Pergeseran Bahasa

Pergeseran bahasa terjadi karena adanya kontak bahasa. Pergeseran bahasa terjadi dalam masyarakat bilingual atau multilingual. Menurut Romaine (1995:49-54) mengatakan bahwa pergeseran bahasa adalah gejala perubahan bentuk dan makna suatu bahasa hingga munculnya gejala kolektif, yaitu ketika komunitas tutur meninggalkan bahasanya dan beralih ke bahasa yang lain. Gejala kolektif ini disebabkan oleh adanya dinamika masyarakat yang multilingual dengan berbagai aspek sosial di dalamnya. Pada masyarakat multilingual, kontak bahasa tidak dapat dihindari. Peran, kedudukan, dan fungsi suatu bahasa menyebabkan terjadinya pilihan bahasa.

Menurut Edwards (1985:48) mengatakan ada dua hal yang menyangkut pergeseran bahasa. Pertama, dikatakan bahwa bahasa itu bergeser apabila budaya yang dimiliki masyarakat tersebut sudah mengalami perubahan. Hal ini jelas

(6)

mempengaruhi pemertahanan bahasa, apabila seseorang itu sudah tidak menggunakan budaya yang mereka miliki dalam segala aktivitas khususnya dalam adat-istiadat, budaya mereka akan bergeser dan lama kelamaan akan punah. Kedua, pergeseran bahasa itu terjadi karena mereka menganggap bahwa bahasa daerah tidak penting untuk kelanjutan identitas mereka sebagai pemakai bahasa. Apabila seseorang itu tidak menganggap bahwa bahasa daerah itu adalah identitas mereka, ini menyebabkan melemahnya pemertahanan bahasa. Hal ini disebabkan karena mereka tidak memiliki sikap terhadap bahasa daerah mereka.

Selanjutnya, dalam penelitian Gal di Oberwart tentang pilihan bahasa dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran bahasa adalah ekonomi, agama, umur, perbedaan prestise dan sikap ambivalen (mendua). Sumarsono (2004:235-238) juga mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan pergeseran bahasa adalah kedwibahasaan, migrasi, ekonomi, dan sekolah. Dapat di simpulkan bahwa faktor yang memicu pergeseran bahasa adalah kedwibahasaan, agama, ekonomi, sikap bahasa, umur, sikap ambivalen, dan sekolah.

2.5 Pemertahanan Bahasa

Sebagai salah satu objek kajian sosiolinguistik, gejala pemertahanan bahasa sangat menarik untuk dikaji. Konsep pemertahanan bahasa lebih berkaitan dengan prestise suatu bahasa di mata masyarakat pendukungnya.

Pemertahanan bahasa (language maintenance) berkaitan erat dengan pergeseran bahasa (language shift). Sumarsono (2004: 231) mengatakan bahwa pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa ibarat dua sisi dari satu mata uang

(7)

yang tidak dapat dipisahkan. Pemertahanan bahasa (language maintenance) sering dilakukan melalui identifikasi pada domain dan situasi. Dalam hal ini bahasa tidak lebih lama digunakan atau berangsur-angsur dipilih untuk penggunaan bahasa yang lain. Sebaliknya, pergeseran bahasa (language shift) mengimplikasikan kepada perubahan penutur, sekelompok penutur, dan masyarakat tutur.

Pemertahanan bahasa (language maintenance) digunakan untuk mendeskripsikan suatu situasi seorang penutur, sekelompok penutur, maupun komunitas penutur melanjutkan untuk menggunakan bahasa mereka dalam kehidupan mereka walaupun ada persaingan dengan bahasa yang dominan untuk menjadikan bahasa utama dalam lingkungan tersebut (Anne Pauwels dalam Davies, 2004:719).

Selanjutnya, Fishman (1972:97) mengatakan bahwa pemertahanan bahasa (language maintenance) bergantung pada ideologi nasional dalam masyarakat atau bergantung paling sedikit pada ideologi yang dimiliki masyarakat yang mempertahankan konteks sosial mereka untuk melawan perubahan yang datang.

Peristiwa pemertahanan bahasa ataupun pergeseran bahasa muncul karena adanya peristiwa kontak bahasa (Anne Pauwels dalam Davies, 2004:719). Kontak bahasa (language contact) tidak selalu melibatkan kompetisi linguistik dimana hanya satu bahasa yang bertahan, ada banyak situasi kontak bahasa (language contact) dimana suatu bahasa kehilangan bahasa daerah dalam menghadapi bahasa lain. Kehilangan bahasa daerah ini mempunyai konsekuensi bagi bahasa dan masyarakat tutur. Konsekuensi ini merujuk kepada kepunahan bahasa dan pergeseran bahasa. Kepunahan bahasa merupakan pengaruh yang sangat besar. Dalam hal ini masyarakat tutur berhenti menggunakan bahasa daerahnya untuk

(8)

berbagai alasan. Selanjutnya, pergeseran bahasa mempunyai pengaruh lebih sedikit. Dalam hal ini masyarakat tutur kehilangan penggunaan bahasanya dan/atau penggunaan fungsi bahasa dan bergeser pada penggunaan bahasa lain.

Pemertahanan bahasa pada suatu guyup (komunitas) masyarakat dapat bertahan lebih lama jika guyup (komunitas) masyarakat tersebut menganggap bahasa daerah mereka memiliki prestise dan juga menganggap bahwa bahasa daerah itu sebagai lambang identitas mereka sebagai pemakai bahasa. Pemertahanan bahasa terjadi pada masyarakat yang dapat mempertahankan bahasa hanya pada fungsi dan ranah tertentu (Sumarsono, 2004:200). Dalam pemertahanan bahasa, guyup (komunitas) secara kolektif memutuskan untuk terus menggunakan bahasa tersebut atau bahasa itu telah digunakan secara tradisional. Pemertahanan bahasa (language maintenance) berkaitan dengan masalah sikap atau penilaian terhadap suatu budaya, untuk tetap menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa lainnya. Sikap bahasa (language attitude) adalah cara seseorang untuk bertindak sesuai dengan yang diinginkannya (Sumarsono, 2004:363). Dengan kata lain, sikap bahasa menentukan pilihan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi.

Sikap bahasa ditandai dengan pemilihan bahasa pada masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan bahasa, perbendaan-perbendaan dialektikal dan problema yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara individu (Dittmar dalam Suwito, 1982:58). Sikap bahasa merujuk kepada sikap bahasa positif dan sikap bahasa negatif. Sikap bahasa positif adalah sikap seseorang untuk memelihara dan mempertahankan bahasa daerahnya (Sumarsono, 2004:368). Hal ini terjadi karena didalam dirinya ada rasa setia terhadap bahasa

(9)

daerahnya. Selain itu, sikap bahasa positif juga terlihat pada seseorang yang memiliki rasa kebanggaan terhadap bahasa daerahnya yang menujukkan bahwa bahasa daerahnya sebagai penanda jati dirinya sebagai pemakai bahasa atau pemilik bahasa. Sebaliknya, sikap bahasa negatif adalah sikap acuh yang dimiliki seseorang untuk membina dan melestarikan bahasa daerahnya (Sumarsono, 2004:369). Ini terjadi karena adanya rasa malu terhadap bahasa daerah dan menganggap bahasanya tidak memiliki prestise dan juga disebabkan tidak adanya kebanggaan terhadap bahasa daerahnya sebagai penanda jati dirinya. Hal ini menyebabkan lemahnya pemertahanan bahasa yang pada akhirnya bahasa daerah itu akan bergeser dan berujung pada kepunahan jika tidak ada kesadaran terhadap bahasa daerah yang dimilikinya. Sikap bahasa merupakan faktor pendukung bagi masyarakat minoritas untuk menggunakan bahasa mereka dalam berbagai domain (ranah). Sikap bahasa juga membantu masyarakat minoritas untuk melawan kelompok mayoritas yang menjadikan bahasa mereka sebagai bahasa utama (Holmes, 2001:61). Intinya sikap bahasa inilah penentu bahasa apa yang akan digunakan seseorang itu dalam berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat. Jika masyarakat itu memilih untuk tetap menggunakan bahasa daerahnya, pilihan bahasa yang dilakukan masyarakat itu merupakan upaya pemertahanan bahasa. Sebaliknya, jika masyarakat itu memilih untuk tidak menggunakan bahasa daerahnya karena mereka menganggap bahwa bahasa daerahnya itu tidak berprestise, ini merupakan suatu ancaman yang berakibat bergesernya bahasa daerah mereka dan mereka menggunakan bahasa yang lain. Fishman (1968:76) mengatakan bahwa ada 3 topik yang diidentifikasi dalam pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa, yaitu:

(10)

1. Kebiasaan menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi.

2. Proses psikologi, sosial dan budaya dan hubungan mereka terhadap stabilitas atau perubahan dalam kebiasaan menggunakan bahasa.

3. Perilaku terhadap bahasa, termasuk pada perilaku sikap dan perilaku kognitif.

Dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa, kebiasaan menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi, perubahan lingkungan memeiliki pengaruh terhadap pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa.

2.6 Faktor-faktor Pemertahanan Bahasa

Ada beberapa faktor yang akan mempertahankan bahasa agar bahasa itu tidak punah. Menurut Sumarsono (2004:200) faktor-faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa (language maintenance) adalah ekonomi, agama dan politik. Selanjutnya, Jendra (2010:144-146) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempertahankan bahasa adalah jumlah penutur, tempat tinggal, identitas dan kebanggaan budaya, dan kondisi ekonomi yang baik.

Romaine (2000:44-67) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa adalah migrasi, ranah, partisipan, ekonomi, budaya, politik, agama, latar belakang pendidikan, menghubungi famili di kampung halaman, sikap bahasa, perkawinan tidak sesuku, administrasi, konsentrasi tempat tinggal, pekerjaan, umur, jenis kelamin, campur kode, dan alih kode. Selanjutnya, Holmes (2001:52-64) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa adalah migrasi, sekolah, administrasi

(11)

pemerintahan, pekerjaan, koran, sikap bahasa, identitas, menghubungi famili di kampung halaman, partisipan, ranah, perkawinan tidak sesuku, dan televisi.

Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa adalah ekonomi, agama, politik, jumlah penutur, tempat tinggal, identitas dan kebanggaan budaya, migrasi, perkawinan tidak sesuku, pekerjaan, partisipan, ranah, latar belakang pendidikan, pekerjaan, administrasi, sikap bahasa, konsentrasi tempat tinggal, sekolah, campur kode, dan alih kode.

2.7 Teori Sosiolinguistik

Sosiolinguistik adalah ilmu yang membahas mengenai hubungan antara bahasa dan masyarakat dengan tujuan agar bahasa itu berfungsi dalam berkomunikasi ( Wardhaugh, 2010:12; Holmes, 2001:1; Romaine, 2000:64-67). Kajian bahasa dan masyarakat berkaitan erat dengan kehidupan sosial. Jadi, segala gejala atau faktor sosial yang ada di masyarakat dikaitkan dengan ragam bahasa atau sebaliknya ada dua ragam bahasa yang berbeda dalam satu bahasa, kemudian mengaitkan dengan gejala sosial (Sumarsono, 2004:3; Romaine, 2000:67). Misalnya seseorang bisa memulai dengan melihat gejala sosial dan memilah masyarakat berdasarkan gejala sosial, seperti jenis kelamin (pria dan wanita), kemudian menganalisis bahasa atau tutur yang biasa dipakai oleh pria atau wanita atau sebaliknya seseorang bisa melihat dulu adanya dua ragam bahasa yang berbeda dalam satu bahasa, kemudian mengaitkannya dengan gejala sosial seperti perbedaan jenis kelamin, umur dan lain-lain. Gejala-gejala sosial ini sangat berpengaruh terhadap penggunaan suatu bahasa dalam komunitas masyarakat.

(12)

Selain gejala sosial seperti umur dan jenis kelamin, globalisasi juga mempengaruhi penggunaan dan pemertahanan suatu bahasa (Romaine, 2000:83-85; Holmes, 2001:59). Kemajuan teknologi dapat menjadikan masyarakat akan lupa terhadap bahasa daerahnya, sebagai contoh televisi dan internet. Siaran televisi dapat mengakibatkan fungsi dan kedudukan bahasa itu menurun. Ini disebabkan karena siaran di televisi menggunakan bahasa Indonesia dan ada juga yang menggunakan bahasa asing. Secara tidak langsung masyarakat akan belajar untuk mengetahui bahasa Indonesia atau bahasa asing itu agar mereka dapat menerima informasi yang disampaikan melalui televisi tersebut.

Gejala sosial dan globalisasi ini akan mengakibatkan perubahan sosial. Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada masyarakat (Romaine, 2000: 78 – 85). Perubahan ini mengarah kepada dua arah, yakni ke arah kemajuan dan bisa mengarah ke arah kemunduran. Perubahan ini bergantung kepada masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial ini mempengaruhi suatu bahasa. Apabila bahasa itu bertahan berarti perubahan itu mengarah ke arah kemajuan, tetapi apabila bahasa itu bergeser ataupun punah berarti perubahan sosial itu mengarah ke arah kemunduran.

Pemertahanan bahasa adalah sikap seseorang yang mampu mempergunakan bahasa daerahnya pada fungsi dan ranah tertentu (Sumarsono, 2004:200). Pemertahanan bahasa terjadi pada masyarakat multilingual. Dalam hal ini, komunitas masyarakat dituntut untuk mampu memelihara dan mempertahankan bahasa daerahnya walaupun mereka hanya masyarakat penutur minoritas.

(13)

Pemertahanan bahasa tidak terlepas kaitannya dengan budaya (Trudgil dan Holmes dalam Sumarsono, 2004:3). Budaya memiliki nilai-nilai luhur dari para nenek moyang bangsa Indonesia yang perlu dijaga keberadaannya. Budaya juga menunjuk kepada identitas suatu komunitas. Melalui budaya, masyarakat yang lain akan mengetahui identitas masyarakat tersebut. Hal ini dikarenakan setiap masyarakat memiliki keanekaragaman budaya dan merupakan ciri khas masyarakat itu sendiri.

Jadi, pemertahanan bahasa itu berkaitan erat dengan budaya, masyarakat dan globalisasi. Pemertahanan bahasa itu bergantung kepada masyararakat penutur itu sendiri sebagai pemakai bahasa dan usaha yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Holmes (2001:60-64) mengatakan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan penggunaan bahasa adalah sikap positif, kebiasaan menggunakan bahasa daerah, mengikuti ibadah yang bahasa pengantarnya bahasa ibu (bahasa daerah) dan kebiasaan mengunjungi famili. Selanjutnya, Jendra (2010:159-160) mengatakan bahwa upaya untuk mempertahankan penggunaan bahasa daerah dapat dilakukan oleh pemerintah, agen non pemerintah (yang tidak berhubungan dengan pemerintah) seperti penyiar radio, penerbit-penerbit yang berpengaruh dan lain sebagainya dan yang terakhir dapat dilakukan oleh masing-masing individu.

2.8 Hasil Penelitian Yang Relevan

Sejalan dengan penelitian ini Sumarsono (1990) dalam disertasi Pemertahanan bahasa Melayu Loloan memfokuskan kepada pencarian faktor - faktor pendukung pemertahanan bahasa Melayu Loloan. Bahasa ini dipakai oleh

(14)

guyup Loloan, suatu guyup minoritas beragama Islam yang tinggal di tengah-tengah kota Bali. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah metode survei. Teknik yang dipakai adalah wawancara intensif, pengumpulan dokumen, pengamatan partisipasi dan kuesioner. Data utama yang dijaring merupakan pengakuan diri (self-report) dari tiga generasi, dengan percontoh (sampel) 290 kepala keluarga (KK), 120 anak muda (13-21 tahun), dan 28 anak usia 6-12 tahun. Data dianalisis dengan menggunakan tabel skala implikasional dan deskriptif. Analisis deskriptif menggunakan tabel-tabel. Hasil penelitian menunjukkan adanya faktor-faktor pendukung pemertahanan bahasa Melayu Loloan terhadap Bahasa Bali menghasilkan adanya faktor eksternal dan faktor internal yang saling berpaut. Pertama, adanya wilayah konsentrasi pemukiman guyup mayoritas Bali. Kedua, adanya sikap toleransi, atau tanpa rasa enggan mau menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam interaksi mereka dengan warga guyup minoritas, tanpa mengurangi kenyataan bahasa Bali pun kadang-kadang dipakai dalam interaksi semacam itu. Faktor-faktor pendukung pemertahanan bahasa yaitu pertama, sikap atau pandangan keislaman guyup Loloan yang “tidak akomodatif” terhadap guyup, budaya, dan bahasa Bali. Kedua, adanya loyalitas yang tinggi terhadap bahasa Melayu Loloan, sebagai konsekuensi posisi bahasa ini sebagai lambang identitas guyup Loloan yang beragama Islam, sedangkan bahasa Bali dianggap sebagai lambang identitas masyarakat Bali yang beragama Hindu. Akibatnya, penggunaan bahasa Bali ditolak untuk kegiatan-kegiatan intrakelompok, terutama kegiatan dalam ranah agama. Ketiga, adanya kesinambungan pengalihan (transmisi) bahasa Melayu Loloan dari generasi ke generasi berikutnya. Kelemahan

(15)

pemertahanan bahasa Melayu Loloan terhadap bahasa Indonesia itu terlihat pada penggunaan bahasa dalam tujuh ranah, yaitu ranah keluarga, ketetanggaan, kekariban, agama, pendidikan, transaksi dan pemerintahan. Kontribusi yang diberikan dari penelitian ini adalah untuk menambah wawasan penulis dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa, teknik pengumpulan data serta teori-teori yang berhubungan dengan pemertahanan bahasa. Perbedaan penelitian Sumarsono dengan penelitian ini adalah dari teknik analisis data. Dalam penelitian Sumarsono, penulis menganalisis data dengan tabel skala implikasional dan deskriftip. Sedangkan dalam penelitian ini, penulis menganalisis data dengan menggunakan analisis statistik deskriftip dan analisis Miles and Huberman. Selain itu, dalam penelitian Sumarsono hanya membahas kondisi pemertahanan dan faktor-faktor yang mempengaruhi bahasa Loloan Melayu. Sedangkan dalam penelitian ini tidak hanya membahas kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak dairi di Kabupaten Dairi. Tetapi juga membahas upaya pemertahanan bahasa Pakpak Dairi.

Siahaan (2002) dalam tesis Pemertahanan Bahasa Pada Masyarakat Batak Toba di Medan Berdasarkan Perilaku Pilih Bahasa membahas (1) penggunaan bahasa yang lebih menonjol digunakan oleh kelompok orang tua dan anak-anak dari dua repertoar bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba, (2) tingkat pemertahanan bahasa oleh masyarakat Batak Toba dilihat dari perilaku pilih bahasanya pada kelompok orang tua dan anak, dan (3) pola pemertahanan bahasa oleh kelompok orang tua dan anak pada masyarakat Batak Toba di Medan menunjukkan pemertahanan atau pergeseran. Tujuan penelitian ini

(16)

adalah untuk mendeskripsikan pemertahanan bahasa pada masyarakat bahasa Batak Toba di Medan. Fokus penelitian ini adalah perilaku pilih bahasa antara bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba pada tiga interaksi intrakelompok; di rumah, arisan keluarga, dan arisan marga etnis Batak Toba dalam ranah keluarga dan persahabatan. Berdasarkan acuan analisis ranah Fishman (1972) dan Siregar (1998) dikaji 3 komponen antara lain: ranah, hubungan peran, dan peristiwa bahasa. Data dikumpul melalui angket yang disebarkan kepada 200 responden. Data dihitung berdasarkan 3 skala nilai: (1) selalu bahasa Indonesia, (2) campur bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba, dan (3) selalu bahasa Batak Toba dalam bentuk persentase sebaran nilai, nilai rata-rata, dan standart deviasi. Penggunaan bahasa dikelompokkan pada dua kelompok, yaitu kelompok orang tua dan kelompok anak. Hasil penelitian menggambarkan bahwa masyarakat bahasa pada kelompok orang tua mengacu pada pola pemertahanan bahasa aktif, sedangkan masyarakat bahasa pada kelompok anak sedang dalam proses pergeseran bahasa yang mengacu kepada pola pemertahanan bahasa pasif. Meskipun masyarakat Batak Toba di Medan mengakui bahasanya sebagai lambang identitas etnis, pengakuan yang demikian tidak menyertai perilaku bahasa kelompok anak secara konsisten dalam interaksi mereka. Kontribusi yang diberikan dalam penelitian ini adalah teori, metode dan menambah wawasan penulis dalam menjawab permasalahan penelitian nomor 1 (satu). Perbedaan penelitian Siahaan dengan penelitian ini adalah dari teknik analisis data. Siahaan menggunakan analisis ranah Fishman (1972) dan Siregar (1998). Sedangkan dalam penelitian ini, penulis menganalisis data dengan menggunakan analisis statistik deskriftip dan Miles and Huberman. Selain itu, Siahaan dalam penelitiannya hanya membahas kondisi

(17)

pemertahanan bahasa Batak Toba. Sedangkan dalam penelitian ini, penulis tidak hanya membahas kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi tetapi juga membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi dan upaya pemertahanan bahasa Pakpak Dairi.

Deliana (2002) dalam tesis Faktor-faktor Pemertahanan bahasa Minangkabau di Kotamadya Medan: Studi Kasus Pedagang-pedagang Minangkabau Bilingual di Pasar Sukaramai Medan membahas (1) faktor-faktor identitas sosial yang lebih berpengaruh pada penggunaan bahasa Minangkabau di Pasar Sukaramai Medan, dan (2) mengenai penutur bahasa Minangkabau di Pasar Sukaramai Medan apakah mereka masih mempertahankan atau meninggalkan bahasa ibu mereka dilihat dari faktor-faktor identitas sosial penutur bahasanya. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, kuesioner, dan pengamatan langsung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Data dianalisis secara kuantitatif. Analisis meliputi frekuensi penggunaan bahasa dan juga melihat hubungan antara penggunaan bahasa dengan faktor-faktor di luar bahasa. Hasil penelitian ini adalah besar kecilnya derajat pemertahanan bahasa daerah Minangkabau bagi pedagang Minangkabau di Pasar Sukaramai Medan dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, faktor usia, faktor partisipan, faktor tempat, dan faktor peristiwa bahasa dan para pedagang di pasar Sukaramai Medan tetap mempertahankan bahasa ibu mereka dalam berkomunikasi. Kontribusi yang diberikan dalam penelitian ini adalah teori, metode pengumpulan data, dan menambah wawasan peneliti dalam menjawab pertanyaan nomor 2 (dua), yakni menambah wawasan mengenai faktor-faktor yang dapat mempertahankan bahasa Pakpak Dairi di Kabupaten Dairi. Perbedaan penelitian yang dirujuk dengan

(18)

penelitian ini adalah penelitian yang dirujuk menggunakan analisis statistik deskriftip. Sedangkan dalam penelitian ini tidak hanya menggunakan analisis data statistik deskriftip tetapi juga menggunakan analisis Miles and Huberman. Selain itu, penelitian yang dirujuk hanya membahas faktor-faktor yang mempengaruhi bahasa Minangkabau. Sedangkan penelitian ini tidak hanya membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi tetapi juga menganalisis kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi dan upaya pemertahanan bahasa Pakpak Dairi.

Mukhamdanah (2005) dalam tesis Pemertahanan dan Sikap Bahasa di kalangan Mahasiswa WNI Keturunan Cina di Medan dalam Konteks Kedwibahasaan membahas (1) pemertahanan bahasa di kalangan mahasiswa WNI keturunan Cina di Medan dalam konteks kedwibahasaan, dan (2) sikap bahasa Mahasiswa WNI Cina terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Cina (Hokkian). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan kuantitatif dalam pemerolehan dan penganalisisan data. Data diperoleh melalui pemberian daftar pertanyaan (kuesioner) kepada responden. Untuk mengetahui pemertahanan bahasa responden, ranah-ranah penggunaan bahasa yang dikaji dalam penelitian ini adalah ranah keluarga, ranah ketetanggaan, ranah kekariban, ranah transaksi, ranah agama, dan ranah pendidikan. Selain itu untuk mengetahui penggunaan bahasa responden, juga dikaji bagaimana penggunaan bahasa responden berdasarkan peristiwa bahasa, diantaranya pada saat bersenandung, berhitung dalam hati, bersenda gurau, bermusyawarah, dan berdiskusi. Keseringannya mendengarkan lagu-lagu dan menonton film, mengumpat, menulis surat/pesan, mengkhayal/merenung, marah, dan penggunaan bahasa pada saat

(19)

bermimpi juga diberikan untuk mengetahui penggunaan bahasa responden. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa responden wanita cenderung lebih banyak menggunakan bahasa Hokkian. Sedangkan responden laki-laki cenderung menggunakan bahasa Hokkian pada ranah ketetanggaan, ranah kekariban, ranah transaksi, ranah agama, dan ranah pendidikan. Baik responden laki-laki maupun perempuan cenderung menggunakan bahasa Hokkian saat bersenandung, berhitung dalam hati, bersenda gurau, bermusyawarah, dan berdiskusi. Tetapi responden menggunakan bahasa Indonesia saat menulis surat/pesan dan responden lebih sering mendengarkan lagu-lagu dan menonton film berbahasa Inggris dan Indonesia daripada film dan lagu berbahasa Cina. Sedangkan sikap bahasa yang dimiliki para responden menunjukkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Hokkian. Kontribusi yang diberikan dari penelitian ini untuk peneliti adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempertahanan bahasa Pakpak Dairi dan metode dalam pengumpulan data. Perbedaan penelitian yang dirujuk dengan penelitian ini adalah penelitian yang dirujuk membahasa pemertahanan bahasa dan sikap bahasa terhadap bahasa Indonesia dan Hokkian. Sedangkan dalam penelitian ini tidak hanya membahas kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi tetapi juga membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi dan upaya pemertahanan bahasa Pakpak Dairi. Damanik (2009) dalam tesis Pemertahanan Bahasa Simalungun di Kabupaten Simalungun membahas (1) ranah penggunaan bahasa Simalungun, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa Simalungun, (3) pemertahanan bahasa Simalungun sebagai lingua franca. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan data dikumpulkan dengan cara

(20)

penyebaran daftar kuesioner kepada 60 responden. Setelah data dikumpulkan kemudian data dianalisis secara kuantitatif untuk mendapatkan frekuensi penggunaan bahasa dan kemudian mendeskripsikan pemertahanan bahasa responden pada ranah keluarga, ranah pergaulan, ranah pendidikan, ranah pemerintahan, ranah transaksi, ranah pekerjaan, dan ranah tetangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di Kabupaten Simalungun masih tetap menggunakan bahasa Simalungun. Hal ini ditandai dengan sikap penutur terhadap bahasa Simalungun cenderung positif berkisar 70% hampir pada setiap ranah, seperti ranah keluarga, pendidikan, pemerintahan, ranah transaksi, ranah pekerjaan, dan ranah tetangga. Pemertahanan terendah terjadi pada ranah pemerintahan yang persentasenya berkisar 50%. Secara keseluruhan dari semua kelompok (remaja, dewasa, dan orang tua) persentase pemertahanan bahasa Simalungun adalah 75%. Kontribusi yang diberikan dari penelitian ini untuk peneliti adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi. Perbedaan penelitian yang dirujuk dengan penelitian ini adalah penelitian yang dirujuk menggunakan analisis data kuantitatif. Sedangkan penelitian ini menggunakan analisis data statistik deskriftip. Selain itu, kondisi pemertahanan bahasa Simalungun dikatakan bertahan apabila tingkat pemertahanan bahasa mencapai 50%. Tetapi dalam penelitian ini, kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi dikatakan bertahan apabila tingkat pemertahanan bahasa Pakpak Dairi mencapai 85%. Selain itu, penelitian ini hanya membahas kondisi pemertahanan bahasa Simalungun dan faktor-faktor yang mempengaruhi bahasa Simalungun. Sedangkan dalam penelitian ini tidak hanya membahas kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi dan faktor-faktor yang

(21)

mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi tetapi juga upaya pemertahanan bahasa Pakpak Dairi.

Widayati (2010) dalam disertasi Konvergensi dan Divergensi dalam Dialek-Dialek Melayu Asahan membahas (1) sistem segmental dialek-dialek di Asahan, (2) variasi dialek yang muncul di Asahan akibat adanya konvergensi dan divergensi, (3) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konvergensi dan divergensi dalam dialek-dialek Melayu di Asahan, dan (4) bentuk inovatif dan konservatif dalam dialek-dialek Melayu Asahan. Dalam upaya pencapaian tujuan tersebut, diterapkan metode padan, yaitu metode padan artikulatoris dengan alat penentunya organ wicara, metode padan pragmatis dengan alat penentunya mitra wicara, dan metode padan translasional dengan alat penentunya bahasa atau dialek lain. Ketiga metode ini dijabarkan dalam teknik hubung banding menyamakan dan hubung banding membedakan. Selain itu, pendekatan dari atas ke bawah juga dilakukan dalam analisis diakronis. Berdasarkan kajian segmental, ditemukan bahwa dalam dialek Tanjungbalai (DTB) terdapat 5 segmen vokal, yaitu, /i, u, a, Ε, dan � /. Dalam dialek Batubara (DBB) terdapat 6 segmen vokal, yaitu /i, u, a, Ε, �, dan � /. DTB dan DBB memiliki jumlah konsonan yang sama masing-masing 19 segmen konsonan, yaitu /p, b, t, d, c&, j&, k, g, �, s, h, m, n, �, Ν, l, ⊗, w, dan j/. Dalam Bahasa Batak (BBT) terdapat lima segmen vokal, yaitu, /i, u, a, e, dan o/. Dalam bahasa Jawa (BJW) terdapat enam segmen vokal, yaitu /i, u, a, e, �, dan o/. Segmen konsonan BBT ada 14, yaitu /b, p, m, d, t, s, n, l, j&, g, k, Ν, r, h/ dan dalam BJW terdapat 20 segmen konsonan, yaitu /bΗ, p, m, w, d, t, dΗ, tΗ, s, n, l, c&, j&, ⎠, j, g, k, Ν, r, dan h/. Variasi dialek di Asahan muncul karena adanya konvergensi dan divergensi dalam interaksi masyarakat. Dari konvergensi

(22)

dan divergensi ini muncul wujud imitasi, interferensi, dan integrasi. Dari ketiga proses tersebut ditemukan adanya dialek lain di Asahan, yaitu dialek Melayu Batak Asahan (DMBA) dan dialek Melayu Jawa Asahan (DMJA). Atas dasar sistem segmental DTB, DBB, BBT, dan BJW ditemukan bahwa dalam DMBA terdapat lima segmen vokal, yaitu /i, u, a, Ε, dan � / yang direpresentasikan ke dalam sembilan bunyi segmental vokoid akibat artikulasi primer, yaitu [i] dan [Ι]; [u] dan [Υ]; [a] dan [Ε]; [� ]; [ε] dan [e]. Dalam DMJA terdapat enam segmen vokal, yaitu /i, u, a, �, e, dan � / yang direpresentasikan ke dalam sembilan bunyi segmental vokoid, yaitu [i] dan [Ι]; [u] dan [Υ]; [a] dan [�]; [� ]; [�]; [ε]. Segmen konsonan dalam DMBA ada delapan belas, yaitu /b, p, m, d, t, s, n, l, j, c, ⎠, y, g, k, Ν, w, r, h/ dan dalam DMJA /bΗ, p, m, dΗ, t, s, n, l, j, c, ⎠, y, g, k, Ν, w, r, h/. Kedelapan belas segmen konsonan tersebut direpresentasikan persis sama dengan segmen asalnya, kecuali segmen konsonan /k/ yang direpresentasikan sebagai [k, dan �], segmen konsonan /b/ direpresentasikan sebagai [b dan p], segmen konsonan /d/ direpresentasikan [d dan t], dan segmen konsonan /h/ direpresentasikan sebagai [h dan �]. Dalam DTB, DBB, DMBA, dan DMJA terdapat perangkat korespondensi bunyi yang diwujudkan dengan [a _ �] dan pada afiks terdapat korespondensi ba(⊗)(r)-} _ {b�(⊗)(r)-}, {ba(⊗)(r)-an} _ {b�(⊗)(r)-an}, {basi-an} _ {b�si-an}, {maN-} _ {m�N-}, {paN-} _ {p�N-}, {ta-} _ {t�-}, {ka-an} _ {k�-an}, dan {sa-} _ {s�-}. Pola kalimat yang ditemukan dalam empat dialek di Asahan adalah pola VSO/VOS dan SVO. Pola VSO/VOS terutama ditemukan pada penutur DTB, DBB, dan DMBA, sedangkan pola SVO ditemukan dalam DMJA. Konvergensi dan divergensi disebabkan oleh faktor intralinguistik dan ekstralinguistik. Faktor intralinguistik ini meliputi proses

(23)

asimilasi, proses pelesapan bunyi, proses penambahan bunyi, proses pergantian bunyi, proses perubahan segmen, dan proses pelemahan bunyi. Keenam proses tersebut diformulasikan dalam wujud lima belas kaidah fonologis yang terdiri atas kaidah perubahan ciri, kaidah pelesapan, kaidah penyisipan, kaidah transformasional, kaidah perpaduan, kaidah bervariabel, dan kaidah pergantian. Faktor ekstralinguistik adalah faktor luar bahasa yang menyebabkan terjadinya konvergensi dan divergensi dalam bahasa. Faktor ekstralinguistik meliputi faktor geografi, faktor migrasi, faktor historis, faktor sosial, dan faktor psikologis. Perbandingan keempat dialek menunjukkan adanya refleks vokal dan konsonan yang inovatif dan konservatif. Vokal umumnya direflekskan secara inovatif daripada konsonan. Konsonan yang direflekskan secara inovatif terdapat pada konsonan /*h/, /*k/, /*//, dan /*r/. Refleks yang inovatif pada vokal menyebabkan leksem-leksem yang direflekskan pun mengalami inovasi. Kontribusi yang diberikan dari penelitian ini untuk peneliti adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempertahanan bahasa Pakpak Dairi dan teori-teori yang berhubungan dengan pemertahanan bahasa.

Juliana (2012) dalam tesis Pemertahanan bahasa Mandailing di Medan-Tembung membahas (1) faktor-faktor pendukung pemertahanan bahasa Mandailing di Medan-Tembung, dan (2) alasan penutur bahasa Mandailing mempertahankan bahasanya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian ini yang mengkaji tentang peran penutur bahasa Mandailing dalam mempertahankan bahasa Mandailing di Medan-Tembung. Responden dalam penelitian ini berjumlah 60 penutur bahasa Mandailing di Kelurahan Bandar Selamat, Kecamatan Medan-Tembung yang dibagi menjadi

(24)

dua kelompok yaitu tiga puluh orang dalam kelompok orang tua (sebagai generasi kedua) dan tiga puluh orang dalam kelompok anak (sebagai generasi ketiga). Penelitian ini menggunakan instrument berupa kuesioner dan interview. Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data tentang penutur bahasa Mandailing dalam mempertahankan bahasa mereka sendiri seperti bahasa apa yang mereka gunakan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak-anak mereka, sanak saudara dan teman-teman mereka. Sedangkan interview digunakan untuk memperoleh data-data yang lebih mendalam atau lebih akurat mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemertahanan bahasa Mandailing di Medan-Tembung. Data dianalisis berdasarkan analisis data Miles dan Huberman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemertahanan bahasa Mandailing di generasi kedua tetap bertahan karena mereka masih dapat menggunakan bahasa Mandailing dalam berkomunikasi sehari-hari dengan penutur bahasa Mandailing yang lain sedangkan generasi ketiga tidak, mereka beralih menggunakan bahasa lain yaitu bahasa yang lebih dominan digunakan yaitu bahasa Indonesia. Ada sepuluh faktor yang dianalisa dalam penelitian ini yang dapat mempertahankan bahasa Mandailing di Medan-Tembung yaitu menikah dengan sesama suku Mandailing, tinggal di daerah yang didominasi orang-orang Mandailing, menggunakan bahasa Mandailing di rumah, kebanggaan terhadap suku dan bahasa Mandailing, menggunakan bahasa Mandailing di lingkungan tetangga, menggunakan bahasa Mandailing di lingkungan pendidikan, menggunakan bahasa Mandailing di lingkungan pekerjaan, mengikuti adat-istiadat, dan pulang kampung secara beraturan. Keberadaan bahasa Mandailing pada saat sekarang ini hanya berada pada generasi kedua sedangkan generasi ketiga beralih

(25)

menggunakan bahasa Indonesia. Kontribusi yang diberikan dari penelitian ini untuk peneliti adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi, metode penelitian, metode pengumpulan data dan teori-teori yang berhubungan dengan pemertahanan bahasa. Perbedaan penelitian yang dirujuk dengan penelitian ini adalah analis data yang digunakan dalam penelitian yang dirujuk hanya menggunakan analisis data Miles and Huberman. Sedangkan dalam penelitian ini, penulis tidak hanya menggunakan analisis data Miles and Huberman tetapi juga menggunakan analisis data statistik deskriftip. Selain itu, penelitian yang dirujuk membahas kondisi pemertahanan bahasa Mandailing dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa Mandailing. Sedangkan dalam penelitian ini, penulis tidak hanya membahasa kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi tetapi juga upaya-upaya pemertahanan bahasa Pakpak Dairi.

(26)

2.9 Kerangka Teoretis

Bagan 2.1 Kerangka Teoretis

Kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi

Upaya pemertahanan bahasa Pakpak Dairi

Faktor yang mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi Masalah Teori Sosiolinguistik Sumarsono Romaine Holmes

Referensi

Dokumen terkait

Leech kemudian memberikan perbedaan kedua paradigma tersebut: (1) para formalis cenderung menganggap bahasa sebagai sebuah fenomena mental, para fungsionalis

Hasil dari penelitian tersebut yaitu kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menggunakan pembelajaran matematika dengan metode Brainstorming lebih baik daripada

Hasilnya membuktikan bahwa perusahaan yang memiliki aktiva tetap yang lebih tinggi akan menggunakan pembiayaan hutang lebih dalam struktur modal mereka karena aktiva tetap

tersebut, meliputi beberapa kemampuan peserta didik dalam: memahami berbagai macam teknik bermain drama, mempraktikkan berbagai macam teknik bermain drama, memahami jenis

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, teori motivasi dapat mendorong masyarakat multikultural di Kota Denpasar untuk memahami bahwa upaya pemertahanan bahasa Bali merupakan suatu

Mulyono (2016 : 12) menyatakan bahwa ragam bahasa baku (bahasa baku) atau ragam bahasa standar (bahasa standar) dapat dibatasi dengan menggunakan tiga sudut pandang, yakni sudut

Penelitian kesinoniman ajektiva insani dalam bahasa Indonesia dikaji menggunakan teori yang berkaitan dengan sinonim dan analisis komponen makna dari John Lyons dan

Penulis juga memiliki asumsi bahwa, pembelajaran menginterpretasi teks eksplanasi kompleks terdapat dalam kurikulum 2013 mata pelajaran bahasa Indonesia kelas XI