9 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. KAJIAN PUSTAKA
1. Anak Tunarungu
Tunarungu atau tuli didefinisikan oleh Haenudin sebagai kondisi individu yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran yang membawa dampak dalam kehidupan secara kompleks (Haenudin, 2013:53). Efendi menjabarkan 5 aspek hambatan mencakup aspek kebahasaan dan bicara, aspek kecerdasan, aspek penyesuaian sosial, aspek menerima rangsangan bunyi atau peristiwa bunyi serta terakhir aspek berbicara yang meliputi memproduksi suara atau bunyi bahasa yang ada disekitarnya (Efendi, 2006: 72-75). Ahli lain, menjelaskan gangguan pendengaran berdampak pada ucapan dan bahasa. Selain itu, tidak ada dua anak yang memiliki pola pendengaran yang persis sama, meskipun tanggapan mereka pada tes pendengaran sama, anak-anak mendengar suara dengan tingkat kejernihan yang berbeda. Kemampuan pendengaran anak yang sama dapat berbeda dari hari ke hari, sehingga beberapa anak dengan gangguan pendengaran mengandalkan penglihatan sebagai alat komunikasi utama mereka (Heward, et al., 2017:304).
WHO (2020) melaporkan lebih dari 5% populasi dunia atau 466 juta orang mengalami gangguan pendengaran dengan komposisi 432 juta orang dewasa dan 34 juta anak-anak. WHO mendefinisikan gangguan merupakan kondisi alat indera dengar atau telinga baik satu maupun dua yang tidak mampu mendengar 25 db (desibel) dengan tingkatan ringan, sedang ataupun berat.
Sedang orang yang mengalami gangguan pendengaran merupakan orang yang pendengarannya terganggu mulai dari yang ringan sampai yang parah.
Orang yang mengalami gangguan pendengaran biasa dapat berkomunikasi melalui bahasa lisan dan dapat memanfaatkan alat bantu dengar, implan koklea, dan alat bantu lainnya serta pemberian teks. Morees mengkategorikan tunarungu terdiri atas seseorang yang memiliki gangguan pendengaran dan
yang kehilangan pendengaran secara total atau tuli (Morees, 1978;
Hernawati, 1996; Haenudin, 2013:54). Sedangkan Van Uden (Winarsih, 2010:6; Haenudin, 2013:54) menjelaskan bahwa seseorang dikatakan tuli jika kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat ≥ 70 ISO dB sehingga tidak mampu mengerti pembicaraan orang lain tanpa atau menggunakan alat bantu mendengar serta mengalami kesulitan untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan alat bantu mendengar (ABM).
American Speech-Language-Hearing Association (ASHA) yang merupakan sebuah asosiasi profesional untuk ahli patologi wicara-bahasa, audiolog, dan ilmuwan bicara, bahasa, dan pendengaran, mengkategorikan gangguan komunikasi seorang tunarungu terdiri atas gangguan bicara, gangguan berbahasa, dan variasi komunikasi (perbedaan atau dialek dan sistem augmentatif). Gangguan bicara berwujud gangguan memproduksi dan menggunakan bahasa lisan termasuk ketidakmampuan dalam membuat suara ucapan, menghasilkan ucapan dengan aliran normal, dan menghasilkan suara.
Sedang gangguan berbahasa berwujud hambatan untuk memahami dan mengekspresikan pesan sesuai kaidah (Hallahan, Pullen, &Kauffman, 2014:
316).
Seorang tunarungu mengalami kemiskinan bahasa sebagai dampak yang signifikan akibat ketunarunguan yang dialami (Uden, 1977; Bunawan &
Yuwati, 2000;Winarsih, 2010:12; Haenudin, 2013:130). Bahasa pada dasarnya merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan pesan (Wiratno &
Santosa, 2014:12). Sehubungan dengan itu, sekolah untuk anak tunarungu adalah tempat memperoleh pemahaman tentang realitas dan keterampilan berbahasa (Kuswarno, 2009; Wirta, Supriadi, & Maharani, 2021:296). Tanpa pendidikan, anak tunarungu tidak mampu mengenal lambang bahasa atau nama guna mewakili suatu benda, kegiatan, peristiwa, dan perasaan serta tidak akan memahami aturan/sistem bahasa yang berlaku dan digunakan dalam lingkungannya. Sedang berdasarkan kajian Suparno (1989:57-58)
kondisi anak tunarungu yang memiliki hambatan berbahasa secara oral/ lisan dapat diakomodir dengan pendekatan komunikasi total.
Menurut penulis pada situasi tersebut, sekolah diperlukan sebagai tempat untuk membantu menyelesaikan masalah keterampilan komunikasi pada anak tunarungu dengan mengajarkan bahasa untuk berkomunikasi, dan mengoptimalkan komunikasi total pada anak tunarungu sehingga gangguan bicara dan gangguan berbahasa dapat teratasi. Hal tersebut sesuai dengan yang dijabarkan oleh Haenudin, yang menjelaskan proses pendidikan di semua lembaga pendidikan termasuk SLB tunarungu menopang kemampuan berbahasa siswa. Dapat dikatakan bahwa dalam segala kegiatan pembelajaran, kegiatan berbahasa memegang peran penting untuk peningkatan berbahasa siswa tunarungu baik dalam bentuk lisan, tulisan maupun isyarat. Hambatan bicara dan bahasa anak tunarungu disebabkan adanya hubungan yang erat antara bahasa dan bicara dengan ketajaman pendengaran, mengingat bahasa dan bicara merupakan hasil proses peniruan.
Seorang tunarungu dalam segi bahasa memiliki ciri yang khas, yaitu sangat terbatas dalam pemilihan kosa kata, sulit mengartikan arti kiasan dan kata kata yang bersifat abstrak (Haenudin, 2013:67).
Berdasar pendapat diatas, peneliti menarik kesimpulan bahwa tunarungu merupakan kondisi individu yang mengalami kesulitan menangkap suara lebih dari 25 db dengan 1 atau 2 sisi telinga sehingga berakibat individu memiliki gangguan bicara dan gangguan berbahasa. Tiap individu yang mengalami tunarungu memiliki keberagaman tingkat kejernihan suara yang berbeda membawa dampak pada kehidupan, terkhusus pada komunikasi dan aspek sosial dan kecerdasan. Sedangkan individu dengan gangguan pendengaran merupakan individu yang masih mampu mendengar dengan alat bantu dengar.
Secara empiris, peneliti menemukan hasil kajian Meinzen-Derr dan kawan-kawan sejak 2014-2021 yang menyebutkan permasalahan tunarungu pada aspek komunikasi meliputi perkembangan bahasa lisan serta keterlambatan bahasa yang berdampak langsung pada interaksi sosial. Pada
tahun 2014, Jareen Meinzen-Derr, Susan Wiley, Sandra Grether, Jannel Phillips, Daniel Choo, Julie Hibner, MA, Holly Barnard (2014:197) melibatkan 65 anak gangguan pendengaran ringan sampai berat berusia 3 sampai 6 tahun untuk diidentifikasi perilaku komunikasi dan interaksi sosial untuk menemukan intervensi yang tepat. Pada kajian ini, Meinzen-Derr belum menggunakan media untuk melakukan intervensi namun lebih mengkaji apa intervensi yang tepat.
Pada pilot study di tahun 2016 yang melibatkan anak usia 5-10 tahun yang mengalami gangguan pendengaran bilateral. Jareen Meinzen-Derr, Susan Wiley, Rose McAuley, Laura Smith & Sandra Grether (2016:1) memilih teknologi AAC (augmentative and alternative communication) bernama The Application Touchchat Wordpower di Ipad untuk meningkatkan kemampuan berbahasa. Pada pilot study tersebut Meinzen-Derr dkk menganalisis secara statistik dengan menggunakan mean dan median kemampuan anak untuk melihat perubahan rata-rata panjang ucapan, kosakata dan jumlah kata. Pada pilot study 2016 kajian menyimpulkan bahwa The Application Touchchat Wordpower berdampak mempercepat perkembangan bahasa pada anak-anak usia sekolah dasar yang tunarungu atau memiliki gangguan pendengaran dengan kinerja bahasa yang buruk.
Selanjutnya pada tahun 2019, Jareen Meinzen-Derr, Rose M. Sheldonb, Seth Henrya, Sandra M. Gretherb, Laura E. Smitha, Lindsay Maysb, Ilka Riddleb, Mekibib Altayea, Susan Wiley (2019:23) menggunakan ACC pada terapi wicara yang melibatkan 11 anak tunarungu berusia 3-10 tahun. Pada eksperimen ini, 11 anak dilibatkan pada program yang berlangsung 24 minggu yang menggabungan intervensi bahasa menggunakan teknologi bernama TALI (technology-assisted language intervention) pada terapi wicara tradisional. Hasil dari kajian TALI meningkatkan kemampuan rata- rata panjang ucapan, jumlah kata yang diucapkan, dan rata-rata panjang putaran menurut sampel bahasa pada anak-anak.
Studi terakhir dari Jareen Meinzen-Derr, Rose Sheldon, Mekibib Altaye, Laura Lane, Lindsay Mays, Susan Wiley (2021:1) membandingkan
bagaimana TALI (technology-assisted language intervention) dan TAU (treatment as usual) meningkatkan keterampilan berbahasa anak. Kajian ini melibatkan 41 anak berusia 3-12 tahun yang dipilih secara acak untuk mengikuti eksperimen selama 24 minggu. Hasil dari kajian menunjukkan bahwa ada pengaruh baik dari penggunaan TALI anak-anak tunarungu memiliki kapasitas untuk mengembangkan keterampilan komunikasi yang lebih baik daripada sebelumnya. Menggunakan TALI berdampak pada anak- anak Tunarungu mampu mengembangkan keterampilan bahasa yang sesuai dengan kemampuan kognitif mereka dan berkembang dalam situasi komunikatif. Yang mana keterampilan bahasa dan komunikasi yang efektif merupakan dasar untuk banyak bidang kesuksesan seumur hidup. Hasil kajian 5 tahun yang dilakukan Jareen Meinzen-Derr dan kawan-kawan, peneliti menyimpulkan bahwa pada dasarnya hambatan komunikasi dapat diselesaikan dengan menggunakan assistive technology (teknologi pembantu) sebagai media agar seseorang tunarungu terbiasa dan terlatih mengembangkan keterampilan berkomunikasi. Adapun teknologi yang dapat membantu meningkatkan kemampuan berbahasa atau kognitif seorang tunarungu dapat berupa teknologi AAC (augmentative and alternative communication). Adapun AAC merupakan bentuk assistive technology yang dikembangkan oleh Van de Sandt-Koenderman dan Wiegers pada 2005 dengan nama awal Portable Communication Assistant for People with Dysphasia yang memberikan manfaat untuk orang yang memiliki keterampilan komunikasi (Amila, Sitorus, & Herawati, 2015). (Amila et al., 2015)
Sehubungan dengan assistive technology (teknologi pembantu) di pembelajaran, Canning-Wilson pada tahun 2000 melaporkan bahwa siswa tunarungu menyukai belajar bahasa melalui penggunaan video. Video sering digunakan untuk sesuatu yang sangat signifikan dan berbeda dalam pengajaran bahasa. Adanya video dalam pembelajaran memungkinkan terjadinya komunikasi dalam pembelajaran. Video merupakan salah satu bentuk komunikasi dan dapat diakses tanpa bantuan bahasa, karena kita
sering berinteraksi dengan gerak tubuh, kontak mata dan ekspresi wajah untuk menyampaikan makna (Hidayat, Gunarhadi, & Hidayatulloh, 2017:85).
Anak tunarungu sebagai siswa atau pembelajar memiliki kebutuhan belajar untuk memenuhi aspek kognitif. Di sisi lain, siswa tunarungu memiliki masalah ketika ada di lingkungan belajar yaitu linguistik dan kognitif. Terkait masalah linguistik, sebagian besar siswa tidak memiliki kelancaran berbahasa yang diperlukan untuk mendapatkan manfaat optimal dari pengajaran.
Ketertinggalan ini berdampak tidak hanya saat pembelajaran sedang berlangsung, tetapi juga memiliki efek kumulatif di mana banyak siswa Tunarungu tertinggal jauh di belakang setiap tahun akademik (Swanwick&Marschark, 2010:219). Temuan Jones pada 1986 tentang pengembangan video pembelajaran bahasa inggris dengan artikel berjudul The Need for Interactive Video in the Education of the Deaf menjelaskan bahwa, siswa tunarungu memerlukan media pembelajaran bahasa inggris melalui media visual/ video yang mempermudah siswa tunarungu menghubungkan masukan linguistik dengan tindakan di lingkungan mereka.
Temuan lainnya dari Scheetz (Scheetz, 2011:32) melaporkan bahwa di Amerika kurikulum pembelajaran tunarungu sengaja dibuat dengan melatih siswa untuk membaca bibir dan memaksimalkan penggunaan sisa pendengaran melalui komunikasi total.
Terkait dengan apa yang diajarkan dan bagaimana mengajar memiliki implikasi yang signifikan untuk pengajaran di kelas, Bloom dan Walberg menjelaskan variabel-variabel yang mempengaruhi pembelajaran siswa secara umum meliputi instruksi tutorial, penguatan, penguasaan pembelajaran, isyarat dan penjelasan, partisipasi siswa di kelas, waktu siswa mengerjakan tugas, peningkatan keterampilan membaca/belajar, pembelajaran kooperatif, pekerjaan rumah bertingkat, dan moral kelas.
Sedang Moores memperkuat variabel-variabel yang dapat langsung diterapkan pada pendidikan tuna rungu. Variabel tersebut yaitu instruktur, program, dan yang berkaitan dengan lingkungan rumah (Scheetz, 2011:159).
Moores menggambarkan variabel instruktur adalah kemampuan untuk memberikan penguatan dan umpan balik positif seperti mengelola pekerjaan rumah yang bermakna ditambah dengan umpan balik siswa yang tepat waktu, dan investasi waktu untuk tugas sambil mempertahankan lingkungan kelas yang kohesif dan fokus pada tujuan. Variabel program, perhatian harus ditujukan untuk mengembangkan strategi membaca untuk berbagai genre, menempatkan siswa berprestasi tinggi dalam program akselerasi, dan memberikan bimbingan, baik secara individu atau melalui instruksi kelompok kecil. Terakhir yaitu variabel rumah termasuk bekerja dengan orang tua untuk memastikan kegiatan membaca didorong, kemajuan sekolah dan kegiatan dibahas, dan pekerjaan rumah dipantau. (Scheetz, 2011:159)
Sehubungan dengan aspek kognitif yang perlu dipenuhi pada proses pembelajaran, Haenudin (2013:154-155) menjelaskan bahwa anak tunarungu memiliki alat indera yang paling optimal dan sangat memiliki peranan penting dalam kehidupan. Alat indera tersebut yakni alat penglihatan yang mampu memberikan tiga modal utama yaitu pertama sebagai pemberi makna latar belakang bunyi-bunyian, kedua untuk melakukan kontak dengan orang lain/lingkungan dan ketiga menjadi model utama pembinaan aural yang bertujuan untuk mengurangi ketunarunguan.
2. Keterampilan Komunikasi Anak Tunarungu
Keterampilan komunikasi anak tunarungu berkaitan erat dengan gangguan pendengaran yang dimiliki oleh anak tunarungu. Adapun menurut American Speech-Language-Hearing Association (ASHA), masalah terkait ganguan pendengaran berhubungan gangguan komunikasi dan keberagaman tingkat pendengaran tunarungu. ASHA pada hasil kajian tahun 2011 melaporkan, dikarenakan kehilangan pendengaran berdampak pada anak sulit berbicara dengan orang lain, anak-anak dengan gangguan pendengaran berat (severe) hingga sangat berat (profound) merasa terisolasi, tanpa teman (sendiri) , dan tidak bahagia di sekolah. Namun, permasalahan tersebut lebih sering terjadi pada anak-anak dengan gangguan pendengaran ringan (mild) atau sedang
(moderate) dibandingkan dengan mereka yang mengalami gangguan pendengaran berat (severe) hingga sangat berat (profound) (ASHA. 2011;
Heward, et al., 2017:369). Secara lebih rinci, kemampuan komunikasi anak tunarungu akan dijelaskan dari beberapa literatur di bawah ini.
Pertama, menurut Schirmer, B. R. (Hallahan, Pullen, & Kauffman, 2014:355) yang menggolongkan gangguan pendengaran dengan kemampuan komunikasi seorang tunarungu menjadi 7 kategori sebagai berikut, pertama kategori normal yakni kondisi individu mampu menangkap frekuensi suara 10-15 dB yang tidak berdampak pada komunikasi. Kedua, slight yakni kondisi individu mampu menangkap frekuensi 16-25 dB sehingga pada lingkungan yang tenang, individu tidak mengalami kesulitan dalam mengenali ucapan, tetapi di lingkungan yang bising, mengalami kesulitan untuk memahami ucapan yang samar. Selanjutnya kondisi mild yang mana individu mampu menangkap frekuensi 26–40 dB sehingga tidak ada kesulitan dalam berkomunikasi pada lingkungan percakapan yang tenang di mana topiknya diketahui dan kosakata terbatas. Mengalami gangguan pendengaran ucapan samar atau jarak dari jauh, meskipun lingkungannya tenang. Memiliki tantangan dalam mengikuti diskusi kelas.
Kategori keempat yaitu moderate, yang mana seorang tunarungu mampu menangkap frekuensi 41–55 dB sehingga masih mendengar percakapan walaupun dari jarak dekat. Kegiatan kelompok, seperti diskusi kelas dan menyajikan tantangan komunikatif. Kelima, kondisi moderate-severe yang menunjukkan kondisi individu mampu menangkap frekuensi 56–70 dB sehingga hanya dapat mendengar pembicaraan percakapan yang keras dan jelas dan memiliki banyak kesulitan dalam situasi kelompok. Seringkali, kemampuan bicara individu terlihat terganggu meskipun dapat dimengerti.
Keenam, kondisi severe yang mana individu mampu menangkap frekuensi 71–90 dB sehingga tidak dapat mendengar pembicaraan percakapan kecuali keras, dan bahkan cenderung tidak dapat mengenali banyak kata. Individu dapat mendeteksi, (meskipun tidak selalu mengidentifikasi) suara lingkungan.
Pembicaraan individu tidak sepenuhnya dapat dimengerti. Terakhir kondisi
profound yang menunjukkan individu mampu menangkap frekuensi diatas 91 dB sehingga individu hanya mampu mendengar suara keras, tetapi tidak dapat mendengar percakapan percakapan sama sekali. Visi adalah modalitas utama untuk komunikasi. Pidato individu itu sendiri, jika dikembangkan sama sekali, tidak mudah untuk dipahami.
Berbeda dengan Schirmer, Streng (Somad & Hernawati. 1996; Haenudin.
2013:58-62) mengkategorikan tunarungu menjadi 5, yakini pertama kondisi mild yang mana individu mampu mendengar frekuensi 26–30 dB, sukar mendengar percakapan yang lemah, tidak mendapat kesulitan mendengar dalam suasana kelas biasa asalkan tempat duduk diperhatikan, tidak memiliki kelainan bicar, memerlukan latihan membaca ujaran, memerlukan pengembangan penguasaan perbendaharaannya, dan jika kehilangan pendengaran melebihi 20 db, dan mendekati 30 db perlu alat bantu mendengar. Kedua kondisi marginal : Kondisi individu mampu mendengar frekuensi 30–40 dB, mengerti percakapan biasa pada jarak satu meter, mengalami kesulitan menangkap percakapan dengan pendengaran pada jarak normal, kadang-kadang mendapat kesulitan dalam menangkap percakapan kelompok. Selanjutnya percakapan lemah hanya ditangkap 50%, dan bila si pembicara tidak terlihat yang ditangkap akan lebih sedikit, atau di bawah 50, mengalami sedikit kelainan dalam bicara dan perbendaharaan kata terbatas, memerlukan belajar membaca ujaran, latihan mendengar, menggunakan alat bantu dengar dan memerlukan latihan bicara, latihan artikulasi, dan perhatian dalam perkembangan perbendaharaan kata. Pada kondisi ini jika kecerdasannya di atas rata-rata dapat ditempatkan di kelas biasa. Bagi yang kecerdasannya kurang memerlukan kelas khusus.
Ketiga, kondisi moderate yakni kondisi individu mampu mendengar frekuensi 40–60 dB, memerlukan alat bantu mendengar, masih mengerti percakapan yang keras pada jarak satu meter, sering salah faham, mengalami kesukaran-kesukaran di sekolah umum, mempunyai kelainan bicara, memiliki perbendaharaan kata terbatas, membutuhkan alat bantu dengar dan penambahan alat-alat bantu pengajaran yang sifatnya visual, memerlukan
latihan artikulasi dan membaca ujaran, serta perlu pertolongan khusus dalam bahasa, pada kondisi ini diperlukan masuk Sekolah Luar Biasa Bagian B (SLB B). Keempat, kondisi severe yang menunjukkan kondisi individu mampu mendengar frekuensi 60–70 dB, masih memiliki sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu dengar, biasanya tidak belajar bahasa dan percakapan secara spontan pada usia muda, mereka kadang-kadang disebut “Tuli secara pendidikan (Educationally deaf)”, tidak cukup sisa pendengarannya untuk belajar bahasa dan bicara melalui pendengaran, masih mampu mendengar suara yang keras dari jarak yang dekat, misalnya suara mesin pesawat terbang, klakson mobil, dan lolong anjing, mampu membedakan huruf hidup tetapi tidak dapat membedakan bunyi-bunyi huruf konsonan. Perlu latihan membaca ujaran dan pelajaran yang dapat mengembangkan bahasa dan bicara dari guru khusus, karena itu mereka harus dimasukkan ke Sekolah Luar Biasa Bagian B, kecuali bagi anak jenius dapat mengikuti kelas normal.
Terakhir, tingkat profound, kondisi individu mampu mendengar frekuensi 75 dB +, mampu mendengar suara yang keras dari jarak satu inci (2,54 cm) atau sama sekali tidak mendengar. Orang pada kondisi ini tidak sadar akan bunyi-bunyi keras, tetapi mungkin ada reaksi kalau dekat dengan telinga atau suara terdengar jika menggunakan pengeras suara. Pada kondisi ini, seseorang tunarungu tidak dapat menggunakan pendengarannya untuk dapat menangkap dan memahami bahasa, tidak mampu mempelajari bahasa dan berbicara melalui indera pendengaran walaupun menggunakan alat bantu mendengar (hearing aids) dan membutuhkan pengajaran khusus untuk mempertahankan sisa pendengaran yang masih ada dan membantu terhadap perkembangan bicara dan bahasa orang tunarungu. Mudjiyanto pada kajian di tahun 2018 memaparkan bahwa anak tunarungu memiliki hambatan dalam komunikasi verbal, baik secara ekspresif (berbicara) maupun reseptif (memahami pembicaraan orang lain). Pada kondisi tersebut anak tunarungu lebih memfungsikan dan mengutamakan indera penglihatannya untuk
menerima pesan dan mengolah pesan dari luar dibandingkan indera pendengarannya.
Dari beberapa pembagian ketunarunguan yang sudah dipaparkan, penulis menarik kesimpulan bahwa siswa tunarungu merupakan seseorang yang tidak dapat mendengar suara sehingga pada proses komunikasi di kehidupan sehari-hari mereka memerlukan alat bantu dengar dan memerlukan intervensi dan solusi dari pendidikan berupa pembelajaran atau teknologi untuk meningkatkan keterampilan komunikasinya. Berdasarkan beberapa konsep dan hasil kajian diatas, peneliti merumuskan kondisi keterampilan komunikasi pada tunarungu sebagai berikut:
1) Orang tunarungu ada yang masih bisa mendengar sebagian suara dan ada yang benar-benar tidak dapat mendengar suara.
2) Mengalami kemiskinan bahasa (terbatas mengenali banyak kata/
perbendaharaan kata terbatas)
3) Ketidakmampuan memahami aturan/sistem bahasa yang berlaku atau biasa digunakan dalam lingkungannya.
4) Mengalami gangguan memproduksi dan menggunakan bahasa lisan termasuk ketidakmampuan dalam membuat suara ucapan, menghasilkan ucapan dengan aliran normal, dan menghasilkan suara.
5) Dapat membedakan huruf hidup tetapi tidak dapat membedakan bunyi-bunyi huruf konsonan secara jelas.
6) Terhambat memahami pembicaraan orang lain
7) Sulit menginterpretas kalimat kiasan dan kata kata yang bersifat abstrak.
8) Mengalami kesulitan menyusun kalimat dan menyampaikan kepada orang lain.
9) Mengalami hambatan keterampilan bahasa khusus yaitu tata bahasa, leksikon, fonologi, dan pragmatik.
Pada kondisi siswa tunarungu yang kurang mampu berkomunikasi, hasil kajian dari artikel menunjukkan bahwa teknologi dan pendidikan dapat
menjadi upaya intervensi untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Intervensi merupakan salah satu cara meningkatkan kemampuan komunikasi siswa. Artikel Mich, Pianta, dan Mana melaporkan adanya intervensi pendidikan yang membiasakan anak tunarungu untuk mendekode kata tunggal dan kalimat terpisah, daripada seluruh teks juga merupakan faktor yang menghambat anak tunarungu mengalami kesulitan berbahasa (Mich et al., 2013:34).
Komunikasi sebagai bagian dari sebuah ilmu yang mengkaji tentang penyampaian pesen memiliki beberapa unsur. Berdasarkan paradigma Harold Lasswell, ahli Philip Kotler merumuskan unsur komunikasi sebagai berikut pertama, sender atau komunikator yakni penyampai pesan kepada orang lain.
Kedua encoding yaitu proses pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambang, ketiga message atau pesan yakni sesuatu makna yang disampaikan oleh komunikator. Keempat, media atau saluran komunikasi atau alat penyampai pesan dari komunikator kepada komunikan. Kelima, decoding yaitu proses di mana komunikan menerima pesan atau suatu makna dari komunikator.
Keenam, receiver atau komunikan yang merupakan penerima pesan dari komunikator. Dan terakhir response atau tanggapan dari pesan yang diterima dari komunikan setelah menerima pesan dari komunikator .Secara rinci, unsur akan digambarkan pada gambar dibawah:
Gambar 2.1. Unsur Proses Komunikasi
Komunikasi menurut Owens et al. (Hallahan et al., 2014:315) pada hakikatnya merupakan proses berbagi informasi dan melibatkan banyak
fungsi komunikatif, seperti mencari interaksi sosial, meminta objek, berbagi ide, dan menolak suatu objek atau interaksi. Proses ini membutuhkan pengiriman pesan dalam bentuk yang dapat dimengerti dari komunikator (encoding) kepada komunikan sehingga komunikan menerima dan memahami pesan (decoding) yang dikirim komunikator. Theodore Herbert memaparkan bahwa komunikasi adalah proses perpindahan pengetahuan dari seseorang kepada orang lain (Jamali et al., 2019:156). Komunikasi pada dasarnya melibatkan pengirim dan penerima pesan, tetapi tidak selalu melibatkan bahasa lisan. Komunikasi juga bisa nonverbal; pada kenyataannya, banyak interaksi yang bermakna di antara manusia bersifat nonverbal. Gangguan komunikasi merusak kemampuan komunikator untuk mengirimkan atau menerima ide, fakta, perasaan, dan keinginan kepada komunikan. Adapun interaksi komunikasi mencakup tiga elemen yaitu pesan, pengirim yang mengungkapkan pesan, penerima yang menanggapi pesan.
Meskipun komunikasi melibatkan setidaknya dua peserta, masing-masing memainkan peran ganda sebagai pembicara dan pendengar (Heward et al., 2017:257).
Komunikasi pada proses pembelajaran dibedakan Heinich dalam buku dalam buku Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasinya dengan empat pola arus komunikasi yang meliputi komunikasi guru-siswa searah, komunikasi dua arah, arus bolak-balik, komunikasi dua arah antara guru-siswa dan siswa-siswa, dan terakhir komunikasi optimal total arah. (Mulyasa, 2011; Jamali, et al., 2019:157).
Pada komunikasi tunarungu, yang mana merupakan kondisi seseorang memiliki hambatan kemiskinan bahasa (terbatas mengenali banyak kata/
perbendaharaan kata terbatas), gangguan memproduksi, keterbatasan menggunakan bahasa lisan dan hambatan terkait tata bahasa, leksikon, fonologi, dan pragmatic (Evans. 1982; Bunawan.1997; Haenudin, 2013:157).
Sehubungan dengan kondisi tersebut, alternatif komunikasi total yang sering digunakan untuk mengoptimalkan komunikasi anak tunarungu, alternatif tersebut merupakan komunikasi total (Total Communication).
Denton mendefinisikan komunikasi total merupakan keseluruhan spektrum cara bahasa yang lengkap dengan mencakup gestur anak, bahasa isyarat, membaca ujaran, ejaan jari, membaca dan menulis (Evans. 1982;
Bunawan.1997; Haenudin, 2013:157). Hyde mendefinisikan komunikasi total sebagai suatu falsafah tentang komunikasi bukan suatu metode pengajaran atau cara komunikasi, melainkan dapat diumpamakan sebagai tujuan pendidikan. Tujuannya adalah mengungkapkan bahasa yang digunakan masyarakat dalam berbagai cara (meliputi bicara, membaca ujaran, isyarat, ejaan jari, membaca dan menulis) sehingga memungkinkan komunikasi yang lengkap (Somad & Hernawati; Haenudin, 2013:158). Peneliti menyimpulkan bahwa komunikasi total merupakan alternatif seseorang tunarungu untuk menyampaikan pesan saat berkomunikasi. Proses encoding dapat dilakukan dengan melibatkan gestur, gerakan bibir dan ekspresi, sedang decoding dilakukan oleh komunikan sebagai penerima pesan melalui proses interpretasi dan respon saat berkomunikasi. Dari beberapa konsep yang sudah dipaparkan di atas, indikator komunikasi yang akan dicapai dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
a. Siswa sebagai komunikan mampu menerima pesan dari multimedia interaktif
b. Siswa mampu merespon pesan yang disampaikan dengan mampu mengerjakan latihan soal.
3. Pembelajaran IPS
Pembelajaran IPS untuk tunarungu merupakan salah satu bagian Pelaksanaan Percakapan Ilmu Pengetahuan Umum (Percapu), sehingga materi pembelajaran IPS perlu dibahas dari sisi pengembangan ilmunya yang disesuaikan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. (Gunawan, 2016:121). Siswa tunarungu memerlukan pembelajaran IPS agar memperoleh pengetahuan tentang kondisi masyarakat dan lingkunganya. Sebagaimana dijabarkan oleh Solihatin dan Raharjo, pendidikan IPS perlu diselenggarakan supaya siswa memiliki kemampuan dasar untuk mengembangkan diri sesuai
bakat, minat, kemampuan dan lingkungannya, dan agar siswa memiliki bekal pengetahuan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Solihatin&Raharjo, 2005; Jawa, 2020:164).
National Council for Social Studies yang merupakan organisasi yang mmeiliki fokus kajian ilmu sosial merumuskan visi pembelajaran IPS terdiri atas bermakna, kuat, berbasis nilai, menantang, dan aktif (Farisi, 2016:16). Di Indonesia, pada kurikulum untuk siswa tunarungu jenjang SMALB, terdapat empat kompetensi yang meliputi sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan yang perlu dicapai pada proses pembelajaran. Namun, dari pantauan isi kurikulum, ditemukan bahwa kurikulum di Indonesia belum memperhatikan aspek keberagaman yang memuat pendidikan terkait perdamaian, toleransi, adaptasi, komunikasi, ajaran moral, perdamaian, konflik dan keterampilan sosial lainnya diperlukan sebagai upaya mewujudkan kehidupan yang rukun dan damai (Morrison, 2011; Hu, et al., 2017; Sariyatun, et al., 2019:158). Maka dari itu, salah satu alternatif bagi guru untuk mengajarkan keterampilan sosial yaitu menggunakan pembelajaran IPS (Morris, McGuire, &Walker, 2017:181). Sebagaimana disebutkan oleh Ertmer, Leftwich, Sadik, Sendurur, dan Sendurur, pada dasarnya panduan pembelajaran IPS tidak hanya bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang fakta-fakta IPS (kognitif) tetapi juga untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa (Ertmer, et al, 2012:433).
Secara umum, permasalahan pada pembelajaran IPS ditemukan pada lemahnya proses pembelajaran. Pembelajaran masih berpusat pada guru, guru kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir, pembelajaran hanya diarahkan pada kemampuan anak dalam menghafal informasi (Permatasari, 2019:40). Mengadopsi prinsip yang menurut National Council for Social Studies (NCSS) tentang prinsi-prinsip pembelajaran IPS (social studies), pembelajaran IPS perlu memiliki 5 prinsip agar proses penyampaian materi menjadi optimal. 5 prinsip tersebut meliputi, (1) proses pembelelajaran IPS harus bermakna yang ditandai dengan siswa mampu menghubungkan pengetahuan, keyakinan dan sikap untuk di dalam kelas maupun di luar kelas.
(2) penyampaian topik pembelajaran IPS terintegrasi pada lintas ruang dan waktu, pengetahuan, keterampilan, keyakinan, nilai dan sikap, teknologi secara efektif, serta dapat lintas kurikulum. (3) memiliki basis nilai dengan mempertimbangkan berbagai dimensi atau topik-topik maupun isu-isu yang kontroversi, pengembangan dan penerapan nilai-nilai sosial. (4) pembelajaran IPS memiliki tujuan pembelajaran secara individu dan kelompok dengan aktivitas berfikir siswa yang menantang. Terakhir, pembelajaran IPS merupakan pembelajaran aktif dengan mengembangkan kemampuan berfikir reflektif dan membuat keputusan (decision making) dan membuat siswa mengkonstruksi pemahaman pengetahuan sosial selama pembelajaran (Stahl, 2008; Syahputra, 2020:34).
Sedangkan secara khusus, kendala pembelajaran IPS pada siswa tunarungu dilaporkan melalui hasil kajian pada kelas XI di SMALB Tunarungu, ditemukan fakta bahwa pada pembelajaran IPS memiliki 3 kendala pada perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi proses pembelajaran. Pada tahap perencanaan pembelajaran kendala meliputi perbedaan kemampuan siswa, kesulitan menemukan sumber dan bahan ajar, dan adanya sistem guru kelas yang mengakibatkan guru kurang fokus dalam membuat perencanaan. Pada kendala pelaksanaan pembelajaran meliputi kekurangan konsep kata yang dimiliki siswa, minimnya sumber belajar dan alat peraga, proses pemahaman kata yang tidak optimal sehingga perlu media untuk memvisualisasikan materi. Terakhir kendala pada pelaksanaan evaluasi adalah waktu pembelajaran relatif pendek, kurangnya sarana penunjang dan kurangnya konsep kata yang dimiliki siswa. (Sugiyanto & Hariyanto, 2012).
Kajian Sintia Hasanah mendukung temuan dari Sugiyanto & Hariyanto.
Pada disertasinya, Sintia menemukan adanya ketidakoptimalan proses pembelajaran IPS bagi siswa tunarungu. Kendala yang dihadapi yaitu kompetensi guru mengenai penanganan siswa tunarungu seperti menentukan materi, metode, media dan evaluasi yang tepat bagi siswa tunarungu (Hasanah, 2018). Sehubungan dengan pembelajaran IPS pada siswa tunarungu terdapat sejumlah kajian dari Indonesia yang memanfaatkan
multimedia untuk pembelajaran. Yang pertama, pemanfaatan augmented reality bernama Yogya Monopoli terhadap kemampuan anak tunarungu mengenal kebudayaan Yogyakarta (Imawati & Chamidah, 2018:26). Pada kajian ini, 5 siswa kelas V SLB B Karnnamanohara terlibat pada eksperimen.
Hasilnya menunjukan Yogya Monopoli memiliki pengaruh yang efektif terhadap hasil belajar mengenal kebudayaan Yogyakarta pada mata pelajaran IPS. Pengembangan multimedia kedua oleh Nikolawatin & Ulfa (2019:21) menggunakan media tutorial bahasa isyarat untuk Siswa Tunarungu yang memanfaatkan Compact Disk (CD). Lebih lanjut, pengintegrasian teknologi dalam pembelajaran IPS merupakan inovasi penting dari paradigma pendidikan. Pengintegrasian teknologi pada pembelajaran IPS selain berguna untuk mengembangkan keterampilan abad ke-21 serta mengimplementasikan landasan filosofis dan pedagogis yang kuat dalam teori konstruktivisme. Hal ini menjadikan pengintegrasian IPS dan teknologi sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan visi National Council for Social Studies (NCSS) untuk mewujudkan pembelajaran IPS bermakna, kuat, berbasis nilai, menantang, dan aktif (Farisi, 2016).
Berdasarkan kajian yang sudah dipaparkan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa materi pembelajaran IPS merupakan bidang kajian ilmu yang penting untuk memberikan pengetahuan pada siswa terkait kondisi lingkungan sekitarnya dan untuk memberikan bekal untuk mewujudkan kehidupan yang rukun dan damai di masyarakat. Pada pembelajaran IPS di tunarungu, masih ada masalah yang ditemukan baik pada perencanaan, proses dan evaluasi.
Sedangkan pengintergrasian teknologi dan pembelajaran IPS sangat mungkin dilakukan mengingat luasnya kajian bidang ilmu sosial yang akan lebih mudah dimengerti jika disederhanakan melalui teknologi. Pengintegrasian teknologi pada pembelajaran IPS diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran baik yang sudah dirumuskan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, ataupun tujuan yang dirumuskan oleh NCSS yang mencakup pembelajaran harus bermakna, kuat, berbasis nilai, menantang, dan aktif.
Pada konteks pendidikan, sejumlah teori dapat digunakan untuk membentuk kebiasaan ataupun mengimplementasikan intervensi melalui pembelajaran. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teori pendidikan behaviorisme dan konstruktivisme. Behaviorisme digunakan untuk membiasakan sekaligus memberikan stimulus-respon pada pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi. Sedang konstruktivisme digunakan dalam strategi pembelajaran mandiri. Konstruktivisme pada buku Learning Theories and Educational Perspective merupakan sebuah teori pendidikan yang lebih menekankan proses siswa membentuk keterampilan dan pengetahuannya sendiri. Guru berperan sebagai fasilitator pembelajaran dan tidak boleh memberikan instruksi seperti kelas ceramah, namun lebih mengarahkan siswa mengamati fenomena, mengumpulkan data, menghasilkan dan menguji hipotesis, dan bekerja sama dengan orang lain (Schunk, 2012:231).
Selain menggunakan konstruktivisme, multimedia menggunakan konsep koneksionisme dengan prinsip Stimulus dan Respon dari Thorndike yang merupakan bagian dari teori behaviorisme dikarenakan keterampilan komunikasi merupakan suatu aspek dalam pendidikan yang memerlukan stimulus, respond dan pembiasaan perilaku agar siswa dapat terbiasa berkomunikasi (Triwiyanto, 2014).
4. Konsep Multimedia Interaktif dari Richard E. Mayer
Penelitian ini akan menggunakan konsep Multimedia dari Richard E.
Mayer. Multimedia dari Mayer dipilih sebagai framework dari kajian dengan pertimbangan bahwa Mayer memiliki beberapa prinsip, pendekatan dan konsep dampak dari penggunaan multimedia interaktif yang komprehensif.
Sejumlah kajian dari Mayer memberikan sumbangan kajian secara implementatif dan teoritis, sehingga untuk mengembangkan produk dari penelitian, penulis memilih kerangka konsep Mayer sebagai rujukan utama.
Mayer (2009:70) mendefinisikan pembelajaran multimedia sebagai media untuk presentasi materi menggunakan kata-kata dan gambar, dengan tujuan meningkatkan pembelajaran. Dengan kata-kata, materi disajikan dalam
bentuk verbal – menggunakan teks cetak atau lisan, misalnya. Secara gambar, maksudnya materi disajikan dalam bentuk gambar, termasuk menggunakan grafik statis seperti ilustrasi, grafik, foto, atau peta, atau grafik dinamis seperti animasi atau video. Azevedo (Schunk. 2012:327) menjelaskan bahwa penggunaan multimedia dan hypermedia memberikan manfaat bagi pembelajaran, serta penelitian menunjukkan bahwa teknologi dapat membantu mengembangkan pembelajaran mandiri siswa. Mayer menegaskan media belajar harus sesuai dengan apa yang dipelajari oleh siswa, sehingga desain dari media belajar dapat menunjang pengelolaan informasi siswa (Mayer, 2009). Adapun tampilan yang akan ditampilkan pada multimedia interaktif siswa tunarunggu di penelitian ini berupa tampilan berupa simbol dan gambar.
Pada aplikasi multimedia, penyajian informasi verbal dan visual terintegrasi seperti yang disimpan dalam memori (Paivio, 1991, 2006;
Sadoski & Paivio, 2004; Beal & Cannon, 2014:489), sehingga pemanggilan kembali (recalling) informasi linguistik akan menstimulasi pengulangan informasi visual dan sebaliknya (Mayer & Simms, 1994; Johnson-Glenberg, 2000; Beal & Cannon, 2014:489). Hasil dari penelitian lainnya menunjukkan bahwa multimedia untuk menyampaikan materi pembelajaran secara signifikan mengurangi beban kognitif dan meningkatkan efektivitas pembelajaran, temuan tersebut memperkuat konsep yang dari cognitive load yang diperkenalkan Mayer (Cheng, Lu, & Yang, 2015). Hasil tersebut kemudian diperkuat oleh pendapat Mayer yang menegaskan bahwa dalam proses mencoba membangun hubungan antara kata-kata dan gambar, siswa mampu menciptakan pemahaman yang lebih dalam dari yang mereka dapat dari kata-kata atau gambar saja.
“… the process of trying to build connections between words and pictures, learners are able to create a deeper understanding than they could from words or pictures alone….”(Mayer.2009:7)
Pendekatan Multimedia Interaktif yang digunakan pada penelitian ini yaitu pendekatan Sensory Modality. Sebagaimana diketahui bahwa Mayer
memiliki 3 pendekatan untuk implementasi multimedia pembelajaran, yaitu delivery media, presentation mode, dan sensory mode. Pendekatan sensory modality menggunakan pendekatan yang berpusat pada siswa, menggunakan dua atau lebih sistem sensorik siswa. Misalnya, dalam lingkungan berbasis komputer animasi dapat disajikan secara visual, dan narasi dapat disajikan secara auditorial (Mayer, 2009:7-10).
Tabel 2.1. Pandangan dari multimedia (Mayer, 2009:10)
VIEW DEFINITION EXAMPLE
Delivery media Two or more delivery devices
Computer screen and amplified speakers; projector and
lecturer’s voice Presentation
mode
Verbal and pictorial representations
On-screen text and animation;
printed text and illustrations Sensory
modality
Auditory and visual senses
Narration and animation;
lecture and slides
Sehubungan dengan gaya belajar siswa tunarungu yang sering dikaitkan dengan pembelajar yang kuat dengan aspek visual. Mayer menegaskan bahwa gaya belajar erat hubungannya dengan bagaimana siswa memilih media mana yang jauh lebih efektif untuk pembelajaran mereka. Pada kasus dimensi visual-verbal, individu memiliki kecenderungan untuk memilih instruksi melalui bahasa (cetak atau lisan) atau melalui diagram atau gambar (statis atau animasi). Asumsinya seorang siswa “visualisator” akan belajar lebih baik dengan metode visualisasi, sedangkan “verbalizer” akan belajar lebih baik dengan metode verbal (Mayer & Massa, 2006; Marschark, 2017:3). Lebih lanjut, Mayer & Moreno pada artikel Nine ways to reduce cognitive load in multimedia learning menegaskan perlunya perhatian khusus pada saat menyusun multimedia untuk menghindari adanya cognitive load atau beban kognitif yang berlebih sehingga media menjadi tidak efektif (2003:43).
Mayer pada buku Multimedia Learning tahun 2009 memaparkan secara rinci bagaimana multimedia dapat memberikan pembelajaran yang bermakna dan membuat pengetahuan dapat tersimpan pada long-term memory. Fokus kajian terkait dengan kognisi manusia membuat Mayer merumuskan 12
prinsip mendesain multimedia. Keduabelas prinsip tersebut terbagi dibawah tiga subtopik prinsip untuk mengurangi pemrosesan sesuatu yang asing (Principles for Reducing Extraneous Processing), prinsip untuk memproses sesuatu yang penting (Principles for Managing Essential Processing), serta prinsip untuk mempercepat integrasi pengetahuan yang lama dengan yang baru (Principles for Fostering Generative Processing) (Mayer, 2009: 265- 268). Adapun keduabelas prinsip untuk mendesain multimedia meliputi, pertama prinsip coherence (koherensi) yaitu menghapus kata, suara, grafik tambahan yang tidak perlu, kedua signaling (penanda) yaitu sorot kata atau gambar penting, ketiga prinsip redundancy (redundansi) yakni menghapus materi yang berlebihan. Keempat, spatial contiguity (penempatan) yaitu menempatkan kata-kata penting dan grafik berdekatan. Kelima temporal contiguity (kedekatan temporal) yaitu menyajikan kata-kata dan grafik yang sesuai secara bersamaan. Lima prinsip diatas merupakan bagian dari prinsip untuk mengurangi pemrosesan sesuatu yang asing (Principles for Reducing Extraneous Processing)
Selanjutnya, prinsip keenam sampai kedelapan merupakan bagian dari prinsip untuk memproses sesuatu yang penting (Principles for Managing Essential Processing). Prinsip keenam, Segmenting (Segmentasi) merupakan prinsip menyajikan informasi dalam segmen (bagian) yang perlu disesuaikan dengan kondisi siswa atau pembelajar. Prinsi ketujuh, pre-training (pra- pelatihan) yakni prinsip yang mengajarkan siswa sebelum mengikuti pembelajaran multimedia. Kedelapan modality (modalitas) yaitu prinsip agar menampilkan konten yang penting pada multimedia. Prinsip modalitas mencegah kelebihan beban dengan memperkuat visual sebagai narasi agar dapat tersimpan pada memori jangka panjang dan memungkinkan pemahaman yang lebih dalam.
Empat prinsip lainnya, berkaitan dengan subtopik pemrosesan generative (Principles for Fostering Generative Processing) yang terdiri atas prinsip multimedia yaitu prinsip untuk menggunakan kata dan gambar agar siswa mengasosiasikan kata-kata dan gambar yang disajikan dan dapat membangun
model mental verbal dan visual. Selanjutnya personalization principle (prinsip personalisasi) yakni prinsip menggunakan gaya percakapan yang lebih mudah dimengerti dan dipahami. Kesebelas, prinsip suara yaitu menggunakan suara manusia dan keduabelas menggunakan prinsip gambar yang tidak terlalu banyak bersuara agar siswa membangun sendiri pemahaman materi melalui multimedia. Pada penelitian pengembangan ini, peneliti memilih prinsip coherence, prinsip temporal contiguity, prinsip personalization principle, prinsip modalitas, prinsip redundancy sebagai prinsip untuk mengembangkan multimedia Mayer dikarekan agar sesuai dengan kebutuhan pembelajaran kelas tunarungu.
Berkaitan dengan hal tersebut, untuk memberikan alternatif untuk kedua tipe pembelajar baik visual maupun verbal, media didesain untuk mobile learning dengan menggunakan pendekatan sensory modality. Media auditory akan diganti menggunakan subtitle pada video. Keterkaitan teknologi dan intervensi di pendidikan, Morrison dan Lowther menyebutkan bahwa teknologi pendidikan bukanlah intervensi yang homogen tetapi berbagai modalitas, alat, dan strategi untuk efektivitas pembelajaran, oleh karena itu, tergantung pada seberapa baik hal itu membantu guru dan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. (Morrison dan Lowther.
2010; Hidayat, et al., 2017:83)
Kajian penggunaan multimedia interaktif sudah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya pertama kajian eksperimen dari Wang, Fang & Gu (2019:2) menggunakan 3 pengembangan multimedia yang terdiri atas multimedia Interaktif (Kelas A), multimedia video (Kelas B) dan kelas multimedia teks sebagai wujud eksperimen untuk mengetahui Cognitive load dan keterjangkauan dari 3 macam multimedia melaporkan bahwa kelas A (versi interaktif) membentuk suasana belajar yang aktif, nilai nilai tertinggi dan beban kognitif yang sedang. Kelas B (versi video) menunjukkan ketidakefektifan penyampaian materi dikarenakan penyajian informasi yang tidak tepat, nilai yang kurang memuaskan dan beban kogitif tinggi. Dan, kelas C (versi teks) memiliki efisiensi tinggi dalam pertukaran informasi
karena kemudahan perolehan informasi dengan beban kognitif terendah dan memiliki retensi pengetahuan yang lebih baik daripada Kelas A. Pada hasil kajian Wang, Fang & Gu dapat disimpulkan bahwa melalui multimedia interaktif, siswa dapat meraih beban kognitif sedang dengan suasana yang aktif.
Kajian kedua dari Wolthuis, Minnaert,& Janssen (2019:35) melaporkan adanya pengaruh yang cukup baik dengan media Layered Communication Model (LCM) pada empat siswa tunarungu berusia 4 hingga 17 tahun di Belanda. Meskipun tidak ada perubahan dalam perilaku komunikatif pada empat siswa waktu selama setengah tahun, tetapi menggunakan Layered Communication Model (LCM) berguna untuk mendapatkan wawasan tentang tingkat komunikasi antara siswa. Hasil kajian ketiga berjudul Augmented Sign Language Modeling (ASLM) with interaction design on smartphone – an assistive learning and communication tool for inclusive classroom (Deb, etc., 2018:499) melaporkan penggunaan multimedia berbentuk AR yang menghadirkan gerakan isyarat animasi 3D pada smartphone sehingga siswa dapat melihat suatu materi pembelajaran melalui smartphone. Kekurangan media ini yaitu siswa hanya menggunakan AR setelah para guru membantu, kemandirian dalam mengoperasikan belum terlihat.
Pengembangan multimedia interaktif ini mengelaborasi teknologi dengan komunikasi total agar siswa pada akhirnya mampu meningkat kemampuan komunikasinya. Komunikasi total atau Total Communication (TC) adalah filosofi (bukan metodologi) komunikasi yang menggabungkan bahasa isyarat, gerak tubuh, bahasa lisan, membaca bibir, mengeja, bahasa tubuh, membaca, menulis dan kode manual sesuai pada kebutuhan anak.
5. Pembelajaran Mandiri
Pembelajaran mandiri atau self-regulated learning (SRL) atau juga dapat disebut sebagai Self-Independent Learning didefinisikan oleh Zimmerman merupakan konsep pembelajaran yang mengarahkan siswa agar memiliki kemampuan mental secara proaktif pada proses belajar (Zimmerman, 2002).
Sedangkan, Rusman mendefinisikan pembelajaran mandiri sebagai kemampuan dan kemauan untuk belajar berdasarkan inisiatif sendiri, dengan atau tanpa bantuan orang lain, baik dalam hal penentuan belajar, metode belajar, ataupun evaluasi hasil belajar. Wedemeyer, Moore berpendapat bahwa ciri utama suatu proses pembelajaran mandiri adalah adanya kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk ikut menentukan tujuan, sumber, dan evaluasi belajarnya (Rusman, 2012: 354). Zimmerman menyebutkan strategi pembelajaran mandiri menjadi 3 fase dalam proses belajar (Panadero & Alonso-Tapia, 2014:450).
Pertama yaitu fase permikiran dan perencanaan yang membiasakan siswa untuk belajar sendiri dengan tugas yang diberikan oleh guru, memahami instruksi, dan menetapkan tujuan mereka sendiri dalam menyelesaikan tugas.
Saat siswa menetapkan tujuan, mereka menjadi lebih sadar akan kekuatan dan kelemahan mereka sendiri; apalagi pendekatan pembelajaran mereka menjadi lebih reflektif . Kedua, fase pemantauan kinerja yang mencakup siswa menetapkan strategi mereka sendiri untuk menyelesaikan tugas dengan melakukan percobaan sendiri dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan, mengatur waktu, mencari bantuan, insentif minat & konsekuensi diri. Dan terakhir, refleksi atas kinerja yaitu fase siswa mengevaluasi kinerja mereka sendiri dalam menyelesaikan tugas dan merefleksikan hasil mereka sendiri. Pada fase ini, siswa mengelola emosi mereka sendiri dalam hal kepuasan atau kekecewaan.
Implementasi pembelajaran mandiri dapat terlaksana tidak hanya pada kelas konvensional (tatap muka) namun juga dapat melalui pembelajaran jarak jauh. Pada prembelajaran jarak jauh, pembelajaran mandiri memiliiki konsep "guide didactic conversation" yaitu interaksi dan komunikasi yang bersifat membimbing dan mendidik siswa, sehingga siswa merasa nyaman untuk belajar membahas topik yang mereka minati. Untuk itu materi pembelajaran harus didesain semenarik mungkin yang menarik mungkin yang minat untuk dipelajari oleh pembelajaran. Materi pembelajaran itu pun
harus bersifat "self-instructude" atau belajar mandiri atau individual (Munir, 2009:19).
Pembelajaran mandiri atau selanjutnya dijelaskan sebagai belajar mandiri didefinisikan oleh Mudjiman sebagai konsep belajar yang memiliki empat komponen utama yaitu konstruktivisme, motivasi, belajar aktif, dan kompetensi (Mudjiman, 2011: 20-21). Berikut merupakan penjelasan dari komponen utama belajar mandiri:
1) Konstruktivisme: paradigma yang meyakini bahwa pembelajaran adalah penambahan pengetahuan baru hasil olahan pembelajar sendiri, atas dasar rangsangan yang berupa informasi dari sumber belajar.
2) Motivasi belajar: kekuatan pendorong untuk belajar secara intensif, persisten, terarah, dan kreatif.
3) Belajar aktif: kegiatan belajar yang ditandai dengan melakukan tindakan, dan memiliki ciri-ciri persisten, terearah, dan kreatif.
4) Kompetensi: tindakan secara professional.
Adapun, berdasar penjabaran di atas, penelitian ini merumuskan pembelajaran mandiri pada siswa tunarungu mencakup proses yang menggambarkan bagaimana siswa tunarungu mampu proaktif belajar dengan menyelesaikan tugas yang diberikan meskipun dengan pembelajaran jarak jauh.
6. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual penelitian ini berfokus pada pengembangan media pembelajaran yang berguna untuk peningkatan komunikasi dengan tingkat pendengaran Slight, Mild, Moderate, Moderate-Severe, Severe, hingga Profound dengan mengimplementasikan multimedia interaktif Meyer di pembelajaran IPS. Berdasar kawasan desain, pengembangan dan pemanfaatan teknologi pembelajaran, multimedia yang dikembangkan untuk siswa tunarungu berwujud multimedia yang menampilkan video dengan memuat pendekatan komunikasi total yang akan diuji keefektifan produknya
melalui uji mengerjakan soal. Video didesain dengan kebutuhan siswa sebagai insan permata (pembelajar visual) dengan strategi pembelajaran mandiri agar siswa mampu membiasakan diri memanfaatkan teknologi. Hal ini sesuai dengan isu pendidikan untuk semua (universal quality education) dan teknologi digital dalam pendidikan (digital technologies in education) yang menjadi fokus Kemendikbudristek pada program Sustainable Development Goals (SDGs) 4 tahun 2030. Mengerjakan soal merupakan wujud siswa dapat merespon pesan dari pembelajaran yang sudah disampaikan.
Pengembangan multimedia interaktif Mayer berwujud aplikasi yang dibuat dengan Articulate Storyline 3 yang menampilkan materi berupa teks, gambar, dan video. Tampilan media dibagi menjadi tiga bagian yaitu tampilan awal atau pembuka, isi materi dan penutup. Tampilan awal berupa tampilan menu awal, dan petunjuk penggunaan media. Tampilan isi materi menampilkan video pembelajaran, materi berisi sumber belajar, profil pengembang serta latihan soal. Terakhir tampilan akhir akan menunjukkan pilihan berakhirnya aplikasi yang dikendalikan oleh siswa tunarungu. Adapun penjabaran konkret kerangka konseptual atau model hipotetik dapat dilihat bagan di bawah ini:
Gambar 2.2. Model Hipotetik
Siswa tunarungu mengalami hambatan berkomunikasi karena hilangnya fungsi pendengaran, tapi mereka memiliki mata sebagai alat indera dan modal untuk
mengoptimalkan proses pembelajaran.
IPS merupakan ilmu yang memberikan pengetahuan tentang kondisi masyarakat dan lingkunganya. Namun pembelajaran IPS sulit untuk dilaksanakan tanpa menggunakan
media dikarenakan luasnya bidang kajian ilmu sosial
Media pembelajaran yang memuat video dan materi visual terbukti mempermudah siswa tunarungu pada proses belajar.
Multimedia interaktif dipilih agar siswa tuarungu dapat terlibat secara interaktif pada proses pembelajaran dan memberikan kebebasan dan kemandirian siswa tunarungu
untuk mengoperasikan media dengan kontrol yang sistematis.
Pengembangan dan implementasi Multimedia Interaktif IPS diuji melalui hasil pekerjaan siswa pada menu latihan soal agar keefektifan produk teruji.
B. KERANGKA PIKIR
Siswa yang memiliki keterbatasan pendengaran baik itu secara penuh ataupun sebagian merupakan sumber daya manusia yang memerlukan pengembangan potensi terkhusus pada pengembangan keterampilan komunikasi untuk menghadapi revolusi industry 4.0. Namun, dikarenakan tidak semua siswa tunarungu memiliki lingkungan belajar yang mendukung selama pandemi ini, siswa yang biasanya melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah dengan guru sebagai ahli, memerlukan bantuan untuk melakukan pembelajaran jarak jauh di rumah. Dari pembelajaran jarak jauh, siswa yang belum bisa belajar secara mandiri memerlukan suatu media sebagai alat bantu atau solusi untuk meningkatkan kemampuan komunikasinya.
Media untuk peningkatan komunikasi menurut hasil kajian dan konsep peningkatan komunikasi dapat berupa media pembelajaran yang memuat konsep komunikasi total. Tiga unsur komunikasi total yang sering digunakan oleh anak tunarungu dengan lawan bicaranya menggunakan komunikasi oral, manual dan campuran untuk mengungkapkan bahasa yang digunakan masyarakat dalam berbagai cara (meliputi bicara, baca ujaran, isyarat, ejaan jari, membaca dan menulis), sehingga memungkinkan komunikasi yang digunakan lebih lengkap.
HAMBATAN KOMUNIKASI TUNARUNGU:
Keterlambatan bahasa karena kehilangan kesempatan untuk mendengar berdampak langsung pada komunikasi & interaksi sosial (Meinzen-Derr, et all: 2014-2019)
Kesulitan berbahasa disebabkan pembiasaan dekode kata tunggal & kalimat terpisah, dibanding mendekode seluruh teks (Mich et all: 2013)
Komunikasi yang jarang terjadi dirumah, menjadikan kelas sebagai lingkungan utama pembelajaran untuk Siswa Tunarungu dengan guru yang berfungsi sebagai teladan bahasa.
(Singleton & Morgan: 2006: Leigh, et all, 2017: 89) Media intervensi dapat dilakukan melalui lembaga sekolah.
Dampak ketunarunguan dapat menimbulkan kemiskinan bahasa (Uden, 1977; Meadow, 1980; Bunawan & Yuwati, 2000;Winarsih, 2010:12; Haenudin, 2013:130).
MODEL PENGEMBANGAN MULTIMEDIA INTERAKTIF MAYER
Pengembangan Multimedia Interaktif dengan pendekatan sensory modality dengan mengelaborasi komunikasi total
Belajar mandiri menjadi strategi pembelajaran
KETERAMPILAN KOMUNIKASI SISWA MENINGKAT
Siswa sebagai komunikan mampu menerima pesan dari multimedia interaktif
Siswa mampu merespon pesan yang disampaikan dengan mampu mengerjakan latihan soal.
KAJIAN INTERVENSI TENTANG PENINGKATAN KOMUNIKASI
TUNARUNGU
Teknologi dapat digunakan untuk memperkuat dan memperjelas sisa pendengaran yang masih tersisa secara produktif (Heward, et all . 2017)
Penggunaan multimedia dan hypermedia membantu mengembangkan pembelajaran mandiri siswa. (Azevedo; Schunk. 2012: 327)
Pengembangan ultimedia interaktif berdampak siswa dapat eraih beban kognitif sedang dengan suasana yang aktif.(Wang, Fang & Gu: 2019)
Komunikasi Total merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan komunikasi.