• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

Ada tiga kajian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Ketiga kajian tersebut adalah makalah berjudul Teori Pengikatan (Binding) dan Persoalanan dalam Bahasa Jawa oleh Sawardi, dalam Linguistik Indonesia tahun 2008; jurnal penelitian berjudul Tipe Konstruksi Refleksif dalam Bahasa Indonesia dan Struktur Verba Pembangunnya oleh I Nyoman Kardana, dalam e- journal Linguistika Universitas Udayana tahun 2014; dan skripsi berjudul Tinjauan Sintaksis dan Semantis Pronomina Refleksif dalam Bahasa Belanda oleh Sugeng Riyanto, skripsi (1987) Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Berikut ini rangkuman hasil penelitian dari ketiga kajian tersebut.

Penelitian pertama adalah makalah berjudul Teori Pengikatan (Binding) dan Persoalanan dalam Bahasa Jawa oleh Sawardi, dalam Linguistik Indonesia tahun 2008. Makalah ini membahas tentang sistem pengikatan dan persoalanan dalam bahasa Jawa. Makalah ini mengungkapkan persoalan teori pengikatan bila diterapkan dalam bahasa Jawa. Dalam kaitannya dengan bahasa Jawa, ada persoalan yang dikemukakan untuk pengembangan teori tersebut. Persoalan tersebut menyangkut masalah (i) pembagian nomina menjadi ekspresi-R, pronomina, dan anafor, (ii) penafsiran anafor dalam jumlah, gender, dan persona, dan (iii) sistem pengikatan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sawardi yakni, bahwa anafor dalam bahasa Jawa tidak sespesifik bahasa Inggris dalam pengikatan. Pengikatan anafor

(2)

commit to user

dalam bahasa Jawa tidak seketat bahasa Inggris. Anafor dalam bahasa Jawa berbentuk awak „badan”, diri „diri‟, slira „diri‟, manah „hati‟ ditambah kata ganti milik seperti –ku „saya, kita „kita‟, dhewe „sendiri‟. Bentuk-bentuk anafor tersebut memiliki keterikatan yang rendah dengan antesedennya. Dikatakan rendah karena anafor tersebut dapat pula berdiri sebagai pronomina atau eskpresi-R.

Hasil kedua, dalam bahasa Jawa penafsiran jumlah, gender, dan persona tidak sejelas dalam bahasa Inggris/Indo Eropa. Dalam bahasa Inggris jumlah, gender, dan persona diperlihatkan dalam bentuk morfologis yang jelas. Dalam bahasa Jawa bentuk morfologis yang sama digunakan untuk persona yang berbeda, untuk gender yang berbeda, dan untuk jumlah yang berbeda. Bentuk seperti slirane dhewe „dirinya sendiri‟ dapat digunakan anafor untuk orang ketiga jamak, orang ketiga tunggal feminim, dan orang ketiga maskulin. Tidak ada perbedaan morfologis yang dapat menandai perbedaan-perbedaan itu.

Hasil ketiga, karena bentuk anafor dalam bahasa Jawa dapat berdiri juga sebagai bentuk ekspresi-R atau pronomina kapan terjadi pengikatan menjadi tidak jelas. Bentuk-bentuk awakku, dhiri, slira, tidak begitu saja masuk dalam pengikatan, sehingga hadirnya kata-kata tersebut tidak otomatis menjadi ciri pengikatan.

Penelitian kedua adalah jurnal penelitian berjudul Tipe Konstruksi Refleksif dalam Bahasa Indonesia dan Struktur Verba Pembangunnya oleh I Nyoman Kardana, dalam e-journal Linguistika Universitas Udayana tahun 2014.

Penelitian ini membahas tentang konstruksi refleksif dalam bahasa Indonesia.

Data penelitian ini diperoleh melalui metode observasi atau metode simak terhadap pemakaian bahasa Indonesia oleh penutur bahasa Indonesia di Kota

(3)

commit to user

Denpasar. Secara teoretis terdapat tiga tipe refleksif, yaitu refleksif leksikal, refleksif koreferensial, dan refleksif klitik. Berdasarkan analisis yang dilakukan, bahasa Indonesia hanya memiliki dua tipe refleksif, yaitu refleksif leksikal dan refleksif koreferensial. Refleksif koreferensial dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan ke dalam koreferensial langsung, koreferensial tak langsung, dan koreferensial logoforik. Dilihat dari struktur verbanya, refleksif leksikal dibangun oleh verba intransitif dan verba dasar. Sedangkan verba yang membangun koreferensial langsung dan logoforik adalah verba transitif dengan {meN-}.

Selanjutnya, verba yang dapat membangun koreferensial tak langsung adalah verba intransitif dan kategori adjektiva.

Penelitian ketiga adalah skripsi berjudul Tinjauan Sintaksis dan Semantis Pronomina Refleksif dalam Bahasa Belanda oleh Sugeng Riyanto, skripsi (1987) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Dalam skripsi ini dibahas pronominal refleksif bahasa Belanda dalam kaitanya dengan kategori, fungsi, dan distribusi sintaksis. Selain itu, juga dibahas bagaimana secara semantis relasi antara pronominal refleksif bahasa Belanda dengan anteseden (subjeknya) (relasi anafora dan katafora), serta mengenai keunikan terjemahan pronominal refleksif Bahasa Belanda dalam bahasa Indonesia. Hasil penelitian yakni terdapat perbedaan cukup besar antara pronominal refleksif bentuk pendek dan bentuk panjang. Perbedaan tersebut menyangkut fungsi dan distribusi sintaksis, juga proses mengacunya. Pronominal refleksif bentuk pendek tidak selalu memiliki fungsi sintaksis, sedangkan pronominal refleksif bentuk panjang selalu memiliki sintaksis. Distribusi pronominal refleksif bentuk panjang lebih bebas dibandingkan pronominal refleksif bentuk pendek. Proses mengacunya

(4)

commit to user

pronominal refleksif bentuk pendek masih khas refleksif, sedangkan pronominal refleksif bentuk panjang bisa mirip pronomina persona (bisa mengacu ke luar wacana).

Penelitian “Refleksif dengan Kata diri, dirinya, dan dirinya sendiri dalam Bahasa Indonesia: dari Perspektif Teori Pengikatan” ini berbeda dengan penelitian sebelumnya karena penelitian ini menggunakan objek dan tinjauan yang berbeda dari penelitian yang sebelumnya. Penelitian ini hampir sama dengan penelitian Sawardi (2008) “Teori Pengikatan (Binding) dan Persoalanan dalam Bahasa Jawa”, yakni sama-sama menggunakan teori pengikatan, namun diterapkan pada bahasa yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Sawardi diterapkan dalam bahasa Jawa, sedangkan pada penelitian ini diterapkan dalam bahasa Indonesia.

Selain itu, penelitian ini menggunakan kalimat refleksif dengan kata diri, dirinya, dan dirinya sendiri sebagai objeknya. Penelitian ini juga mirip dengan penelitian I Nyoman Kardana (2014) “Tipe Konstruksi Refleksif dalam Bahasa Indonesia dan Struktur Verba Pembangunnya”, namun tinjauan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari perspektif teori pengikatan sedangkan tinjauan yang digunakan I Nyoman Kardana adalah teori Role and Refrence Grammar yang diprakarsai oleh Van Valin dan J. LaPolla. Penelitian ini juga mirip dengan penelitian skripsi Sugeng Riyanto (1987) “Tinjauan Sintaksis dan Semantis Pronomina Refleksif dalam Bahasa Belanda”, yakni sama-sama membahas tentang refleksif, namun diterapkan pada bahasa yang berbeda, objek penelitian ini adalah refleksif bahasa Indonesia, sedangkan objek penelitian Sugeng Riyanto adalah refleksif bahasa Belanda. Selain itu, tinjauan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

(5)

commit to user

teori pengikatan sedangkan tinjauan yang digunakan Sugeng Riyanto adalah tinjauan sintaksis dan semantis.

B. Landasan Teori 1.

Pronomina

a. Pronomina Persona

Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi, et.al. 2003:249- 257) dijelaskan pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang. Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri (pronomina persona pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan (pronomina persona ketiga). Di antara pronomina itu, ada yang mengacu pada jumlah satu atau lebih dari satu. Ada bentuk yang bersifat eksklusif, ada yang bersifat inklusif, dan ada yang bersifat netral. Berikut ini adalah pronomina persona yang disajikan dalam bagan.

Persona

Makna

Tunggal

Jamak

Netral Eksklusif Inklusif Pertama saya, aku, ku-

, -ku

Kami kita

Kedua engkau, kamu, Anda, dikau, kau-, -

kalian, kamu, sekalian,

(6)

commit to user

mu Anda

sekalian

Ketiga ia, dia, beliau, -nya

mereka

1) Persona Pertama

Persona pertama tunggal bahasa Indonesia adalah saya, aku, dan daku. Ketiga bentuk itu adalah bentuk baku, tetapi mempunyai tempat pemakaian yang agak berbeda. Saya adalah bentuk yang formal dan umumnya dipakai dalam tulisan atau ujaran yang resmi. Persona pertama aku lebih banyak dipakai dalam pembicaraan batin dan dalam situasi yang tidak formal dan yang lebih banyak menunjukkan keakraban antara pembicara/penulis dan pendegar/pembaca. Pronomina persona aku mempunyai variasi bentuk, yakni –ku dan ku-. Di samping persona pertama tunggal, bahasa Indonesia juga mengenal persona pertama jamak, yakni kami dan kita. Kami bersifat ensklusif; artinya, pronomina itu mencakupi pembicara/penulis dan orang lain di pihaknya, tetapi tidak mencakupi orang lain di pihak pendengar/pembacanya. Sebaliknya, kita bersifat inklusif; artinya, pronomina itu mencakupi tidak saja pembicara/penulis, tetapi juga pendengar/pembaca, dan mungkin pula pihak lain.

2) Persona Kedua

Persona kedua tunggal mempunyai beberapa wujud, yakni engkau, kamu, Anda, dikau, kau- dan –mu. Persona kedua mempunyai bentuk

(7)

commit to user

jamak. Ada dua macam bentuk jamak: (1) kalian dan (2) persona kedua ditambah dengan kata sekalian: Anda sekalian atau kamu sekalian.

Persona kedua yang memiliki variasi bentuk hanyalah engkau dan kamu.

Bentuk terikat itu masing-masing adalah kau- dan –mu.

3) Persona Ketiga

Ada dua macam persona ketiga tunggal: (1) ia, dia, atau –nya dan (2) beliau. Meskipun ia dan dia dalam banyak hal berfungsi sama, ada kendala tertentu yang dimiliki oleh masing-masing. Dalam posisi sebagai subjek, atau di depan verba, ia dan dia sama-sama dapat dipakai. Akan tetapi, jika berfungsi sebagai objek, atau terletak di sebelah kanan dari yang diterangkan, hanya bentuk dia dan –nya yang dapat muncul.

Pronomina persona ketiga jamak adalah mereka. Di samping arti jamaknya, mereka berbeda dengan pronomina persona tunggal dalam acuannya. Pada umumnya mereka hanya dipakai untuk insan. Benda atau konsep yang jamak dinyatakan dengan cara yang lain; misalnya dengan mengulang nomina tersebut.

Dalam penelitian ini, pronomina persona digunakan untuk penafsiran jumlah dan persona pada kalimat bahasa Indonesia yang mengandung refleksif.

2. Teori Pengikatan

Teori pengikatan (binding theory) merupakan bagian dari teori Chomsky yang mengatur perilaku frasa nomina (noun phrase) dalam

(8)

commit to user

kepentingan sintaksis dan semantis. Haegeman, Culicover, dan Muadz menjelaskan bahwa dalam teori ini frasa nomina dikelompokkan menjadi tiga tipe anafor (anaphor), pronomina (pronoun), dan ekspresi-R (Referensial expression) (dalam Sawardi, 2008:245).

Chomsky (dalam Muadz, 1994:16) memperkenalkan tiga “kondisi”

untuk teori pengikatan, yakni sebagai berikut:

Binding Conditions:

Condition A: An anaphor must be bound in its governing category Condition B: A pronominal must in its governing category

Condition C: An R-Expression must be free Binding:

A binds B iff a) A c-commands B b) A and B are coindexed

Berikut ini penjelasan rumusan dari tiga prinsip ikatan di atas (dalam Silitonga, 1990:40), yaitu:

Prinsip A: Sebuah anafora harus diikat dalam kategori yang menguasainya.

Prinsip B: Sebuah pronomina harus bebas dalam kategori yang menguasainya.

Prinsip C: Sebuah ekspresi referensial selalu bebas.

Untuk mejelaskan prinsip-prinsip yang di atas perlu diberikan definisi “ikatan”. Unsur A dikatakan mengikat unsur B apabila:

(a) A memerintahkan B, dan (b) A dan B berkoindeks.

(9)

commit to user

Yang dimaksud dengan kategori yang menguasai sebuah unsur ialah frasa nomina atau S minimal yang di dalamnya tedapat unsur dan penguasa (governor) unsur tersebut.

a. Jenis Noun Phrase

Berikut ini tiga jenis Noun Phrase (NP) dalam teori pengikatan (lihat Haegeman, 1991:215; Muadz, 1994:3; Silitonga, 1990:39; Sawardi, 2008:245).

a) Anafora

Anafora adalah frasa nomina yang referensinya harus terdapat di dalam sebuah kalimat (klausa) yang sama, dan tidak mempunyai referensi yang bebas (Silitonga, 1990:40). Kemudian, Sawardi (2008:245) menjelaskan bahwa anafor (dalam hal ini refleksif seperti himself) adalah frasa nomina yang penafsirannya terikat oleh antesedennya dalam hal persona, gender, dan jumlah. Anteseden adalah unsur terdahulu yang ditunjuk oleh ungkapan dalam suatu klausa atau kalimat, misal Ani cantik, tetapi kelakuannya jelek, bentuk –nya menunjuk anteseden Ani (KBBI Edisi Empat, 2012:75). Berikut contoh dalam bahasa Inggris penafsiran himself dalam hal persona, gender, dan jumlah yang harus sesuai dengan anteseden Poirot. Persesuaian akan ditandai dengan indeks subskrip i.

(1) a. Poirotᵢ hurt himselfᵢ.

(Haegeman, 1991:192; Sawardi, 2008:246)

(10)

commit to user

Refleksif himself mengacu pada entitas yang sama dengan anteseden Poirot. Poirot sebagai pengikat dan himself sebagai terikat.

Refleksif himself bergender maskulin dan Poirot juga bergender maskulin.

Kemudian dari jumlah, himself jumlahnya tunggal dan Poirot juga tunggal. Selanjutnya persona, himself merupakan persona ketiga dan anteseden Poirot persona ketiga. Jadi, kalimat (1a) gramatikal karena tidak menyalahi persesuaian gender, jumlah, dan persona.

Perhatikan kalimat (1b), (1c), dan (1d) berikut ini yang tidak gramatikal, yakni menyalahi persesuaian gender pada kalimat (1b), persesuaian jumlah pada kalimat (1c), dan menyalahi persesuaian persona pada kalimat (1d).

(1) b. *Poiroti hurt herselfj.

c. *Poiroti hurt themselvesj.

d. *Poiroti hurt myselfj.

(Haegeman, 1991:193; Sawardi, 2008:246)

Kalimat (1b) tidak gramatikal dan menyalahi persesuain gender, yakni antara bentuk refleksif herself dengan anteseden Poirot. Pada kalimat (1b) Poirot bergender maskulin sedangkan refleksif herself bergender feminin. Selanjutnya, kalimat (1c) tidak gramatikal karena menyalahi persesuaian jumlah, yakni refleksif themselves yang jumlahnya jamak dan anteseden Poirot yang jumlahnya tunggal. Sedangkan, kalimat

(11)

commit to user

(1d) menyalahi persesuaian persona, refleksif myself merupakan persona pertama dan anteseden Poirot persona ketiga.

b) Pronomina

Tipe frasa nomina kedua adalah pronomina. Pronomina adalah frasa nomina yang tidak mempunyai isi leksikal dengan bebas, atau berkoreferensi dengan sesuatu di luar kalimat (klausa) sebelumnya (Silitonga, 1990:40). Contoh berikut inilah yang membedakan antara pronomina dengan anafor.

(2) a. Poiroti hurt him*i/j. b. Poiroti hurt himselfi/*j.

(Sawardi, 2008:246)

Pada kalimat (2a) pronomina him harus mengacu pada entitas yang berbeda dengan subjek Poirot. Kemudian, pada kalimat (2b) refleksif himself harus mengacu subjek Poirot. Letak perbedaan anafora dengan pronomina: anafora harus berkoindeks (ditandai dengan indeks subskrip yang sama) dengan antesedennya dalam kategori yang menguasainya, sedangkan pronomina tidak (walaupun berkoindeks dengan antesedennya, anteseden itu harus terletak di luar kategori yang menguasainya) (Silitonga, 1990:41).

c) Ekspresi-R

Tipe frasa nomina ketiga adalah ekspresi-R (Referential expression). Ekspresi referensial adalah frasa nomina yang leksikal yang

(12)

commit to user

bukan anafora dan bukan pronominal. Tipe frasa nomina yang ketiga ini bersifat bebas. Artinya, frasa nomina ini tidak diikat oleh unsur yang memerintahnya, dan frasa nomina ini bebas dalam kalimat yang di tempatinya (Silitonga, 1990:40-41). Perhatikan contoh berikut ini.

(3) a. Poiroti attacked him*i/j.

b. Poiroti says that hei/j is leaving.

c. Hei says that Poirot*i/j is leaving.

(Sawardi, 2008:246)

Kalimat (3a) pronomina him tidak dapat mengacu pada Poirot, harus mengacu pada entitas yang lain. Oleh karena itu, indeks yang tepat adalah j yakni sebagai penanda entitas berbeda dengan Poirot dan indeks i diberi tanda asteris karena him bukan mengacu pada Poirot. Sedangkan, pada kalimat (3b) he dapat mengacu pada Poirot dan juga entitas lain untuk itu indeks i dan j tidak diberi tanda asteris, dikarenakan penafsiran keduanya dapat berlaku. Selanjutnya, kalimat (3c) he dan Poirot tidak saling mengikat, karena keduanya merupakan entitas yang berbeda. Untuk menunjukkan entitas yang berbeda, maka He diberi indeks i dan Poirot diberi tanda indeks i dengan asteris, dan indeks j tanpa asteris.

Contoh (1) merupakan refleksif dalam bahasa Inggris yang dijelaskan dengan teori pengikatan. Dalam bahasa Indonesia juga ditemukan contoh kalimat yang menyerupai fenomena refleksif seperti bahasa Inggris. Contoh dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.

(4) Seharusnya para pejabat itui mengoreksi dirii/*j.

(13)

commit to user

Kalimat (4) refleksif diri harus mengacu pada anteseden para pejabat itu. Persesuaian ditandai dengan indeks subskrip i. Refleksif diri mengacu pada entitas yang sama dengan para pejabat itu, merupakan persona ketiga, jamak, dan dapat bergender maskulin atau femenin.

b. C-commands

Konsep c-command (dalam Muadz, 1994:14-15), suatu konsep yang menggambarkan hubungan struktural tertentu dari antara satu node dengan yang lainnya. Konsep c-command ini nantinya akan sangat penting dalam menjelaskan hubungan anaforis antar nomina. Reinhart (1976) adalah yang pertama kali memperkenalkan konsep c-command (constituent command), dan memberikan definisi sebagai berikut:

C-command:

A c-commands B if every maximal projection dominating A dominates B and neither A nor B dominates the other.

„A c-commands B jika setiap proyeksi maksimal medominasi A mendominasi B dan A atau B tidak mendominasi yang lain.‟

“Projeksi maksimal” (maximal projection) adalah bentuk perkembangan terakhir dari head atau kategori leksikal. Misal, projeksi maksimal dari N adalah NP, P adalah PP, V adalah VP dan seterusnya.

Sebagai ilustrasi tentang konsep c-command, perhatikanlah diagram pohon berikut ini:

(14)

commit to user IP=S

NP I‟

I VP

V NP

Perhatikan posisi NP subjek dan NP objek. Projeksi maksimal yang membawahi NP subjek adalah IP dan IP juga membawahi NP objek.Oleh karena itu, NP subjek dikatakan men-c-command NP objek (dan semua node lain yang dibawahi oleh IP). Sekarang mari kita periksa apakah NP objek men-c-command NP subjek. Projeksi maksimal yang membawahi NP objek adalah VP, sedangkan node VP tidak membawahi NP subjek.

Oleh karena itu, NP objek tidak dapat dikatakan men-c-command NP subjek. Satu-satunya kategori yang di-c-command oleh NP objek adalah V, karena V dan NP objek dibawahi langsung oleh projeksi maksimal VP.

(15)

commit to user

C. Kerangka Pikir

Penelitian skripsi berjudul “Refleksif dengan Kata diri, dirinya, dan dirinya sendiri dalam Bahasa Indonesia: dari Perspektif Teori pengikatan”

akan dideskripsikan dengan kerangka pikir sebagai berikut.

1. Pertama, yakni penulis menentukan permasalahan tentang refleksif dalam kalimat bahasa Indonesia. Permasalahan tersebut mengenai bentuk refleksif diri, dirinya, dan dirinya sendiri apabila dijelaskan dengan teori pengikatan.

2. Kedua, kalimat bahasa Indonesia yang mengandung refleksif dikelompokkan sesuai dengan jenis verba dalam bahasa Indonesia, yaitu verba berprefiks meN-, ber-, ter-, dan zero (Ø).

3. Ketiga, penulis memilah unsur-unsur pada kalimat bahasa Indonesia yang mengandung refleksif. Refleksif dapat dipahami berdasarkan pola kalimat umumnya (agen melakukan sesuatu terhadap pasien). Umumnya agen berfungsi sebagai subjek dan pasien sebagai objek. Dalam refleksif, agen dan pasien mengacu pada entitas yang sama walaupun dinyatakan dalam wujud leksikal yang berbeda.

4. Keempat, penulis menganalisis kalimat bahasa Indonesia yang mengandung refleksif dengan kata diri, dirinya, dan dirinya sendiri dijelaskan dengan teori pengikatan. Penulis menganalisis bentuk refleksif tersebut dengan mengelompokkannya ke dalam anafora (persona, jumlah, dan gender), serta menganalisis kalimat yang mengandung refleksif dengan menggunakan konsep c- commands.

(16)

commit to user

5. Kelima, yakni penulis menyimpulkan jawaban-jawaban dari permasalahan berdasarkan analisis refleksif dengan kata diri, dirinya, dan dirinya sendiri dalam kalimat bahasa Indonesia.

(17)

commit to user

Bagan Kerangka Pikir

Kalimat refleksif dalam bahasa Indonesia berdasarkan jenis verba:

Verba meN- Verba ber- Verba ter- Verba zero (Ø)

Simpulan

Refleksif dengan Kata diri, dirinya, dan dirinya sendiri dalam bahasa Indonesia: dari Perspektif Teori Pengikatan

Struktur Kalimat Bahasa Indonesia yang Mengandung Refleksif

S P O Ket

Teori Pengikatan

Anafora:

1. Persona 2. Jumlah 3. Gender

Konsep C-commands

Referensi

Dokumen terkait

yang melakukannya adalah pihak dari kelurahan dan pihak dari Dinas Pekerjaan Umum (PU), untuk dapat ditetapkannya berapa nilai atau harga wajar atas jaminan/barang yang

Beri Saya 3 Menit, Saya Akan Tunjukkan Bagaimana Anda Bisa Jago Jualan Hanya Dengan Baca Komik.. Sebelum Anda Membaca Buku-nya, Izinkan Saya Bertanya

Beberapa aspek yang perlu untuk dianalisis dalam melakukan pengembangan usaha terdiri dari aspek pasar dan pemasaran, aspek manajemen dan organisasi, serta aspek

“Kreativitas adalah hasil interaksi antara individu dan lingkungannya, kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, atau unsur-unur yang

Proses oksidasi berlanjut di permukaan. Dalam hal ini elektron bergerak dengan arah yang sama agar pertukaran elektron dalam reaksi ini bisa terjadi. Jika lapisan oksida

Inti Sebelum peserta didik memahami pentingnya peranan lembaga peradilan, guru dapat menjelaskan secara umum dasar hukum peranan lembaga peradilan di Indonesia. Peserta didik

Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti maka tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui proses internalisasi KI 1 dan KI 2 dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan

Pembina akan memberikan materi dengan cara memperagakan isyarat kode-kode alphabet dan numerik dari buku saku menggunakan bendera semaphore kepada siswa.. Siswa