• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENYINGKAP MAKNA PENGULANGAN TIGA KALI DALAM HADITS QAULIAH NABI (Telaah Ma ani Hadits) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENYINGKAP MAKNA PENGULANGAN TIGA KALI DALAM HADITS QAULIAH NABI (Telaah Ma ani Hadits) SKRIPSI"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

MENYINGKAP MAKNA PENGULANGAN TIGA KALI

DALAM HADITS QAULIAH NABI

(Telaah Ma’ani Hadits)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S. 1)

Dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits

Oleh :

ELY UZLIFATURROHMAH 4105021

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

(2)

MENYINGKAP MAKNA PENGULANGAN TIGA KALI

DALAM HADITS QAULIAH NABI

(Telaah Ma’ani Hadits)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S. 1)

Dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits

Oleh : ELY UZLIFATURROHMAH 4105021 Semarang, 15 Juni 2010 Disetujui Oleh : Pembimbing I Pembimbing II

Ahmad Musyafiq, M.Ag Sri Purwaningsih, M.Ag

(3)

PENGESAHAN

Skripsi saudara : Ely Uzlifaturrohmah

No. Iduk : 4105021 telah dimunaqosahkan oleh dewan

penguji skripsi Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal :

15 Juni 2010

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelas sarjana dalam Ilmu Ushuluddin.

Semarang, 15 Juni 2010 Ketua sidang

Nashihun Amin NIP

Pembimbing I Penguji I

Ahmad Musyafiq, M.Ag Dr. Zuhad, M.A

NIP. 197207091999031002 NIP. 195605101986031

Pembimbing II Penguji II

Sri Purwaningsih, M.Ag Drs. Muhtarom, M.Ag

(4)

MOTTO

ö@yd……..

“ÈqtGó¡o„

tûïÏ%©!$#

tbqçHs>ôètƒ

tûïÏ%©!$#ur

Ÿw

t…………..bqßJn=ôètƒ

ÇÒÈ

"Adakah sama orang yang mengetahui dengan

orang-orang yang tidak mengetahui?"(al-Zumar)

1

1

Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Surabaya: Penerbit Duta Ilmu, 2005), hlm.660

(5)

Abstraksi

Ely Uzlifaturrohmah (NIM: 4105021)

Menyingkap Makna Pengulangan Tiga Kali dalam Hadits Qauliah Nabi Saw. (Tela’ah Ma’ani Hadits). Skripsi Semarang Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, 2010

Fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana makna pesan Nabi SAW. dalam hadits pengulangan tiga kali? (2) Bagaimana argumentasi dari pesan tersebut?

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisa hadits-hadits pengulangan tiga kali guna memahami makna pesan Nabi SAW. (2) Menggali argumentasi dari pesan Nabi SAW. tersebut dengan pendekatan multidisiplin.

Adapun metode penelitian ini penulis manggunakan sistem kepustakaan yakni peneliti mengumpulkan matan-matan hadits yang diulang tiga kali dari sumber primer (Kutub al-Sittah) dan kitab-kitsb lain yang mendukung atau memuat obyek penilitian ini. Kemudian dalam menganalisa data, penulis menggunakan analisis data kualitatif dengan pendekatan multidisiplin. Pendekatan multidisiplin adalah pendekatan dengan menggunakan pengembangan sejumlah disiplin ilmu yang lain, seperti ilmu tentang motifasi, ilmu tentang fisiologi, psikologi, sience.

Dengan menganalisa maka ditemukan beberapa makna yang terkandung di dalam matan-matan hadits tersebut, yang terlebih dahulu penulis mendialogkan dengan Al-Qur’an. Dan dengan menggunakan pengembangan sejumlah disiplin ilmu yang lain dengan tujuan memperoleh hasil secara rasional dan empiris agar hadits tersebut bisa dipahami secara tektual maupun kontekstual

(6)

TRANSLITERASI

Transliterasi dimaksudkan sebagai pengalih-hurufan dari abjad yang satu ke

abjad yang lain. Transliterasi Arab-Latin di sini ialah penyalinan huruf-huruf Arab

dengan huruf-huruf latin beserta perangkatnya. Pedoman transliterasi dalam

skripsi ini meliputi :

Huruf Arab Nama Huruf latin Nama

alif ba ta sa jim ha kha dal zal ra za sin syin sad dad ta za ain gain fa qaf kaf lam mim nun wau ha hamzah ya Tidak dilambangkan b t ts j h kh d dz r z s sy sh dl th zh .. g f q k l m n w .´ y Tidak dilambangkan be te

as (dengan titik di atas) je

ha

ka dan ha de

zet (dengan titik di atas) er zat es es dan ye es de te zet

koma terbalik (di atas) ge ef ki ka el em en we Ha (dengan titik di atas) apostrof ye

(7)

Maddah: : : a: panjang : u: panjang : i: panjang Diftong: :aw :ay Catatan:

1. Konsonan yang bersyaddah ditulis rangkap, misalnya: “ maka ditulis

nabawiyah

2. Kata sandang Alif dan Lam ( ) diikuti dengan huruf qomariyah misalnya " ditulis dengan al-hadits demekian pula saat diikuti dengan huruf

syamsiyah misalnya “ maka ditulis dengan Sunnah

al-Nabawiyah

3. Ta ta nits/ Ta Marbutah mati ( ) bila diakhir kata ditulis dengan huruf “h” misalnya “ ditulis dengan sunnah

(8)

Persembahan

ÉOó¡Î0

«!$#

Ç`»uH÷q§•9$#

ÉOŠÏm§•9$#

ÇÊÈ

Kupersembahkan Untuk

(9)

Kata Pengantar

Bismullahirrohmanirrohim

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas taufiq serta hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan sikripsi ini. Sikripsi ini berjudul Menyingkap Makna Pengulangan Tiga Kali dalam Hadits Qauliah

Nabi (Tela ah Ma ni Hadits) . Disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna

untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S.1) Fakaultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri

Dalam penyusunan sikripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan sikripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terimakasih yang paling dalam kepada:

1. Khusus Kedua Orang Tua kami, ibu dan bapak yang telah mendidik dan memperjuangkan masa depan kami dengan penuh kesabaran tak peduli beratnya perjuangan

2. Segenap keluarga yang selalu memberikan motifasi yang luar biasa sehingga penulis mampu menyelesaikan sampai akhir pembuatan sikripsi. Teruntuk paman H. Musta’in beserta istri Hj Maslihatun dan kelurga. Semoga Allah selalu memberikan Keberkahan

3. Yang terhormat Bapak Dr. Muhayya, M. A., selaku dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang yang telah merestui pembahasan sikripsi ini.

4. Bapak A. Hasan Asy’ari Ulam’I., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadits yang telah menyetujui pembahasan sikripsi ini.

5. Bapak Ahmad Musyafiq M.Ag.dan ibu Hj. Sri Purwaningsih M.Ag. yang telah membimbing dan mengarahkan dalam penyusunan sikripsi ini.

6. Bapak Saifuddin Zuhri M.Ag. sebagai wali studi penulis, serta para dosen dan pengajar di lingkungan Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo, yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan sikripsi ini

(10)

7. Kepada Dr. Zuhad M.A. guru besar yang selalu penulis kagumi dengan segala ilmu dan kebijakan yang beliau ajrkan kepada kami

8. Bapak Muhtarom M.Ag. selaku penguji dan membimbing dalam penyelesaian sikripsi

9. Terimakasih Kepada bang Fahrur seorang laki-laki muslim yang sangat mencintai al-Qur’an, bahkan mampu mengendarai motor sambil bertilawah, ia yang selalu menyulutkan api semangat belajar al-Qur’an kepada jundi-jundi kecil pewaris Islam dan negara

10. Gus Labib, yang memahami dan memberikan arti persaudaraan

11. Segenap pengurus dan seluruh santri asrama Isybillah dan Pesma Qolbun

Salim pemimpin umat yang sangat penulis kagumi

12. Teman-teman seperjuangan (Ja is al-Harokah) yang selalu menampakkan

ghiroh perjuangan untuk lebih memahami arti sebuah perjuangan

13. Sahabat-sahabat tercinta yang selalu mengibarkan semangat fastabiq al-khairot (semangat lulus, semangat nikah), Gus Arif, Lela, Fauzul, Faisal, Cumi, Mizan dan teman-teman angkatan 2005

14. Untuk ribuan orang lainnya yang telah begitu banyak memberikan inspirasi baik secara langsung atau tak langsung namun belum penulis cantumkan namanya. Penghargaan dan terimakasih yang tak terhingga Semoga amal baik mereka semua mendapat balasan yang setimpal dari Allah Swt. Akhirnya, tiada gading yang tak retak, segala kritik, saran dan masukan demi perbaikan dan pengembangan sikripsi ini selalu kami nantikan. Dan semoga sikripsi ini dapat menambah hasanah ilmu pengetahuan yang merujuk kepada agama (Al-Qur’an dan hadits)

Semarang, 24 Juni 2010 Penulis,

ELY UZLIFATURROHMAH NIM: 4105021

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN ABSTRAKSI... v

HALAMAN TRANSLITRASI ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

HALAMAN KATA PENANTAR... ix

HALAMAN DAFTAR ISI... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penulisan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Tinjauan Pustaka... 7

F. Metode Penulisan Skripsi... 8

G. Sistematika Penulisan Skripsi ... 10

BAB II MAKNA PENGULANGAN DAN KAIDAH MEMEHAMI HADIS NABI ... 12

A. Makna Pengulangan dalam Kaidah Bahasa Arab... 12

B. Ilmu Ma’ani... 14

C. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Hadits Nabi ... 15

1. Pengertian Hadits ... 15

2. Bentuk-bentuk Hadits Nabi ... 16

D. Pemahaman Hadits Secara Tekstual dan Kontekstual ... 17

BAB III TELA’AH HADITS-HADITS NABI YANG MENGANDUNG PENGULANGAN TIGA KALI ... 24

(12)

1. Hadits tentang Bakti ibu lebih didahulukan daripada ayah 24

2. Hadits tentang Larangan Memperbanyak Marah ... 32

3. Hadits tentang Mengulangi Ucapan hingga Tiga Kali... 34

B. Hadits-hadits Pengulangan Tiga Kali tentang Muamalah... 36

1. Hadits tentang Agama adalah Nashihat ... 36

2. Hadits tentang Haram memakai kain di bawah tumit karena sombong ... 43

3. Hadits tentang Memanah sebagai strategi perang... 45

BAB IV ANALISA MAKNA LAFAL PENGULANGAN TIGA KALI DALAM HADITS QAULIAH NABI... 47

A. Urgensi Pesan Dalam Hadits Pengulangan Tiga Kali ... 47

B. Implikasi Moral Dalam Hadits Pengulangan Tiga Kali... 69

BAB V PENUTUP... 77 A. Kesimpulan... 77 B. Saran-saran ... 80 C. Penutup... 88 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, tampil sebagai penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat global, menafsirkan yang masih mubham, membatasi yang masih mujmal, membatasi yang masih mutlak (muqayyad), menghususkan yang umum (‘am), dan menjelaskan hukum-hukum yang masih eksplisit tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an. Hal ini sejalan dengan firman Allah: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. Al-Nahl/16:44). Atas dasar inilah, maka Allah swt. menjadikan ketaatan kepada Rasul, sebagai ketaatan kepada Allah, dan mewajibkan bagi kaum muslimin untuk mengikuti apa yang diperintahkan dan menjahui apa yang dilarang oleh Rasulullah SAW. Karena Rasulullah SAW. ketika menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an tidak mendasarkan diri pada kehendak hawa nafsunya, melainkan mengikuti kehendak wahyu yang dianugrahkan Allah kepadanya. Firman Allah: “Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak pula aku mengetahui yang ghaib dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku (QS al-An’am/6:50). Bahkan hadits dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum ditetapkan oleh al-Qur’an2.

Al-hadits begitu juga al-sunah oleh mayoritas ulama’ didefinisikan sebagai “ segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan) maupun sifat fisik dan psikis,

2

. Secara tersirat al-Qur’an mendukung ide tersebut, baca antara lain surat al-Nahl ayat 44, al-Hasyr ayat 7 dan al-an’am ayat 50, uraian yang sangat menarik mengenai hadits sebagai bayan terhadap al-Qu’an dan contoh-contohnya, dapat dibaca dalam Wahbah al-Zuhaili, al-Qur an

Karim wa bayanatuhu Tasyri iyyah wa khasha ishuhu Hadhariyah, (Beirut: Dar

(14)

baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya”. Adapun ulama’ ushulul

fiqi membatasi pengertian hadits hanya pada “ucapan-ucapan Nabi

Muhammad SAW. yang berkaitan dengan hukum. Sedang yang mencakup perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini, oleh ulama’ ushul fiqi dinamai al-sunah. Al-Qur’an menjadi barometer atas kebenaran hadits. Jika hadits maknanya bertentangan dengan semangat al-Qur’an, maka hadits yang seperti itu harus dibuang jauh-jauh, karena hadits sebagai ucapan, tindakan dan sikap Nabi Muhammad SAW. (yang kedudukannya sebagai Rasul utusan Tuhan).

Karena itu ada otoritas tersendiri yang wajib ditaati umat Islam, seperti halnya dengan Al-Qur’an, hadits merupakan tindakan dan sikap atau kesan Nabi Muhammad SAW. terhadap segala sesuatu, isinya mencakup segala aspek kehidupan, dari yang paling abstrak atau umum sampai yang paling konkrit dan khusus, itu sebabnya hadits secara kausalitas ditulis dan dihafal oleh umat Islam sebagai pengetahuan untuk menjawab persoalan-persoalan agama, moralitas social, politik, bahkan hingga bagaiamana para orang tua atau seorang pendidik mendidik anak-anak dengan metode Nabi Muhammad SAW.

Pada masa Rasulullah SAW. tidak ada sumber hukum selain al-Kitab dan al-sunah. Di dalam Kitabullah Ta’ala terdapat pokok-pokok yang bersifat umum bagi hukum-hukum syari’at, tanpa pemaparan rinci keseluruhannya dan pencabangannya, kecuali yang sejalan dengan pokok-pokok yang bersifat umum itu yang tidak pernah berubah oleh bergulirnya waktu dan tidak berkembang lantaran keragaman manusia di lingkungan dan secara global, sunnah sejalan dengan Al-Qur’an, menjelaskan yang mubham, merinci yang mujmal, membatasi yang mutlak, menghususkan yang umum dan menguraikan yang umum dan tujuan-tujuannya, disamping membawa hukum-hukum yang belum dijelaskan secara eksplisit oleh Al-Qur’an yang isinya sejalan dengan kaidah-kaidanya dan merupakan realisasi dari tujuan dan sasarannya. Sunnah terkadang merupakan amal yang muncul dari Rasulullah SAW. terkadang merupakan ucapan yang beliau sabdakan pada suatu

(15)

kesempatan. Dan terkadang merupakan perilaku atau ucapan sahabat Rasulullah SAW., lalu beliau melihat perilaku itu atau mendengar ucapan itu, kemudian memberikan pengakuan. Beliau tidak menentang atau mengingkari, tetepi hanya diam atau justru menilai baik. Itulah yang disebut taqriri dari beliau.

Rasul SAW. Menghabiskan dua puluh tiga tahun untuk mendakwahkan Islam, menyampaikan hukum-hukum dan ajaran-ajarannya. Sehingga kepulauan Arabia dan sekitarnya telah memeluk agama Islam. Jangka waktu selama itu sekaligus merupakan periode pengajaran praktis dan sendi dasar bagi pembangunan peradaban Islam yang luhur, yang telah merubah wajah sejarah dan mengembangkannya dengan senjata peradaban disegala aspek kehidupan.

Menyampaikan risalah dan amanah merupakan tugas penting yang sangat berat dan penuh resiko yang hanya mampu dipikul oleh rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati. Allah telah memilih Muhammad SAW., mengajar dan mendidik beliau mampu memangku tugas risalah dan menyampaikannya. Oleh karena itu, Allah membekali beliau dengan bekal yang agung, baik dari aspek keilmuan maupun dari aspek etika. Karena itulah, Rasul SAW. dihiasi dengan sifat-sifat luhur dan memiliki pribadi terdidik yang merupakan model munculnya pekerti yang mulia dan memancarkan sikap-sikap terpuji3. Karena itulah, beliau merupakan panutan terbaik yang jejak-jejaknya akan selalu diikuti dalam segala manifestasi kehidupan. Beliau benar-benar menjadi tauladan yang baik bagi para sahabat yang berbaur, menyaksikan dan mendengar langsung dari beliau. Mereka mengenal beliau sampai kemasalah yang paling pelik-yang semua itu merupakan sunnah- dan kemudian mewariskannya kepada kita dengan penuh keikhlasan dan ketelitian. Termasuk bagaimana metode pengajaran dan cara-cara sahabat mendapatkan sunnah dari beliau, karena hal itu memiliki pengaruh yang jauh dalam pengukuhan dan pengajaran sunnah.

3

Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, terjemahan Drs. H. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq S.Ag. (penterjemah), (Jakarta: Gaya Media Pratama,1998), hlm. 43

(16)

Metode yang digunakan Rasulullah SAW. dalam mengajarkan hadits pada para sahabatnya tidaklah jauh berbeda dengan metode yang digunakan beliau dalam mengajarkan Al-Qur’an. Menurut Syuhudi Ismail, bahwa metode yang digunakan Nabi dalam menyampaikan hadits sangat berfariasi, sesuai dengan bentuk-bentuk hadits beliau .

Pengajaran dengan metode peragaan peraktis, atau menurut beliau bisa disebut dengan penyampaian melalui perbuatan. Dalam hal ini Nabi memberikan contoh praktis kepada para sahabatnya tentang berbagai masalah. Seperti cara melakukan wudhu, sholat, puasa atau cara beribadat lainnya4

Pengajaran dengan metode tertulis, metode ini dapat diketahui dengan adanya perintah Nabi untuk menulis Al-Qur’an kepada para khutabnya5

Tidak jarang Rasulullah S.A.W. dalam mengajarkan haditsnya dengan menggunakan metode lisan, metode ini berbentuk ceramah yang diadakan di majlis Nabi, Nabi menyampaikan kadangkala di depan orang banyak, terdiri dari kaum laki-laki maupun perempuan, adakalanya hanya dihadiri oleh kaum laki-laki saja atau sebaliknya, setelah mereka memintanya. Bila berbicara, Rasul SAW. menggunakan makna yang sangat tegas dan rinci. Apabila yang disampaikannya itu merupakan suatu hal yang sangat penting, beliau biasa mengulanginya sampai tiga kali. Hal ini dimaksudkan memahami maknanya dan pendengar menghafalnya. Dari Sayyidah ra. Diriwayatkan bahwa beliau tidak berbicara secara beruntut seperti kalian. Tetapi beliau berbicara dengan bahasa yang tegas dan jelas sehingga bisa dihafal pendengarnya6 Riwayat yang lain menyebutkan, pembicaraan beliau bila ada yang menghitung, bisa dihitungnya. Beliau menjelaskan kepada sahabatnya berbagai hukum dengan jelas, sehingga tak ada pertanyaan lagi bagi pendengar dan tak ada lagi kesulitan bagi penanya yang ada dihadapan beliau. Samapai-sampai beliau sering memberikan jawaban yang lebih luas dari yang ditanyakan.

4

Dr. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 29-35

5

Muhammad Musthafa Azami, Metodoloi Kritik Hadits, terjemahan Drs. A. Yamin, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), hlm. 28

6

Mahmud bin Ahmad Al-‘Aini, Umdah al-Qori: Sharah Shahih al-Bukhori, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2001), juz 22, hlm. 173

(17)

Namun tidak semua hadits Nabi yang diulang tiga kali dalam pengucapannya mempunyai tujuan makna yang sama, contohnya hadits nabi yang berbunyi

:

:

)

(

7

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW., berikanlah wasiat kepadaku ya Rasul, lalu Nabi berkata jangan marah hingga perkataan tersebut diulang-ulang, Nabi berkata jangan marah. (Diriwayatkan dari al-Bukhori)

Hadits ini tentunya tidak sama maknanya dengan hadits yang sama pengulangannya sebanyak tiga kali, sebagaimana hadits yang berbunyi

:

:

:

:

:

:

:

:

:

:

8

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. berkata, seorang laki-laki datang kepada Rasul SAW, dengan berkata: Wahai Rasulullah, siapakah orang yang lebih berhak untuk aku temani dengan baik? Rasulullah bersabda: ibumu, lelaki tersebut berkata: kemudian siapa? Rasulullah berkata: ibumu, kemudian siapa? Rasul menjawab: ibumu, kemudian siapa ya Rasul? Rasul menjawab: bapakmu. (Mutafaq ‘alaih)

Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis bermaksud mencoba melakukan analisa yang komprehenshif mengenai makna-makna yang terkandung dalam hadits-hadits tentang pengulangan tiga kali terhadap pengajaran Nabi. Dengan memilih judul Menyingkap Makna Pengulangan

Tiga Kali dalam Hadits Qouliah Nabi. Pada penelitian ini penulis hendak

menganalisa, bagaimana memahami secara proporsional mengenai makna pengulangan tiga kali dalam pembelajaran Nabi.

7

Imam Muhammad ‘abd al-Rahman al-Mubarokfuri, Tukhfah al- Akhadl : Syarah Jami’ al-Tirmidzi, (Beirut: Darul Fikr, 1995M), juz. 6, hlm. 128

8

Mahmud bin Ahmad Al-‘Aini, Umdah al-Qori: Sharah Shahih al-Bukhori, op. cit., juz. 22, hlm. 130

(18)

Dalam penelitian ini, penulis dalam menukil hadits-hadits pengulangan merujuk pada kitab Riy dh al-Shal hi n pengarang Syarf al-Nawawi kemudian menelusurinya dalam kitab induk. Sesuai Pernyataan Imam Nawawi yang termaktub dalam muqodimahnya kitab Riy dh al-Shal hi n bahwa hadits-hadits yang terdapat dalam kitab tersebut berkualitas shahih karena kitab tersebut dinuqil dari kitab-kitab induk (Kutub at-Tis ah).

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari pemikiran di atas, permasalahan yang akan di bahas dalam skripsi ini, yaitu :

1. Bagaimana makna pesan Nabi dalam hadits pengulangan tiga kali? 2. Bagaiama argumentasi dari pesan Nabi tersebut?

C. Tujuan Penelitian

1. Menganalisa hadits-hadits pengulangan tiga kali untuk memahami makna pesan Nabi

2. Menggali argumentasi dari pesan Nabi tersebut dengan pendekatan multidisipilin

D. Manfaat Penelitian

2. Dapat memahami makna pesan nabi dalam hadits pengulangan tiga kali 3. Dapat memberikan argumentasi dari hikmah-hikmah tersebut baik secara

aqli maupun naqli.

4. Dapat mengetahui hikmah dalam lafal pengulangan hadits Nabi tersebut (ma wa ra a al-nash)

E. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan ilmiah yang berguna untuk memberikan kejelasan dan batasan pemahaman tentang informasi yang digunakan malalui hasanah pustaka, terutama yang terkait dengan tema yang dibahas.

(19)

Hadits Nabi dalam Jam ul Bukhori dalam Kitab al- Ilm, bab Man

da hadits liyufhima an u dalam sebuah hadits tersebut menunjukkan salah

satu metode Nabi untuk mengajarkan ilmu kepada para sahabatnya, pengulangan tersebut untuk memberi kefahaman sahabat terhadap sunnah Nabi dengan makna atau maksud yang benar.

Dalam bukunya Muhammad Sulaiman al-Ashqor, bukunya yang berjudul af l al-ros l wa dil lati ala al-ahkami al-syar iyah, di dalamnya

diterangkan berbagai metode Nabi dalam mengucapkan suatu permasalahan, hususnya dalam bidang masalah hukum dalam metodologi berupa af lnya Rasul, meliputi qaul, perbuatan, suk t, atau taqr rnya Nabi. Namun, lebih menekankan pada af lnya Rasul dalam menentukan hukum.

Di samping itu juga kitab-kitab yang dijadikan sumber dan perbandingan oleh penulis dalam melengkapi data, diantaranya Shahih Muslim dan Bukhari, hasil karya dari Imam Bukhori dan Imam Muslim, Imam Turmudzi dengan kitabnya Sunan al-Turmudzi, Imam Abu Daud dengan kitabnya Sunan Abu Daud, yang secara tidak langsung mengumpulkan hadits yang berkaitan pengulangan ucapan tiga kali dalam hadits Nabi.

Dari buku-buku di atas, penulis masing-masing melengkapi dalam memberikan informasi dan masukan dalam penelitian ini. Berangkat dari pemaparan para tokoh pemerhati hadits di atas, menambah wawasan berpikir penulis dalam melakukan penelitian mengenai makna pengulangan ucapan tiga kali dalam hadits Qauliah Nabi. Penelitian ini menjadi berbeda karena berdasarkan pada hadits-hadits khusus tentang pengulangan tiga kali dalam ucapan Nabi dan melakukan pemaknaan atasnya.

Berangkat dari uraian tersebut di atas, penulis menganggap perlu melakukan penelitian lebih lanjut dengan kajian ini diharapkan dapat ditemukan pernyataan tentang makna pengulangan tiga kali sebagai metode pembelajaran, yang pada akhirnya menjadi temuan baru yang dapat diamalkan dalam proses belajar mengajar.

(20)

F. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memberi judul “ Menyingkap Makna Pengulangan Tiga Kali dalam Hadits Qauliyah Nabi”. Jadi obyek penelitian tetsebut adalah matan hadits yang diulang tiga kali. Yang mana matan- matan hadits tersebut terkait dengan sunnah-sunnah qauliah. Sebagaimana kita tahu sebagian besar pernyataan Nabi Saw. itu tidak diulang. Namun dibeberapa kitab hadits, peneliti mendapati teks-teks hadits yang diulang sampai tiga kali. Menurut kaidah bahasa Arab bahwa pernyataan yang diulang tiga kali memiliki faidah li al- ta kid yaitu menunjukkan bahwa pernyataan itu adalah penting untuk diperhatikan, sehingga pendengar tidak ragu9. Hal inilah yang menggelitik peneliti untuk menggali lebih dalam lagi terhadap teks-teks hadits yang diulang tiga kali, yaitu untuk mendapatkan argumentasi rasional dan empiris dari pesan-pesan Nabi Saw. tersebut.

Untuk lebih mudahnya guna memahami proses penelitian ini, penulis akan menggambarkan secara sistematis, yaitu:

1. Sumber Data

Sementara, sumber data tersebut dapat penulis bedakan menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah data autentik atau data yang berasal dari sumber pertama10. Dalam hal ini, penulis akan mengambil data dari Kutub al-Sittah dan kitab-kitab hadits lain yang memuat

matan-matan hadits yang diulang tiga kali.

b. Sumber Data Sekunder

Adalah data yang materinya secara tidak langsung berhubungan dengan masalah yang diungkapkan. Sementara, data ini berfungsi sebagai pelengkap data primer. Data sekunder berisi tentang

tulisan-9

Asy-Sekh mushthafa Qalaini, Jami Durus Arabiah, (Beirut: Dar Kutub al-‘ilmiah, 2006), Juz.3 hlm. 176.

10

Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, (Yogyakarta, Gajah Mada University Press,1996), hlm. 216-217.

(21)

tulisan yang berhubungan dengan pokok penelitian yakni penyingkapan makna tiga kali dalam pembelajaran Nabi baik dari Al-Qur’an, buku, jurnal, majalah, hasil penelitian dan sebagainya.

2. Metode Pengumpulan Data.

Karena penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, yang mana obyek penelitiannya adalah hadits-hadits pengulangan tiga kali, maka penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research . agar mencapai hasil yang optimal, penulis menggunakan beberapa langkah yaitu: pertama, peneliti mengumpulkan matan-matan hadits yang diulang tiga kali dari sumber primer (kutub al-Sittah) dan kitab-kitab lain yang mendukung atau memuat obyek penelitian ini. Kedua, penulis mengelompokkan hadits-hadits tersebut dalam tema-tema yang sudah direncanakan oleh penulis. Setelah data tersebut terklasifikasi, penulis menggali lebih dalam dengan penjelasan-penjelasan dari para ulama’ atau keterangan-keterangan dalam kitab-kitab syarah dari Kutub al-Sittah. Ketiga, setelah mendapatkan keterangan atau penjelasan tersebut, penulis mencoba menganalisa dari kitab induk tersebut dengan mendialogkan kitab-kitab lain yang di dalamnya memuat penemuan-penemuan rasional dan empiris yang terkait dengsn obyek penelitian ini, guna mendapatkan argumentasi rasional dan empiris dari pesan-pesan Nabi Saw.

3. Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya data tersebut disusun secara sistematik dan dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan metode sebagai berikut:

a. Metode Deskriptif

Metode deskriptif merupakan metode penelitian dalam rangka menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti terhadap suatu obyek penelitian.11 Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau

11

Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. 2, hlm. 66

(22)

melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta tampak atau sebagaimana adanya.

Metode ini penulis gunakan untuk menganalisa data dengan menggunakan pembahasan yang beranjak dari matan sebuah hadits, dan mencoba menggali lewat kitab-kitab syarah atau asbab al-wurud guna untuk memahami makna hadits-hadits pengulangan tiga kali dalam obyek penelitian ini.

v Pendekatan Metode Multidisiplin

Dalam memahami pesan atau hikmah yang terkandung dalam sebuah hadits yang diangkat dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan metode multidisiplin. Pendekatan ini adalah pendekatan dengan menggunakan pengembangan sejumlah disiplin ilmu yang lain12, seperti ilmu tentang motifasi, ilmu tentang fisioligi, psikologi, sience. Ilmu-ilmu tersebut dipadukan dengan sejumlah tema-tema hadits dalam penelitian ini, dengan tujuan memperoleh hasil secara rasional dan empiris.

G. Sistematika Penulisan

Sebagai sebuah penelitian ilmiah, penulisan skripsi ini disusun berdasarkan tertib susunan yang sistematis, hal ini agar pembahasan bisa dipahami secara jelas. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :

Bab I, pada bab pertama ini merupakan bab pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II, pada bab kedua ini merupakan pandangan umum pengulangan lafal hadits yang meliputi, makna pengulangan dalam kaidah bahasa Arab, ilmu ma’ani, pengertian hadits dan hadits qauliah, pemahaman hadits secara tekstual dan konstekstual

12

Noeng Muhadjir, Metodologi Keilmuan, Paradigma Kualitatif, Kuantitatif dan mixed, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2007), hlm.17

(23)

Bab III, hadits Nabi yang mengandung pengulangan tiga kali, berisi seputar hadits-hadits pengulangan tiga kali tentang akhlaq, hadits-hadits tersebut adalah hadits tentang bakti ibu lebih didahulukan dari pada ayah, hadits tentang tidak boleh marah, dan hadits tentang mengulangi ucapan hingga tiga kali sebagai strategi. Adapun point kedua, hadits-hadits pengulangan tiga kali tentang muamalah, hadits tersebut adalah hadits tentang menghormati tetangga dan tamu, hadits tentang larangan memakai kain di bawah tumit karena sombong, dan hadits tentang memanah

Bab IV, Analisis makna pengulangan tiga kali dalam hadits-hadits Nabi yang dalam hal ini penulis akan membagi analisis tersebut dengan beberapa bagian di antaranya adalah untuk sebuah kemuliaan atau keutamaan sebagai bentuk hak seorang ibu atas anak adalah lebih besar dari hak seorang ayah, untuk kewaspadaan terhadap sifat marah (Larangan Memperbanyak Marah), untuk memahamkan, untuk menghormati dan menghargai, untuk kesempurnaan dalam wudhu menghapus dosa, sebagai ungkapan motivasi.

Bab V, pada bab ini merupakan penutup dari penyajian skripsi penulis, yang meliputi kesimpulan, saran-saran, dan kata penutup.

(24)

BAB II

MAKNA PENGULANGAN DAN KAIDAH MEMAHAMI HADITS NABI

A. Makna Pengulangan dalam Kaidah Bahasa Arab

Salah satu kriteria yang dijadikan untuk menilai fasih atau tidaknya perkataan seseorang di kalangan bangsa arab, ialah bentuk pengulangan kata ataupun kalimat yang sama dalam satu waktu. Demikian sebutan akrabnya dalam kaedah bahasa. Tikrar berasal dari kata karra yang berarti kembali, mengulangi atau menyambung. Imam Jauhari menegaskan hal yang sama yaitu, arti kata karra ialah mengulangi suatu hal atau perbuatan tertentu. Sedangkan pengertian tikrar dalam istilah, ialah mengulangi satu kata atau kalimat yang sama beberapa kali karena bebarapa alasan, diantaranya dengan tujuan penegasan (tawkid), memberi peringatan atau menggambarkan agungnya sebuah hal tertentu. Para ulama bahasa membagi tikrar menjadi dua macam, yang pertama tikrar yang pola pengulangannya terdapat pada ejaan dan makna kata sekaligus, atau mengulang satu kata yang bermakna sama. Seperti jika seseorang mengatakan kata perintah asri’ asri’ !(cepat-cepat!). Satu kata tersebut diulang dengan makna dan ejaan yang tidak berbeda sama sekali. Tikrar yang kedua yaitu apabila pengulangan hanya pada makna saja, sedangkan ejaan katanya tidak sama. Misalnya, athi ni wa la tu shini! (taati dan jangan kau langgar aku!). Dua kata ini meski berbeda, yang satu menggunakan kata athi ni dan satunya lagi la tu shini, akan tetapi kedua makna tersebut tetap saja sama, sehingga jika ada seseorang mengatakan “jangan langgar aku , berarti ia juga memerintahkan untuk mentaatinya. Dirasa ilmu ini cukup penting dalam kajian bahasa. Di bawah ini akan dijelaskan secara sistematis.

Pengulangan kata (tikrar) dalam bahasa Arab mempunyai faedah taukid. Namun, taukid mempunyai makna tersendiri. Taukid menurut ahli

(25)

Nahwu adalah lafal yang mengikuti yang berfungsi untuk melenyapkan anggapan lain yang berkaitan dengan lafal yang ditaukitkan13

Al-Taukid mempunyai dua bagian: 1. Taukid Lafzhi

Taukid lafzhi adalah mengulang-ulang lafazh taukid itu sendiri,

baik berupa isim, dhom r, fi il, huruf ataupun jumlah. Pengulangan redaksi baik dalam hadits atau ayat di dalam Al-Qur’an baik berupa huruf-hurufnya ataupun susunan kalimatnya dengan tujuan tertentu

Taukid lazhi mempunyai faedah tersendiri, faedah tersebut adalah

untuk menetapakan dan menyatakan pemahaman kepada pendengar dan menghilangkan dari keraguan14.

2. Taukid Ma nawi

Taukid ma naw adalah dengan menyebutkan Nafsun, Ain, Jami , ammah, kila, kilta, dengan syarat lafal-lafal taukid tersebut dimudhofkan

dengar dhomir yang sama (muakadnya)15. Taukid ma nawi ini dibagi menjadi dua macam: pertama; kalimah yang menunjukkan pengertian hakikat dan menghilangkan majaz. Kedua; ma nawi lil-ihathoh adalah kalimah yang menunjukkan akan keseluruhan bukan sebagian16

Taukid mempunyai beberapa faidah:

1. Untuk menetapkan dan menyatakan pemahaman ketika dirasa ada kelalaian pendengar

2. Untuk menetapkan serta menolak prasangka penyimpangan dari yang zhahir

3. Untuk menetapkan serta menolak prasangka tidak menunjukkan menyeluruh

13

Moch. Anwar, Ilmu Nahwu Terjemahan Matan al-Jurumiyyah dan Imrithi Berikut

Penjelasannya, (Bandung: Sinar Baru, 1992), hlm. 116

14

Al-Sekh Mushthafa Qalaini, Jami Durus Arabiah, (Beirut: Dar Kutub al-‘ilmiah, 2006), Juz.3 hlm. 176.

15

Ibid

16

Syekh Muhannad bin A. Malik al-Andalusy, Terjemahan Matan al-Fiyah, Terj. M.

(26)

4. Untuk tujuan mengukir makna taukid dihati pendengar17.

Ada beberapa faedah yang bisa disimpulkan dari pola tikrar, diantaranya yang pertama penegasan atau penguatan (ta’kid) . Bahkan apabila dicermati, nilai penekanan yang dikandung pola takrir setingkat lebih kuat dibanding bentuk ta’kid. Keunggulan pola takrir ini disinyalir karena takrir mengulang kata yang sama, sehingga makna yang dimaksudkan akan lebih mengena. Lain halnya dengan pola ta’kid yang dalam penerapannya lebih sering menggunakan huruf atau perangkat yang mengindikasikan penegasan makna yang terkandung.

Faedah yang kedua, pola takrir berfungsi untuk memperjelas dan memperkuat sebuah peringatan, sehingga kata-kata tersebut bisa dipahami dan diterima.

Fungsi pola takrir yang ketiga, untuk menghindari sikap lupa yang disebabkan kalimat tertentu terlalu panjang, sehingga jika sebuah kata tidak diulangi, dikhawatirkan kata yang berada di awal akan terlupakan

B. Ilmu Ma’ani

Al-Ma ani adalah bentuk jamak dari kata makna. Secara etimologi

artinya hal yang dituju, menurut pengertian terminologi ulama Ilmu Bayan adalah menyatakan apa yang digambar dalam hati dengan suatu lafal atau ucapan, atau tujuan yang dimaksudkan oleh lafal yang tergambar di dalam hati18.

Ilmu ma ani19 adalah pokok-pokok dan dasar-dasar untuk mengetahui tata cara menyesuaikan kalimat kepada kontekstualnya (muqtadhal hal-nya)20 sehingga cocok dengan tujuan yang dikehendaki.

17

Sayid Ahmad al-Hasyimi, Mutiara Ilmu Balaghah, Ter. M. Zuhri. Ahmad Chumaidi Umar, (Surabaya: Dar al-Ihya’, 1994), hlm. 203-204

18

Ibid. hlm. 36

19

Sebagian ulama menjelaskan: Berbagai makna yang tergambar dibenak manusia yang bertemu dengan hati mereka adalah sangat rahasia dan jauh. Seorang manusia tak akan mengerti nuranu temannya. Ia tak akan mengerti kehendak temennya, dan tidak mengetahui siapa orang yang akan membantunya, kecuali dengan beberapa pernyataan yang ditetapkan dari pemahaman dan pernyataan itu menjadikan makna yang samar menjadi jelas, yang jauh menjadi dekat. Jadi, pernyataan itulah yang bisa menyelamatkan segala keserupaan, melepaskan yang teruikat, yang tidak berguna menjadi berfaidah, yang muqayyad menjadi mutlak, yang tidak diketahui menjadi dikenali, yang asing menjadi terbiasa dipakai.

(27)

Obyek pembahasannya adalah lafal bahasa Arab dari segi penunjukkannya kepada makna-makna yang kedua yang merupakan tujuan-tujuan yang dimaksudkan oleh mutakallim, yaitu menunjukkan kalimat yang berisi kehalusan dan keistimewaan-keistimewaan yang dengannya kalimat tersebut dapat sesuai dengan kontekstualnya.

Ilmu ma ani juga mempunyai beberapa faidah yaitu, pertama;

mengetahui kemukjizatan Al-Qur’an melalui aspek kebaikan susunan dan sifatnya, keindahan kalimat, kehalusan bentuk ijaz yang telah diistimewakan oleh Allah dan segala hal yang telah terkandung oleh Al-Qur’an itu sendiri, yang berupa kemudahan susunan, keagungan kalimat-kalimatnya, kemanisan lafal-lafalnya dan kesalamatannya serta kebaikan-kebaikan lain yang melumpuhkan bangsa Arab untuk melawannya dan mencengangkan akal meraka karena kefashihan dan nilai sastranya. Kedua, mengetahui rahasia “balaghah dan fashahah” dalam bahasa Arab yang berupa prosa dan puisi agar dapat mengikutinya dan menyusun sesuai dengan aturannya serta membedakan antara kalimat yang bagus dengan yang bernilai rendah21.

Ilmu ma ani al-Hadist adalah ilmu yang berusaha memahami matan

hadits secara tepat dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengannya atau indikasi yang melingkupinya.

C. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Hadits Nabi

1. Pengertian Hadits

Kata ad ts berasal dari bahasa Arab: ad ts , jamaknya al-dits, al- ad tsan dan al- udtsan22. Dari segi bahasa ad ts

mempunyai beberapa arti diantaranya: Jad d (yang baru) lawan dari

al-qad m (yang lama), al-qar b (yang dekat) menunjukkan waktu yang

20

“Keadaan adalah suatu perkara yang mengajak orang untuk menyampaikan kalimat secara khusus. Kekhisusan itulah yang dinamakan “kontekstual” atau “muqtadhal hal”.

21

Ibid. hlm 34-35

22

M. Syuhudi Isma’il, Kaidah Keshahihan Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 26

(28)

pendek, dan al-khabar (berita atau khabar) menunjukkan sesuatu yang dipercayakan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain23.

Dari segi istilah, para ulama’ memberikan pengertian yang berbeda-beda. Hadits menurut al-Ta awuni mengatakan, “Hadits adalah apa saja yang disandarkan pada Nabi SAW”. Pendapat ini selanjutnya diperkuat oleh al-Thibby bahwa hadits adalah mencakup juga perkataan, perbuatan dan taqr r sahabat dan tabi’in. Menurut ulama’ hadits, al-H fidz dalam kitab Syarah al-Nukhbah bahwa hadits mempunyai makna

riwayat yang sampai pada Nabi SAW., Sahabat, dan Tabi’in yang disebut

had ts marfu , mauquf dan maqtu . Dalam kajian ushul fiqh, hadits

mencakup perkatan, perbuatan, dan ketetapan Nabi yang patut sebagai dalil hukum syar’i.24. Ajaj al-Khathib menjelaskan hadits dan sunah mempunyai arti yang sama. Keduanya diartikan sebagai segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasul SAW. setelah kenabian, baik berupa sabda, perbuatan, maupun taqr r25. Dengan demkian, berdasarkan keterangan ini,

sunnah lebih luas dari pada hadits.

Ulama’ dari berbagai bidang sepakat bahwa hadits yang dijadikan hujjah adalah hanya hadits yang berkualitas shah h, maka para mu add ts menetapkan kriteria keshah han hadits, baik dari segi sanad maupun dari segi matan.

2. Bentuk-Bentuk Hadits Nabi

Telah dijelaskan pada bab sebelumnya, khususnya mengenai beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama’ mu addits n bahwa hadits atau sunnah mencakup segala perkataan (qauliah), perbuatan

(fi liyah), dan ketetapan (taqr r) Nabi SAW., berdasarkan hal ini, hadits

mempunyai masing-masing bentuk, atau bentuk hadits atau sunnah

qauliyah, fi liyah, maupun taqr r.

23

Muhammad bin Mukarram bin Manzur, Lisan-al-Arabi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), juz II, hlm. 133

24

Dr. Moh. Isom Yoesqi et.al, Eksistensi Hadits dan Wacana Tafsir Tematik, (Yogyakarta: CV. Grafika Indah. 2007), hlm.6

25

Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, terjemahan Drs. H. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq S.Ag. (Jakarta: Gaya Media Pratama,1998), hlm.8

(29)

ad ts fi liyah misalnya, adalah segala perbuatan Nabi SAW. yang

diriwayatkan oleh para sahabatnya, yang merupakan amalan praktis beliau yang berkaitan dengan peraturan-peraturan syara’ yang masih global sifatnya.26

ad ts taqr ri yaitu apa saja yang menjadi ketetapan Rasulullah

SAW. terhadap berbagai perbuatan, yaitu Nabi SAW. membiarkan atau mendiamkan sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya disertai kerealaan atau dengan memperlihatkan pujian dan dukungan27.

Adapun ad ts qauliah adalah segala perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik yang berkaitan dengan aqidah, syari’ah, akhlak, atau ibadah maupun yang lainnya. ad ts qauliah ini

adalah hadits yang paling banyak ditemukan.28

D. Pemahaman Hadits Secara Tekstual dan Konstekstual

Pemahaman terhadap hadits secara umum terbagi menjadi dua kelompok. Yaitu, pemahaman secara tekstual dan konstekstual. Hal ini sudah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW. Secara garis besar, tipologi pemahaman ulama dan umat Islam terhadap hadits diklasifikasikan menjadi dua bagian; Pertama, tipologi pemahaman yang mempercayai hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam tanpa memperdulikan proses sejarah pengumpulan hadits dan proses pembentukan ajaran ortodoksi. Barangkali tipe pemikiran ini oleh ilmuwan sosial dikategorikan sebagai tipe pemikiran yang akistoris (tidak mengenal sejarah tumbuhnya hadits dari sunah yang hidup pada saat itu). Tipe ini bisa juga disebut dengan memahami hadits secara “tekstualis”. Kedua, golongan yang mempercayai hadits sebagai sumber ajaran kedua ajaran Islam, tetapi dengan kritis historis melihat dan mempertimbangkan asal-usul (asb b

al-wur d) hadits tersebut. Tipe ini bisa juga disebut dengan memahami hadits

26

Muhammad Nor Ikhwan, Studi Ilmu hadits, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2007), hlm. 18

27

Drs. Munzier, Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta, P.T. Raja Grafindi Persada. 2003), hlm. 18

28

(30)

secara “kontekstual”. Tipe pemahaman ini tidak begitu populer karena pemahaman ini tenggelam dalam pelukan kekuatan l al-sunnah wa al jamaah, yang lebih suka memahami hadits secara tekstual. Pemahaman secara

takstual ini diperlukan l al-sunnah wa al-jamaah karena dorongan untuk

menjaga dan mempertahankan ekuilibrium kekuatan ajaran ortodoks.29

Disebut pemahaman tekstual karena lebih menekankan signifikansi teks-teks sebagai sentra kajian Islam dengan merujuk kepada sumber-sumber suci (Al-Qur'an dan hadits). Pemahaman ini sangat penting ketika kita ingin melihat realitas Islam normatif yang tertulis, baik secara eksplisit maupun implisit, dalam Al-Qur'an dan hadits. Kajian tekstual juga tidak menafikan eksistensi teks-teks lainnya sebagaimana ditulis oleh para intelektual dan ulama besar muslim terdahulu dan kontemporer.

Pemahaman tekstual barangkali tidak menemui kendala yang cukup berarti untuk melihat dimensi Islam normatif yang bersifat qath i. Persoalan baru muncul ketika pendekatan tertulis secara eksplisit, baik didalam Al-Qur'an maupun hadits, namun kehadirannya diakui, dan bahkan diamalkan oleh komunitas muslim tertentu secara luas.

Segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi dan kondisi yang melatar belakangi kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadits. Mungkin memahami suatu hadits tertentu secara tersurat (tekstual), sedang hadits yang lain lebih tepat dipahami secara tersurat (kontekstual).

Pemahaman dan penerapan hadits secara tekstual dilakukan bila hadits yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan segi-segi yang barkaitan dengan latar belakang terjadinya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadits yang bersangkutan. Sedangkan pemahaman dan penerapan hadits secara kontekstual dilakukan bila dibalik teks suatu hadits, ada petunjuk kuat yang mengharuskan hadits yang bersangkutan

29

M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normalitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 315.

(31)

dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana maknanya yang tersurat (tekstual).30

Dalam memahami hadits Nabi SAW, kontekstual ada beberapa langkah yang harus ditempuh, antara lain:

1. Dengan Pendekatan Kebahasaan

Pendekatan kebahasaan dalam upaya mengetahui kualitas hadits tertuju pada beberapa objek: Pertama, struktur bahasa; yaitu apakah susunan kata dalam matan hadits yang menjadi objek sesuai dengan kaidah bahasa Arab atau tidak? Kedua, kata-kata yang sesuai dipergunakan oleh bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad SAW., atau menggunakan kata-kata baru yang muncul dan dipergunakan dalam literatur Arab modern? Ketiga, matan hadits tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat, menelusuri makna kata yang terdapat dalam

matan hadits, dan apakah makna kata tersebut ketika diucapkan oleh Nabi

SAW., sama makna yang dipahami oleh pembaca atau peneliti.

Dengan penelusuran bahasa, mu addits n dapat membersihkan hadits Nabi SAW., dari pemalsuan hadits, yang muncul karena adanya konflik politik dan perbedaan pendapat dalam bidang fiqih dan kalam. Melalui pendekatan bahasa, kita dapat mengetahui makna dan tujuan hadits Nabi SAW.31

2. Melalui Kandungan Teks

Dalam kaitannya dengan teks (Al-Qur'an dan al-hadits) yang lahir atau muncul karena sebab-sebab tertentu, mayoritas ulama dalam mengemukakan hadits dengan menggunakan dua kaidah yaitu, Pertama, kaidah al-ibrah bi umum al-lafzhi la bi khus s al-sab bi (lebih memfokuskan pada keumuman lafal dalam memahami teks, bukan sebab khususnya). Kedua, kaidah ibrah bi khus s sab b la bi umum

al-lafzhi (lebih fokus pada kekhususan sebab, bukan pada keumuman

lafalnya). Mayoritas ulama’ menggunakan kaidah yang pertama, dengan

30

M. Syuhudi Islamil, Hadits Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), hlm. 6.

31

(32)

berpijak pada kaidah yang pertama, pandangan yang menyangkut asb b

al-wur d dan pemahaman hadits yang sering kali hanya menekankan pada

peristiwa dan mengabaikan waktu terjadinya serta pelaku kejadian tersebut. Dengan menggunakan kaidah tersebut, maka teks yang bersifat umum (‘am) yang muncul atas sebab tertentu mencakup individu yang mempunyai sebab dan tidak boleh difahami bahwa lafal am itu hanya dihadapkan kepada orang-orang tertentu saja. Ibnu Taimiyah berkata bahwa para ulama’ walaupun berbeda pendapat dalam menghadapi lafal umum yang datang lantaran sesuatu sebab, apakah khusus bagi sebab itu, namun tak ada seorang pun yang menyatakan bahwasannya keumuman Al-Qur’an dan al-sunnah khusus dengan orang-orang tertentu. Hanya saja paling jauh dikatakan bahwa keumuman lafal itu tertentu dengan orang-orang yang semacam itu lalu ia mencakup orang-orang-orang-orang yang menyerupainya. Dan tidaklah keumuman padanya menurut lafal. Ayat yang mempunyai sebab tertentu jika merupakan perintah atau larangan, maka ia mencakup orang-orang itu dan selainnya, yang sama keadaannya dan kedudukannya. Lafal ‘am dalam sebuah teks walaupun munculnya dilatar belakangi oleh sebab-sebab khusus, ia mencakup seluruh individu yang bisa ditampung oleh suatu teks itu, tidak tertentu dan terbatas berlakunya hanya kepada individu yang menjadi sebab khusus dalam suatu teks.32

3. Melalui Keterkaitan Hadits dengan Hadits lain yang Satu Tema

Untuk menentukan kualitas dan sekaligus makna suatu hadits adalah menghimpun dan menyandingkan hadits-hadits yang temanya sama atau satu tema. Yang dimaksud dengan hadits yang terjalin dalam tema yang sama adalah: Pertama, hadits-hadits yang mempunyai sumber sanad yang sama, baik riwayat bi al-lafzh maupun melalui riwayat bi al-ma na; Kedua, hadits-hadits yang mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang; Ketiga, hadits-hadits yang mempunyai tema yang sama, seperti tema aqidah, ibadah, muamalah, dan lainnya. Hadits

32

(33)

yang pantas diperbandingkan adalah hadits yang sederajat tingkat kualitas

sanadnya.

Perbedaan lafal pada matan hadits yang satu makna, ialah karena dalam periwayatan hadits telah terjadi periwayatan secara makna

(al-riw yah bi al-ma na). Menurut mu addits n, perbedaan lafadz yang tidak

mengakibatkan perbedaan makna, dapat ditoleransi asalkan sanadnya sama-sama sah h.33

4. Penelusuran Sejarah

Salah satu langkah yang ditempuh oleh mu addits n dalam melakukan penelitian matan hadits adalah mengetahui peristiwa yang melatar belakangi munculnya suatu hadits (asb b al-wur d al-had ts).

Asb b al wur d al-had ts sebenarnya tidak mempunyai pengaruh secara

langsung dengan kualitas suatu hadits. Namun yang mengetahui asb b al

wur d bisa mempermudah untuk memahami kandungan hadits. Walaupun

tidak semua hadits mempunyai asb b al-wur d. Sebagian hadits ada yang mempunyai asb b al-wur d khusus, tegas dan jelas, namun sebagian hadits yang lain tidak.

Ada tiga fungsi dari asb b al-wur d al-had ts, yaitu; Pertama, menjelaskan makna hadits melalui tahsh h al am, taqy d, bay n illat

al-hukm, dan tawdh h al-musykil. Kedua, mengetahui kedudukan Rasulullah

SAW. pada saat munculnya hadits, apakah sebagai Rasul, sebagai qodhi dan mufti, pemimpin masyarakat., atau sebagai manusia biasa. Ketiga, mengetahui situasi dan kondisi masyarakat saat itu disampaikan.34

5. Asbab Al-Wurud

Untuk memahami suatu hadits, tidak cukup dengan melihat teksnya saja, khususnya ketika hadits tersebut mempunyai asb b

al-wur d, kita juga harus melihat konteksnya. Ketika kita ingin menggali

pesan moral dari suatu hadits, perlu memperhatikan konteks historisnya,

33

Ibid., hlm. 64-65.

34

(34)

pada siapa hadits tersebut disampaikan Nabi, dalam kondisi sosio-kultural sebagaimana Nabi waktu menyampaikan hadits itu.

Secara etimologis, “asb b al-wur d” merupakan idhafah yang berasal dari kata asb b dan al-wur d. Kata “asb b” adalah bentuk jamak dari kata sab b, yang berarti segala sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu yang lain. Atau penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan kata “wur d” merupakan bentuk isim masdar dari warada, yaridu,

wur dan yang berarti datang atau sampai.

Dengan demikian asb b al-wur d dapat diartikan sebagai sebab-sebab datangnya sesuatu. Istilah tersebut dalam ilmu hadits asb b

al-wur d biasa diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang

(background) munculnya suatu hadits.

Menurut al-Suyuthi, secara terminologi asb b al-wur d diartikan dengan “Sesuatu yang menjadi thariq (metode) untuk menentukan maksud suatu hadits yang bersifat umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan ada tidaknya naskh pembatalan dalam suatu hadits.35

Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik benang merah bahwa

asb b al-wur d adalah konteks historisitas, baik berupa

peristiwa-peristiwa atau pertanyaan yang terjadi pada saat hadits itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia dapat berfungsi sebagai analisis untuk menentukan apakah hadits itu bersifat umum atau khusus, mutlak atau muqoyyad, nash atau mans kh dan lainnya.

Menurut Imam al-Suyuthi, asb b al-wur d dapat dikategorikan menjadi 3 macam, yaitu:

a. Sebab berupa hadits. Artinya pada waktu itu terdapat suatu hadits, namun sebagian sahabat merasa kesulitan untuk memahaminya, maka kemudian muncul hadits lain yang memberikan penjelasan terhadap hadits tersebut.

35

H. Said Agil Husain Munawwar, Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud; Studi Kritis Hadits

(35)

b. Sebab yang berupa perkara yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.

Pendekatan ini berusaha mengetahui situasi Nabi Muhammad SAW., dan menelusuri segala peristiwa yang melingkupinya dan masyarakat pada periode tersebut secara umum. Sebenarnya pendekatan serupa telah dilakukan oleh para ulama hadits, yang mereka sebut dengan

asb b al-wur d. Namun ilmu hanya terikat dengan data yang terdapat

(36)

BAB III

HADITS NABI YANG MENGANDUNG PENGULANGAN TIGA KALI

A. Hadits-hadits Pengulangan Tiga Kali tentang Akhlaq

1. Hadits tentang Bakti Ibu Lebih Didahulukan Daripada Ayah

:

"

36

Dari Abu Hurairah r.a. berkata, datang seseorang kepada Rasulullah SAW seraya berkata: Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk aku temani dengan baik? Rasulullah SAW. Bersabda: Ibumu . Orang itu bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah menjawab: Ibumu . Orang itu bertanya lagi: Kemudian siapa lagi? Rasulullah SAW menjawab: Ibumu . Orang itu bertanya lagi: Kemudian siapa lagi? Rasulullah SAW menjawab: Bapakmu . (HR. Bukhori)

:

:

37

Sebelum Islam datang, para wanita sangat menderita karena tidak memiliki hak-hak dan ketiadaan rasa penghormatan terhadap wanita dikalangan masyarakat. Kaum laki-laki mempunyai kebebasan mengawini beberapa istri dan menceraikannya sekehendak hati. Para janda diwariskan dan tidak diperbolehkan menikah lagi tanpa izin pewarisnya. Di samping poligami, seorang laki-laki tanpa ada aturan, dapat berhubungan dengan beberapa wanita yang disukai. Bangsa Arab pun sebelum Islam datang

36

Al-Bukhori, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Matn Bukhori, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz 8, hlm. 28

37

(37)

tidak menyukai kelahiran bagi perempuan. Islam datang dalam kondisi manusia berkasta-kasta, berbeda suku dan status sosial. Kaum wanita tidak memiliki derajat dalam pandangan masyarakat saat itu. Islam datang menghapus kebanggaan keturunan dan kepangkatan. Islam menempatkan posisi yang mulia bagi kaum wanita. Dan semua manusia disisi Allah Swt. memiliki kedudukan yang sama, yang membedakannya hanyalah amal saleh dan ketakwaannya.

Allah berfirman yang artinya:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahu lagi Maha Mengenal.

Oleh sebab itu, maksud Nabi Saw. Dalam hadits di atas mempunyai makna kemuliaan seorang ibu dan menampilkan peranan ibu kepada masyarakat pada waktu itu.

Peranan wanita pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. yang kita kenal ialah yang memelihara Nabi saw, yaitu Aminah ibu beliau; yang menyusuinya, Halimah As-Sa’diyah; dan yang menjadi pengasuh bagi beliau, Ummu Aiman r.a. dari Habasyah.

Kemudian kita kenal Siti Khadijah binti Khuwailid r.a, wanita pertama yang beriman dan membantunya, Siti Aisyah, Ummu Salamah, dan lain-lainnya, dari Ummahaatul Mukmin n (ibu dari kaum Mukmin), isteri-isteri Nabi, dan isteri-isteri para sahabat Rasulullah saw

Apakah peran sebagai seorang ibu atau seorang istri?. Banyak tokoh-tokoh menjadi penting dan terkenal lantaran ditopang oleh peran wanita. Maka, atas perannya yang demikian, wanita sering disebut sebagai tokoh penting di belakang layar.

Peran wanita Muslimah dalam jihad Rasulullah Saw. amat signifikan. Sebagian besar mereka yang berhijrah ke Habasyah adalah bersama istri-istri mereka. Bahkan sejarah Islam mencatat bahwa manusia

(38)

yang pertama kali menyambut dakwah Islam adalah seorang wanita, yaitu Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah Saw. Dan manusia pertama yang syahid di jalan Allah juga seorang wanita, yaitu Sumayyah. Selain Khadijah Ra. dan Sumayyah, masih banyak wanita-wanita Islam yang namanya abadi. Di antara mereka ada Aisyah Ra., Ummu Sulaim, Sumayyah, Nusaibah, Asma binti Abu Bakar, dan masih banyak wanita lain yang memegang peranan penting dalam perintisan dakwah Rasulullah Saw. di Mekkah dan Madinah38.

Khadijah yang selalu membesarkan hati Nabi, beliau mengungkapkan fakta yang sesungguhnya. Nabi Muhammad Saw. sejak kecil telah menginvestasikan kebaikan di tengah-tengah masyarakat. Sebuah fakta perlu medapatkan pengakuan dari orang lain agar menjadi nilai universal yang didukung oleh masyarakat luas. Rasulullah Saw. bukan tidak yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata atas bimbingan wahyu. Tapi beliau ingin tahu apakah dakwahnya diterima masyarakat.

Sebagai istri, Khadijah Ra. telah mengambil sikap cerdas, yaitu memberikan dukungan total terhadap dakwah sang suami. Bagaimana jika Khadijah memberikan pernyataan yang tidak menenangkan jiwa? Tentu Nabi Saw. akan merasa sedih. Karena bagaimanapun, seorang Rasul adalah manusia juga yang membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat yang dicintainyainya. Dan Khadijah Ra. telah memberi andil besar dalam membangun dakwah Rasulullah Saw.

Kisah lain, suatu ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq didampingi Rasulullah Saw. mendatangi tokoh-tokoh musyrikin Quraisy yang sedang berkumpul dekat Ka’bah. Setelah duduk di tengah-tengah mereka, Abu Bakar berbicara mengajak para hadirin untuk beriman dan beribadah kepada Allah dan Rasul-Nya serta tidak mempersekutukan Allah dengan yang selain-Nya.

38

Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Peranan Wanita Muslimah Majalah Al-Ummah, ,Nomor. 66, (Pebruari 1986), hlm. 40

(39)

Sudah diduga, pidato Abu Bakar membuat wajah pemuka musyrikin Quraisy memerah. Hati mereka panas menggelegak. Seolah-olah mereka dihina. Seketika itu juga, para pemuka Quraisy dan pemudanya menyerang Abu Bakar dengan pukulan bertubi-tubi. Rasulullah Saw. berusaha melindungi Abu Bakar. Namun, banyaknya tinju yang mengarah ke wajah Abu Bakar sulit dibendung. Salah seorang pemuda Quraisy bernama ‘Atabah bin Rabi’ah menanggalkan sepatunya, lalu memukulkannya ke wajah Abu Bakar. Darah pun mengalir dari hidung dan mulut Abu Bakar. Luka memar membiru menghiasi pipi dan matanya. Banu Tamim, kabilah Abu Bakar, datang melerai dan menarik orang-orang yang menganiaya Abu Bakar. Empat pemuda Banu Tamim lalu membawa Abu Bakar pulang ke rumahnya.

Melihat anaknya terkapar berlumuran darah dan tak bergerak, Salma, ibunda Abu Bakar menangis dan memanggil-manggil nama kecil Abu Bakar. Atiq Atiq Atiq! Abu Bakar tidak menjawab panggilan

ibunya. Dia masih tidak sadarkan diri.

Ibunda Abu Bakar membersihkan luka-luka diwajah anaknya dengan penuh kasih sayang. Tangannya memijat-mijat telapak tangan Abu Bakar agar anaknya itu segera siuman. Tubuh Abu Bakar mulai bergerak. Salma bertanya, Bagaimana perasaanmu sekarang, Abu Bakar?

Abu Bakar balik bertanya, Bagaimana keadaan Rasulullah. Kami tidak tahu, jawab Salma. Abu Quhafah, sang ayah, hanya diam saja mendengarkan percakapan istri dan anaknya. Pergilah ibu temui Fathimah binti Khaththab, tanyakan kepadanya kabar Rasulullah, pinta

Abu Bakar. Salma segera menemui Fathimah dan menjelaskan apa yang menimpa Abu Bakar. Keduanya lalu menemuinya dan duduk di samping Abu Bakar yang masih terkapar. Rasulullah selamat dan kini berada di rumah Ibnul Arqam, jelas Fathimah.

Abu Bakar berkeras untuk bertemu Rasulullah Saw. Malam itu juga, ibunya dan Fathimah memapah Abu Bakar menemui Rasulullah. Rasulullah bangkit dan menyambut Abu Bakar sambil mendoakannya.

(40)

Salma, ibunda Abu Bakar mengucapkan syahadat di hadapan Rasulullah Saw. Penggalan kisah ini menggambarkan betapa besar peran Salma dan Fathimah dalam menyelesaikan “masalah” yang dihadapi Abu Bakar. Di saat Abu Quhafah, ayah Abu Bakar, dan para pemuda Banu Tamim bingung melihat kondisi yang menimpa Abu Bakar, Salma dan Fathimah tampil sebagai decision maker .

Keislaman Utsman bin ‘Affan pun tak luput dari peran seorang wanita, Su’da binti Kariz, bibinya. Suatu ketika Su’da bertamu ke rumah saudara perempuannya Arwa binti Hariz, ibunda Utsman, untuk menceritakan kabar kelahiran seorang Rasul dengan membawa agama yang lurus.

Utsman menyambut hangat kedatangan bibinya, dan menanyakan berita yang akan disampaikannya. Dengan senang hati Su’da menceritakan tentang Muhammad Rasulullah yang membawa agama kebenaran. Su’da amat baik dan runut dalam menceritakan kabar kerasulan Muhammad Saw. sehingga amat membekas di pikiran Utsman.

Paginya, ketika berangkat ke kebun, Utsman bertemu teman akrabnya, Abu Bakar. Melihat wajah Utsman yang agak lain, Abu Bakar bertanya, Apa yang sedang kamu pikirkan, Utsman? Tidak ada,

jawabnya. Hanya saja kemarin bibiku menceritakan tentang kehadiran seorang Rasul di tengah-tengah kita. Sejak itu, berita itu terus mengganggu pikiranku, lanjut Utsman. Abu Bakar membenarkan berita

yang disampaikan Su’da kepada Utsman, lalu mengajaknya menemui Rasulullah Saw. Tak berpanjang kata, Utsman menyatakan diri masuk Islam.

Islamnya Hamzah bin Abdul Mutholib juga tak lepas dari peran seorang wanita, yaitu ibunya. Pada suatu hari ibunda Hamzah menceritakan kasus penghinaan dan penganiayaan yang menimpa Nabi Muhammad oleh Abu Jahal. Hai Abu Imarah (nama panggilan Hamzah)!

Apa yang hendak kau perbuat seandainya engkau melihat sendiri apa yang dialami kemenakanmu. Muhammad dimaki-maki dan dianiaya oleh

(41)

Abul Hakam bin Hisyam (Abu Jahal), lalu ditinggal pergi sementara Muhammad tidak berkata apa-apa kepadanya, ujar ibunda Hamzah.

Mendengar cerita itu, raut muka Hamzah memerah dan pergi menemui Abu Jahal yang saat itu tengah berkumpul bersama teman-temannya. Tanpa berfikir panjang Hamzah memukul Abu Jahal dengan busurnya hingga berdarah. Hamzah berkata, Engkau berani memaki Muhammad? Ketahuilah aku telah memeluk agamanya!

Begitupun keislaman Umar bin Khaththab tak lepas dari peran adik perempuannya Fathimah. Waktu itu Umar sedang marah dan mencari Muhammad untuk dibunuh. Di tengah jalan ada orang yang memberitahu bahwa adiknya Fathimah sudah masuk Islam. Umar pun mengurungkan niat mencari Rasulullah dan berbalik ke rumah Fathimah yang dinilainya telah berkhianat dari agama nenek moyang. Umar menyerbu ke dalam rumah adiknya lalu memukul Fathimah hingga berdarah. Ternyata darah yang mengucur dari wajah Fathimah meluluhkan hati Umar. Saat itu Umar melihat secarik kertas yang berisi ayat Al-Qur’an. Ia amat terpesona dan berkata, Alangkah indahnya dan mulianya kalimat ini. Setelah itu Umar menemui Rasulullah Saw. dan menyatakan keislamannya39.

Saat ini Islam membutuhkan wanita-wanita yang memiliki semangat seperti Khadijah, ‘Aisyah, Sumayyah, Ummu Sulaim, Asma, dan Fathimah untuk memperbaiki umat dan bangsa yang tengah meradang. Dari kisah-kisah di atas, tampak bahwa wanita dengan segala kelebihannya mampu berperan penting dalam perjalanan dakwah di masa Rasulullah Saw. Selain itu mereka juga berperanan dalam keluarganya.

Di dalam Al-Qur’an telah ditetapkan, semua penetapan dan perintah ditujukan kepada kedua pihak, laki-laki dan wanita, kecuali yang khusus bagi salah satu dari keduanya. Maka, kewajiban bagi kaum wanita di dalam keluarganya ialah menjalankan apa yang diwajibkan baginya. dan berperan sebagai kodratnya yaitu mengandung, melahirkan dan menyusui.

39

(42)

Hadits di atas menunjukkan bahwa hendaknya seorang ibu memiliki porsi tiga kali lipat dari pada porsi sang ayah dalam hal mendapatkan bakti. Hal ini dikarenakan seorang ibu mengalami kesulitan saat mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ketiga hal itu merupakan bagian yang dirasakan oleh ibu.

Hadits di atas juga merupakan dalil bahwa mencintai ibu dan menyayanginya haruslah tiga kali lebih banyak secara menyatu. Karena Nabi telah menyebutkan kata ibu sebanyak tiga kali dan hanya menyebutkan ayah pada urutan yang keempat. Hal ini karena kesulitan ketika mengandung, kesulitan ketika melahirkan dan kesulitan dalam menyusui dan mendidiknya.

Selain itu ia juga wanita lemah. Oleh karena itu Rasulullah SAW. Telah mewasiatkan sebanyak tiga kali dan memberi wasiat terhadap ayah hanya satu kali, maka dalam hal itu terdapat perintah agar manusia memperbaiki cara berbakti mereka terhadap ibunya demikian juga terhadap ayahnya semaksimal mungkin.

Ada beberapa faktor mengapa seorang ibu mempunyai porsi tiga kali dibanding seorang ayah.

Faktor pertama adalah hanya sosok ibulah yang harus menghadapi masa sulit itu selama satu periode tertentu yang hampir memakan sebagian besar usianya.

Faktor kedua adalah bahwa meskipun telah mencurahkan seluruh pengorbanan seperti itu, seorang ibu tidak pernah mengharapkan balasan sekecil apapun. Dia tidak pernah menunggu ucapan terima kasih atau sanjungan. Sebaliknya, dia senantiasa menghabiskan usianya sebagai sumber pengorbanan, serta sebagai ladang kebaikan disepanjang hidupnya. Faktor ketiga adalah karena meskipun seorang ibu memiliki sifat sayang, cinta, hangat, baik dan sangat toleran kepada anaknya, tetapi ada anak yang menyepelekan ibunya, dia akan berpaling dari ibunya ketika marah, tidak mengindahkan pendapat ibunya saat berunding atau musyawarah, semua itu dia lakukan karena dia beranggapan bahwa ibu

(43)

merupakan orang yang mudah ridha dan tidak cepat marah. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Bijaksana pun menganggap semua sikap yang telah disebutkan di atas serta sikap-sikap yang mirip dengannya sebagai sikap durhaka kepada ibu, meskipun seorang ibu tidak marah.40

Seperti dalam Al-Qur'an surat al-Isra’ (17): 23.

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. al-Isra’(17): 23)41

Dalam ayat di atas menerangkan bahwa bakti kepada orangtua yang diperintahkan agama Islam adalah bersikap sopan kepada keduanya dalam ucapan dan perbuatan sesuai denga adat dan kebiasaan masyarakat sehingga mereka merasa senang terhadap kita serta mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka yang sah dan wajar sesuai kemampuan kita (sebagai anak). Hal ini untuk menekankan apa pun keadaan mereka, berdua atau sendiri, masing-masing harus mendapat perhatian anak. Sang anak diminta untuk merendahkan diri kepada orangtuanya terdorong oleh penghormatan dan rasa takut melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kedudukan ibu bapaknya. Pada dasarnya ibu hendaknya didahulukan atas ayah, artinya sang anak hendaknya memperhatikan atau mencari faktor-faktor penguat guna mendahulukan salah satunya42. Dan ibu lebih didahulukan karena beliau telah mengandung, melahirkan dan menyusui dalam kurun waktu

40

M. Al-Fahham, Berbakti Kepada Orang Tua Kunci Kesuksesan dan Kebahagiaan

Anak, (Bandung: Penerbit Irsyad Bait al-Salam, 2006), cet. 10, hlm. 357-358.

41

. Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Surabaya: Penerbit Duta Ilmu, 2005), hlm. 387

42

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), volume 10, hlm. 67

(44)

dua tahun dengan keadaan yang susah dan payah. Sebagaimana yang telah disinggung di atas.

2. Hadits tentang Larangan Melampiaskan Marah

43

Diriwayatkan dari Abu Hurairata r.a. bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW.: Berilah wasiat kepadaku . Nabi SAW. Bersabda: Jangan marah . Beliau mengulanginya beberapa kali dan bersabda: Jangan marah”. (HR. Imam Bukhari)

:

44

Dalam kitab Tukhfah al- Akhwadl dijelaskan ada seorang yang mendatangi dengan wajah marah lalu meminta nasihat kepada beliau Rasulullah SAW., tunjukkan sesuatu yang bermanfaat (ilmu) untuk agama dan dunia serta untuk mendekatkanku kepada Allah dan jangan berikan kepadaku sesuatu ilmu yang banyak supaya aku bisa menjaganya.

Menurut al-Khuttobi makna taghdlob adalah menjauhi

faktor-faktor yang menyebabkan kemarahan dan jangan memancing sesuatu yang menimbulkan kemarahan, karena menurut beliau marah adalah merupakan watak dasar manusia atau sesuatu yang wajar dalam diri manusia.

Dikatakan pula makna tahgdlob adalah jangan melampiaskan

marah, karena faktor yang paling besar memancing kemarahan adalah sombong. Oleh sebab itu akan jatuh kepada perselisihan, maka dari itu

43

. Al-Bukhori, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, loc. cit., juz 4, hlm. 79 44

Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut, Dar al-Fikr, 1994), Juz 3, hlm. 411

(45)

untuk menghilangkan kemarahan adalah dianjurkan untuk melatih diri agar bisa berbesar hati atau sabar, jangan menuruti sesuatu apapun yang diperintahkan oleh kemarahan, karena kemarahan selain memancing kesombongan, juga menimbulkan perpecahan sehingga menghilangkan rasa kasih sayang atau bisa juga menjadikan terputusnya tali silaturrahmi.

Dalam riwayat yang sama, Abu Darda pernah berkata kepada Nabi SAW., “Tunjukkan aku satu amal yang bisa memasukkan dalam surga” lalu Nabi menjawab: “Jangan marah, maka bagimu surga”. Dalam riwayat Usman bin Abi Syaibah berkata: “ tahgdlob tsal sa marr t,

menunjukkan larangan mutlak untuk memperbanyak marah”.45

Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an surat Ali-Imron ayat 134:

46

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada

surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang-orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkannya (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan

Ayat di atas adalah menerangkan tentang kehidupan manusia dengan lingkungan sosialnya. Sebuah nasihat yang ditujukan kepada manusia untuk berbuat baik kepada orangn lain sebagai bentuk orang yang bertaqwa, nasihat pertama adalah mereka yang biasanya atau terus-menerus menafkahkan hartanya di jalan Allah baik diwaktu di lapang, yakni memiliki kelebihan dari kebutuhannya maupun di waktu dia sempit tidak memiliki kelebihannya, sifat kedua yang ditonjolkan adalah yang mampu menahan amarah, bahkan yang memaafkan kesalahan orang lain. Bahkan akan sangat terpuji mereka yang berbuat kebajikan terhadap

45

. Imam Muhammad ‘Abd al-Rahman al-Mubarokfuri, Tukhfah al- Akhwadl : Syarah

Jami al-Turmudzi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Juz 6, hlm. 130.

46

Referensi

Dokumen terkait

Nurhasanah, Lina, 2010, Pengaruh Kas, Dana Pihak Ketiga, SWBI (SertifikatWadiah Bank Indonesia), Margin Keuntungan, dan NPF (Non PerfomingFinancing) Terhadap

Adanya ide pemberdayaan penguatan ekonomi masyarakat yang bersumber pada program kerja pemerintah atau NGO (non government organization) misalnya, untuk individu,

Hal ini mendorong penulis untuk melakukan pengukuran karakteristik dinamik terutama parameter waktu tanggap (waktu naik) dari sensor WIM yang telah dibuat Pusat

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah kegiatan yang menjamin terciptanya kondisi kerja yang aman, terhindar dari gangguan fisik dan mental melalui pembinaan

sedangkan pada lama perendaman 6 jam (L2) dalam ekstrak bawang merah (Allium cepa L.) mampu meningkatkan persentase daya berkecambah, kecepatan tumbuh, panjang

Dengan penggunaan internet advertising pemasar mampu untuk memilih segmen konsumen.. tertentu dan melakukan customization situs sesuai dengan profil

Mengingat tujuan penelitian ini adalah mengaji efektivitas tutorial karya ilmiah dan mata kuliah metode penelitian sosial dalam menunjang penulisan karya ilmiah mahasiwa

Wakif tidak dapat menunjukkan alas hak atas tanah yang diwakafkan, oleh karenanya pihak BPN tidak dapat menerbitkan sertifikat atas tanah yang diwakafkan, padahal tanah wakaf