• Tidak ada hasil yang ditemukan

RANCANG BANGUN MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL JAMU KUSNANDAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RANCANG BANGUN MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL JAMU KUSNANDAR"

Copied!
240
0
0

Teks penuh

(1)

INDUSTRI KECIL JAMU

KUSNANDAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:

Rancang Bangun Model Pengembangan Industri Kecil Jamu

adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, April 2006

Kusnandar

(3)

KUSNANDAR. Design of Development Model for Small-Scale

Herb-medicinal Industry. Under direction of M. SYAMSUL MA’ARIF,

ERIYATNO, ILLAH SAILAH, MARIMIN, and AGUNG P. MURDANOTO Indonesia is well known by its diversity, one of them is herb- medicinal plant, therefore development of small- scale herb- medicinal industry is a strategic effort. The aim of this study was to design an expert management system for small-scale herb-medicinal industrial development. The expert management system that was designed act as a supporting system for decision- making.

Data analysis methods for small-scale herb- medicinal industrial development were: system structurization by ISM; raw material inventory by ME-MCDM; raw material market structurization analysis by Hirschman-Herfindahl Index (HHI) and ratio concentration analysis (CRx); capital resources model by

AHP; influent factors of capital resources selection probability by logistik model regression analysis; institutional model by MPE and institutional performance analysis; marketing mix strategy by expert system; and feasibility analysis by instruments of investment criteria (NPV, IRR, net B/C, and PBP).

Design of expert management system for small-scale herb- medicinal industrial development is named SAINS-Jamu. SAINS-Jamu configuration consists of data-based management system, model-based management system (raw material inventory model, capital resources model, institutional model, and financial feasibility model), knowledge-based management system (expert system for marketing mix strategy), and dialogue management system.

Implementation of SAINS-Jamu produces conception model of raw material inventory, model of capital resources, model of marketing mix strategy, and conception model of small-scale herb- medicinal industrial development. The development system structurization produces keys elements of smll scale herb-medicinal industrial development. The selected raw material inventory model is conducted through business group. The selected capital resources is Bank Perkreditan Rakyat. The marketing mix strategy is designed in an expert system. The most appropriate business institution is business group. Financial analysis at 20 percent of interest rate and 10 years of project lifetime produces feasible decision with 2 years and 10 month of PBP; Rp. 225,050,966 of NPV; 52.21 percent of IRR; and 2.43 of net B/C ratio.

Keywords: small-scale industry, herb- medicinal, expert management system, development model.

(4)

KUSNANDAR. Rancang Bangun Model Pengembangan Industri Kecil Jamu. Dibimbing Oleh M. SYAMSUL MA’ARIF, ERIYATNO, ILLAH SAILAH, MARIMIN, dan AGUNG P. MURDANOTO.

Indonesia merupakan negara kaya dengan tumbuhan obat sehingga pengembangan industri kecil jamu merupakan suatu upaya yang sangat strategis. Pengembangan industri kecil jamu melibatkan berbagai pihak dan merupakan permasalahan yang kompleks. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem, yang mengkaji dari berbagai aspek secara menyeluruh. Penelitian ini bertujuan untuk merancang suatu Sistem Manajemen Ahli untuk membantu pengambil keputusan dalam pengembangan industri kecil jamu.

Metode analisis data untuk strukturisasi sistem pengembangan industri kecil jamu dilakukan dengan menggunakan teknik interpretative structural

modelling (ISM). Metode analisis data untuk model pengadaan bahan baku

industri kecil jamu dilakukan dengan analisis pemilihan model pengadaan bahan baku menggunakan metode multi expert multi criteria decision making (ME-MCDM). Analisis struktur pasar bahan baku industri kecil jamu dilakukan dengan menggunakan analisis indekss Hirschman-Herfindahl (HHI) dan analisis konsentrasi rasio (CRx). Faktor- faktor yang mempengaruhi peluang keputusan

pemilihan sumber permodalan dilakukan dengan analisis regresi model logistik. Metode analisis data untuk model sumber permodalan industri kecil jamu dilakukan dengan analisis pemilihan sumber permodalan menggunakan metode

analytical hierarchi process (AHP). Metode analisis data untuk model

kelembagaan usaha industri kecil jamu dilakukan dengan analisis pemilihan kelembagaan usaha menggunakan metode perbandingan eksponensial (MPE) dan analisis performa kelembagaan. Model strategi bauran pemasaran dirancang dengan menggunakan sistem pakar strategi bauran pemasaran. Analisis kelayakan industri kecil jamu dilakukan dengan menggunakan tolok ukur finansial yang meliputi net present value (NPV), internal rate of return (IRR), net B/C ratio dan pay back period (PBP).

Rancang bangun sistem manajemen ahli pengembangan industri kecil jamu diberi nama SAINS-Jamu. Konfigurasi SAINS-Jamu terdiri atas sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis model, sistem manajemen basis pengetahuan dan sistem manajemen dialog. Sistem manajemen basis model terdiri dari model struktur pengembangan, model pengadaan bahan baku, model sumber permodalan, model kelembagaan usaha, dan model kelayakan finansial. Sistem manajemen basis pengetahuan adalah sistem pakar strategi bauran pemasaran.

(5)

pengembangan industri kecil jamu menunjukkan bahwa sub elemen kunci pada elemen kebutuhan adalah : kebutuhan jaminan pasar produk jamu yang dihasilkan (A-1), kontinyuitas pasokan bahan baku jamu (A-2), pengembangan alternatif sumber permodalan yang memadai (A-5), pembentukan kelompok usaha untuk meningkatkan skala usaha (A-6), pembinaan manajemen usaha (A-7) dan pengembangan kelembagaan untuk pengendalian harga (A-9). Sub elemen kunci pada elemen kendala adalah: belum terjaminnya kontinuitas pasokan bahan baku baik dari kualitas maupun kuantitasnya (B-1) dan keterbatasan permodalan usaha (B-2). Sub elemen kunci pada elemen perubahan yang dimungkinkan adalah: ketersediaan kualitas dan kuantitas bahan baku jamu secara kontinyu (C-3) dan peningkatan budidaya bahan baku industri kecil jamu (C-6). Sub elemen kunci pada elemen tujuan adalah: kemudahan mendapat permodalan usaha (D-10). Sub elemen kunci pada elemen indikator pencapaian tujuan adalah: meningkatnya akses terdahap sumber permodalan usaha (E-6). Sub elemen kunci pada elemen kegiatan yang dibutuhkan adalah: perumusan kebijakan pemerintah daerah yang mendukung industri kecil jamu (F-3) dan sub elemen kunci pada elemen pelaku adalah pemerintah daerah (G-5).

Analisis struktur pasar bahan baku industri kecil jamu menunjukkan bahwa nilai indeks Hirschman-Herfindahl adalah sebesar 0,1385 dan nilai konsentrasi rasio (CR4) sebesar 0,6762. Berdasarkan klasifikasi struktur pasar maka pasar

bahan baku industri kecil jamu adalah bersifat oligopoli, pada kondisi ini posisi tawar industri kecil terhadap pedagang bahan baku relatif rendah. Oleh karena itu pengembangan industri kecil jamu diarahkan untuk memperkuat posisi tawar industri kecil jamu terhadap pedagang bahan baku.Analisis lebih lanjut dengan menggunakan teknik multy expert multy criteria decision making (ME-MCDM) menunjukkan bahwa model pengadaan bahan baku industri kecil yang terpilih adalah pengadaan bahan baku melalui kelompok usaha. Pengadaan bahan baku melalui kelompok usaha ini akan meningkatkan posisi tawar industri kecil jamu terhadap pedagang bahan baku.

Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa variabel yang secara signifikan mempengaruhi keputusan pemilihan sumber permodalan adalah akses terhadap sumber permodalan, prosedur dan persyaratan, skala usaha dan jumlah plafon yang bisa diperoleh. Analisis pemilihan sumber permodalan menggunakan metode analytical hierarchi process (AHP) menunjukkan bahwa sumber permodalan industri kecil jamu yang terpilih adalah lembaga keuangan mikro yaitu bank perkreditan rakyat sebagai alternatif pertama dan koperasi sebagai alternatif kedua.

Hasil penilaian beberapa alternatif kelembagaan usaha industri kecil jamu dengan menggunakan metode perbandingan eksponens ial (MPE) menunjukkan bahwa kelembagaan kelompok usaha merupakan alternatif terbaik dengan nilai

(6)

Strategi bauran pemasaran industri kecil jamu dirancang dalam sistem pakar strategi bauran pemasaran. Sistem pakar dapat digunakan untuk konsultasi strategi pemasaran yang akan dipakai oleh industri kecil jamu

Hasil kelayakan finansial menunjukkan bahwa industri kecil jamu layak untuk dikembangkan. Kriteria kelayakan tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat suku bunga 20% adalah nilai NPV sebesar RP 225.050.966,- nilai IRR sebesar 52,21%, net B/C ratio sebesar 2,43 tingkat pengembalian modal adalah 2,84 tahun dan titik impas produksi adalah sebesar 111.120 pak per tahun. Analisis sensitivitas kelayakan finansial dengan kenaikan harga bahan baku sebesar 20% masih menunjukkan keputusan layak. Penurunan harga jual produk sebesar 20% keputusan menjadi tidak layak. Kombinasi perubahan tersebut yaitu harga bahan baku naik 20% dan harga jual turun 20% juga menunjukkan keputusan tidak layak.

(7)

INDUSTRI KECIL JAMU

KUSNANDAR

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

(8)

Nama : Kusnandar

NIM : F 326010021

Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, M Eng Ketua

Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE Dr. Ir. Illah Sailah, MS

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc Dr. Ir. Agung P. Murdanoto, M Agr

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc

(9)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, desertasi ini dapat diselesaikan. Judul desertasi ini adalah Rancang Bangun Model Pengembangan Industri Kecil Jamu.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sangat tulus dan mendalam kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma,arif, M Eng sebagai ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan curahan waktu, bimbingan, arahan, nasehat dan dorongan moral dengan penuh dedekasi kepada penulis dari awal sampai selesainya desertasi ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE., Ibu Dr. Illah Sailah, MS., Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M Sc., dan Bapak Dr. Ir. Agung P. Murdanoto, M Agr. masing masing selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, nasehat dan dorongan moral sehingga penulis dapat menyelesaikan desertasi ini.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB dan Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB atas segala bantuan dan pelayanannya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh staf Pengajar Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB yang telah memberikan curahan waktu, ilmu dan pengalamannya selama penulis menempuh pendidikan di IPB.

Terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Sebelas Maret, Dekan Fakultas Pertanian UNS, Ketua Jurusan Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian UNS, atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program doktor di IPB. Ucapan terima kasih yang sama penulis sampaikan kepada rekan-rekan staf pengajar dan pegawai di Fakultas Pertanian UNS atas segala bantuan dan dorongan moralnya.

Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada pengelola BPPS Dirjen Dikti, Departeman Pendidikan Nasional atas dukungan dana beasiswa yang telah diberikan. Terima kasih yang sama penulis sampaikan kepada Rektor

(10)

Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Bappeda Kabupaten Sukoharjo, Ketua Koperasi Jamu Indonesia (KOJAI) Kabupaten Sukoharjo, PT Air Mancur Solo, Pengusaha Jamu di Kabupaten Sukoharjo dan semua nara sumber yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala waktu, ilmu dan pengetahuan yang diberikan kepada penulis selama melakukan pengumpulan data di lapangan.

Rasa hormat dan terima kasih yang sangat dalam penulis haturkan kepada ayah Subadi Budi Prayitno dan Ibu Istikomah Subadi, Ibu mertua Aminem Sadiman serta kakak dan adik semuanya yang telah memberikan doa restu, dorongan, semangat, motivasi. Penghargaan dan kebanggaan dengan segala ketulusan disampaikan kepada istri tercinta Ludri Ambar Wiyatni, SE, anak tersayang Drinancahya Dunya dan Luna Waya Anggita atas segala pengorbanan, pengertian, ketulusan, ketabahan dan dorongan semangat yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kepada rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Teknologi Industri Pertanian, khususnya angkatan 2001 atas kerjasama dan kebersamaannya selam menempuh pendidikan. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan sampai selesainya desertasi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu, disampaikan terima kasih.

Penulis menyadari desertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis berharap semoga desertasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Penulis berharap adanya kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan dan kesempurnaan desertasi ini.

Bogor, April 2006

(11)

Penulis dilahirkan di Sukoharjo pada tanggal 3 Juli 1967 dari ayah Subadi Budi Prayitno dan ibu Istikomah. Pendidikan sarjana penulis mulai tahun 1986 pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1994 penulis melanjutkan studi program magister pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga IPB Bogor, lulus pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2001 dengan beasiswa pendidikan dari Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret sejak tahun 1992 sampai sekarang. Penulis menikah dengan Ludri Ambar Wiyatni, SE pada tahun 1999 dan dikaruniai dua orang anak Drinancahya Dunya (6 tahun) dan Luna Waya Anggita (1 bulan).

(12)

Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 4

Ruang Lingkup Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Industri Kecil ... 6

Pengembangan Industri Kecil Jamu ... 8

Pendekatan Sistem ... 22

Model dan Pemodelan Sistem ... 23

Penelitian Terdahulu ... 25

LANDASAN TEORI ... 28

Sistem Manajemen Ahli ... 28

Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process) ... 29

Metode Perbandingan Eksponensial ... 31

Pengambilan Keputusan Kelompok ... 32

Interpretative Structural Modelling (ISM) ... 33

Analisis Regresi Logistik ... 34

Analisis Struktur Pasar ... 35

Analisis Kelayakan Finansial ... 36

METODOLOGI PENELITIAN ... 40 Kerangka Pemikiran ... 40 Tata Laksana ... 42 ANALISIS SISTEM ... 46 Analisis Situasional ... 46 Analisis Kebutuhan ... 48 Formulasi Masalah ... 50 Identifikasi Sistem ... 53 PEMODELAN SISTEM ... 54 Konfigurasi Model ... 54 Kerangka Model ... 55 Implementasi Model ... 73

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 76

(13)

Kelembagaan Usaha Industri Kecil Jamu ... 124

Strategi Bauran Pemasaran Industri Kecil Jamu ... 135

Kelayakan Finansial Industri Kecil Jamu ... 139

PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL JAMU ... 144

Model Struktur Elemen Pengembangan ... 144

Model Pengadaan Bahan Baku ... 149

Model Sumber Permodalan ... 152

Model Kelembagaan Usaha ... 156

Kelompok Usaha Industri Kecil Jamu ... 159

Model Strategi Bauran Pemasaran ... 161

Model Pengembangan Industri Kecil Jamu ... 162

Tahapan Implementasi ... 164

KESIMPULAN DAN SARAN ... 167

Kesimpulan ... 167

Saran ... 168

DAFTAR PUSTAKA ... 169

(14)

Halaman

1 Kebutuhan industri jamu Indonesia akan berbaga i jenis tanaman obat .... 12

2 Jumlah Industri berdasarkan kelompok usaha di Kabupaten Sukoharjo... 46

3 Industri kecil kelompok IAAH di Kabupaten Sukoharjo... 47

4 Luas panen dan produksi tanaman obat-obatan di Kabupaten Sukoharjo... 48

5 Analisis kebutuhan pada masing- masing pelaku pengembangan industri kecil jamu ... 49

6 Hasil reachability matriks final elemen kebutuhan pengembangan ... 78

7 Hasil reachability matriks final elemen kendala pengembangan... 83

8 Hasil reachability matriks final ele men perubahan yang dimungkinkan.. 87

9 Hasil reachability matriks final elemen tujuan pengembangan... 91

10 Hasil reachability matriks final elemen indikator pencapaian tujuan... 94

11 Hasil reachability matriks final elemen kegiatan pengembangan ... 98

12 Hasil reachability matriks final elemen pelaku pengembangan ... 101

13 Kriteria dan bobot kriteria pengadaan bahan baku... 110

14 Hasil penilaian alternatif pengadaan bahan baku... 111

15 Hasil analisis regresi logistik peluang memilih bank terhadap sumber permodalan yang lain ... 114

16 Hasil penilaian alternatif kelembagaan usaha dengan metode MPE... 132

17 Analisis sensitivitas kelayakan finansial ... 142

(15)

Halaman

1 Diagram alir proses pengolahan jamu... 14

2 Konsep Produk ... 17

3 Struktur dasar sistem pakar ... 29

4 Kerangka pikir model pengembangan industri kecil jamu ... 41

5 Tahapan Penelitian ... 45

6 Diagram input output sistem pengembangan ind ustri kecil jamu ... 53

7 Konfigurasi model pengembangan industri kecil jamu ... 54

8 Diagram input-output sistem pakar strategi bauran pemasaran ... 59

9 Diagram alir sistem pakar strategi bauran pemasaran ... 60

10 Diagram alir sub model struktur pengembangan industri kecil jamu ... 63

11 Diagram alir sub model pengadaan bahan baku industri kecil jamu ... 66

12 Diagram alir sub model sumber permodalan industri kecil jamu ... 68

13 Diagram alir sub model kelembagaan usaha industri kecil jamu... 70

14 Diagram alir sub model kelayakan usaha industri kecil jamu ... 72

15 Struktur hierarki antar sub elemen kebutuhan pengembangan ... 80

16 Matrik driver power -dependence elemen kebutuhan pengembangan ... 81

17 Struktur hierarki antar sub elemen kendala pengembangan ... 84

18 Diagram klasifikasi sub elemen kendala pengembangan ... 85

19 Struktur hirarki antar sub elemen perubahan yang dimungkinkan ... 88

20 Matrik driver power-dependence elemen perubahan yang dimungkinkan 89

21 Struktur hirarki antar sub elemen tujuan pengembangan ... 92

22 Matrik driver power-dependence elemen tujuan pengembangan ... 93

23 Struktur hirarki antar sub elemen indikator pencapaian tujuan ... 95

24 Matrik driver power-Dependence elemen indikator pencapaian tujuan .. 96

25 Struktur hirarki antar sub elemen kegiatan pengembangan ... 98

26 Matrik driver power -dependence elemen kegiatan pengembangan ... 99

27 Struktur hirarki antar sub elemen pelaku pengembangan ... 102

28 Matrik driver power -dependence pelaku pengembangan ... 102

29 Hasil pemilihan sumber permodalan dengan metode AHP di Kabupaten Sukoharjo ... 123

(16)

31 Bobot kriteria pemilihan kelembagaan usaha ... 132

32 Contoh konsultasi sistem pakar ... 138

33 Contoh hasil konsultasi sistem pakar ... 138

34 Sub elemen kunci pengembangan industri kecil jamu ... 145

35 Mekanisme pengadaan bahan baku melalui kelompok usaha ... 152

36 Mekanisme penyaluran modal dari lembaga keuangan ... 155

37 Model kelembagaan usaha industri kecil jamu ... 159

38 Model pengembangan industri kecil jamu ... 163

(17)

Halaman

1 Aturan sistem pakar strategi bauran pemasaran industri kecil jamu ... 179

2 Proyeksi laba rugi industri kecil jamu ... 189

3 Proyeksi arus kas industri kecil jamu ... 190

4 Diagram alir kesetimbangan massa pengolahan jamu ... 191

(18)

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara tropis kaya dengan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk obat dan industri. Menurut WHO dari 75.000 tanaman di dunia lebih dari 20.000 adalah tanaman obat dan 80% penduduk dunia tergantung dari tanaman obat (Dennin 2000). Wilayah hutan tropika Indonesia dengan luas sekitar 143 juta hektar memiliki sekitar 80% dari total jenis tumbuhan adalah berkhasiat obat (Pramono 2002b).

Kecenderungan masyarakat dunia untuk kembali ke yang alam, ditunjukkan dengan ind ikasi utama peningkatan kebutuhan produk-produk konsumsi untuk kesehatan dari bahan alam. Hal ini merupakan peluang besar bagi pengembangan tanaman obat dan industri jamu Indonesia. Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari peningkatan pasar dunia untuk produk alami yang cukup signifikan yakni Amerika Serikat 12%, Uni Eropa 8%, Eropa Lainnya 12%, Jepang 15% dan Asia Tenggara 12% (Sumaryono 2002).

Nilai penjualan dan perkembangan jumlah industri jamu di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1981 nilai penjualan jamu (obat tradisional) sekitar Rp. 10 milyar, pada tahun 1992 meningkat menjadi Rp.124 milyar, pada tahun 1999-2000 diperkirakan mencapai Rp. 1 triliun (Sumaryono 2002) dan pada tahun 2004 mencapai Rp. 2,9 triliun (Kardiyono 2005). Jumlah industri jamu (obat tradisional) juga meningkat dari 578 pada tahun 1996 menjadi 709 pada tahun 1981 (Sumaryono 2002), tahun 2002 mencapai 810 perusahaan (Pramono 2002a) dan tahun 2003 menjadi 1012 perusahaan (Kardiyono 2005).

Kekayaan sumberdaya hayati yang sangat besar sebagai bahan baku industri jamu belum dimanfaatkan secara optimal sehingga sering terjadi kesenjangan antara penawaran dan permintaan yang menyebabkan keberadaan bahan baku sebagai titik kritis bagi pengembangan industri jamu (Sardjiman 1997; Pramono S 2000; Murdanoto 2000; Pramono E 2002a). Alasan yang paling relevan terciptanya kondisi tersebut adalah terlambatnya upaya optimalisasi pendayagunaan sumberdaya hayati yang ada. Efeknya adalah terjadinya eksploitasi liar bahan baku jamu langsung dari hutan guna memenuhi kebutuhan

(19)

produksi yang pada akhirnya menyebabkan terkikisnya sumberdaya hayati yang ada. Sampai saat ini sebagian besar pasokan bahan baku industri jamu dipenuhi melalui pengambilan langsung dari alam secara liar (Kuswara 2000).

Integrasi pasar, budidaya yang terprogram, pasca panen dan distribusi masih lemah sehingga menyebabkan kegiatan budidaya bahan baku industri jamu menjadi tidak menarik. Industri jamu digolongkan kedalam industri yang mempunyai hambatan masuk yang tipis. Menurut Hartono (2000) dengan sifat seperti ini maka kemungkinan yang terjadi adalah : pemain di industri ini banyak sekali jumlahnya, mudah masuk dan mudah keluar dari industri ini, standarisasi produk sulit sekali dilakukan, peraturan sangat melebar dengan kontrol yang lemah, banyak sekali merek dan ragamnya.

Hasil Konferensi Nasional Usaha Kecil di Cipanas (1997) yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, KADIN dan The Asia Foundation menyimpulkan bahwa permasalahan usaha kecil di bidang pemasaran terfokus pada tiga hal yaitu: (1) permasalahan persaingan pasar dan produk, (2) permasalahan akses terhadap informasi pasar dan (3) permasalahan kelembagaan pendukung. Informasi pasar meliputi informasi kebutuhan konsumen, harga produk, potensi pasar, jenis produk dan spesifikasi produk yang dibutuhkan konsumen masih sulit diperoleh. Permasalahan tersebut juga merupakan permasalahan yang dihadapi oleh industri kecil jamu.

Rendahnya akses pengusaha industri kecil jamu terhadap sumber-sumber informasi akan menghambat akses pengusaha kecil untuk dapat memanfaatkan peluang-peluang pasar yang ada. Kelemahan ini dapat disebabkan dari rendahnya tingkat pengetahuan dan ketrampilan pengusaha industri kecil jamu sehingga pengelolaan usaha seringkali bukan berdasarkan strategi bisnis yang mapan melainkan berdasarkan perasaan dan intuisi sebagai pengusaha. Berkaitan dengan hal tersebut maka pengusaha kecil dituntut untuk dapat menyusun perencanaan dan strategi pemasaran yang meliputi: pengembangan produk, kebijakan harga, promosi, dan distribusi (Rachmina dan Praningrum 1998).

Persoalan lain yang umumnya melekat pada industri kecil jamu adalah persoalan pembentukan kapital (permodalan) termasuk didalamnya persoalan kredit dan manajemen keuangan. Permodalan bukan satu-satunya persoalan penting yang dihadapi industri kecil, namun permodalan merupakan salah satu

(20)

unsur penting dalam mendukung peningkatan produktivitas, taraf hidup dan pendapatan industri kecil jamu. Menurut Chotim (1998) prosedur perolehan kredit masih dirasakan memberatkan pengusaha kecil. Pihak perbankan cenderung lebih menekankan persyaratan dan agunan yang bersifat fisik dan mudah terukur. Dari sisi perbankan hal ini merupakan konsekuensi logis dari lembaga profesional yang berorientasi keuntungan dimana pihak perbankan harus menghitung seberapa besar keuntungan yang bisa diperoleh dan seberapa jauh keamanan dana yang dipinjamkan. Persoalan yang justru penting dan mendasar yang mempengaruhi rendahnya penyaluran kredit kepada pengusaha kecil adalah terletak pada persepsi yang terbangun di pihak perbankan yang cenderung negatif terhadap pengusaha kecil. Pihak perbankan sering menilai inferior terhadap potensi industri kecil.

Jamu merupakan warisan budaya bangsa yang diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi, sehingga tumbuh dan berkembang dari dan oleh masyarakat sendiri. Sesuai dengan hal tersebut maka konsep yang diterapkan pada pengembangan jamu pada prinsipnya menggunakan strategi pemberdayaan potensi yang ada di masyarakat. Skala industri jamu di Indonesia bervariasi dari skala kecil sampai skala besar dari 1012 industri, 907 diantaranya adalah merupakan industri kecil (Kardiyono 2005), sehingga pengembangan industri ini diarahkan pada industri jamu skala kecil.

Penge mbangan industri dengan formasi industri berskala kecil dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dan tingkat pemerataan yang lebih baik daripada industri berbasis skala besar (Tambunan 1999; Tambunan 2002b). Hal ini dapat dilihat dari kontribusi industri kecil terhadap jumlah usaha, penyerapan tenaga kerja dan produk domestik bruto (PDB). Pada tahun 2000 ada sekitar 38,99 juta industri kecil yang merupakan 99,85% total perusahaan di Indonesia, penyerapan tenaga kerja industri kecil mempunyai kontribusi sebesar 66 juta orang atau sebesar 99,44% dan kontribusi industri kecil terhadap PDB adalah sebesar 40% (Tambunan 2002a).

Kesenjangan penawaran dan permintaan bahan baku, kelembagaan yang masih lemah, akses terhadap sumber permodalan yang kurang, kemampuan menyusun strategi pemasaran yang masih rendah merupakan permasalahan yang terdapat dalam industri kecil jamu. Pada sisi lain keberadaan industri kecil jamu

(21)

mempunyai potensi yang cukup besar dilihat dari jumlah industri kecil yang ada. Bertolak dari uraian tersebut maka pengembangan industri kecil jamu dengan menggunakan pendekatan sistem merupakan suatu upaya yang sangat strategis.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang bangun suatu Sistem Manajemen Ahli yang dapat digunakan oleh pengambil keputusan dalam pengembangan industri kecil jamu dan membangun model konseptual pengembangan industri jamu sebagai industri yang berskala kecil.

Ruang Lingkup Penelitian

Objek kajian pada penelitian ini adalah industri kecil jamu yang menggunakan bahan baku tanaman obat dengan produk berupa jamu serbuk. Sumber bahan baku tanaman obat merupakan potensi yang cukup besar dan belum sepenuhnya dimanfaatkan dengan baik. Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem dengan aspek kajian meliputi: pengadaan bahan baku, pemasaran, pembiayaan, kelembagaan untuk pengembangan industri kecil jamu.

Lokasi penelitian dipilih Kabupaten Sukoharjo, merupakan salah satu wilayah sentra produksi bahan baku jamu di Jawa Tengah yang mempunyai potensi pengembangan industri kecil jamu. Di Kabupaten Sukoharjo terdapat 56 industri jamu yang sudah terdaftar secara formal. Selain industri kecil jamu yang terdaftar secara formal masih terdapat banyak industri kecil yang secara formal belum terdaftar yang potensial untuk pengembangan industri kecil jamu. Model pengembangan industri kecil jamu dirancang untuk menghasilkan sistem penunjang keputusan industri kecil jamu yang mengintegrasikan aspek pengadaan bahan baku, sumber permodalan, kelembagaan usaha, strategi pemasaran dan kelayakan finansial.

(22)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini menghasilkan model pengembangan industri kecil jamu yang dilengkapi dengan Sistem Manajemen Ahli untuk memudahkan pengambil keputusan dalam pengembangan industri kecil jamu. Manfaat penelitian ini adalah:

1 Bagi pengusaha industri kecil jamu membantu pengambilan keputusan dalam pengembangan usahanya sehingga keputusan yang diambil lebih efektif dan efisien.

2 Bagi pemerintah dan dinas terkait membantu dalam pengambilan keputusan untuk penyusuna n program dan pembinaan pengembangan industri kecil jamu.

3 Bagi masyarakat ilmiah penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran dan sebagai bahan rujukan dalam bidang manajemen industri pertanian khususnya untuk mengkaji penerapan teori maupun teknik sistem.

(23)

Industri Kecil

Pengertian industri kecil jamu merujuk pada pengertian industri kecil obat tradisional. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 246/Menkes/ Per/V/1990 tentang izin usaha industri obat tradisional dan pendaftaran obat tradisional menyebutkan industri kecil obat tradisional adalah industri obat tradisional dengan total aset tidak lebih dari 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) tidak termasuk harga tanah dan bangunan. Industri kecil di Indonesia mempunyai peranan strategis dalam perekonomian nasional terutama dalam aspek peningkatan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, pembangunan ekonomi pedesaan dan peningkatan ekspor non migas. Selama ini telah banyak usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk membantu perkembangan usaha kecil melalui berbagai program atau pembinaan usaha kecil, termasuk diantaranya program kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah dan besar.

Namun demikian, perkembangan usaha kecil sampai saat ini masih berjalan lamban. Salah satu penyebab kekurang berhasilan program pengembangan usaha kecil di Indonesia dalam memperbaiki kondisi atau kinerja kelompok usaha kecil dari posisi lemah ke posisi kuat adalah tekanan orientasi program pemerintah lebih terletak pada aspek sosial daripada aspek ekonomi atau bisnis. Selama ini usaha pengembangan kegiatan ekonomi skala kecil yang umumnya padat karya dan dilakukan oleh kelompok miskin ditujukan untuk peningkatan pendapatan mereka atau mengurangi jumlah pengangguran dan kesenjangan. Tampaknya kurang dipahami faktor- faktor apa sebenarnya penghambat perkembangan usaha kecil (Tambunan 1998).

Sumardjo et al. (2004) menyebutkan bahwa kelemahan usaha kecil ditandai dengan gejala-gejala sebagai berikut:

1 Posisi dalam persaingan rendah. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi tentang kondisi lingkungan yang menyangkut pemasok, aturan atau kebijakan pemerintah serta kecenderungan perubahan pasar atau teknologi baru untuk meningkatkan keuntungan.

(24)

2 Sulit mendapatkan pinjaman modal dari bank. Hal ini karena catatan usahanya tidak teratur dan sistematis, tetapi sering tercampur antra modal usaha dengan rumah tangga. Pengusaha kecil tidak memiliki agunan sehingga tidak dapat memenuhi audit akuntansi bank.

3 Pengelolaan usaha masih kurang terutama dalam pemasaran, akuntansi dan pembiayaan.

4 Seringnya terjadi pergantian karyawan. Hal ini disebabkan upah yang relatif rendah, ketidakjelasan masa depan, tidak ada jaminan sosial dan kepastian usaha. Kondisi demikian mengakibatkan tenaga kerja yang sudah terampil keluar dari pekerjaannya.

5 Risiko dan utang kepada pihak ketiga ditanggung oleh kekayaan pribadi pemilik.

6 Perkembangan usaha sangat tergantung pada pengusaha yang setiap waktu dapat berhalangan.

Dalam perspektif ekonomi publik, pemeritah seharusnya bersifat netral terhadap skala usaha, karena tiap usaha memberikan kontribusi masing- masing dalam perekonomian, dengan perkataan lain semua skala usaha harus diperlakukan sama. Akan tetapi dalam kenyataan sejarah ekonomi Indonesia pemerintah selalu bias dan cenderung memilih usaha besar. Hal ini didasari beberapa alasan bahwa usaha skala besar memiliki beberapa keunggulan yakni: (1) dengan usaha skala besar tingkat efisiensi dan kompetisi dapat lebih mudah dicapai, (2) usaha skala besar dapat lebih mudah diandalkan dalam kemampuan ekspor dan menghadapi tantangan pasar global, (3) secara politis dan praktis usaha skala besar lebih mudah dikontrol termasuk dalam penagihan pajak dan pungutan lain (Tambunan 2002b).

Sikap bias pada usaha skala besar ini merupakan langkah yang kurang tepat, sehingga perlu segera dirubah. Menurut Tambunan (2002b) ada tiga alasan mengapa perlu perubahan menuju strategi industrialisasi berbasis usaha kecil yaitu :(1) usaha kecil memiliki sumber pertumbuhan yang lebih memenuhi syarat untuk mengejar pertumbuhan dan pemerataan, (2) strategi ini memungkinkan penyebaran industri ke berbagai lokasi, termasuk aset riel dalam sistem ekonomi kebanyak pulau, sehingga (3) kedua faktor diatas akan menggelindingkan proses industrialisasi yang menyebar dan berkesinambungan.

(25)

Di Indonesia dilihat dari jumlah unit usahanya yang sangat banyak, terdapat di semua sektor ekonomi, kontribusinya yang sangat besar terhadap kesempatan kerja dan pendapatan khususnya di daerah pedesaan dan berpendapatan rend ah, tidak dapat dipungkiri lagi betapa pentingnya usaha kecil ini. Selain itu kelompok usaha tersebut juga berperan sebagai suatu motor penggerak yang sangat krusial bagi pembangunan ekonomi dan komunitas lokal.

Di masa mendatang dengan semakin mengglobalnya perekonomian dunia dan era perdagangan bebas, usaha kecil di Indonesia juga sangat diharapkan dapat menjadi salah satu pemain penting sebagai pencipta pasar baik dalam maupun luar negeri dan sebagai salah satu sumber penting bagi surplus perdagangan dan jasa atau neraca pembayaran. Namun demikian untuk melaksanakan peran ini usaha kecil harus membebani diri untuk meningkatkan daya saing globalnya (Tambunan 2002a).

Melihat peran industri kecil yang strategis bagi perkembangan ekonomi bangsa, maka para pelaku pembangunan utama seperti pemerintah (departemen teknis terkait), perusahaan besar (BUMN, swasta), perbankan dan layanan jasa keuangan lainya (leasing, modal ventura, asuransi dan pasar modal), lembaga pendidikan (perguruan tinggi), serta lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) harus mengembangkan kerjasama yang efektif dan konstruktif. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa industri kecil merupakan penyeimbang dalam struktur industrialisasi (produk dan pasar) secara menyeluruh, karena menciptakan pembangunan yang lebih merata dan memberikan peningkatan nilai tambah terhadap komoditi yang diusahakan, dengan ketentuan dipenuhinya konsentrasi (fokus) kegiatan industri, pola produksi, memperhatikan hubungan dan pertukaran informasi diantara sektor ekonomi (Hubeis 1997).

Pengembangan Industri Kecil Jamu

Pengertian Jamu

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomer : 246/Menkes/Per/V/1990 yang dimaksud dengan obat tradisional atau lebih dikenal dengan jamu adalah obat jadi atau obat terbungkus yang berasal dari tumbuh-tubuhan, hewan, mineral dan atau sediaan galeniknya atau campuran dari

(26)

bahan-bahan tersebut yang belum mempunyai data-data klinis dan dipergunakan dalam usaha pengobatan berdasarkan pengalaman.

Jamu yang ada di masya rakat sudah digunakan sejak jaman dahulu secara empirik, untuk mencapai kesembuhan atau pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta diwariskan turun-temurun, bertahan lestari dan tidak terpisah dari kehidupan masyarakat tanpa pembuktian ilmiah. Menurut Sujatno (2002) ditinjau dari dasar penggunaan jamu oleh masyarakat, maka ada beberapa tujuan penggunaan jamu yang dibagi menjadi empat kelompok yaitu :

1 Untuk pemeliharaan kesehatan dan menjaga kebugaran jasmani (promotif). 2 Untuk mencegah penyakit (preventif).

3 Sebagai upaya pengobatan penyakit baik untuk pengobatan sendiri maupun untuk mengobati orang lain sebagai upaya mengganti atau mendampingi penggunaan obat jadi (kuratif).

4 Untuk memulihkan kesehatan (rehabilitasi).

Secara filosofis, pengobatan cara barat dan cara tradisional sangat berbeda, Perbedaan tersubut adalah bahwa ilmu kedokteran barat berpendapat semua penyakit ada penyebabnya, sehingga apabila ingin menyembuhkan penyakit maka penyebabnyalah yang harus dikendalikan. Berbeda dengan pengobatan tradisional yang menggunakan pendekatan holistik, yaitu menyembukan suatu penyakit selain menghilangkan gejala atau keluhan memperbaiki psikologinya juga merupakan hal yang penting (Supari 2002). Terdapat empat sistem yang dianut oleh negara di dunia dalam pemanfaatan obat tradisional yaitu : integratif, inklusif,

toleran dan eksklusif. Integratif artinya obat tradisional diakui secara resmi

sehingga dapat berbaur dengan obat modern dari luar dalam pengobatan penderita.

Inklusif artinya obat tradisional hanya diakui secara formal, dimana hanya

digunakan pada bagian tertentu saja dalam sistem pengobatan, sedangkan toleran adalah obat tradisional tidak dilarang tetapi juga belum dianjurkan, posisi obat tradisional (jamu) di Indonesia nampaknya berada dalam posisi ini. Eksklusif artinya obat tradisional dilarang berperan dalam sistem kesehatan nasional berdasarkan undang- undang pemerintah (Supari 2002).

Berdasarkan klasifikasi yang ditetapkan oleh Badan POM (2004) sediaan obat alam dapat berupa jamu, herbal terstandar, fitofarmaka, sedangkan berdasarkan bentuk bahannya sediaan obat bahan alam ini dapat berupa simplisia

(27)

(segar atau dikeringkan), ekstrak, kelompok senyawa, atau senyawa murni. Istilah jamu mencakup jamu rajangan, jamu racikan, jamu rebusan, jamu gendong, jamu serbuk (sachet, pil atau kapsul) adalah bentuk sediaan yang menggunakan seluruh bahan simplisia. Istilah obat tradisional dipakai apabila menggunkan ekstrak (tunggal atau campuran) atau kelompok senyawa sebagai bahan untuk sediaan sedangkan fitofarmaka adalah istilah yang digunakan untuk penggunaan senyawa murni dari alam (khususnya tumbuhan).

Bahan Baku Industri Kecil Jamu

Tanaman obat sebagai bahan baku jamu merupakan komoditi komersial yang dapat dipasarkan dalam berbagai bentuk, yaitu simplisia utuh (segar/kering), bentuk ekstrak dan bentuk produk jadi (jamu atau fitofarmaka). Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat dan belum mengalami pengolahan apapun, dan umumnya berupa bahan yang dikeringkan. Simplisia nabati merupakan simplisia yang paling banyak digunakan dalam industri jamu.

Ada tiga kelompok masyarakat yang dapat dibedakan berdasarkan intensitas pemanfaatan tanaman obat. Pertama kelompok masyarakat asli yang menggunakan untuk pengobatan tradisional, umumnya karena tinggal di daerah pedesaan atau terpencil. Kedua adalah kelompok yang menggunakan obat tradisional dalam skala keluarga dan ketiga adalah kelompok industriawan obat tradisional yang jumlahnya berkembang pesat, terutama setelah pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang mendorong perkembangan obat tradisional (Pranoto 2002).

Isu yang paling dominan dalam pengadaan bahan baku jamu adalah tidak adanya harmonisasi antara penawaran dan permintaan. Posisi permintaan yang lebih tinggi daripada penawaran telah menempatkan keberadaaan bahan baku sebagai titik kritis bagi pengembangan industri jamu. Alasan yang paling relevan terciptanya kondisi tersebut adalah terlambatnya upaya optimalisasi pendayagunaan sumberdaya hayati yang ada, sehingga efeknya adalah terjadinya eksploitasi liar bahan baku jamu langsung dari hutan guna memenuhi kebutuhan produksi, yang pada akhirnya menyebabkan terkikisnya sumberdaya hayati yang ada. Diperkirakan kebutuhan simplisia tumbuhan obat Indonesia sebesar 20.000 sampai 25.000 ton untuk memenuhi kurang lebih 810 industri jamu besar maupun

(28)

kecil dan para pedagang jamu di pasar-pasar maupun para penjaja jamu gendong dipenuhi melalui pengambilan langsung dari alam secara liar (Kuswara 2000).

Aspek kuntitas dan kualitas siplisia hasil budidaya untuk pasokan industri jamu seringkali mengalami pasang surut yang disebabkan oleh musim panen pada waktu tertentu yang melimpah, atau mengalami kekosongan bahan baku diluar musim panen yang disebabkan serangan hama atau musim kemarau yang berkepanjangan/kondisi ekstrim lainnya. Luasan areal budidaya tanaman obat untuk industri jamu sangat bervariasi atas dasar jenis dan spesifikasi yang dibutuhkan oleh industri. Keterkaitan antara petani dengan pihak pabrik umumnya tidak ada. Oleh karena itu untuk mengurangi resiko produk tidak dapat dipasarkan maka harus ada alternatif, misalnya produk diserap oleh industri jamu, motivasi petani tidak hanya terbatas pada industri jamu tetapi juga pasar lokal dan pasar ekspor (Sitepu et al. 2000).

Ditinjau dari aspek tata niaga persaingan tidak sehat antara pedagang pada berbagai tingkatan akan sangat mungkin terjadi. Keadaan ini didukung dengan kondisi/karakteristik sentra-sentra produksi yang sulit diperhitungkan, hal ini akan secara lagsung mempengaruhi fluktuasi harga. Kebutuhan akan jenis tanaman obat yang diperlukan oleh industri jamu baik skala besar maupun kecil sangat bervariatif, kebutuhan industri jamu Indonesia akan berbagai jenis tanaman obat dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan kondisi tersebut maka ada dua alternatif untuk penyediaan simplisia sebagai bahan baku jamu. Alternatif pertama adalah dengan menanam tumbuhan itu sendiri, dengan demikian industri tidak bergantung dengan pihak luar untuk penyediaan bahan bakunya dan tidak ada persoala n harga bahan baku tersebut, tetapi di pihak lain industri dibebani oleh suatu kegiatan pertanian dimana mereka tidak siap dan tidak efisien karena skalanya. Alternatif kedua adalah membeli bahan baku tersebut dari para petani yang menanamnya. Tentu saja kepada petani harus diajarkan teknik budidaya, dengan cara ini industri tidak dibebani dengan kegiatan budidaya, tetapi adakalanya harus mengikuti harga yang diminta oleh petani (Murdanoto 2002).

(29)

Tabel 1 Kebutuhan industri jamu Indonesia akan berbagai jenis tanaman obat

No Nama bahan baku Kebutuhan/ton/th

1 Jahe (Zingiber officinale Roxb) 5.000

2 Kapulogo (Ammomum cardamomum Auct) 3.000

3 Temulawak (Curcuma aeruginusa Roxb) 3.000

4 Adas (Foeniculum vulgare Mill) 2.000

5 Kencur (Kaempferia galanga L) kering: 2.000

6 Kunyit (Curcuma domestica Val) kering: 3.000

basah : 1.500

7 Bengle (Zingiber purpureum Roxb) 3.000

8 Daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) 3.000

9 Lempuyang (Zingiberis zerumbeti R) 2.000

10 Daun sembung 100

11 Daun sendok 100

12 Pegagan (Centella asiatice) 100

13 Daun tempuyung (Sonchus arvensis) 70

14 Daun cengkeh 50

15 Greges otot 50

16 Daun katuk 50

17 Kunci pepet (Boesenbergia pandurata Roxb) 30

18 Daun ungu (Graptophyllum pictum (L) Griff) 30

19 Bunga sidowayah 30

20 Tapak liman 25

21 Kumis kucing (Orthosiphon aristatus) 20

Sumber: Dirjen Bina Produksi Hortikultura (2002).

Pola Usaha

Konsep dasar pengembangan industri kecil jamu adalah untuk mendapatkan nilai tambah dari kegitan tersebut. Menurut Murdanoto (2000) peningkatan nilai tambah pada industri jamu dapat dilakukan melalui mutu dan pengolahan. Peningkatan nilai tambah melalui mutu artinya peningkatan mutu apabila ditangani dengan baik akan meningkatkan nilai tambah. Peningkatan nilai tambah melalui pengolahan artinya setiap tahapan mata rantai pengolahan yang menghasilkan produk antara atau produk jadi akan menciptakan nilai tambah tertentu. Secara teoritis semakin banyak tahap pengolahan dan semakin banyak produk turunan yang didapat, semakin besar nilai tambah yang akan didapat.

(30)

Penciptaan nilai tambah tersebut merupakan kunci sukses yang akan dapat meningkatkan daya saing industri kecil untuk dapat bertahan dalam persaingan yang semakin ketat. Industri kecil jamu dalam penciptaan nilai tambah tersebut mempunyai banyak kelemahan sebagaimana kelemahan yang dimiliki oleh industri kecil pada umumnya yakni di bidang sumberdaya manusia, teknologi, permodalan dan pemasaran. Berkaitan dengan kelemahan yang dimiliki industri kecil tersebut maka pengembangan industri kecil jamu dapat dilakukan dengan kemitraan. Konsep kemitraan akan mendasari pengembangan kelembagaan usaha dalam kegiatan ini.

Menurut Hubeis (1997) pengembangan industri kecil dapat dilakukan melalui pemerkuatan usaha dengan cara berkonsentrasi pada mutu, produktivitas, sinergi (merger) atau aliansi strategik, peningkatan produk dengan inovasi dan kompetisi baik secara mandiri maupun bekerjasama (kemitraan). Industri kecil jamu dalam pengembanganya harus dapat mensinergikan kekua tan-kekuatan kecil menjadi kekuatan besar sehingga mampu bersaing dalam pasar yang kompetitif.

Teknologi Pengolahan

Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan pengembangan industri adalah ketepatan dalam memilih teknologi. Pemilihan teknologi yang benar diharapkan akan mendapatkan produktivitas yang tinggi dan efisien dalam memanfaatkan sumberdaya energi dan bahan baku yang digunakan.

Permasalah yang sering dihadapi dalam industri kecil termasuk didalamnya industri kecil jamu adalah kurangnya informasi tentang perolehan teknologi, informasi teknologi masih terpusat pada kota besar sehingga kurang menjangkau wilayah perdesaan. Masalah lain yang perlu dipahami adalah pengembangan teknologi tepat guna yang sesuai dengan tahap perkembangan usaha kecil, seringkali produk teknologi yang beredar di pasaran bebas kurang sesuai dengan kebutuhan teknologi usaha kecil (Liong 1998).

Proses pengolahan pada industri kecil jamu meliputi pencucian, pemotongan, pengeringan, penggilingan, pengayakan, pencampuran dan pengepakan. Diagram alir proses pengolahan jamu dapat dilihat pada Gambar 1 dan diagram alir kesetimbangan massa pengolahan jamu dapat dilihat pada Lampiran 4.

(31)

Gambar 1 Diagram alir proses pengolahan jamu.

Strategi Pemasaran

Permasalahan usaha kecil pada bidang pemasaran yang muncul berdasarkan hasil Konferensi Nasional Usaha Kecil di Cipanas (1997) yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, KADIN dan The Asia Foundation terfokus pada tiga hal yaitu: (1) permasalahan persaingan pasar dan produk, (2) permasalahan akses terhadap informasi pasar dan (3) permasalahan kelembagaan pendukung usaha. Menurut Rachmina dan Praningrum (1998) munculnya permasalahan-permasalahan bidang pemasaran pada usaha kecil tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang berpengaruh antara lain

Jahe lawak Temu puyang Lem- Temu ireng Sambi-loto

Pencucian

Penggilingan Penjemuran

Perajangan

Pengayakan

Pencampuran dengan komposisi sesuai resep

Pengemasan Pencucian Penggilingan Penjemuran Perajangan Pengayakan Pencucian Penggilingan Penjemuran Perajangan Pengayakan Pencucian Penggilingan Penjemuran Perajangan Pengayakan Penggilingan Penjemuran Pengayakan Produk Jamu

(32)

sumberdaya manusia yaitu tingkat pendidikan dan ketrampilan pengusaha, khususnya berkaitan dengan pemasaran. Pengusaha kecil dituntut untuk dapat menyusun perencanaan dan strategi pemasaran yaitu meliputi : pengembangan produk, kebijakan harga, promosi, dan distribusi.

Pengusaha kecil juga kurang mampu membaca dan mengakses peluang-peluang pasar yang potensial dan memiliki prospek yang cerah. Akibatnya pemasaran produk cederung statis dan monoton, baik dilihat dari segi diversifikasi produk, kualitas, maupun pasar (Rachmina dan Praningrum 1998). Dengan melihat kenyataan tersebut maka usaha kecil termasuk industri kecil jamu harus mampu menerapkan strategi pemasaran sehingga mampu bersaing di pasar.

Beberapa literatur tentang strategi pemasaran pada umumnya memaknai strategi pemasaran dengan konsep yang masih agak meluas. Kerin dan Peterson (1993) menyebutkan bahwa strategi pemasaran terdiri dari enam proses analisis yang komplek dan saling berkorelasi. Keenam proses analisis tersebut adalah mendefinisikan karakter dari organisasi; tujuan organisasi; identifikasi peluang organisasi; memformulasikan strategi pasar produk; analisis anggaran biaya, produksi dan sumberdaya manusia; mengembangkan strategi.

Menurut Kotler (1991) strategi pemasaran terdiri dari prinsip-prinsip dasar yang mendasari manajemen pemasaran untuk mencapai tujuan bisnis dan pemasaranya dalam sebuah pasar sasaran. Strategi ini juga mencakup masalah pengambilan keputusan tentang biaya pemasaran, bauran pemasaran dan alokasi pemasaran dalam hubungannya dengan keadaan lingkungan yang diharapkan dan kondisi persaingan, dengan demikian strategi pemasaran berkaitan dengan keputusan manajemen mengelola variabel- variabel bauran pemasaran (marketing

mix) yang terdiri dari produk, harga, promosi dan distribusi untuk mengejar

permintaan pasar.

Ferrell et al. (1994) menyatakan strategi pemasaran mencakup seleksi dan analisis pasar sasaran serta menciptakan dan memelihara bauran pemasaran (produk, distribusi, promosi, harga). Peter dan Donnelly (1991) menjelaskan strategi pemasaran dalam konsep yang lebih luas yakni suatu aktivitas untuk membangun misi organisis, tujuan organisasi dan stratrategi yang tepat untuk mencapai suatu tujuan sedangkan menurut Beaumont dan Clarke (1992) strategi

(33)

pemasaran difokuskan untuk mengidentifikasi dan melayani pelanggan untuk memperoleh keuntungan jangka panjang.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa strategi pemasaran pada dasarnya adalah meramu faktor- faktor bauran pemasaran (marketing mix ) agar dapat mempengaruhi keputusan pembelian konsumen. Dalam hal ini yang dimaksud bauran pemasaran adalah semua faktor yang dapat dikuasai (dikendalikan) oleh perusahaan untuk mempengaruhi permintaan akan produk yang dihasilkan, yang meliputi faktor produk, harga, promosi dan distribusi.

Produk. Stanton (1989) menyatakan produk dalam makna yang sempit

adalah sekumpulan atribut fisik nyata yang terkait dalam sebuah bentuk yang dapat diidentifikasikan. Kotler (1991) mendefinisikan produk sebagai segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke suatu pasar untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan. Produk adalah elemen kunci dalam tawaran pasar. Perencanaan bauran pemasaran dimulai dengan memformulasikan tawaran untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan pelanggan sasaran.

Dalam mengembangkan produk, perencanaan produk harus berpikir dalam kerangka bauran produk , yang terdiri dari inti produk, wujud produk dan produk tambahan. Dalam merencanakan tawaran pasar pemasar perlu berpikir melalui lima level produk yang tiap level menambahkan lebih banyak nilai pelanggan dan kelimanya membentuk hirarki pelanggan. Level paling dasar adalah manfaat inti, level kedua produk dasar, level ketiga produk diharapkan, level keempat produk yang ditingkatkan dan level kelima produk potensial (Kotler 1991).

Hakekat inti produk adalah menjawab apa yang sebenarnya hendak dibeli oleh seorang konsumen. Tugas seorang pemasar adalah mengupas kebutuhan yang tersembunyi dibalik setiap produk dan menjual manfaatnya, bukan bentuk lahiriah (features).Disamping itu perencanaan produk harus mampu mengubah inti produk menjadi wujud produk yang mempunyai karakteristik mut u, ciri khas, corak gaya/model, merek dan kemasan. Bahkan perencana produk dapat menambah jasa dan manfaat tambahan pada produk, sehingga menjadi produk yang disempurnakan. Konsep produk tambahan ini, menurut Kotler (1991) mendorong jenis persaingan baru, yaitu persaingan berlangsung bukannya antar

(34)

produk yang diproduksi oleh perusahaan di pabrik, melainkan antar segala macam yang mereka tambahkan pada hasil pabrik tersebut, seperti bentuk kemasan, jasa pelayanan, periklanan, persyaratan kredit, jasa penghantar, pergudangan dan apa saja yang dihargai konsumen.

Klasifikasi jenis produk akan menentukan implementasi strategi pemasaran. strategi pemasaran untuk produk tahan lama akan berbeda dengan barang yang tidak tahan lama, maupun jasa. Demikian juga untuk barang konsumsi, maka untuk barang convenience (barang kebutuhan sehari- hari) akan berbeda dengan barang belanjaan (shopping goods), barang khusus (specialty

goods).

Gambar 2 Konsep Produk.

Jamu merupakan produk convenience goods dimana pelanggan biasanya dapat membeli dengan mudah dan hanya disertai sedikit usaha membandingkan merek produk satu dengan yang lain.. Produk jamu bubuk merupakan produk yang paling banyak dan mendominasi diantara produk jamu di Indonesia (CIC 2001). Sejalan dengan hal tersebut Kusnandar dan Marimin (2003) menyebutkan bahwa produk jamu bubuk merupakan alternatif terbaik dalam pengembangan

Merek Kemasan

Pelayanan Spesifikasi

inti

Siklus hidup produk – relatif thd pesaing

Simbol

Komunikasi

Persepsi

Kepuasan

Pengaruh terhadap lingkungan Tuntutan terhadap sumberdaya Keselamatan dalam penggunaan Informasi terkait dengan produk KARAKTERISTIK EKSPLISIT (Produsen) KARAKTERISTIK IMPLISIT (Konsumen) KARAKTERISTIK EKSTERNAL (Sosial)

(35)

industri kecil jamu. Rosenberg (1977) menyatakan bahwa konsep produk terdiri dari tiga demensi yakni karakteristik eksplisit, karakteristik implisit dan karakteristik eksternal. Model dari tiga demensi produk tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Harga. Harga adalah nilai suatu barang yang dinyatakan dengan satuan

uang, selanjutnya dikatakan bahwa pengertian harga, nilai dan kegunaan merupakan konsep yang saling berhubungan (Stanton 1989; Alma 1992). Joseph dan Gordon (1992) menyatakan bahwa dalam praktek, program penetapan harga biasanya berorientasi kepada pasar atau berorientasi kepada marjin, dalam penetapan harga berorientasi pada pasar, biaya dan kemampulabaan juga dipertimbangkan, tatapi dasar untuk penetapan harga adalah elastisitas permintaan.

Keputusan harga akan memberikan dampak terhadap semua aspek bisnis, keputusan tersebut akan memberikan dampak langsung terhadap hasil penjualan. Semua keputusan bisnis akan berimplikasi terhadap biaya sehingga perusahaan harus mendorong peningkatan hasil penjualan (Dyer dan Forman 1991). Lebih lanjut Dyer dan Forman (1991) menyatakan bahwa keputusan harga harus mempertimbangkan faktor internal dan eksternal yang didasarkan pada tujuan dan strategi harga tersebut.

Harga merupakan variabel yang berasal dari produsen meski demikian penentuan harga harus memperhatikan konsumen sasaran oleh karena kebijakan harga menentukan keberhasilan pemasaran suatu produk. Persepsi konsumen tentang harga menentukan tingkat kemampuan konsumen untuk bersedia membeli suatu produk. Peter dan Donnelly (1992) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor utama dalam penentuan harga yakni faktor demografi, faktor psikologi dan faktor elastisitas harga. Pada sisi lain Kotler (1991) mengatakan strategi modifikasi harga dapat dilakukan dengan harga perwilayah, potongan harga, harga promosi, harga diskriminatif, harga produk baru dan harga dalam bauran produk.

Kebijakan harga dapat ditetapkan pada setiap tingkatan saluran distribusi, seperti produsen, grosir dan retail (pedagang eceran). Pendekatan harga pada jenis ini dapat dengan cara penetapan harga penetrasi, keseimbangan atau premium dari pesaingnya, sedangkan penetapan harga yang berorientasi pada marjin,

(36)

menggunakan biaya dan marjin laba menjadi pertimbangan utama, dengan menganggap bahwa permintaan bersifat tidak elastis. Penetapan harga dengan cara ini dapat dilakukan dengan metode cost plus pricing.

Promosi. Promosi adalah kegiatan mengkomunikasikan informasi dari

penjual kepada pembeli atau pihak lain dalam saluran penjualan kepada pembeli atau pihak lain dalam saluran penjualan untuk mempengaruhi sikap dan perilaku (Mc Carthy and Parreant 1993), sedangkan Alma (1992) mengartikan promosi sebagai usaha yang bertujuan untuk meningkatkan penjualan baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Lebih lanjut Mc Carthy and Parreant (1993) membagi metode promosi menjadi tiga yaitu penjualan perorangan (personal selling), penjualan masal (mass

selling) dan promosi penjualan (sales promotion). Penjualan perorangan

melibatkan pembicaraan langsung antara penjual dengan pelanggan potensial. Penjualan dengan metode ini menyediakan umpan balik segera, ya ng membantu wiraniaga untuk menyesuaikan diri, namun demikian membutuhkan biaya tinggi.

Penjualan masal adalah kegiatan berkomunikasi dengan sejumlah besar pelanggan potensial pada saaat yang sama. Cara ini kurang luwes bila dibandingkan dengan penjualan perorangan, tetapi apabila pasar targetnya besar menyebar, maka penjualan masal akan lebih murah. Iklan dan publisitas merupakan bentuk penjualan masal.

Promosi penjualan mengacu pada semua kegiatan promosi yang bukan iklan, publisitas, dan penjualan perorangan, yang merangsang minat, usaha mencoba, atau pembelian oleh pelanggan akhir atau pihak lain dalam saluran. Kontes, kupon dan pameran dagang adalah merupakan bentuk dari promosi penjualan. Pemilihan metode promosi sangat bergantung pada tujuan promosi, untuk itu agar promosi berhasil tujuan promosi harus ditetapkan secara jelas, oleh karena bauran promosi yang tepat bergantung pada apa yang ingin dicapai perusahaan.

Distribusi. Bagi suatu perusahaan, produk tidak akan ada artinya jika

tidak mencapai konsumen, dan untuk mencapai konsumen suatu produk perlu melalui saluran distribusi. Saluran distribusi adalah seperangkat lembaga yang melakukan semua kegiatan yang digunakan untuk menyalurkan produk dan status

(37)

pemilikannya dari produsen ke konsumen. Keput usan penentuan saluran distribisi adalah penting karena menyangkut efisiensi dan efektivitas kegiatan pemasaran yang dilakukan. Kotler (1991) mengatakan ada tiga strategi untuk menentukan jumlah perantara yaitu : (1) distribusi eksklusif, suatu strategi dengan jumlah perantara yang sangat terbatas untuk menangani barang atau jasa perusahaan, (2) distribusi selektif, suatu strategi menggunakan beberapa perantara, (3) distribusi intensif, strategi ini memiliki ciri penetapan barang dan jasa pada sebanyak mungkin toko.

Sistem Penunjang Keputusan Pemasaran

Sistem penunjang keputusan pemasaran adalah tipe baru dari sistem informasi pemasaran. Sistem penunjang keputusan pemasaran ini dirancang untuk mendukung pengambilan keputusan pemasaran mulai dari identifikasi masalah untuk memilih data yang relevan, memilih pendekatan yang digunakan untuk pengambilan keputusan dan mengevaluasi alternatif tindakan (Peter dan Donnelly 1992).

Literatur tentang pemasaran dan menajemen menyebutkan bahwa pengambilan keputusan dapat difasilitasi dengan sistem pengambilan keputusan. Pada saat ini sudah banyak tersedia alat-alat pengambil keputusan dan metodologi yang cukup potensial bila digunakan secara tepat (Dyer dan Forman 1991). Formulasi strategi fungsional dilakukan untuk tiap-tiap bidang fungsional dari bisnis. Strategi tersebut menghasilkan tugas-tugas khusus yang dibentuk sebagai realisasi strategi bisnis, strategi pemasaran dapat dilakukan dengan melakukan perencanaan dan pengembangan secara tepat dan cermat dengan menggunakan bauran pemasaran (Dirgantoro 2001).

Pada perkembangan selanjutnya sistem penunjang keputusan juga dapat diintegrasikan dengan sistem pakar yang disebut sistem manajemen ahli. Penerapan sistem pakar dalam bidang manajerial masih belum berkembang sebagaimana bidang lain seperti bidang militer, kedokteran dan industri umum. Hal ini bukan berarti penerapan dibidang manajerial sebagai suatu hal yang mustahil dan kurang menjanjikan (Marimin 2005). Berdasarkan pernyataan tersebut maka penerapan sistem pakar pada strategi bauran pemasaran juga sangat mungkin untuk dilakukan.

(38)

Kelembagaan

Secara umum pengertian kelembagaan mempunyai dua makna. Pengertian pertama adalah sebagai aturan main dalam interaksi interpersonal dan pengertian kedua adalah kelembagaan sebagai organisasi yang memiliki hierarki. Sebagai aturan main kelembagaan diartikan sebagi kumpulan aturan, baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis, mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya yang menyangkut hak- hak dan perlindungan hak-haknya serta tanggungjawabnya. Selanjutnya kelembagaan sebagai suatu organisasi, dalam pengertian ekonomi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh sistem harga-harga tetapi oleh mekanisme administratif atau kewenangan.

Menurut teori ekonomi neoklasik pada intinya berkesimpulan bahwa pasar kompetitif akan mencapai alokasi sumberdaya yang efisien, tetapi kesimpulan ini sangat tergantung kepada persyaratan bahwa informasi haruslah bersifat sempurna disamping persyaratan lain harus dipenuhi, namun dalam kenyataannya persyaratan tersebut tidak akan pernah terpenuhi, sehingga institusi pasar terpaksa harus diganti dengan institusi non pasar atau suatu sistem kelembagaan yang lain (Anwar 1998).

Demikian halnya dalam pengembangan ind ustri kecil jamu, tersedianya perangkat kelembagaan yang memadai sebagai pengganti mekanisme pasar akan mendorong iklim usaha yang kondusif untuk kegiatan tersebut. Nasution (2000) menyatakan bahwa rekayasa kelembagaan yang sesuai akan memungkinkan penyatuan potensi-potensi yang berskala kecil untuk menjadi besar dan mempunyai kekuatan sinergis serta mudah penyampaian inovasi baru kepada mereka (usaha kecil) yang umumnya berada di daerah perdesaan.

Pendekatan Sistem

Sistem didefinisikan sebagai keseluruha n interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Pengertian keseluruhan adalah lebih dari sekedar penjumlahan atau susunan, yaitu terletak pada kekuatan yang dihasilkan oleh keseluruhan itu jauh lebih besar dari suatu penjumlahan atau susunan. Sistem adalah seperangkat elemen yang saling berinteraksi, membentuk kegiatan atau suatu prosedur yang mencari pencapaian

(39)

tujuan atau tujuan-tujuan bersama dengan mengoperasikan data dan/atau barang pada waktu rujukan tertentu untuk menghasilkan informasi dan/ atau energi dan/atau barang. Sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama demensi ruang dan waktu.

Syarat awal untuk memulai berpikir sistemik adalah adanya kesadaran untuk mengapresiasikan dan memikirkan suatu kejadian sebagai sebuah sistem (systemic approach). Kejadian apapun baik fisik maupun non fisik, dipikirkan sebagai unjuk kerja atau dapat berkaitan dengan unjuk kerja dari keseluruhan interaksi antar unsur sistem tersebut dalam batas lingkungan tertentu. Sistem dibagi kedalam tiga bagian yaitu input, proses dan output yang dikelilingi oleh lingkungannya yang seringkali termasuk mekanisme umpan balik. Manusia sebagai penga mbil keputusan adalah merupakan bagian dari sistem tersebut (Turban 1993).

Menurut Eriyatno (1999) yang dimaksud dengan pendekatan sistem adalah merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal yaitu :

1 Mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah.

2 Dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Untuk dapat bekerja secara sempurna suatu pendekatan sistem mempunyai delapan unsur yaitu: (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) suatu tim yang multidisipliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang non kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi, (8) aplikasi komputer.

Multidimensi adalah salah satu prinsip terpenting cara berpikir secara sistemik (Gharajedaghi 1999). Dengan mempertimbangkan berbagai kendala Eriyatno (1999) menyimpulkan ada tiga karakteristik dalam pendekatan sistem yaitu:

(40)

1 Kompleks, dimana interaksi antara elemen cukup rumit.

2 Dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pend ugaan ke masa depan.

3 Probabilistik yaitu diperlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.

Metode untuk penyelesaian persoalan yang dilakukan dengan pendekatan sitem terdiri dari beberapa tahap. Tahapan tersebut meliputi analisis sistem, rekayasa model, rancangan implementasi sistem dan operasi sistem. Setiap tahap dalam proses tersebut diikuti oleh evaluasi berulang untuk mengetahui apakah hasil dari tahapan tersebut telah sesuai dengan yang diharapkan. Bila telah sesuai dilanjutkan pada tahap berikutnya bila tidak kembali pada proses tahapan tersebut.

Model dan Pemodelan Sistem

Dari beberapa referensi menyebutkan bahwa definisi model adalah sebagai suatu representasi atau abstraksi dari suatu sistem atau dunia nyata (Turban 1993; Simatupang 1994; Suryadi dan Ramdani 2000). Sistem nyata adalah sistem yang sedang berlangsung dalam kehidupan atau sistem yang dijadikan titik perhatian dan dipermasalahkan. Melakukan eksperimen langsung pada sistem nyata untuk memahami bagaimana perilakunya dalam beberapa kondisi mungkin saja dilakukan. Namun pada kenyataan, kebanyakan sistem nyata itu terlalu kompleks atau masih dalam bentuk hipotesis atau tidak mungkin dapat dilakukan eksperimen secara langsung. Kendala ini yang menjadi alasan bagi analis untuk membuat model. Alasan lain adalah bahwa model merupakan representasi yang ideal dari suatu sistem untuk menjelaskan perilaku sistem. Repesentasi ideal berarti hanya menampilkan elemen-elemen terpenting dari suatu persoalan sistem nyata, sehingga memungkinkan analis untuk mengkaji dan melakukan eksperimen atau manipulasi suatu situasi yang rumit sampai pada tingkat keadaan tertentu yang tidak mungkin dilakukan pada sistem nyatanya.

Model yang dibuat harus memiliki kegunaan, sederhana dan me wakili persoalan. Kegunaan model bisa dipandang secara akademik dan manajerial. Model dari segi akademik berguna untuk menjelaskan fenomena atau objek-objek. Di sini model berfungsi sebagai pengganti teori, namun bila teorinya sudah ada maka model dipakai sebagai konfirmasi atau koreksi terhadap teori tersebut.

(41)

Model dari segi manajerial berfungsi sebagai alat pengambil keputusan, komunikasi, belajar dan memecahkan masalah. Model pada dasarnya terdiri dari tiga komponen dasar yakni meliputi: (1) decision variables, (2) uncontrollable

variables (dan/atau parameter), (3) result (outcome) variables.

Komponen-komponen tersebut dihubungkan dengan hubungan matematik, pada model non kuantitatif hubungannya menggunakan simbol atau kualitatif (Turban 1993).

Model dapat diklasifikasikan kedalam dua bentuk besar yaitu model fisik dan model matematik, baik model fisik maupun model matematik dapat dibagi lagi menjadi model statis dan model dinamis (Suryadi dan Ramdhani 2000). Simatupang (1993) mengklasifikasikan model kedalam klas yang lebih spesifik berdasarkan: (1) fungsi, (2) struktur, (3) acuan waktu, (4) acuan tingkat ketidakpastian, (5) derajat generalisasi, (6) acuan lingkungan, (7) derajat kuantifikasi dan (8) demensi.

Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk memodelkan suatu sistem, antara lain: (1) model harus mewakili (merepresentasikan) sistem nyatanya dan (2) model merupakan penyederhanaan dari kompleksnya sistem, sehingga diperbolehkan adanya penyimpangan pada batas-batas tertentu (Simatupang 1994). Model tidak hanya digunakan untuk menggambarkan sekumpulan pemikiran, tetapi juga mengadakan evaluasi dan meramalkan kelakuan sistem, sehingga akan didapatkan perancangan terbaik tanpa membutuhkan konstruksi seluruh kenyataan alamiah. Suryadi dan Ramdha ni (2000) menyebutkan bahwa secara umum model digunakan untuk memberikan gambaran (description), memberikan penjelasan (prescriotion), dan memberikan perkiraan (prediction) dari realitas yang diselidiki.

Menurut Turban (1993) proses pemodelan terdiri dari tiga fase utama yakni meliputi: fase intelligence, fase desain dan fase pemilihan. Konsep formulasi model merupakan suatu upaya membangun model formal yang menunjukkan ukuran performansi sistem sebagai fungsi dari variabel- variabel model. Secara garis besar langkah- langkah konsep formulasi model diawali dengan pemahaman terhadap sistem dan dengan sistem yang dibangun disusun model konseptual, variabel- vaariabel model dan formulasi model.

Simatupang (1994) mengatakan formulasi model adalah suatu upaya untuk menghasilkan model yang berisikan variabel, kendala serta tujuan-tujuannya

Gambar

Gambar 1  Diagram alir proses pengolahan jamu.
Gambar 2  Konsep Produk.
Gambar 4 Kerangka pikir model pengembangan industri kecil jamu.
Gambar 5 Tahapan Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengaman pada bus-bar tergantung dari besar dan pentingnya bus-bar tersebut untuk diamankan, dalam hal ini proteksi utama yang dipergunakan pada bus-bar adalah

Oleh karena itu, penggunaan media pembelajaran khususnya aplikasi VBA dapat meningkatkan minat siswa untuk belajar matematika, sehingga penggunaan media pembelajaran bisa

Jika Dari hasil penelitian secara keseluruhan diperoleh nilai uptake yang sangat tinggi untuk pasien hipertiroid toksik dibandingkan dengan batas normal angka

Buah, daun, batang, dan rimpang wualae (Etlingera elatior) mengandung senyawa bioaktif seperti polifenol, alkaloid, flavonoid, steroid, saponin, dan minyak atsiri

Dalam perencanaan pembelajaran siklus I ini, peneliti menerapkan Metode Pembelajaran PQRST ( Preview, Question, Read, Summarize and Test ) dalam proses belajar

Faktor lingkungan dan hasil panen terbaik didapat pada kumbung UAI dengan bobot basah lebih tinggi 7,95%, bobot kering 14,5% dan efisiensi biologi 7,34% dibandingkan

Untuk mengoptimalkan program pengembangan infrastruktur pengelolaan limbah bahan bakar bekas PLTN di atas, tidak ada salahnya jika kita belajar beberapa hal dari negara