• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. kumpulan puisi Lalu Aku karya Radhar Panca Dahana. Dalam penelitian ini, peneliti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. kumpulan puisi Lalu Aku karya Radhar Panca Dahana. Dalam penelitian ini, peneliti"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian Relevan

Penelitian relevan yang terkait dengan penelitian yang sedang dilakukan peneliti adalah persamaan tentang sumber data yang menjadi objek kajian yaitu kumpulan puisi Lalu Aku karya Radhar Panca Dahana. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha melihat bagaimana cara pengarang menujukan kecintaannya kepada Tuhan melalui sebuah simbol-simbol dalam sebuah puisi dengan menindaklanjuti dari karya-karya pengarang terdahulu. Adapun dari penelitian terdahulu, pengarang lebih cenderung mengarahkan pandangan-pandangannya terhadap dunia sosial-politik yang mana tidak ditemui adanya upaya kencintaan terhadap Tuhan dari pengarang itu sendiri. Dengan adanya simbol-simbol religi dalam kumpulan puisi Lalu Aku ini, peneliti berusaha melihat bagaimana cara pandang pengarang terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, berikut penelitian relevan yang menjadi acuan peneliti dalam melakukan penelian ini:

Salihati (2012) melakukan penelitian yang berjudul Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi sastra. Penelitian ini termasuk dalam penelitian dekriptif-kualitatif dengan teknik analisis data dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling (sampel bertujuan).

(2)

9

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teori dialektik Goldman melalui konsep pemahaman-penjelasan.

Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah unsur struktur puisi berupa (1) metode puisi: diksi, pengimajian, kata konkret, majas, versifikasi dan tipografi; (2) hakikat puisi: tema, nada, perasaan, dan amanat. Struktur puisi tersebut menunjukkan keutuhan, keterkaitan dan kebulatan antara satu dengan yang lain. Berdasarkan hasil pembacaan sosiologi sastra ditemukan kritik sosial meliputi (1) Kritik sosial terhadap modernitas tampak dalam puisi “Dunia Fantasi”, “Lelaki Tua Stasiun Kota”, dan “Batubatu Menggeser Waktu, Acehku”, (2) Kritik sosial terhadap kekuasaan tampak dalam puisi “Panggung Tuamu, Sobatku”, (3) Kritik sosial terhadap disorganisasi keluarga tampak dalam puisi “Sisa Sore di Daster Misna” dan “Sebutir Kata dan Tempat Tidur”, (4) Kritik Sosial terhadap bencana alam tampak dalam puisi “Batubatu Menggeser Waktu, Acehku”.

Wahid B.S (2015) melakukan penelitian dengan judul Puisi Sufi A. Mustofa Bisri. Penelitian ini berusaha mengungkap pemikiran penting A. Mustofa Bisri yang tersirat di dalam puisi-puisinya. Ia sebagai ulama di kalangan Nahdlatul Ulama memiliki pemikiran yang menarik, yakni sebagai kiai yang menulis karya sastra. Untuk memaknakan puisi-puisi yang ditulis oleh A. Mustofa Bisri, dibutuhkan perhatian pada arti referensial sebagai jalan untuk memasuki ranah bahasa dan realitas. Pada tataran simbolik, berusaha memahami puisi sebagai bagian dari ekspresi kehidupan yang dirujuk sampai pada akar pengetahuan. Dari metode seperti

(3)

10

itu, dapat ditemukan beberapa hal penting; pertama, puisi yang ditulis oleh A. Mustofa Bisri diungkapkan dengan bahasa sederhana sebagai manifestasi diri dan ciptaanya. Kesederhanaan bahasa tersebut membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam terkait dengan wawasan dan dimensi dari penyair. Kedua, ada kesamaan tematik puisi A. Mustofa Bisri dengan puisi tradisi sufi yang bertema cinta dan kerinduan kepada Allah.

Adapun dari hasil penelitian ini, Wachid B. S menemukan bahwa: pertama, ciri khas perpuisian A. Mustofa Bisri dalam buku Gandrung ini dalam mengekspresikan bahasanya “tidak memperindah kata-kata”, seperti halnya dia ungkapkan dalam sajak “Aku Tak Akan Memperindah Kata-kata”. Namun, “kesahajaan bahasa sajak” itu tidak berarti kemudian sajaknya jadi gamblang pemaknaannya sebab bagaimanapun puisinya begitu kaya simbol yang memiliki keterkaitan dengan alam pikir religius, bahkan mistisisme Islam (tasawuf). Oleh karenanya, untuk sampai kepada makna batin sajak, pembaca dituntut memiliki wawasan tentang alam pikir yang melatari penciptaan sajaknya. Alam pikir tersebut merupakan perpaduan pengalaman mistik dan pengalaman estetik, yang digambarkan melalui tamsil (perbandingan, perumpamaan) metafisik. Kedua, ada kesamaan tematik puisi A. Mustofa Bisri dengan puisi tradisi sufi yang bertema cinta dan kerinduan kepada Allah. Cinta dan kerinduan menjadi vision dari dinamika yang terus berputar.

Mahroso (2016) melakukan penelitian dengan judul Nilai -Nilai Sufisme Pada Kumpulan Sajak Hyang Karya Abdul Wachid B.S : Interpretasi Hermeneutika.

(4)

11

Peneliti menggunakan kajian hermeneutika untuk menafsirkan nilai-nilai sufisme dalam sajak Hyang karya Wahid B.S. Hal itu dilakukan karena sumber data dalam penelitian ini mempresentasikan adanya makna-makna tak langsung terhadap fenomena ketuhanan yang keberadaanya di dalam jiwa pengarang dan dituangkan kedalam bentuk bahasa yang konkret berupa puisi. Secara khusus, penelitian ini bertujuan menganalisis, mendeskripsikan dampak nilai-nilai sufisme, mengkaji dan mendeskripsikan konsep sufisme yang terdapat pada puisi-puisi yang mempresentasikan nilai sufisme dalam kumpulan sajak Hyang karya Abdul Wachid B.S. analisis yang dilakukan oleh peneliti tersebut lebih bertujuan mengupas sejauh mana kehidupan Abdul Wachid B.S dalam mementingkan kebutuhan rohaninya melalui sajaknya dalam buku sajak-sajak Hyang. Adapun tujuan dari analisis tersebut merujuk pada; (1) nilai-nilai sufisme dalam sajak Hyang;(2) mengupas simbol-simbol sufistik dalam sajak Hyang;(3) serta dampak dari sufisme pengarang terhadap pembaca.

Dari ketiga penelitian yang dilakukan, terdapat perbedaan metode yang digunakan dan dengan tujuan yang berbeda pula. Pada penelitian yang dilakukan Istiana Salihati meneliti tentang kritik sosial dengan tujuan mengkritisi keadaan sosial yang tampak dalam negeri. Sedangkan pada penelitian kedua lebih bertujuan untuk menindaklanjuti bentuk-bentuk konsep cara pengarang menunjukan kecintaannya terhadap Tuhannya. Senyawang dengan penelitian kedua yang juga mengkaji tentang sufisme, penelitian ini lebih memandang tentang bagaimana cara pandang pengarang terhadap nilai-nilai ketuhanan melalui cara-cara sufi.

(5)

12

Dengan demikian, merujuk dari ketiga penelitian yang telah dibuat dibuat tersebut peneliti berasumsi bahwa penelitian yang menggunakan sumber data dari buku ini hanya satu penelitian saja. Adapun penelitian terdahulu tentang mengkritisi tindak sosial yang dipandang melalui sosiologi sastra, hal itu menandakan bahwa kumpulan puisi Lalu Aku masih belum banyak dilakukan penelitian. Dengan adanya penelitian “Religiusitas Pada Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana” peneliti bertujuan untuk melengkapi penelitian-penelitian yang sudah ada. Adapun fokus dari penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan simbol-simbol religiusitas yang terdapat dalam isi puisi dari fakta religi yang sebenarnya.

B. Definisi Puisi

Siswantoro (2014:23) berpendapat bahwa puisi merupakan karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai media pengungkapannya, hanya saja bahasa di dalam puisi lebih dipersempit dan bersifat konotatif. Sementara itu, Waluyo (1995:23) mendefinisikan puisi sebagai bentuk kesusastraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya. Pengulangan kata tersebut menghasilkan rima, irama atau ritme. Perbedaan itu menitikberatkan pada kepadatan kata dalam menyusun sebuah puisi dimana tidak semua karya tulis dapat dianggap sebuah puisi. Sebagai gambaran singkatnya, puisi selalu memiliki makna tersirat atau tak langsung sekalipun kata yang digunakan untuk membuat puisi itu merupankata yang umum di dengar. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat menafsirkan simbol dari puisi yang sudah ada.

(6)

13

Secara konvensional puisi biasa diartikan sebagai karangan terikat (terikat baris, rima, bait dan sebagainya); sedangkang prosa adalah karangan bebas/tuturan bebas. Sebagai sebuah genre, puisi berbeda dengan novel, drama, atau cerita pendek. Perbedaanya teletak pada kepadatan komposisi yang dengan konvensi yang ketat, sehingga puisi membatasi ruang gerak yang longgar terhadap penyair dalam berkreasi secara bebas, (Siswantoro, 2014:23). Beberapa ahli sastra berpendapat bahwa definisi puisi hampir sama bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam puisi itu berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan panca indera, susunan kata-kata kiasan kepadatan dan sebagainya. Dari beberapa unsur tersebut Redyanto (2010:25) merumuskan bahwa unsur yang paling pokok dalam puisi adalah emosi, pemikiran (ide), dan struktur (bentuk).

Damayanti (2013:9) mengemukakan bahwa puisi sebagai seni tertulis yang menekankan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter dan rima adalah yang membedakannya dengan prosa. Senada dengan itu, Suminto (2002:3), mengungkapkan bahwa dalam puisi bahasa yang digunakan memperhitungkan adanya aspek bunyi-bunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya; yang diungkapkan dengan teknik tertentu, sehingga puisi itu mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula pada pembacanya atau pendengarnya. Dalam pengertian lamanya, puisi terikat dengan aturan pembarisan, pembaitan, perioudus atau bagian baris, serta pola rimanya. Perbedaan keduanya dapat dilihat dengan jelas melalui perwajahan teksnya. Akan

(7)

14

tetapi, seiring dengan berkembangnya sastra, puisi modern sudah memiliki model yang hampir mirip dengan prosa dimana yang membedakan hanyalah makna dari keduanya.

Puisi dalam pemikiran global merupakan pengekspresian pemikiran dan perasaan seseorang yang terkandung di dalam jiwanya yang kemudian dituangkan menjadi sebuah teks. Waluyo (1995:1) mengatakan bahwa puisi merupakan bentuk kesustraan yang paling tua, dimana isinya sangat berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari pengarangnya. Semua yang tertuang dalam teks puisi bisa di dapat melalui imajinasinya, masa lalu ataupun kejadian yang sedang dialaminya. Untuk memahaminya lebih jauh, seseorang harus memahami latar belakang pengarangnya. Oleh karena itu, biografi pengarang sangatlah membantu apabila ingin menjadikan karya sastra sebagai objek kajian, terlebih apabila orang itu ingin mengetahui bagaimana karya sastra itu tercipta, maka sangatlah diperlukan biografinya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa puisi merupakan genre sastra yang memiliki kepadatan kata tinggi dimana setiap kata yang telah tersusun bernilai estetik. Puisi dapat dikatakan pula sebagai karangan yang mengekspersikan perasaan batin seseorang kedalam sebuah teks tanpa adanya kesadaran langsung dari penyairnya. Sedangkan bahasa yang digunakan dalam menyusun sebuah puisi bermakna konotasi sehingga puisi tidak dapat di tafsirkan dalam sekali baca. Oleh karena itu, apabila sesorang membaca puisi sampai berulangkali, maka timbulah perasaan yang akan mempengaruhi pembaca tersebut.

(8)

15

C. Definisi Religiusitas

Religiusitas adalah keterikatan manusia pada Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan. Keterikatan tersebut lebih kepada batin manusia itu sendiri. Suwarno (2005:86) mengatakan kebatinan merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang hamba dapat secara langsung dengan tuhan. Dikatakan lagi bahwa religiusitas merupakan perasaan keagamaan dengan konsentrasi dari pasrah, dan sikap mendengarkan sabda ilahi dalam batin seorang manusia. Religiusitas juga diartikan sebagai kepercayaan hubungan manusia kepada yang kudus, dihayati sebagai hakekat yang gaib, hubungan yang serasi antara manusia dengan Tuhan, berdasarkan nilai-nilai moral, etika dan sopan santun. Istilah religiusitas berbeda dengan istilah agama. Dalam karya sastra, kehadiran religius dan keagamaan hampir bersamaan dengan lahirnya karya sastra itu sendiri (Nurgyantoro, 2007:326). Senada dengan itu, Waluyo (1995:107) mengungkapkan bahawa kehadiran ketuhanan atau religiusitas dalam karya sastra (puisi) merupakan buah dari pengalaman dan kedalaman iman penyair tehadap agamanya sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara agama dan Religiusitas tidak dapat dipisahkan karena keterikatan keduanya terhadap ketuhanan.

Dikatakan oleh Wellek dan Werren(1995:109), sastra memuat norma kehidupan masyarakat, nilai religiusitas, tradisi dan mitos, terutama dalam sastra masyarakat primitif. Sastra dinilai memiliki nilai religius yang tinggi karena kedekatannya dengan masyrakat di masa lalu. Senada dengan itu, Ratna (2007:269) mengatakan bahwa sastra dan masyrakat menampilkan hubungan-hubungan

(9)

16

kemanusiaan, yang secara keseluruhan di evokasi melalui hasrat manusia untuk melaksanakan kehendak Sang Pencipta.Melalui sastra, manusia ingin mendekatkan diri dengan Tuhan lewat seni. Oleh sebab itu, sering muncul istilah sastra religius, karena dalam sastra sering terdapat nilai religious.

Bentuk religiusitas dapat ditunjukkan dalam bentuk sikap dan kesetiaan kepada Tuhan sebagai pencipta alam semesta, hal ini sejalan dengan pendapat Waluyo (1995:120) yaitu jika dalam membuat karya sastra yang memiliki unsur religiusitas atau ketuhanan, manusia sadar benar dengan keberadaan Tuhannya. Penyataan demikian yang mempengaruhi karya sastra dalam hal isinya, yang mana ketika manusia dekat dengan Tuhannya maka dia akan berusaha merumuskan perlakuan-perlakuan terhadap manusia, sedangkan apabila manusia itu tidak percaya terhadap agama, maka yang terjadi pada karyanya adalah makian-makian terhadap ketuhanan.

Endraswara (2015:15) mengatakan bahwa dalam fenomena religius orang Jawa terdapat dua kategori; (1) kepercayaan dan (2) ritus. Yang pertama merupakan pendapat-pendapat (states of opinion) dan terdiri dari representasi-representasi; yang kedua adalah bentuk-bentuk tindakan (action) yang khusus. Pandangan itu menyiratkan bahwa bentuk religius tidak hanya di alami masyarakat modern, melainkan sudah ada dari zaman nenek moyang kita. Kepercayaan dalam bentuk agama biasanya dilandasi adanya hubungan manusia dengan tuhannya yang dilakukan melalui tata cara beribadah, sedangkan ritus/ritual lebih tindakan yang

(10)

17

dilakukan bisa dalam bentuk kelompok maupun individu yang merujuk pada kepercayaan di daerahnya masing-masing.

Religiusitas lebih melihat pada aspek di lubuk hati, getaran nurani, pribadi, setiap individu yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menafaskan cita rasa yang mencakup ke dalam pribadi manusia.Manusia dipandang sebagai pencikan dari Zat hidup yang meliputi segela sesuatu, manusia mempunyai dua segi, lahir dan batin. Religiusitas merupakan kritik terhadap keberagamaan seseorang disamping terhadap agama sebagai lembaga dan ajaran telah dipercayai setiap individu. Oleh karena itu, religiusitas hanya dapat dipertentangkan dengan irreligiusitas, bukan dengan ketidakbergamaan seseorang. Dikatakan demikian karena religiusitas berkaitan dengan kebebasan orang untuk menjaga kualitas keberagamaannya dilihat dari dimensinya yang paling dalam dan personal yang acap kali berada di luar kategori-kategori ajaran agama.

D. Definisi Simbol

Simbol dalam bahasa Inggris, symbol yang berarti lambang atau berasal dari bahasa Yunani sumballo yang berarti “menghubungkan atau menggabungkan”. Menurut Kurniawan (2011:26) berpendapat bahwa simbol merupakan suatu tanda, tetapi tidak semua tanda merupakan simbol. Wujud dari perwakilan ini sesungguhnya bukanlah sebuah kesamaan. Wujud tersebut lebih merupakan persamaan untuk mengilustrasikan fenomena antara realitas sebelumnya dengan sesuatu yang digunakan untuk menjelaskan realitas tersebut di dalam teks. Dari ungkapan itu,

(11)

18

diketahui bahwa pada hakekatnya simbol menerangkan adanya bentuk analogi. Bentuk analogi inilah yang dapat membentuk simbol untuk mengilustrasikan pemikiran atau realitas imajiner. Oleh karena itu, simbol sering muncul dalam puisi untuk mewakili ungkapan penyair mengenai fenomena yang tidak dapat dilihat dengan mata, tapi dirasakan keberadaannya.

Suminto (2002:237) berpendapat bahwa simbol merupakan bentuk bahasa kias yang fundamental dalam eskpresi puitika. Dapat dikatakan juga bahwa simbol merupakan sesuatu yang mempunyai makna lebih banyak dari pada ungkapan simbolik itu sendiri. Di dalamnya terkandung makna lapis pertama yang disebut makna referensial dan denotatif. Namun sebagai teori tentang sastra yang berkaitan dengan penafsiran sebagai telaah untuk memahami karya sastra, penafsiran tidak harus diarahkan pada fenomena makna ganda simbol, tetapi hanya perlu memandang simbol sebagai sesuatu yang kaya akan makna. Senada dengannya, Rafiek (2010:12) mengungkapkan bahwa simbol memiliki dua makna ganda atau makna bentuk pertma dan kedua. Munculnya simbol dalam karya sastra selalu didasari ungkapan yang samar, dimana ungkapan itu menduduki makna sebenarnya dari karya sastra itu sendiri.

Hidayat (2013) pemakaian simbol di dalam puisi terjadi karena adanya bahasa kiasan (bentuk analogi,-pen), seperti metonimi, metafora, ataupun personifikasi. Akan tetapi, pernyataan itu hanyalah gejala secara bahasa dan sedikit berbeda cerita apabila meneliti simbol berdasarkan ranah budayanya. Simbol di dalam puisi biasanya bersifat personal karena ditulis oleh penyair berdasarkan imajinasinya. Hal ini yang

(12)

19

membedakan dengan simbol konvensional yang mengacu kepada kehidupan sehari-hari dan mampu menjadikan “simbol mati”. Kematian simbol lebih dikarenakan bahasa tersebut mengalami pembekuan menjadi istilah untuk menandai.

Ricoeur membahas kajian dalam simbol ke dalam tiga sub; (1) psikoanalisis, misalnya berhubungan dengan mimpi-mimpi, gejala lain, dan objek budaya yang dekat dengan mereka sebagai penyimbolan konflik psikis yang dalam; (2) sastra (puisi), misalnya, simbol sebagai imaji istimewa puisi; (3) kesejarahan agama, yang diikat kepercayaan-kepercayaan suci, misalnya simbol-simbol dalam kitab suci.

Untuk mengklarifikasi sebuah simbol, Ricoeur membaginya ke dalam tiga sub. Pertama, mengidentifikasi karakteristik semantik dalam setiap simbol, meskipun dapat saja berbeda, pada basis struktur operasi makna dalam ungkapan metaforis. Kedua, fungsi metaforis bahasa memungkinkan untuk mengisolasi strata simbol nonlinguistik, prinsip diseminasinya, melalui metode pembalikan. Ketiga, pemahaman baru tentang simbol akan memberikan permunculan perkembangan yang lebih jauh dalam teori metafora. Dalam cara ini teori simbol akan menyempurnakan metafora.

Adanya simbol dalam karya sastra (puisi) memang tidak dapat di pisahkan begitu saja. Hal itu dilandasi adanya mitos serta ritual yang tertuang di dalam puisi. Munculnya mitos dan ritual itu yang kemudian menjadikan karya sastra (puisi) itu menarik untuk di interpretasi. Waluyo (1995:105) menyatakan bahwa dalam puisi, makna yang hendak disampaikan tersembunyi, menimbulkan simbol yang harus dipahami pembaca. Simbolisme seperti itulah yang kerap dimunculkan manusia

(13)

20

dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam hal ini, ada perbedaan antara simbol dan tanda (sign). Dalam teori semiotika diterangkan bahwa simbol pun merupakan bagian dari kajian tersebut, tetapi teori semiotika hanya membahas simbol secara universal. Padahal, simbol muncul tidak hanya dalam proses universal, tapi juga individual.

Menurut Ricoeur (2012:118) hubungan antara makna literal dan makna figuratif memberikan pedoman tepat yang memungkinkan untuk mengidentifikasi corak bahasa dari suatu simbol. Hal inilah yang disebut dengan momen Semantik simbol. Corak-corak demikian yang kemudian memunculkan adanya hubungan yang erat antara simbol dengan bahasa, dimana untuk meyakinkan keutuhan simbol seseorang harus menafsirkan bahasanya secara utuh. Oleh sebab itu, simbol hanya memberikan kemunculan kepada pemikiran yang pertama kali muncul. Dalam hal ini, metaforalah yang lebih bereaksi untuk menarangkan simbol sebagai bentuk dari keterbatasan bahasa.

Dengan demikian, dapat dikatakan simbol merupakan pemadatan bahasa yang di dalamnya terdapat dua makna atau lebih dari simbolik itu sendiri. Simbol dalam karya sastra banyak dijumpai dalam puisi. Akan tetapi, tidak semua puisi bisa memiliki simbol dalam satu kata, tapi bisa dalam susunan kata yang kemudian menjadi sebuah simbol. Simbol-simbol yang demikian yang memerlukan adanya interpetasi. Oleh karena itu, dalam menafsirkan karya sastra berupa puisi, seorang peniliti harus benar-benar memahami simbol apa saja yang terkandung di dalam puisi yang dijadikan objek analisis, khususnya simbol religiusitas.

(14)

21

E. Definisi Hermeneutika

Kata “hermeneutik” sendiri berasal dari bahasa yunani yaitu hermeneuein yang berarti “menafsirkan”, dan kata bendanya hermeneia yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi”,dan kata hermeneutes yang berarti interpreter (penafsir). Hermeneutika Ricoeur memanfaatkan teks. Senada dengan itu, Ratna (2014:45) mengatkan bahwa pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan bisa dalam bentuk teks . Untuk memahami ciri bahasa natural yang cukup menakjubkan, sebuah ciri membutuhkan usaha intepretasi pada tingkat pembicaraan paling dasar. Ciri yang dimaksud adalah polisemi. Polisemi adalah sebuah ragam kata yang mempunyai makan lebih dari satu ketika dilihat diluar penggunaannya dalam sebuah konteks. Oleh sebab itu, pemilihan konteks yang selektif akan menentukan nilai yang dikandung oleh kata tersebut di dalam pesan pada situasi tertentu. Aktifasi penilaian tersebut disebut interpretasi. Interpretasi ini adalah pengakuan pesan-pesan penulis yang relatif memiliki makna univokal (bermakna tunggal) dibangun berdasarkan makna polisemi leksikon yang sudah lazim.

Hermeneutika adalah kata yang sering di dengar dalam bidang teologi, filsafat bahkan sastra (Palmer, 2005:3). Teori hermeneutika Ricoeur berusaha mengintegrasikan eksplanasi dan pemahaman dengan suatu dialektika yang konstruktif yang terdapat di dalam khazanah teks. Teks menurutnya adalah sebuah wacana tulis. Oleh karena itu, dialektika interpretasi berhubungan erat dengan konsep memisahkan kejadian dari makna. Atas dasar ini, Ricoeur menyampaikan bahwa paradigma bacaan menjadi pasangan paradigma tulisan. Namun demikian,

(15)

22

menurut Ricoeur hal ini tidak harus menyebabkan adanya sikap yang berubah-ubah atau berganti-ganti dari para penafsir. Dengan demikian, intepretasi tidak bisa direduksi menjadi subjektivisme yang naif karena pemahaman ini berjalan di bawah bimbingan tek secara obyektif.

Ricoeur menjelaskan bahwa teks adalah sebuah wacana yang dibakukan lewat bahasa. Apa yang dibakukan oleh tulisan adalah wacana yang dapat diucapkan, tetapi wacana ditulis karena tidak diucapkan. Disini terlihat bahwa teks merupakan wacana yang disampaikan dengan tulisan. Jadi, teks sebagai wacana, yang di tuliskan dalam hermeneutika Paul Recouer, berdiri secara otonom, bukan merupakan turunan dari bahasa lisan, seperti yang dipahami oleh strukturalisme. Senada dengan itu, Ratna (2013:45-46), menyatakan bahwa keyakinan dan imajinasi sesoorang yang tertuang di dalam karya sastra berupa teks harus ditafsirkan.

Waluyo (1995:120) mengatakan bahwa dalam puisi, makna yang hendak disampaikan tersembunyi, menimbulkan tanda tanya bagi pembaca. Tanda Tanya itu menyebabkan daya tarik karena pembaca penasaran ingin mengetahui jawabannya. Jadi, gagasan kuncinya adalah realisasi diskursus sebagai teks, sementara pendalaman tentang kategori-kategori teks akan menjadi objek pembahasan kajian selanjutnya. Secara ontologis, pemahaman tidak lagi dipandang sekedar cara mengetahui tetapi hendaknya menjadi cara mengada (way of being) dan cara berhubungan dengan “segala yang ada” (the beings) dan dengan “kemengada-an” (the being).

Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang tampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Ratna (2013:45)

(16)

23

mengatakan bahwa karya sastra perlu ditafsikan sebab di satu pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak lain, di dalam bahasa sangat banyak makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyrakat atau sastra. Studi Ricoeur membedakan antara simbol univokal dan equivokal. Simbol univokal adalah simbol dengan satu makna yang ditandai, seperti simbol-simbol dalam logika simbol. Sementara itu simbol eqiuvokal adalah fokus sebenarnya dari hermeneutika.

Ricoeur (2012:223) mengatakan bahwa persoalan paling utama dalam hermeneutika adalah interpretasi. Akan tetapi, kedudukan interpretasi disini bukan sembarang interpretasi, melainkan interpretasi yang didefinisakan melalui dua cara: pertama, berkenaan dengan bidang penerapannya; kedua, berkenaan dengan kekhususan epistimologisnya. Persoalan pertama dalam ranah ini lebih berkaitan dengan teks, dimana teks tersebut akan memiliki kesulitan yang beragam. Oleh karena itu, pengertian tentang teks menjadi sangat sentral dalam pemikiran hermeneutika Ricoeur. Sedangkan untuk persoalan yang kedua lebih kepada penjelasan tentang hasil dari interpretasinya terhadap teks. Sedangkan Palmer (2005:8) menjelaskan bahwa fokus utama dalam kajian hermeneutika mencakup; (1) pemahaman peristiwa terhadap teks; (2) persoalan yang lebih mengenai pemahaman dan interpretasi.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hermeneutika merupakan teori yang mengkaji sebuah teks melalui tahapan interpretasi (penafsiran). Interpretasi itu sendiri

(17)

24

adalah fenomena yang kompleks dan prefasif. Namun, bukan berarti interpretasi bisa disamakan dengan suatu kritik, karena pada dasrnya keduanya melakukan tugasnya masing-masing walaupun sebenarnya saling berhubungan. Oleh karena itu, untuk memahami karya sastra yang muncul dari pemahaman manusia terhadap ketuhanan atau religius, maka diperlukan adanya penafsiran secara simbolik.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan dengan surat yang berisi hinaan tersebut, penuntut umum mendakwa terdakwa melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk

Dari seluruh siswa yang menjadi responden ada 78% responden menyatakan mendukung terhadap peran UKS dalam penyampaian informasi kesehatan reproduksi di lokasi

www.rb.lapan.go.id | 10 2011 2014 2019 2025 Seluruh Kementerian dan lembaga (K/L) serta pemda ditargetkan telah memiliki komitmen dalam melaksanakan proses

Dari data tersebut dapat kita lihat bahwa jumlah pasien lebih banyak dibanding jumlah perawat sehingga mempengaruhi proses pelayanan terhadap tingkat kepuasan

Dengan ini memberitahukan bahwa setelah diadakan Penetapan oleh Pejabat Pengadaan Barang / Jasa Kegiatan Pembangunan Jalan dan Jembatan Perdesaan Dinas Perumahan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik, tingkat partisipasi dan hambatan-hambatan partisipasi anggota kelompok tani bawang putih di Desa Sallu

Oleh karena itu, lahirnya UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dilengkapi dengan lahirnya UU No 25/1999 tentang Central dan Proporsi Keuangan Daerah, dan update dari UU No

Data harga saham dan likuiditas saham Index Consumer Goods, berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari Bursa Efek Indonesia untuk periode 13 hari bursa