• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Daerah Semarang, Yogyakarta dan Surabaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Daerah Semarang, Yogyakarta dan Surabaya"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

18

Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan

Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Daerah

Semarang, Yogyakarta dan Surabaya

Eriyantouw Wahid

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti

eriyantouw.w@trisakti.ac.id

ABSTRAK

Seringkali perempuan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang kerap dialami oleh perempuan baik istri maupun anak perempuan bahkan pula dialami oleh asisten rumah tangga dari tahun ke tahun mengalami peningkatan presentasinya. Menurut UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 1 (1) dalam Bab Ketentuan Umum, Kekerasan dalam Rumah Tangga didefinisikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Dari definisi tersebut Adanya peningkatan presentasi kejadian kekerasan dalam rumhan tangga terhadap perempuan tentunya memerlukan upaya penanganan yang tepat dalam rangka pemberian perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran tindakan yang diambil oleh pihak-pihak yang terkait dalam penanganan korban perempuan kekerasan dalam rumah tangga dalam rangka pemberian perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Hasil dari pada penelitian pemberian perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menunjukkan bahwa Penanganan korban kekerasan terhadap perempuan melalui lembaga layanan rujukan berupa Rumah Aman telah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ada tetapi masih belum optimal. Upaya untuk meningkatkan kualitas layanan Rumah Aman oleh Pemerintah Daerah di antaranya dengan memberikan tenaga konselor serta mulai menggerakkan ruang pemberdayaan bagi penghuni Rumah Aman di Kota Semarang sehingga kualitas layanan Rumah Aman dapat meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan korban kekerasan perempuan di dalamnya.

(2)

19 I. PENDAHULUAN

Tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi catatan buruk di Kota Semarang, Jawa Tengah. Dalam kurun waktu setahun terakhir (2018) terjadi 300 kasus KDRT yang berujung pada pelaporan ke polisi.1 Kasus tersebut (KDRT) yang dilaporkan ke polisi dalam setahun mencapai 500-600 kasus di Jateng, dan 300 kasus berada di Semarang. Itu bagi yang berani melaporkan, padahal mereka banyak yang tak berani melapor karena berbagai sebab. Pemerintah Kota Semarang juga telah membentuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Seruni yang fokus pada pendampingan korban kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Lembaga ini juga menggandeng advokat perempuan untuk memberi pendampingan hukum terhadap korban. Data PPT Seruni Kota Semarang menunjukkan 281 aduan yang masuk pada 2015. Jumlah itu meningkat pada 2016 yang terdapat 271 aduan. Setahun berikutnya, pada 2017 tercatat 305 aduan. Kenaikan data bisa diakibatkan tindak kekerasan yang memang naik, dan kemungkinan kedua adalah korban sudah lebih berani melapor atas kekerasan yang menimpanya.

Demikian pula yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah, angka pengaduan mengenai KDRT tiap tahunnya terus meningkat. Kasus kekerasan terhadap perempuan di Daerah Istimewa Yogyakarta konsisten tinggi dalam lima tahun terakhir. Rifka Annisa Woman Crisis Center, organisasi yang konsen pada kasus kekerasan terhadap perempuan, mencatat sejak 2014 hingga 2019, kasus kekerasan berkisar 250 hingga lebih dari 300 setiap tahunnya. tingginya kasus itu memang memprihatinkan. Tingginya kasus juga menjadi pertanda peningkatan keberanian korban kekerasan untuk membuka suara. Kesadaran masyarakat melapor dan mengakses layanan juga meningkat. Mereka tak memendam sendiri saat mengalami kekerasan. Hal yang lain, ternyata kasus di sekitar kita jumlahnya banyak. Bisa jadi jumlah kasus yang tak dilaporkan juga banyak.

Tidak jauh berbeda dengan Semarang dan Yogyakarta, Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) mencatat jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di wilayah Surabaya terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Terutama mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kasubdit Renakta Polda

(3)

20

Jawa Timur, AKBP Festo Ari Permana mengatakan kenaikan ini terjadi pada kasus

KDRT, yang naiknya cukup signifikan dari tahun 2017 ke 2018, dan 2019. kenaikan ini karena masyarakat mulai sadar terhadap hak warga negara untuk melaporkan kejadian kekerasan. Terutama dalam masalah KDRT.

Kekerasan dalam rumah tangga, terjadi dalam lingkup keluarga, sakalipun keluarga merupakan lembaga sosial yang ideal guna menumbuhkembangkan potensi yang ada pada setiap individu, dalam kenyataannya keluarga seringkali menjadi wadah bagi munculnya berbagai kasus penyimpangan atas aktivitas illegal lain sehingga menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan, yang dilakukan oleh anggota keluarga satu terhadap anggota keluarga lainnya, seperti penganiayaan, perkosaan, pembunuhan. Situasi inilah yang lazim disebut dengan istilah kekerasan dalam rumah tangga. 2

Kepada korban wajib diberikan perlindungan hukum, mngingat korban mengalami penderitaan secara fisik, atau non fisik, atau menderita karena penelantaran,kehilangan keuntungan secara ekonomi, atau kehilangan sebagian dari hak asasi, dan penderitan lainnya. Hal ini merupakan kewajiban dari pemerintah, selaku negara hukum, yang sangat menjunjung hak asasi manusia.

Pemberian perlindungan hukum kepada korban Kekerasan Dalam rumah tangga, tampaknya tidak begitu terlihat, terdapat kasus-kasus Kekerasn dalam rumah tangga dipublikasikan, namun selanjutnya tidak diketahui kelanjutan proses hukumnya, apalagi bagaimana perlindungan hukum yang diterima korban ybs.

II. Perumusan Masalah

Bagaimana Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Daerah Semarang, Yogyakarta dan Surabaya?

III. Tujuan Penelitian

Menggambarkan tinjauan yuridis mengenai Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Daerah Semarang, Yogyakarta dan Surabaya.

2 Dikdik M Arief Mansur & Elisatris Gultom. Urgensi perlindungan korban kejahatan antara

(4)

21 IV. METODE PENELITIAN

Penelitian yang meneliti asas-asas hukum dan norma-norma hukum yang terdapat dalam Undang Undang No 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam rumah tangga, UU No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, Peraturan Daerah Prop. Jawa Barat No 9 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Ketahanan Keluarga, Peraturan Daerah Kota Semarang No 5 Tahun 2016 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Dari Tindak Kekerasan, Peraturan Daerah Prop. Daerah Istimewa Yogyakarta No 3 tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 16 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Serta dianalisis secara kualitatif.

V. TINJAUAN PUSTAKA

Kekerasan terhadap perempuan dapat didefinisikan secara sederhana sebagai segala bentuk perilaku yang dilakukan kepada perempuan yang memunculkan akibat psikis berupa perasaan tidak nyaman dan bahkan perasaan takut hingga akibat berupa perlukaan fisik. Definisi ini sedemikian luasnya sehingga meliputi mulai dari pelecehan seksual berupa siulan atau godaan terhadap perempuan, hingga pembiaran oleh Negara pada kondisi perempuan warga negaranya yang menjadi korban kekerasan. Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan (1983) mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai:

“…setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenag-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi”.

Pengertian lain dari kekerasan terhadap perempuan diberikan oleh Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan kekerasan terhadap Perempuan (RAN PTKP) tahun 2001-2004, yaitu:

(5)

22

“…a dalah setiap tindakan yang melanggar, menghambat, meniadakan kenikmatan dan pengabaian hak asasi perempuan atas dasar gender. Tindakan tersebut mengakibatkan (dapat mengakibatkan) kerugian dan penderitaan terhadap perempuan dalam hidupnya, baik secara fisik, psikis maupun seksual. Termasuk di dalamnya ancaman, paksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik dalam kehidupan individu, berkeluarga, bermasyarakat maupun bernegara.

Dalam hasil penelitian Komnas Perempuan tahun 2002 dalam peta kekerasan sebagai Pengalaman Perempuan Indonesia, dinyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan sangat banyak bentuknya, baik yang bersifat psikologis, fisik, seksual maupun yang bersifat ekonomi, budaya dan keagamaan, hingga yang merupakan bagian dari sebuah system pengorganisasian lintas Negara yang sangat besar dan kuat. Lokus kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi dimana pun. Tidak ada tempat yang mutlak aman bagi perempuan, situasi aman bagi perempuan hanya bisa dijamin jika ada upaya khusus untuk mewujudkannya. (Komnas Perempuan, 2002) Pelaku kekerasan berdasarkan penelitian Komnas Perempuan pada umumnya adalah:

“…suami sendiri, ayah, anggota keluarga lainnya atau sesamapekerja, mandor, agen, maupun atasan atau majikan korban. Dalam konteks perdagangan perempuan, para pelaku adalah para pengguna jasa (seperti pedofil) dan majikan atau agen, termasuk yang berkecimpung dalam bisnis seks, pengedaran narkoba serta penyelundupan manusia. Dalam situasi konflik bersenjata dan represi politik, para pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah sipil bersenjata maupun aparat Negara bersenjata, selain warga penduduk biasa, termasuk para suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangganya.”

Namun kekerasan terhadap perempuan yang ditemui pengaturannya dalam KUHP hanya meliputi kekerasan fisik saja dan belum meliputi kekerasan dalam bentuk lainnya. Menurut Harkristuti Harkrisnowo kekerasan terhadap perempuan tidak mendapatkan perhatian yang memadai dalam system hukum, termasuk aparat hukum dan budaya hukum yang ada di masyarakat Indonesia karena pemaknaan kekerasan atau persepsi mengnai tindak kekerasan yang ada di dalam masyarakat. (Harkristuti Harkrisnowo, 2000: 79) Beberapa pengertian kekerasan yang merupakan refleksi dari konsep pemikiran masyarakat tentang kekerasan di antaranya pendapat Jerome Skolnick:

(6)

23 “violence is…an ambiguous term whose meaning is established through political process.”

Dan pendapat Alan Weiner, Zahn dan Sagi yang mencoba merumuskan unsur-unsur kekerasan sebagai:

“…the threat, attempt, or use of physical force by one or more presons that results in physical or nonphysical harm to ne or more other preson…”

Pendapat tersebut memperlihatkan bahwa makna kekerasan memang tidak terlepas dari konsep yang dimiliki oleh masyarakat dan bahwa konsep itu hanya dibatasi pada kekerasan fisik saja, sementara dalam kenyataannya masih ada konsep kekerasan lain yang berakibat pada perempuan sebagai korban.

Selain membatasi pada jenis kekerasan secara fisik, KUHP juga membatasi kekerasan seksual terhadap perempuan hanya dapat dilakukan di luar perkawinan saja. Sehingga kekerasan seksual yang dilakukan terhadap perempuan yang terikat dalam perkawinan, tidak dikriminalisasi sebagai suatu kejahatan dalam KUHP.

Jenis-jenis kekerasan lain selain kekerasan fisik yang dilakukan terhadap perempuan, seperti kekerasan psikis, ekonomi dan seksual dapat ditemui pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Namun lingkup pengaturan undang-undang tersebut hanya dalam cakupan domestic, yaitu mereka yang memiliki hubungan kekeluargaan atau berada dalam suatu domisili yang sama, sehingga tidak dapat diberlakukan kepada korban perempuan pada umumnya yang tidak memenuhi kategori lingkup domestic tersebut. Karenanya, agak sukar untuk mengatakan bahwa secara umum, kekerasan psikis, ekonomi, dan seksual sudah mendapatkan pengaturan didalam hukum pidana Indonesia.

Kekerasan terhadap perempuan, lebih spesifik lagi sering dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender. Hal itu disebabkan kekerasan terhadap perempuan seringkali diakibatkan adanya ketimpangan gender karena adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang. Hal ini antara lain dapat terefleksikan dari kekerasan dalam rumah tangga yang lebih sering dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan lebih kepada korban yang lebih lemah.(Komnas Perempuan, 2005) Kekerasan berbasis gender memberikan penekanan khusus pada akar

(7)

24

permasalahan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, yaitu bahwa diantara pelaku dan korbannya terdapat relasi gender dimana dalam posisi dan perannya tersebut pelaku mengndalikan dan korban adalah orang yang dikendalikan melalui tindakan kekerasan tersebut.(Komnas Perempuan, 2006) Rekomendasi umum dari Konvensi Perempuan Nomor 19 memberikan penekanan untuk pentingnya menghapuskan kekerasan berbasis gender tersebut dengan menyebutkan:

“…bahwa kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kekbebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki.”

Rekomendasi tersebut juga secara resmi memperluas larangan atas diskriminasi berdasarkan gender dan merumuskan tindak kekerasan berbasis gender sebagai:

“Tindak kekerasan yang secara langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis kelamin perempuan, atau mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional. Termasuk didalamnya tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual, ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, pemaksaan dan bentuk-bentuk perampasan kebebasan lainnya.”

Ada beberapa penyebab yang menjadi asumsi terjadinya kekerasan terhadap perempuan:

1. Adanya persepsi tentang sesuatu dalam benak pelaku, bahkan seringkali yang mendasari tindak kekerasan ini bukan sesuatu yang dihadapi secara nyata. Hal ini dibuktikan dengan realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa pelaku telah melakukan tindakan kekerasan tersebut tanpa suatu alas an yang mendasr. Alasan yang disampaikan pelaku hamper selalu hanya didasarkan bahwa dirinya atau permainan baying-bayang pikirannya saja, bahkan tidak jarang dia justru mengingkari telah berbuat jahat dan tidak terhormat. Lebih lagi jika pelaku menganggap tindakannya tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan mesum atau perkosaan misalnya. Sehingga ketika di hadapan jaksa dia menolak tuduhan bahwa dia telah melakukan perkosaan.

2. Hukum yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempaun masih bias gender. Seringkali hukum tidak berpihak kepada perempuan yang menjadi

(8)

25

korban kekerasan. Ketidakberpihakan tersebut tidak saja berkaitan dengan substansi hukum yang kurang memperhatikan kepentingan perempuan atau si korban, bahkan justru belum adanya substansi hukum yang mengatur nasib bagi korban kekerasan, yang umumnya dialami perempuan.”(Zaitunah Subhan, 2004: 14)

Kekerasan berbasis gender seperti seruan dari Rekomendasi Umum CEDAW merupakan pelanggaran HAM, karenyanya kekerasan berbasis gender yang dilakukan terhadap korbannya terutama perempuan harus mendapatkan perhatian khusus dari hukum untuk efektivitas pemidanaannya. Pemidanaan terhadap pelakunya tidak hanya ditujukan untuk timbulnya rasa jera kepada pelaku dan peringatan kepada pelaku lainnya, namun lebih kepada memulihkan perasaan keadilan pihak yang lemah teraniaya oleh pihak yang lebih kuat demi adanya jaminan atas HAM para korbannya.

Charlotte Bunch menyatakan, isu perempuan tidak bisa lagi dianggap sebagai isu marjinal. Isu pinggiran yang tidak penting. Ia harus digeser ke tengah. Artinya, isu perempuan secara konkret harus menjadi focus perhatian Negara di tingkat nasional, regional, dan internasional. Isu perempuan harus dianggap sebagai masalah Negara dan bangsa, bukan masalah perempuan saja. Ia mengusulkan untuk mempertanyakan konsep-konsep dasar dan aturan serta hukum yang berlaku. Tujuannya agar kondisi kehidupan anak perempuan dan perempuan dewasa bisa ditingkatkan. Lewat cara itu, masalah pembangunan dan hak perempuan dapat dipandang sebagai kesatuan sehingga dengan sendirinya dapat menjawab kebutuhan perempuan. (Saparinah Sadli, 2010: 246)

Pelayanan kepada korban, John Dussich3, Direktur Tokiwa International

Victimology Institute (TIVI) di Mito – Jepang dan mantan Presiden dari World Society of Victimology (WSV) menyebutkan bahwa pelayanan korban (victim

services) mencakup :

Victim services are those activities which are applied in response to victimizations with the intention of relieving suffering and facilitating recovery. This includes providing information, making assessments, conducting individual

interventions, engaging in social advocacy, proposing public policy and working

3 John Dussich, Concepts and Forms of Victim Services, makalah yang dipresentasikan

pada 11th Asian Postgraduate Course on Victimology and Victim Assistance, Kampus Fakultas Hukum

(9)

26

in program development.(pelayanan korban adalah aktifitas-aktifitas yang

dilakukan dalam rangka respon terhadap viktimisasi dengan maksud untuk mengurangi penderitaan dan memfasilitasi pemulihan korban. Termasuk dalam aktifitas pelayanan korban adalah memberikan informasi, melakukan tindakan/ pemeriksaan, melakukan intervensi individual, terlibat dalam advokasi sosial, mengajukan kebijakan publik dan bekerja di dalam program-program pengembangan perlindungan untuk korban).

Program memberikan informasi kepada korbanadalah dalam rangka mengakomodasi hak-hak para korban akan informasi. Kebutuhan semua korban dimanapun hampir sama, yaitu mereka ingin mendapatkan informasi ringkas tentang apa yang terjadi kepada mereka, apa yang akan terjadi kemudian, dan peran apa yang mereka dapat lakukan selanjutnya. Termasuk dalam hal ini adalah informasi-informasi mendasar tentang dimana tempat-tempat untuk mendapatkan pelayanan, berapa nomor teleponnya, jam kerja pelayanan masing-masing lembaga pelayanan, dimana mendapatkan tempat perlindungan sementara (shelter), makanan, pakaian, dan konseling. Semua ini dapat dilakukan melalui brosur, informasi di situs internet, radio, TV, pengumuman di Koran, majalah ataupun penyediaan nomor telepon hotline services.

Program melakukan pemeriksaan (making assessment)4 dilakukan dengan pemikiran bahwa semua jenis intervensi kepada korban, apakah dalam bentuk konseling sederhana maupun psikoterapis yang sifatnya kompleks amat memerlukan suatu pemeriksaan yang lengkap sebelum memberikan pelayanan. Ini adalah suatu bentuk evaluasi psiko-sosial komprehensif terhadap para korban sesegera setelah viktimisasi terjadi. Tujuan utama dari pemeriksaan ini adalah untuk menentukan sejauh mana tingkat penderitaan yang dialami korban dan mengajukan usulan perawatan dan pemulihan korban yang relevan secepatnya.

Program intervensi invidual (individual intervention)5 adalah untuk menggunakan metode klinis dalam berinteraksi dengan para korban dengan tujuan untuk mengurangi kesakitan dan penderitaan dan untuk mengembalikan mereka

4 Ibid. 5 Ibid.

(10)

27

sedapat mungkin ke kondisi normalnya (pemulihan). Maka, pemulihan atau recovery adalah produk akhir dari semua jenis intervensi.

Program advokasi sosial (social advocacy)6 terdiri atas dua wilayah yaitu advokasi kasus (case advocacy) dan advokasi sistem (system advocacy). Advokasi kasus adalah menempatkan diri pada posisi korban untuk menjamin hadirnya pelayanan-pelayanan yang memang dibutuhkan oleh para korban. Sementara Advokasi sistem adalah mewakili dan membela para korban secara umum sebagai suatu kelas, guna meningkatkan kesadaran terhadap penderitaan para korban, guna menjamin bahwa korban mendapatkan akses terhadap pelayanan-pelayanan yang dibutuhkannya, juga untuk mengajukan kebijakan/ hukum baru yang relevan dan penting untuk para korban.

Program pengajuan kebijakan publik yang pro hak-hak korban ini amat penting. Pada semua tingkat pemerintahan adalah amat penting untuk memiliki kebijakan tertulis dan hukum yang mengatur bagaimana seharusnya korban diperlakukan. Kebijakan ini harus terintegrasi antara hukum pidana, hukum perdata dan hukum administratif. Kebijakan ini juga bisa dalam bentuk memperbaharui atau merevisi UU yang sudah ada namun dirasakan sudah tidak relevan lagi. Inisiatif untuk mengajukan maupun mengkritisi kebijakan yang melindungi hak-hak korban bisa datang baik dari negara maupun dari masyarakat.7

Keseluruhan program tersebut merupakan program yang akan dilakukan LPSK, beserta Pemerintah daerah.

Didalam rangka pengaturan hukum pidana terhadap Korban kejahatan8, secara mendasar dikenal 2 model, yaitu:

1. Model hak-hak prosedural (the procedural rights model).

Model ini memberikan hak pada korban kejahatan untuk mengadakan tuntutan pidana, atau untuk membantu jaksa atau hak untuk dihadirkan dan didengar disetiap tingkatan siding pengadilan yang kepentingannya terkait. Termasuk 6 Ibid.

7 Ibid.

8 Muladi dan Barda Nawawi A. Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung ;Alumni, 1992). Hal.

(11)

28

hak untuk minta konsultasi dengan lembaga pemasyarakatan sebelum diberikn pelepasan bersyarat, dan pada akhirnya hak untuk perdamaian dan mengajukan perkara perdata. Keuntunganan dari model ini adalah danggap dapat memenuhi perasaan untuk membalas si korban maupun masyarakat. Kelemahan model ini, yaitu dapat menciptakan konflik antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Partisipasikorban dalam administrasi peradilan pidana adalah untuk kepentingan pribadi, padahal system peradilan pidana menempatkan kepentingan umum diatas segal-galanya.

2. Model Pelayanan (The services model).

Pendekatan model ini, melihat korban kajiban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hokum yang lain.Keuntungan model ini adalah: korban merasa dijamin kepentingannya dalam suasana tertib social yang adil. Suasana tertib, tekendali, dan saling mempercayai dapat diciptakan kembali. Kelemahan model ini adalah: kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada polisi, jaks dan pengadilan untuk selalu melakukan tindakan tindakan tertentu pada korban, dianggap akan membebani aparat penegak hukum, karena semuanya didasarkan atas sarana dan prasarana yang sama.

VI. PEMBAHASAN

A. Pemberian Perlindungan Hukum Kepada Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam UU No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 Tentang Pemulihan Korban KDRT dan UU No 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU No 13 Tahun 2006 Perlindungan Saksi Dan Korban (Berlaku Di Semarang, Yogyakarta dan Surabaya)

UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Pemulihan korban KDRT dan UU No 31 Tahun 2014 tentang perubahan UU No 13 Tahun 2006 Perlindungan saksi dan korban, merupakan peraturan yang menekankan perlindungan hukum kepada korban tindak pidana KDRT.

Pemerintah dan pemerintah daerah harus menjamin perlindungan hukum terhadap korban KDRT.

(12)

29

Korban KDRT diberikan, kepada korban diberikan perlindungan, yaitu segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. perlindungan sementara, yaitu perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Setelah adanya putusan pengadilan.

Korban berhak mendapatkan: 1). perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

2). pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; 3). penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; 4). pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 5). pelayanan bimbingan rohani; 6). memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; 7). ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;8). memberikan keterangan tanpa tekanan;9). mendapat penerjemah;10). bebas dari pertanyaan yang menjerat;11). mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;12). mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;13). mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;14). dirahasiakan identitasnya;15). mendapat identitas baru;16). mendapat tempat kediaman sementara;17). mendapat tempat kediaman baru;18). memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; 19). memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; 20). bantuan medis dan bantuan rehabilitas dan psikologi.

Hak-hak yang diberikan dengan Negara kepada korban KDRT yang memintakan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), adalah dari item no 6 sd 20.

(13)

30

Selain itu korban yang mendapatkan perlindungan dari LPSK, berhak atas restitusi berupa: ganti rugi atas kehilangan kekayaan / penghasilan; ganti rugi akibat penderitaan yang berkaitan langsung dengan tindak pidana; penggantian biaya perawatan medis dan / psikologis. Diajukan sebelum atau sesudah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Jika korban meninggal dunia, maka restitusi diberikam kepada diberikan kepada ahli warisnya.

Pelayanan diberikan kepada pelaku dan anggota keluarganya. Sejalan dengan pemeriksaan korban sebagai saksi KDRT, dilakukan juga pemulihan, yaitu segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya, baik secara fisik maupun psikis. Meliputi pelayanan kesehatan, pengobatan, pendampingan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, konseling, pembimbingan rohani dan resosialisasi korban.

Konseling, terapi psikologis, advokasi, dan bimbingan rohani, guna penguatan diri korban kekerasan dalam rumah tangga untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Petugas yang menyelenggarakan pemulihan adalah tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani. Dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan Pemda, lembaga sosial, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan. Fasilitas meliputi: ruang pelayanan khusus dikepolisian; tenaga ahli dan professional; pusat pelayanan & rumah aman; sarana dan prasarana yang diperlukan.

Sarana pelayanan kesehatan diberikan dengan rujukan pemerintah, Pemda, masyarakat maupun swasta. Pelayanan kesehatan korban dilakukan dengan upaya: anamnesis; pemeriksaan; pengobatan; pemulihan; konseling; merujuk ke sarana kesehatan yang diperlukan. Pada kasus tertentu dilakukan pelayanan keluarga berencana darurat untuk korban perkosaan; pelayanan kesehatan reproduksi lainnya sesuai dengan kebutuhan medis.

Pelayanan korban dilakukan di rumah aman, pusat pelayanan atau tempat tinggal alternatif milik pemerintah, Pemda, masyarakat. Dengan persetujuan korban.Pekerja sosial dapat memberikan Pelayanan kepada korban dilakukan di rumah aman, pusat pelayanan atau tempat tinggal alternatif milik pemerintah, Pemda, masyarakat. Dengan persetujuan korban.Menteri sosial dapat menentukan sarana tersebut.

(14)

31

Pemulihan korban dilakukan oleh pekerja sosial dengan upaya: menggali permasalahan; memulihkan korban dari kondisi traumatid melalui terapi psikososial; merujuk rumah sakit / rumah aman / pusat pelayanan / tempat alternative sesuai kebutuhan korban; mendampingi korban, mengkonseling; resosialisasi.

Pelayanan pemulihan kepada korban, relawan pendamping melakukan upaya: membangun hubungan yang setara dengan korban; berempati dan tidak menyalahkan korban; meyakinkan korban bahwa tidak seorang pun boleh melakukan tindakan kekerasan; menanyakan apa yang ingin dilakukan dan bantuan apa yang diperlukan; memberikan informasi dan menghubungkan dengan lembaga atau perorangan yang dapat membantu mengatasi persoalannya; dan/atau membantu memberikan informasi tentang layanan konsultasi hukum.

Pelayanan pemulihan kepada korban, pembimbing rohani dilakukan dengan upaya: menggali informasi dan mendengarkan keluh kesah korban; mempertebal iman dan ketakwaan korban dengan ibadah agama; menyarankan pemecahan masalah melalui agama yang dianut korban; memberikan pemahanan tentang kesetaraan gender.

Kerja sama antara para pihak yang terlibat dalam pemulihan korban KDRT yaitu: tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani, kepolisian, advokat, penegak hukum lainnya, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pihak tertentu yang diinginkan demi kepentingan korban.

B. Pemberian Perlindungan Hukum Kepada Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Peraturan Daerah Kota Semarang No 5 Tahun 2016 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Dari Tindak Kekerasan

Dibentuk Pelayanan Pusat Terpadu SERUNI sebagai wadah pelayanan bagi perempuan dan anak, dalam upaya pemenuhan informasi dan kebutuhan di bidang keterampilan, kesehatan, ekonomi, politik, hukum, perlindungan dan penanggulangan tindak kekerasan serta perdagangan perempuan dan anak.

(15)

32

Pelayanan Pusat Terpadu SERUNI dibentuk untuk melaksanakan tugas Pemerintah Daerah dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dengan mengintegrasikan strategi pengarusutamaan gender dalam berbagai kegiatan pelayanan terpadu bagi peningkatan kondisi, peran dan perlindungan perempuan serta memberikan kesejahteraan dan perlindungan anak.

Tujuan dibentuknya Pelayanan Pusat Terpadu SERUNI yaitu untuk memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan terpadu dalam rangka pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang rentan terhadap tindak kekerasan.

Sasaran dibentuknya Pelayanan Pusat Terpadu SERUNI yaitu: a. terlayaninya perlindungan perempuan dan anak dari diskriminasi dan tindak kekerasan; b. terlayaninya perempuan dan anak dalam upaya pemenuhan informasi dan kebutuhan di bidang keterampilan, kesehatan, ekonomi, politik dan hukum; c. terfasilitasinya pelayanan perlindungan perempuan dan anak; d. tersedianya data dan informasi tentang pemberd ayaan dan perlindungan perempuan dan anak; e. terlaksananya penanganan dalam upaya perlindungan perempuan dan anak; dan f. terbangunnya jejaring, kerjasama dan kemitraan antara masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan dunia usaha dalam pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

Pelayanan Pusat Terpadu SERUNI dibentuk Pemda, bertanggung jawab kepada Gubernur Jawa Tengah, dan memiliki anggaran keuangan tersendiri.

Tugas pokok Pelayanan Pusat Terpadu SERUNI: menyelenggarakan pelayanan secara cepat, tepat dan terpadu dalam upaya pemberdayaan perempuan serta perlindungan anak dari tindak kekerasan, diskriminasi dan perdagangan orang.

Tugas Pelayanan Pusat Terpadu SERUNI: melaksanakan fasiltas dan pelayanan perlindungan perempuan dan anak korban diskriminasi dan tindak kekerasan, termasuk perdagangan orang yang sifatnya darurat, termasuk informasi, rujukan medis, psikologis, psikis,rumah aman; koordinasi dengan instansi lainnya; mendorong Kabupaten/Kota untuk membentuk dan/atau memperkuat tugas dan fungsi Pelayanan Pusat Terpadu SERUNI; Pemantauan terhadap korban pasca penanganan Pelayanan Pusat Terpadu SERUNI. dan/atau mitra kerja.

(16)

33 C. Pemberian Perlindungan Hukum Kepada Korban KDRT Dalam

Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan No 2 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Perempuan (Berlaku Di Semarang, Yogyakarta dan Surabaya)

Gubernur, Bupati, dan Walikota berkewajiban mengintegrasikan kebijakan, program, dan kegiatan perlindungan perempuan ke dalam perencanaan pembangunan daerah.

Program dan kegiatan perlindungan perempuan, melakukan upaya: koordinasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan perlindungan perempuan antar SKPD di wilayahnya; b. kerjasama dengan kabupaten/kota lain dalam satu provinsi, dan dengan kabupaten/kota di provinsi lain, dalam pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan perlindungan perempuan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. penguatan kapasitas kelembagaan PUG untuk pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan perlindungan perempuan; d. fasilitasi pelayanan perlindungan perempuan; e. penyediaan pelayanan perlindungan perempuan; f. pelaksanaan aksi afirmasi perlindungan perempuan; dan g. penyusunan sistem pendataan perlindungan perempuan, termasuk sistem pendataan kekerasan terhadap perempuan.

D. Pemberian Perlindungan Hukum kepada Korban KDRT Dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No.6 Tahun 2015 tentang Tentang Sistem Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak (Berlaku di Semarang, Yogyakarta dan Surabaya)

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak adalah keseluruhan proses penyelenggaraan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang dilakukan secara komprehensif, inklusif dan, integratif mulai dari tahap pelayanan penanganan laporan/pengaduan, pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan dan bantuan hukum, sampai dengan pemulangan dan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban kejahatan dan kekerasan ke lingkungan sosialnya.

Upaya kuratif: a. mengoptimalkan unit layanan teknis terkait pengaduan kekerasan terhadap perempuan dan anak; b. menyediakan sarana dan prasarana

(17)

34

yang memadai untuk penanganan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum; dan c. melakukan penanganan bagi korban kejahatan dan kekerasan secara cepat, tepat, dan akurat oleh aparat penegak hukum.

Upaya rehabilitatif: a. menyediakan tenaga pendamping bagi korban kejahatan dan kekerasan, yang meliputi antara lain tenaga psikolog, psikiater, rohaniwan/pendamping spiritual, pengacara, tenaga medis; b. memperkuat jejaring kerja dan koordinasi dalam proses reintegrasi serta pemulangan korban kepada keluarga dan/atau lingkungan sosialnya.

P2TP2A adalah salah satu bentuk unit pelayanan terpadu, yang berfungsi sebagai: 1). pusat informasi bagi perempuan dan anak; 2). pusat pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan; dan 3). pusat pemberdayaan bagi perempuan dan anak. 2TP2A berkedudukan di provinsi, kabupaten, kota, dan kecamatan.

Masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan kelompok profesi lainnya dapat berperan serta dalam penyelenggaraan sistem pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

E. Pemberian Perlindungan Hukum kepada Korban KDRT Dalam Peraturan Daerah Kota Semarang No 5 Tahun 2016 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Dari Tindak Kekerasan

Perlindungan kepada perempuan dan anak dari tindak kekerasan adalah kewajiban Pemerintah Daerah dalam konteks otonomi daerah, yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 236 ayat (1), Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang PemerintahanDaerah.

Atas dasar itu, Pemerintah Daerah Kota Semarang telah melakukanlangkah-langkah sebagai upaya untuk memberikan perlindungan kepadaperempuan dan anak, namun belum mampu memberikan perlindungan yang maksimal dan memadai terhadap tindakkekerasan yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat khususnyakepada perempuan dan anak, antara lain disebabkan masih rendahnyapemahaman masyarakat terhadap hak-hak perempuan dan anak,penanganan belum terkoordinasi dengan baik, pelaksanaannya belumberkesinambungan, dan sebagainya. Oleh karena itu,

(18)

35

diperlukan suaturegulasi berupa Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak untuk menjawab sekaligus memberikan kepastian hukum dalam perlindungan perempuandan anak korban dari tindak kekerasan yang terjadi.

Adanya Peraturan Daerah tentang PerlindunganPerempuan dan Anak, memberikan tanggung jawabkepada Pemerintah Daerah mulai dari pencegahan terjadi tindakkekerasan hingga penanganan korban tindak kekerasan. Dalamimplementasinya Pemerintah Daerah bekerjasama dengan instansipemerintah, pemerintah daerah lain dan masyarakat. Selain itu,dukungan pendanaan yang memadai baik dari pemerintah, PemerintahDaerah maupun peran serta masyarakat dunia usaha dan masyarakat,diharapkan kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat berkurangbahkan pada waktunya akan terhapus dari Kota Semarang.

Dalam upaya Pencegahan Tindak Kekerasan, Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan dan penyadaran kepada keluarga, orangtua, dan masyarakat dengan memberikan informasi, bimbingan dan/atau penyuluhan, dilaksanakan dengan cara :

1. memberikan materi tentang pencegahan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam pendidikan baik formal maupun informal; 2. pembukaan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan, pelatihan,

pendanaan, peningkatan pendapatan dan pelayanan sosial sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

3. pembukaan lapangan kerja bagi perempuan;

4. membangun partisipasi dan kepedulian masyarakat terhadap pencegahan perlindungan perempuan dan anak dari tindak kekerasan;

5. membangun dan menyediakan sistem informasi yang lengkap dan mudah di akses;

6. membangun jejaring dan kerjasama dengan aparatur penegak hukum, aparatur pemerintah, lembaga pendidikan,dan berbagai lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dan/atau peduli terhadap perempuan dan anak; dan

(19)

36

7. membuka sistem pelayanan terpadu bagi perlindungan perempuan dan anak dari tindak kekerasan di setiap kelurahan.

Pencegahan terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang tugas dan fungsinya di bidang: 1. sosial;

2. kesehatan; 3. pendidikan; 4. ketenagakerjaan;

5. kependudukan dan pencatatan sipil: 6. hukum;

7. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; 8. koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah; 9. mental dan spiritual; dan

10. ketenteraman dan ketertiban.

Perlindungan hukum yang diberikan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga meliputi :

1. Memberi perlindungan dirumah aman (shelter); 2. Memberikan informasi hukum kepada korban;

3. Melakukan pendampingan untuk korban sebagai saksi mulai dari proses penyidikan hingga putusan;

4. Memberikan perlindungan hukum secara khusus bagi anak korban tindak kekerasan dapat dilakukan dengan penunjukkan perwalian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pemulihan meliputi :

1. Memberikan pemulihan fisik di lembaga pelayanan kesehatan; 2. Memberikan pelayanan medicolegal;

(20)

37

4. Memberikan perlindungan sementara di rumah aman (shelter); 5. Memberikan pemulihan dan pendampingan psikososial; 6. Memberikan pelayanan bimbingan rohani;

7. Melakukan penyiapan lingkungan keluarga, sekolah, kerja dan masyarakat, serta pemberdayaan ekonomi.

F. Pemberian Perlindungan Hukum kepada Korban KDRT Dalam Peraturan Daerah Prop. Daerah Istimewa Yogyakarta No 3 tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan

Upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak dilakukan secara terpadu oleh Pemerintah Daerah yang dikoordinasikan oleh instansi yang mempunyai tugas pokok dan fungsi koordinasi di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Upaya pencegahan dilaksanakan dengan cara:

1. membentuk jaringan kerja dalam upaya pencegahan kekerasan; 2. melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi pencegahan kekerasan

berdasarkan pola kemitraan;

3. membentuk sistem pencegahan kekerasan;

4. melakukan sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan; dan 5. memberikan pendidikan kritis tentang hak-hak perempuan dan anak bagi

masyarakat.

Disamping upaya pencegahan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah upaya pencegahan juga harus dilakukan oleh:

1. keluarga dan/atau kerabat terdekat; 2. masyarakat; dan

(21)

38

Penyelenggaraan pelayanan terhadap korban dilakukan secara terpadu oleh PPT yang dapat menerima dan mengirim rujukan kasus dari atau kepada unit pelayanan lainnya secara berjejaring. Penyelenggaraan pelayanan terhadap korban dilaksanakan dengan:

1. cepat;

2. aman dan nyaman; 3. rasa empati; 4. non diskriminasi; 5. mudah dijangkau;

6. tidak dikenakan biaya; dan 7. dijamin kerahasiaannya.

Bentuk pelayanan terhadap korban meliputi: 1. pelayanan pengaduan, konsultasi, dan konseling; 2. pelayanan pendampingan;

3. pelayanan kesehatan;

4. pelayanan rehabilitasi sosial; 5. pelayanan hukum; dan

6. pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial.

Pelayanan pengaduan, konsultasi, dan konseling meliputi: 1. identifikasi atau pencatatan awal korban; dan

2. persetujuan dilakukan tindakan (informed consent). Pelayanan pendampingan meliputi:

1. mendampingi korban selama proses pemeriksaan dan pemulihan kesehatan; 2. mendampingi korban selama proses medicolegal;

3. mendampingi korban selama proses pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan;

4. memantau kepentingan dan hak-hak korban dalam proses pemeriksaan di Kepolisan, Kejaksaan dan Pengadilan;

5. menjaga privasi dan kerahasiaan korban dari semua pihak yang tidak berkepentingan, termasuk pemberitaan oleh media massa;

6. melakukan koordinasi dengan pendamping yang lain; dan

(22)

39

Pelayanan kesehatan meliputi: 1. pertolongan pertama kepada korban;

2. perawatan dan pemulihan luka-luka fisik yang bertujuan untuk pemulihan kondisi fisik korban yang dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis; dan 3. rujukan ke layanan kesehatan.

Pelayanan rehabilitasi sosial merupakan pelayanan yang diberikan oleh pendamping dalam rangka memulihkan kondisi traumatis korban, termasuk penyediaan rumah aman untuk melindungi korban dari berbagai ancaman dan intimidasi bagi korban dan memberikan dukungan secara sosial sehingga korban mempunyai rasa percaya diri, kekuatan, dan kemandirian dalam menyelesaikan masalahnya, dengan cara:

1. memberikan bimbingan kerohanian kepada korban; dan 2. pemulihan kejiwaan korban.

Pelayanan hukum untuk membantu korban dalam menjalani proses peradilan dengan cara:

1. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;

2. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan yang dialaminya;

3. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan

pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

Pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial bertujuan untuk mengembalikan korban kepada keluarga dan lingkungan social. Pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial dilakukan oleh Pemerintah Daerah berkoordinasi dengan:

1. Pemerintah Kabupaten/Kota dalam satu wilayah Provinsi; dan

2. instansi dan lembaga terkait baik pemerintah maupun non pemerintah. Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan meliputi:

1. pelatihan kerja;

2. usaha ekonomis produktif dan kelompok usaha bersama; dan 3. bantuan permodalan.

(23)

40

Pelatihan kerja meliputi: 1. pelatihan keterampilan; 2. praktek kerja lapangan; dan 3. pemagangan.

Usaha ekonomis produktif dan kelompok usaha bersama meliputi: 1. pelatihan keterampilan wirausaha;

2. fasilitasi pembentukan kelompok usaha bersama; dan 3. pendampingan pelaksanaan usaha.

Bantuan permodalan meliputi

1. bantuan sarana dan prasarana kerja; dan 2. fasilitasi bantuan modal kerja.

Pemerintah Daerah, PPT, dan masyarakat berkewajiban melakukan pemenuhan hak-hak anak korban kekerasan meliputi pemenuhan hak-hak dasar anak sesuai dengan kebutuhannya.

G. Pemberian Perlindungan Hukum kepada Korban KDRT Dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 16 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

Penyelenggaraan pelayanan terhadap korban dilakukan dengan tidak dipungut biaya, cepat, aman, empati, tidak diskriminasi, mudah dijangkau dan adanya jaminan kerahasiaan. Penyelenggara atau Pengelola PPT atau Rumah Aman dilarang memungut biaya apapun terhadap korban kekerasan.

Pemerintah Daerah Provinsi bertanggungjawab untuk melaksanakan upaya pencegahan terjadinya kekerasan dan perlindungan korban kekerasan. Pencegahan terjadinya kekerasan dalam bentuk: a.mengumpulkan data dan informasi tentang perempuan dan anak serta peraturan perundang-undangan yang terkait; b.melakukan pendidikan nilai-nilai anti kekerasan; dan c.melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pencegahan danperlindungan korban kekerasan.

Perlindungan korban kekerasan dalam bentuk: a. mendirikan dan memfasilitasi terselenggarakannya lembaga layanan terpadu untuk korban dengan melibatkan unsur masyarakat; b. memfasilitasi pendampingan, bantuan hukum dan pelayanan hukum sesuai kebutuhan korban; c.

(24)

41

menyediakan tempat tinggal baik rumah aman maupun tempat tinggal alternatif beserta mekanisme penanganan, pelayanan, psikososial dan spiritual; d. melakukan penanganan berkelanjutan sampai pada tahap rehabilitasi dan reintegrasi sosial; e. melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan perlindungan korban kekerasan; dan f. mendorong kepedulian masyarakat akan pentingnya perlindungan terhadap korban kekerasan. Dalam rangka melaksanakan tanggungjawab Pemerintah Daerah Provinsi menetapkan program dan kegiatan aksi perlindungan terhadap perempuan dan anak dalam satu Rencana Aksi Daerah Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

Pengawasan penyelenggaraan perlindungan korban kekerasan dilakukan oleh BPPKB. Dalam melakukan pengawasan BPPKB berwenang: a.menempatkan korban kekerasan di rumah aman; b.memanggil dan menghadirkan keluarga korban kekerasan untuk didengarkan keterangannya; dan c.memerintahkan PPT untuk memberikan perlindungan terhadap seseorang yang menjadi korban kekerasan. BPPKB wajib melaporkan secara berkala kepada Gubernur mengenai penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.

Sesuai dengan penjabaran diatas bahwa upaya menurunkan angka korban tindak kekerasan rumah tangga oleh PPTP2AKota Surabaya adalah melalui tugas pokok dan fungsi lembaga serta program-programnya yakni baik secara preventif maupun represif.

PPTP2A Kota Surabaya sesuai dengan SOP melaksanakan peran sebagai pelayan masyarakat khususnya yang pada konteks ini adalah perempuan dan anak korban dan anak rentan kekerasan dalam rumah tangga. Prinsip ini telah diinformasikan kepada seluruh staf PPTP2A Kota Surabaya melalui kegiatan capacity building lembaga.

PPTP2A Kota Surabaya masih menyatakan pengupayaan peningkatan kualitas pelayanan yang diberikan kepada korban dan keluarga korban. Namun terdapat beberapa catatan dari penerima layanan bahwa perlu adanya perbaikan-perbaikan kedepan mengenai follow uppendampingan kasus khususnya penjelasan status kondisi perkembangan terakhir korban. Hal ini

(25)

42

keluarga korban masih kesulitan untuk mendapatkan informasi tersebut terkendala banyaknya program

VII. PENUTUP A. Simpulan

KDRT merupakan tindak pidana yang melanggar hak asasi manusia, Kekerasan terhadap Perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi. Dengan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, antara lain: 1). kekerasan fisik; 2). kekerasan psikis; 3). kekerasan seksual; 4). penelantaran. Akibat dari bentuk-bentuk kekerasan tersebut, korban dapat mengalami luka fisik maupun psikis. Korban kebanyakan perempuan dan anak. Oleh karenanya Pemerintah mengatur mengenai perlindungan bagi korban KDRT dengan mewajibkan kepada Pemerintah daerah, pemerintah desa, masyarakat, orang tua/ wali dan keluarga.

Tujuan perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan adalah: 1). mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak; 2). menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak; 3). melindungi dan memberikan rasa aman bagi perempuan dan anak; 4). memberikan pelayanan kepada perempuan dan anak korban kekerasan; 5). melakukan rehabilitasi dan reintegrasi terhadap perempuan dan anak korban kekerasan; dan 6). melakukan pemberdayaan perempuan dan anak korban kekerasan; 7).mengurangi resiko; 8). menangani korban kekerasan; 9). eksploitasi.

Berdasarkan temuan penelitian, faktor-faktor yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum dalam kasus KDRT adalah sikap responsif aparat penegak hukum, alat bukti yang lengkap dan pendamping korban. Sikap responsif polisi sebagai aparat penegak hukum, ditunjukkan dengan dibentuknya Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) yang secara khusus menangani kasus-kasus kekerasan perempuan dan anak, yang sebagian besar merupakan korban KDRT. Dari hasil temuan penelitian masih terdapat

(26)

43

kendala lemahnya alat bukti, dalam proses hukum penegakan hokum dan kurangnya pendampingan korban KDRT. Minimnya saksi diambil langkah dengan saksi persesuaian, tidak ditemukannya perlukaan pada hasil visum et

repertum, lambatnya pelaporan korban ke polisi karena beranggapan aib, serta

belum adanya persamaan persepsi antar aparat penegak hukum mengenai pengertian kekerasan ekonomi, adanya campur tangan pihak ketiga serta tidak adanya keterbukaan dalam manajemen rumah tangga.

Pemberian perlindungan kepada korban KDRT di Semarang, Yogyakarta dan Surabaya adalah: memberikan: 1).layanan kesehatan; 2).layanan rehabilitasi sosial (pendampingan korban dilingkungan keluarga dan masyarakat, pemulihan kejiwaan korban; 3). Psikologis; 4). layanan rehabilitasi dan reintegrasi terhadap korban kekerasan; 5).pendampingan hukum;

Pemerintah daerah dan Pemerintah desa memiliki Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), yang merupakan pusat pelayanan yang terintegrasi dalam upaya pemberdayaan perempuan di berbagai bidang pembangunan, serta perlindungan perempuan dan anak dari berbagai jenis diskriminasi dan tindak kekerasan, termasuk perdagangan orang, yang dibentuk oleh Pemerintah atau berbasis masyarakat, yang meliputi: pusat rujukan, pusat konsultasi usaha, pusat konsultasi kesehatan reproduksi, pusat konsultasi hukum. Dimana susunan keanggotaan P2TP2A antara lain terdiri dari: 1). unsur Pemerintah Daerah; 2). akademisi; 3). ahli hukum; 4). psikolog; 5). psikiater; 6). tokoh agama; dan 7). unsur masyarakat. Tugas pokok dari P2TP2A adalah: 1). memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak; dan 2). meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak. Semua ini tertuang perlindungan korban dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Termasuk pemantauan dan evaluasi daripada pemberian perlindungan kepada korban KDRT.

B. Saran

Sehubungan dengan dampak dari tindak pidana Kekerasan dalam rumah tangga, maka sebaiknya dibuatkan peraturan pelaksana yang disesuaikan dengan keadaan dan kondisiyag terjadi di daerah tersebut dan mengikuti

(27)

44

perkembangan peraturan yang terbaru serta memperhatikan adanya RUU tentang Penghapusan KDRT.

Dibutuhkan peran aktif dan kordinasi yang baik antar lembaga penanganan korban kekerasan dalanm rumah tangga baik dalam bentuk kampanye, sosialisasi, pelatihan, atau bentuk lainnya sehingga tercapainya perlindungan hokum kepada korban KDRT serta guna mencegah timbulnya kekerasan dalam rumah tangga dengan mengikutsertakan peran masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Dikdik M Arief Mansur & Elisatris Gultom. Urgensi perlindungan korban

kejahatan antara norma dan realitas. (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2006).

John Dussich, Concepts and Forms of Victim Services, makalah yang dipresentasikan pada 11th Asian Postgraduate Course on Victimology and Victim Assistance, Kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok

18 – 29 Juli 2011.

Muladi dan Barda Nawawi A. Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung ;Alumni, 1992).

Undang Undang No UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,

Peraturan Pemerintah No 4 tahun 2006 tentang Pemulihan korban KDRT, UU No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan saksi dan korban,

Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan No 2 Tahun 2008 tentang pedoman pelaksanaan perlindungan perempuan

Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No.6 Tahun 2015 tentang Tentang Sistem Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak

Peraturan Daerah Kota Semarang No 5 Tahun 2016 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Dari Tindak Kekerasan

Peraturan Daerah Prop. Daerah Istimewa Yogyakarta No 3 tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 16 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

Referensi

Dokumen terkait

Jika ada politisi mengatakan , “a a tidak korupsi itu juga fakta erita da e pu ai nilai berita, entah yang dikatakan politisi itu benar atau salah. Yang jelas ada

Secara umum, teori agensi dan teori sinyal yang digunakan dalam penelitian ini berhasil membuktikan bahwa konflik keagenan akan berkurang jika corporate governance

Aspek terpenting untuk mengetahui dampak suatu komunikasi pemasaran adalah pemahaman terhadap proses respon ( response process ) dari penerima yang mungkin mengarah pada

Dari hasil laporan penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan hasil belajar mahasiswa PGSD Unipa Surabaya dengan model mnemonik pada materi peta, atlas dan

Kuesioner berupa pertanyaan untuk mengidentifikasi kualitas pelayanan kontrasepsi yang mengadopsi dari teori yang dikemukakan oleh Bruce dan kepuasan akseptor

4USBUFHJ LFQBMB TFLPMBI TBOHBU NFNQFOHBSVIJ LPNQFUFOTJ QSPGFTJPOBM HVSV ZBOH EJMBLVLBO EFOHBO QFNCJOBBO EBO NFNCFSJ LFTFNQBUBO LFQBEB HVSV

According to the result and discussion, some conclusion can be drawn with respect to the ob- jectives as following: 1) Nitrate concentration in the groundwater of the study area

Dari beberapa pilihan karir yang sesuai dengan program keahlian saya harus fokus merencanakan salah satu untuk saya tekuni