• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum

2.1.1 Kereta Api

Kereta api merupakan sarana transportasi berupa kendaraan dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di rel. Dengan demikian kereta api hanya dapat bergerak/berjalan pada lintasan/jaringan rel yang sesuai dengan peruntukannya, hal ini menjadi keunggulannya karena tidak terganggu dengan lalu lintas lainnya, tetapi dilain pihak menjadikan kereta api menjadi angkutan yang tidak fleksibel karena jaringannya terbatas. (Wikipedia)

Kereta api merupakan alat transportasi massal yang umumnya terdiri dari lokomotif (kendaraan dengan tenaga gerak yang berjalan sendiri) dan rangkaian kereta atau gerbong (dirangkaikan dengan kendaraan lainnya). Rangkaian kereta api atau gerbong tersebut berukuran relatif luas sehingga mampu memuat penumpang maupun barang dalam skala besar.

Kereta api merupakan angkutan yang efisien untuk jumlah penumpang yang tinggi sehingga sangat cocok untuk angkutan massal kereta api perkotaan pada koridor yang padat, tetapi juga digunakan untuk angkutan penumpang jarak menengah sampai dengan 3 atau 4 jam perjalanan ataupun untuk angkutan barang dalam jumlah yang besar dalam bentuk curah, seperti untuk angkutan batu bara. Karena sifatnya sebagai angkutan massal efektif, beberapa negara berusaha memanfaatkannya secara maksimal sebagai alat transportasi utama angkutan darat baik di dalam kota, antarkota, maupun antarnegara.

(2)

2.1.2 Kereta Api Komuter

Mass rapid transit adalah layanan transportasi umum dengan jangkauan lokal

yang tersedia bagi siapapun yang membayar ongkos yang telah ditentukan dan dirancang untuk memindahkan sejumlah besar penumpang dalam waktu bersamaan (Lloyd Wright and Karl Fjellstrom, 2003).

Salah satu bentuk dari mass rapid transit adalah Kereta Api (KA) Komuter, Menurut Vuchic (1981), istilah KA Komuter seharusnya berkaitan dengan pengoperasian kereta api hanya pada awal dan akhir hari kerja, dikhususkan untuk mengangkut konsumen yang hendak menuju ke dan atau meninggalkan pusat kota. Akan tetapi istilah tersebut juga umum dipergunakan bagi semua jenis angkutan kereta api yang tidak termasuk dalam kategori Metro/Heavy Rail Transit (Grava, 2002).

KA Komuter memiliki jalur terpisah dengan lalulintas jalan sehingga mampu menyediakan pelayanan lebih baik (waktu tempuh lebih cepat, dapat diandalkan, kapasitas angkut lebih besar) dibandingkan bus kota. Di Inggris pengurangan kemacetan lalulintas diklaim sebagai akibat dari keberhasilan KA Komuter menarik minat para pengguna kendaraan bermotor untuk beralih (Simpson, 1994).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kondisi atap/shelter adalah tersedianya fasilitas bagi para pengguna berupa tempat menunggu yang terlindung dari pengaruh cuaca, open space yang memadai, papan informasi, loket tiket, toilet. Selain itu perlu mempertimbangkan keleluasaan area sirkulasi dan tersedianya jarak yang aman antara kereta dengan arus penumpang karena pengguna KA Komuter cenderung terburu-buru (Grava dalam Rudy Setiawan, ST., Mt, 2005). Selain itu ketinggian peron dan jarak antara peron dengan lantai kereta berpengaruh terhadap kenyamanan pada saat naik atau turun dari kereta api.

(3)

2.1.3 Stasiun Kereta Api

Stasiun adalah salah satu penanda penting dalam kemajuan sebuah kota. Sampai sekarang pun, stasiun mempunyai peranan yang sangat penting dalam transportasi kota.

“Station”

Building, etc, where a services organized; stopping place for train; put something at a certain place (Oxford Learne’s Pocket Dictionary)

Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai stasiun yang berarti bangunan yang berfungsi sebagai tempat kereta api berhenti untuk sementara. (Kamus Inggris-Indonesia – Gramedia Jakarta)

Dapat ditarik kesimpulan bahwa Stasiun kereta api adalah suatu tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang menggunakan jasa transportasi kereta api. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 2011 tentang persyaratan teknis bangunan stasiun kereta api;

Pasal 3

(1) Stasiun kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, terdiri atas: a. emplasemen stasiun; dan

b. bangunan stasiun.

(2) Emplasemen stasiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), huruf a terdiri atas : a. jalan rel;

b. fasilitas pengoperasian kereta api; dan c. drainase.

(3) Bangunan stasiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), huruf b terdiri atas: a. gedung;

b. instalasi pendukung; dan c. peron.

(4)

Fasilitas stasiun kereta api

1. Pelataran parkir di muka stasiun

2. Tempat penjualan tiket, dan loket informasi 3. Peron dan ruang tunggu

4. Ruang kepala stasiun, dan

5. Ruang PPKA (Pengatur Perjalanan Kereta Api) beserta peralatannya, seperti sinyal, wesel (alat pemindah jalur), telepon, telegraf, dan lain sebagainya. Adapun salah satu bagian penting dari stasiun kereta api yang perlu diperhatikan dalam stasiun kebayoran ini, yaitu:

2.1.4 Peron Stasiun

Peron merupakan fasilitas yang dimiliki stasiun kereta api. Peron adalah bagian dari stasiun yang menyediakan akses ke atau dari kereta api. (Railway Group Standard, 2000). Keberadaan peron menjadi sangat penting karena memudahkan pengguna KA turun dan naik kereta api. Sekarang ada dua macam konstruksi lantai peron di Indonesia:

A. Peron lama atau Peron Rendah (Sebelum Perang Dunia II)

Kereta buatan sebelum tahun 1920 umumnya mempunyai tangga untuk turun ke bawah. Sedangkan kereta buatan sebelum tahun 1941 mempunyai tangga di dalam. Karena pada umumnya stasiun didirikan sebelum Perang Dunia II, maka lantai peron sama dengan lantai stasiun.

Akibatnya para penumpang akan sulit turun-naik dari peron lama yang rendah. Sedangkan kereta yang beroperasi kini pada umumnya dibuat setelah tahun 1965 yang berlantai dengan tangga yang tinggi. Pada peron yang lama, para penumpang dengan leluasa menyeberang dan melintas jalur rel, dan hal ini sangat berbahaya sekali bahwa para penumpang menjadi berbaur dengan kereta api. Salah satu yang memiliki jenis kontruksi lantai seperti adalah Stasiun KA Kebayoran.

(5)

Namun saat ini peron pada stasiun KA Kebayoran mengalami perubahan dengan ditambahnya tangga memanjang sepanjang peron untuk memudahkan pengguna KRL naik ataupun turun dari kereta.

B. Peron Baru atau Peron Tinggi (Setelah Proklamasi)

Sebagian dari peron lama kemudian dilakukan penyesuaian tinggi dengan kereta yang baru. Akibatnya terlihat ada dua ketinggian peron dewasa ini di stasiun besar, hal ini karena PT KAI ingin memberi pelayanan yang baik. Pada umumnya peron tinggi dimaksudkan untuk melayani para penumpang kelas Bisnis dan Eksekutif. Sebagai contoh, Stasiun Lempuyangan (Yogyakarta) atau Jebres (Solo) yang melayani kelas ekonomi tidak terdapat lantai tinggi.

Namun di stasiun Tugu (Yogyakarta atau Solo Balapan terlihat ada dua macam lantai yang tinggi (modikasi) dan lantai rendah (asli). Karena Stasiun Madiun misalnya melayani semua kelas, maka di sini terdapat 2 macam tinggi lantai peron. Pada stasiun antara Bogor dan Jakarta, yang umumnya dibangun belakang ini sudah mempunyai lantai peron tinggi. Salah satu yang memiliki jenis kontruksi lantai tinggi adalah Stasiun KA Tanah Abang. (Wikipedia)

Menurut PT.KAI pada persyaratan Teknis Bangunan Stasiun, peron sekurang-kurangnya dilengkapi dengan:

1. Lampu;

2. Papan petunjuk jalur; 3. Papan petunjuk arah; dan 4. Batas aman peron

Pada peraturan Menteri Perhubungan nomor 9 tahun 2011 disebutkan, bahwa sekurang-kurangnya stasiun juga dilengkapi dengan tempat duduk (ruang tunggu). Dalam hal ini stasiun yang terletak di daerah perkotaan, khususnya yang melayani kereta komuter perlu dibangun peron tinggi. Hal ini mengacu pada karakteristik penumpang kereta yang kebanyakan adalah pekerja yang memerlukan efektivitas dalam transportasi.

(6)

C. Standar Nasional dan Internasional Peron

Pendekatan adaptabilitas pengguna KRL pada peron dan fasilitasnya dilakukan dengan menggunakan beberapa standar tertentu dalam perancangan menurut kebutuhannya. Diantaranya standar internasional dan nasional. Penjelasannya sebagai berikut:

Standar

ketentuan Sumber Keterangan

Internasional

Railway Group Standard,

2000 (London) dan UK -Tinggi peron 915 mm (+0,-25mm)

-Shelter (atap peron) mampu mencegah terjadinya kebocoran di saat hujan turun

Nasional

PT. KAI Tinggi lantai terendah, minimum

0,5 m di atas batas permukaan tertinggi yang pernah tercatat dan minimum 0,3 m di atas permukaan jalan akses dan plasa stasiun

Tabel 2.1 Standar pada Peron

Tabel 2.2 Standar Fasilitas Peron Standar

Ketentuan Sumber Fasilitas

Internasional Railway Group Standard, 2000 (London) UK -Tempat duduk -Papan informasi -Penerangan -Tempat duduk -Tempat sampah -Tanaman

Nasional PT. KAI Dan Menhub -Tempat duduk -Lampu

-Papan petunjuk jalur dan Papan petunjuk arah

(7)

2.1.5 Jam Sibuk

Jam sibuk atau jam puncak adalah bagian hari ketika kemacetan lalu

lintas di jalanan dan kepadatan transportasi umum mencapai puncaknya. Secara normal, peristiwa seperti ini terjadi dua kali sehari pagi dan sore, saat-saat ketika sebagian besar orang bepergian ulang alik (Wikipedia). Istilah ini sangat luas namun sering mengarah pada lalu lintas mobil pribadi, bahkan ketika ada sejumlah mobil besar dan sedikit orang di jalanan atau ketika jumlah mobil normal namun terjadi gangguan kecepatan.

2.2 Tinjauan Khusus

2.2.1 Perilaku

Tingkah Laku adalah perbuatan – perbuatan manusia, baik yang terbuka (kasat mata) maupun tertutup (tidak kasat mata) (Sarwono, 1992). Perbuatan yang terbuka ini dinamakan juga sebagai overt behavior, yang meliputi segala tingkah laku yang bisa langsung ditangkap oleh indera seperti melempar, memukul, menyapu, mengemudi dan lain sebagainya. Sedangkan tingkah laku yang tidak kasat mata atau covert behavior adalah harus diselidiki dengan metode atau instrument khusus karena tidak bisa langsung ditangkap indera, misalnya motivasi, sikap, berfikir, beremosi dan minat.

Proses Muncul Perilaku

Menurut aliran Behaviorisme, Siwi (2000) mengatakan bahwa untuk mengetahui akan suatu pengaruh dapat digunakan Teori Stimulus – Response Dollard – Miller, yang secara sederhana menyebutkan empat komponen, yaitu :

a. Drives, adalah kebutuhan yang dapat di bagi dua yaitu primary drives (kebutuhan dasar) yang bersifat fisik ataupun material yang alamiah, dimana tanpa pemenuhan kebutuhan ini maka manusia terganggu, dan kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan sosial yang dipelajari ataupun yang dipunyai oleh seorang manusia.

(8)

b. Cue, adalah pilihan-pilihan dan target respon yang akan dilakukan oleh seseorang terhadap situasi tertentu. Kebutuhan menuntut manusia melakukan sesuatu untuk memenuhi ataupun tidak memenuhinya. Cue menentukan kapan, dimana, dan bagaimana respon dilakukan.

c. Response, adalah tanggapan seseorang manusia setelah hubungan antara cue – response terjadi. hal ini dimungkinkan karena cue adalah pilihan– pilihan dan target dari respon itu sendiri. Respon dalam hal ini juga bisa dilihat sebagai tindakan yang pada satu kondisi tertentu cenderung untuk melakukan tindakan tertentu dibandingkan tindakan yang lain.

d. Reinforcement, adalah perilaku yang berulang dari respon atas stimulus yang sama, atau melalui proses belajar sosial, stimulus tertentu akan menghasilkan perilaku tertentu pula bagi seseorang.

2.2.2 Model Sistem Perilaku Lingkungan dan Atribut

J.Weisman (1981) menggambarkan hubungan antara individu (termasuk kumpulan individu-individu yang membentuk kelompok atau kelompok) dan organisasi atau institusi dalam satu sistem interaksi yang mengikut sertakan ruang atau setting kegiatan. Kerangka interaksi tersebut disebut model sistem perilaku lingkungan. Ada tiga komponen yang dapat mempengaruhi interaksi antara manusia dengan lingkungannya, dintaranya yaitu:

1. Tempat (Setting); 2. Fenomena Perilaku;

3. Kelompok pemakai (Oganisasi individu). Organisasi dapat dipandang sebagai institusi atau pemilik yang mempunyai hubungan dengan setting. Kualitas hubungan antara setting dengan organisasi disebut atribut atau fenomena perilaku.

Individu juga dapat dipandang sebagai manusia yang menggunakan setting. Manusia, baik individu maupun kelompok-kelompok berinteraksi di dalam setting. Proses interaksi yang terjadi, tidak hanya antara manusia dengan manusia, tetapi juga antara manusia dengan lingkungan yang disebut dengan konsep antribut.

(9)

Ada 12 atribut yang muncul dari interaksi manusia dan lingkungan. Yaitu kenyamanan, sosialitas, visibilitas, aksesibilitas, adaptabilitas, rangsangan inderawi, control, aktivitas, kesesakan, privasi, makna, dan legibilitas (Weisman, 1981).

Gambar 2.1 Diagram Teori

(Sumber: Weisman dalam Muhammad Sholahuddin, 2007)

Setting fisik disebut lingkungan fisik. Menurut Edward T. Hall (1966) dan

Rapoport (1982), Setting fisik dapat dilihat dari dua hal, yaitu komponen dan property. Property adalah karakter atau kualitas dari komponen. Komponen terdiri dari beberapa kategori, diantaranya yaitu:

1. Faktor fixed-feature: merupakan elemen yang pada dasarnya tetap atau perubahannya tidak bisa dihilangkan. Kebanyakan elemen-elemen standar yang digunakan adalah dinding, plafon, shelter (atap), dsb

2. Semi fixed-feature: space: adalah elemen-elemen yang memiliki sifat bebas, merupakan ruang hasil dari perubahan seperti perabot rumah, tirai, dan perlengkapan lainnya.

3. Informal space-nonfixed: adalah elemen yang memiliki sifat bebas yang merupakan ruang hasil dari perubahan, hal ini sangat terikat dengan manusia sebagai pengguna suatu tempat, seperti posisi postur tubuh serta gerak anggota tubuh, pejalan kaki, pergerakan kendaraan, dsb.

(10)

4. Faktor lingkungan: penghawaan (panas/sejuk), pencahayaan (terang/gelap) dan noise (suara guru mengajar dan suara keras tiba-tiba) yang akan mempengaruhi perilaku adaptasi.

Dari pembahasan di atas, hal ini dilakukan untuk mengetahui apa saja yang mempengaruhi adaptabilitas pengguna KRL dan mengidentifikasi faktor-faktor setting ruang dan lingkungan apa saja yang mempengaruhinya. Maka variabel inilah yang akan menjadi variabel x (Independent) untuk setting peron.

2.2.3 Adaptabilitas

Adaptasi adalah kemampuan lingkungan untuk menampung perilaku berbeda yang belum ada sebelumnya. Hal ini dikemukakan oleh Rapoport (1987) bahwa pada

setting yang berbeda dan berusaha adaptasi dengan budayanya. Kapasitas

lingkungan dapat memberikan peluang atau sebaliknya, membatasi perilaku dari pengalaman sesuai dengan persepsi dan kebutuhan pemakainya. Manusia senantiasa melakukan perubahan pada dirinya atau lingkungannya, sebagai upaya untuk menyesuaikan kapasitas lingkungan menurut kebutuhannya.

(Bell et al. 1978; Berry dalam Altman, et. Al. 1980; Sarwono, 1992), manusia memiliki mekanisme adaptasi terhadap lingkungan yaitu:

1. Adaptation by adjustment: tindakan manusia untuk menolak atau melawan lingkungan melalui melakukan perubahan fisik terhadap lingkungan agar terjadi kesesuaian antara manusia dengan lingkungan.

2. Adaptation by reaction: tindakan manusia untuk menolak atau melawan lingkungan melalui merubah perilaku diri agar sesuai dengan lingkungan. 3. Adaptation by withdrawal: tindakan manusia untuk menghindari lingkungan

dan ketidakcocokan (ketidaksesuaian) antara manusia dengan lingkungannya melalui cara membiarkan lingkungan dan pindah ke lingkungan lain yang dianggap sesuai.

(11)

perubahan-pencapaian tujuan serta manfaat setting peron itu sendiri. Dari adaptasi seseorang yang berada pada setting peron tersebut, maka perlu dianalisa lebih lanjut tentang tingkat adaptasi pengguna KRL pada penggunaan fasilitas pada peron.

Adapun tambahan mengenai adaptabilitas dalam penelitian ini, yaitu Learned

helplessness. Menurut Abraham et. AL (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003) learned helplessness yaitu perasaan kurang mampu mengendalikan lingkungannya

yang membimbing pada sikap menyerah atau putus asa dan mengarahkan pada keputusan dari dalam diri yang kuat bahwa dia tidak memiliki kemampuan. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi learned helplessness adalah kondisi dimana suatu organisme tidak memiliki kekuatan untuk bertindak dan keluar dari situasi yang menyakitkan ditambah lagi dengan kecenderungan dirinya untuk membuat keputusan pada situasi tersebut sebagai sesuatu yang bersifat internal, permanen dan menyeluruh.

Pengguna suatu ruang, akan mendapat stimulus dari susunan benda (susunan property) dalam suatu setting melalui proses penginderaan untuk dimengerti dan dimaknai berdasarkan pengalaman masing-masing pengguna ruang. Hasil dari proses penginderaan adalah makna tentang property yang mampu berpengaruh sebagai stimulus bagi manusia pengguna ruang tersebut. Peristiwa/proses demikian dinamakan persepsi terhadap ruang oleh pengguna. Persepsi ini selanjutnya akan menghasilkan reaksi yang berwujud sikap terhadap lingkungannya.

Tahap awal hubungan manusia dengan lingkungan adalah berupa kontak fisik antara individu dengan objek (property) di lingkungannya melalui proses penginderaan. Objek (property) tampil dengan kemanfaatan/fungsinya masing-masing, sedangkan individu tampil dengan sifat individualnya.

Hasil interaksi antara manusia dengan property yang ada di dalam lingkungan fisik, menghasilkan persepsi terhadap objek tersebut. Jika persepsi terhadap property berada dalam batas optimal, maka dikatakan dalam keadaan

homeostatis, yaitu keadaan yang serba seimbang. Keadaan homeostatis berusaha

(12)

Sedangkan, apabila property dipersepsikan di luar batas optimal, maka akan memunculkan stress, sehingga manusia dalam keadaan yang demikian perlu melakukan “coping” untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sesuai dengan kondisi dirinya (Bell, 2001).

Gambar 2.2 Electic Model (Bell 2001) yang menjelaskan proses coping dan adaptasi

Hasil dari penyesuaian manusia dengan lingkungannya ada dua kemungkinan, yaitu: 1. Kegagalan dalam penyesuaian terhadap lingkungan akan menghasilkan stress yang berkelanjutan, yang akan mempengaruhi kondisi dan persepsi individu.

2. Keberhasilan dalam penyesuaian terhadap lingkungan akan menghasilkan adaptasi yaitu penyesuaian diri individu dengan lingkungan.

2.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah yang akan diteliti dan akan dibuktikan kebenarannya. Hipotesis merupakan hasil dari refleksi peneliti berdasarkan tinjauan pustaka dan teori-teori yang digunakan sebagai dasar argumentasi.

(13)

- tidak terdapat penaruh yang signifikan antara setting peron terhadap adaptabilitas pengguna KRL.

Ha : 0

- terdapat pengaruh yang signifikan antara antara setting peron terhadap adaptabilitas pengguna KRL.

Dari judul penelitian mengenai pengaruh setting peron terhadap adaptabilitas pengguna KRL, hipotesis yang akan digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan ada atau tidaknya pengaruh antara variabel independent terhadap variabel

dependent. Sedangkan hipotesis alternative (Ha) menunjukkan adanya pengaruh

antara variabel independen dengan variabel dependent. Oleh sebab itu peneliti mengajukan sebuah hipotesis penelitian yaitu sebagai berikut:

Ha : Terdapat pengaruh yang signifikan antara setting peron terhadap adaptabilitas pengguna KRL.

(14)

2.4 Studi Banding Penelitian

2.3.1 Studi Literatur topik sejenis

A. Pengaruh Setting Ruang dan Lingkungan Terhadap Perilaku Adaptasi Siswa Tunadaksa di SLB NI Bantul, Yogyakarta oleh Estar Putra Akbar B. Setting Ruang dan Pengaruhnya Terhadap Aksesibilitas para

Penyandang Cacat Tubuh di Pusat Rehabilitasi Yakkum Yogyakarta oleh Muhammad Sholahuddin

C. Diskusi

Pada kedua penelitian tersebut dilakukan dalam setting ruang yang berbeda namun sejenis karena sama-sama untuk mengetahui keberpengaruhan

setting ruang terhadap atribut yang dipilih (fenomena perilaku). Penelitian

yang dilakukan oleh Estar Putra Akbar menggunakan metode placed

centered mapping, person centered mapping, time budget, physical traces

dan wawancara temuan hasil penelitian. Faktor-faktor yang mempengaruhi

setting ruang dan lingkungan didapat dalam Edward T. Hall (1966) dan

Rapoport (1982) yaitu setting fisik dapat dilihat dari dua hal, yaitu komponen dan property. Property adalah karakter atau kualitas dari komponen. Komponen terdiri dari (1) Fixed-feature space (2) Semi-fix feature space (3) dan informal space (non-fix). Ketiga faktor tersebut dapat dilihat pengaruhnya terhadap perilaku adaptasi. Ketiga faktor tersebut akan dilihat pengaruhnya terhadap perilaku adaptasi anak tunadaksa yang dibagi dalam empat kelompok perilaku adaptasi (Sonnenfeld 1966; Rapoport. Dkk, 1980; Kaplan, 1989; Seligman, 1975) yaitu adaptation, adjustment, withdrawl, dan learned

helplessness/constraint, dan faktor lingkungan yaitu penghawaan,

pencahayaan dan noise.

Sedangkan pada penelitian Muhammad Sholahuddin menggunakan metode deduktif secara purposive sampling untuk sepuluh ruang berdasarkan jenis alat bantu tersebut. Data dikumpulkan dengan metode trianggulasi yaitu observasi, kuesioner dan dianalisis dengan secara deskriptif. SPSS

Gambar

Tabel 2.1 Standar pada Peron
Gambar 2.1 Diagram Teori
Gambar 2.2 Electic Model (Bell 2001) yang menjelaskan proses coping dan adaptasi

Referensi

Dokumen terkait

Kus (41 tahun) dengan keluhan tinnitus tanpa vertigo dan pendengaran menurun sejak empat hari sebelumnya, didiagnosis SNHL telinga kiri dengan PTA 93,75 dB

Dalam pada itu ketika Ki Go-thian harus menghindarkan diri lagi dari suatu serangan si orang aneh yang dipandangnya paling tangguh diantaranya tiga lawan itu, diluar dugaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedalaman gerusan dan pola gerusan yang terjadi di sekitar abutmen pada kondisi aliran jernih (clear-water scour) untuk saluran

Setelah menyaksikan video yang dikirim melalui WAG mengenal bangun datar, peserta didik dapat menjelaskan bentuk bidang dan warna sebagai unsur karya dekoratif yang sesuai dengan

mengkaji perubahan sosial ekonomi petani jeruk di desa

Pada kelas eksperimen yang diajarkan menggunakan model pembelajaran PBL dipadu LKPD berbasis STEM proses berpikir peserta didik pada tahap fokus, peserta didik diberikan

1) Biaya pendidikan untuk level yang ditempuh sebesar Rp1.650.000 (satu juta enam ratus lima puluh ribu rupiah) sesuai ketentuan Pimpinan Pusat.. OIAA di Kairo. Biaya itu

Skripsi yang berjudul “Profil Kolesterol dan Trigliserida Darah serta Respon Fisiologis Tikus yang Diberi Ransum Mengandung Sate Daging Sapi” ini ditulis berdasarkan hasil