• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Interaksi sosial berasal dari bahasa Latin: Con atau Cum yang berarti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Interaksi sosial berasal dari bahasa Latin: Con atau Cum yang berarti"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Interaksi Sosial

Interaksi sosial berasal dari bahasa Latin: Con atau Cum yang berarti bersama-sama, dan tango berarti menyentuh, jadi pengertian secara harfiah adalah bersama-sama menyentuh. Interaksi sosial adalah proses dimana orang-orang yang berkomunikasi saling mempengaruhi dalam pikiran dan tindakan (Zainul, 1997 : 98). Interaksi sangat penting dilihat adalah pengaruh timbal-balik, contohnya : apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai saat mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara dan seterusnya.

Interaksi yang dilakukan oleh manusia mempunyai syarat-syarat agar interaksi terjadi dengan baik, yaitu kontak komunikasi. Kontak pada dasarnya merupakan aksi dari individu atau kelompok agar mempunyai makna bagi pelakunya dan kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok yang lain. Penangkapan makna tersebut yang menjadi pangkal tolak untuk memberikan reaksi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Alvin dan Helen Gouldner (dalam Taneko, 1990 : 110), interaksi itu adalah suatu aksi diantara orang-orang, jadi tidak memperdulikan secara berhadapan muka secara langsung ataukah melalui simbol-simbol seperti bahasa, tulisan yang disampaikan dari jarak ribuan kilometer jauhnya. Semua itu tercakup dalam konsep interaksi selama hubungan itu mengharapkan adanya satu atau lebih bentuk respon. Komunikasi muncul setelah kontak berlangsung. Terjadinya kontak belum berarti adanya komunikasi.

(2)

Oleh karena komunikasi itu timbul apabila seseorang individu memberi tafsiran pada perilaku orang lain. Dengan tafsiran itu, lalu seseorang itu mewujudkannya dengan perilaku, dimana perilaku tersebut merupakan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan. Selanjutnya Zainul Pelly (1997 : 99-100) kontak sosial dapat bersifat positif atau negatif, yang bersifat positif mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan yang bersifat negatif mengarah pada suatu pertentangan atau tidak menghasilkan suatu interaksi.

Menurut Gillin dan Gillin (2001 : 35) interaksi sosial merupakan hubungan- hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok-kelompok manusia. Interaksi sosial yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah bagaimana interaksi antara suami dengan istri pertama, bagaimana interaksi antara istri yang satu dengan istri yang lainnya, bagaimana interaksi orang tua (ayah dan ibu) dengan anak-anaknya dan juga bagaimana interaksi antara keluarga luas dari pihak-pihak masing-masing.

Selanjutnya Kimbal Young dan Reymond W. Mack dalam (Soekanto, 1990 : 60-61), menyatakan bahwa interaksi sosial adalah kunci semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Proses sosial merupakan suatu kontinuitas dalam arti bahwa interaksi dimulai dengan kerja sama yang kemudian menjadi persaingan serta memuncak menjadi pertikaian dan berakhir pada akomodasi. Untuk menelaah proses-proses interaksi tersebut dalam bentuk kelangsungan misalnya apa yang terjadi pada kaum transmigrasi dari Jawa datang untuk menetap di suatu daerah yang telah ada penduduknya yang merupakan masyarakat asli daerah tersebut. Dalam buku

(3)

Zainul Pelly yang berjudul Pengantar Sosiologi (1997 : 101-113) mengatakan proses sosial dapat menjelma dalam berbagai bentuk dan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa, yaitu :

2.1.1. Kooperasi (co-operation)

Co-operation berasal dari bahasa Latin yang berarti co = bersama-sama,

dan operasi = bekerja. Jadi kooperasi adalah bentuk kerjasama dimana satu sama lain saling membantu guna mencapai tujuan. Kerjasama dapat kita jumpai pada semua kelompok manusia, kebiasaan-kebiasaan demikian dimulai sejak masa kanak-kanak terutama dalam kehidupan keluarga atau kelompok-kelompok kekerabatan. Atas dasar itu anak tersebut akan mengembangkan bermacam-macam pola kerjasama setelah menjadi dewasa. Kerjasama tersebut dilakukan selain dari orang-orang atau kelompok-kelompok yang bersahabat saja, juga pada zaman modern ini kerjasama dapat pula dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bersahabat atau bertentangan.

Kerjasama timbul karena adanya oreintasi orang-orang terhadap kelompoknya (in-groupnya), orang-perorangan yang menjadi anggota in-group mengadakan kerjasama untuk memperkuat kelompoknya. Kelompok in-group itu terdapat we-feeling atau persamaan kita dan dengan mengadakan kerjasama ini perasaan dari anggota in-group semakin kuat, sehingga apabila ada pihak luar yang ingin menganggu ketenangan in-group maka semua anggota kelompok bersama-sama menghadapi ancaman tersebut guna mempertahankan kebutuhan kelompoknya.

(4)

Persaingan adalah suatu bentuk perjuangan sosial secara damai; yang terjadi apabila dua belah pihak berlomba atau berbuat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Gillin dan Gillin dalam Pelly (1997 : 105) mengatakan persaingan dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian dari publik (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara-cara usaha mencari perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa menggunakan ancaman kekerasan. Persaingan dapat berupa :

- Mendapatkan status dalam masyarakat (kepangkatan) - Mendapatkan jodoh

- Mendapatkan kekuasaan

- Mendapatkan nama baik (harum)

- Bidang ekonomi yaitu terbatasnya persediaan dibandingkan dengan jumlah konsumen.

Dalam persaingan yang bersifat pribadi (perseorangan) dimana orang-perorangan secara langsung bersaing, misalnya memperoleh kedudukan tertentu di dalam suatu organisasi, memperebutkan jodoh dan lain sebagainya.

2.1.3. Conflict atau Pertikaian/Pertentangan

Kompetisi atau kerjasama dapat menjurus ke konflik hal ini terjadi karena timbul emosi, rasa benci dan rasa marah, sehingga pihak-pihak yang bersangkutan ingin menyerang, melukai, merusak atau memusnahkan pihak yang lain. Biasanya konfllik timbul karena adanya kepentingan yang bertentangan terutama kepentingan ekonomi. Konflik sering terjadi karena perebutan

(5)

kedudukan dan perebutan kekuasaan, yang apabila terjadi antara kelompok biasanya mempunyai dasar ekonomis, sebab konflik tidak saja terjadi diantara orang-perorangan, tetapi juga terjadi diantara kelompok-kelompok manusia.

Menurut Soerjono Soekanto (dalam Zainul, 1997 : 107) pertentangan adalah proses sosial dimana orang-perorangan atau kelompok manusia berusaha memenuhi tujuannya dengan jelas menentang pihak lawan dengan ancaman dan/atau kekerasan. Pada umumnya pertentangan merupakan proses dissisiatif (persaingan yang tajam), akan tetapi adakalanya pertentangan tersebut mempunyai fungsi di dalam masyarakat yang menimbulkan akibat yang positif. Pertentangan mempunyai beberapa bentuk antara lain :

- Pertentangan pribadi, yaitu sejak dimulai berkenalan sudah saling tidak menyukai, apabila dikembangkan maka akan timbul rasa saling membenci dimana masing-masing pihak berusaha memusnahkan pihak lawannya.

- Pertentangan sosial, yaitu pertentangan yang bersumber dari ciri-ciri badaniah dan juga karena perbedaan kepentingan kebudayaan.

- Pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu yang disebabkan karena perbedaan kepentingan, misalnya buruh dengan majikan.

Dari pertentangan atau konflik tersebut maka akan tumbuh solidaritas dari

in-group, mereka bersedia berkorban demi keutuhan kelompoknya, terjadi

keretakan persatuan suatu kelompok, hancurnya harta benda dan korban manusia, serta takluknya salah satu pihak.

2.1.4. Akomodasi (Accomodation)

Tujuan akhir daripada konflik biasanya menghancurkan pihak lawan, akan tetapi sering konflik itu tidak diteruskan, oleh karena masing-masing pihak yang

(6)

terlibat dalam konflik menimbulkan kerugian, sehingga kedua belah pihak ingin menghentikannya, atau pihak yang merasa dirinya kurang kuat mengalah untuk menghindarkan dari kemusnahannya.

Konflik dihentikan dan kedua belah pihak berusaha menyesuaikan keadaan yang memungkinkan kerjasama. Proses penyelesaian ini disebut dengan akomodasi. Proses akomodasi adalah suatu usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha untuk mencapai suatu kestabilan. Ada beberapa cara kita untuk melihat bentuk akomodasi yang umum, yaitu :

- Gencatan senjata atau penundaan pertempuran,

- Kompromi, suatu kompromi bisa terjadi bila pihak-pihak yang berkonflik relatif sama derajatnya, bersedia saling memberi dan mengambil (take and

give),

- Toleransi adalah suatu cara akomodasi bila suatu kompromi tidak diwujudkan dalam hal ini tidak ada pihak-pihak yang mengalah dan pihak-pihak terus mempertahankan pendiriannya masing-masing akan tetapi bersedia menghormati pendirian orang lain,

- Konsiliasi dengan toleransi belum berarti adanya pergaulan sesama pihak-pihak yang berkonflik, mungkin mereka tidak bergaul satu sama lainnya, - Konversi adalah suatu keadaan apabila ada sesuatu pihak melepaskan

pendiriannya dan menerima pendirian pihak lain,

- Arbitrasi adalah suatu cara akomodasi dimana konflik didamaikan oleh pihak ketiga dan pihak-pihak tunduk kepada keputusannya. Pihak ketiga ini dipilih oleh kedua belah pihak yang berkonflik dengan sukarela.

(7)

- Mediasi (mediation) dijalankan oleh pihak ketiga juga tetapi keputusannya tidak mengikat seperti halnya arbitrasi, kedudukannya sebagai penasehat belaka dan tidak mempunyai wewenang memberi keputusan.

- Rasionalisasi berarti memberi keterangan atau alasan yang kedengarannya rasional untuk membenarkan tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak rasionil, karena mengakui alasan yang sebenarnya dapat menimbulkan konflik.

Akomodasi tidak dapat secara sempurna untuk mengatasi pertentangan-pertentangan, akan tetapi akomodasi tetap diperlukan karena manusia mempunyai kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda, hal inilah yang senantiasa perlunya akomodasi untuk menyelesaikan suatu pertentangan atau konflik.

Kebutuhan terhadap keharmonisan sosial, serta nilai dalam poligami, tampaknya memiliki posisi yang amat penting dalam suku Karo. Perkawinan poligami yang terus terjadi sejak lama sampai sekarang antara orang Karo dengan orang Karo, maupun orang Karo dengan suku lainnya. Masyarakat Karo tampaknya telah terbiasa dan bisa menerima pola-pola perkawinan poligami, sekalipun anak-anak mereka ada yang melakukan konversi agama. Fakta ini mengindikasikan, bahwa faktor budaya Karo yang memberikan kesempatan untuk berpoligami dan mendambakan keharmonisan menempati posisi penting yang dapat mengatasi nilai-nilai lainnya, seperti agama.

2.2. Perkawinan Masyarakat Karo

Perkawinan suku Karo mempunyai tata cara yang khas, namun pada prinsipnya diawali dengan perkenalan, pacaran, pertunangan, meminang, pengesahan (perkawinan), dan upacara pensakralan. Perkawinan pada masyarakat

(8)

Karo bersifat religius dengan menganut sistem eksogami, yakni seseorang harus kawin dengan orang dari luar marganya (merganya), dengan kekecualian pada

merga Perangin-angin dan Sembiring. Sifat religius dari perkawinan pada

masyarakat Karo terlihat, dengan adanya perkawinan maka tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang kawin saja, tetapi juga mengikat keseluruhan keluarga kedua belah pihak termasuk arwah-arwah leluhur mereka. Dengan demikian, perkawinan adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita, termasuk keseluruhan keluarga dan arwah para leluhurnya (Darwin Prinst, 2004 : 71).

Keluarga adalah lembaga terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak dan diikat oleh ikatan perkawinan yang sah oleh negara atau lembaga norma (adat) serta ada hubungan darah. Jadi keluarga dalam penelitian ini adalah keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Perkawinan bukan hanya suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki), akan tetapi juga orangtuanya, saudara-saudaranya dan keluarga-keluarganya. Kita sering mendengar dari masyarakat bahwa kawin sesungguhnya keluarga dengan keluarga. Banyak aturan-aturan yang harus dijalankan, aturan yang berhubung dengan adat-istiadat yang mengandung sifat

relegio-magis (Soekanto,1981 : 100-101).

Pada umumnya di Indonesia suatu perkawinan didahului dengan lamaran (ngelamar). Akibatnya lamaran ini pada umumnya bukan perkawinan, akan tetapi pertunangan dahulu. Pertunangan baru terikat apabila (seringkali) dan pihak laki-laki sudah diberikan panjer, peningset (Jawa-tengah-timur)., tanda kong narit

(9)

(Aceh), Penyangyang (Jawa-Barat), Ngating Manuk (Karo), di tanganan

Pagingsangan (Bali) namanya pertunangan Masawen, artinya meletakkan suatu

tanda larangan dengan memberikan sirih. Jelaslah bahwa pemberian panjer adalah suatu perbuatan religio-magis (Soekanto,1981 : 101).

Dalam pernikahan adat Karo, seorang laki-laki dan perempuan dapat dikatakan sudah sah sebagai suami-istri di saat dilangsungkannya pertemuan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan untuk membicarakan mengenai biaya pernikahan dan tanggal pernikahannya (dalam bahasa Karo sering disebut dengan ngembah belo selambar). Dalam susunan keturunan pihak bapak, pihak laki-laki harus memberikan junjung, sinamot, pangolin, boli, tuhor (Batak), beli (Maluku), belis (Timor), jujur (Tapanuli Selatan, Sumatera Selatan), dan tukur (Karo), yang Bahasa Belanda disebut “bruidschat”. Dengan membayar jujur istri masuk dalam klan suaminya, sehingga anak-anaknya dilahirkan sebagai warga klan sang suami. Dalam lingkungan susunan kekeluargaan ini terdapat juga keadaan dimana suami tak membayar jujur. Perkawinan ini disebut anggap (Gayo), semendo ambil anak, nangkon (Sumatera Selatan), kawin ambil piara (Ambon). Maksud anggap ini (“inlifhuwelijk”) adalah supaya lelaki itu (kadang-kadang) menjadi anaknya. Sedangkan anak-anaknya yang dilahirkan menjadi keturunan dari klan bapak-perempuan. Hal ini terjadi, misalnya di Lampung jika orang tua hanya mempunyai anak-anak perempuan saja dengan maksud supaya keturunannya tidak terputus (Soekanto,1981 : 102-103S).

Perkawinan pada masyarakat Karo yang sesuai dengan adat (arah adat) peranan orang tua sangat dominan, artinya bahwa pihak orang tualah yang mengusahakan agar perkawinan itu dapat berlangsung, mulai dari perkenalan

(10)

calon mempelai (petandaken), meminang (maba belo selambar). Apabila ada kecocokan pada waktu maba belo selambar dan diterima, maka kedua belah pihak terikat dalam status pertunangan. Pada waktu pertunangan ini sebagai tanda tidak diberikan cincin sebagai tanda ikatan, tetapi disini harus disetujui dan disaksikan oleh kedua belah pihak keluarga, yaitu: senina, anak beru, dan kalimbubu. Ketiga ini disebut dengan rakut sitelu, dan menjadi jaminan yang paling kuat menurut adat Karo.

2.2.1. Sistem Perkawinan Masyarakat Karo

Dalam buku Darwin Prinst (2004 : 75) yang berjudul “ Adat Karo” ada dua sistem perkawinan pada masyarakat Karo, yaitu :

a. Sistem perkawinan pada merga Ginting, Karo-Karo, dan Tarigan.

Pada merga-merga ini berlaku sistem perkawinan eksogami murni, yaitu mereka yang berasal dari sub-merga Ginting, Karo-Karo, dan Tarigan dilarang menikah di dalam merga-nya sendiri, tetapi mereka diharuskan menikah dengan orang dari luar merga-nya. Misalnya antara Ginting dengan Karo-Karo, atau

Ginting dengan Sembiring.

b. Sistem perkawinan pada merga Perangin-angin dan Sembiring

Sistem yang berlaku pada kedua merga ini adalah eleutherogami terbatas. Letak keterbatasannya adalah seorang dari merga tertentu Perangin-angin atau

Sembiring diperbolehkan menikah dengan orang tertentu dari merga yang sama

asal submarganya (lineagea) berbeda. Misalnya dalam merga Peranginangin,

antara Bangun dan Sebayang atau Kuta Buluh dan Sebayang. Demikian juga

dengan Sembiring, antara Brahmana dan Meliala, antara Pelawi dan Depari, dan sebagainya.

(11)

Larangan perkawinan dengan orang dari luar merga-nya tidak dikenal kecuali antara Sebayang dan Sitepu atau antara Sinulingga dan Tekang yang disebut sejanji atau berdasarkan perjanjian. Karena tempo dulu mereka telah mengadakan perjanjian tidak saling kawin, dengan adanya eleutherogami terbatas ini menunjukkan bahwa merga bukan sebgai hubungan genealogis dan asal-usul

merga tidak sama.

2.2.2. Syarat Perkawinan bagi Masyarakat Karo

Menurut Darwin Prinst (2004 : 75) ada beberapa syarat perkawinan pada masyarakat Karo, yaitu :

- Tidak berasal dari satu merga, kecuali merga Peranginangin dan Sembiring, - Bukan menurut adat dilarang untuk berkawin erturang (bersaudara),

sipemeren, erturang impal.

- Sudah dewasa, dalam hal ini untuk mengukur kedewasaan seseorang tidak dikenal batas usia yang pasti, tetapi berdasarkan pada kemampuan untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk laki-laki, hal ini diukur dengan sudah mampu membuat peralatan rumah tangga, peralatan bertani, dan sudah mengetahui adat berkeluarga (meteh mehuli). Sedangkan untuk perempuan hal ini diukur dengan telah akil balik, telah mengetahui adat

(meteh tutur), dan sebagainya.

-

2.2.3. Fungsi Perkawinan bagi Masyarakat Karo

Ada beberapa fungsi perkawinan bagi masyarakat Karo, yaitu : - Melanjutkan hubungan kekeluargaan,

(12)

- Menjalin hubungan kekeluargaan apabila sebelumnya belum ada hubungan kekeluargaan,

- Melanjutkan keturunan dengan lahirnya anak laki-laki dan perempuan, - Menjaga kemurnian suatu keturunan,

- Menghindarkan berpindahnya harta kekayaan kepada keluarga lain, dan - Mempertahankan atau memperluas hubungan kekeluargaan.

2.2.4. Jenis-Jenis Perkawinan bagi Masyarakat Karo

Menurut Darwin Prinst (2004 : 78-82) dilihat dari status dari pihak yang kawin maka perkawinan pada masyarakat karo dapat dibagi menjadi beberapa, yaitu :

a. Gancih abu (ganti tikar)

Gancih abu yaitu bila seorang perempuan menikah dengan seorang

laki-laki menggantikan kedudukan saudaranya yang telah meninggal sebagai istri. Hal ini biasanya terjadi untuk meneruskan hubungan kekeluargaan, melindungi kepentingan anak yang telah dilahirkan pada perkawinan pertama dan menjaga keutuhan harta dari perkawinan yang pertama.

b. Lako Man (turun ranjang)

Lako man yaitu bila seorang laki-laki menikah dengan seorang

perempuan yang awalnya adalah istri saudaranya atau bapaknya yang telah meninggal dunia. Ada beberapa jenis dari perkawinan lako man, yaitu :

- Perkawinan mindo nakan

Adalah suatu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan bekas istri saudara ayahnya.

(13)

- Perkawinan mindo cina

Adalah suatu perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan yang menurut tutur adalah neneknya.

- Kawin mindo ciken

Adalah suatu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan bekas istri ayah/saudaranya, yang telah dijanjikan terlebih dahulu.

- Iyan

Pada zaman dahulu bila seseorang mempunyai dua orang istri dan salah satu diantaranya tidak/belum mempunyai putra (keturunan), di pihak salah seorang saudara suami itu belum mempunyai istri, lalu istri yang tidak berputra itulah dialihkan/disahkan menjadi istrinya, dengan harapan tetap terpeliharanya hubungan kekeluargaan dengan pihak wanita, dan adanya harapan dengan suami baru itu, ia akan memperoleh keturunan.

- Ngalih

Adalah lako man istri abang (Kaka).

- Ngianken

Adalah lako man kepada istri adik (agi) c. Piher Tendi/Erbengkila Bana

Adalah perkawinan antara orang yang menganut tutur si wanita memanggil

bengkila kepada suaminya.

2.2.5. Faktor-Faktor Penyebab Poligami bagi Masyarakat Karo

Menurut Darwin Prinst (2004 : 76) ada beberapa faktor poligami bagi masyarakat Karo, yaitu :

(14)

- Tidak memperoleh keturunan laki-laki, - Saling mencintai,

- Tidak adanya persesuaian dengan istri pertama, dan - Meneruskan hubungan kekeluargaan.

2.3. Jenis-Jenis Hubungan Keluarga

Menurut Robert R. Bell dalam T.O. Ihromi (1999 : 91) mengatakan ada 3 jenis hubungan keluarga, yaitu :

a. Keluarga dekat (conventional kin).

Kerabat dekat terdiri dari atas individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi dan atau perkawinan, seperti suami istri, orang tua-anak, dan antar suadara (siblings).

b. Kerabat jauh (discretionary kin).

Kerabat jauh terdiri atas individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi, dan atau perkawinan, tetapi ikatan keluarganya lebih lemah daripada kerabat dekat. Anggota kerabat jauh kadang-kadang tidak menyadari akan adanya hubungan keluarga tersebut. Hubungan yang terjadi di antara mereka biasanya karena kepentingan pribadi dan bukan karena adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri atas paman-bibi, keponakan dan sepupu.

c. Orang yang dianggap kerabat (fictive kin).

Seseorang yang dianggap karena adanya hubungan yang khusus, misalnya hubungan antar teman.

Referensi

Dokumen terkait

Maka dari itu Abed Al Jabiri memberikan solusi berupa rekonstruksi epistimologi untuk membuat alat bantu dalam membangun keilmuan keagamaan yang dirasa telah

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh Prophetic Parenting dalam membentuk karakter pribadi Islami pada Anak di Kuching, Sarawak, Malaysia,

Bayi prematur yang lahir di dekat 37 minggu sering tidak memiliki masalah yang berkaitan dengan persalinan jika paru-paru mereka telah menghasilkan surfaktan yang memadai,

19 MOHAMAD TRISTA ADITIA PUTRA 20 MUHAMMAD HABIBURRAHMAN 21 MUHAMMAD ILHAM MAULANA 22 MUHAMMAD RAFFI ADRIANSYAH 23 MUHAMMAD RAIHAN RIDHO 24 MUHAMMAD RIZAL.. 25 MUHAMMAD ROYAN

dinding luar rumah dengan produk yang handal dan warna yang indah.. Buku warna inijuga menyajikan petunjuk

Peserta didik berbakat atau yang mempunyai kecerdasaan luar luar yang diterima program akselerasi biasanya adalah siswa-siswi yang telah lulus mengikuti tes

 Nilai dari dari pembilang untuk pembilang untuk x mendekati x mendekati 3 dari 3 dari arah arah kanan a kanan adalah mendekati dalah mendekati 6, sedangkan nilai penyebut

Jumlah Saham yang ditawarkan 1.162.285.399 Biasa Atas Nama Seri B dengan Nilai Nominal Rp..