• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MEMAHAMI RELIGIUSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN DI KOTA SEMARANG. A. Sejarah singkat masuknya Islam di Semarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III MEMAHAMI RELIGIUSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN DI KOTA SEMARANG. A. Sejarah singkat masuknya Islam di Semarang"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

46

BAB III

MEMAHAMI RELIGIUSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN DI KOTA SEMARANG A. Sejarah singkat masuknya Islam di Semarang

Ketika Kerajaan Islam Demak belum berdiri, kegiatan penyebaran Islam di Jawa berjalan tanpa didukung oleh kekuatan-kekuatan politik. Penyebaran Islam lebih banyak dilakukan melalui kegiatan perdagangan oleh para pedagang muslim juga para wali yang melakukan kegiatan dakwah. Begitu berdiri pada tahun 1481 M, Kerajaan Islam Demak berkembang menjadi pusat penyebaran Islam. Berdirinya Kerajaan Islam Demak yang ditopang oleh kekuatan politik Sultan Fatah yang memiliki “trah” Majapahit di satu sisi dan kekuatan legitimasi agama dari para wali di sisi yang lain menjadikan kerajaan Islam tersebut sebagai basis penyebaran Islam yang efektif. Bagaimanapun, dukungan politik dari pemerintahdaerah-daerah pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang pada umumnya telah mengakui kedaulatan Demak mempermudah proses penyebaran Islam di wilayah lain, termasuk Kota Semarang.1

Semarang yang berjarak tak terlampau jauh hanya berjarak kurang lebih 25 kilometer dari Demak memudahkan perhatian para pemegang otoritas politik dan keagamaan di Kesultanan Demak. Menurut informasi dalam naskah-naskah yang ditemukan oleh Residen Portman pada tahun 1928 di Kelenteng Sam Po Kong

1 Lihat juga hasil penelitian Tim Peneliti Masjid Agung Jawa Tengah tentang “Sejarah Masjid Besar Kauman dan Masjid Agung Jawa Tengah” (Semarang: MAJT Press, 2008), 21-23

(2)

47

bahwa Sultan Fatah sempat singgah di kawasan Semarang. Pendaratan armada laut Cina yang dipimpin Laksamana Cheng Ho pada tahun 1413 M dan sempat mengunjungi (membangun Masjid di kawasan Simongan) menjadi bukti bahwa sebelum terbentuknya Kesultanan Demak justru telah ditemukan komunitas Muslim di kawasan Semarang. Tentu sulit untuk dipastikan apakah komunitas Muslim yang ada di kawasan Semarang pada saat itu adalah penduduk pribumi atau pendatang dari seberang. Namun menilik naskah-naskah yang ditemukan di Kelenteng Sam Po Kong, sangat mungkin untuk dipastikan bahwa komunitas Muslim yang ada pada saat itu orang-orang Tionghoa. Sebagaimana cerita tutur yang berkembang bahwa banyak kalangan Muslim Tionghoa pengikut Laksamana Cheng Ho yang memilih untuk tetap tinggal di Semarang.2

Sekelumit sejarah penyebaran Islam di Semarang mengantarkan kita bagaimana memahami karakteristik masyarakat Kota Semarang yang tak lepas dari sejarah lahirnya kota itu sendiri. Seperti yang ditulis Liem, Amen Budiman, bahwa lahirnya Kota Semarang bermula dari penamaan suatu daerah (kota, dusun, kampung, sungai, gunung) berdasarkan pada ciri khas daerah itu, keadaan alam atau pemandangan mencolok di sekitarnya (Liem 1933:2: Budiman 1978:82). Menurut Serat Kandaning Ringgit Purwa Naskah KBG NR.7, Lahirnya Kota Semarang diawali pada tahun 1938 saka (1476 M), dengan datangnya utusan Kerajaan Demak

(3)

48

(Ki Pandan Arang) yang mengemban tugas pengislaman di wilayah barat Kerajaan Demak, di Semenanjung Pulau Tirang (sekarang disebut dengan daerah Mugas dan Bergota, Semarang) (Liem 1993, Budiman 1978). Sesampainya di daerah ini, ia mendirikan pesantren tempat para santri mempelajari ilmu agama Islam. Di daerah yang subur ini tumbuh pohon asam (Jawa: asem) yang masih jarang (Jawa: arang). Muridnya dari waktu ke waktu semakin banyak, dan tempat itu kemudian semakin dikenal banyak orang: daerah asem-arang, Semarang.3

Kedatangan pedagang timur asing ke Semarang telah mewarnai corak kota ini, selain pribumi dan orang Eropa. Antara tahun 1920-1930 Kota Semarang banyak didatangi orang-orang Eropa. Diduga mereka pergi ke Semarang dan kota lain di Hindia Belanda untuk mencari pekerjaan (Liem 1933:20). Sehingga, Semarang mempunyai penduduk dari beragam etnis: Jawa, Cina, Arab, Melayu, India, dan orang Eropa. Kota Semarang di abad ke-18 dikenal sebagai lojining

nagoro sumawis (negara tempat semuanya tersedia), dengan luas tanah 25 ha. Di

bawah pemerintahan Hindia Belanda, Kota Semarang mengalami tiga kali perubahan batas kota (perluasan kota), yaitu 1889 (Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1886 No. 160), 1894 (Staatsblad van Nederlandsch-Nederlandsch-Indie 1894 No. 249), dan 1902 (Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1905 No. 211). Sejak abad ke-19,

3 Lihat Freek Colombijn, Martine Barwegen, Purnawan Basundoro, Johny Alfian Kusyairi (ed.), Kota Lama, Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan (Yogyakarta: Ombak, 2005),150-151.

(4)

49

Semarang disebut sebagai Kota Batavia kedua. Pertumbuhan wilayahnya lebih spesifik, yang diikuti perkembangan wilayah di luar Semarang.4

Menelusuri jejak penyebaran Islam di Kota Semarang, di mana sisa-sisa kejayaan Islam masa itu hingga kini masih tersisa dengan bukti bangunan berupa masjid-masjid kuno. Di beberapa sudut Kota Atlas ini terdapat masjid kuno yang dibangun ratusan tahun silam. Salah satunya Masjid Menara yang terdapat di Jalan Layur, Kampung Melayu Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara. Masjid ini bisa dikatakan sebagai masjid tertua. Dalam prasasti yang pernah ditemukan pada masa lampau, masjid itu dibangun pada tahun 1802 masehi. Salah satu Imam Masjid Menara Al Mahsun Mengatakan, masjid ini dibangun oleh sejum saudagar dari Yaman yang bermukim di ibu kota Jawa Tengah. Para saudagar itu singgah di Semarang seiring dengan perdagangan antar negara melalui perairan. Diceritakannya, pada masa pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1743 Masehi, kawasan ini merupakan tempat bermukim penduduk etnis Melayu. Lambat laun, saudagar-saudagar pedagang dari Melayu itu membentuk sebuah perkampungan sehingga membutuhkan tempat ibadah.

“Iya betul. Masjid ini dibangun oleh para pedagang keturunan Arab. Menurut cerita sih para saudagar itu kebanyakan dari Yaman yang bongkar muat dagangan di kali Berok. Lama kelamaan mereka tak sekedar dagang, tapi bermukim hingga membentuk perkampungan (Rabu, 2/4).

4 Freek Colombijn, Martine Barwegen, Purnawan Basundoro, Johny Alfian Kusyairi (ed.),

(5)

50

Perkembangan agama Islam di Semarang pada awalnya dapat dipetakan melalui syiar islam yang dibawa oleh Made Pandan atau Maulana Abdussalam (nama lain dari pendiri kota Semarang Ki Ageng Pandanaran) pada pertengahan abake-15, atas perintah dari Sultan Demak, Raden Patah. Menurut Amen Budiman, Ki Ageng Pandanaran memulai mengajarkan agama Islam di Pulau Tirang yang merupakan pusat pertengahan kota yang masih dihuni oleh penghuni pemeluk agama Hindu. Wilayah inilah mula-mula pusat perkembangan agama Islam di kota Semarang. Perkembangan ini hingga berbuah pada pendirian Masjid dan Pesantren-Pesantren sebagai pusat pembelajaran agama Islam. Masjid Sekayu yang dibangun 1666 pada masa pemerintahan Bupati Semarang ke-14 menjadi salah satu pusat pembelajaran agama Islam awal di Semarang. Kemudian beralih ke wilayah Terboyo, Kaligawe.5

Identitas dan karakteristik masyarakat urban di kota Semarang adalah salah satu ekspresi keberagamaan dalam multikulturalisme di Indonesia. Di samping itu masyarakatnya yang mayoritas pedagang, kota Semarang secara geografis juga merupakan salah satu kota dengan nuansa kampung santri dari sekian banyak kota di Indonesia. Meminjam apa yang disampaikan Djawahir Muhammad, budayawan terkemuka di Semarang bahwa Semarang sebagai kota yang disiapkan Belanda sebagai kota perdagangan, masyarakatnya selain

5Djawahir Muhammad, Semarangan Lintas Sejarah dan Budaya (Semarang: Pustaka SEMAWIS, 2016), 230-231.

(6)

51

kosmopolit juga punya spirit sebagai pedagang. Pasalnya pedagang memiliki prinsi bahwa lebih baik jadi juragan kecil daripada jadi kacung besar. Hal ini yang kemudian berpengaruh terhadap pola keberislamannya.6 Diceritakan Djawahir

Muhammad dalam wawancara di kediamannya, dalam perkembangannya pasca reformasi apa yang menjadi tradisi dan simbol-simbol Islam di Kota Semarang mengalami perubahan cukup signifikan. Bahkan di aras nilai-nilai atau filosofi dari simbol-simbol keislaman itu pula kini mulai hilang.

“Perubahan simbol-simbol Islam memang secara sistematis tidak tampak, tetapi kalau kita perhatikan dari acara-acara semarangan seperti prosesi pernikahan misalnya. Nilai-nilai filosofi dari simbol-simbol keislaman itu mulai hilang.”

Salah satu syarat bagi masyarakat yang ingin berkembang adalah kesediaan mereka untuk menerima spirit keberagaman (pluralisme), kesetaraan (multikulturalisme) dan keterpaduan (akulturasi, hybridasi), yang hanya dapat dimungkinkan apabila anggota komunitas itu bersedia melakukan proses menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dalam konteks pengembangan tradisi dan budaya Semarangan, pertemuan sumber-sumber tradisi, budaya dan kearifan lokal di atas merupakan suatu kondisi yang niscaya terelakan. Dari sini ada kekhawatiran kehilangan identitas dan personal integritasnya. Kekhawatiran ini dapat diamati dari peningkatan apresiasi masyarakat terhadap elemen-elemen

6Interview dengan Djawahir Muhammad, Budayawan Semarang, pada tanggal 27 Maret 2017 dilakukan di kediamannya, di Semarang.

(7)

52

visual budaya hybrid (pluralisme, multikulturalisme) masyarakat di kota ini. Misalnya pemilihan selera makanan, itu sama sekali tidak menunjukkan keberpihakan terhdap unsur kearifan lokal. Tidak ada yang salah dengan akulturasi, pluralisme, multikulturalisme dan hybrid culture. Tradisi lokal semarang mengintegrasikan keragaman nudaya dan toleransi pada sesama etnis.

Perkembangan kota memberikan berbagai pengaruh bagi masyarakat secara luas, baik pengaruh positif maupun negatif. Pembangunan kota - kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang dan kota besar lainnya di Indonesia cenderung pada perencanaan dan pengembangan pembangunan kawasan-kawasan perumahan eksklusif, gedung-gedung perkantoran, pusat pembelanjaan dan sarana-sarana rekreasi modern. Pengaruh dari perencanaan dan pengembangan kota yang demikian jelas akan menguntungkan masyarakat berduit, dan akan meminggirkan masyarakat biasa. Hal ini telah dilakukan besar-besaran pada rezim orde baru, yang hanya mengejar laju perekonomian tinggi tapi tidak kemakmuran masyarakat.7

Seiring berkembangnya Kota Semarang sistem perdagangan mengalami perkembangan signifikan. Masyarakat memilih untuk beraktivitas di pusat kota sebagai sentral bisnis. Meski pembangunan pemukiman kini semakin ke pinggir, namun masyarakat memilih tetap pergi ke kota sebagai wahana aktivitas ekonomi. Menilik dari sejarahnya, di masa pemerintahan Kotapraja Semarang berkembang

7 Freek Colombijn, Martine Barwegen, Purnawan Basundoro, Johny Alfian Kusyairi (ed.),

(8)

53

industri pabrik, sementra industri pribumi yang berskala kecil masih beroperasi. Pada tahun 1909 masih tercatat berbagai industri pribumi: batik (Kampung Batik), pewarna biru, pembuatan alat-alat gerabah (Kampung Pekunden), penyamakan kuli (Kampung Kulitan), pakaian, kereta, dan pembuatan gong. Industri-industri pabrik menggunakan mesin uap, gas, dan listrik, perkembangannya pesat.8

B. Deskripsi sosio-kultural masyarakat Muslim urban di Kota Semarang Pasca Reformasi

Dinamika keagamaan masyarakat Muslim urban mengalami perubahan signifikan. Pegaruh teknologi yang terjejaring di dunia menjadi ladang ekspresi keagamaan dengan sangat terbuka. Dukungan televisi, media sosial memudahkan perkembangan ekspresi keagamaan. Dakwah-dakwah serta majlis dzikir salah satu aktivitas spiritualitas masyarakat Muslim urban. Ungkapan-ungkapan sufisme baru di indonesia, misalnya yang mengandung tren global dalam pemikiran keagamaan dan kultur sekuler telah menjadi menarik bagi Muslim kelas menengah dan kelas atas sejak akhir abad yang lalu. Bentuk-bentuk sufisme ini telah dipromosikan melalui jalur-jalur komunikasi baru, terutama institusi-institusi pendidikan Islam bergaya universitas dan siaran-siaran di televisi islami.9

8Freek Colombijn, Martine Barwegen, Purnawan Basundoro, Johny Alfian Kusyairi (ed.),

Kota Lama, Kota Baru,158.

9 Greg Fealy dan Sally White, Ustadz Seleb; Bisnis Moral dan Fatwa Online (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), 54.

(9)

54

Relasi sosial keagamaan pasca reformasi berkembang sangat signifikan. Tersedianya ruang terbuka yang dikonstitusionalkan tentu berkontribusi dalam mengekspresikan ritus-ritus keagamaan yang terbuka. Hal demikian berpengaruh pula pada pola dan karakteristik masyarakatnya. Terkhusus di wilayah masyarakat urban, situasi zaman di era pasca reformasi ini menjadikannya lebih terbuka. Sehingga, berbicara tentang karakteristik masyarakat urban konteks masyarakat kota Semarang yang bukan hanya terdiri dari suku Jawa dan berbagai etnis lain menarik dan unik diteliti sebagai karya akademik. Mengingat bahwa pergumulan budaya dengan beragam bangsa dan sub-sub etnis di Nusantara selama puluhan abad itu, terbentuklah budaya lokal10 Semarangan. Tetap mempertahankan

nilai-nilai lokalnya11, ekspresi budaya yang bernuansa religious Islam, dan budaya hybrid

yang memadukan beragam elemen budaya, etnis dan agama.12 Masyarakat Muslim

urban di kota Semarang juga terdapat beberapa wilayah dengan tradisi keagamaannya sangat tradisional, misalnya di kawasan Kauman kota lama,

10Budaya lokal yang dimaksudkan disini adalah perilaku sehari-hari masyarakat Semarang yang berbasis pada nilai-nilai tradisi yakni ekspresi budaya yang berorientasi pada spirit Jawa pesisiran.

11 Bagaimana penghayatan spiritualitas orang Jawa yang kental dengan ritus-ritus lokalitas. Di mana kesadaran manusia dalam pencapaiannya akan kehadiran realitas ketuhanan dan dapat ditempuh melalui pengalaman titah dari pusat hati, lewat suara tanpa rupa sebagai upaya menemukan kesucian sejati. Lihat juga bukunya Setyo Hajar Dewantoro, Suwung Ajaran Rahasia Leluhur Jawa (Banten: Javanica, 2017), 10.

(10)

55

Gunungpati, Tembalang. Mereka masih melakukan kegiatan amalan keagamaan tradisional13, dari cara beribadahnya teridentifikasi warga Nahdlatul Ulama.14

Spirit Jawa pesisiran15 merupakan bagian dari budaya lokal sebagai

identitas masyarakat kota Semarang. Di mana, masyarakat Jawa pesisiran itu disebabkan karena sejumlah sebab, antara lain secara geografis Semarang memang berada dalam enclave budaya pesisir yang mayoritas penduduknya adalah pemeluk Islam. Namun selama ratusan tahun Semarang juga berada dibawah penjajah, hingga jika dilihat dari bentuk ekspresinya, kearifan lokal masyarakat Semarang dapat dikategorisasikan sebagai orang pesisir yakni berkebudayaan secara Jawa dan Islam, bertabiat merdeka dengan kata lain mandiri, dan berorientasi pada gaya hidup yang kosmopolit (berciri kota, dinamis), bukan bergaya hidup “ndeso” yang statis atau berorientasi pada kemapanan.16

13Semarang memiliki upacara rutin sebagai tradisi masyarakat Semarang, yakni Tradisi

Dugderan, salah satu tradisi yang selalu ditunggu-tunggu oleh warga Kota Semarang dalam setiap

tahunnya. Tradisi ini berawal dari adanya suara duk-duk-duk beduk Masjid Agung Kauman yang kini diistilahkan Masjid Agung Semarang, dan der-der-der suara petasan yang dinyalakan di Kanjengan. Suara tersebut merupakan tanda bahwa esok hari adalah pertama bulan Ramadhan. Dalam perkembangannya, terciptalah tradisi Dugderan dan diakhiri dengan karnaval. Pada awalnya karnaval tersebut diikuti oleh masyarakat Kauman. Seiring perkembangannya kini selain masyarakat Kauman, karnaval ini telah pula diikuti oleh warga Semarang khususnya yang beragama Islam. Lihat juga karyanya Wijanarka, Semarang Tempo Dulu: Teori Desain Kawasan Bersejarah (Yogyakarta: Ombak, 2007), 16.

14Interview dengan Djawahir Muhammad, Budayawan Semarang, pada tanggal 27 Maret 2017 dilakukan di kediamannya, di Semarang.

15Spirit Jawa pesisiran ditafsirkan sebagai penghargaan terhadap kebebasan individu yang bersifat religious, berwatak kosmopolit, bersikap mandiri dan berjiwa egaliter (tidak membedakan manusia berdasarkan derajat, namun meletakkan manusia sebagai makhluk yang memiliki derajat yang sama atau bersifat equal).

(11)

56

Kota Semarang merupakan kota metropolitan yang didalamnya memiliki beragam etnik, kiranya hal ini dapat mempengaruhi bagaimana karakteristik keberagamaan masyarakat urban di Semarang. Kecenderungan Pluralisme itu bahkan telah berkembang sejak kota ini didirikan oleh Ki Ageng Pandanarang 469 tahun silam. Pluralisme budaya dan heteroginitas masyarakat Semarang telah mendorong tumbuhnya persemaian dua budaya atau lebih dari etnis yang berbeda, yang melahirkan sebuah entitas budaya “baru”.17 Di samping itu masyarakatnya

yang mayoritas pedagang, kota Semarang secara etnografis juga merupakan salah satu kota dengan nuansa kampung santri dari sekian banyak kota di Indonesia. Meminjam apa yang disampaikan Djawahir Muhammad, budayawan terkemuka di Semarang bahwa Semarang sebagai kota yang disiapkan Belanda sebagai kota perdagangan, masyarakatnya selain kosmopolit juga punya spirit sebagai pedagang. Pedagang itu punya karakter lebih baik jadi juragan kecil, daripada jadi kacung besar. Hal ini yang kemudian berpengaruh terhadap pola keberislamannya.18

Di Kota Semarang, terdapat Masjid tua yang berjasa besar dalam penyebaran Islam di Jawa. Masjid Jami’ Pekojan adalah salah satu di antara masjid-masjid tua yang mempunyai arti sejarah di Kota Semarang. Masjid ini secara administratif berada di Jalan Petolongan 1, Kampung Pekojan, Kelurahan 17Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu (Semarang: Penerbit Tanjung Sari, 1978), 96. 18Interview dengan Djawahir Muhammad, Budayawan Semarang, 27 Maret 2017 dilakukan di kediamannya, di Semarang.

(12)

57

Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah. Tempat ini masih menjadi satu dengan perkampungan tua yang kini terkenal di Semarang yakni Pecinan. Untuk dapat mengakses masjid ini cukup mudah, dari Jalan Pekojan sudah tampak Jalan Petolongan. Selain itu, masjid ini sangat popular, hampir semua orang mengetahui keberadaannya. Meskipun di tengah-tengah hiruk pikuk perdagangan di kawasan Pecinan, masjid ini selalu ramai ketika tiba waktu shalat. Masjid ini berada di perkampungan padat penduduk, dikelilingi bangunan-bangunan besar dengan ciri khas bertembok tebal ala Eropa. Kebanyakan dari bangunan ini dipergunakan untuk berdagang, sehingga banyak karyawan yang shalat di masjid tersebut.

“Alhamdulillah, keberadaan masjid ini sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Jamaahnya setiap hari selalu banyak, paling tidak ketika Duhur dan Ashar ada tiga hingga empat shaf di bangunan ini. Daerah sini kan banyak sekali pertokoan dan pergudangan. Karena itu, selain masyarakat setempat, jamaah masjid ini juga banyak karyawan atau pendatang. Biasanya usai shalat, jamaah berduduk-duduk santai sejenak untuk melepas lelah”.19

Masih tentang Masjid Pekojan, dalam prasasti yang tertulis di dinding terbuat dari marmer, masjid itu berdiri di atas tanah wakaf pemberian saudagar Gujarat, India, Khalifah Natar Sab. Setelah menetap di Semarang, kemudian membangun sebuah mushala kecil dengan dikelilingi makam. Sayangnya tak ada data otentik kapan awal mula mushala yang kemudian menjadi masjid itu dibangun. Tulisan dengan menggunakan Arab pegon gundul itu menyebutkan bahwa mushala dipugar oleh lima panitia utama masjid yaitu habib seperti H. Muhammad Ali, H.

(13)

58

Muhammad Asyari Akwan, H. Muhammad Yaqub, Alhadi Ahmad, H. Muhammad Nur dan H. Yaqub. Masjid ini dipugar sekitar tahun 1309 Hijriah atau 1878 Masehi.

Masjid ini telah mengalami banyak renovasi, dimana renovasi besar-besaran dilakukan pada tahun 1975-1980. Bangunan asli masjid ini hanya seluas sekitar 16 meter persegi menggunakan kayu. Kala itu, mushala kecil hanya digunakan oleh kebanyakan pedagang dari Gujarat yang melakukan bongkar muat perdagangan di Kali Berok Kota Semarang. Sebelum menjadi perkampungan padat penduduk, daerah Pekojan merupakan area labuhan barang dagangan dari berbagai negara. Hal ini terbuktu dengan terbentuknya kampung-kampung yang berlatar belakang nama wilayah atau suku sebuah negara. Perkampungan itu bisa dijumpai di Semarang Utara dan Tengah tak jauh dari Kali Semarang. Dalam perkembangannya, wagra sekitar banyak yang mewakafkan tanah untuk bangunan Masjid Pekojan hingga sekarang berdiri di lahan seluas 3.515 meter persegi. Serambi masjid terlihat megah, namun bangunan inti dengan empat pilar yang berusia ratusan tahun itu masih dipertahankan.

“Bangunan sekitar 16 meter persegi sebagai bangunan inti masjid masih utuh. Bangunan inti itu berada di tengah empat tiang dengan ciri ubin yang masih asli. Meskipun sama-sama ubin tua, namun bangunan inti berbeda, coba saja dilihat di bawah karpet, pasti corak ubinnya berbeda”.20

Pada bagian dalam, pada dinding depan dan ruang imam, plafon dari kayu jati masih utuh. Mimbar masid dari kayu jati bercat hijau, yang biasanya digunakan

(14)

59

ceramah atau hutbah juga masih tertata rapih. Pda bagian atas ruang imam ada ukiran bulan sabit bertuliskan syahadat dan bintang. Ciri khas bangunan kuno bagian tembok tebal, daun pintu tinggi berukir kipas. Ada jendela kecil dihiasi kaca patri dan teralis berbentuk bungan. Saat ini masjid dibangun dua lantai dengan dilengkapi aula di bagian depan.

1. Tradisi Dugderan dalam Relasi Sosial Masyarakat Semarang

Relasi sosial masyarakat urban di kota Semarang dapat dibangun dengan pendekatan tradisi dan kebudayaan lokal yang telah berkembang sejak berabad-abad. Perayaan tradisi Dugderan sebagaimana disinggung di awal, bahwa tradisi ini merupakan ritual tahunan yang diselenggarakan oleh masyarakat Kota Semarang. Tradisi ini berkembang sejak tahun 1881 M di Masjid Besar Kauman Semarang. Dalam tradisi ini terdiri dari tiga agenda utama, yakni pasar malam (Dugder), prosesi ritual pengumuman awal puasa (Ramadhan)21 dan kirab budaya Warak Ngendok. Tiga agenda

tersebut kini menjadi satu kesatuan dalam tradisi Dugderan yang kini masih dilestarikan dan dirayakan dengan segala dinamika dan perkembangannya. Melihat sejarah awal kemunculannya, Warak Ngendok bukanlah dimaksudkan sebagai simbol akulturasi budaya Cina, Jawa, dan Arab. Ia

21Pengumuman awal bulan Ramadhan bertujuan untuk memberitahukan kepada seluruh masyarakat Semarang mengenai penetapan awal puasa. Selain itu segala saana untuk berkumpulnya masarakat Semarang yang multietnis dalam suasana menyenangkan. Bahkan suasana semakin membaur dengan hadirnya simbol bintang khayalan yang dinamakan Warak Ngendok.

(15)

60

hanyalah sebuah binatang rekaan hasil rekayasa ulama pada masa itu yang ditujukan sebagai sarana penanaman nilai-nilai ke-islaman kepada masyarakat untuk memacu semangat dalam menyambut datangannya bulan suci Ramadhan.22 Semangat seperti ini yang digambarkan oleh

Clifford Geertz melahirkan sebuah kebudayaan sebagai pedoman dan strategi adaptasi dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidup dengan menyesuaikan dan memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan sekitar.23

Penduduk masyarakat yang ada di Kota Semarang24 termasuk

masyarakat yang religius. Di mana setiap individu memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing. Hal ini tidak lepas dari sejarah kota Semarang yang merupakan salah satu kota obyek persinggahan dan penyebaran agama, terutama agama Islam yang mayoritas penduduk kota Semarang beragama Islam.25

22 Lihat Zainal Mawahib, “Kebudayaan Masyarakat Semarang: Warak Ngendok sebagai Simbol Akulturasi dan Tradisi Dugderan Menjelang Ramadhan” (Makalah, Semarang: UIN Walisongo, 2014), 6-7.

23 T.R. Rosidi, Kesenian Suatu Pendekatan Kebudayaan (Bandung: Penerbit STISI, 2000), 3. 24 Kota Semarang merupakan salah satu kota yang ada di pesisir utara di Jawa Tengah. Secara geografis, Kota Semarang berada di garis 6o 50’-7o 10’ Lintang Selatan dan garis 109o 35’ – 110o 50’ Bujur. Sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa, sebelah timur dibatasi oleh Kabupaten Demak, sebelah selatan dibatasi oleh Kabupaten Semarang dan sebelah Barat dibatasi oleh Kabupaten Kendal. Kota Semarang terbagi menjadi 16 Kecamatan dan 177 Kelurahan dengan luas wilayah 373,70 Km-2. Selengkapnya lihat, Pemerintah Kota Semarang, Semarang dalam Angka 2012, Semarang: Pemerintah Kota Semarang bekerjsama dengan Bappeda Kota Semarang dan Badan Pusat Statistik Kota Semarang, 2013, 2.

(16)

61

Dalam catatan sejarah, Kota Semarang ini didirikan oleh seorang pemuda bernama Ki Pandan Arang pada tahun 1476 M. Ki Pandan Arang inilah dalam msyarakat Semarang disebut sebagai pendiri Kota Semarang dan sekaligus menjadi bupati26 Semarang yang pertama.27 Ki Pandan Arang

diberikan izin dari Kesultanan Demak untuk membuka wilayah yang berada di sebelah barat Demak, yang belakang hari disebut Semarang.28 Sehingga

inilah yang menjadikan mayoritas masyarakat Kota Semarang beragama Islam. Selain agama Islam, penduduk kota Semarang juga mengakut agama lain seperti Katholik, Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu dan lain-lain.

Dalam kehidupan beragama, masyarakat Semarang juga memiliki ritual-ritual simbol keagamaan yang dilaksanakan sebagai tradisi masyarakat. Selain ritual ibadah yang telah diwajibkan agama masing-masing, ritual tersebut telah mentradisi dan dilakukan kolektif oleh masyarakat secara turun-temurun dengan tata cara tertentu. Dalam proses tersebut terjadi akulturasi antara nilai-nilai agama yang dianut dengan budaya etnik tertentu, bahkan ada yang merupakan akulturasi multikultural

26 Mulai tahun 1945, pemerintahan dipimpin oleh Walikota, lihat Triyanto dkk, Warak

Ngendhog: Simvol Akulturasi Budaya pada Karya Seni Rupa, Jurnal Komunitas, Edisi 5, Vol. 2, 2013,

164.

27 Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu, Semarang: Penerbit Tanjung Sari, 1978, 36. 28 Selengkapnya baca Ibid.,47. Mengenai asal-usul nama “Semarang” berasal dari kata “Asam Arang”. Karena di daerah Semarang dulu banyak tumbuh pohon Asam yang sangat berguna untuk masyarakat dan daunnya yang tumbuh bergerombol dan arang-arang (bahasa Jawa untuk Jarang) hingga disebut dengan Semarang. Lihat juga Jongkie Tio, Kota Semarang dalam Kenangan (Semarang: Lembaga Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang, 2007), 8-9.

(17)

62

(hibryd culture). Terlebih dalam sejarahnya Semarang menjadi kota banyak disinggahi dari berbagai etnis pendatang dari berbagai negara.

Keberagaman etnis ini tergambar dengan adanya pemukiman seperti wilayah Pacinan dan Pedamaran. Wilayah ini sekarang berada di sekita jalan Gang Pinggir sampai jalan Mataram. Pemukiman ini didirikan oleh pendatang dari daratan Cina pada masa Laksamana Chen Ho. Kemudian ada pemukiman orang-orang muslim melayu yang mendirikan pemukiman di kawasan Kampung Darat dan Kampung Melayu. Demikian juga orang muslim Arab, India, Pakistan dan Persia yang datang mendirikan pemukiman di wilayah Pakojan. Kawasan ini di sekitar jalan Kauman, jalan Wahid Hasyim sampai jalan Petek di Semarang Bagian Utara.29

Keberagaman penduduk tersebut juga membuat keberagaman kebudayaan. Setiap warga Semarang mempunyai kebudayaannya sendiri-sendiri berdasarkan negara asalnya. Namun seiring berjalannya zaman terjadi sebuah pembauran secara kultur. Seolah tidak ada batas antara kelompok masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Sehingga jadi sebuah masyarakat yang multikultul dan multietnis.

Keberadaan Semarang yang termasuk dalam wilayah budaya Jawa pesisiran menjadikan tempat pergumulan budaya lokal dengan berbagai

29Supramono, Makna Warak Ngendog dalam Tradisi Ritual Dugderan di Kota Semarang (Tesis, Universitas Negeri Semarang, 2007), 50.

(18)

63

ragam etnis berhasil menghasilkan mozaik budaya lokal yang plural. Tampak pada aktivitas kultur upacara atau tradisi yang berkembang. Karakter masyarakat pesisir yang bersemangat kerakyatan, terbuka, apa adanya dan religius diimplementasikan dalam bentuk tradisi, seminal sedekah laut di kampung nelayan Tambak Lorok dan Bandarjo.30

Dalam hal tradisi keagamaan yang masih diselenggarakan oleh pendudukan muslim Semarang misalnya tradisi selamatan atas syukuran,

Yasinan, Tahlilan, Khataman, Manaqiban, Berzanzii, Takbiran dan

Dugderan. Selain tradisi keagamaan umat Islam, di Kota Semarang juga memiliki tradisi ritual yang dikembangkan oleh warga umat yang lain. terutama dari etnik Tionghoa. Semenjak berakhirnya orde baru, tradisi-tradisi budaya maupun ritual warga Tionghua kembali semarak hingga sekarang ini. Tradisi tersebut seperti arak-arakan Dewa Bumi, perayaan Imlek, arak-arakan Sam Po Kong dan larung sesaji untuk Dewa Samudra.31

Setiap menjelang datangnya bulan Suci Ramadlan, masyarakat Kota Semarang mengenal tradisi Dugderan. Sebuah pasar malam yang berlangsung meriah dan seru dilakukan hingga sekarang ini dengan berbagai macam perkembangannya. Tradisi ini sudah mulai berlangsung

30 Triyanto dkk, Warak Ngendhog: Simvol Akulturasi Budaya pada Karya Seni Rupa, Jurnal Komunitas, Edisi 5, Vol. 2, 2013, 61.

(19)

64

sejak zaman pemerintahan Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung (KRMT) Purbaningrat.

Pada tahun 1881 M, di Kota Semarang pada masa Bupati KRMT Purbaningrat, berkembanglah serbuah tradisi berupa arak-arakan menyambut datangnya bulan Ramadlan atau bulan Puasa. Masyarakat Kota Semarang menyebutkanya dengan istilah Dugderan. Setelah sesaat umat Islam melaksanakan shalat Ashar, tepat sehari menjelang bulan Ramadlan, dipukullah bedug Masjid Besar Kauman disusul dengan penyulutan meriam di halaman pendapa kabupaten di Kanjengan. Begud mengeluarkan bunyi “dug” dan meriam mengeluarkan bunyi “der” yang berkali-kali pada akhirnya digabungkan menjadi istilah Dugderan.32

Mendengar suara Dug dan Der yang keras dari sekitar alun-alun pusat kota (sekarang Kota Lama, Kauman), masyarakat pun berbondong-bondong datang untuk menyaksikan apa yang terjadi. Masyarakat pun berkumpul di alun-alun di depan masjid, keluarlah Kanjeng Bupati dan Imam Masjid Besar memberikan sambutan dan pengumuman. Pada saat itu yang menjadi Imam Masjid Besar Kauman adalah Kyai Tafsir Anom.33 Bagi

Tubagus P. Svarajati, seniman yang juga orang semarang asli menyatakan keunikan masyarakat muslim urban kota Semarang, terkhusus yang ada di 32Selengkapnya baca juga Edy Muspriyanto dkk, Semarang Tempo Doeloe; Meretas Masa (Semarang: Terang Publishing, 2006), 111-112.

(20)

65

wilayah Kauman Kota Lama. Bahwa ritual yang dikemas dengan sederhana menjelang bulan suci Ramadhan melalui perayaan Dugderan, merupakan representasi nilai-nilai keislamannya cukup kental. Makna, nilai-nilai ritual simbol Dugderan, sebagai representasi keberagamaan Muslim urban Semarang ini yang perlu dirawat dan diketahui oleh masyarakat Muslim pada umumnya.34

Selain itu, tujuan dari diciptakannya tradisi Dugderan tersebut untuk mengumpulkan lapisan masyarakat dalam suasana suka cita untu bersatu, berbaur dan bertegur sapa tanpa pembedaan. Selain itu dapat dipastikan pula awal bulan Ramadlan secara tegas dan serentak untuk semua paham agama Islam berdasarkan kesepakatan Bupati dengan imam Masjid. Sehingga terlihat semangat pemersatu dangat terasa dalam tradisi yang diciptakan tersebut.35

Proses ritual diawali dengan persiapan peserta arak-arakan Dugderan dan pentas Warak Ngendok serta tari Semarangan di Balaikota. Rombongan yang dipimpin oleh Walikota Semarang yang memerankan Bupati Semarang mulai berangkat dari Balaikota menuju Masjid Besar Kauman sekitar pukul 14.00 WIB dengan rute melewati jalan Pemuda. Rombongan Bupati Semarang dikawal oleh prajurti patang puluh dan arak-34 Interview Tubagus P. Svarajati, Senin, 30 April 2018.

35Supramono, Makna Warak Ngendog dalam Tradisi Ritual Dugderan di Kota Semarang (Tesis, Universitas Negeri Semarang, 2007), 65-66.

(21)

66

arakan Warak Ngendok. Sementara itu di serambi Masjid Besar Kauman telah berkumpul puluhan ulama dan habaib termuka di Semarang. Para ulama dan habaib membahas tentang awal bulan puasa dari berbagai dasar ilmu perhitungan. Musyawarah dipimpin oleh ulama tertua Masjid Besar Kauman. Setelah diambil keputusan bahwa puasa dimulai pada besok hari, maka dibuatlah surat keputusan ualama pada selembar kertas.36

Tidak lama kemudian, rombongan Bupati dan hadir pul Gubernur Jawa Tengah yang memerankan pemimpin Kesultanan Mataram atasan dari Bupati Semarang. Para ulama menyambut kedatangan para umara dengan suka cita di pelataran masjid. Setelah itu diteruskan dengan ramah tamah dan penyampaikan keputusan ulama tentang awal bulan puasa di serambi masjid. Dalam hal ini Bupati mengikuti keputusan para ulama dan sebagai pengukuhan atas keputusan ulama, Bupati berdiri dan membacakan teks surat keputusan ulama dimulainya ibadah puasa di bulan Ramadlan. Setelah Bupati selesai membakan surat keputusan, Bupati memukul Bedug Masjid Besar Kauman disaksikan segenap undangan. Bunyi meriam berdentuman dari kawasan Kanjengan seusai tabuhan bunyi gedug. Suasana semakin

(22)

67

meriah dengan datangnya arak-arakan Warak Ngendog dan rombongan lainnya.37

Perkembangan selanjutnya tradisi ini tidak lagi menggunakan meriam sebagai penggantinya digunakankanlah bom udara dan sekarang sirene untuk menandai dimulainya tradisi Dugderan. Saat ini, tradisi ini sudah berkembang lebih semarak ditandai dengan datangnya para pedagang “tiban” yang menjajakan aneka permainan anak, makanan dan banyak lagi yang lain. Kondisi demikian memberikan warna baru terhadap trasidi Dugderan.38

Peninggalan sejarah yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, salah satunya adalah bangunan-bangunan yang memiliki nilai penting (sejarah, budaya maupun ilmu pengetahuan), baik yang berdiri sendiri maupun yang berada dalam satu kawasan seperti kawasan seperti kawasan kota lama yang terdapat di beberapa kota di Indonesia termasuk Semarang didalamnya, dimana banyak terdapat bangunan-bangunan tua peninggalan kolonial yang memiliki nilai sejarah dan budaya. Terbentuknya suatu kota dalam banyak sisi dapat dilihat sebagai suatu produk dari perkembangan kebudayaan. Didalamnya terdapat perwujudan ideologi, sosial serta perkembangan teknologi yang membantu mengkontruksi suatu 37 Supramono, Makna Warak Ngendog, 83-87.

38 Edy Muspriyanto dkk, Semarang Tempo Doeloe; Meretas Masa (Semarang: Terang Publishing, 2006), 113.

(23)

68

daerah menjadi kota yang kita kenal dewasa ini. Dengan demikian, terbentuknya kota sedikit banyak berdasarkan atas pengetahuan, norma, kepercayaan dan nilai-nilai budaya dari masyarakat dimasa lalu.39

2. Warak Ngendok sebagai Simbol dalam Tradisi Dugderan

Menurut penuturan sejarawan Semarang, Amin Budiman dan Djawahir Muhammad, tidak pernah bisa menyebutkan siapa pembuat Warak Ngendok karena tidak pernah ada dalam catatan sejarah.40 Akan tetapi

seperti halnya dengan sejarah Dugderan, Warak Ngendok diyakini juga sebagai kreasi dari Kyai Saleh Darat dan Bupati KRMT Purbaningrat, bisa sebagai kreasi perorangan di antara mereka atau kolaborasi keduanya. Menurut Supramono, bahwa ide Warak Ngendok berkaitan dengan tradisi Dugderan menyambut bulan Ramadlan tidak lain untuk memeriahkan acara sesuai ritual musyawarah dan pembacaan pengumuman awal puasa perlu dipukul bedug dan disulut meriam sebagai simbol pemersatu antara ulama dengan pemerintahan.

Pada tahun 1881 an, Warak Ngendok terbuat dari bahan-bahan yang sangat sederhana seperti kayu, bambu dan sabut kelapa. Namun pada sekarang ini, bahan-bahan yang digunakan adalah kayu, kertas minyak

39 Mundardjito, “Research Method For Historical Urban Heritage Area”, Makalah dipresentasikan pada Three Days Partical Course On Planning And Design Method For Urban Heritage, USAKI-T.U. Darmstadt, Jakarta, 10-12 April 2002, 1.

40 Hamzah Sahal, “Ihwal Warak Ngendok dan Dugderan”, Senin, 01 Agustus 2011, NU Online. Diakses 30 Maret 2018.

(24)

69

ditambah berbagai ornamen dari kertas karton, gabus dan sebagainya. Dalam perkembangannya ditemukan tiga kelompok Warak Ngendok berdasarkan bentuknya,41 yaitu:

a. Menilik bentuk Warak Ngendok Klasik, Warak Ngendok yang masi menampilkan unsur dan struktur asli serta diciptakan turun-temurun dalam wujud yang sama. Di mana kepalanya terdiri dari bagian mulut bergigi tajam, mata melotot, telinga tegak atau tanduk, jenggot yang panjang lebat. Begitu pun dengan badan, leher dan keempat kakinya ditutup bulu yang terbalik dengan warna berselang-seling merah, kuning, putih, hijau dan biru. Warak Ngendok Klasik juga terdapat ekor panjang, kaku melengkung berbulu serupa badan dan terdapat surai di ujungnya. Bentuk telur atau endhok terletak di antara dua kakai belakangnya.

b. Warak Ngendok yang bentuknya sudah dimodifikasi, secara umum sama dengan Warak Ngendok Klasik. Perbedaannya hanya dibagian kepala yang mirip dengan kepala naga. Ada kesamaan bentuk naga Cina atau naga Jawa. Mocong yang mirip buaya dengan deretan gigi tajam, lidah bercabang menjulur, mata melotot, berkumis dan berjanggut, bertanduk kecil bercabang seperti rusa, kulit bersisik, bersurai di bagian belakang kepala. Naga Jawa biasanya memakai mahkota di atas kepalanya.

(25)

70

c. Sedangkan bentuk Warak Ngendok Kontemporer, secara struktur sama dengan Warak Ngendok Klasik, namun detail-detail kepala dan bulu tidak sesuai. Misalnya kepalanya seperti harimau, bulunya tidak terbalik, tidak berbulu tapi bersisik dan sebagainya.

Ada ragam pendapat mengenai binatang Warak ini. Ada yang berpendapat bahwa binatang Warak ini merupakan perwujudan dari binatang sakti dalam kebudayaan Islam. Ada pula yang mengatakan, karena kota Semarang merupakan kota pelabuhan maka, tidak mustahil terjadi pembauran kebudayaan berbagai bangsa pendatang, di mana Warak ini menyerupai binatang dalam mitos kebudayaan Cina.42

Perbedaan pandangan tentang binatang yang disebut Warak ini diakui oleh Supramono dalam penelitiannya. Supramono mengatakan bahwa ada anggapan bahwa Warak ini berasal dari perpaduan beberapa simbol budaya. Binatang itu berkepala Kilin sebagai binatang paling berkuasan dan berpengaruh di Cina dengan badan Buroq sebagai binatang Nabi Muhammad saat Isra’ Mi’raj. Ada juga yang berpendapat bahwa Warak berkepala naga, binatang simbol milik orang cina dengan badan kaming, binatang yang banyak dimiliki orang pribumi Jawa dan sering digunakan untuk berkorban saat Idul Adha.

42 Jongkie Tio,, 37. Lihat juga Jongkie Tio, Semarang City, a Glance into the Past (Semarang: Lembaga Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang, 2007), 143.

(26)

71

Selain itu juga ada pendapat yang mengatakan bahwa Warak merupakan hadiah dari warga Cina agar digunakan untuk memeriahkan tradisi ritual Dugderan sebagai bukti ketulusan mereka untuk bersatu dan berdamai guna menebus kesalahannya waktu membakar masjid besar saat pemberontakan warga Pecinan dulu. Namun pendapat tersebut sangat lemah dasarnya, karena hanya mengacu pada pembentukan kepala Kilin atau naga pada Warak Ngendok. Sementara dari unsur nama, bentuk keseluruhan dan makna karya lebih dominan pengaruh kebudayaan Jawa dan Islam.43

Sebagaimana yang dikutip dalam buku Semarang Tempo Doeloe menyebutkan bahwa Legirah, seorang pembuat Warak Ngendok dari Kampung Purwodinatan Semarang, tidak mengetahui Warak itu binatang apa, dia hanya bisa membuat. Dia menuturkan bahwa dia juga berpikir terus kenapa binatang kakinya empat dan punya daun telinga tapi bisa memiliki telur.44

Belum lama ini, ada warga Trimulyo Genuk, H Kholid yang mengaku mempunyai sanad kesaksian atas sejarah awal mula Warak Ngendok dan tradisi Dugderan. Dia mengau bahwa Warak Ngendok diciptakan oleh Kyai Abdul Hadi seoarang seniman, mantan tukang kau dan pandai mendalang dan membuat patung hewan yang sampai sekarang

43 Supramono,,,88-89 44 Edy Muspriyanto,,, 114.

(27)

72

dikenal dengan Warak Ngendok. Menurutnya Kyai Abdul Hadi merangkai kayu dan rumput menjadi hewan sebagai simbol nafsu manusia, yaitu bersisik, mulutnya menganga dengan gigi bertaring, serta bermuka seram dengan badan seperti kambing. Itu gambaran nafsu yang harus dikalahkan dengan puasa. Maskot yang dilengkapi dengan telur (endhok) ini maksudnya apabila seseorang bisa bersikap wirai atau warak yang artinya menjaga nafsunya, maka akan mendapatkan ganjaran yang disimbolkan dengan telur atau endhok.45 Meskipun demikian, keragaman budaya multietnik sampai

dalam keutuhan karya yang disebut dengan Warak Ngendok.

Desiminasi sebuah tradisi melalui simbol-simbol lokalitas etnis salah satu upaya membangun solidaritas sosial keagamaan. Di Kota Semarang, hal tersebut tumbuh sdengan proses yang panjang sejak kota tersebut dibentuk. Salah satu simbol yang menguat ditengah masyarakat Semarang, yakni Warak Ngendok dalam festival tahunan, Dugderan. Menilik pada proses perkembangannya, bahwa binatang imajiner Warak Ngendok dan festival Dugderan yang dpercaya sebagai waliyullah menurut pengakuan seorang tokoh yang mengaku punya sanad kesaksian atas sejarah awal mula Warak Ngendok dan tradisi Dugderan. H Kholid (50), warga Trimulyo Genuk, mendapat cerita dari gurunya, almarhum KH Masrur. Masrur adalah mursyid

(28)

73

(pembimbing) tarekat asal Jawi, Demak. Ia murid dari Kiai Zaid Girikusumo, Mranggen, Demak. Lanjut Kholid, Kyai Zaid adalah ayah dari Kiai Zuhri. Zuhri adalah ayah dari ulama toriqoh terkenal di Jateng, KH Munif Muhammad Zuhri.

“Guru Saya, Kiai Masrur mendapat cerita dari gurunya, Kiai Zaid. Kiai Zaid yang merupakan kakek dari Mbah Munif Girikusumo ini mendapat riwayat dari gurunya, Kiai Abdul Hadi. Mbah Hadi inilah sahabat sekaligus guru ngaji Adipati Surohadimenggolo alias Simbah Terboyo. Kita tahu, beliau adalah waliyullah yang makamnya ada di belakang masjid keramat Terboyo”.

Inti dari kisah bersambung tersebut, jelas Kholid, Adipati Surohadimenggolo yang memerintah di masa VOC berkeluh kesah kepada gurunya, Mbah Hadi. Sang adipati ingin berbuat sesuatu untuk membimbing ibadah rakyatnya dalam berpuasa. Mbah Hadi menyarankan agar Bupati membuat pertemuan dengan rakyat dan membuat tengara masuknya bulan puasa. Usul Kiai Abdul Hadi diterima Adipati Hadimenggolo. Dia pun meminta tolong guru sekaligus sahabatnya itu untuk membuat maskot acara pertemuan besar yang digagasnya itu. Kiai Abdul Hadi yang seorang seniman, mantan tukang kayu dan pandai mendalang, membuat patung hewan yang sampai sekarang kita kenal sebagai Warak Ngendok.

“Mbah Hadi merangkai kayu dan rumput menjadi hewan simbol nafsu manusia. Yaitu bersisik, mulutnya menganga dengan gigi bertaring, serta bermuka seram dengan badan seperti kambing. Itu gambaran nafsu yang harus dikalahkan dengan puasa. Maskot ciptaan Kiai Hadi itu dilengkapi telur. Sang guru ini menerangkan

(29)

74

kepada adipati muridnya, bahwa jika orang bisa bersikap wirai atu Warak yang artinya menjaga nafsunya, maka akan dapat ganjaran. Simbolnya telur alais endog. Puas dengan maskot tersebut, Adipati Hadimenggolo lantas mengumumkan kepada warga Semarang untuk berkumpul di alun-alun (depan Masjid Kauman sekarang). Dia lalu meminta takmir masjid Kauman membunyikan meriam tanda akan datangnya bulan Ramadhan. Sejak saat itu, masyarakat membuat Warak Ngendok sebagai simbol datangnya Ramadhan”.

Bunyi meriam dug dan der itulah yang kemudian melahirkan istilah Dugderan. Yaitu nama festival menyambut bulan puasa. Sedangkan masyarakat desa, termasuk Demak, mengenal istilah megengan untuk menyebut masa itu. Megengan dalam bahasa Jawa berarti mengekang atau manahan. Maksudnya mengekang hawa nafsu istilah Arabnya Warak itu.

“Sampai sekarang, orang desa menyebut festival jelang Ramadhan adalah megengan. Kalau orang kota lebih sering mendengar istilah dugderan. Sebab memang penanda datangnya puasa adalah bunyi meriam di masjid kauman. Dug dan Der”.

Lantas, pertanyaan pun muncul mengapa selama ini Pemkot Semarang menyebut festival Dugderan dicanangkan oleh Adipati Aria Purbaningrat pada tahun 1881?. Berkaitan hal ini Kholid sebagai sejarawan Semarang, mengaku tidak tahu dasar Pemkot mengambil tokoh tersebut. Yang jelas, Kholid mendapat cerita seperti yang selama ini beredar di masyarakat.

(30)

75

“Saya mendapat cerita secara mutawatir dari jalur keilmuan. Guru saya hingga gurunya Adipati. Saya kira sejarah Semarang memang perlu diteliti kembali dan dicari titik temunya”.46

3. Tradisi Nyadran; Transformasi religiusitas masyarakat Semarang

Ritual Nyadran dengan menyembelih kambing dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Kegiatan ini sudah sejak zaman nenek moyang masyarakat Kota Semarang. Tradisi ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Ritual Nyadran bagi masyarakat Kota Semarang, ini dilakukan dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam rius dan objeknya. Di mana Nyadram tersebut ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif. Tradisi Nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Maha Kuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami. Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak heran jika pelaksanaan Nyadran masih kental dengan budaya Hindu-Budha dan animisme yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Walisongo.

(31)

76

Secara sosio-kultural, implementasi ritus Nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri dalam istilah Jawa) sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran menjadi ajang silaturahmi keluarga sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya dan religiusitas masyarakat Kota Semarang.47

Relasi sosial keagamaan melalui tradisi Nyadran ini menunjukkan bahwa tradisi masyarakat tradisional tetap terjaga. Warna keislaman masyarakat Kota Semarang memiliki kekhasan dengan basis islam tradisional yang masih kuat di wilayah pinggir.

4. Tradisi Gebyuran di Kampung Bustaman

Tradisi Gebyuran48 merupakan tradisi yang dilakukan seminggu

menjelang bulan Ramadhan dan melibatkan seluruh warga di Kampung Bustaman, Kelurahan Purwodinatan, Kota Semarang. Secara administratif kampung ini terdiri atas 2 (dua) RT dengan jumlah penduduk sekitar kurang lebih 330 warga. Kita bisa mengaksesnya tidak terlalu jauh dari pusat kota lama di era Hindia Belanda. Kampung ini juga bisa diakses dari jalan MT

47 Lihat juga https://budayajawa.id/tradisi-nyadran-di-kota-semarang/, diakses 21 April 2018.

48 Gebyuran dalam bahasa Jawa, Gebyur yang artinya menyiram dengan menggunakan wadah air. Berbagai alat digunakan, seperti ember, gayung, tong, selang air dan air yang diikat dalam kantong plastik lalu dilempar digunakan untuk membasahi warga.

(32)

77

Haryono, jalan Petudungan, Pekojan Tengah maupun Bustaman Gedong.49

Kampung Bustaman diambil dari nama seorang Kiai yang juga dikenal sebagai kampungya leluhur Raden Saleh, di mana wilayah ini merupakan warisan yang diberikan oleh Belanda kepada Kiai Kertoboso Bustam (leluhur Raden Saleh0 setelah keberhasilannya mendamaikan orang Tionghoa dengan Belanda pasca Geger Pecinan abad ke-18. Atas jasanya, Kiai Bustam kemudian diwarisi sebidang tanah yang pada waktu itu di dekat kota Semarang, sehingga kemudian dinamakan kampung Bustaman (Baharudin Marasutanfi Raden Saleh 1807 – 1880).50

Tradisi Gebyuran merupakan ritual yang dapat menguatkan solidaritas sosial, masyarakat kampung Bustaman. Kampung kecil dan padat penduduk ini mampu merumuskan simbol-simbol ritual warisan leluhur sebagai tameng tradisi yang kuat sebagai masyarakat urban. Masyarakat urban membangun tradisi kolektif tidak melulu dihubungkan dengan pembagian kerja, namun masih banyak masyarakat urban yang memiliki perayaan kebudayaan mengikat sebagai solidaritas sosial. Meminjam argumentasinya Victor Turner, ia menyatakan bahwa salah satu fungsi ritual yakni menghadirkan kembali nilai-nilai yang sering dilupakan karena

49Akhmad Khairudin “Srawung Kampung Kota” (KampungnesiaPress, 2017

http://kampungnesia.org/berita-gebyuran-bustaman--tradisi-gengsi-dan-solidaritas.html#ixzz5GoYBGgL8 50

(33)

78

kesibukan keseharian. Fungsi ritual ini, selain menguatkan kembali masyarakat (Kampung Bustaman) juga sebagai pengingat hal-hal lain yang penting ketimbang kesibukan bekerja. Menurut Rudjanysah, ritual adalah indeks bagi sebuah struktur yang terbangun dari kelompok-kelompok itu. Menurut Victor bahkan lebih penting dari struktur karena merupakan ekspresi langsung dari struktur pengelompokan itu sendiri (Rudjansyah, 2015). Lebih lanjut menambahkan bahwa, ritual tak hanya mengekspresikan tetapi juga menguatkan kembali penghormatan yang orang miliki terhadap obyek-obyek sakral. Dalam hal ini, kampung Bustaman, masyarakat telah mewujudkannya dalam bentuk ritual Gebyuran Bustaman.51 Menilik proses

ritual yang berkembang sepanjang sejarah secara inten setiap tahunnya, penulis melihat setidaknya kampung Bustaman bagian dari representasi salah satu kampung di kota Semarang yang masih berkomitmen dalam menjaga tradisi leluhur yang sudah lama berkembang sejak abad 18. Tentu di sini memiliki keunikan tersendiri.

Pola relasi keberagamaan dan ritual simbol-simbol kebudayaan di atas menjadi khas bagi kalangan masyarakat urban di Kota Semarang. Masyarakat yang notabenenya sangat individualis dan rasional, namun masih terdapat banyak wilayah perkampungan yang masih menjaga tradisi

(34)

79

lokalitasnya. Barangkali ini terjadi tidak hanya di Kota Semarang, tetapi paling tidak Semarang salah satu dari kota-kota lain di Indonesia yang masih kental denga nuansa santri dan hibriditasnya.

5. Aktivitas Perekonomian Tradisional

Aktivitas ekonomi tradisional merupakan salah satu kontribusi penting atas perkembangan masyarakat urban di kota Semarang. Di mana perkembangan kampung Kauman, salah satu wilayah kota Semarang, tidak lepas dari pasar Johar yang menjadi sumber penghidupan sebagian masyarakat Kampung Kauman Semarang. Pasar Johar telah menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Kampung Kauman sejak awal berdirinya, yang juga ditopang oleh peran etnis Tionghoa dalam perkembangan ekonomi masyarakat Kampung Kauman. Artinhya, relasi sosial masyarakat urban Semarang telah dibangun sejak lama. Di mana etnis Tionghoa menjadi salah satu etnis yang turut berperan dalam perkembangan ekonomi masyarakat Kampung Kauman Semarang.52

C. Hibriditas dan Identitas Masyarakat Muslim Urban di Kota Semarang

Secara geografis, masyarakat Muslim tradisional di Kota Semarang, tampak lebih dominan di wilayah pinggir yang berbatasan dengan Kabupaten Demak,

52 Desimo Egasanti Martono, Sejarah Kampung Kauman Semarang: Menguak Sisi Sosial-Ekonomi Tahun 1992-2012, (Semarang: Skripsi Universitas Negeri Semarang, 2014), 39.

(35)

80

Kabupaten Kendal dan Kabupaten Semarang. Kebudayaan masyarakat muslim yang berada di pinggir itu merefleksikan sebuah pola keberagamaan yang berbeda dengan mereka yang berada di tengah. Warga kota semarang yang berada di pinggir lebih banyak memerankan pola-pola solidaritas mekanis. Ciri seperti ini, sangat melekat pada kategori masyarakat tradisional. Dalam pengertian ini masyarakat bukanlah sekedar wadah untuk terwujudnya integrasi sosial yang akan mendukung solidaritas sosial, melainkan juga pangkal dari kesadaran kolektif dan sasaran utama dari perbuatan moral. Moralitas merupakan suatu keinginan yang rasional. Jadi perbuatan moral bukanlah sekedar kewajiban yang tumbuh dari dalam diri melainkan juga kebaikan ketika diri telah dihadapkan dengan kehidupan sosial. Setiap individu yang melakukan pelanggaran nilai-nilai dan norma-norma kolektif timbul rasa bersalah dan ketegangan dalam batin. Nilai-nilai itu sudah masuk dalam batin dan memaksi individu, sekalipun pemaksaannya tidak langsung dirasakan karena proses pembatinan itu, untuk menyesuaikan diri.53

Hasil penelitian Tedi Kholiludin dalam bukunya, Menjaga Tradisi di Garis Tepi, menggambarkan bahwa jika ditilik secara historis, kekuatan kelompok tradisional pada awal mula perkembangan Islam di Kota Semarang justru dari pusat atau tengah, yakni wilayah yang kini dikenal sebagai Kauman. Basis muslim tradisional setidaknya hingga tahun 1970an, ada di wilayah tersebut. Masjid Agung

53Tedi Kholiludin, Menjaga Tradisi Di Garis Tepi; Identitas, Pertahanan dan Perlawanan

(36)

81

Semarang atau yang lazim dikenal sebagai Masjid Kauman adalah sentrum aktivitas kelompok ini. Di mana sekelilingnya diwarnai dengan kegiatan perekonomian tumbuh subur dengan pasar tradisional sebagai penyangganya. Aktivitas perdagangan mereka di pasar tradisional pada gilirannya turut memberikan kontribusi pada perkembangan kehidupan umat Islam tradisional yang berproses di masjid.54

Hal demikian lekat dengan pengaruh karakteristik dan pola hidup bermasyarakat masyarakat kota semarang secara umum. Kota sebagai pusat pertukaran barang dalam interaksi ekonomi bukan satu-satunya media interaksi sosial masyarakat urban di semarang, tetapi dengan tersedianya perkampungan di tengah kota juga pemukiman di wilayah pinggiran salah satu upaya yang membangun karakteristik masyarakatnya, juga pola keberagamaannya. Identitas yang telah dirumuskan melalui simbol-simbol ritual sosial budaya dan keagamaan membuka jalan transformasi pola keberagamaan masyarakat urban kota semarang.

Dari beragam bentuk ekspresi budaya hybrid di kota Semarang, persentuhan budaya Jawa dengan budaya Islam adalah yang paling kental. Implementasinya terdapat mulai dari upacara turun tanah (tedhak siti) bagi anak-anak, khitanan atau supit (khitan) bagi remaja, perhelatan nikah atau upacara perkawinan, sampai upacara pemakaman. Dalam upacara-uoacara itu orang

(37)

82

Semarang dengan nyaman menjalankan bersama-sama tradisi Jawa dengan tradisi Islam. Mereka tidak menyoalkan apakah hal itu diklarifikasi sebagai khufarat atau sinkretik, yang penting dapat melakukannya dengan nyaman (menjalankan secara bersama-sama tradisi Jawa dengan tradisi Islam). Pada sisi yang lain orang Semarang memiliki warisan budaya sebagai seorang pedagang. Seorang pedagang memiliki kebebasan lebih banyak dari seorang pegawai. Mereka boleh mengatur jadwal kegiatannya sendiri, boleh menentukan sendiri berapa target penghasilannya. Perilaku yang cenderung barangkali berasal dari lingkungan pesisir yang dipengaruhi ajaran agama Islam; tidak membeda-bedakan drajat atau egaliter. Mereka juga memiliki karakter equal (setara), dapat menerima budaya dari manapun datangnya.55

Keberagaman ekspresi kebudayaan di lingkungan masyarakat urban kota Semarang berkembang seiring dengan transisi pemerintahan dari era Orde Baru hingga pasca Reformasi yang kini sangat terbuka, demokratis. Sehingga pola keberagamaan yang dinamis (pengaruh reformasi) menjadi salah satu jembatan penting dalam membangun dan menjaga tradisi keagamaan moderat-tradisionalis bagi masyarakat urban di kota Semarang. Semarang menjadi salah satu kota di Indonesia yang telah mengalami perubahan sosial secara signifikan pasca reformasi didengungkan. Sebagai contoh perubahan yang berkembang adalah menguatnya

(38)

83

komunitas pemuda lintas iman, yang tergabung dalam organisasi Persaudaraan Lintas Agama (PELITA) Semarang. Peran penting organisasi ini salah satu komponen masyarakat yang mampu menjembatani relasi sosial keagamaan di kota Semarang. PELITA kerap menjadi salah satu organisasi pemuda yang melakukan negosiasi ketika terdapat potensi ketegangan sosial dalam masyarakat kota Semarang. Pantauan terhadap aksi-aksi intoleran salah satu visi penting yang dikembangkan oleh PELITA56. Baik bekerjasama dengan pihak kepolisian maupun elemen

masyarakat yang memiliki komitmen bersama menjaga semarang inklusif.

56 Organisasi yang dipelopori oleh pemuda lintas agama, salah satu organisasi penting yang berkembang di Semarang. Tentu masih banyak organisasi-organisasi lain yang memiliki komitmen bersama menjaga keragaman kota Semarang.

Referensi

Dokumen terkait

Karena kemampuan pemecahan masalah fisika peserta didik kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol, hal ini berarti bahwa penerapan model pembelajaran

Pada pemeriksaan Hb TM I dan TM II ibu mengalami keadaan Hb yang tidak normal, menurut Rukiyah (2010) Hb >11 gr% adalah Hb normal pada ibu hamil, namun

bermutu tinggi sesuai dengan budaya, untuk wanita, bayi baru lahir.

Tujuan khusus penelitian dan pengembangan buku pintar elektronik teks eksposisi (1) menghasilkan produk berupa bahan ajar multimedia untuk teks eksposisi dan buku

penelitian dengan judul “Rekayasa CD-ROM Berbasis Multimedia Interaktif untuk Pembelajaran Analyse Grammaticale ”. 1.2 Batasan dan

Hal terakhir dalam siklus yang harus dilakukan adalah pembentukan tim penanggung jawab  program  pengembangan  dan  implementasi  E‐Commerce.  Hampir 

Katakteristik pencahayaan split light digunakan untuk menghasilkan kesan yang dramatis, dengan kesan separuh terang dan separuh gelap pada wajah.. Split Light lebih efektif

50 Tahun 2012 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau yang juga disebut Sistem Manejemen K3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi