• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT WILAYAH BOGOR BARAT PERIODE SEBELUM 1945 SAMPAI 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT WILAYAH BOGOR BARAT PERIODE SEBELUM 1945 SAMPAI 2012"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU

PETANI HUTAN RAKYAT WILAYAH BOGOR BARAT

PERIODE SEBELUM 1945 SAMPAI 2012

ARINI KHAIRIYAH

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU

PETANI HUTAN RAKYAT WILAYAH BOGOR BARAT

PERIODE SEBELUM 1945 SAMPAI 2012

ARINI KHAIRIYAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk

Memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(3)

RINGKASAN

ARINI KHAIRIYAH. Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat Wilayah Bogor Barat Periode Sebelum 1945 Sampai 2012. Dibimbing oleh HARDJANTO dan YULIUS HERO.

Hutan rakyat adalah hutan yang dikelola rakyat diatas tanah milik. Pengelolaan hutan rakyat di wilayah Bogor Barat sudah dilakukan sejak dulu dan mampu menghasilkan kayu yang dapat dijadikan pendapatan bagi masyarakat khususnya petani hutan rakyat. Kayu yang dihasilkan berasal dari pohon jenis cepat tumbuh dan pohon jenis lambat tumbuh. Produksi kayu petani hutan rakyat terjadi perkembangan dari waktu ke waktu. Dengan adanya kondisi tersebut maka diperlukan adanya dokumentasi yang dapat dijadikan referensi dalam pengelolaan hutan rakyat di masa datang.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Dengan menggunakan lingkup spasial wilayah Bogor Barat dan lingkup temporal periode sebelum tahun 1945 sampai tahun 2012. Data yang digunakan adalah data primer (observasi, wawancara 52 orang responden dengan teknik snowball sampling) dan data sekunder (buku, jurnal, skripsi, tesis, disertasi, dan dokumen). Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode sebelum tahun 1945 belum ditemukannya data yang menunjukkan produksi kayu yang didapatkan dari hasil penebangan. Pada periode-periode berikutnya terjadi perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat yang berkembang secara fluktuatif. Pada pohon jenis cepat tumbuh cenderung meningkat dan pada pohon jenis lambat tumbuh cenderung konstan. Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat adalah harga kayu, teknologi, biaya produksi, dan waktu penebangan.

(4)

SUMMARY

ARINI KHAIRIYAH. Wood Production Development of Community Forest Farmers at Western Part of Bogor Before 1945 Periods Until 2012. Under supervision of HARDJANTO and YULIUS HERO.

Community forest is a forest which is managed by community on private land. Community forest management at Western Part of Bogor was performed since earlier and capable of producing wood which could become income for people especially for farmers. Wood producing consist of fast growing species and slow growing species. Wood production of community forest farmers was developing times after times. In case, wood production caused some factors. There was needs documentation which could become reference for community forest management in the future.

This reasearch used historical research methods, these are heuristic, critic, interpretation, and historiography. With spatially at Western Part of Bogor and temporally before 1945 period until 2012. The data have been collected consist of primary data (observation and interview with 52 respondents in snowball

sampling) and secondary data (books, journals, minithesis’, thesis’, disertations,

and documents). The methods of analysis used in this research were qualitative analysis and quantitative analysis.

The result show that before 1945 periods found no data indicating wood production from cut product. In next periods, wood production development of community forest farmers was fluctuative. Wood production development of fast growing species increased and slow growing species constant. Several factors that have influenced wood production development of community forest farmers at Western Part of Bogor are wood price, technology, cost of production, and times of cutting of trees.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat Wilayah Bogor Barat Periode Sebelum 1945 sampai 2012” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2012

Arini Khairiyah E14080042

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat Wilayah Bogor Barat Periode Sebelum 1945 sampai 2012

Nama : Arini Khairiyah NIM : E14080042

Menyetujui: Komisi Pembimbing,

Dosen Pembimbing I,

Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS. NIP. 19550606 198103 1 008

Dosen Pembimbing II,

Dr. Ir. Yulius Hero, MSc NIP. 196507071990031002

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP 19630401 199403 1 001

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, Provinsi DKI Jakarta, pada tanggal 03 Januari 1990 sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara keluarga pasangan Bapak Hasan Yahya dan Ibu Zakiah (Almh).

Penulis menempuh pendidikan dasar di MI. Fatahillah Jakarta pada tahun 1996 dan menyelesaikannya pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan ke MTs. Fatahillah Jakarta sampai tahun 2005, kemudian dilanjutkan ke SMA Negeri 3 Jakarta dan lulus pada tahun 2008.

Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pada semester 6 tahun 2011 penulis memilih bidang khusus Kebijakan Kehutanan.

Selama masa perkuliahan, penulis mengikuti organisasi kemahasiswaan diantaranya pernah menjadi anggota FMSC (Forest Management Student Club) pada tahun 2009-2010. Selain itu penulis juga aktif dalam kepanitiaan, antara lain: anggota panitia Forester Cup divisi acara tahun 2010, anggota panitia Temu Manajer divisi konsumsi tahun 2010, dan anggota panitia ISEE (International Scholarship Education and Expo) divisi konsumsi tahun 2011.

Tahun 2010 penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Papandayan-Sancang Timur. Pada tahun 2011, penulis melakukan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Pada tahun 2012 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Andalas Merapi Timber (PT. AMT), Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatera Barat.

Dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penyusunan skripsi yang berjudul Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat Wilayah Bogor Barat Periode Sebelum 1945 sampai 2012 dibawah bimbingan Bapak Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS dan Bapak Dr. Ir. Yulius Hero, MSc.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia dan kasih sayang-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat Wilayah Bogor Barat Periode sebelum 1945 sampai 2012”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan di Program Studi Bagian Kebijakan Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penyusunan skripsi ini dapat terlaksana atas bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orang tua, Kakak-Kakak, Abang-Abang dan Adik, yang selalu memberikan doa, dukungan, semangat dan nasehat sampai saat ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS dan Bapak Dr. Ir. Yulius Hero, MSc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu pengetahuan, nasehat, doa, dan pengertian serta staf pengajar dan karyawan Fakultas Kehutanan IPB. 3. Beasiswa BUMN, BP3K wilayah Bogor Barat, Dinas Pertanian dan Kehutanan

Kabupaten Bogor, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor, Kesatuan Bangsa, Politik, dan Masyarakat Kabupaten Bogor, Museum Perjoengan Bogor, Perum Perhutani KPH Bogor, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, dan para petani hutan rakyat wilayah Bogor Barat beserta narasumber yang membantu dalam pengumpulan data.

4. Teman-teman satu bimbingan Fitta Setiajiati dan Amelia Restaning, teman-teman MNH 45 dan Fakultas Kehutanan IPB, teman-teman-teman-teman IPB 45 (Kartika, Fatimah, Rahma, Sari, Putri), teman-teman kost Wisma Cantik (Fauziah, Rara, Emmy, Retno, dan Ade), Adit Yuliansyah dan semua pihak yang telah membatu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak.

Bogor, Desember 2012 Penulis

(9)

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 2 1.3 Tujuan Penelitian ... 3 1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Hutan Rakyat ... 5

2.2 Macam-macam Hutan Rakyat ... 5

2.3 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat ... 6

2.4 Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat ... 7

2.5 Pohon Jenis Cepat Tumbuh dan Lambat Tumbuh ... 8

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 9

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 9

3.3 Sasaran Penelitian ... 9

3.4 Ruang Lingkup ... 10

3.5 Metode Penelitian ... 10

3.6 Analisis dan Pengolahan Data ... 13

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Letak dan Batas ... 15

4.2 Keadaan Penduduk ... 16

4.3 Iklim dan Curah Hujan ... 17

4.4 Kondisi Umum Hutan Rakyat di Lokasi Penelitian ... 17

BAB V KARAKTERISTIK DAN PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT 5.1 Karakteristik Responden ... 19

(10)

5.1.2 Tingkat Pendidikan ………... ... 19

5.1.3 Pekerjaan Utama ... 20

5.1.4 Luas Lahan ………. ... 21

5.2 Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat Dari Waktu Ke Waktu ... 21

BAB VI ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT 6.1 Analisis perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat ... 26

6.1.1 Sebelum Tahun 1945 ... 26

6.1.2 Masa Orde Lama (1945-1966) ... 27

6.1.3 Masa Orde Baru (1966-1998) ... 28

6.1.4 Masa Reformasi (1998-2012) ... 30

6.2 Analisis Faktor-faktor Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat ... 32

BAB VII RINGKASAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT DAN IMPLEMENTASI DI MASA DATANG 7.1 Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat ... 35

7.2 Faktor-faktor Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat ... 37

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 39

6.2 Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40

(11)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Data jumlah desa dan luas per Kecamatan ... 16

2. Data jumlah penduduk wilayah Bogor Barat ... 16

3. Data jumlah hari hujan dan curah hujan Bogor Barat Tahun 2010... 17

4. Karakteristik petani hutan rakyat menurut umur ... 19

5. Karakteristik petani hutan rakyat menurut tingkat pendidikan ... 20

6. Karakteristik petani hutan rakyat menurut pekerjaan utama ... 20

7. Karakteristik petani hutan rakyat menurut luas lahan ... 21

8. Hasil tebangan pohon cepat tumbuh tahun 1945-1966 ... 22

9. Hasil tebangan pohon lambat tumbuh tahun 1945-1966... 22

10. Hasil tebangan pohon cepat tumbuh tahun 1967-1998 ... 24

11. Hasil tebangan pohon lambat tumbuh tahun 1967-1998... 24

12. Hasil tebangan pohon cepat tumbuh tahun 1998-2012 ... 25

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Peta wilayah Bogor Barat ... 15

2. Grafik perkembangan pendapatan petani hutan rakyat sejak sebelum tahun 1945 sampai tahun 2012 berdasarkan jenis pohon

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Data responden utama ... 44

2. Perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat Kecamatan Leuwiliang ... 46

3. Perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat Kecamatan Jasinga ... 47

4. Perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat Kecamatan Cigudeg ... 48

5. Perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat Kecamatan Sukajaya ... 49

6. Perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat Kecamatan Cibungbulang ... 50

7. Perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat Kecamatan Pamijahan ... 50

8. Perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat Kecamatan Rumpin ... 51

9. Perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat Kecamatan Leuwisadeng ... 52

10. Perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat Kecamatan Ciampea ... 52

11. Perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat Kecamatan Tenjo ... 53

12. Perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat Kecamatan Parung Panjang ... 54

13. Perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat Kecamatan Nanggung ... 55

14. Perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat Kecamatan Tenjolaya ... 56

15. Hasil tebangan pohon cepat tumbuh tahun 1945-1966 ... 57

16. Hasil tebangan pohon lambat tumbuh tahun 1945-1966 ... 57

17. Hasil tebangan pohon cepat tumbuh tahun 1967-1998 ... 58

18. Hasil tebangan pohon lambat tumbuh tahun 1967-1998 ... 60

19. Hasil tebangan pohon cepat tumbuh tahun 1998-2012 ... 61

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengelolaan hutan rakyat diyakini sudah dilaksanakan sejak puluhan tahun lalu tetapi pada saat itu kurang mendapat perhatian oleh masyarakat. Pengelolaan hutan rakyat pada saat itu masih sangat sederhana. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 46/kpts-II/1997, hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan pada tahun pertama dengan tanaman sebanyak 500 tanaman tiap hektar. Pengembangan hutan rakyat sejalan dengan amanat GBHN bidang ekonomi sub bidang ekonomi kehutanan. Didalamnya disebutkan pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup. Selanjutnya disebutkan bahwa pengembangan produksi kayu dan non kayu diselenggarakan dengan peningkatan pengusahan hutan rakyat (Attar 2000).

Hutan rakyat di wilayah Bogor Barat telah diusahakan sejak puluhan tahun yang lalu. Namun pada saat itu, hutan rakyat kurang diminati oleh masyarakat karena belum adanya pasar dan kayu rakyat belum laku untuk dijual. Pada saat ini, usaha hutan rakyat sudah marak dilakukan oleh masyarakat. Hal ini terlihat dengan makin banyak usaha hutan rakyat yang ada di wilayah Bogor Barat. Hasil penelitian IPB (1976) dan UGM (1977) menunjukkan bahwa konsumsi kayu bakar di Pulau Jawa sebagian besar disediakan oleh hutan rakyat (Darusman dan Hardjanto 2006). Hutan rakyat tidak hanya menghasilkan keuntungan bagi pemilik hutan rakyat saja, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat sekitar.

Pengelolaan hutan rakyat di wilayah Bogor Barat masih sebatas lingkup pedesaan, sehingga kontribusinya tidak terlalu banyak hanya sebatas lingkup pedesaan saja, dimana hasilnya masih sebatas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Luasan lahan yang dimiliki petani hutan rakyat di Bogor Barat tidak terlalu besar. Menurut Hardjanto (2000) luasan lahan hutan rakyat di Pulau Jawa hanya sedikit yang memiliki luasan yang sesuai dengan kriteria hutan yakni minimal

(15)

0,25 hektar, tetapi pengelolaannya mampu dijadikan sumber pendapatan bagi masyarakat khususnya petani hutan rakyat.

Kayu merupakan salah satu komoditi yang dijadikan sumber pendapatan bagi petani hutan rakyat, tetapi karena kayu tidak dapat memberikan hasil yang cepat maka komoditi ini hanya dijadikan pendapatan sampingan bahkan sebagai tabungan. Produksi kayu yang terjadi mengalami perubahan dan perkembangan dari waktu ke waktu. Produksi kayu yang dihasilkan didapatkan dari hasil penebangan kayu yang dilakukan oleh petani hutan rakyat. Penebangan kayu ini sudah terjadi sejak dulu, mulai dari periode sebelum tahun 1945 sampai sekarang. Pada masa sebelum tahun 1945 penebangan yang terjadi hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja seperti untuk kayu bakar. Kegiatan penebangan juga sudah mulai terjadi pada tahun 1945 sampai 1966 tetapi hasil penebangannya masih sedikit karena kayu yang ditebang hanya dipakai untuk kebutuhan tertentu saja seperti membangun rumah atau jembatan. Tahun 1967 sampai 1998 kegiatan penebangan kayu mulai banyak dilakukan oleh petani hutan rakyat untuk tujuan dijual. Hal ini juga terjadi pada tahun 1998 sampai 2012 kegiatan penebangan semakin banyak karena semakin banyak petani yang mengusahakan hutan rakyat. Selain itu harga kayu yang membaik menjadikan alasan bagi petani hutan rakyat untuk menebang kayu dan dijual. Dengan adanya kondisi tersebut, maka diperlukan penelitian untuk mendalami perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat periode sebelum tahun 1945 sampai tahun 2012 sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkembangan produksi kayu.

1.2 Perumusan Masalah

Pengelolaan hutan rakyat di wilayah Bogor Barat sudah mulai sejak lama, sampai saat ini perkembangannya semakin baik. Hal ini dapat dijadikan motivasi bagi petani hutan rakyat untuk mengembangkan hutan rakyat karena hutan rakyat tidak hanya memberi manfaat ekologis tetapi juga manfaat ekonomis. Manfaat secara ekologis, antara lain: perbaikan tata air, konservasi tanah, dan perbaikan mutu lingkungan. Sedangkan manfaat ekonomis dapat meningkatkan pendapatan petani hutan rakyat.

(16)

Pengusahaan hutan rakyat di wilayah Bogor Barat merupakan kegiatan pengelolaan yang dilakukan petani hutan rakyat untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Hasil dari pengelolaan hutan rakyat berupa buah-buahan dan kayu. Sebagian besar petani menjadikan kayu sebagai tabungan yang dapat ditebang dan memberikan tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Walaupun hutan rakyat telah berkembang seiring berjalannya waktu, tetapi tidak dipungkiri bahwa produksi kayu petani hutan rakyat terjadi perubahan dari waktu ke waktu.

Berdasarkan uraian tersebut, perumusan masalah dalam penelitin ini adalah sebagai berikut:

1. Kapan saja terjadi perkembangan produksi kayu dari hasil penebangan di wilayah Bogor Barat?

2. Jenis pohon apa saja yang ditebang oleh petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat?

3. Bagaimana sistem pemasaran yang dilakukan oleh petani hutan rakyat?

4. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadi perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat?

1.3 Tujuan

1. Mengkaji perkembangan produksi kayu dari pengelolaan hutan rakyat sejak periode sebelum tahun 1945 sampai tahun 2012.

2. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perkembangan produksi kayu yang terjadi sejak periode sebelum tahun 1945 sampai tahun 2012.

1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi Pemerintah

Penelitian ini membantu pemerintah dalam mengambil kebijakan dalam pengelolaan hutan rakyat. Suatu kebijakan yang diambil diharapkan bijaksana dan mampu menghasilkan produksi yang maksimal.

(17)

2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini membantu masyarakat khususnya petani hutan rakyat dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat sebagai bahan referensi agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan dapat menerapkan sistem pengelolaan yang tepat.

3. Bagi Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini memberikan dokumentasi ilmiah yang bermanfaat untuk kepentingan akademik maupun untuk bahan referensi penelitian serupa lainnya.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Hutan Rakyat

Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Menurut Keputusan Menhut Nomor. 49/Kpts II/97 Tanggal 20 Januari 2007 berbunyi hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar, dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% atau jumlah tanaman pada tahun pertama minimal 500 tanaman tiap hektar.

Menurut Broto (2008) hutan rakyat adalah hutan yang dikelola oleh rakyat baik usaha sendiri maupun atas bantuan pemerintah yang tumbuh dan berada diatas tanah yang dibebani hak milik, terdiri dari pohon-pohon berkayu yang ditanam secara monokultur ataupun campuran. Sedangkan menurut Setyawan (2002) hutan rakyat adalah hutan yang didirikan pada lahan milik atau lahan gabungan yang ditanami pohon yang dikelola oleh pemiliknya atau badan usaha menurut ketentuan pemerintah. Keberadaan hutan rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani, mikro organisme, mineral tanah, air dan udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya. Kreasi budaya yang dikembangkan dalam interaksinya dengan hutan, berbeda-beda antar kelompok manusia (Suharjito 2000).

Menurut Awang (2003) diacu dalam Romansah (2007) ciri hutan rakyat adalah kegiatan penanaman pohon dilakukan diatas tanah milik rakyat. Namun kegiatan ini bisa dilakukan dilahan milik negara yang kegiatannya berupa penanaman pohon dan hasilnya untuk rakyat. Hutan rakyat ada yang didirikan dengan tujuan subsisten dan ada yang komersial. Namun biasanya hutan rakyat diawali oleh kampanye pemerintah kepada rakyat untuk menanam di lahan kritis baik dengan luas lahan yang besar maupun kecil.

2.2 Macam-macam Hutan Rakyat

Departemen Kehutanan Republik Indonesia (1990) mengelompokkan hutan rakyat berdasarkan jenis tanaman dan pola penanamannya, yaitu: hutan rakyat

(19)

murni, hutan rakyat campuran, dan hutan rakyat dalam bentuk wanatani atau tumpang sari. Hutan rakyat murni adalah hutan rakyat yang tanamannya terdiri dari satu jenis tanaman yang ditanam secara homogen atau monokutur. Hutan rakyat campuran adalah hutan rakyat yang ditanami berbagai jenis pohon-pohonan. Sedangkan hutan rakyat wanatani adalah hutan rakyat yang jenis tanamannya dikombinasikan antara jenis tanaman kehutanan dengan jenis usaha tani lainnya, seperti pertanian, perkebunan, perikanan yang diusahakan secara terpadu dan dalam satu lokasi.

Menurut Supriadi (2001) hutan rakyat dibagi berdasarkan pola pengembangannya yang terdiri dari tiga, yaitu: hutan rakyat pola swadaya yaitu hutan rakyat yang didirikan oleh perorangan atau kelompok dengan modal, tenaga dan usaha sendiri dengan bimbingan dari kehutanan. Hutan rakyat pola subsidi yaitu hutan rakyat yang dibangun melalui bantuan dari pemerintah atau pihak yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat. Hutan rakyat pola kemitraan yaitu hutan rakyat yang didirikan oleh rakyat yang bekerjasama dengan suatu perusahaan dengan modal berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan.

Pola pembangunan hutan rakyat terdiri dari dua menurut IPB (1983) diacu

dalam Hardjanto (2003) sebagai berikut:

1. Hutan rakyat tradisional adalah hutan rakyat yang cara penanaman tanamannya pada lahan milik dengan usaha sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Biasanya penanamannya dicampur dengan tanaman lain seperti durian.

2. Hutan rakyat inpres yaitu hutan rakyat yang didirikan di lahan terlantar yang diprakasai pemerintah dalam bantuan proyek penghijauan.

2.3 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat

Menurut salah satu penelitian Lembaga Penelitian IPB (1990) diacu dalam Firani (2011) pada dasarnya pengelolaan hutan rakyat adalah upaya secara menyeluruh dari kegiatan merencanakan, membina, mengembangkan, menilai, serta mengawasi pelaksanaan produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran secara terencana dan berkesinambungan. Selain itu, tujuan akhir dari pengelolaan hutan rakyat adalah peningkatan peran kayu rakyat terhadap peningkatan pendapatan pengusahanya secara terus-menerus selama daur.

(20)

Kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani hutan rakyat umumnya sama antara lain terdiri dari kegiatan penyiapan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Pengelolaan hutan rakyat biasanya dilakukan sendiri oleh pemiliknya, namun apabila luas lahan yang dimiliki cukup besar tidak jarang pemilik lahan tersebut mempekerjakan orang lain untuk menggarap lahannya. Menurut IPB (1990) diacu dalam Umam (2010) pengelolaan hutan rakyat bertujuan untuk meningkatkan peran masyarakat, meningkatkan kualitas lingkungan dan meningkatkan pendapatan baik bagi petani maupun pemerintah.

Menurut Sumarta (1963) diacu dalam Setyawan (2002) besarnya pendapatan dari pengusahaan hutan rakyat belum merupakan indikator besarnya keuntungan yang didapatkan petani karena masih tergantung pada besar kecilnya biaya produksi yang dikeluarkan. Besarnya keuntungan pada pengusahaan hutan rakyat tergantung pada faktor-faktor lokasi (ekonomi), kesuburan tanah, cara pembinaan, jenis tanaman, dan harga hasil produksinya.

Menurut Hardjanto (2003) pengelolaan hutan rakyat merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat sub sistem yaitu sub sistem produksi, sub sistem pengolahan (industri), sub sistem pemasaran, dan subsistem kelembagaan. Sub sistem produksi adalah tercapainya produksi dalam jumlah dan jenis tertentu serta tercapainya kelestarian usaha. Sub sistem ini terdiri dari penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Sub sistem pengolahan atau industri adalah proses tercapainya hasil akhir berupa produk yang dihasilkan yang dijual oleh petani maupun untuk dipakai sendiri. Sub sistem pemasaran adalah proses tercapainya tingkat penjualan yang optimal. Sedangkan sub sistem kelembagaan adalah lembaga yang mengatur mengenai pengelolaan hutan rakyat baik lembaga formal maupun non formal.

2.4 Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat

Produksi adalah transformasi sumber-sumber (input) menjadi produk (output). Arti produksi sangat luas tidak hanya terbatas mengubah bentuk seperti dalam suatu pabrik, tetapi termasuk ke dalamnya proses-proses lainnya berbagai bentuk jasa, seperti transportasi, pembiayaan, dan penjualan partai besar dan

(21)

eceran (Wirakusumah 2003). Salah satu komoditi yang dihasilkan dari hutan rakyat adalah kayu. Menurut Prahasto dan Nurfatriani (2001) diacu dalam Nurfatriani dan Elvida (2002), produksi kayu yang berasal dari hutan tanaman baru dapat memberikan kontribusi sebesar 11,01% dari produksi kayu legal nasional pada lima tahun terakhir, dengan produksi kayu dari hutan rakyat baru mencapai 21% dari total produksi kayu yang berasal dari hutan tanaman.

Kayu yang berasal dari hutan rakyat terbukti telah berperan penting didalam perekonomian di Pulau Jawa. Beberapa kabupaten yang terkenal dengan produksi kayu sengon seperti Kabupaten Wonosobo di Jawa Tengah, Kabupaten Ciamis di Jawa Barat, dan lain-lain (Djajapertjunda 2003).

2.5 Jenis Pohon Cepat Tumbuh dan Lambat Tumbuh

Pohon cepat tumbuh merupakan jenis pohon yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dengan cepat seperti Akasia (Acasia mangium), Sengon, Jabon, Afrika dan sebagainya. Sebagian jenis cepat tumbuh merupakan jenis eksotik yaitu dapat tumbuh pada daerah yang bukan merupakan habitat aslinya (Perum Perhutani 2010). Sedangkan pohon jenis lambat tumbuh adalah pohon yang mempunyai kemampuan tumbuh yang lebih lambat dibandingkan pohon jenis cepat tumbuh, seperti Mahoni dan pohon jenis buah-buahan.

(22)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah Bogor Barat, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Wilayah Bogor Barat terdiri dari 13 kecamatan, yaitu: Kecamatan Parung Panjang, Tenjo, Cigudeg, Sukajaya, Jasinga, Nanggung, Leuwisadeng, Rumpin, Tenjolaya, Leuwiliang, Pamijahan, Cibungbulang, dan Ciampea pada bulan Mei sampai Juni 2012.

3.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer adalah data yang didapat dari sumber pertama, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder dari data yang kita butuhkan (Bungin 2008). Sumber data sekunder diharapkan mampu berperan membantu mengungkap data yang diharapkan. Data primer terdiri dari data identitas respoden, data kepemilikan lahan responden, dan data kegiatan penebangan yang dilakukan responden. Sedangkan data sekunder berupa data sosial ekonomi yang berhubungan dengan objek penelitian, baik yang tersedia di tingkat desa, kecamatan maupun instansi yang terkait lainnya.

3.3 Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ini adalah petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat. Petani yang diwawancarai berjumlah 52 orang. Pengambilan sampel petani menggunakan teknik Snowball. Teknik Snowball adalah teknik penentuan responden berdasarkan informasi responden sebelumnya untuk mendapatkan responden berikutnya sampai data yang dibutuhkan terkumpul (Endraswara 2006). Atas dasar rekomendasi dari responden ini, peneliti meneruskan wawancara kepada responden berikutnya dan selanjutnya sampai data yang dibutuhkan terkumpul.

(23)

Pengambilan sampel petani ini didasarkan pada petani yang memiliki lahan dan sudah pernah melakukan penebangan kayu, petani tersebut bisa berkomunikasi dengan baik dan mempunyai daya ingat yang baik.

3.4 Ruang Lingkup

Dalam penelitian ini menggunakan dua ruang lingkup yakni, lingkup spasial dan lingkup temporal, yaitu sebagai berikut:

1. Lingkup spasial dalam penelitian ini adalah wilayah Bogor Barat yang terdiri dari 13 kecamatan yaitu, Kecamatan Parung Panjang, Tenjo, Cigudeg, Sukajaya, Jasinga, Nanggung, Leuwisadeng, Rumpin, Tenjolaya, Leuwiliang, Pamijahan, Cibungbulang, dan Ciampea. Bogor Barat dipilih sebagai batasan spasial karena wilayah ini mempunyai luasan hutan rakyat yang terbesar di Kabupaten Bogor dan banyak pelaku yang mengelola hutan rakyat dan memproduksi kayu yang digunakan sebagai sumber pendapatan.

2. Lingkup temporal dalam penelitian ini adalah masa sebelum kemerdekaan sampai tahun 2012. Dipilihnya masa sebelum kemerdekaan karena belum diketahuinya kapan mulai terjadi penebangan dan belum ada data yang pasti, sedangkan tahun 2012 merupakan tahun terakhir data dapat diambil.

3.5 Metode Penelitian

Dalam penelitian metode yang digunakan adalah metode sejarah, yaitu sebagai berikut:

1. Heuristik (Pengumpulan data)

Heuristik adalah proses mengumpulkan data dan sumber-sumber yang berhubungan dengan obyek yang akan diteliti. Adapun pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan (Bungin 2008). Penulis melakukan observasi dengan mengamati kegiatan yang sesuai dengan data seperti mengamati kegiatan yang dilakukan para petani hutan rakyat setiap harinya saat kunjungan dan memotret kondisi hutan rakyat di wilayah Bogor Barat.

(24)

b. Wawancara adalah cara yang digunakan seseorang yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang sesuatu yang terjadi dalam kehidupan manusia (Koentjaraningrat 2000). Pengumpulan data dilakukan dengan tanya jawab langsung kepada petani dengan menggunakan teknik wawancara bertahap dengan jenis wawancara semistandar (semistandardized interview). Wawancara bertahap adalah wawancara yang dilakukan secara bertahap dengan sistem “datang dan pergi” dalam wawancara. Pewawancara tidak terlibat dalam kehidupan sosial informan (Bungin 2008). Sedangkan wawancara semistandar menurut Berg (2007) yang diacu dalam Setiajiati (2012) adalah pewawancara membuat garis besar pokok-pokok pembicaraan, tetapi dalam pelaksanaanya mengajukan pertanyaan bebas, tidak perlu mengajukan pertanyaan secara berurutan, dan pemilihan kata-katanya tidak terlalu baku tetapi dimodifikasi berdasarkan situasi.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Untuk data kualitatif, pengambilan responden menggunakan teknik

snowball yaitu teknik penentuan responden berdasarkan informasi responden

sebelumnya untuk mendapatkan responden berikutnya sampai data yang dibutuhkan terkumpul (Endraswara 2006). Pengambilan responden ini didasarkan pada petani yang memiliki lahan dan sudah pernah melakukan penebangan kayu, serta dapat berkomunikasi dan mempunyai daya ingat yang baik. Data kuantitatif berupa data jumlah penebangan yang dilakukan petani hutan rakyat yang selanjutnya dijadikan ke satuan volume (m3).

c. Studi pustaka bertujuan untuk mencari sumber yang diperlukan untuk dijadikan acuan dalam penulisan, misalnya dokumen atau literatur. Bahan dokumen secara eksplisit berbeda dengan literatur tetapi perbedaan antara keduanya hanya dapat dibedakan secara gradual. Literatur dalah bahan-bahan yang diterbitkan baik secara rutin atau berkala. Dokumen adalah informasi yang disimpan atau didokumentasikan sebagai bahan dokumenter. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pustaka untuk dijadikan acuan berupa buku, jurnal, dokumen, skripsi, tesis, dan disertasi, adalah sebagai berikut:

Buku yang digunakan adalah Mengembangkan Hutan Milik di Jawa karya Sadikin Djajapertjunda (2003), Beberapa Ciri Pengusahaan Hutan Rakyat di

(25)

Jawa karya Hardjanto (2000) diacu dalam Hutan Rakyat di Jawa karya Didik

Suharjito (2000) dengan penyunting Didik Suharjito (2000), Metode Penelitian

Kualitatif karya Burhan Bungin (2008), Mendambakan Kelestarian Sumber Daya Hutan Bagi Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat karya Sambas

Wirakusumah (2003).

Jurnal yang digunakan adalah Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat karya Dudung Darusman dan Hardjanto (2006) dalam Prosiding Seminar Hasil

Penelitian:4-13. Pengembangan Hutan Rakyat di Indonesia karya Supriadi (2001) dalam Makalah Seminar Bulanan PKHR. Potensi Pengembangan Hutan Rakyat dengan Jenis Tanaman Kayu Lokal dalam Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.3:28-33.

Skripsi Model Penduga Volume Pohon Sengon Tegakan Hutan Rakyat karya Hadi Broto (2008). Kajian Pengelolaan Hutan Rakyat Pada Subsistem Produks

Wilayah Cianjur Selatan karya Ahmad Rofiqul Umam (2010). Kontribusi Pengelolaan Agroforestri terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani karya

Raditya Machdi Rachman (2011).

Tesis Aspek Ekonomi Pengusahaan Hutan Rakyat Sengon di Kabupaten

Sukabumi karya Herman Setyawan (2002). Peran Hutan Rakyat dalam Perekonomian Wilayah di Kabupaten Sumedang karya Dadang Romansah

(2007).

Disertasi Keragaan dan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat di Pulau Jawa karya Hardjanto (2003).

2. Kritik

Kritik yaitu menilai sumber yang telah diperoleh untuk menilai kebenarannya. Kritik terbagi menjadi dua yaitu kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal adalah penilaian keakuratan dan keauntetikan terhadap sumber data itu sendiri. Sedangkan kritik eksternal menyangkut keaslian atau keauntetikan bahan yang digunakan dalam pembuatan sumber sejarah. Dalam penelitian ini menggunakan kritik internal yaitu dengan cara membandingkan hasil wawancara dengan sumber yang didapatkan.

(26)

3. Interpretasi (Penafsiran)

Interpretasi adalah menafsirkan data dengan objek yang sedang diteliti dan merangkainya menjadi suatu peristiwa yang bermakna. Dalam interpretasi terdapat dua proses, yaitu:

a. Seleksi fakta merupakan kegiatan mengambil fakta yang berkaitan dengan penelitian. Dalam penelitian ini fakta yang diambil adalah fakta yang berkaitan dengan perkembangan produksi kayu yang dilakukan oleh petani hutan rakyat dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan produksi yang terjadi. b. Periodisasi yaitu penyusunan fakta sesuai dengan urutan waktu yang terjadi.

Dalam penelitian ini periodisasi yang digunakan mengikuti periodisasi politik, yakni Sebelum Tahun 1945, periode Orde Lama (1945-1966), periode Orde Baru (1967-1998), dan periode Reformasi (1998-2012).

4. Historiografi (Penulisan sejarah)

Historiografi adalah menyusun data-data yang telah didapatkan secara kronologis sehingga menjadi suatu kisah yang selaras. Dalam historiografi ini dibagi menjadi bab karakteristik dan hasil wawancara perkembangan produksi kayu yang dilakukan oleh responden pada masing-masing kecamatan dan bab analisis perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat. Pada analisis perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat dikelompokkan berdasarkan periodisasi.

3.6 Analisis dan Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Menurut Turner (2008) analisis kuantitatif adalah analisis dimana data diubah menjadi angka dan ditujukan untuk analisis statistik. Sedangkan analisis kualitatif adalah analisis dimana data diinterpretasikan melalui analisis pemaknaan. Kedua analisis ini digunakan untuk dapat saling melengkapi satu sama lain.

Analisis kuantitatif digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang hasil penebangan yang didapatkan per tahun meliputi tahun panen, jumlah panen, jenis pohon yang dipanen, dan umur pohon yang dipanen. Selanjutnya informasi

(27)

tersebut dilakukan perhitungan yang kemudian disajikan dalam bentuk angka sesuai dengan hasil yang diperoleh.

Analisis kualitatif digunakan untuk memperoleh gambaran tentang pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan masyarakat meliputi waktu mulai menanam, pertumbuhan sawmill, dan data umum responden. Selanjutnya informasi tersebut disajikan dalam bentuk tabel, kurva, dan gambar sesuai dengan hasil yang diperoleh.

(28)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI

4.1 Letak dan Batas

Bogor Barat merupakan salah satu wilayah pembangunan Kabupaten Bogor. Bogor Barat terdiri dari 13 Kecamatan yaitu: Kecamatan Parung Panjang, Tenjo, Cigudeg, Sukajaya, Jasinga, Nanggung, Leuwisadeng, Rumpin, Tenjolaya, Leuwiliang, Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea.

Gambar 1 Peta wilayah Bogor Barat.

Secara administratif, wilayah Bogor Barat berbatasan dengan: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tanggerang.

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Lebak, Kabupaten Sukabumi. 3. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak.

4. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bogor.

(29)

Luas wilayah Kecamatan yang paling luas adalah Kecamatan Cigudeg sebesar 17.726,24 ha. Tabel 1 merupakan data jumlah desa dan luas per Kecamatan.

Tabel 1 Data jumlah desa dan luas per kecamatan

No Kecamatan Jumlah Desa Luas (Ha)

1 Parung Panjang 11 7.118,72 2 Tenjo 9 8.580,72 3 Cigudeg 15 17.726,24 4 Sukajaya 9 15.615,49 5 Jasinga 16 14.280,16 6 Nanggung 10 16.047,43 7 Leuwisadeng 8 3.532,34 8 Rumpin 13 13.708,57 9 Tenjolaya 6 4.126,99 10 Leuwiliang 11 9.143,39 11 Pamijahan 15 12.532,36 12 Cibungbulang 15 3.837,84 13 Ciampea 13 3.297,91 TOTAL 151 113.500,10

Sumber: Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor, 2012 4.2 Keadaan Penduduk

Total jumlah penduduk wilayah Bogor Barat sebesar 1.300.465 jiwa, dengan total jumlah laki-laki sebesar 674.447 jiwa dan perempuan sebesar 626.018 jiwa. Kecamatan Ciampea mempunyai jumlah penduduk terbesar yakni 147.130 jiwa. Tabel 2 adalah data jumlah penduduk untuk wilayah Bogor Barat. Tabel 2 Data jumlah penduduk wilayah Bogor Barat

No. Kecamatan Laki-Laki Perempuan Total

1. Tenjo 34.189 31.888 66.077 2 Parung Panjang 56.995 53.009 110.004 3 Jasinga 48.226 44.852 93.078 4 Cigudeg 61.501 55.777 117.278 5 Sukajaya 29.064 26.607 55.671 6 Nanggung 43.605 40.410 84.015 7 Rumpin 67.365 61.785 129.150 8 Leuwiliang 58.720 54.560 113.280 9 Cibungbulang 64.682 60.495 125.177 10 Pamijahan 68.991 64.880 133.871 11 Ciampea 75.915 71.215 147.130 12 Leuwisadeng 37.033 33.814 70.847 13 Tenjolaya 28.161 26.726 54.887 TOTAL 674.447 626.018 1.300.465

(30)

4.3 Iklim dan Curah Hujan

Wilayah Bogor Barat beriklim tropis sangat basah di daerah bagian selatan dan beriklim tropis basah didaerah bagian utara. Rata-rata curah hujan sebesar 2.000-5.000 mm/tahun. Namun pada daerah bagian utara dan sebagian kecil daerah bagian timur memiliki curah hujan kurang dari 2.500 mm/tahun. Suhu rata-rata sebesar 200C-300C dan suhu rata-rata tahunan sebesar 250C. Besarnya evaporasi sebesar 146,2 mm/detik, kelembaban sebesar 70% dan kecepatan angin rata-rata 1,2 m/detik (Pemerintah Kabupaten Bogor 2012). Tabel 3 merupakan data Jumlah hari hujan dan curah hujan diwilayah Bogor Barat.

Tabel 3 Data jumlah hari hujan dan curah hujan Bogor Barat tahun 2010

Keterangan: (-) Data tidak tersedia

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011

4.4 Kondisi Umum Hutan Rakyat di Lokasi Penelitian

Pada umumnya lahan hutan rakyat di Bogor Barat yang dimiliki masyarakat merupakan lahan turun temurun sebagai warisan. Lahan-lahan tersebut biasanya sudah ditumbuhi tanaman yang tumbuh secara alami, seperti tanaman buah-buahan yang sudah pada masa produktif. Pada saat itu, masyarakat tidak menanam sendiri kecuali untuk tanaman palawija. Selain itu, dilahan tersebut jarak tanam yang ada tidak teratur. Namun dengan berkembangnya hutan rakyat maka banyak masyarakat yang mulai menanam pohon. Hal ini menunjukkan bahwa hutan rakyat di wilayah Bogor Barat sudah ada sejak dulu walaupun pada masa dulu hutan rakyat tidak semarak seperti tahun-tahun sekarang. Hal ini juga ditandai dari penggunaan hasil hutan yang ada, pada masa lalu hasil hutan seperti

No. Kecamatan Hari Hujan Curah Hujan (mm/tahun)

1. Tenjo 174 1.984 2 Parung Panjang 145 2.205 3 Jasinga 88 550 4 Cigudeg 212 2.318 5 Sukajaya - - 6 Nanggung 201 3.989 7 Rumpin 155 2.225 8 Leuwiliang 201 3.989 9 Cibungbulang - - 10 Pamijahan 239 2.375 11 Ciampea 165 2.881 12 Leuwisadeng 211 3.989 13 Tenjolaya 232 4.241

(31)

kayu dipakai untuk membangun rumah, Masjid, jembatan, dan sebagainya. Namun pada saat sekarang hasil hutan yang berupa kayu dapat dijual dan menambah pendapatan masyarakat sendiri. Tetapi penebangan yang dilakukan petani di wilayah Bogor Barat umumnya mengenal istilah “daur butuh” yaitu pohon tidak akan ditebang kecuali untuk keperluan yang mendesak saja atau pohon akan ditebang jika petani hutan rakyat benar-benar membutuhkan uang pada saat itu. Selain itu, hutan rakyat tidak memberikan hasil yang cepat dan kontinyu sehingga petani hutan rakyat mengganggap hasil yang akan didapat sebagai tabungan.

Lahan hutan rakyat di Bogor Barat umumnya ditanami jenis-jenis, antara lain: Sengon (Paraserianthes falcataria), Afrika (Maesopsis eminii), Akasia

(Acacia mangium), Puspa (Schima walichii), Suren (Toona sureni), Kisabelah

(Acacia spp), Tamesu (Baccaurea lanceolata), Durian (Durio zibethinus), Jengkol

(Pithecellobium jiringa), Petai (Parkia speciosa), Rambutan (Nephelium lappaceum), Kecapi (Sandoricum koetjape), Manggis (Garcinia mangostana) dan Nangka (Artocarpus heterophyllus).

(32)

BAB V

KARAKTERISTIK DAN PERKEMBANGAN

PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT

5.1 Karakteristik Responden 5.1.1 Umur

Umur merupakan salah satu faktor penting dalam bekerja karena umur mempengaruhi kekuatan fisik seseorang. Kekuatan fisik seseorang tersebut dapat mempengaruhi produktivitas pekerjaan seseorang. Dari data yang didapatkan umur rata-rata responden yang mengelola hutan rakyat di wilayah Bogor Barat yakni berkisar 59-68 tahun dengan persentase 32,69%. Responden yang termuda adalah berumur 29 tahun dan responden tertua adalah berumur 77 tahun.

Tabel 4 Karakterisrik petani hutan rakyat menurut umur

No Umur Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 29-38 4 7,69 2 39-48 10 19,23 3 49-58 16 30,77 4 59-68 17 32,69 5 69-78 5 9,62 Total 52 100,00 5.1.2 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam pemahaman hutan rakyat, karena dengan adanya pendidikan maka seseorang dapat lebih terbuka dalam menerima ilmu dan teknologi baru yang ada. Tingkat pendidikan dari semua petani yang diwawancarai dapat dilihat pada Tabel 5.

(33)

Tabel 5 Karakteristik petani hutan rakyat menurut tingkat pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 tidak sekolah 1 1,92 2 SR 10 19,23 3 SD 20 38,46 4 SMP 8 15,38 5 SMA 10 19,23 6 D3/S1 3 5,77 Total 52 100,00

Dari Tabel 5 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden sebagian besar sampai SD, yaitu: sebanyak 20 orang dengan persentase sebesar 38,46%. Tingkat pendidikan paling tinggi yaitu D3/S1 sebanyak 3 sebesar 5,77% dan tingkat pendidikan terendah adalah tidak sekolah sebesar 1,92%.

5.1.3 Pekerjaan Utama

Di wilayah Bogor Barat usaha hutan rakyat dianggap sebagai usaha sampingan saja, karena sebagian besar masyarakat mempunyai pekerjaan utama sebagai petani. Pekerjaan utama dari para petani hutan rakyat dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Karakteristik petani hutan rakyat menurut pekerjaan utama

No Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Petani 37 71,15 2 Peternak 2 3,85 3 Wiraswasta 6 11,54 4 Pegawai Negeri 3 5,77 5 Perangkat Desa 1 1,92 6 Guru 3 5,77 Total 52 100,00

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa pekerjaan utama responden sebagian besar adalah sebagai petani dengan jumlah 37 orang dengan persentase sebesar 71,15%. Selain itu pekerjaan utama yang lainnya adalah sebagai peternak, wiraswasta, pegawai negeri, perangkat desa, dan guru.

(34)

5.1.4 Luas lahan

Luas lahan yang dimiliki petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat dalam mengelola hutan rakyat berbeda-beda. Hal ini dikarenakan luas lahan yang dimanfaatkan petani hutan rakyat untuk menanam berbeda-beda. Mulai dari yang paling sempit sampai paling luas. Luas lahan petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7 Karakteristik petani hutan rakyat menurut luas lahan

No Luas lahan (Ha) Jumlah (orang) Persentase (%)

1 <0,5 15 28,85

2 0,5-1,5 20 38,46

3 1,5-2,5 10 19,23

4 >2,5 7 13,46

Jumlah 52 100,00

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa petani hutan di wilayah Bogor Barat sebagian besar memliki lahan dengan luasan 0,5-1,5 hektar yaitu berjumlah 20 orang dengan persentase 38,46%. Sedangkan luas lahan lebih dari 2,5 hektar hanya dimiliki oleh 7 orang dengan persentase 13,46%.

5.2 Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat dari Waktu ke Waktu

Perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat terjadi dari waktu ke waktu. Produksi yang dihasilkan petani hutan rakyat dihitung berdasarkan kegiatan penebangan yang dilakukan. Kegiatan penebangan dibagi menjadi dua jenis pohon yakni pohon jenis cepat tumbuh seperti Sengon, Akasia, dan Afrika serta pohon jenis lambat tumbuh seperti jenis Mahoni, Jengkol, Durian, Nangka dan jenis buah-buahan lainnya. Keterangan mengenai produksi didapatkan dari wawancara terhadap petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat. Hasil wawancara dapat dilihat pada Lampiran 2 sampai Lampiran 14. Kegiatan penebangan yang dilakukan petani hutan rakyat berbeda-beda pada jumlah dan waktu penebangan. Pada periode sebelum tahun 1945 tidak ada data yang menunjukkan kegiatan penebangan yang dilakukan petani hutan rakyat di wilayah

(35)

Bogor Barat. Selain itu industri sawmill juga belum ada pada saat itu. Namun berdasarkan hasil wawancara disebutkan bahwa pada tahun 1940-an di Jasinga sudah ada pohon Sengon yang tumbuh secara alami.

Pada periode 1945 sampai 1966 (Orde Lama) yakni pada tahun 1950-an di Parung Panjang sudah terdapat banyak pohon buah-buahan yang tumbuh alami seperti Nangka, Durian, dan Kecapi, sedangkan di Leuwiliang sudah banyak tanaman Manggis dan Sengon. Di Tenjo masyarakatnya sudah ada yang mulai menanam Sengon, Puspa, Afrika, Tamesu, dan Kisabelah. Pada tahun 1960 di Cigudeg mulai ada yang menanam pohon buah-buahan seperti Durian dan Nangka, sedangkan di Cibungbulang sudah ada pohon jenis buah-buahan dan Sengon yang tumbuh alami. Lain halnya dengan daerah Tenjo, kegiatan penebangan sudah terjadi yakni sudah ada yang menebang pohon Sengon, Puspa, dan Kisabelah yang digunakan untuk membangun Masjid. Namun jumlah pohon yang ditebang tidak terlalu banyak. Tahun 1965 di Leuwiliang mendapat bantuan bibit Sengon dan Afrika dari Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor. Selain itu sudah banyak yang menanam Sengon, Cengkeh, dan Palawija. Sedangkan di Tenjolaya sudah ada yang menanam Sengon, Afrika, Mindi, Nangka, Durian, dan sebagainya. Pada tahun 1966 petani hutan rakyat di Tenjo sudah ada yang menebang pohon seperti Sengon, Puspa, dan Afrika untuk membangun Masjid, tetapi jumlah pohon yang ditebang masih sedikit. Berikut merupakan tabel hasil penebangan yang dilakukan petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat pada tahun 1945 sampai tahun 1966.

Tabel 8 Hasil tebangan pohon cepat tumbuh tahun 1945-1966

No Tahun Produksi (m3)

1 1960 28,27

2 1966 10,90

Keterangan:

1. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 15.

2. pohon jenis cepat tumbuh terdiri dari Sengon, Kisabelah, Afrika, Tamesu, Akasia, dan Cengkeh. Tabel 9 Hasil tebangan pohon lambat tumbuh tahun 1945-1966

No Tahun Produksi (m3)

1 1960 0,82

2 1966 1,20

Keterangan:

1. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 16.

2. Pohon jenis lambat tumbuh terdiri dari Puspa, Nangka, Durian, Kecapi, Mahoni, Jengkol, Petai, Rambutan, Kemang, dan Karet.

(36)

Tahun 1970 masih banyak pohon Karet di Leuwiliang dan Jasinga. Selain itu, mulai ada yang menanam pohon Sengon dan Afrika serta buah-buahan seperti di Jasinga, Cigudeg, Cibungbulang, Rumpin, Sukajaya, dan Nanggung. Di daerah Cigudeg sudah ada yang menjual kayu ke tengkulak tetapi jumlah pohon yang dijual masih sedikit. Pada tahun ini mulai ada penyuluh yang datang di daerah Cibungbulang. Di Pamijahan, Ciampea, Leuwisadeng, dan Tenjolaya mulai ada yang menanam Sengon dan Afrika pada tahun 1978. Pada tahun ini juga di Leuwiliang mendapat bantuan bibit Pinus dari Perhutani Jawa Barat yang ditanam di tanah garapan. Selain itu, pemasaran sudah terjadi pada masa ini. Pada tahun 1980-an di Leuwiliang pohon Karet diganti menjadi pohon Cengkeh, sedangkan di Cigudeg, Pamijahan, Rumpin, Leuwisadeng, Parung Panjang, dan Nanggung sudah banyak dilakukan penebangan yang hasilnya untuk dijual. Harga Sengon mulai baik di daerah Jasinga. Industri sawmill sudah ada di Cibungbulang pada tahun ini. Tahun 1986 petani hutan rakyat di Tenjo telah ada yang melakukan kegiatan penjarangan pada pengelolaan lahan mereka.

Pada tahun 1990-an kegiatan penanaman juga makin banyak dilakukan oleh petani hutan rakyat terutama untuk pohon jenis Sengon, Afrika, dan Akasia. Selain itu, makin banyak petani hutan rakyat yang melakukan penebangan. Peluang pemasaran kayu juga semakin bagus. Kegiatan penebangan yang terjadi menghasilkan produksi kayu yang cukup tinggi dan hampir tiap tahun terjadi. Pohon yang ditebang sudah diperuntukkan untuk dijual. Selain itu, Pada tahun 1990-an sawmill mulai banyak yakni di Leuwisadeng dan Nanggung.

Berikut merupakan tabel hasil penebangan yang dilakukan petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat pada tahun 1967-1998.

(37)

Tabel 10 Hasil tebangan pohon cepat tumbuh tahun 1967-1998 No Tahun Produksi (m3) 1 1969 27,53 2 1975 133,09 3 1980 222,81 4 1982 288,36 5 1985 259,55 6 1988 977,76 7 1990 144,72 8 1992 100,00 9 1994 546,43 10 1995 73,79 11 1997 144,24 12 1998 500,52 Keterangan:

1. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 17.

2. Pohon jenis cepat tumbuh terdiri dari Sengon, Kisabelah, Afrika, Tamesu, Akasia, dan Cengkeh.

Tabel 11 Hasil tebangan pohon lambat tumbuh tahun 1967-1998

No Tahun Produksi (m3) 1 1969 3,22 2 1980 15,35 3 1986 14,45 4 1990 0,38 5 1992 12,89 6 1994 0,80 7 1995 5,55 8 1998 5,60 Keterangan:

1. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran18.

2. Pohon jenis lambat tumbuh terdiri dari Puspa, Nangka, Durian, Kecapi, Mahoni, Jengkol, Petai, Rambutan, Kemang, dan Karet.

Pada tahun 1998-an semakin banyak petani hutan rakyat yang melakukan penebangan seperti di Pamijahan, Ciampea, Leuwiliang dan Tenjolaya. Jenis pohon yang ditebang adalah Sengon, Afrika, Rambutan dan Kemang. Penebangan juga terjadi pada tahun-tahun berikutnya dan semakin banyaknya petani hutan rakyat yang melakukan kegiatan penanaman sehingga pada tahun 2005 Sengon menjadi trend di wilayah Bogor Barat. Selain itu, pada tahun 2000-an di Sukajaya, Pamijahan, Rumpin, dan Nanggung makin banyak bermunculan sawmill. Berikut

(38)

merupakan hail penebangan kayu yang berasal dari hutan rakyat di wilayah Bogor Barat pada tahun 1998 sampai tahun 2012.

Tabel 12 Hasil tebangan pohon cepat tumbuh tahun 1998-2012

No Tahun Produksi (m3) 1 1998 500,52 2 1999 86,36 3 2000 1.429,14 4 2002 196,86 5 2003 961,87 6 2004 219,83 7 2005 923,50 8 2006 152,11 9 2007 372,48 10 2008 649,81 11 2009 1.318,45 12 2010 271,21 13 2011 1.460,17 14 2012 351,64 Keterangan:

1. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 19.

2. Pohon jenis cepat tumbuh terdiri dari Sengon, Kisabelah, Afrika, Tamesu, Akasia, dan Cengkeh.

Tabel 13 Hasil tebangan pohon lambat tumbuh tahun 1998-2012

No Tahun Produksi (m3) 1 1998 5,60 2 1999 7,93 3 2000 137,69 4 2002 1,75 5 2004 3,29 6 2005 8,25 7 2006 49,21 8 2007 67,42 9 2008 208,71 10 2009 763,46 11 2010 18,60 12 2011 3,96 13 2012 2,72 Keterangan:

1. Data dapat dilihat pada Lampiran 20.

2. Pohon jenis lambat tumbuh terdiri dari Puspa, Nangka, Durian, Kecapi, Mahoni, Jengkol, Petai, Rambutan, Kemang, dan Karet.

(39)

BAB VI

ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU

PETANI HUTAN RAKYAT

6.1 Analisis Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat

Produksi kayu petani hutan rakyat pada penelitian ini dihitung berdasarkan besarnya penebangan kayu yang dilakukan setiap tahunnya dari waktu ke waktu. Produksi penebangan terdiri dari dua jenis pohon yakni pohon jenis lambat tumbuh dan pohon jenis cepat tumbuh. Berikut ini merupakan perkembangan produksi kayu yang dilakukan petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat sejak periode sebelum tahun 1945 sampai tahun 2012.

6.1.1 Sebelum Tahun 1945

Pada periode sebelum tahun 1945 di lahan masyarakat telah ada pohon yang tumbuh alami tanpa adanya usaha penanaman. Kegiatan penanaman yang ada hanya terjadi pada tempat tertentu dan untuk tujuan tertentu seperti untuk pembatas lahan. Belum ada kegiatan persiapan lahan, persemaian bibit, penanaman, penebangan, maupun pemeliharaan. Lahan yang dimiliki petani tersebut merupakan lahan turun temurun sebagai warisan dari orang terdahulu. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, pada periode ini lahan masih dikuasai oleh penjajah sehingga belum ditemukan adanya data produksi kayu dari hasil penebangan yang dilakukan oleh para petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat. Selain itu, para petani belum memikirkan keberadaan hutan dan hasil hutan berupa kayu pun belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh mayarakat. Namun secara perlahan, masyarakat ada yang mulai menanam tanpa tujuan tertentu, dimana hasil panen yang berupa kayu hanya dipakai untuk kayu bakar atau untuk membangun gubuk di sawah dan lain-lain (Djajapertjunda 2003).

Keberadaan industri sawmill belum ada karena masih banyaknya hutan alam yang menyediakan kebutuhan kayu bagi mereka, sehingga perolehan kayu masih mudah. Selain itu sistem pengolahan hutan pada saat ini masih dikuasai oleh penjajah yang saat itu mengambil alih pemerintahan. Sistem pemasaran pada saat ini juga belum terjadi karena kayu belum diperhatikan. Namun pada saat itu,

(40)

apabila masyarakat melakukan penebangan hanya untuk memenuhi kebutuhan seperti untuk kayu bakar dan membangun rumah.

6.1.2 Masa Orde Lama (1945-1966)

Pada periode tahun 1945 sampai tahun 1966 keberadaan hutan rakyat mulai diperhatikan, ini ditandai dengan adanya petani yang mulai menanam pohon. Hal ini didukung dengan adanya Gerakan Penghijauan pada tahun 1945 yang dilakukan oleh Kabinet RI pertama. Gerakan ini dimaksudkan untuk menanggulangi lahan kritis disekitar DAS. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang cukup penting dan menyebabkan munculnya hutan rakyat. Hal ini berkaitan dengan adanya penanaman yang mulai dilakukan oleh petani hutan rakyat pada tahun 1960 di daerah Cigudeg dan Leuwiliang. Jenis yang ditanam merupakan jenis buah-buahan seperti Durian, Nangka, dan ada beberapa jenis pohon Cengkeh, Puspa, Afrika, dan Sengon. Namun keberadaannya masih sangat sedikit. Walaupun hutan rakyat pada masa itu telah ada, pengelolaannya masih sangat sederhana seperti jarak tanam yang masih menggunakan perkiraan dari petani sendiri. Selain itu penanaman yang dilakukan petani pada saat itu belum menggunakan teknik penjarangan.

Kegiatan penebangan hasil kayu pada masa ini sudah terjadi, tetapi hasil penebangan masih dalam jumlah sedikit dan biasanya hasilnya tersebut untuk memenuhi kebutuhan sendiri seperti membangun rumah ataupun menyumbang kayu untuk membangun Masjid. Petani hutan rakyat tidak akan menebang apabila tidak terlalu butuh dan tidak dalam kebutuhan yang mendesak. Selain itu pada periode ini petani hutan rakyat tidak menebang pohon kecuali apabila pohon telah berukuran cukup untuk ditebang. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat di wilayah Bogor Barat sejak sebelum tahun 1945 sampai tahun 2012 bersifat fluktuatif. Perkembangan produksi kayu untuk pohon jenis cepat tumbuh belum ada pada awal periode ini dan baru terlihat pada tahun 1960 sebesar 0,82 m3. Selanjutnya produksi kayu pada tahun 1966 sebesar 1,20 m3. Pada pohon jenis cepat tumbuh produksi kayu baru terlihat pada tahun 1960 yakni sebesar 28,27 m3 dan tahun 1966 sebesar

(41)

10,90 m3. Adanya produksi ini karena pada saat itu sudah ada pohon jenis lambat tumbuh dan pohon jenis cepat tumbuh yang tumbuh secara alami dapat ditebang.

Kegiatan pemasaran kayu dan keberadaan sawmill pada periode ini belum ada. Petani hutan rakyat yang ingin menjual kayunya biasanya langsung ke pembeli. Namun petani hutan rakyat tidak akan menebang dan menjual kayunya apabila tidak dalam keadaan mendesak. Selain itu penebangan yang dilakukan petani juga masih sedikit.

6.1.3 Masa Orde Baru (1967-1998)

Pengusahaan hutan rakyat pada periode ini sudah mulai berkembang, ini ditandai dengan banyaknya petani hutan rakyat yang mulai menanam pohon. Penanaman yang dilakukan petani terjadi pada jenis tanaman buah-buahan dan Cengkeh. Selain itu pada tahun 1990-an mulai banyak petani hutan rakyat yang menanam pohon kayu-kayuan. Pohon yang ditanam biasanya jenis Sengon dan Afrika. Namun di daerah Tenjo dan Parung Panjang jenis pohon yang ditanam adalah jenis Akasia. Selain itu para petani juga sudah mengenal jarak tanam dan teknik penjarangan karena pada tahun 1970-an penyuluh mulai datang ke petani hutan rakyat.

Produksi kayu petani hutan rakyat mulai banyak karena kegiatan menebang kayu juga mulai banyak terjadi. Jumlah pohon yang ditebang tidak lagi sedikit. Penebangan juga dilakukan setiap beberapa tahun ketika pohon tersebut dirasa cukup untuk ditebang. Usaha hutan rakyat mulai dilihat masyarakat sebagai usaha yang cukup menjanjikan. Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa produksi kayu untuk pohon jenis lambat tumbuh pada periode ini berkembang cukup konstan seperti pada tahun 1980 sebesar 15,35 m3 dan pada tahun 1992 sebesar 12,89 m3. Hal ini disebabkan petani hutan rakyat lebih memilih tidak menebang pohon jenis lambat tumbuh yang sebagian besar jenis buah-buahan karena pertumbuhan pohon yang lama dan membutuhkan perawatan lebih, sehingga biaya produksi yang dibutuhkan besar. Pada pohon jenis cepat tumbuh terjadi fluktuasi sejak awal periode dan terjadi kenaikan mulai tahun 1975 sebesar 133,09 m3 dan terjadi peningkatan yang signifikan pada tahun 1988 sebesar 977,76 m3. Ini disebabkan karena pohon jenis cepat tumbuh mempunyai waktu yang cukup

(42)

cepat untuk ditebang. Selain itu pada tahun 1970 mulai ada pemasaran yang menyebabkan kayu mulai laku dijual. Namun perkembangan produksi pohon jenis cepat tumbuh juga terjadi penurunan karena lahan yang dimiliki petani hutan rakyat yang tidak terlalu besar sehingga ketersediaan pohon yang akan ditebang tidak selalu ada setiap tahunnya.

Industri sawmill pada periode ini mulai bermunculan. Hal ini didukung dengan adanya Undang-Undang yang muncul pada periode Orde Baru, yakni Undang-Undang No 5 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Ketentuan Kehutanan. UU tersebut menjelaskan tentang pemanfaatan hutan secara intensif dalam rangka pembangunan nasional. Pemanfaatan hutan secara intensif ditunjukkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yaitu: semakin banyaknya kebutuhan masyarakat akan kayu, semakin tingginya permintaan ekspor hasil hutan, dan semakin majunya industri plywood dan pulp. Dengan munculnya kebijakan untuk pemanfaatan hutan secara intensif, maka muncul kebijakan yang menyebutkan bahwa suatu pemegang HPH harus mempunyai industri pengolah kayu dan izin HPH akan dicabut apabila pemegang HPH tidak mendirikan suatu industri pengolahan kayu. Ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 1970. Kegiatan industri mulai digiatkan dan baru terealisasi pada tahun 1977. Namun keberadaan industri sawmill di wilayah Bogor Barat masih sedikit dan hanya dibeberapa tempat seperti pada tahun 1980 di Cibungbulang dan tahun 1990 di Leuwisadeng. Selain itu, berkembangnya sawmill ini dapat dilihat dari munculnya Chainsaw yang mulai digunakan pada tahun 1990-an. Dengan adanya

Chainsaw, maka penebangan yang dilakukan oleh petani hutan rakyat mulai

banyak terjadi.

Kegiatan penebangan kayu yang mulai banyak terjadi menyebabkan makin banyaknya bermunculan para tengkulak. Penjualan kayu terjadi antara petani dan penjual dengan cara melihat pohon berdiri. Pada saat itu juga petani dan tengkulak menentukan harga yang disepakati kedua belah pihak. Biasanya petani hutan rakyat menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri. Apabila harga telah disepakati antara petani dan tengkulak, maka tengkulak langsung menebang dan menjualnya kembali ke sawmill. Pada saat itu kebanyakan petani menjual kayunya ke tengkulak karena masih sedikitnya keberadaan sawmill.

(43)

6.1.4 Masa Reformasi (1998-2012)

Pengusahaan hutan rakyat pada periode ini semakin meningkat yang ditandai dengan semakin banyaknya petani yang menanam pohon terutama pohon yang menghasilkan kayu. Hal ini didukung dengan adanya otonomi daerah dengan keluarnya Keppres No. 96 Tahun 2000. Keppres tersebut menyebutkan bahwa izin bagi industri pengolahan kayu di luar Provinsi Papua hanya akan diberikan jika bahan baku yang berupa kayu bulat berasal dari non hutan alam seperti HTI atau hutan rakyat. Penanaman yang dilakukan petani hutan rakyatpun sudah mulai teratur yakni dengan banyaknya petani yang menggunakan jarak tanam. Selain itu, para petani juga melakukan penjarangan dan ada yang telah membuat persemaian sendiri untuk memenuhi kebutuhan penanaman lahannya.

Produksi kayu pada periode ini meningkat yakni dengan banyaknya penebangan yang dilakukan petani yang hampir tiap tahun. Penebangan pada pohon jenis lambat tumbuh sudah terjadi sejak awal periode ini dan meningkat pada tahun 2000 sebesar 137,69 m3, selanjutnya pada tahun berikutnya terjadi penurunan produksi dan cukup konstan dan mulai meningkat lagi pada tahun 2006. Pada tahun 2009 terjadi kenaikan yang signifikan dan menjadi produksi tertinggi sebesar 763,46 m3, kemudian menurun lagi sampai tahun 2012. Terjadinya kenaikan produksi yang cukup signifikan pada tahun 2000 dan 2009 disebabkan karena banyaknya permintaan akan pohon jenis ini seperti pada industri pembuatan palet. Penurunan produksi yang terjadi disamping karena biaya produksi yang cukup mahal juga disebabkan telah adanya produksi besar-besaran pada tahun sebelumnya dan pertumbuhan pohon yang cukup lama, sehingga waktu menunggu pohon untuk ditebang cukup lama. Perkembangan produksi kayu untuk pohon jenis cepat tumbuh terjadi secara fluktuatif seperti pada periode sebelumnya. Produksi sudah terjadi pada tahun 1998 sebesar 500,52 m3 karena harga kayu yang mulai bagus pada tahun 2000 meningkat sebesar 1.429,14 m3.Tahun-tahun berikutnya terjadi peningkatan dan penurunan produksi kayu secara fluktuatif. Tahun 2011 terjadi peningkatan produksi tertinggi sebesar 1.460,17 m3. Selain karena harga kayu yang mulai bagus, peningkatan produksi pohon jenis ini juga disebabkan karena pertumbuhan pohon yang cepat, biaya produksi yang murah dan semakin banyaknya industri sawmill yang bermunculan.

(44)

Semakin banyaknya sawmill bermunculan menyebabkan permintaan kayu semakin meningkat, tetapi tidak didukung oleh luas lahan yang dimiliki petani. Luas lahan yang tidak terlalu besar menyebabkan jumlah pohon yang ditanam tidak banyak sehingga ketersediaan kayu yang dapat ditebang tidak dapat memenuhi permintaan sawmill. Hal inilah yang menyebabkan penurunan produksi kayu yang terjadi dari waktu ke waktu.

Pada periode ini industri sawmill makin banyak bermunculan khususnya pada tahun 2000, dimana keberadaan sawmill semakin tersebar di wilayah Bogor Barat. Namun masih banyak petani hutan rakyat yang menjual kayunya ke tengkulak karena letak sawmill yang jauh dari lahan mereka. Letak sawmill yang jauh dianggap petani akan mengeluarkan biaya yang besar, sehingga petani tidak punya pilihan lain untuk menjualnya ke tengkulak. Penjualan kayu ke tengkulak dilakukan dengan melihat pohon berdiri. Selain itu petani hutan rakyat menjual kayunya apabila ada kebutuhan saja. Hal ini yang disebut dengan istilah daur butuh.

Berikut merupakan grafik yang menunjukkan perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat yang terjadi di wilayah Bogor Barat sejak sebelum tahun 1945 sampai tahun 2012.

Gambar 2 Grafik perkembangan produksi kayu petani hutan rakyat sejak sebelum tahun 1945 sampai tahun 2012 berdasarkan jenis pohon yang ditanam.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1 9 4 5 1 9 6 0 1 9 6 9 1 9 8 0 1 9 8 5 1 9 8 8 1 9 9 2 1 9 9 5 1 9 9 8 2 0 0 0 2 0 0 3 2 0 0 5 2 0 0 7 2 0 0 9 2 0 1 1 Vo lu m e ( m 3) Tahun cepat tumbuh lambat tumbuh

Gambar

Gambar 1 Peta wilayah Bogor Barat.
Tabel 1 Data jumlah desa dan luas per kecamatan
Tabel 3 Data jumlah hari hujan dan curah hujan Bogor Barat tahun 2010
Tabel 5 Karakteristik petani hutan rakyat menurut tingkat pendidikan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Mendesain bangunan pengolahan limbah cair peternakan babi skala rumah tangga dengan unit anaerobic baffled reactor dengan alternatif constructed wetland... Menghitung

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan perilaku vulva hygiene dengan kejadian keputihan pada santri putri pondok pesantren ABU Dzarin

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Klinik Analis Kesehatan Pontianak terh- adap 39 sampel pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu yang ditunda selama 2 jam

Pengujian keseluruhan sistem obstacle avoidence pada differential steering mobile robot ini meliputi pengujian penentuan arah menghindar robot dan pemilihan

DAN ANAK PERUSAHAAN / AND SUBSIDIARIES Laporan Keuangan Konsolidasi / Consolidated Financial Statements Untuk Tahun Yang Berakhir Pada Tanggal-tanggal / For The Years Ended 31

Learning Award adalah suatu sistem untuk memotivasi orang-orang yang memberikan sharing pengetahuan dan pengalaman kepada rekan kerja yang lain. Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun.. 2005 Nomor 137, Tambahan kmbaran Negara

Perbandingan diproksikan dengan dua pengukuran, yaitu menggunakan Total Assets Turn Over dan Total Modal Sendiri Terhadap Total Aset pada BUMN bidang konstruksi bangunan yang