• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muslim Tionghoa Sebagai Jembatan Budaya: Studi Tentang Partisipasi dan Dinamika Organisasi PITI Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Muslim Tionghoa Sebagai Jembatan Budaya: Studi Tentang Partisipasi dan Dinamika Organisasi PITI Yogyakarta"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

LP2M IAIN Surakarta

Muslim Tionghoa Sebagai Jembatan Budaya: Studi

Tentang Partisipasi dan Dinamika Organisasi PITI

Yogyakarta

Hamada Adzani Mahaswara

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Abstract

Socio-cultural and political changes occurred significantly in Chinese people in Indonesia after the fall of the new order. Gus Dur issued a revitalization policy of Chinese customs and beliefs as well as revoked Presidential Instruction numbered 14 of 1967. The shift in the political climate encouraged Chinese people to participate in the community, including from Chinese Muslims. Within Persatuan Islam Indonesia (PITI), they tries to consolidate in order to adapt and exist. The objective of this research is to examine participatory startegy and PITI organizational dynamic in post-reformation Yogyakarta and use qualitative approach and phenomenology as method. According to the analysis, keeping Chinese identity and being Javanese are cultural strategies in communicating Islam and methodology of adaptation. Manifested Chinese traditional elements (oral history, mythology, and philosophy) show dialogue and open-mindedness this community in the society. As a result, Chinese Muslims community play a role as cultural broker between Chinese ethnicity and Yogyakarta muslim society.

Abstrak

Perubahan sosio-kultural & politik terjadi secara signifikan pada orang Tionghoa di Indonesia pascaruntuhnya orde baru. Gus Dur mengeluarkan kebijakan revitalisasi adat istiadat dan kepercayaan Cina sekaligus mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967. Pergeseran iklim politik tersebut mendorong gerak orang Tionghoa untuk berpartisipasi dalam bermasyarakat, termasuk dari kalangan Muslim Tionghoa. Berada dalam organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), mereka melakukan upaya konsolidasi untuk beradaptasi sekaligus eksistensi. Penelitian ini berupaya mengulas strategi partisipasi dan dinamika organisasi PITI di Yogyakarta pascareformasi dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metode fenomenologi. Berdasarkan analisis penulis, mempertahankan identitas Tionghoa dan sekaligus berusaha menjadi Jawa merupakan strategi budaya yang dipilih dalam mengkomunikasikan Islam sekaligus metode adaptasi. Memasukan unsur tradisi (epos, mitologi dan falsafah) Tionghoa melalui dakwah menunjukan dialog dan sikap terbuka kelompok ini dalam masyarakat. Alhasil komunitas Muslim Tionghoa berfungsi sebagai jembatan budaya (cultural broker) antara etnis Tionghoa dan masyarakat muslim Yogyakarta.

Keywords: Freedom, Identity, Cultural Dakwah and Cultural Broker DOI: 10.22515/shahih.v2i1.704

Coressponding author

(2)

Pendahuluan

Salah satu fenomena yang menarik di Indonesia pasca lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998 adalah kebebasan ekspresi individu yang berimplikasi pada munculnya organisasi masyarakat baru atau pengaktifan kembali institusi sosial yang selama orde baru mengalami represi. Kemunculan organisasi masyarakat ini dibentuk berdasarkan segmentasi tertentu—misalnya etnisitas, agama, asal daerah bahkan preferensi minat dan hobi. Di Yogyakarta sendiri sejak tahun 1998, telah berdiri berbagai organisasi masyarakat yang berbasis pada orang Tionghoa. Setidaknya ada 10 organisasi lokal atau peguyuban orang Tionghoa dengan berbagai latar belakang. antara lain: Paguyuban Bhakti Putera, Perhimpunan Warga Cantonese Yogyakarta (Perwacy), Paguyuban Bhakti Loka, Paguyuban Hakka Yogyakarta, Paguyuban Fu Qing, Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (INTI) Pengda DIY, Paguyuban Alumni Sekolah Tionghoa Indonesia (PASTI), dan Yayasan Persaudaraan Masyarakat Yogjakarta (YPMJ). Sedangkan organisasi sosial umum yang juga banyak terlibat orang Tionghoa di dalamnya antara lain Hash (bidang olahraga), Paguyuban Mitra Masyarakat Yogyakarta (Pamitra), Rotary internasional, Lion Club, Yayasan Buddha Tzu Chi, dan Paguyuban Pedagang Malioboro (PPM) (Maulana, 2010, p. 1).

Salah satu yang aktif kembali adalah Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Organisasi berbasis agama dan etnis ini telah berdiri sejak tahun 1961—yang kemudian berdasarkan usaha asimilasi pada era orde baru dipaksa berganti nama menjadi Pembina Iman Tauhid Indonesia (PITI). Selama periode orde baru, organisasi ini mengalami stagnansi. Atribut kebudayaan yang melekat dengan identitas Tionghoa harus dilepaskan karena dianggap memiliki tendensi kedekatan dengan paham komunisme asal Cina. Salah satunya kehadiran Inpres No. 14 Tahun 1967 yang melarang seluruh komunitas Tionghoa di Indonesia untuk merayakan hari-hari besar (Imlek & Peh Cun), juga melarang entitas ini untuk mempertunjukan atraksi budaya (Liong, Barongsai, Potehi) di hadapan publik. Pertunjukan atraksi ini hanya boleh dipertontonkan di anggota kelompok sendiri.

Menilik ke belakang, sejarah kelam etnis Tinghoa di Indonesia juga semakin membuat mereka menutup diri untuk berinteraksi dalam masyarakat. Kategorisasi pribumi-non pribumi yang direproduksi selama rezim otoritasianisme membuat etnis Tionghoa semakin mengeksklusifkan diri. Akan tetapi, serangkaian usaha pembatasan ini juga diiringi dengan langkah pemerintah yang mendukung kelompok etnis Tionghoa untuk melakukan ekspansi bisnis dalam segala sektor. Kelompok etnis Tionghoa di Indonesia lebih mengedepankan hubungan kekerabatan inter-etnis daripada membangun relasi dengan masyarakat lokal tempat mereka bermukim. Dalam sudut pandang masyarakat lokal, kecenderungan etnis Tionghoa untuk mengeksklusifkan diri memperuncing segregasi, karena mayoritas etnis Tionghoa dominan dalam sektor ekonomi.

(3)

Kehadiran PITI sendiri dapat dilihat sebagai angin segar dalam kehidupan bermasyarakat. Organisasi ini dibentuk dengan nafas asimilasi dan mengurangi gap atau kesenjangan antara kelompok etnis Tionghoa dan masyarakat melalui strategi keagamaan. Bagi para anggota berupaya ‘menjadi Jawa’ dan beragama Islam akan lebih mudah diterima di masyarakat. Meskipun demikian, kehadiran PITI juga bukan tanpa hambatan. Muslim Tionghoa dianggap sebagai minoritas dalam minoritas (minority within minority) dalam kelompok etnis Tionghoa. Hal ini disebabkan kelompok etnis Tionghoa dalam masyarakat berjumlah sedikit, tidak mencapai 10% dari populasi Indonesia tahun 1970. Sementara itu, pilihan menjadi Muslim adalah hal yang menyulitkan bagi individu Tionghoa karena dengan menjadi mualaf, mereka disingkirkan dari keluarga besarnya. Alhasil keberadaan PITI di Indonesia pada mulanya berfokos pada pendampingan mental dan finansial anggota baru, daripada syiar agama Islam dalam masyarakat.

Kepengurusan PITI di Yogyakarta baru berdiri pada tahun 1970, atau lebih dari satu dekade sejak kemunculan PITI pusat di Jakarta. Hal ini disebabkan perkembangan politik dan kesadaran berorganisasi dalam komunitas Muslim Tionghoa di Yogyakarta berjalan sangat lambat. Kondisi minoritas dalam lingkungan komunitas etnis Tionghoa membuat mereka tergolong lambat dalam membentuk asosiasi sosial-religius (Sunano, 2017). Baru pada 18 Juni 1970, PITI kepengurusan PITI Yogyakarta bisa terbentuk—yang mana pendirian organisasi ini juga bukan karena kesadaran politik internal, tetapi atas prakarsa beberapa tokoh Persaudaraan Djamaah Haji Indonesia (PDHI); Prof. H. Kahar Muzakir, GBPH. Prabuningrat dll yang kemudian mengajak Kwee Sing Djwan dan Tan Heng Liang untuk mendirikan organisasi PITI sebagai lembaga dakwah masyarakat etnis Tionghoa di Yogyakarta. Dinamika PITI Yogyakarta awalnya tidak berjalan baik. Masalah ini disebabkan ketergantungan PITI Yogyakarta terhadap pendanaan dari PDHI dan enggannya komunitas Muslim Tionghoa bergabung dengan PITI karena khawatir akan dianggap semakin mengeksklusifkan diri dan menganggap derajat dirinya semakin rendah apabila bergabung dalam organisasi dengan afiliasi keagamaan yang identik dengan pribumi. Di sisi lain, hampir semua anggota PITI kondisi ekonominya sangat susah, sehingga waktu mereka tersita untuk mencari nafkah. Di bawah kepemimpinan Budi Satyagraha (Wong Ren Cong) yang dimulai pada tahun 1984, PITI Yogyakarta berkembang pesat. Ia adalah sosok pengusaha sukses, sehingga urusan finansial PITI banyak terbantu, juga kegiatan sosial dan kajian akademis banyak diselenggarakan. Namun demikian, pada awal berdirinya PITI Yogyakarta, anggota organisasi ini hanya berjumlah tiga orang saja dan terakhir (2016) tercatat sebanyak 200 orang bergabung dalam organisasi ini.

Penelitian ini berupaya mengulas strategi partisipasi dan dinamika organisasi PITI di Yogyakarta dalam upayanya sebagai jembatan budaya (cultural broker) dalam masyarakat pascareformasi. Namun demikian, pada paparan awal, penulis akan menjelaskan terlebih

(4)

dahulu mengenai sejarah kehadiran etnis Tionghoa dan kemunculan komunitas Muslim Tionghoa di Yogyakarta. Selanjutnya, penulis akan memaparkan tentang garis besar organisasi, hambatan dan tantangan dalam pengorganisasian PITI Yogyakarta. Di akhir pembahasan, penulis akan berupaya menganalisis strategi kebudayaan yang dilakukan PITI Yogyakarta dan pengaruhnya dalam masyarakat selama ini.

Adapun penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menerapkan metode penelitian fenomenologis, yaitu penelitian yang menganggap setiap situasi, lingkungan, atau peristiwa merupakan potensi yang menarik untuk diselidiki (Basuki 2006, p. 142). Dalam hal ini, penulis menganggap fenomena pergerakan sosial politik yang dilakukan oleh kelompok Muslim Tionghoa pascareformasi adalah hal yag menarik, mengingat perubahan struktur konteks yang sangat besar setelah runtuhnya rezim otoritarianisme. Akan tetapi, penulis tidak secara murni menggunakan konsep fenomenologis yang menghasilkan interpretasi peneliti yang bersifat deskriptif, melainkan menghubungkannya dengan teknik analisisi eksplanasi kausalistik, yaitu menghubungkan peristiwa atau gejala yang dikaji dengan konsep serta teori tertentu.

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, penulis akan meminjam terminologi

cultural broker yang dipopulerkan oleh Clifford Geertz dalam bukunya The Javanese Kijaji:

The Changing Role of a Cultural Broker (1960) sebagai pisau bedah analisis. Namun demikian, perbedaan konteks dan kajian yang diteliti oleh penulis kemudian tidak akan serta merta menggunakan konsep Geertz untuk diaplikasikan, melainkan dielaborasi dengan pemikiran-pemikiran lain yang lebih luwes tentang cultural broker. Dalam perspektif sosiologi politik dikenal lima pendekatan dalam membaca gejala sosial politik yaitu pendekatan historis (sejarah), pendekatan komparatif (perbandingan gejala), pendekatan institusional (kelembagaan, konstitusi & legalistik), pendekatan behavioral (tingkah laku) dan pendekatan post-behavioral (Duverger, 1985). Dalam analisis tentang Muslim Tionghoa sebagai jembatan budaya ini, penulis lebih dekat menggunakan pendekatan campuran (mix

approach) antara pendekatan historis dengan pendekatan institusional. Pendekatan ini

menekankan tidak hanya faktor sejarah, tetapi juga faktor kelembagaan dan tingkah laku politik individu secara bersamaan di satu sisi dan penyatuan kajian antara fakta dan nilai nilai di sisi lainnya. Dengan demikian, penulis akan memperoleh pemaknaan dan interpretasi baru terhadap dinamika organisasi ini.

Muslim Tionghoa di Yogyakarta

Dalam bukunya, Nusa Jawa Silang Budaya, Bagian 3: Warisan Kerajaan-Kerajaan

Konsentris (1990)—Danys Lombard mengintisarikan bahwa Kesultanan Yogyakarta berdiri

(5)

Kasultanan Mataram menjadi dua: Kesultanan Surakarta yang diperintah oleh Susuhunan, dan Kesultanan Yogyakarta yang diperintah oleh Pangeran Mangkubumi. Kesultanan Yogyakarta berdiri karena akibat tidak langsung perang antara Belanda dengan etnis Tionghoa di Jawa. Perang tersebut terjadi selama tiga tahun, sejak tahun 1740 sampai 1742 merupakan rentetan panjang yang terjadi Batavia, Pantura, dan Ibu Kota Mataram di Kartasura. Perang itulah yang menjadi pemicu konflik internal para pangeran di Kasultanan Mataram sampai akhirnya pecah menjadi tiga kerajaan kecil di Pedalaman Jawa. Selama lima belas tahun, wilayah Mataram terus dilanda perang suksesi kekuasaan.

Sejak berdirinya Kesultanan Yogyakarta, mulai banyak orang dari penjuru Nusantara yang berdatangan untuk berdagang, termasuk pedagang Tionghoa (Darmasugito, 1956, p. 7). Lama-kelamaan jumlah pedagang itu meningkat dan sebagian besar mulai menetap di Kotapraja. Satu tahun berselang, sebagaimana diceritakan Peter Carey (1986: 50) Sultan Hamengkubuwono I menyepakati penyewaan pajak jalan (gerbang tol) oleh orang Tionghoa bernama To In (1755-1792). Perjanjian penyewaan pajak ini adalah yang pertama, mencakup semua gerbang tol yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Penyewaan pajak gerbang tol oleh To In membuka jaringan dagang dan pengerahan tenaga kerja yang berasal dari etnis Tionghoa berdatangan ke Yogyakarta. Untuk memudahkan pemungutan pajak jalan dan pajak kepala pada etnis Tionghoa di Yogyakarta, To In kemudian diangkat menjadi kapitan Tionghoa pertama yang membawahi seluruh pemukiman komunitas Tionghoa di Yogyakarta. Hasil penyewaan pajak ini sangat menguntungkan dan sanggup menyumbang 40 persen pendapatan keraton setiap tahun.

Kondisi ekonomi Kesultanan Yogyakarta yang baru saja berdiri bisa cepat pulih dengan bantuan etnis Tionghoa. Mereka menjadi penyumbang pajak jalan, penyewa gerbang tol, dan penyewa tanah yang berani mahal. Mereka juga sebagai penyedia uang pinjaman lewat pegadaian, bertani secara modern, tukang kayu yang terampil, pengelola uang yang pandai, dan ahli dalam perdagangan. Kemampuan ini membuat hubungan etnis Tionghoa dengan keraton (Sri Sultan) menjadi semakin harmonis. Kadang perkawinan campuran terjadi antara golongan priyayi, bangsawan, dan kerabat Sultan dengan perempuan Tionghoa sebagai istri kedua (garwa ampeyan) atau selir Sri Sultan, begitu pula sebaliknya. Ikatan perkawinan dan hubungan pribadi yang baik bagi etnis Tionghoa akan menjaga keberlangsungan perdagangan mereka di daerah pedalaman Jawa.

Mengenai lokasi awal pemukiman orang Tionghoa juga ada perbedaan pendapat. satu pendapat mengatakan orang Tionghoa mulanya berada di daerah Pecinan yang terletak di sebelah utara Pasar Gede. (Surjomihardjo, 2000, p. 48) memaparkan, meskipun sudah diatur oleh Belanda ternyata sampai tahun 1830 masih ada orang Tionghoa yang tinggal diluar daerah tersebut dan menyebar di beberapa tempat meski mendapat ancaman denda sebesar f 25–f 100. Mengikuti perkembangan pembangunan kota, pada tahun 1867 pemukiman

(6)

komunitas Tionghoa menyebar di sekitar ibukota meliputi Ketandan, Gandekan, Ngabean, Ngadiwinatan, Suronatan, Gading, Ngasem, daerah Patuk ke utara hingga rel kereta api di sebelah Tugu. Bahkan di daerah Pakualaman dan Godean pun terdapat sejumlah pemukiman orang–orang Tionghoa.

Kemudian mengenai jumlah orang Tionghoa di Yogyakarta, data yang paling awal ditunjukkan dalam catatan Raffles (History of Java 1817, 63) saat menjabat sebagai Gubernur Jenderal di Jawa (1811-1816). Data ini mencatat bahwa jumlah orang Tionghoa di Yogyakarta sebesar 2.202 dengan perincian: jumlah laki-laki sebesar 1.201 dan perempuan sebesar 1.001. Mereka terkonsentrasi di sekitar pasar, di antara benteng Belanda (Vredeburg) dan Kepatihan Danurejan. Kemudian antara tahun 1906 – 1910 jumlah orang Tionghoa di Yogyakarta sejumlah 5.266 atau 6,61 % dari jumlah seluruh penduduk Yogyakarta sebesar 79.567 jiwa (Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia 1979, 12). Selanjutnya pada tahun 1920 jumlah orang Tionghoa di Yogyakarta meningkat sebesar 7.250 jiwa. Warga Tionghoa yang tinggal di kota raja sebesar 5.471 dan sisanya di pedesaan (Sensus, 1920, p. 13)

Pada sensus tahun 1930, warga Tionghoa di Yogyakarta mencapai 12.637. Dari 9.189 jiwa mereka tinggal di kota dengan jumlah laki-laki sebesar 4.998 dan 4.191 untuk perempuan. Sisanya tersebar di luar kota. Perlu ditambahkan juga bahwa di Yogyakarta terdapat empat suku pokok, yaitu: Hokkian, Kwongfu, Hakka dan Teochiu (Hardjono 1930, p. 13). Kemudian berdasarkan perhitungan sensus penduduk Tahun 2000, yang dihitung 10 tahun sekali, jumlah orang Tionghoa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 9.942 jiwa, yang berstatus Warga Negara Asing (RRC) sebesar 488 jiwa. Dari seluruh penduduk tersebut, yang domisili di pedesaan sebesar 76 jiwa dan di perkotaan sebesar 9.866 jiwa (BPS Yogyakarta, 2000, p. 75) . Jejak tentang Muslim Tionghoa mulanya merupakan saudara (adik) dari saudagar Oei Tek Ho asal Banyumas yaitu Oei Tek Biauw yang kemudian dikenal sebagai Kyai Tumenggung Reksonegoro I (dalam Werdoyo 1990, p. 5). Posisi awalnya adalah salah satu Bupati di Semarang, kemudian pindah ke Yogyakarta atas permintaan Sultan Hamengkubuwonno I. Selain itu Kyai Reksonegoro juga menjadi penasehat sultan dalam bidang kerohaniaan, termasuk mengurusi dan memimpin perayaan adat atau agama seperti Grebeg. Kemudian jejak yang paling menonjol adalah tokoh Tan Jin Sing (1760 – 1831), seorang kapitan Tionghoa yang diangkat sebagai Bupati Yogyakarta oleh Sultan Hamengku Buwono III. Sebelum diangkat sebagai bupati dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat, Tan Jin Sing masuk Islam bersama istrinya atas bimbingan Kyai Reksonegoro.

Menariknya dari sumber ini, terdapat juga uraian Kyai Reksonegoro dan istrinya untuk memantapkan Tan Jin Sing memeluk Islam menjelang pengangkatan sebagai Bupati. Alasan pertama ialah kebanyakan bangsawan Jawa (Bupati) adalah seorang Muslim. Alasan keduanya ialah ketika menjadi seorang Tionghoa Muslim bukanlah hal yang aneh, karena mereka mempunyai rujukan pada tokoh Laksamana Cheng Ho yang merupakan seorang

(7)

Tionghoa Muslim asli dari negeri China (Werdoyo, 1990, p. 5).

Mengenai data yang lebih valid dari jumlah Muslim Tionghoa masa itu, saya mengalami kesulitan karena sumber pada masa pemerintah Belanda dalam menghitung penduduk Tionghoa tidak menggunakan kategori agama. Baru sekitar tahun 1970an, saat wacana Muslim Tionghoa mulai muncul ke publik, diperkirakan ada sekitar 150.000 orang Tionghoa yang masuk Islam. Tapi angka ini dianggap tidak realistis oleh H. Junus Jahja, menurutnya jumlah Muslim Tionghoa hanya sekitar 0,5% dari jumlah keseluruhan orang Tionghoa di Indonesia yang berjumlah 2,5 juta orang atau sekitar 12.500 orang (Jahja, 1999, p. 304).

Bicara tentang konteks Yogyakarta, jumlah Muslim Tionghoa yang dapat dilacak berdasarkan data monografi per kecamatan tahun 2007 sejumlah 788 orang (8%) dari 9055 orang Tionghoa yang tinggal di kota Yogyakarta (Hamim, 2008, p. 32). Sedangkan untuk pemukimannya, tak ada lokasi yang khusus seperti halnya kampung Pecinan. Kebanyakan lokasi mereka tersebar di antara kampung-kampung yang ada di kota Yogyakarta, mulai dari Krapyak, Wirobrajan, Samirono hingga Jetis. Hal yang mencolok adalah perbedaan berdasarkan klas ekonomi, yang kaya mampu membangun rumah yang terpisah dari tempat usahanya, sedangkan yang belum kaya menjadikan rumah sekaligus tempat usaha (rumah toko/ruko). Tak jarang bagi mereka yang masih mengontrak rumah, berpindah – pindah tempat sampai beberapa kali jika tak bisa memperpanjang sewanya atau hendak dipakai sendiri oleh pemiliknya.

Ada catatan tersendiri untuk keluarga yang berpindah-pindah tempat ini. Biasanya keluarga ini merupakan keluarga baru atau salah satunya muallaf. Hal ini bisa dimaklumi karena orang Tionghoa yang telah masuk Islam sering kali terusir dari rumah orang tuanya yang non Islam, atau setidaknya muallaf Tionghoa ini merasa tak nyaman tinggal bersama lagi dengan saudaranya yang non Muslim. Menurut (Suryadinata, 1988, pp. 94-99). fenomena orang Tionghoa yang masuk agama Islam pada era 1970an bukan merupakan akibat dari peristiwa kup tahun 1965 saja, melainkan juga akibat dari perkembangan Islam di panggung sosial politik, interaksi intensif dengan Muslim di sekitar mereka dan beberapa lainnya lebih pragmatis seperti memperlancar bisnisnya atau menyelesaikan ’masalah Tionghoa’ di Indonesia.

Usaha-usaha Personal dan Kolektif

Seiring dengan gerakan dakwah pada orang Tionghoa yang mulai menyebar di berbagai daerah sekitar tahun 1970an lewat organisasi yang dipimpin oleh H. Abdul Karim Oey Tjeng hien dan kho Goan Tjin (PITI). Beberapa tokoh Islam di Yogyakarta yang aktif di Persaudaraan Djamaah Haji Indonesia (PDHI) berinisiatif untuk mengajak segelintir Tionghoa Muslim di Yogyakarta untuk mendirikan PITI koordinator wilayah. Mereka itu

(8)

antara lain: Prof. KH. Abdul Kahar Muzzakir, GBPH H. Prabuningrat, KH. M Djoenaid, KH. R. Therus, H. Muhadi Munawir, KH. Ali Maksum dan KH. A. Mukti Ali (Rafika Perdana, 2008, p.35).

Pada periode pertama kepengurusan PITI DIY terpilih sebagai ketua adalah H. Iksan Budi Santoso dan wakilnya KH. Ali Maksum. Sedangkan sekretaris I dan II masing-masing adalah Ahmad Sutanto dan Moh Amien Mansoer. Lalu bendaharanya dipegang oleh Yudi Kurniawan. Saat peresmiannya tanggal 20 September 1970 (dijadikan sebagai hari berdirinya PITI Yogyakarta), acara dihadiri langsung oleh H. Karim Oey dan beberapa pejabat pemerintah pusat seperti H. M.S Mitardja (Menteri Sosial) dan Brig Jend Muklas Prowi (Rohis AD).

Kegiatan PITI DIY awalnya bergabung dengan kegiaran PDHI seperti pengajian rutin di kantor PDHI atau secara bergilir di rumah-rumah anggota PDHI dengan sarana dan prasarana dari PDHI pula. Selain itu PITI juga membantu orang Tionghoa yang mendapat masalah ketika baru masuk Islam / muallaf, misalnya ketika diusir oleh keluarganya. Contoh kasus adalah seorang muallaf perempuan bernama Be Han Nio asal dari Banyuwangi, karena tak ada dukungan dari keluarganya maka PITI DIY memberikan santunan pendidikan di salah satu lembaga pendidikan keperawatan di kota Yogyakarta (Perdana, 2008, p. 38)

Tampaknya organisasi yang baru berdiri ini menunjukkan antusiasme yang tinggi dari pengurusnya. Ketuanya, H. Iksan Budi Santoso dan Ahmad Sutanto, sekretarisnya secara terbuka mengakui sebagai orang Tionghoa Muslim. Sehingga mereka sering diundang untuk menjadi penceramah pengajian/ustad di berbagai tempat hingga Kulon Progo dan Klaten. Bahkan setiap bulan Ramadhan jadwal mereka selalu padat untuk menjadi penceramah.

Akan tetapi, sayangnya pemerintah lewat Jaksa Agung, keberatan dengan penggunaan nama ’Tionghoa’ yang terkesan eksklusif dalam skronim Persatuan Islam Tionghoa Indonesia/PITI. Lewat surat Menteri Agama RI tertanggal 15 Juli 1972 No. MA/244/1972 atas nama H. A. Mukti Ali Menteri Agama saat itu, meminta untuk meniadakan usaha yang dapat menjurus ke arah eksklusifisme dan mempercepat proses asimilasi dan pembauran warga negara keturunan. Oleh karena itu, pimpinan PITI pusat membubarkan PITI dengan singkatan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia dan mendirikan organisasi baru bernama Persatuan Iman Tauhid Indonesia yang juga akronim dari PITI.

PITI Yogyakarta tampaknya mengalami juga stagnasi dalam usaha berdakwah di kalangan orang Tionghoa. Beberapa faktor antara lain, 1. Ketua baru yang menggantikan tak sepercaya diri dalam menonjolkan keTionghoannya, 2. Keterputusan koordinasi dengan PITI pusat dimana PITI pusat juga mengalami stagnasi akibat kepengurusannya dikendalikan oleh militer, 3. Belum maksimalnya menejemen organisasi utamanya kesulitan dalam mendapatkan dana operasional, salahsatunya belum bekerjanya mekanisme iuran anggota,

(9)

4. Jumlah anggota yang sidikit akibat enggannya seorang Tionghoa Muslim untuk bergabung di organisasi akibat stigma bahwa masuk Islam membuat derajat sosialnya menurun seperti kaum pribumi.

Sekitar pertengahan 1980-an, PITI Yogyakarta mulai kembali bergerak. Salah satunya adalah kepengurusan baru didukung sepenuhnya secara finansial oleh Budi Setyagraha yang menjadi ketuanya. Sebagai pengusaha yang cukup sukses, beliau juga secara terbuka mengakui keTionghoaannya. Meskipun dia tidak merangkap sebagai seorang penceramah di bidang agama, tampaknya dia lebih cenderung merangkap sebagai aktivis sosial politik.

Secara organisasi PITI pusat kemudian meresponnya dengan mengadakan Muktamar Nasional ke II pada tahun 2000 di Jakarta. Munas ini diniatkan untuk membangkitkan kembali semangat dan struktur organisasi. Salah satu programnya adalah konsolidasi pengurus-pengurus wilayah dan daerah yang telah terbentuk selama ini di penjuru Indonesia. Kemudian pada tahun 2005 diselenggarakan Munas ke III di Surabaya yang dibuka langsung oleh Wakil Presiden H. M. Jusuf Kalla. Dalam munas kali ini juga memutuskan untuk menggunakan kembali akronim Persatuan Islam Tionghoa Indonesia di samping Persatuan Iman Tauhid Indonesia.

Ditinjau dari visi PITI yang tertuang dalam Anggaran Dasar hasil Munas ke II, menyatakan bahwa visi PITI adalah mewujudkan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin dalam rangka melaksanakan ajaran Islam secara keseluruhan (kaffah).24 Penjelasan ini tampaknya tidak menunjukkan kecenderungan orientasi pada organisasi dakwah Islam manapun seperti NU dan Muhammadiyah atau merujuk pada aliran dalam Islam manapun. Tapi jika melihat Program Kerja DPP PITI periode 2005-2010 terdapat program Pengembangan Pemikiran Keagamaan di urutan pertama meski tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang hal ini. Menariknya, di dalam Program Sosial Budaya dan Pendidikan terdapat poin – poin spesifik natara lain, 1) ikut menggali dan melestarikan budaya setempat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, 2) Mensosialisasikan budaya-budaya Islam bagi Muslim Tionghoa khususnya dan masyarakat pada umumnya, dan 3) mensosialisasikan budaya-budaya Islam Tiongkok (dari RRC) kepada kaum Muslim Tionghoa dan masyarakat Indonesia berdasarkan hasil Muktamar Nasional 3 PITI 2005.

Usahanya mungkin bisa dinilai sebagai pembentukan citra bahwa orang Tionghoa yang masuk Islam tak perlu malu dan takut mendapatkan tantangan. Di satu sisi hal ini bisa dianggap sebagai nilai tawar orang Tionghoa Muslim di hadapan orang-orang Tionghoa non Muslim dan dihadapan pemerintah. Apalagi di akhir jabatannya sebagai ketua PITI DIY (1997-2003) terpilih sebagai anggota legislatif Provinsi DIY periode 1999–2004 melalui Partai Amanat Nasional (PAN) (Rafika Perdana, 2008, p. 44).

Organisasi PITI diupayakan menjadi sarana dakwah yang efektif khususnya bagi kalangan Muslim Tionghoa dan etnis Tionghoa pada umumnya. Kepengurusan PITI DIY

(10)

sampai sekarang menggunakan prinsip organisasi terbuka, artinya siapapun di luar etnis Tionghoa yang mau menjadi pengurus bisa terlibat dalam kegiatan organisasi. Apresiasi masyarakat, ulama, dan pihak keraton sangat positif mendukung keberadaan PITI DIY. Dukungan ini diwujudkan dengan banyak tokoh masyarakat, cendekiawan, ulama dan kerabat Sri Sultan masuk dalam kepengurusan awal.

Sampai sekarang masih banyak juga Muslim Tionghoa yang tidak bergabung dalam kegiatan PITI DIY. Sebagian beranggapan bahwa kalau sudah menjadi Muslim, jangan lagi mengeksklusifkan diri lagi dengan bergabung di PITI. Seharusnya, Muslim Tionghoa berbaur dengan masyarakat Yogyakarta dan aktif di berbagai organisasi serta tidak perlu lagi menonjolkan diri sebagai orang Tionghoa. Kondisi ini menyebabkan PITI sempat mengalami stagnansi kepengurusan di akhir periode Lie Sioe Fen (Hj. Raehana Fatima). Sementara banyak Muslim Tionghoa lebih memilih netral dengan tidak terlibat dalam berbagai kegiatan organisasi dan memilih kembali pada aktivitas dagang mereka.

Menurut analisis penulis, pada masa Orde Baru tampaknya usaha kolektif berupa organisasi (PITI) menjadi alat untuk mewujudkan cara masing-masing pihak yang berbeda dan belum ada titik temunya. Satu pihak ingin meluruskan jalan sebagai organisasi dakwah dengan ciri karakternya yang unik (etnisitas) dan di pihak lain ingin menjadikan media dakwah tapi tanpa menonjolkan keunikannya serta menyerasikan dengan program pemerintah dalam hal pembauran. Persoalan yang penting adalah adanya kesadaran dari Muslim Tionghoa bahwa persoalan pembauran bukan semata masalah horisontal antara orang Tionghoa dengan non Tionghoa, melainkan juga masalah vertikal yang terkait dengan kebijakan pemerintah terhadap orang Tionghoa secara umum. Ini kemudian mendorong Muslim Tionghoa untuk merenungkan kembali atas hak-hak dan kewajibannya sebagai komponen bangsa secara utuh.

PITI DIY Pasca Reformasi

a. Dalam bidang Dakwah

Keberadaan PITI sebagai organisasi dakwah tidak terlepas dari berbagai kegiatan yang fokus pada pembinaan warga PITI agar bisa menjalankan agama Islam dengan baik. Target pembinaan agama, khususnya dalam internal warga PITI dan muallaf Tionghoa. Orientasi dakwah ini sebagai amanat yang diberikan oleh pengurus PDHI, agar penekanan dakwah dan pembinaan Muslim dan muallaf Tionghoa lebih serius, terarah dan terorganisasi. Setelah keimanan mereka kuat, potensi jamaah ini bisa digunakan untuk melakukan transformasi sosial. Upaya ini bisa dilakukan bersama-sama organisasi Islam lain dalam menyelesaikan

problem sosial-ekonomi masyarakat.

Kegiatan dakwah PITI DIY mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika kepengurusan. Awal kepengurusan mendapat dukungan penuh dari pengurus PDHI,

(11)

mempercepat kerja organisasi, dan berbagai kegiatan dakwah. Aktivitas dakwah PITI mengalami penurunan saat dipimpin oleh Muhammad Hudi dan Ahmad Sutanto. Kegiatan pokok pengajian rutin masih berjalan, tetapi aktivitas dakwah terhenti. Naiknya Budi Satyagraha menjadi ketua yag merupakan mualaf memberi angin segar pada aktivitas dakwah (Sunano, 2017, p. 217).

Periode Budi Satyagraha masih menekankan pelaksanaan rutin bulanan dengan menyediakan kendaraan penjemputan warga PITI dan Muslim Tionghoa yang tersebar di berbagai kampung. Setelah reformasi 1998, gerakan dakwah PITI lebih bersifat budaya daripada gerakan agama formal. Pengajian PITI diselenggarakan di rumah Budi Setyagraha, dan sudah berjalan selama 23 tahun. Ini merupakan waktu yang lama untuk sebuah kegiatan pengajian rutin bulanan. Penyelenggaraan pengajian umum sering dikaitkan dengan momentum kegiatan budaya Tionghoa, misalnya pengajian Imlek yang sudah dilaksanakan selama lima kali berturut-turut. Konsep dakwah budaya lebih dimaksudkan sebagai pendekatan kepada masyarakat umum dan kalangan etnis Tionghoa. Dengan begitu, akan tersampaikan pesan bahwa dalam Islam juga mengapresiasi kegiatan budaya, seperti yang dilakukan etnis Tionghoa dengan menyambut Imlek secara meriah.

Agenda dakwah lain yang terus dikembangkan PITI DIY adalah, setiap Muslim Tionghoa wajib mengikuti agenda safari dakwah untuk jadi pengisi kultum tarawih ramadhan dan kuliah subuh. Jadwal ini bergilir di banyak masjid Yogyakarta. Agenda ini juga rutin dilakukan setiap ramadhan sebagai bentuk dakwah Muslim Tionghoa. PITI DIY juga akan mengisi dialog bersama muallaf radio MQ sebanyak tiga kali selama ramadhan.

Gagasan baru yang coba dikembangkan oleh pengurus PITI DIY 2012-2017 adalah rencana membuat masjid Tionghoa sebagai pusat dakwah. Pembuatan masjid menjadi langkah sangat strategis karena menjadi sentral kegiatan PITI dan merupakan simbol keberadaan Muslim Tionghoa di Yogyakarta. Upaya membangun masjid Tionghoa sebagai pusat dakwah PITI memang bisa dikatakan terlambat. Padahal beberapa daerah lain, seperti Purbalingga yang berada di kota kecil di Jawa Tengah telah memiliki masjid Tionghoa. b. Partisipasi PITI dalam pemberdayaan sosial

Sejak kepengurusan Budi Setyagraha, berbagai aktivitas sosial PITI DIY mulai dimaksimalkan. Kegiatan sosial yang terlaksana, antara lain berupa pengadaan pasar murah, bantuan air bersih dan bakti sosial di berbagai tempat di Gunung Kidul dan Sleman bersama Yayasan Tunas Melati; melaksanakan pengobatan gratis kerjasama paguyuban Bhakti Putera dalam rangka menyambut HUT RI. Dalam proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan warga PITI seringkali bersifat spontan dan tidak terencana. Spontanitas aktivitas sosial ini karena lebih menitikberatkan kepada penyelesaian masalah yang ada di lapangan daripada membangun program yang efektif dalam pemberdayaan sosial berkelanjutan.

(12)

Kegiatan spontan warga PITI DIY ketika ikut berpartisipasi dalam penanganan korban bencana gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 dan bantuan korban letusan gunung Merapi tahun 2010. Bantuan warga PITI tergolong besar dan disalurkan dalam berbagai bentuk di lokasi bencana.

Partisipasi PITI sebagai organisasi sosial paling nyata adalah mengupayakan adanya pembauran antara masyarakat Yogyakarta dan etnis Tionghoa. Ketika etnis Tionghoa memilih beragama Islam memudahkan mereka melakukan pembauran sesuai dengan anjuran pemerintah. Dengan masuk Islam, maka kebiasaan dan perilaku etnis Tionghoa menyesuaikan dengan kebudayaan malsyarakat setempat. Banyaknya kader muda dalam kepengurusan PITI DIY dibawah kepemimpinan Anggoro Tanjung memberi semangat baru dalam menjalankan roda organisasi secara profesional, seperti dengan diselenggarakannya program-program bakti sosial yang bekerjasama dengan organisasi/lembaga seperti; Pesantren Kaliopak, Paguyuban Bhakti Putera. Periode Anggoro Tanjung, kegiatan menjadi lebih semarak dan meriah.

c. Strategi Kebudayaan PITI

Memasuki orde reformasi memberikan peluang kepada PITI Yogyakarta untuk membuat strategi baru dalam gerakan dakwah dan menjembatani antara Muslim Tionghoa dengan etnis Tionghoa dan dengan masyarakat Yogyakarta. Strategi baru yang digagas warga PITI dengan menyelenggarakan pengajian Imlek bersama. Rumusan gagasan ini, dimulai dengan membuat seminar di UGM, dan mengundang tokoh masyarakat, civitas akademika UGM, budayawan, komunitas Tionghoa dan MUI. Dalam seminar, disampaikan tentang latar belakang pengajian Imlek. Masing-masing pembicara meninjau dasar pengajian Imlek menurut budaya Tionghoa serta dari sisi agama. Simpulan seminar tersebut bahwa Imlek merupakan aktivitas budaya serta bukan termasuk aktivitas agama, dan membolehkan warga PITI menyelenggarakan pengajian Imlek.

Berdasarkan kesimpulan seminar perayaan Imlek di UGM dan sudah mendapat restu dari MUI DIY, memantapkan warga PITI DIY melaksanakan pengajan Imlek. Sebelumnya, sempat ada organisasi masyarakat Muslim di Yogyakarta memgecam akan membubarkan pengajian Imlek jika tetap dilaksanakan. Pengajian Imlek di Masjid Syuhada diselenggarakan pada 8 Februari 2003, dihadiri puluhan Muslim Tionghoa, warga PITI DIY, dan beberapa undangan dari tokoh masyarakat Yogyakarta. Dalam pandangan orang Tionghoa Muslim Tahun Baru Imlek dirayakan di masjid selain sebagai rasa syukur, juga ingin menunjukkan bahwa Imlek adalah bagian adat budaya warisan leluhur masyarakat Tionghoa yang bisa dirayakan semua golongan dan agama mana pun, terlepas dari ritual agama tertentu. Perayaan Imlek oleh orang – orang Tionghoa Muslim ini didukung oleh PITI Pusat dengan mengeluarkan surat himbauan merayakan Imlek dengan cara sujud syukur di mesjid masing

(13)

– masing. Surat khusus ini dikeluarkan setelah Munas ke III di Surabaya dengan No. 004/01/ DPP.PITI/I/06.

Pengajian Imlek dalam perspektif dakwah merupakan strategi kebudayaan yang unik dan menarik dalam mengkomunikasikan Islam kepada etnis Tionghoa di Yogyakarta. Lompatan strategi ini bisa kita tengok pada model-model dakwah yang dilakukan oleh banyak Muslim Tionghoa yang dikenal denga walisongo di Jawa. model dakwah walisongo dengan cara yang unik dan simpatik dengan penduduk setempat yang mayoritas hindu & budha. Dengan menggunakan pendekatan kebudayaan, Islamisasi di Jawa waktu itu berkembang pesat. Misalnya, pola dakwah yang dilakukan sunan Kalijaga (Gan Si Ciang) dengan gamelan yang merupakan produk kesenian Jawa era sebelum Islam dan wayang yang dikembangkan dari cerita dari agama hindu (Mahabarata) dan Budha (Ramayana) dengan memasukan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam dalam setiap cerita.

Identitas yang Berlapis

Tetap mempertahankan identitas Tionghoa dan berusaha menjadi Jawa agar efektif dalam berdakwah menggunakan strategi kebudayaan selama tidak melanggar aturan hukum Islam terus dicoba oleh warga PITI DIY. Pola dakwah dengan merayakan tahun baru Tionghoa dalam bentuk pengajian Imlek perlu dikembangkan dengan mengkaji berbagai tradisi kebudayaan Tionghoa yang tidak menjadi bagian dari ritual agama. Dengan melakukan demistifikasi kebudayaan Tionghoa dan diadopsi menjadi bagian kebudayaan Islam, akan memberikan pengaruh yang berbeda dalam pola dakwah Islam sekarang yang makin kering budaya dan hanya berkutat pada doktrin (Sunano, 2017, p. 325). Pola ini juga bisa menjadi pertimbangan bagi kegiatan dakwah di berbagai daerah di Indonesia dengan kembali mengadopsi pola budaya lokal setempat. Sebelum menjadi strategi dakwah, memang seharusnya dikonsultasikan dahulu dengan berbagai institusi dan lembaga Islam tekait sehingga tidak memunculkan polemik di masyarakat.

Disamping membangun interaksi antar orang Tionghoa Muslim yang sama–sama dalam proses pencarian Islam, PITI juga berfungsi sebagai media komunikasi dan kerjasama antara sesama organisasi Tionghoa yang berbeda. Dalam penyelenggaraan beberapa acara di Yogyakarta, setiap organisasi atau peguyuban diajak untuk turut berpastisipasi. Seperti dalam Pekan Budaya Tionghoa yang diselenggarakan setiap perayaan Imlek sejak tahun 2006 di daerah Ketandan dan Peh Cun yang dilaksanakan 15 hari setelah Imlek di Pantai Parangtritis Bantul. Untuk pertama kalinya, pada tahun 2017, PITI Yogyakarta menjadi organisator Pekan Budaya Tionghoa dan menandai bergabungnya PITI dalam paguyuban Jogja Chinesse Art and Culture Centre (JCACC).

Untuk hubungan bidang politik, organisasi PITI tidak berafiliasi kepada organisasi masyarakat atau partai politik tertentu. Kedekatan beberapa individu yang menjabat di

(14)

struktural PITI dengan organisasi masyarakat atau partai politik tertentu sama sekali bersifat personal. Mengenai faktor kedekatannya salah satunya bisa dilacak dari proses keIslaman dan lingkungannya. Di Yogyakarta memang Muslim Tionghoa cenderung merujuk pada Muhammadiyah dan PAN, meskipun rujukan pada organisasi dan partai politik yang lain juga banyak.

Bagi orang Muslim Tionghoa yang ada di Yogyakarta situasi demikian nampaknya menunjukkan pada identitas yang berlapis. Beberapa orang Tionghoa mengidentifikasikan diri dengan negeri dimana mereka tinggal seraya tetap sadar sebagai orang Tionghoa. Lainnya ada yang sudah melupakan bagaimana makna menjadi orang Tionghoa dan berusaha menemukan kembali KeTionghoaan mereka. Bahkan ada yang benar – benar tidak menganggap lagi sebagai orang Tionghoa. Hal ini membuat kita kesulitan untuk mendefinisikan konsep identitas yang akan digunakan. Namun dari sini jelas menunjukkan bahwa konsep identitas merupakan konsep yang labil dan memerlukan kualifikasi yang runtut.

Tionghoa Muslim Yogyakarta

Mempertimbangkan berbagai kajian tentang identitas orang Tionghoa Muslim yang melahirkan sejumlah identitas berdasarkan penekanan masing-masing, menunjukkan bahwa gagasan mengenai identitas mengalami perubahan dan dari waktu ke waktu, gagasan–gagasan baru muncul seiring dengan berubahnya situasi di tingkat nasional dan di tempat mereka tinggal serta perubahan orang–orang Tionghoa sendiri. Mengenai fenomena orang Tionghoa Muslim di Indonesia dengan model kasus di Yogyakarta tentunya banyak mengandung variabel dan unsur yang saling berkelindan. Secara tradisi orang Tionghoa Muslim saat itu masih memegang atau setidaknya menyelipkan identitas keTionghoaannya dalam kehidupan sehari-hari, baik itu mengenai bahasa dan aksaranya, hubungan–hubungan keluarga terutama melalui pelaksanaan norma–norma tentang kelahiran, perkawinan dan kematian.

Sebagaimana nasib orang Tionghoa lainnya, identitas etnis mereka terdesak hingga paling buncit. Sehingga lembaga keluarga menjadi basis pertahanan yang paling akhir. Penekanan identitas orang Tionghoa Muslim periode ini lebih pada identitas agama (nasional lokal), politik (nasional lokal) baru kemudian etnisnya. Lewat program asimilasi yang dicanangkan Orde Baru, garis tradisi keIslaman orang Tionghoa diarahkan pada tradisi keIslaman lokal sesuai dengan tempat tinggal mereka. Misalnya yang tinggal di Jawa maka menyerap Islam Jawa ala Nahdatul Ulama atau Muhammadiyah dan seterusnya (Maulana, 2010, p. 8).

Melihat praktik yang dilakukan oleh PITI DIY, penulis memandang bahwa apa yang dilakukan selama ini menunjukan peran mereka sebagai jembatan budaya atau cultural broker;

(15)

(1) Antara kelompok Muslim Tionghoa dengan keluarga etnis Tionghoa dan (2) Antara kelompok Muslim Tionghoa dengan masyarakat sekitar. The term “culture broker” or “cultural

broker” is not particularly defined in the literature but is defined through common usage as a person who facilitates the border crossing of another person or group of people from one culture to another culture. (Jezewski, M.A., & Sotnik, 2001) mendefinisikan menjadi pialang budaya

budaya adalah dengan melakukan aktivitas seperti “menjembatani, menghubungkan, atau memediasi antara grup atau orang yang memiliki latar belakang kebudayaan berbeda dengan tujuan untuk mereduksi konflik dan memproduksi perubahan”. Biasanya pialang budaya berasal dari salah satu kelompok budaya, namun tidak menutup kemungkinan berasal dari kelompok ketiga. Biasaya pialang budaya bisa secara fleksibel berada di dua kebudayaan yang bertolak belakang. Perannya tidak sebatas menjadi penerjemah, namun memahami atribut dan situasi silang budaya di mana bahasa menjadi salah satu penentu utama.

Dalam hal ini kita dapat melihat peranan Budi Satyagraha saat menjadi ketua PITI DIY, ia banyak membuka komunikasi dengan masyarakat etnis Tionghoa secara umum. Seperti misalnya dengan melibatkan masyarakat umum dalam pengajian rutin, acara-acara bakti sosial, dan ia sendiri juga merupakan penasihat sekaligus pendiri Paguyuban Sosial Bakti Putera (salah satu organisasi etnis Tionghoa berbasis kesukuan di Yogyakarta). PITI DIY juga berperan dalam merekonsiliasi hubungan antara pasangan suami istri Siauw Beng (warga peranakan) & Wahyu Saputro (warga Yogyakarta) yang dikucilkan oleh keluarga Tionghoanya. Dengan proses mediasi, PITI DIY menjembatani hubungan keluarga yang terpisah karena ketidaksetujuan keluarga perempuan karena anaknya menikah dengan lelaki non Tionghoa. Keberadaan PITI juga jelas telah menjadi benteng pertahanan utama bagi

muallaf Tionghoa yang baru saja masuk Islam dan mengalami pengucilan dari keluarganya. Gentemann and Whitehead (1983) use the term cultural broker as a link between the mainstream and other cultures or subcultures. “The broker must be able to straddle both cultures, to take mainstream values and communicate them to the ethnic cultures, and communicate the ethnic culture to the mainstream.” They suggest that a cultural broker is more than just an interpreter, although knowledge of language is one of the cultural symbols they must possess. Gentemann and Whitehead saw that the culture broker was important as a role model for those in the ethnic community who aspire to participate in mainstream activities.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan yang telah dituliskan mengenai partispasi PITI DIY dalam kehidupan bermasyarakat, secara nyata mereka telah berperan sebagai jembatan budaya dan memberikan corak baru terhadap identitas kota Yogyakarta. Pengajian Imlek yang berangkat dari tradisi Tionghoa mendorong umat Muslim terlibat di dalamnya, sehingga terjadi dialog

(16)

dan sikap terbuka dalam inovasi dakwah. Dalam konsep budaya, akhirnya komunitas Muslim Tionghoa berfungsi cultural broker (jembatan budaya) antara etnis Tionghoa dan masyarakat Yogyakarta yang mayoritas Muslim. Jika Imlek berasal dari buday Tionghoa, kiranya perlu juga mengadopsi budaya Islam dalam berbagai aktivitas sosial dan dakwah Muslim Tionghoa, seperti perayaan Maulid atau tahun baru Islam. Bentuk aktivitasnya bisa bermacam-macam, tetapi semangat membangun “penyerbukan silang antar budaya”, bahwa mengadopsi budaya baru dalam konsep pembangunan dan upaya pemberdayaan masyarakat akan sangat efektif memajukan Bangsa Indonesia. Dengan menggunakan komponen budaya dalam membangun komunikasi dan interaksi antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Yogyakarta diharapkan akan terjalin saling pengertian dan muncul kerjasama yang baik.

Referensi

BPS Pusat. (2000). Penduduk DIY: Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000. Jakarta: BPS Pusat. BPS Yogyakarta. (2003). Penduduk Provinsi DIY: Hasil Registrasi Penduduk Pertengahan

Tahun 2003. Yogyakarta: BPS DIY.

Carey, Peter. (2008). Orang Cina, Bandar Tol, Candu & Perang Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu

Darmasugito. (1956). 200 tahun kota Yogyakarta ( 7-10-1756 – 7-10-1956). Yogyakarta: Panitya Peringatan Kota Yogyakarta 200 tahun Sub Panitya Penerbitan.

Duverger, Maurice. (1985). Sosiologi Politik. Penerjemah: Daniel Dhakidae, Jakarta: CV. Rajawali.

Hamim, M. (2008). “Relasi Bisnis Komunitas MuslimTionghoa dengan Tionghoa Non Muslim

di Kota Yogyakarta: Studi Perspektif Jaringan Sistem Bisnis Tionghoa.” UIN Sunan

Kaljaga., Yogyakarta.

Hardjono, R. (1970). Komuniti Tionghoa Yogyakarta: Sejarah Minoritas Lokal dengan Focus

Sosiologis. IKIP Sanata Dharma Yogyakarta.

Jahja, H. J. (Peny). (1999). Masalah Tionghoa Di Indonesia: Asimilasi vs Integrasi. Jakarta: LPMP.

Jezewski, M.A., & Sotnik, P. (2001). The rehabilitation service provider as culture broker:

Providing culturallycompetent services to foreign born persons. Buffalo, NY: Center for

International Rehabilitation Research Information and Exchange. Maulana, R. (2010). Pergulatan Identitas MuslimTionghoa.

Perdana, F. R. (2008). Integrasi Sosial MuslimTionghoa: Studi Atas Partisipasi PITI Korwil

Yogyakarta dalam Proses Pembauran. Yogyakarta: Mystico-PITI Korwil Yogyakarta.

Sunano. (2017). MuslimTionghoa di Yogyakarta. Yogyakarta.

Surjomihardjo, A. (2000). Sejarah Perkembangan Kota Yogyakarta 1889 – 1930. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

(17)

Werdoyo, T.S. (1990). Tan Jin Sing: dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

(18)

Referensi

Dokumen terkait

United Komunikasi Mandiri dalam mengadakan suatu event, bagaimana proses mengimplementasikan strategi public relations yang telah ditetapkan agar publik mengetahui dan

1. Biaya pendirian/pengadaan unit pengolahan limbah, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit saat membangun unit pengolahan limbah. Biaya ini meliputi biaya

Dalam pembuatan Tugas Akhir ini penulis membutuhkan teori-teori yang dapat mendukung kemudahan dalam mempelajari maupun merangcang sistem aplikasi yang diharapkan

Penambahan nutrien defisien (P, Cu dan metionina) pada taraf pemberian daun rami yang sama dengan perlakuan T2 meningkatkan konsumsi nutrien dan efisiensi penggunaannya

Bahan acuan yang dipergunakan dapat dalam bentuk : kayu, papan terentang, untuk steger menggunakan dolken, kaso atau scaffoldingLain-lain bahan yang

Kajian ini sangat perlu dijalankan kerana melalui kajian yang dijalankan oleh pengkaji mendapati pelajar-pelajar sangat memerlukan satu modul asas bahasa Arab untuk digunakan

1. Tercapainya hasil penyelenggaraan Program Studi di bidang Pendidikan Dokter berupa lulusan yang beriman, bertaqwa, berakhlak terpuji, berwawasan biomedik dan