• Tidak ada hasil yang ditemukan

SURAT RAHASIA. Guy de Maupassant

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SURAT RAHASIA. Guy de Maupassant"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

SURAT RAHASIA

Guy de Maupassant

(3)

Surat Rahasia

Diterjemahkan dari Dead Woman's Secret karangan Guy de Maupassant

terbit tahun 1882

(Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah : Ilunga d’Uzak Penyunting : Kalima Insani Penyelaras akhir : Bared Lukaku Penata sampul : Bait El Fatih Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh:

RELIFT MEDIA

Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351

SMS : 0853 1179 4533 Surel : relift.media@gmail.com Situs : reliftmedia.com

Pertama kali dipublikasikan pada: Oktober 2016 Revisi terakhir:

-Copyright © 2016 CV. RELIFT

Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

(4)

Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.

Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa

depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.

(5)

ANITA ini telah mati tanpa rasa sakit, tenang-lengang, sebagaimana seharusnya wanita yang hidup tanpa cela. Kini dia istirahat di ranjang, berbaring tengadah, matanya terpejam, rautnya sentosa, rambut putih panjangnya tertata cermat seolah baru dirapikan sepuluh menit sebelum maut menjemput. Paras pucat wanita ini begitu damai, begitu tenteram, begitu pasrah hingga siapapun bisa merasakan betapa manis jiwa yang hidup di dalam raganya, betapa tenang eksistensi yang dilalui jiwanya, betapa ringan dan murni kematian ibu ini.

W

Berlutut di samping tempat tidur, anak lelakinya, seorang hakim berprinsip teguh, dan anak perempuannya, Marguerite, dikenal sebagai Suster Eulalie, sedang mencucurkan air mata seolah hati mereka akan patah. Sejak kecil dia mempersenjatai mereka dengan standar moral ketat, mengajari mereka agama tanpa kelembekan dan tugas tanpa kompromi. Sang putera telah menjadi hakim dan memegang hukum sebagai senjata untuk memukul kaum lemah tanpa belas kasih. Sang puteri, dipengaruhi oleh kebajikan yang merendamnya di keluarga keras ini, telah menjadi pengantin Gereja akibat kejijikannya terhadap kaum pria.

Mereka nyaris tidak kenal ayah mereka. Yang mereka tahu, dia telah menyengsarakan ibu mereka, tanpa diberitahu rincian lain.

Sang biarawati mencium liar tangan wanita ini, tangan gading seputih patung salib besar yang tergeletak di ranjang. Di sisi lain tubuh panjangnya, tangan lain masih memegang seprai dalam cengkeraman kematian; dan seprai itu mempertahankan kusut-kusut kecil sebagai kenangan gerak-gerik terakhir yang

(6)

mendahului diam abadi.

Beberapa ketukan ringan pada pintu membuat dua kepala yang terisak mendongak; pastor baru kembali dari makan malam. Dia merah dan terengah karena pencernaan yang tersela, padahal campuran pekat kopi dan brendi sudah dibuat demi memerangi jerih beberapa malam terakhir dan jenuh begadang yang akan dimulai.

Dia tampak sedih, dengan kesedihan pura-pura ala pendeta yang menganggap mati adalah penyambung hidup. Dia membuat isyarat salib dan mendekat dengan gestur profesionalnya: “Well, anak-anakku yang malang! Aku datang untuk membantu kalian melewati saat-saat sedih terakhir ini.” Tapi Suster Eulalie mendadak berdiri. “Terima kasih, romo, tapi aku dan saudaraku lebih suka bertiga saja dengannya. Ini kesempatan terakhir kami melihatnya, dan kami ingin bersama-sama, kami bertiga, sebagai-mana saat—saat—kami kecil dan yang malang ib—ibu—”

Duka dan tangis mencegatnya; dia tak sanggup melanjutkan. Begitu reda, si pastor membungkuk, memikirkan ranjangnya sendiri. “Terserah kalian, anak-anakku.” Dia berlutut, membuat isyarat salib, berdoa, berdiri, dan pergi tenang sambil bergumam: “Dia seorang santa!”

Mereka tetap bertiga, mendiang dan anak-anaknya. Detikan jam, tersembunyi dalam bayang-bayang, bisa terdengar jelas, dan lewat jendela terbuka masuklah aroma manis jerami dan hutan, bersama cahaya lembut rembulan. Tak ada suara lain yang terdengar di tanah itu kecuali sesekali kuakan katak atau kerikan

(7)

serangga telat. Kedamaian ananta, kemurungan ilahi, ketenteraman senyap mengepung orang mati ini, seakan-akan dihirup darinya dan meredakan alam.

Kemudian sang hakim, masih berlutut, kepala terpendam dalam kain-kain ranjang, berteriak dengan suara yang diganti oleh pilu dan diredam oleh seprai dan selimut: “Mama, mama, mama!” Dan saudarinya, yang membentur-benturkan dahi ke kayu, kejang, berkedut dan bergetar seperti terserang ayan, merintih: “Yesus, Yesus, mama, Yesus!” Dan mereka berdua, tergoncang oleh badai dukacita, tersengal dan tersedak.

Krisis ini lambat-laun mereda dan mereka mulai terisak tenang, seperti di laut ketika ketenangan menyusul badai.

Waktu berlalu cukup lama, mereka bangkit dan memandangi jenazah. Dan kenangan, kenangan jauh itu, hari kemarin yang begitu berharga, hari ini yang begitu menyiksa, datang ke pikiran mereka dengan segala bengek kecil yang terlupakan, tetek-bengek kecil intim dan akrab yang menghidupkan kembali sosok tiada. Mereka saling mengenang suasana, kata, senyum, intonasi sang ibu yang tak lagi bicara pada mereka. Mereka melihatnya lagi, bahagia dan tenang. Mereka ingat hal-hal yang dikatakannya, serta gerakan kecil tangannya, seperti gerakan tempo, yang sering dipakai saat menekankan suatu hal penting.

Dan mereka mencintainya seolah belum pernah mencintainya. Mereka mengukur dalamnya kenestapaan, dan menemukan betapa sepinya mereka kelak.

Penyangga mereka, pemandu mereka, masa muda mereka,

(8)

semua bagian terbaik hidup mereka lenyap. Ikatan mereka dengan kehidupan, ibu mereka, mama mereka, mata rantai penyambung dengan kakek-moyang mereka akan hilang mulai sekarang. Kini mereka menjadi makhluk terpencil kesepian; mereka tak bisa lagi menoleh ke belakang.

Sang biarawati berucap kepada saudaranya: “Kau ingat, mama selalu membaca surat-surat lamanya; semua ada di laci itu. Mari, sebagai gantinya, kita bacakan; mari lalui seluruh hidupnya sepanjang malam ini di sisinya! Ini seperti jalan menuju persimpangan, seperti berkenalan dengan ibunya, kakek-nenek kita, yang tak pernah kita kenal, yang surat-suratnya ada di sana, yang begitu sering ibu bicarakan, kau ingat?”

Dari laci mereka mengambil kira-kira sepuluh paket kecil kertas kuning, terikat cermat dan tersusun berdampingan. Mereka melempar relik-relik ini ke atas ranjang dan memilih salah satunya, yang terdapat tulisan “Ayah”. Mereka membuka dan membacanya.

Itu salah satu surat bergaya lawas yang sering dijumpai di laci-laci meja keluarga kuno, surat-surat yang beraroma abad lampau. Surat pertama berawal dengan: “Sayangku”, surat satu lagi: “Gadis kecilku yang ayu”, surat lain: “Anakku tersayang”, atau: “Sayangku (tawa)”. Dan tiba-tiba sang biarawati mulai membaca nyaring, membacakan kepada mendiang seluruh sejarahnya, semua kenangan hangatnya. Sang hakim, bertopang siku di tempat tidur, mendengarkan dengan mata terpaku pada ibunya. Tubuh kaku itu tampak bahagia.

Suster Eulalie berhenti, mendadak berkata:

(9)

“Ini semua harus ditaruh di dalam kubur bersamanya; mereka harus dipakai sebagai kafan dan ibu harus dikubur di dalamnya.” Dia mengambil satu paket lain, yang tidak memuat nama apapun. Dia mulai membaca dengan suara tegas: “Pujaanku, aku mencintaimu dengan liar. Sejak kemarin aku menderita siksaan kaum terkutuk, dihantui oleh kenangan kita. Kurasakan bibirmu di bibirku, matamu di mataku, dadamu di dadaku. Aku mencintaimu, aku mencintaimu! Kau telah membuatku gila. Lenganku terbentang, aku terengah, tergerak oleh hasrat liar untuk memelukmu lagi. Seluruh jiwa ragaku menjerit memanggilmu, menginginkanmu. Telah kusimpan di mulutku rasa kecupanmu—”

Hakim duduk tegak, biarawati berhenti membaca. Dia merenggut surat itu darinya dan mencari tandatangan. Nihil, cuma ada nama “Henry” di bawah kata-kata “Pria yang memujamu”. Nama ayah mereka adalah Rene. Berarti ini bukan darinya. Dia langsung mengobrak-abrik paket surat, mengambil satu dan membaca: “Aku tak sanggup lagi hidup tanpa belaianmu.” Berdiri tegak, sengit seperti saat duduk di bangku, dia menatap mayat tanpa bergeming. Biarawati, lurus bagai patung, dengan tangis gentar di sudut-sudut matanya, memperhatikan saudaranya, menanti. Lalu hakim menyeberangi ruangan pelan-pelan, pergi ke jendela dan berdiri di situ, memandang malam gelap.

Ketika dia berbalik, Suster Eulalie sedang berdiri dekat ranjang, kepalanya bungkuk, matanya sudah kering.

Sang hakim melangkah maju, memunguti surat dengan cepat dan melemparkannya morat-marit ke dalam laci. Lantas dia

(10)

menutup tirai tempat tidur.

Tatkala fajar mengalahkan lilin di atas meja, dengan gontai dia tinggalkan kursi lengan. Tanpa menoleh lagi pada sang ibu yang sudah dijatuhi vonis, memenggal ikatan yang menyatukannya dengan anak lelaki dan perempuan, dia berucap pelan: “Ayo kita tidur, adik.”

(11)

Referensi

Dokumen terkait

(2004), yaitu (1) pada umumnya hidup dan tinggal di kota besar di mana hal ini tentu saja berkaitan dengan kesempatan akses informasi, pergaulan dan gaya hidup yang dijalani

SIFAT UDARA PADA TEKANAN ATMOSFER.. Universitas

belajar siswa pada mata pelajaran Akuntansi antara kelas eksperimen yang. diberikan perlakuan menggunakan model pembelajaran Participant

$100.0 million of this deficit was financed through the ESI, $4.4 million was financed through loans, and $113.8 million was used from the

Quarterly Fiscal Bulletin April – June 2016 Page 3 Taxes in the second quarter of 2016 totalled $70.4 million, mostly due to income taxes recorded under taxes on income, profits

Proyeksi Laporan keuangan dalam sebuah perushaan harus dilaksanakan karena dengan adanya proyeksi ini maka memberikan kemudahan dan memberikan informasi atas proyeksi

Kaitan hal tersebut ketentuan Retribusi Izin Tempat Usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Nomor 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan

Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan bagi setiap instansi pemerintah dalam menghitung kebutuhan pegawai berdasarkan beban kerja dalam rangkapenyusunan formasi PNS. Dalam