5.1 Potensi Karst Gunung Cibodas 5.1.1 Potensi unsur biologi
a. Tumbuhan
Menurut Whitten et al. (1996) diacu dalam Sartika (2007), sekitar tahun 1940-an Gunung Cibodas belum terjamah oleh kegiatan manusia. Dalam ekosistem ini masih banyak jenis pohon yang ditemukan seperti keruing (Dipterocarpus hasseltii), burahol (Stelechocarpus burahol), dan eboni (Diospyros sp.). Tidak ada jenis yang dominan dari tiga jenis tumbuhan tersebut. Menurut Soemarno et al. (2006), pada saat ini ekosistem Karst Gunung Cibodas didominasi oleh kelompok vegetasi berupa semak dan jenis pionir seperti makaranga (Macaranga tanarius) dan ayam-ayaman (Penissetum purpureum). Kondisi ini diduga karena terjadinya pembukaan lahan yang difungsikan sebagai areal perkebunan karet dan kemudian berubah menjadi tambang batu gamping yang dimulai sekitar tahun 1950-an.
Data keanekaragaman jenis tumbuhan di Gunung Cibodas diperoleh dari studi literatur. Hasil survey tumbuhan yang dilakukan oleh Soemarno et al. (2006) di Gunung Cibodas mencatat sebanyak 254 jenis tumbuhan dari 207 genus dan 84 famili. Hasil ini diperoleh dengan menganalisis tumbuhan berdasarkan petak cuplikan yang ditempatkan pada daerah punggung bukit yang bersolum tanah cukup tebal, daerah lereng bukit yang bersolum tanah tipis sampai cukup tebal, daerah lereng yang bersolum tanah tebal, daerah puncak bukit karang, dan daerah bekas galian batu gamping. Jenis pohon utama yang ditemukan sebanyak 17 jenis dari 64 jenis dengan penyebaran yang hampir merata di seluruh wilayah. Beberapa jenis pohon utama yang ditemukan adalah Bridelia tomentosa,
Buchanania arborescens, Cecropia umbellata, dan Macaranga tanarius.
Tumbuhan bawah (herba, paku, liana, perdu, palem, semak, pandan) yang mendominasi ditemukan 18 jenis dari 190 jenis, beberapa jenis yang tersebar cukup luas diantaranya Nephrolepis exaltata, Selaginella plana, dan Cyrtococcum
patens. Beberapa jenis anakan pohon yang mengawali proses pemulihan di area
Macaranga tanarius, Macarangan calabura, Bridelia glauca, dan Piper aduncum, sedangkan jenis tumbuhan bawah terdiri dari Phragmites karka, Pennisetum purpureum, dan Mikania cordata. Suku utama untuk tingkat pohon
terdiri dari anacardiaceae, euphorbiaceae, moraceae, dan urtaceae yang tersebar hampir di semua daerah, serta tiliaceae hanya dijumpai pada area bekas galian batu gamping. Suku utama tumbuhan bawah diantaranya anacardiaceae, asteraceae, euphorbiaceae, poaceae, polypodiaceae, dan verbenaceae.
Gambar 3 Makarang (Macaranga tanarius), salah satu jenis pohon yang mendominsi ekosistem Karst Gunung Cibodas.
Tumbuhan yang terdapat di Gunung Cibodas memiliki nilai ekonomi berupa nilai guna dan nilai bukan guna. Tumbuhan memiliki fungsi ekologis berupa penghasil oksigen dan pengatur tata air, selain itu dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan bakar rumah tangga, pakan ternak, dan sayuran. Sartika (2007) menemukan 34 jenis tumbuhan di Gunung Cibodas yang berpotensi sebagai tumbuhan obat yang memiliki khasiat untuk mengatasi penyakit gula, obat batuk, antidiare, obat sakit perut, obat demam dan lainnya. Beberapa jenis tumbuhan yang ditemukan di Gunung Cibodas tercantum dalam lampiran 5.
Pemanfaatan tumbuhan yang rutin dilakukan masyarakat di sekitar Gunung Cibodas adalah pengambilan kayu untuk bahan bakar yang dilakukan hampir setiap hari. Pengambilan kayu bakar yang dilakukan masyarakat dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi rumah tangga dan kebiasaan memasak yang menggunakan kayu bakar. Masyarakat Kampung Bubulak masih memiliki kekhawatiran terjadi ledakan jika menggunakan gas elpiji. Pengambilan kayu bakar biasanya dilakukan oleh ibu-ibu yang datang hampir setiap pagi ke Gunung
Cibodas (Gambar 4). Hasil yang diperoleh adalah satu ikat besar atau satu pikulan dengan berat mencapai 15 kg. Kegiatan pengambilan kayu bakar biasanya dimulai pada pagi hari dan berakhir sekitar jam delapan sampai dengan jam sepuluh. Pemanfaatan kayu bakar yang dilakukan adalah pengambilan ranting-ranting kering, namun saat ini para pengambil kayu bakar juga menebang tumbuhan yang berdiameter 3cm sampai dengan 15cm. Jenis tumbuhan yang sering diambil adalah kihandra (Calliandra calothyrsus) dan totoropongan (Cecropia umbellata). Jenis ini diambil dengan menyisakan tunggak sekitar 30cm di atas permukaan tanah. Menurut Soemarno et al. (2006) pengambilan kayu Calliandra calothyrsus di Gunung Cibodas yang menyisakan tunggak memacu pertumbuhan trubus dalam jumlah yang lebih banyak dari jumlah individu semula sehingga dimungkinkan memiliki kepadatan tinggi. Masyarakat Kampung Bubulak meyakini kayu yang diambil tidak akan pernah habis karena tunggak yang ditebang akan kembali bertunas dan tumbuh serta bisa dimanfaatkan kembali untuk kayu bakar. Kihandra (Calliandra calothyrsus) dan totoropongan (Cecropia
umbellata) banyak ditemukan di sisi selatan Gunung Cibodas bagian barat di
daerah lereng bukit yang bersolum tanah tebal (Soemarno et al. 2006). Lokasi ini menjadi tempat pengambilan kayu bakar bagi masyarakat Kampung Bubulak yang berada di sebelah selatan Gunung Cibodas .
b. Satwa 1. Burung
Pengamatan burung yang dilakukan mencatat 37 jenis burung dari 21 famili. Jumlah tersebut terdiri dari 30 jenis teridentifikasi pada daftar jenis burung dan 7 jenis melalui perjumpaan seketika (opportunistic encountering) pada saat melakukan pengamatan mamalia dan herpetofauna. Pengamatan dilakukan di dua jalur yaitu jalur utara dan selatan Gunung Cibodas. Pengamatan di selatan dimulai dari ujung barat sampai timur, sedangkan pengamatan di utara hanya dilakukan di ujung barat dan ujung timur saja. Hal ini dilakukan karena pada bagian utara Gunung Cibodas terdapat kegiatan penambangan batu gamping yang beresiko tinggi terhadap pengamatan. Jenis burung yang ditemukan di kawasan Gunung Cibodas dan sekitarnya disajikan pada tabel berikut (Tabel 2).
Tabel 2 Daftar jenis burung yang ditemukan di Gunung Cibodas dan sekitarnya
No. Nama Lokal Nama Latin Famili
1 Kowak-malam kelabu Nycticorax nycticorax Ardeidae 2 Elang hitam Ictinaetus malayensis Accipitridae 3 Gemak loreng Turnix suscitator Turnicidae 4 Ayam-hutan hijau Gallus varius Phasianidae 5 Kareo padi Amaurornis phoenicurus Rallidae
6 Uncal Macropygia sp. Columbidae
7 Tekukur biasa Streptopelia chinensis Columbidae 8 Wiwik kelabu Cacomantis merulinus Cuculidae 9 Kedasi hitam Surniculus lugubris Cuculidae 10 Bubut alang-alang Centropus bengalensis Cuculidae
11 Serak jawa Tyto alba Tytonidae
12 Celepuk reban Otus lempiji Strigidae 13 Walet sarang-putih Aerodramus fuciphagus Apodidae 14 Walet linchi Collocalia linchi Apodidae 15 Kapinis rumah Appus affinis Apodidae 16 Raja-udang meninting Alcedo meninting Alcedinidae 17 Cekakak jawa Halcyon cyanoventris Alcedinidae 18 Cekakak sungai Todirhamphus chloris Alcedinidae 19 Layang-layang loreng Hirundo striolata Hirundinidae 20 Cipoh kacat Aegithina tiphia Chloropseidae 21 Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster Pycnonotidae 22 Merbah cerukcuk Pycnonotus goiavier Pycnonotidae 23 Gelatik-batu kelabu Parus major Paridae 24 Pelanduk topi-hitam Pellorneum capistratum Timaliidae 25 Pelanduk semak Malacocincla sepiarium Timaliidae
No. Nama Lokal Nama Latin Famili 26 Rametuk laut Gerygone sulphurea Silviidae 27 Cinenen pisang Orthotomus sutorius Silviidae 28 Cinenen jawa Orthotomus sepium Silviidae 29 Perenjak padi Prinia inornata Silviidae 30 Perenjak jawa Prinia familiaris Silviidae 31 Bentet kelabu Lanius schach Laniidae 32 Burung-madu sriganti Cyniris jugularis Nectariniidae 33 Cabai jawa Dicaeum trochileum Dicaeidae 34 Kacamata biasa Zosterops palpebrosus Zosteropidae 35 Bondol jawa Lonchura leucogastroides Ploceidae 36 Bondol peking Lonchura punctulata Ploceidae 37 Burung-gereja erasia Passer montanus Ploceidae
Jumlah daftar jenis MacKinnon yang digunakan sebanyak 24 daftar dengan masing-masing terdiri dari 10 daftar jenis burung. Famili silviidae merupakan kelompok terbanyak yang terdiri dari 5 jenis burung, kemudian famili cuculidae, apodidae, alcedinidae, dan plocidae yang masing-masing terdiri dari 3 jenis burung. Jenis burung yang paling sering teramati dan ditemukan di seluruh area pengamatan adalah merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier). Merbah cerukcuk (Gambar 5a) teramati di semua jalur mulai dari kaki sampai dengan puncak Gunung Cibodas. Jenis yang diamati secara sepintas memiliki kelimpahan tinggi adalah bondol peking (Lonchura punctulata), bondol jawa (Lonchura
lecogastroides), dan merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier). Beberapa jenis lain
diduga hanya menempati habitat tertentu. Padang alang-alang biasanya ditempati oleh bubut alang-alang (Centropus bengalensis), bondol peking (Lonchura
punctulata), dan bondol jawa (Lonchura lecogastroides). Cekakak sungai
(Todirhampus chloris) teramati di area Gunung Cibodas yang berdekatan dengan Sungai Ciaruteun. Jenis yang ditemukan pada semak-semak adalah gemak loreng (Turnix suscitator), pelanduk topi-hitam (Pellorneum capistratum), pelanduk semak (Malacocincla sepiarium), cinenen pisang (Orthotomus sutorius), dan cinenen jawa (Orthotomus sepium). Jenis burung famili apodidae yang bersarang di dalam goa adalah walet sarang-putih (Aerodramus fuciphagus) dan walet linchi (Collocalia linchi), sedangkan kapinis rumah (Apus affinis) diduga bersarang di celah-celah tebing batu gamping.
0 5 10 15 20 25 30 35 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Jumlah Daftar Jenis Burung
Ju m la h Je n is B u ru n g (a) (b)
Foto oleh: Nanang Khaerulhadi
Gambar 5 Beberapa jenis burung yang ditemukan di Gunung Cibodas (a) Merbah Cerukcuk; (b) Perenjak Jawa.
Hasil survey keragaman jenis burung menunjukan peningkatan jumlah jenis burung dari beberapa kali pengamatan dengan pengulangan dan tempat yang berbeda. Pertambahan jumlah jenis burung bisa dilihat pada grafik berikut (Gambar 6).
Gambar 6 Grafik pertambahan jenis burung.
Grafik pertambahan jenis mulai naik dan cenderung tetap sampai dengan daftar jenis ke-7 dengan jumlah 15 jenis burung, namun grafik cenderung naik dari daftar jenis ke-8 sampai dengan daftar ke-15 dengan jumlah 12 jenis sehingga pada daftar ke-15 tercatat sebanyak 27 jenis burung. Hal ini terjadi karena pada daftar ke-8 sampai ke-15 pengamatan dilakukan di jalur yang berbeda. Daftar jenis ke-16 sampai dengan daftar jenis ke-24 merupakan pengulangan pengamatan di kedua jalur tersebut dan menghasilkan pertambahan sebanyak tiga jenis yaitu 2
jenis pada daftar ke-19 dan satu jenis pada daftar ke-21. Pada daftar ke-21 sampai dengan daftar ke-24 tidak ditemukan pertambahan jenis. Hal ini diduga karena jenis burung lainnya berada pada area yang tidak teramati, sehingga peluang untuk menemukan jenis burung lain masih sangat besar terutama di daerah yang tidak terjangkau pada saat penelitian dilaksanakan. Jenis burung lain yang ditemukan adalah dua jenis burung nocturnal yaitu celepuk reban (Otus lempiji) dan serak jawa (Tyto alba) serta lima jenis lain yaitu elang hitam (Ictinaetus
malayensis), kowak-malam kelabu (Nycticorax nycticorax), ayam-hutan hijau
(Gallus varius), raja-udang meninting (Alcedo meninting), dan kareo padi (Amaurornis phoenicurus). Beberapa jenis tersebut ditemukan saat mengamati herpetofauna.
2. Mamalia
Pengamatan mamalia dilakukan dengan metode observasi secara langsung. Pengamatan dilakukan di empat jalur yang berbeda. Jalur tersebut dipilih berdasarkan kemudahan untuk menjangkau dan hasil survey sebelumnya ditemukan mamalia. Jalur pengamatan ditentukan berdasarkan hasil survey yang diduga merupakan jalur lintasan atau areal jelajah dimana terdapat tanda-tanda keberadaan mamalia. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, jenis mamalia yang ditemukan adalah 5 jenis. Pengamaatan yang dilakukan mengalami keterbatasan peralatan dan kendala berupa topografi Gunung Cibodas yang relatif sulit dijangkau, sehingga masih memungkinkan untuk menemukan jenis mamalia lainnya. Jenis mamalia yang ditemukan disajikan pada tabel berikut (Tabel 3).
Tabel 3 Jenis mamalia yang teramati di Gunung Cibodas
No. Nama Jenis Nama Latin Famili
1 Garangan Herpestes javanicus Herpestidae 2 Musang Paradoxurus hermaphrodites Viverridae 3 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis Cercopithecidae 4 Kelelawar Cynopterus sp. Pteropodidae
5 Bajing Callosciurus sp. Sciuridae
Jenis mamalia yang paling sering di jumpai adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang tercatat di semua jalur pengamatan. Musang (Paradoxurus hermaphroditus) ditemukan secara langsung di atas pohon dibagian tengah Gunung Cibodas. Musang juga teramati secara tidak langsung dari kotoran
pada jalan setapak di bagian barat Gunung Cibodas. Garangan (Herpestes
javanicus) ditemukan secara langsung di bagian timur dan barat Gunung Cibodas.
Garangan terlihat berjalan melewati jalan setapak masuk ke semak-semak. Jenis mamalia yang diduga memiliki kelimpahan tinggi adalah kelelawar. Kelelawar yang teridentifikasi adalah kelelawar pemakan buah (Cynopterus sp.), dan diduga terdapat lebih dari satu jenis kelelawar di Gunung Cibodas. Spesimen yang diperoleh hanya mampu diidentifikasi sampai dengan genus. Jenis mamalia lain yang ditemukan adalah bajing (Callosciurus sp.). Bajing ditemukan di sisi selatan gunung bagian barat saat berjalan melewati dahan pohon. Bajing dikenali melalui bentuk ekor yang terlihat menyerupai sikat.
(a) (b)
Gambar 7 Mamalia yang ditemukan di Gunung Cibodas (a) Kelelawar; (b) Monyet ekor panjang.
3. Herpetofauna
Pengamatan herpetofauna dilakukan di empat lokasi yang dipilih berdasarkan kemungkinan ditemukan satwa tersebut. Lokasi pengamatan berupa celah bebatuan dan kolam kecil dari bebatuan yang menampung air hujan, mata air dan aliran sungai kecil yang tenang, lahan basah, serta lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Celah-celah bebatuan yang diamati berada di area tebing yang dimanfaatkan untuk kegiatan panjat tebing. Kolam-kolam kecil yang diamati adalah kubangan yang terbentuk akibat penggalian tanah di area penambangan batu gamping. Air pada kolam tersebut akan bertambah jika hujan turun. Mata air Cipanas merupakan sumber air yang mengalir menuju Sungai Cikarang dan berujung pada muara Sungai Cisadane. Areal pertanian terdapat di lereng Gunung Cibodas, sedangkan lahan basah adalah lokasi yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk menggembala dan berkubang hewan ternak.
Jenis herpetofauna yang ditemukan di Gunung Cibodas dan sekitarnya adalah 20 jenis dari 12 famili. Total waktu pengamatan sekitar 19 jam yang dilakukan pada waktu malam, pagi, dan siang hari. Adapun jenis-jenis herpetofauna yang ditemukan disajikan pada tabel berikut (Tabel 4).
Tabel 4 Daftar jenis herpetofauna yang ditemukan di Gunung Cibodas dan sekitarnya
No. Nama Indonesia Nama Jenis Famili 1 Bangkong sungai Bufo asper Bufonidae 2 Bangkong kolong Bufo melanostictus Bufonidae 3 Bangkong hutan Bufo biporcatus Bufonidae 4 Percil jawa Microhyla achatina Microhylidae 5 Kongkang kolam Rana chalconota Ranidae 6 Kongkang jangkrik Rana nicobariensis Ranidae 7 Katak sawah Fejervarya cancrivora Ranidae 8 Katak tegalan Fejervarya limnocharis Ranidae 9 Bancet rawa sumatera Occidozyga sumatrana Dicroglosidae 10 Katak pohon bergaris Polypedates leucomystax Rhacophoridae 11 Cecak batu Cyrtodactylus cf. fumosus Gekkonidae 12 Cecak kayu Hemidactylus frenatus Gekkonidae 13 Tokek rumah Gekko gecko Gekkonidae 14 Kadal kebun Mabuya multifasciata Scincidae 15 Cicak terbang Draco vollans Agamidae 16 Bunglon Bronchocela jubata Agamidae 17 Ular hijau ekor merah Trimeresurus albolabris Viperidae 18 Ular tanah Calloselasma rhodostoma Viperidae 19 Ular pucuk Ahaetulla prasina Colubridae 20 Ular lidah api Dendrelaphis pictus Colubridae
Jenis herpetofauna yang sering dijumpai adalah katak tegalan (Fejervarya
limnocharis) dan hampir dijumpai diseluruh lokasi pengamatan. Katak ini
dijumpai pada areal yang berair, tegalan, jalan setapak dan lahan terbuka. Katak sawah (Fejervarya cancrivora) hanya ditemukan di areal yang berair. Bancet rawa sumatera (Occidozyga sumatrana) hanya ditemukan di genangan air, sedangkan kongkang kolam (Rana chalconota) dan katak pohon bergaris (Polypedates
leucomystax) ditemukan disekitar aliran sungai dan genangan air hujan yang
tertampung pada cekukan batu. Kongkang kolam dijumpai di sekitar genangan air dan ada pula yang di dasar genangan air. Katak pohon bergaris menempel pada
bebatuan di atas genangan, bertengger di ranting tumbuhan rimbun di sekitar kolam air, dan dijumpai pula di daratan dekat sumber air. Dua spesies lainnya yaitu kongkang jangkrik (Rana nicobariensis) dan percil jawa (Microhyla
achatina ) ditemukan diantara rerumputan. Kongkang jangkrik berada di daratan
yang tersembunyi di sekitar genangan air, sedangkan percil jawa tersembunyi diantara rerumputan dan serasah di tepi kolam dan aliran air.
Kelompok Bufonidae yang ditemukan adalah bangkong sungai (Bufo
asper), bangkong kolong (Bufo melanostictus), dan bangkong hutan (Bufo biporcatus). Tiga jenis ini lebih sering dijumpai di daerah kering atau di sekitar
genangan air yang relatif dangkal. Bangkong sungai hanya ditemukan satu individu di sekitar genangan air pada lahan pertanian. Bangkong kolong ditemukan di tegalan yang kering dan sekitar area pertanian masyarakat, sedangkan bangkong hutan ditemukan di areal yang becek di sekitar lahan pertanian.
(a) (b)
Gambar 8 Beberapa jenis katak yang ditemukan di Gunung Cibodas (a) Rana
chalconota (b) Fejervarya limnocharis.
Jumlah reptil yang ditemui selama pengamatan adalah sebanyak 10 jenis. Famili geckonidae yang ditemukan adalah cicak kayu (Hemidactylus frenatus), cicak batu (Cyrtodactylus cf. fumosus), dan tokek rumah (Gekko gecko). Cicak kayu teramati berjalan pada batang tumbuhan dan sering terdengar suaranya. Suara lain yang sering terdengar adalah suara tokek rumah yang terdengar dari punggungan Gunung Cibodas. Berdasarkan informasi yang diperoleh, tokek rumah bersarang dicelah batu pada dinding goa dan tebing karst, sementara cicak batu ditemukan menempel pada dinding bebatuan.
Herpetofauna lain yang teramati adalah bunglon (Bronchocela jubata), kadal kebun (Mabuya multifasciata), dan cicak terbang (Draco vollans).Bunglon teramati ketika berburu serangga di ranting tumbuhan dan cicak terbang teramati sedang berjalan naik pada batang pohon. Kadal kebun ditemukan sebanyak 11 individu di dua lokasi berbeda. Lokasi ditemukannya kadal kebun adalah areal sekitar pertambangan dan di sekitar tebing di bagian barat Gunung Cibodas.
(a) (b)
Foto oleh: Wibowo A. Djatmiko
Gambar 9 Tokek rumah dan kelompok telur pada celah tebing batu gamping (a) Tokek (Gekko gecko); (b) Kelompok telur.
Kelompok reptil lain yang ditemukan adalah ular. Jumlah jenis ular yang ditemukan adalah sebanyak 4 jenis. Keempat jenis ular ditemukan di areal yang dipenuhi oleh semak belukar. Ular hijau (Trimeresurus albolabris)ditemukan dua kali di dua lokasi berbeda. Ular pertama teramati ketika sedang beristirahat pada ranting tumbuhan di sekitar mulut goa pada pagi hari. sedangkan individu lainnya teramati ketika sedang berburu katak diatas kolam kecil. Hal ini serupa dengan ular tanah (Calloselasma rhodostoma) yang ditemukan di semak-semak sekitar areal pertambangan batu gamping. Ular ini terlihat samar diantara dedaunan dan ranting tumbuhan kering. Ular lain yang ditemukan di sekitar areal penambangan adalah ular lidah api (Dendrelapis pictus) yang teramati pada cabang bambu, sementara ular pucuk (Ahaetulla prasina) teramati sedang bergerak dari ranting tumbuhan melewati jalan setapak. Ular pucuk ditemukan sebanyak dua kali pada waktu yang berbeda. Ular ini terkadang sulit dibedakan dengan ranting tumbuhan dan memiliki warna hijau yang tersamarkan ketika berada pada semak belukar yang lebat.
(a) (b) (c)
Gambar 10 Ular yang ditemukan di kawasan Gunung Cibodas (a) T. Albolabris; (b) D. Pictus; (c) C. Rhodostoma.
5.1.2 Potensi unsur fisik a. Goa
Goa adalah suatu ruang bawah tanah yang bisa dimasuki oleh manusia dan terbentuk secara alami (Internationale Union de Speleologie, IUS 1965 diacu dalam Haryono 2008). Goa dapat ditemukan mulai dari gunung sampai ke tepi laut. Saat ini pengelolaan goa di Gunung Cibodas sudah tidak dilakukan karena hasil panenan sarang burung walet mengalami penurunan. Penurunan jumlah panenan sarang burung walet di Gunung Cibodas terjadi akibat pola pemanenan yang tidak memperhitungkan siklus regenerasi burung tersebut. Habitat walet terganggu oleh kegiatan pengambilan batu gamping di lokasi yang berdekatan dengan goa-goa di Gunung Cibodas (Noerjito 2006). Hasil survey lapangan yang dilakukan menemukan 15 goa yang merupakan habitat dari kelelawar dan burung walet serta biota goa lainnya. Goa-goa yang ditemukan di Gunung Cibodas merupakan goa dengan lorong vertikal (Gambar 11). Kondisi ini dimungkinkan karena ekosistem karst Gunung Cibodas yang berupa bukit. Kedalaman goa yang ditelusuri berkisar antara 7 meter hingga 200 meter. Keberadaan goa-goa di Gunung Cibodas saat ini hanya diketahui oleh masyarakat setempat dan beberapa kelompok pecinta alam saja, oleh karena itu hanya sedikit pecinta alam yang memanfaatkan goa untuk kegiatan oleh raga minat khusus penelusuran goa (caving). Berdasarkan informasi yang diperoleh, pengambilan batu gamping yang menggunakan bahan peledak mengakibatkan para penelusur goa yang terdahulu memilih lokasi lain untuk melakukan penelusuran goa karena khawatir goa akan runtuh, sehingga para pecinta alam saat ini banyak yang tidak mengetahui
keberadaan goa-goa yang ada di Gunung Cibodas. Goa-goa yang ditemukan pada saat penelitian disajikan pada tabel berikut (Tabel 5).
Tabel 5 Daftar goa yang ditemukan di Gunung Cibodas
No. Nama goa Koordinat Keterangan
1 Sipeso* E 106
041’16,908”
S 06033”7,704”
Lorong vertikal 45m, penghasil sarang burung walet
2 Simangir E 106
041’15,144:
S 06033’8,820”
Goa vertikal yang dimanfaatkan kelelawarnya
3 Simusola* E 106
041’14,604”
S 06033’8,748”
Lorong miring 7m, tetesan air dipakai untuk bersuci
4 Sigajah E 106
041’14,316”
S 06033’8,352”
Goa penghasil kelelawar, memiliki ruangan (chamber) yang besar, dan angin keluar di mulut goa
5 Sihejo E 106
041’13,308”
S 06033’9,540”
Dinding lorong goa berwarna hijau, lorong vertikal
6 Sinawing* E 106
041’12,840”
S 06033’9,324”
Lorong vertikal 40m dengan ruangan (chamber) yang besar dan memiliki banyak pintu masuk
7 Sipanjang* E 106
041’12,156”
S 06033’10,044”
Mulut goa memanjang dan lorong horizontal 70m, penghasil sarang burung walet dan pupuk
8 Siwulung* E 106
041’6,972
S 06033’8,784”
Lorong vertikal terdalam hingga 200m, penghasil sarang burung walet.
9 Sigodawang* E 106
041’3,264”
S 06033’8,280”
Goa fosil (mati) yang dihuni oleh kelompok kelelawar
10 Sidempet* E 106
041’2,256”
S 06033’7,426”
Lorong vertikal berupa celah sempit sepanjang 31m, penghasil sarang burung walet
11 Sibeusi 1* E 106
041’1,860”
S 06033’7,992” Penghasil sarang burung walet
12 Sibeusi 2 E 106
041’0,708”
S 06033’7,992” Penghasil sarang burung walet
13 Siwandra* E 106
040’55,488”
S 06033’8,712”
Lorong vertikal lebih dari 100m, salah satu goa penghasil sarang burung walet terbesar
14 Sigadog E 106
040’58,620”
S 06033’8,676” Goa penghasil sarang walet terbesar
15 Sibetot
E 106040’25,704”
S 06033’2,134” Goa vertikal penghasil sarang burung walet
Beberapa goa yang telah ditelusuri adalah goa Sipeso, Simusola, Sinawing, Sipanjang, Siwulung, Sigodawang, Sidempet, Sibeusi 1, dan Siwandra. Goa ini merupakan goa yang memiliki lorong vertikal kecuali goa Sipanjang yang didominasi lorong horizontal. Goa-goa yang ditemukan berada pada lokasi di sekitar punggungan atau bagian tengah Gunung Cibodas sehingga goa-goa tersebut relatif sulit dijangkau karena harus mendaki terlebih dahulu.
(a) (b)
Foto oleh: Lawalata IPB
Gambar 11 Goa dengan lorong vertikal (a) Goa Sinawing; (b) Goa Sigodawang.
Kegiatan penelusuran goa yang dilakukan oleh para pecinta alam umumnya adalah kegiatan petualangan atau olah raga minat khusus, namun ada pula kegiatan ilmiah yang berhubungan dengan penelitian goa maupun lingkungan goa atau dikenal dengan kegiatan speleologi. Speleologi merupakan ilmu yang mempelajari lingkungan goa, baik yang mencakup aspek fisik maupun biologis (Moore 1928 diacu dalam Haryono 2008).
(a) (b)
Foto oleh: Lawalata IPB
Gambar 12 Kegiatan penelusuran goa (a) Penelusuran goa vertikal; (b) Menelusuri lorong sempit.
Pecinta alam yang sering berkunjung ke Gunung Cibodas untuk melakukan kegiatan penelusuran goa adalah Lawalata IPB. Penelusuran goa biasanya dilakukan pada akhir pekan ataupun pada hari libur kuliah. Kelompok pecinta alam lain yang berkunjung ke Gunung Cibodas dengan tujuan penelusuran goa adalah pecinta alam yang berasal dari Jakarta. Salah satu anggota Lawalata IPB menuturkan bahwa Gunung Cibodas memiliki potensi yang besar untuk pengembangan olah raga minat khusus ataupun wisata berupa penelusuran goa, panjat tebing, dan treking. Pada saat ini, keberadaan goa-goa di Gunung Cibodas terancam akibat adanya kegiatan pertambangan yang menggunakan bahan peledak.
b. Tebing
Gunung Cibodas memiliki tebing yang berpotensi untuk digunakan sebagai sarana olahraga panjat tebing. Tebing-tebing di Gunung Cibodas terdapat di sisi selatan dan sisi utara. Tebing yang terbentang di sisi utara adalah tebing yang terbentuk akibat kegiatan pengambilan batu gamping. Tebing di sisi selatan hanya ditemukan di ujung barat dan timur saja. Tebing yang sampai saat ini digunakan untuk kegiatan olahraga panjat tebing adalah tebing di sisi selatan bagian barat Gunung Cibodas. Berdasarkan penuturan salah seorang aktifis panjat tebing, Candra Kirana (26 tahun), pada tebing tersebut sudah dibuat jalur panjat sejak tahun 1970-an. Sampai saat ini pada tebing tersebut terdapat 12 jalur yang juga telah dipasang titik dimana bisa dipasang pengaman (bolt hanger) untuk kegiatan panjat tebing. Jalur tebing diberi nama sesuai dengan karakteristik tertentu oleh para pemanjat dari sejak tebing mulai digunakan. Nama jalur yang telah dibuat adalah Jalur Tangga, Jalur Tebing Putih, Jalur Kambing, Jalur Tiga Bor, Jalur West Bang, Jalur Intifada, Jalur Bicycle, Jalur Taliban, Jalur Tokek, Jalur Tiram, Jalur Stroberi, dan Jalur One Moment of Time. Jalur Tangga dan Jalur Tebing Putih biasanya digunakan oleh pemanjat yang masih pemula karena dua jalur ini relatif mudah untuk dilalui. Nama Jalur Tangga diberikan karena jalur tersebut mirip seperti tangga dan nama Jalur Tebing Putih berasal dari warna tebing yang berwarna putih. Jalur lain yang dianggap mudah adalah Jalur Tokek yang merupakan celah (rekahan) vertikal yang relatif mudah dilalui. Jalur ini diberi nama Jalur Tokek karena sering ditemukan tokek rumah (Gecko gekko)
yang bersarang pada celah-celah jalur tersebut. Jalur Kambing merupakan jalur yang biasa dipanjat dengan tujuan melatih ketahanan dan kekuatan pemanjat (endurance) setelah melakukan pemanasan di jalur tangga atau jalur putih. Pada saat sebuah jalur dibuat, seorang pemanjat berjanji akan menyembelih kambing untuk perayaan keberhasilannya. Peristiwa ini membuat jalur tersebut diberi nama Jalur Kambing. Jalur yang dianggap tersulit untuk dilalui adalah Jalur Intifada dan Jalur One Moment of Time.
Gambar 13 Kegiatan panjat tebing di Gunung Cibodas.
Para pemanjat tebing yang datang ke tebing Gunung Cibodas kebanyakan adalah pecinta alam yang berasal dari Jabodetabek. Mereka biasanya datang pada akhir pekan atau saat hari libur. Tebing Gunung Cibodas banyak dikunjungi karena lokasinya yang relatif dekat serta mudah dijangkau, selain itu di beberapa lokasi lain tidak ditemukan tebing alam seperti di Jakarta, Depok, Tangerang, maupun Bekasi. Tebing ini juga digunakan oleh TNI pada saat pendidikan dan latihan. Pemanjat tebing yang hampir setiap minggu datang adalah mereka yang berasal dari organisasi Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Kabupaten Bogor dan Kota Bogor. Dalam satu akhir pekan setidaknya ada satu kelompok yang datang untuk melakukan kegiatan panjat tebing. Areal pemanjatan akan semakin ramai pada hari libur kuliah atau ketika organisasi pecinta alam melakukan kegiatan pendidikan dan latihan penerimaan anggota baru untuk divisi panjat tebing (rock climbing).
c. Air
Karakteristik batu gamping adalah mudah larut oleh air karena memiliki celah-celah yang menjadi jalan masuk air. Pelarutan yang terus menerus
mengakibatkan batu gamping memiliki terowongan panjang yang bisa dilalui air sehingga membentuk aliran bawah tanah atau sungai bawah tanah. Sungai yang akhirnya menembus batu gamping dan keluar dari batuan karst membuatnya menjadi mata air karst (KLH 2009). Mata air karst dari Gunung Cibodas ditemukan di sisi utara bagian barat , tepatnya pada titik koordinat S 06033’05,2” dan E 106041’24,4”. Mata air tersebut dikenal oleh penduduk setempat dengan nama mata air Cipanas. Mata air Cipanas merupakan aliran sungai bawah tanah yang keluar dari celah-celah batu karst di sekitar areal penambangan batu gamping. Air yang keluar mengalir melewati parit kecil dan terhubung dengan Sungai Cikarang menuju Sungai Cisadane. Para penambang batu gamping sering menggunakan air untuk membersihkan badan dan peralatan yang digunakan untuk menggali batu gamping.
Menurut penuturan warga setempat, mata air ini tidak pernah kering sekalipun pada saat musim kemarau. Mata air Cipanas memiliki peranan yang penting bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat Kampung Mekarjaya yang tinggal berdekatan dengan mata air tersebut. Mata air ini dimanfaatkan untuk kegiatan mandi, mencuci, dan kebutuhan rumah tangga. Masyarakat tidak menggunakan air tersebut untuk minum karena air yang keluar mengandung zat kapur. Hasil kajian tim Lawalata IPB menunjukkan mata air Cipanas memiliki kandungan alkalinitas sebesar 500 mg/l dan kesadahan sebesar 200 mg/l. Kondisi air ini mengakibatkan mata air Cipanas tidak layak dikonsumsi.
Gambar 14 Pemanfaatan air oleh masyarakat.
Pada saat ini, masyarakat sudah membuat penampungan air Cipanas di sekitar areal pemukiman untuk memudahkan dalam memperoleh air. Air dialirkan
melalui pipa dan ditampung pada sebuah bak besar di Kampung Mekarjaya. Bak air berukuran 3x3 meter dan tinggi 1 meter. Bak memiliki tempat untuk mandi dan mencuci yang ditutupi oleh tembok setinggi 1,5 meter. Salah satu sudut bak dilubangi agar air bisa keluar ketika bak sudah terpenuhi air. Ada juga lubang yang dihubungkan dengan pipa menuju mushola dan beberapa rumah warga. Warga setempat pada umumnya lebih memilih langsung menggunakan air dari bak tersebut karena harus mengeluarkan biaya jika memasang pipa menuju rumah. Setiap pagi dan sore, masyarakat datang bergantian untuk mandi, mencuci pakaian, dan mencuci peralatan rumah tangga.
Gambar 15 Bak penampungan air Cipanas.
d. Batu gamping
Menurut Samodra (2006), keberadaan batu gamping di wilayah Kabupaten Bogor terdapat di bagian timur dan barat. Singkapan batu gamping di bagian timur terdapat di daerah Cibinong, sedangkan singkapan bagian barat menyebar tidak merata di beberapa tempat dengan luasan yang relatif kecil. Singkapan batu gamping bagian barat dijumpai di daerah Jasinga, Cigudeg, Leuwiliang, Parung, dan Ciampea. Gunung Cibodas merupakan singkapan batu gamping di daerah Ciampea pada wilayah Bogor bagian barat. Singkapan batu gamping di wilayah Bogor bagian barat dikenal dengan nama formasi batu gamping Bojongmanik. Bentuk singkapan batu gamping Gunung Cibodas membujur dari arah barat ke timur. Batu gamping menyebar semakin menipis ke arah barat. Lebar singkapan batu gamping bagian timur Gunung Cibodas mencapai 1000 meter dan di bagian barat berkisar antara 100-200 meter.
Kawasan karst sangat potensial dengan kandungan batu gamping (kapur) yang bisa diolah menjadi bahan tambang seperti marmer, bahan baku semen, dan lainnya. Berdasarkan penuturan penambang batu gamping, kegiatan pertambangan batu gamping di Gunung Cibodas sudah dimulai sejak tahun 1950-an, saat itu masyarakat menggunakan alat sederhana untuk melakukan penambangan. Penggunaan alat berat dan bahan peledak dilakukan ketika adanya perusahaan asing yang melakukan pengambilan batu gamping dengan skala yang lebih besar. Saat ini perusahaan tersebut sudah tidak beroperasi, namun penggunaan bahan peledak masih terus berlangsung. Teknik penggalian dengan menggunakan bahan peledak ditiru oleh para penambang lokal yang dahulu hanya menggunakan alat sederhana seperti palu ukuran besar, “pencos” (pasak), dan linggis.
(a) (b)
Gambar 16 Pemanfaatan batu gamping sebagai bahan tambang (a) Pengangkutan batu gamping; (b) Pembakaran batu gamping.
Pemanfaatan batu gamping Gunung Cibodas dilakukan sampai pengolahan berupa pembakaran batu gamping. Batu gamping dibeli pembakar dari penggali dan diangkut menggunakan pick up dengan kapasitas muat 3 kubik. Proses pembakaran batu gamping akan menghasilkan kapur serbuk yang disebut kapur sirih. Pembakaran batu gamping memakan waktu tiga sampai dengan empat hari. Pembakaran dilakukan pada “tobong” (tungku pembakaran batu gamping) berbentuk silinder dengan diameter sekitar 3 meter dan tinggi sekitar 4 meter. Batu gamping yang telah matang akan dibiarkan selama 3-4 jam kemudian dikeluarkan dari tungku pembakaran dan disiram dengan air agar bongkahan batu gamping berubah menjadi kapur serbuk. Menurut pemilik tobong, kapur serbuk yang dihasilkan adalah kapur sirih dan kapur tembok. Untuk menjadi kapur tembok, batu gamping yang sudah matang dicairkan dengan disiram air. Kapur
tembok digunakan untuk membuat batako, sedangkan kapur sirih digunakan untuk mengecat dinding. Kapur olahan ini dijual kepada para pelanggan yang sudah biasa membeli ataupun pembeli lain yang datang setelah memesan sebelumnya.
5.2 Nilai Guna Ekosistem Karst Gunung Cibodas 5.2.1 Nilai unsur biologi
a. Tumbuhan
Pemanfaatan tumbuhan yang dilakukan masyarakat terdiri dari pemanfaatan sayuran, pakan ternak dan kayu bakar. Penilaian tumbuhan yang dilakukan terdiri dari penilaian kayu bakar dan pakan ternak. Pemanfaatan sayuran belum bisa dinilai karena keterbatasan informasi yang diperoleh.
Gunung Cibodas ditumbuhi dengan tumbuhan yang dimanfaatkan untuk pakan ternak. Dalam penelitian tidak diamati jenis yang dimanfaatkan untuk pakan ternak, namun masyarakat menuturkan bahwa jenis yang sering diambil untuk pakan ternak adalah kihandra (Calliandra calothyrsus) dan macam-macam jenis rumput. Contoh jenis yang dimanfaatkan untuk pakan ternak di Kecamatan Nglipar Gunung Kidul adalah rumput gajah, daun mahoni muda, daun turi, kolonjo, dan rumput liar (Nurfatriani 2005). Menurut penuturan masyarakat, jumlah pakan ternak di Gunung Cibodas bisa dikumpulkan sebanyak dua karung dalam satu kali pengambilan. Waktu rata-rata yang dihabiskan untuk kegiatan tersebut sekitar dua jam, sehingga pengumpul pakan ternak membutuhkan satu jam untuk satu karung pakan ternak. Intensitas pengambilan pakan ternak dalam satu minggu mencapai tiga kali pengambilan. Jumlah pemilik ternak di Kampung Bubulak adalah empat orang. Apabila diasumsikan pengambilan dilakukan dengan intensitas yang tetap, maka dalam satu tahun jumlah pakan ternak yang bisa dikumpulkan adalah 1.248 karung yang dikumpulkan selama 1.248 jam. Nilai pakan ternak diduga dengan metode nilai substitusi tidak langsung berupa nilai upah buruh. Upah buruh di Kampung Bubulak adalah sebesar Rp 25.000 dengan waktu kerja efektif sekitar enam jam. Nilai upah buruh berarti setara dengan Rp 4.200 per jam. Berdasarkan pendekatan ini, nilai pakan ternak dari Gunung Cibodas adalah Rp 5.241.600 per tahun.
Pemanfaatan lain yang dilakukan masyarakat adalah pengambilan kayu bakar untuk kebutuhan bahan bakar rumah tangga. Jenis yang diambil untuk kayu
bakar adalah kihandra (Calliandra calothyrsus) dan totoropongan (Cecropia
umbellata). Penilaian kayu bakar yang dilakukan di Kampung Bubulak karena
berdasarkan informasi yang diperoleh, masyarakat yang tinggal di sebelah selatan Gunung Cibodas banyak yang melakukan pengambilan kayu kayu bakar. Pemanfaat kayu bakar di kampung tersebut berasal dari RT 01 dan RT 02 yang lokasinya paling dekat dengan Gunung Cibodas dibanding tiga RT lainnya. Jumlah rumah tangga yang masih menggunakan kayu bakar adalah sebanyak 41 KK. Jumlah rumah tangga pengguna kayu bakar terdiri dari 10 KK dari RT 01, 15 KK dari RT 02, 9 KK dari RT 03, dan 7 KK dari RT 04. Hal ini berbeda dengan warga RT 05 yang seluruhnya menggunakan gas elpiji sebagai bahan bakar rumah tangga. Jumlah rumah tangga yang memanfaatkan kayu bakar dari Gunung Cibodas adalah 34 rumah tangga, sedangkan 7 rumah tangga lainnya memanfaatkan kayu bakar dari kebun milik sendiri atau membeli dari warga RT 01 dan RT 02 yang mengambil kayu bakar dari Gunung Cibodas. Pemanfaatan kayu bakar juga dilakukan masyarakat yang berasal dari kampung lainnya, yaitu Kampung Jatake, Kampung Mekarjaya, dan kampung lainnya di sekitar Gunung Cibodas. Pemilihan Kampung Bubulak sebagai objek penilaian kayu bakar didasarkan pada informasi bahwa jumlah pengambil kayu bakar dari kampung ini lebih banyak dari pada kampung lainnya.
Penilaian kayu bakar dilakukan dengan metode kontingensi yaitu kesediaan menerima (willingness to accept). Metode ini dipilih karena pengambil kayu bakar terkadang menjual kayu bakar kepada tetangga yang membutuhkan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, satu ikat atau satu pikulan kayu bakar yang diambil berkisar dari harga Rp 2.000 sampai dengan Rp 15.000 tergantung dari ukuran kayu perikat, namun warga biasa menjual dengan harga Rp 10.000 kepada tetangga yang kehabisan cadangan kayu bakar. Harga kontingensi rata-rata yang diperoleh dari kayu bakar sebesar Rp 9.700 per ikat. Jumlah kayu bakar yang bisa dikumpulkan dalam satu tahun rata-rata adalah 248 ikat untuk setiap rumah tangga. Jumlah pemanfaat kayu bakar di Kampung Bubulak adalah 34 rumah tangga, sehingga diperoleh nilai guna langsung kayu bakar Gunung Cibodas untuk Kampung Bubulak adalah Rp 80.880.000 per tahun.
Nilai guna tumbuhan diperoleh dari pemanfaatan kayu bakar dan pakan ternak. Nilai pemanfaatan dari sayuran tidak bisa dijumlahkan karena kesulitan untuk menduga nilai tersebut. Nilai tumbuhan yang dimanfaatkan adalah Rp 86.121.600 per tahun yang berasal dari pemanfaatan kayu bakar dan pakan ternak.
b. Satwa
Pemanfaatan satwa yang dilakukan masyarakat disekitar Gunung Cibodas masih terbatas. Menurut penuturan masyarakat setempat, satwa yang biasa dimanfaatkan adalah burung. Jenis burung yang diambil adalah ayam-hutan hijau (Gallus varius) dan poksai (Garrulax rufrifrons). Saat ini pengambilan burung sudah tidak dilakukan, masyarakat menganggap populasi burung sudah menurun dan jenis yang ditangkap sudah jarang ditemukan di Gunung Cibodas. Kelangkaan beberapa jenis burung bisa terjadi karena tingginya intensitas pengambilan ataupun terganggunya habitat dari satwa tersebut. Pengambilan satwa yang saat ini dilakukan masyarakat adalah pengambilan kelelawar.
Pengambilan kelelawar dilakukan pada sore hari hingga malam hari yang berasal dari goa-goa di Gunung Cibodas. Goa yang sering diambil kelelawarnya adalah Goa Simanggir dan Goa Sigajah. Berdasarkan pemaparan pemburu kelelawar, jumlah kelelawar yang tertangkap bisa mencapai 200 ekor dalam satu kali perburuan. Alat yang digunakan berupa jaring yang diikat pada dua batang bambu kecil dan dipasangkan di mulut goa. Perburuan kelelawar dimulai sekitar pukul 17.00 WIB dan berakhir pada pukul 20.00 WIB.
Kegiatan pengambilan kelelawar di Gunung Cibodas hanya dilakukan oleh satu kelompok pemburu yang berasal dari Kampung Tegalwaru. Pemburu hanya melakukan pengambilan ketika ada pesanan atau permintaan dari pedagang di pasar, namun pengambilan kelelawar biasanya dilakukan satu kali dalam dua bulan. Salah satu pemburu kelelawar menyebutkan bahwa jumlah kelelawar yang tertangkap dalam satu kali pengambilan rata-rata sekitar 70 ekor. Kelelawar dijual dengan harga Rp 3.000 per ekor. Jumlah kelelawar yang tertangkap bisa mencapai 200 ekor, dan jika kurang beruntung hanya sekitar 30 ekor yang tertangkap. Apabila kelelawar yang tertangkap tidak terjual, maka kelelawar akan dikonsumsi. Jika diasumsikan pengambilan kelelawar dilakukan dengan intensitas dan jumlah tangkapan yang tetap, maka hasil yang bisa diperoleh adalah Rp 1.260.000 per tahun. Nilai ini merupakan perkiraan dari nilai kelelawar yang ditangkap di goa-goa di Gunung Cibodas. Intensitas pengambilan kelelawar bisa bertambah ataupun berkurang, sehingga kelelawar memiliki nilai potensial yang lebih tinggi atau rendah dari nilai pemanfaatan saat penelitian berlangsung.
5.2.2 Nilai unsur fisik a. Goa
Penialaian goa hanya dilakukan pada pemanfaatan sebagai sarana olahraga penelusuran goa dengan menggunakan metode biaya perjalanan (travel cost
methode). Biaya perjalanan yang dihitung meliputi biaya transportasi, biaya
konsumsi, dan kebutuhan lain yang digunakan selama kegiatan penelusuran goa serta kesediaan penelusur goa untuk mengeluarkan sumbangan atas jasa lingkungan yang diperoleh dari goa tersebut. Jumlah penelusur goa yang ditemui adalah sebanyak 21 orang. Penelusur goa adalah anggota pecinta alam Lawalata IPB sebanyak 15 orang dan 6 orang pecinta alam yang berasal dari Jakarta.
Biaya transportasi yang dikeluarkan berupa ongkos angkutan umum dan ada pula yang membawa kendaraan pribadi. Kendaraan pribadi yang digunakan adalah sepeda motor. Para penelusur goa terkadang menyewa mobil angkutan umum dengan kapasitas 10 orang jika berangkat berkelompok. Jumlah kunjungan tahunan rata-rata adalah 4 kali kunjungan per orang. Biaya transportasi yang dikeluarkan setiap penelusur goa berkisar antara Rp 4.000 sampai Rp 50.000 dan biaya konsumsi berkisar antara Rp 15.000 sampai Rp 50.000. Biaya lain yang
dikeluarkan penelusur goa untuk melakukan kegiatan penelusuran rata-rata adalah Rp 17.500 dari biaya pembelian baterai. Biaya perjalanan penelusur goa adalah Rp 31.000 hingga Rp. 100.000 tergantung dari jarak tempat tinggal dari Gunung Cibodas. Berdasarkan hasil perhitungan dari 21 orang narasumber, nilai goa di Gunung Cibodas adalah Rp 4.426.000 per tahun. Intensitas kunjungan yang berbeda dalam satu tahun akan menyebabkan nilai yang berbeda pula untuk setiap pengunjung. Hal yang mempengaruhi intensitas kunjungan mahasiswa pecinta alam untuk melakukan penelusuran goa adalah waktu libur kuliah. Semakin banyak libur maka bisa diasumsikan akan semakin banyak pula kunjungan mahasiswa yang melakukan kegiatan penelusuran goa di Gunung Cibodas.
b. Tebing
Gunung Cibodas memiliki tebing baik yang sudah dimanfaatkan maupun tebing yang potensial untuk sarana olahraga panjat tebing. Tebing yang dinilai adalah tebing yang saat ini telah dimanfaatkan untuk kegiatan olahraga panjat tebing. Penilaian tebing dilakukan menggunakan metode biaya perjalanan. Informasi biaya diperoleh dari wawancara dengan pengunjung yang merupakan pemanjat tebing di Gunung Cibodas. Berdasarkan informasi yang diperoleh, jumlah pengunjung tebing berkisar antara empat sampai lima puluh orang per minggu. Dalam satu bulan, jumlah pemanjat tebing yang datang berkisar antara 30-100 orang. Pada bulan-bulan tertentu jumlah pengunjung yang datang bisa mencapai 150 orang per bulan. Peningkatan jumlah tersebut biasanya terjadi pada bulan Juni hingga Agustus, karena merupakan waktu libur panjang masa kuliah dan waktu para pecinta alam melakukan latihan untuk anggota baru. Berdasarkan pendekatan tersebut, jumlah pengunjung tebing berkisar antara 720-1.350 orang per tahun. Jumlah tersebut dipengaruhi oleh perbedaan intensitas kunjungan.
Penilaian tebing dilakukan melalui wawanca dengan para pemanjat tebing. Pengambilan data dilakukan setiap akhir pekan pada bulan Januari sampai Februari 2011 sehingga pengunjung yang menjadi narasumber merupakan sampel dari seluruh pengunjung dalam satu tahun. Jumlah pengunjung tebing yang dijumpai di lokasi tebing Gunung Cibodas adalah 133 orang, dan wawancara dilakukan dengan 27 narasumber yang merupakan perwakilan dari tiap rombongan pemanjat tebing. Penilaian tebing dilakukan dengan mengasumsikan
jumlah pengunjung tetap untuk setiap kunjungan dalam satu tahun. Biaya perjalanan satu kali kunjungan yaitu Rp 20.000 sampai Rp 170.000 tergantung dari biaya transportasi dan biaya lain yang dikeluarkan. Hal ini terkait dengan waktu dan jarak yang ditempuh dari tempat masing-masing. Intensitas kunjungan pemanjat tebing adalah 1 sampai 36 kali kunjungan per tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengunjung yang ditemui, nilai guna tebing sebagai sarana olahraga minat khusus sebesar Rp 30.317.000 per tahun. Nilai ini hanya berlaku bagi pemanjat tebing yang dijumpai pada saat penelitian. Jumlah pemanjat tebing yang datang bisa saja mengalami perubahan baik jumlah tim maupun intensitas kunjungannya. Hal yang mempengaruhi intensitas kunjungan yaitu intensitas libur perkuliahan. Banyaknya waktu libur kuliah memungkinkan intensitas kunjungan semakin tinggi, dan apabila waktu liburan semakin panjang maka waktu kunjungan kemungkinan semakin lama yang mengakibatkan biaya kunjungan semakin tinggi.
c. Air
Air memiliki manfaat yang luas, mulai dari hulu hingga ke bagian hilir. Masyarakat yang tinggal di sekitar aliran air biasanya mendapatkan manfaat dari keberadaan air tesebut. Penilaian air hanya dilakukan di Kampung Mekarjaya yang berada dekat dengan mata air Cipanas, sehingga nilai air yang diperoleh hanya berdasarkan pemanfaatan di kampung tersebut. Nilai air diduga dengan menggunakan metode kontingensi yaitu kesediaan membayar dari masyarakat Kampung Mekarjaya yang memanfaatkan air. Teknik yang digunakan adalah melalui wawancara dengan pengguna air tersebut. Jumlah rumah tangga yang memanfaatkan air dari mata air Cipanas saat melakukan penelitian adalah sebanyak 18 kepala keluarga. Jumlah pengguna air Cipanas akan bertambah jika terjadi kemarau karena saat kemarau sumur-sumur yang ada dibeberapa rumah mengalami kekeringan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengguna air, jumlah pengguna yang bersedia membayar air yang digunakan adalah tiga narasumber. Kesediaan membayar air adalah Rp 1.000 sampai Rp 5.000 per bulan dan diperoleh nilai rata-rata sebesar Rp 3.700 per bulan. Menurut Rused (2009), jumlah konsumsi air masyarakat Kampung Bengkok Megamendung rata-rata adalah 440 kubik per
tahun. Air tersebut dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga seperti mandi, mencuci, dan kakus. Jumlah konsumsi air tersebut diasumsikan sama dengan konsumsi air di Kampung Mekarjaya, asumsi ini digunakan karena hasil wawancara yang dilakukan tidak bisa memperoleh data jumlah air yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Narasumber tidak bisa memberikan informasi jumlah air yang dipakai dalam satuan pemakaian tertentu, misalnya jumlah air dalam satuan kubik atau liter. Berdasarkan asumsi tersebut diperoleh nilai air di Kampung Mekarjaya adalah Rp 100 per kubik. Jumlah pemanfaat air oleh 18 rumah tangga pada saat penelitian dilaksanakan adalah 7.920 kubik per tahun. Nilai air di Kampung Mekarjaya diperoleh dengan mengalikan jumlah pemanfaatan air dengan harga air per kubik, sehingga diperoleh nilai air sebesar Rp 792.000 per tahun. Nilai ini tentunya bukan merupakan nilai yang sesungguhnya karena pengguna air pada musim kemarau belum termasuk narasumber.
d. Batu gamping
Gunung Cibodas merupakan salah satu penyusun formasi karst di Indonesia, luas singkapan batu gamping Indonesia mencapai 154.000 km2. Ketebalan rata-rata batu gamping di Indonesia adalah 100 m dan berat jenis 2,5 ton/m3. Berdasarkan nilai ini, Indonesia memiliki cadangan batu gamping sebanyak 39 trilyun ton (Surono et al. 1999 diacu dalam Samodra 2001). Gunung Cibodas memiliki luas singkapan 125,1 ha atau sekitar 1,251 km2.Cadangan batu gamping Gunung Cibodas belum bisa diketahui karena keterbatasan informasi mengenai ketebalan rata-rata batu gamping di gunung tersebut.
Penilaian batu gamping dilakukan dengan menggunakan metode biaya sisa turunan. Para pemilik tobong biasanya membeli batu gamping per mobil dengan kapasitas muat sebanyak tiga kubik. Harga batu gamping adalah Rp 180.000 per mobil yang terdiri dari Rp 15.000 upah angkut, Rp 40.000 upah bongkar muat, Rp 50.000 upah penggalian, dan Rp 75.000 untuk tiga kubik batu gamping, sehingga nilai batu gamping adalah Rp 25.000 per kubik. Jumlah batu gamping yang diambil oleh penambang diduga dari banyaknya batu gamping yang masuk dalam tobong. Pembakaran batu gamping biasanya dilakukan apabila kapasitas tobong terpenuhi. Jumlah tobong yang terdapat di Kampung Mekarjaya adalah sebanyak
22 tobong, namun hanya 20 yang beroperasi. Berdasarkan penuturan para pemilik tobong, kapasitas tobong bervariasi mulai dari 24 kubik (8 pick up) sampai dengan 51 kubik (17 pick up). Ukuran tobong rata adalah 36 kubik dan rata-rata intensitas pembakaran batu gamping yang dilakukan pemilik tobong adalah 5 kali per bulan. Jumlah batu gamping rata-rata yang diambil dari Gunung Cibodas adalah 3.252 kubik per bulan. Apabila kondisi ini diasumsikan tetap, jumlah batu gamping yang diambil adalah sebanyak 39.024 kubik per tahun. Berdasarkan jumlah tersebut, nilai pemanfaatan batu gamping adalah Rp 975.600.000 per tahun. Jumlah batu gamping yang dibakar terkadang kurang bahkan dari kapasitas tungku pembakaran karena lambatnya pasokan batu gamping yang diambil para penambang.
5.2.3 Nilai total ekosistem Karst Gunung Cibodas
Nilai guna merupakan salah satu komponen nilai ekonomi total dari suatu sumberdaya alam. Nilai guna yang dihitung dari ekosistem Karst Gunung Cibodas adalah nilai guna langsung yang diperoleh dari pemanfaatan unsur biofisik yang diidentifikasi. Hasil pendugaan nilai guna langsung ekosistem Karst Gunung Cibodas dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel 6).
Tabel 6 Nilai pemanfaatan unsur biofisik ekosistem Karst Gunung Cibodas
No. Unsur biofisik Pemanfaatan Nilai per tahun (Rp)
1 Tumbuhan Kayu bakar dan pakan ternak 86.121.600
2 Satwa Kelelawar 1.260.000
3 Goa Wisata penelusuran goa 4.426.000 4 Tebing Wisata panjat tebing 30.317.000 5 Mata air Sumber air rumah tangga 792.000 6 Batu gamping Bahan pertambangan 975.600.000
Total 1.098.516.600
Berdasarkan penilaian yang dilakukan, batu gamping memiliki nilai paling tinggi namun manfaat ini bersifat terbatas dan akan mengakibatkan hilangnya manfaat lain dari Gunung Cibodas. Nilai non-tambang berlaku untuk jangka panjang yang berarti dikalikan dengan waktu tak terhingga sehingga nilai pemanfaatan ini adalah tak terhingga bila dimanfaatkan secara lestari meskipun saat ini memiliki nilai yang lebih kecil dibanding nilai tambang, sedangkan nilai
batu gamping hanya untuk jangka waktu tertentu yang berarti nilai ini akan habis serta menyebabkan hilangnya Gunung Cibodas dan hilang pula nilai yang lain. Pemanfaatan unsur non-tambang secara lestari akan mempertahankan keberadaan dan keberlanjutan nilai dari Gunung Cibodas. Menurut penuturan para pemanjat tebing, kegiatan penambangan batu gamping yang dilakukan di Gunung Cibodas mengancam kelestarian tebing. Pengambilan batu gamping bisa menghilangkan tebing panjat dan membahayakan pemanjat tebing saat melakukan pemanjatan. Kondisi ini terlihat nyata di lapangan dari menipisnya tebing. Kondisi serupa juga terjadi pada goa-goa di Gunung Cibodas. Lorong-lorong goa terlihat pada dinding batu gamping yang terus digali dan berakibat pada rusak dan hilangnya goa di Gunung Cibodas. Kerusakan goa akan menyebabkan perubahan mikro-klimat di dalam goa yang berpengaruh buruk bagi biota goa, hilangnya goa akan mengakibatkan hilangnya habitat walet dan kelelawar goa yang mengancam kelestarian serta manfaat ekonomi dari satwa tersebut (KLH 2009). Masyarakat setempat juga memaparkan kejadian longsor di Gunung Cibodas yang terjadi akibat pengambilan batu gamping. Mata air Cipanas merupakan mata air karst yang juga akan rusak jika batu gamping yang membentuk ekosistem karst tersebut hilang. Menurut KLH (2009), kegiatan pengambilan batu gamping pada ekosistem karst akan menyebabkan rusaknya tata air dan kelestarian keanekaragaman hayati pada ekosistem karst. Kawasan yang berfungsi sebagai penyimpan dan penyalur air akan hilang. Hilangnya mata air Cipanas akan berakibat pada hilangnya sumber air bagi masyarakat Kampung Mekarjaya dan sekitarnya yang memanfaatkan air tersebut untuk kebutuhan air rumahtangga. Merurut Noerjito (2006), alih fungsi sebagian lahan Gunung Cibodas menjadi tempat penggalian batu gamping memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ekosistem tersebut. Berbagai jenis satwa akan hilang karena habitat yang terdapat di gunung tersebut rusak akibat eksploitasi batu gamping. Satwa dan tumbuhan yang terdapat di Gunung Cibodas memiliki nilai potensial lebih tinggi dari nilai batu gamping.
5.2.4 Nilai potensial Gunung Cibodas
Pemanfaatan tumbuhan yang dilakukan masyarakat tidak seluruhnya dinilai. Kampung Bubulak merupakan salah satu kampung yang masyarakatnya
melakukan pengambilan kayu bakar, apabila penilaian dilakukan di seluruh kampung tentu saja nilai tumbuhan yang diperoleh akan lebih besar. Pemanfaatan kayu bakar juga dilakukan oleh masyarakat Kampung Jatake, Kampung Tegal, Kampung Mekarjaya, Kampung Padatimondok, dan kampung lainnya di sekitar Gunung Cibodas. Apabila jumlah pemanfaatan kayu bakar di setiap kampung sama dengan 20% dari pemanfaatan kayu bakar di Kampung Bubulak, maka nilai pemanfaatannya sebesar Rp 64.704.000. Nilai kayu bakar di Kampung Bubulak adalah Rp 80.880.000 per tahun, sehingga nilai potensial seluruh pemanfaatan kayu bakar mencapai Rp 145.584.000 per tahun.
Satwa yang ditemukan di Gunung Cibodas memiliki nilai yang belum bisa diduga. Beberapa jenis yang memiliki nilai ekonomi tinggi misalnya walet goa yang menghasilkan sarang walet yang bernilai ekonomi. Menurut penuturan masyarakat setempat, hasil pengambilan sarang walet saat ini tidak sebanyak jumlah seperti dahulu. Masyarakat menduga jumlah sarang walet menurun akibat adanya gangguan dari kegiatan penambangan batu gamping yang menggunakan bahan peledak, namun ada pula yang beranggapan bahwa penurunan jumlah tersebut terjadi karena intensitas pengambilan yang tidak mempertimbangkan siklus hidup burung walet. Menurut Noerjito (2006), perubahan produksi sarang walet di Gunung Cibodas sejak tahun 2000 sampai tahun 2004 tercatat mulai 30 kg, 13,5 kg, 7,5 kg, dan 4,5 kg. Sarang yang dihasilkan adalah sarang hitam dan sarang putih. Pada saat ini, sarang hitam memiliki harga Rp 2.000.000 - Rp 4.000.000 per kilogram dan sarang putih (Gambar 18) memiliki harga Rp 12.000.000 - Rp 14.000.000 per kilogram. Harga sarang walet tergantung dari kualitas sarang yang dipanen, sarang putih bisa mencapai harga Rp 20.000.000 per kilogram (Trubus 2000). Apabila jumlah panenan sarang walet di Gunung Cibodas dianggap tetap dari tahun 2004 dan jumlah sarang walet yang dihasilkan adalah 50% sarang hitam dan 50% sarang putih, maka nilai sarang walet adalah Rp 31.500.000 dalam satu siklus panen. Menurut Prayugo (2009), siklus regenerasi walet bisa mencapai empat bulan. Pada saat musim bertelur, waktu yang diperlukan untuk membuat sarang walet adalah 45-60 hari. Proses perkawinan dan pengeraman telur berlangsung selama 26-29 hari. Anak walet sudah memiliki bulu dan kuat terbang pada umur 45 hari. Apabila pemanenan
sarang burung walet dilakukan satu kali dalam empat bulan dengan memperhatikan siklus regenerasinya, maka nilai sarang walet di Gunung Cibodas bisa mencapai Rp 94.500.000 per tahun.
Gambar 18 Sarang dan telur walet sarang putih yang ditemukan di Goa Sidempet.
Kelelawar goa merupakan satwa penghasil guano (tumpukan kotoran kelelawar) yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Pemanfaatan guano di Gunung Cibodas teridentifkasi dari bekas penggalian pada lantai Goa Sipanjang dan Goa Siwandra serta informasi dari masayarakat setempat. Pemanfaatan ini belum bisa dinilai karena keterbatasan informasi. Harga jual guano di pasar mulai dari Rp 1.000 – Rp 7.500 per kilogram. Menurut pemaparan penjual pupuk guano, efisensi satu kilogram pupuk guano setara dengan tiga puluh kilogram kotoran kambing atau dua puluh kilogram kotoran sapi atau setara dengan sepuluh kilogram kotoran kuda. Apabila jumlah guano yang terdapat di seluruh goa diketahui, maka nilai potensial guano bisa diduga. Kelelawar dan walet hanya sebagian kecil satwa yang bisa diduga nilainya, apabila seluruh satwa yang teridentifkasi diketahui nilainya, nilai yang diperoleh bisa jadi lebih besar dari nilai pemanfaatan batu gamping. Contoh lain adalah monyet ekor panjang yang berusia dua sampai tiga tahun dijual dengan harga Rp 250.000 di online pet shop (Tokobagus.com 2010). Harga tersebut sudah termasuk dengan biaya pemeliharaan. Apabila diasumsikan biaya pemeliharaan sebesar 30% dari harga jual, maka harga monyet adalah Rp 175.000. Pengamatan monyet ekor-panjang di tiga lokasi di Gunung Cibodas mencatat 87 indvidu yang terdiri dari 10 bayi, 26 anak, dan 51 individu dewasa. Apabila penilaian dilakukan dengan mengabaikan usia monyet, maka nilai yang diperoleh dari 87 individu monyet adalah Rp 15.225.000.
Burung-burung yang ditemukan bisa diperoleh nilainya berdasarkan harga pasar, namun penilaian tidak bisa dilakukan karena kesulitan menduga populasi setiap burung yang ditemukan. Beberapa jenis burung di Gunung Cibodas dijual di Pasar Ciampea. Menurut pedagang burung, jenis burung yang diambil dari alam biasanya jarang diperdagangkan, burung yang banyak diminati pembeli biasanya burung hasil budidaya yang sudah dewasa, memiliki penampilan bagus, dan kicauan yang merdu. Jenis burung yang ditemukan di Gunung Cibodas dan dijual di Pasar Ciampea tercantum dalam tabel berikut (Tabel 7).
Tabel 7 Daftar harga burung di Pasar Ciampea
No. Jenis Burung Harga Jual (Rp) Harga Beli (Rp)
1 Gemak / pupuyuhan 40.000 25.000 2 Tekukur biasa 20.000 10.000 4 Cucak kutilang 30.000 20.000 5 Merbah cerukcuk 30.000 20.000 6 Gelatik 50.000 30.000 7 Perenjak 50.000 30.000 8 Bondol 2.000 - 9 Burung-gereja erasia 1.500 -
Nilai burung bisa didekati berdasarkan harga jual setiap jenis burung dikalikan dengan populasi setiap jenis. Apabila populasi seluruh jenis burung diketahui, maka nilai burung bisa diduga.
Nilai potensial lainnya berasal dari air yang tidak seluruhnya dimanfaatkan, sehingga berpotensi lebih besar dari nilai pemanfaatan aktual. Berdasarkan kajian tim Lawalata IPB (2010), mata air Cipanas memiliki debit 24 liter per detik. Pengukuran ini dilakukan pada bulan Februari tahun 2010. Apabila debit ini diasumsikan merata sepanjang tahun, maka potensi air Cipanas adalah 756.864.000 liter per tahun atau sekitar 756.864 kubik per tahun. Berdasarkan nilai air yang berlaku di Kampung Mekarjaya, nilai potensial air Cipanas adalah Rp 75.686.400 per tahun. Gunung Cibodas juga memiliki satu mata air lainnya yang digunakan untuk pengairan lahan pertanian. Selain manfaat yang telah disebutkan, aliran air dari Gunung Cibodas juga digunakan untuk mencuci kendaraan bermotor. Manfaat tersebut tentunya mampu menggambarkan nilai air dari Gunung Cibodas yang memiliki peran penting bagi masyarakat.
Manfaat dari unsur biofisik Gunung Cibodas belum teridentifikasi seluruhnya, sehingga masih banyak nilai potensial yang belum terungkap. Nilai potensial yang bisa terduga dari beberapa unsur yang telah dijelaskan bisa dilihat pada tabel berikut (Tabel 8).
Tabel 8 Pendugaan nilai potensial Gunung Cibodas
No. Unsur biofisik Nilai (Rp) Keterangan
1 Kayu bakar 145.584.000 Diduga dari empat kampung 2 Sarang walet 94.500.000 Pemanenan 3x per tahun 3 Pupuk guano/kotoran kelelawar 1.000 - 7.500 Harga per kilogram 4 Monyet ekor panjang 15.225.000 Asumsi harga di pet shop 5 Burung 1.500 - 30.000 Harga per individu 6 Air 75.686.400 Nilai debit air per tahun 7 Tebing 150-300 juta/thn Asumsi seluruh populasi 8 Herpetofauna Tidak diketahui Tidak ada data
9 Satwa lain (invertebrata, dll) Tidak diketahui Tidak ada data 10 Tumbuhan obat Tidak diketahui Tidak ada data
Nilai potensial Gunung Cibodas terdiri dari kayu bakar, sarang walet, satwa (monyet), air, dan tebing (300 juta/thn) dengan nilai Rp 630.995.400 per tahun, atau sekitar lima kali lipat dari nilai aktual yaitu Rp 122.916.600 yang dihitung tanpa nilai batu gamping. Nilai potensial ini belum termasuk nilai unsur biologi dan fisik lain yang belum dikuantifikasi nilainya.
5.3 Pengelolaan Gunung Cibodas
Gunung Cibodas merupakan kawasan Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten yang ditetapkan sebagai Hutan Produksi Kelas Perusahaan Meranti Jangka 2005-2014 berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor 143/Kpts/DJ/I/1974 tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Khusus Kelas Perusahaan Tebang Habis Jati serta Petunjuk Kerja Inventarisasi Sumberdaya Hutan Khusus Kelas Perusahaan Meranti yang diterbitkan Biro Perencanaan dan Pengembangan PT. Perhutani Unit III Jawa Barat dan Bogor Tahun 2001 (Perhutani 2004).
Kondisi aktual Gunung Cibodas pada saat ini belum dikelola dengan baik. Hal ini teridentifikasi dari tidak adanya upaya pengelolaan baik penanaman maupun upaya lainnya. Kondisi ini diperkirakan karena faktor tanah yang
tersusun oleh formasi batu gamping bersolum tipis (Soemarno et al 2006) dan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk pertumbuhan tanaman. Walaupun demikian, Gunung Cibodas memiliki potensi sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati yang akan memberikan manfaat jika dikelola dengan baik.
Pada masa yang akan datang jasa lingkungan menjadi kebutuhan yang penting dan memiliki nilai yang tinggi. Pemanfaatan di masa yang akan datang menjadikan Gunung Cibodas memiliki nilai pilihan yang belum bisa dikuantifikasi untuk saat ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, unsur fisik dan biologi yang terdapat pada ekosistem ini memberikan manfaat nyata baik bagi masyarakat setempat maupun stakeholders lainnya. Fungsi penyimpanan dan penyalur air dari ekosistem Karst Gunung Cibodas sangat dirasakan masyarakat. Kekeringan dan krisis air yang terjadi bisa diminimalisir dengan mempertahankan jasa lingkungan yang diperoleh dari fungsi ekosistem ini. Kemarau dan krisis air bersih yang terjadi pada tahun 2011 di Kabupaten Bogor menjadikan air memiliki nilai yang sangat tinggi. Masyarakat yang tinggal di Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor harus mengeluarkan biaya hingga Rp 50.000 per minggu untuk biaya pembelian air (RadarBogor 2011). Harga air di daerah Jakarta bahkan mencapai Rp 50.000 - Rp 75.000 per kubik. Harga ini sepuluh kali lipat dari harga air PDAM di derah tersebut (HarianAnalisa 2011). Peristiwa tersebut menggambarkan betapa pentingnya sumber air bersih bagi kehidupan.
Gunung Cibodas memiliki nilai aktual dan potensial, kondisi ini membuat pengambilan keputusan dalam pengelolaan ekosistem ini perlu kehati-hatian. Apakah pemanfaatan akan mempertahankan kelangsungan ekosistem atau merusak dengan dampak serta konsekuensi yang ada. Pemanfaatan batu gamping akan menghilangkan ekosistem karst, kehilangan ini akan mengakibatkan sistem penyerapan dan penyaringan air menjadi hilang. Tumbuhan dan satwa akan hilang sehingga tidak ada lagi kayu bakar atau satwa yang bermanfaat, seperti kelelawar yang menghasilkan guano atau walet yang menghasilkan sarang walet. Goa-goa dan tebing juga akan hilang sehingga kegiatan panjat tebing dan penelusuran goa harus pindah ke lokasi lain yang lebih jauh dan membutuhkan biaya lebih mahal. Perbedaan kepentingan pemanfaatan antara pihak terkait perlu dirundingkan karena bisa menimbulkan konflik diantara para pihak yang berkepentingan. Oleh
karena itu, pembuat keputusan sebaiknya bersikap bijaksana dan memikirkan kepentingan jangka panjang sehingga manfaat ekosistem ini bisa dirasakan sampai generasi selanjutnya. Pengelola hendaknya melakukan kegiatan yang bisa melestarikan ekosistem Gunung Cibodas baik hayati maupun nonhayati. Upaya-upaya yang disarankan untuk pelestarian tersebut antara lain :
1. Membatasi area untuk kegiatan pengambilan batu gamping.
2. Pengelolaan pemanfaatan satwa dan tumbuhan dengan memperhitungkan siklus regenerasinya.
3. Menunjuk lokasi khusus untuk pengambilan kayu bakar dan melakukan pelestarian jenis tumbuhan yang dimanfaatkan.
4. Mengatur jumlah tangkapan satwa (kelelawar) dalam jumlah tertentu. 5. Melakukan pemanenan sarang burung walet sesuai siklus
regenerasinya, yaitu tiga kali dalam satu tahun.
6. Melakukan pemanfaatan kotoran kelelawar (guano) sebagai pupuk organik.
7. Melestarikan sumber air dengan tidak melakukan penambangan batu gamping di sekitar mata air.
8. Mengembangkan wisata panjat tebing dan penelusuran goa.
Kegiatan diatas hendaknya dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat setempat. Upaya yang dilakukan adalah dengan membuat kelompok-kelompok masyarakat yang mengelola ekosistem Gunung Cibodas. Upaya yang dilakukan diharapkan mampu menjaga kelestarian ekosistem Karst Gunung Cibodas dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat setempat. Kondisi topografi Gunung Cibodas yang relatif curam hendaknya menjadikan lokasi ini sebagai kawasan lindung, selain itu Gunung Cibodas termasuk ke dalam kriteria ekosistem karst kelas satu (memiliki sistem perguaan dan ornamen aktif, mata air, keanekaragaman hayati, dan memiliki fungsi sosial ekonomi) yang hendaknya tidak difungsikan sebagai lokasi pertambangan (Samodra 2006). Masyarakat diharapkan mendapatkan manfaat ekonomi tanpa merusak fungsi-fungsi dari ekosistem karst Gunung Cibodas.