• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Minyak Ikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Minyak Ikan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Minyak Ikan

Minyak ikan lemuru merupakan limbah atau hasil samping dari proses pengalengan maupun penepungan ikan lemuru. Ikan lemuru (Sardinella

longiceps) merupakan salah satu jenis ikan pelagis yang banyak terdapat di

perairan Indonesia. Populasi terbesar terdapat di daerah sekitar Selat Bali. Ikan pelagis adalah ikan yang banyak hidup di laut dalam dan mengandung banyak asam lemak ω-3, di antaranya selain ikan lemuru yaitu ikan tuna, salmon,

menhaden dan lain-lain. Ikan-ikan tersebut telah banyak dimanfaatkan sebagai

sumberasam lemak ω-3.

Proses pengalengan ikan lemuru diperoleh rendemen berupa minyak sebesar 5% (b/b) dan dari proses penepungan sebesar 10% (b/b). Pengalengan satu ton ikan lemuru akan diperoleh 50 kg limbah berupa minyak ikan dan selanjutnya dari satu ton bahan mentah sisa-sisa penepungan akan diperoleh kurang lebih 100 kg hasil samping berupa minyak ikan lemuru (Setiabudi 1990).

Minyak ikan yang diperoleh dari proses pengalengan ikan pada umumnya berwarna kuning dengan bau khas minyak ikan, sedangkan dari proses penepungan umumnya berwarna coklat gelap dan baunya menyengat. Minyak ikan yang diperoleh dari hasil penepungan kualitasnya kurang baik dibandingkan dengan proses pengalengan. Hal ini disebabkan oleh bahan yang digunakan memiliki mutu yang rendah yaitu berupa sisa hasil proses pengalengan ikan lemuru seperti kepala, ekor, tulang dan isi perut serta ikan-ikan yang rusak dan tidak layak dikalengkan. Kurang baiknya kualitas minyak ikan dari proses penepungan menyebabkan tingginya asam lemak bebas dan bilangan peroksida serta mempengaruhi kandungan asam lemak ω-3. Karakteristik fisik dan kimia minyak ikan lemuru yang diperoleh dari proses pengalengan dan penepungan dapat dilihat pada Tabel 1.

Proses asal minyak ikan dan umur simpan dapat mempengaruhi kandungan asam lemak ω-3. Minyak ikan yang berasal dari proses pengalengan kandungan asam lemak ω-3 lebih tinggi dibandingkan dengan proses penepungan, namun demikian kandungan EPA tidak nyata berbeda (Tabel 1). Kandungan asam lemak ω-3 dalam minyak ikan juga dipengaruhi umur simpan. Menurut Setiabudi (1990)

(2)

umursimpan minyak ikan lemuru dapatmenurunkan kandungan asam lemak ω-3. Minyak ikan yang diperoleh dari proses pengalengan dan penepungan yang disimpan selama satu bulan mengandung asam lemak ω-3 masing-masing sebesar 19.35% dan 12.15%,setelah disimpan selama 3 bulan kandungan asam lemak ω-3 turun menjadi 17.15% dan 11.15%.

Tabel 1 Karakteristik minyak ikan lemuru hasil proses pengalengan dan penepungan

Minyak ikan lemuru Karakteristik

Proses pengalengan Proses penepungan

Warna Kuning Coklat kehitaman

Bau Kurang menyengat Menyengat

Nilai asam lemak bebas (%) 5.02 16.22

Bilangan iod (g/100g) 170.71 169.75

Bilangan peroksida (meq/kg) 4.88 8.73

Asam lemak ω-3 (%) 29.68 25.84

EPA (%) 15.15 15.39

DHA (%) 11.36 8.79

Sumber : Dewi (1996)

Kandungan asam lemak ω-3 (EPA dan DHA) pada minyak ikan juga dipengaruhi oleh jenis ikan. Minyak ikan lemuru mempunyai EPA dan DHA lebih tinggi dibandingkan dengan minyak ikan menhaden, tuna dan herring. Kandungan EPA dan DHA pada minyak ikan tersebut masing-masing sebesar 37%, 34%, 27% dan 17% (Niazi 1987). Tingginya kandungan EPA dan DHA dalam minyak ikan lemuru merupakan potensi yang besar di Indonesia dan perlu dimanfaatkan dengan baik.

Minyak ikan yang diperoleh dari proses penepungan ikan lemuru memiliki mutu yang rendah. Pemurnian minyak ikan dapat mempengaruhi warna dan bau minyak ikan serta dapat mengurangi kotoran-kotoran yang ada pada minyak ikan seperti sterol, asam lemak bebas, fosfatida dan pigmen. Karakterisitik mutu minyak ikan setelah dilakukan pemurnian dengan tahap pemisahan gum, netralisasi dan pemucatan dapat dilihat pada Tabel 2.

Bilangan iod digunakan untuk menentukan tingkat ketidak jenuhan asam-asam lemak yang terdapat pada minyak ikan. Semakin besar bilangan iod menunjukkan semakin besar pula ikatan rangkap yang terdapat dalam minyak ikan. Bilangan iod minyak ikan lemuru yang dimurnikan relatif sama dengan

(3)

minyak kasarnya yaitu sebesar 188.35 vs 190.40g/100g (Tabel 2). Hal tersebut menunjukkan bahwa proses pemurnian tidak menyebabkan perubahan pada jumlah ikatan rangkap minyak sehingga perubahan sifat fisik tidak terjadi (Permadi 1999).

Tabel 2 Karakteristik mutu minyak ikan lemuru hasil proses penepungan sebelum dan setelah dimurnikan

Minyak ikan lemuru Karakteristik

Sebelum dimurnikan Setelah dimurnikan

Warna Coklat kehitaman Kuning

Bau Menyengat Kurang menyengat

Nilai asam lemak bebas (%) 15.75 0.09

Bilangan iod (g/100g) 190.40 188.35

Sumber : Permadi (1999)

Kandungan asam lemak dari minyak ikan berbeda dengan minyak nabati. Minyak ikan banyak mengandung asam lemak ω-3 rantai panjang (EPA dan DHA), sedangkan minyak nabati lebih banyak mengandung asam lemak ω-6 (Bimbo 1987).Asam lemak ω-6 adalah asam lemak yang memiliki posisi ikatan rangkap pertama pada atom karbon nomor enam dari ujung gugus metilnya, sedangkan asam lemak ω-3 memiliki posisi ikatan rangkap pertama pada atom karbon nomor tiga dari ujung gugus metil. Minyak ikan merupakan sumber asam lemak ω-3 rantai panjang dan sangat rentan terhadap oksidasi. Salah satu metode untuk melindungi minyak ikan adalah dengan mikroenkapsulasi.

Mikroenkapsulasi

Mikroenkapsulasi adalah suatu proses yang mengubah komponen dalam bentuk cairan/minyak ke dalam bentuk padat, dimana droplet kecil dari minyak diperangkap oleh matrik kering dari protein atau karbohidrat (Shahidi dan Han 1993; Heinzelmann et al. 2000). Menurut Bakan (1994) mikroenkapsulasi adalah proses untuk memerangkap partikel padat, droplet cair atau gas ke dalam polimer pembungkus yang tipis. Partikel yang diperangkap disebut bahan inti, sedangkan bahan pengisinya disebut penyalut.

Tujuan dari proses mikroenkapsulasi secara umum atau alasan mengapa suatu bahan perlu dimikroenkapsulasi adalah untuk mengubah komponen dalam bentuk cairan menjadi partikel padat sehingga mempermudah dalam penanganan,

(4)

tujuan lainnya untuk memberi perlindungan terhadap bahan inti dari pengaruh lingkungan seperti cahaya, udara dan kelembaban (Shahidi dan Han 1993).

Tujuan proses mikroenkapsulasi pada minyak ikan adalah:

1. melindungi asam lemak ω-3 yang terdapat dalam minyak ikan dari oksidasi dan pengolahan yaitu dengan cara menekan atau memper-lambat oksidasi (Heinzelmann et al. 2000; Kolanowski 2004; Sun et al. 2005).

2. mengubah minyak ikan menjadi bentuk tepung sehingga daya simpan dapat ditingkatkan dengan menghindari kontak antara minyak ikan dan udara (Keogh et al. 2001).

3. menutupi aroma amis dari minyak ikan (Reddy 1998; Keogh et al. 2001; Subramanian dan Stagnitti 2004)

4. meningkatkan stabilitas dan daya simpan (Andersen 1995; Keogh et al. 2001).

Andersen (1995) menyatakan bahwa penggunaan mikroenkapsulasi dapat meningkatkan daya simpan asam lemak ω-3 lebih dari dua tahun dimana bilangan peroksida setelah penyimpanan selama dua tahun tidak melebihi 8.2 meq/kg dan kandungan EPA dan DHA tidak mengalami penurunan. Selanjutnya menurut Keogh et al. (2001) dengan proses mikroenkapsulasi bau amis dari minyak ikan dapat dikurangi dan mikrokapsul minyak ikan dapat disimpan selama 31 minggu (lebih kurang 7.5 bulan) pada suhu 40C.

Beberapa bahan penyalut dan teknik pengeringan telah digunakan dalam mikroenkapsulasi minyak ikan. Bahan penyalut yang umum digunakan di antaranya gum arab dan gelatin (Permadi 1999; Sustriawan 2002), golongan dekstrin (Sun et al. 2005; Kagami et al. 2003), isolat protein kedele dan corn

syrup solid (Afeli 1998; Lianawati 1998) dan protein susu (Keogh et al. 2001;

Heinzelmann et al. 2000). Teknik pengeringan yang digunakan adalah dengan pengering semprot (Afeli 1998; Permadi 1999; Sustriawan 2002; Keogh et al. 2001; Kagami et al. 2003; Kolanowski et al. 2004) dan dengan pengering beku (Heinzelmann et al. 2000ab).

Menurut Deasy (1987) keberhasilan suatu proses mikroenkapsulasi dan sifat mikrokapsul yang dihasilkan dipengaruhi oleh parameter-parameter penting di

(5)

antaranya: (1) bentuk bahan inti yang disalut (padat, cair atau gas), (2) sifat fisikokimia (solubilitas, hidrofobik atau hidrofilik), (3) stabilitas terhadap suhu dan pH, (4) jenis bahan penyalut yang digunakan, (5) medium mikroenkapsulasi yang digunakan (pelarut air atau bukan air), (6) prinsip proses mikroenkapsulasi (cara fisik atau kimia) dan (7) ukuran mikrokapsul yang diinginkan.

Komponen mikroenkapsulasi terdiri atas bahan inti dan bahan penyalut. Bahan inti adalah bahan yang diperangkap dalam proses mikroenkapsulasi. Bahan-bahan yang dapat dijadikan mikroenkapsulasi dapat dibagi ke dalam lima kategori di antaranya: flavor, vitamin dan mineral, herbal dan bioaktif (seperti kreatin dan bakteri probiotik), bahan makanan lain seperti enzim dan yeast serta minyak dan lemak (termasuk asam lemak ω-3 dan ω-6).

Bentuk bahan inti yang disalut untuk bidang pertanian lebih banyak bentuk cair dengan tujuan untuk mendapatkan hasil dalam bentuk tepung. Menurut Fang

et al. (2003) proses mikroenkapsulasi bahan berbentuk cair menjadi bentuk padat

terdiri atas dua tahap yakni: 1). melibatkan emulsifikasi dari lemak dengan larutan cair dari bahan penyalut untuk menghasilkan emulsi minyak dalam air dan ke 2) melibatkan dehidrasi yang cepat dari emulsi.

Menurut Thies (1996) faktor yang mempengaruhi jumlah minyak terkapsul adalah bahan penyalut, bahan pengemulsi dan kondisi operasi pengeringan. Untuk mengetahui persentase jumlah minyak yang terkapsul dapat dilakukan dengan penentuan efisiensi enkapsulasi. Menurut Kelly dan Keogh (2000) efisiensi enkapsulasi adalah tingkat kemampuan bahan penyalut untuk memerangkap mikropartikel atau bahan inti dari kerusakan selama proses pengeringan. Semakin tinggi efisiensi enkapsulasi berarti semakin banyak minyak yang terlindungi dari panasnya pengeringan dan oksidasi.

Bahan Penyalut

Bahan penyalut merupakan bahan yang dapat memerangkap bahan inti dalam proses mikroenkapsulasi. Tujuan penambahan bahan penyalut dalam proses mikroenkapsulasi menurut Bakan (1994) adalah: mempertahankan dan melindungi komponen aktif bahan inti terhadap perlakuan panas selama proses pengeringan, membentuk matrik yang melindungi komponen aktif bahan inti, mempermudah atau mempercepat proses pengeringan, memperbaiki sifat

(6)

fisikokimia dan fungsionil dari tepung yang dihasilkan serta meningkatkan jumlah total padatan.

Menurut Bakan (1994) persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu bahan untuk dijadikan bahan penyalut dalam proses mikroenkapsulasi di antaranya adalah: dapat memberikan lapisan tipis yang bersifat kohesif dengan bahan inti, dapat bercampur secara kimia dengan bahan inti tetapi tidak dapat bereaksi karena reaksi dapat mengakibatkan perubahan atau kerusakan bahan inti, mampu memerangkap bahan inti serta dapat membentuk dan menstabilkan emulsi. Selanjutnya menurut McNamee (2001) bahan penyalut harus mempunyai sifat-sifat pembentuk film dan aktif permukaan serta karena bahan penyalut berfungsi untuk membentuk matrik kering sekitar droplet minyak maka bahan penyalut harus dapat berikatan dengan bahan inti dan mencegah kontak dengan udara. Pengaruh imbangan antara bahan inti dan bahan penyalut serta total padatan dalam emulsi

Imbangan antara bahan inti dan bahan penyalut dalam mikroenkapsulasi serta total kandungan padatan dalam emulsi dapat mempengaruhi mikrokapsul yang dihasilkan. Total kandungan padatan dalam emulsi merupakan imbangan antara bahan padatan yaitu bahan penyalut dan bahan inti dengan pelarut (air).

Jenis bahan inti dan bahan penyalut serta komposisi campuran kandungan bahan penyalut yang digunakan dapat mempengaruhi hasil mikroenkapsulasi. Jumlah bahan penyalut yang digunakan lebih banyak daripada minyak karena fungsinya untuk memerangkap bahan inti. Jika bahan penyalut terlalu banyak menyebabkan campuran bahan penyalut dan minyak kental sehingga sulit untuk dikeringkan.

Imbangan minyak dengan bahan penyalut yang umum dilakukan peneliti sebelumnya adalah 1 : 2, 1 : 4 dan 1 : 6 (Permadi 1999; Heinzelmann et al. 2000; McNamee et al. 2001; Keogh et al. 2001; Sun et al. 2005; Jimenez et al. 2004). Sedangkan total padatan dalam emulsi yang telah dilakukan peneliti sebelumnya adalah 15, 30 dan 45% (Kim dan Morr 1996; Permadi 1999; McNamee et al. 2001; Keogh et al. 2001; Jimenez et al. 2004; Heinzelmann et al. 2000). Perkembangan penelitian mikroenkapsulasi dengan imbangan bahan inti dan bahan penyalut serta total padatan dalam emulsi dapat dilihat pada Tabel 3.

(7)

Tabel 3 Perkembangan hasil penelitian mikroenkapsulasi dengan imbangan bahan inti dan bahan penyalut serta total padatan dalam emulsi

Peneliti Bahan inti (I) Bahan penyalut (P) Imbangan I : P Total padatan(%) Hasil penelitian Keogh et al. 2001 Minyak ikan SK, PK, SM

1 : 2 30 –34.5 Mikrokapsul dapat menurun-kan bau amis dan meningkat-kan daya simpan sampai 31 minggu. Heinzel-man et al. 2000 Minyak ikan SK, laktosa

1 : 2 43 Tidak ada hubungan antara efisiensi enkapsulasi dan stabilitas penyimpanan. Lin et al. 1995 Minyak cumi-cumi MD, G, SK 1 : 2 1 : 3

- Minyak terkapsul dan efisi-ensi enkapsulasi lebih tinggi pada imbangan 1 : 3 daripada 1 : 2. Sun et al. 2005 Minyak ikan BS, WPI 1 : 2,1: 4 1 : 6

- Efisiensi enkapsulasi lebih tinggi pada imbangan 1: 6. Permadi 1999 Minyak ikan lemuru GA, G 1 : 2 1 : 4 12.5 dan 15

Efisiensi enkapsulasi lebih tinggi pada imbangan 1 : 4. Ariati 1998 Konsentrat asam lemak -3 GA, IPK 1 : 4 1 : 8

10 Kadar minyak terkapsul lebih tinggi pada imbangan 1 : 4 dibandingkan 1 : 8. Pedroza-Islas et al. 1999 Pakan udang GA, MD 1 : 2 1 : 3

25 Ukuran partikel mikrokapsul lebih besar pada imbangan 1 : 3. Jimenez et al. 2004 Asam linoleat konjungasi WPK 1 : 4 30 Efisiensi enkapsulasi 89.6%, minyak tidak terkapsul 1.77%. Kim&Morr 1996 Minyak jeruk GA, IPK, WPI, SK 1 : 2 30 Efisiensi enkapsulasi 73 – 86%, kadar air 4 –5%. McNamee et al. 1998 Minyak kedele GA 1 : 4 s/d 5 : 1

10 Efisiensi enkapsulasi menu-run dengan meningkatnya imbangan minyak dan penyalut .

McNamee

et al. 2001

Minyak kedele

GA, MD 1 : 2 15 - 45 Efisiensi enkapsulasi me-ningkat dengan mening-katnya total padatan dari emulsi. Hogan et al. 2001a, 2001b Minyak kedele SK/WPK 1 : 4 s/d 3 : 1

12.5 - 40 Efisiensi enkapsulasi menu-run dengan meningkatnya imbangan minyak dan penyalut.

Keterangan : GA : gum arab, IPK : isolat protein kedele, MD : maltodekstrin, SK : sodium kaseinat, PK : potasium kaseinat, SM : skim milk, WPI : whey protein isolat, WPK : Whey protein konsentrat, BS : βsiklodekstrin, G : gelatin.

(8)

Imbangan kandungan karbohidrat dan protein yang digunakan dalam bahan penyalut

Bahan penyalut yang umum digunakan untuk mengubah minyak menjadi partikel-partikel padat adalah bahan yang mengandung karbohidrat ataupun protein. Bahan yang mengandung karbohidrat di antaranya dekstrin, malto-dekstrin, corn syrup solid dan gum arab. Bahan yang mengandung protein adalah gelatin, kasein, isolat protein kedele dan whey protein isolat. Bahan-bahan tersebut dapat digunakan sendiri-sendiri maupun dalam bentuk kombinasinya.

Bentuk kombinasi antara kandungan karbohidrat dan protein lebih meng-untungkan dalam proses mikroenkapsulasi karena dapat meningkatkan stabilitas minyak terhadap kerusakan oksidatif (Ono dan Aoyama 1979), dinding mikrokapsul dapat menghasilkan produk yang mudah direhidrasi (Lin et al. 1995) serta lebih efektif dan memiliki sifat fungsional yang lebih unggul daripada hanya menggunakan karbohidrat (Young et al. 1993). Stabilitas minyak terhadap kerusakan oksidatif dapat dilakukan dengan uji bilangan peroksida, uji TBA (thiobarbituric acid) dan uji total oksidasi.

Dalam proses mikroenkapsulasi kandungan protein dan karbohidrat dari bahan penyalut berperan dalam emulsi minyak dan air. Pada emulsi minyak dan air, protein berfungsi sebagai penstabil primer dimana lapisan protein diadsorpsi disekeliling butiran minyak, di samping itu juga berfungsi sebagai pengemulsi dan agen pembentuk film (lapisan), sedangkan karbohidrat hanya sebagai penstabil sekunder dengan berfungsi sebagai pengental atau kerangka pada fase larutan (Dickinson dan Clements 1996) selain itu karbohidrat juga berfungsi sebagai bahan pembentuk matrik dan dapat meningkatkan stabilitas minyak (Sheu dan Rosenberg 1995).

Karbohidrat tidak mempunyai sifat-sifat emulsifikasi sehingga tidak dapat digunakan sebagai bahan penyalut jika bahan penyalut yang bersifat aktif permukaan tidak tersedia (Bangs dan Reineccius 1988). Penggunaan karbohidrat sebagai bahan penyalut dapat meningkatkan sifat-sifat pengeringan dan pembentukan lapisan kulit kering di sekitar droplet (Reineccius 1988; Sheu dan Rosenberg 1995).

Bahan penyalut harus mempunyai sifat-sifat emulsifying yang baik untuk menciptakan emulsi yang stabil dengan droplet kecil (Risch dan Reineccius

(9)

1988), kekentalan rendah pada konsentrasi tinggi, dan sifat-sifat pembentuk film dan pengeringan yang baik (Reineccius 1988). Perkembangan hasil-hasil penelitian mikroenkapsulasi dengan imbangan kandungan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Perkembangan hasil penelitian mikroenkapsulasi dengan imbangan kandungan karbohidrat dan protein optimal dalam bahan penyalut

Jenis bahan penyalut Peneliti Bahan inti Karbohidrat

(KH) Protein (P) Imbangan KH : P optimal Sustriawan 2002 Minyak ikan tuna

Gum arab Gelatin 1 : 1

Afeli 1998 Minyak ikan tuna

Corn syrup solid

Isolat protein kedele dan potasium kaseinat

1 : 2 Ariati 1998 Konsentrat asam

lemak-3

Gum arab Isolat protein kedele 1 : 3 Mustikawati

1998

Konsentrat asam lemak-3

Gum arab Isolat protein kedele 1 : 1 Sun et al.

2005

Minyak ikan β-siklodekstrin Whey protein isolat 2 : 1 Permadi

1999

Minyak ikan lemuru

Gum arab Gelatin 3 : 1

Lin et al. 1995

Minyak cumi-cumi

Maltodekstrin Gelatin dan sodium kaseinat

2 : 1 Kristiani

1997

Minyak kapang Maltodekstrin dan dekstrosa

Kaseinat dan isolat protein kedele 1 : 1 Lianawati 1998 Minyak ikan tuna β - siklodekstrin dan corn syrup

solid

Isolat protein kedele dan potasium kaseinat

1 : 2

Kandungan karbohidrat dan protein dalam bahan penyalut dapat mempengaruhi gambaran morfologi permukaan luar mikrokapsul. Gambaran morfologi permukaan luar dari mikrokapsul yang dihasilkan dapat dilakukan dengan SEM (scanning electron microscope). Mikrokapsul yang diperoleh dengan menggunakan bahan penyalut banyak mengandung karbohidrat maka hasil morfologi dengan SEM akan terlihat banyak lekukan atau lipatan pada permukaan (Rosenberg et al. 1985; Pedroza-Islas 1999; McNamee et al. 1998). Mikrokapsul yang diperoleh dengan bahan penyalut banyak mengandung protein tidak terbentuk lekukan pada permukaan tetapi terjadi penggumpalan (Hogan et al.

(10)

2001a; Kim dan Morr 1996). Kombinasi penggunaan protein dan karbohidrat sebagai bahan penyalut dapat mengurangi penggumpalan dan lekukan pada permukaan (Sheu dan Rosenberg 1995; Lin et al. 1995).

Bahan Pakan sebagai Bahan Penyalut

Produk dari proses mikroenkapsulasi berupa mikrokapsul lebih banyak dimanfaatkan untuk produk pangan dan hasilnya dikonsumsi oleh manusia. Bahan-bahan yang digunakan dalam proses mikroenkapsulasi tersebut baik bahan inti ataupun bahan penyalut haruslah bahan yang bersih, sehat dan dapat dikonsumsi. Bahan penyalut yang digunakan merupakan bahan murni yang mengandung satu macam zat makanan dan bahan tersebut harganya mahal.

Pemanfaatan mikrokapsul dalam ransum ternak dapat dilakukan dengan memperhatikan biaya penggunaan bahan penyalut. Bahan penyalut yang berharga tinggi bisa diganti dengan bahan penyalut alternatif yang berasal dari bahan pakan. Bahan-bahan tersebut harganya murah, banyak tersedia di lapangan dan dapat dikonsumsi ternak dengan baik karena sudah biasa digunakan sebagai bahan pakan. Bahan-bahan yang mempunyai kandungan protein dan karbohidrat dapat dipilih untuk digunakan sebagai bahan penyalut. Bahan pakan yang akan dise-leksi untuk digunakan sebagai bahan penyalut alternatif adalah: dedak gandum, dedak padi, jagung giling, bungkil kedele, corn gluten meal serta tepung daging dan tulang.

a. Dedak gandum

Penggunaan dedak gandum sebagai bahan penyalut dalam mikroenkapsulasi belum ada laporan. Dedak gandum dipilih sebagai bahan penyalut alternatif karena mengandung polisakarida yang larut dalam air. Menurut Minemoto et al. (1997) polisakarida larut dalam air dapat menjadi bahan penyalut yang baik untuk mikroenkapsulasi. Bahan penyalut yang dapat digunakan untuk mengubah minyak menjadi partikel-partikel padat adalah bahan penyalut larut air baik satu jenis maupun kombinasinya.

Polisakarida larut air yang terdapat pada dedak gandum adalah pentosan (arabinoxylan). MenurutD’Appolopniaet al. (1971) pentosan merupakan

polisa-karida non pati yang larut dalam air, sedangkan hemiselulosa merupakan polisakarida non pati yang tidak larut dalam air. Struktur penyusun pentosan

(11)

(arabinoxylan) terdiri atas dua pentosa yaitu arabinosa dan xilosa, struktur molekulnya terdiri atas 1,4 β xylan(Choct 1997). Sifat penting dari pentosan adalah kemampuannya untuk menyebar dalam air dan membentuk larutan kental. Sifat tersebut disebabkan oleh besarnya jumlah polimer bercabang (Pomeranz 1991).

Kandungan pentosan pada dedak gandum lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pakan lain seperti jagung giling dan dedak padi. Kandungan pentosan pada dedak gandum bervariasi dengan kisaran sebesar 18 - 22.5% (Hashimoto et al. 1987; Pomeranz 1991; Choct 1997), sedangkan pada jagung kandungan pento-sannya 4% (Steiner 1968 disitasi dari Pomeranz 1991) serta pada dedak padi kandungan pentosannya 8.59 –10.9% (Hashimoto et al. 1987).

Kandungan polisakarida bukan pati (Non Starch Polysacharide) pada jagung lebih kecil dibandingkan dengan bungkil kedele, dedak padi, dan dedak gandum. Kandungan polisakarida bukan pati yang larut dalam air yaitu arabinoxylan (pentosan) pada jagung juga lebih rendah dibandingkan dengan dedak gandum dan dedak padi. Kandungan polisakarida bukan pati dari jagung, dedak gandum, dedak padi dan kedele dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis dan level dari non starch polysacharide dalam beberapa bahan pakan

Bahan pakan Arabino xylan

β-glucan Selulosa Manosa Galaktosa Asam uronat Total NSP Jagung 5.2 - 2.0 0.2 0.6 - 7.9 Dedak padi 8.5 - 11.2 0.4 1.2 0.4 21.7 Dedak gandum 21.9 0.4 10.7 0.4 0.8 1.1 35.3 Kedele 4.9 - 4.4 0.9 4.5 3.6 19.2

Sumber : Choct et al. (1997)

Kandungan karbohidrat (serat kasar + BETN) pada dedak gandum lebih tinggi daripada dedak padi. Kandungan karbohidrat pada dedak gandum sebesar 75,8%, sedangkan pada dedak padi sebesar 59,4% (Tillman 1991). Komposisi kimia dedak gandum menurut Pooemernz (1991) adalah protein sebesar 16.5%, lemak 4.5%, karbohidrat 72.5% dan abu 6.5%.

(12)

b. Dedak padi

Penggunaan dedak padi sebagai bahan penyalut dalam mikroenkapsulasi belum ada laporan. Dedak padi dipilih sebagai bahan penyalut alternatif karena dedak padi dapat menyerap lemak dan air, kemampuan menyerap lemak atau minyak sekitar 1.5 x dari berat dedak dan kemampuan menyerap air sekitar 2x dari berat dedak (Giles 1965 dan Susulshi 1962 disitasi dari Pomeranz 1991). Kemampuan menyerap air tersebut lebih rendah dibandingkan dengan dedak gandum dimana menurut Choct (1997) dedak gandum mampu menyerap air lebih 10x dari beratnya.

c. Jagung giling

Jagung dipilih sebagai bahan penyalut alternatif karena dapat memberikan sumbangan sebagai karbohidrat dalam enkapsulasi. Jagung yang telah diproses lebih lanjut ke dalam bentuk dekstrin, maltodesktrin ataupun Corn syrup solid telah banyak digunakan sebagai bahan penyalut dalam mikroenkapsulasi di bidang pangan (Bangs dan Reineccius 1988; Afeli 1998; Lianawati 1998; Kenyon 1992). Penggunaan jagung yang telah diproses tersebut membutuhkan biaya yang lebih besar sehingga tidak dapat digunakan sebagai bahan penyalut dalam proses mikroenkapsulasi untuk bidang pakan. Jagung yang digunakan sebagai bahan penyalut pada enkapsulasi dalam pakan digunakan jagung giling yang biasa diberikan dalam ransum ternak yang harganya lebih murah.

d. Bungkil kedele

Bungkil kedele merupakan hasil ikutan atau bahan yang tersisa setelah kedele diolah dan minyaknya dipisahkan. Bungkil kedele mengandung protein dan karbohidrat dalam proporsi yang hampir sama. Protein pada bungkil kedele defisiensi asam amino metionin dan sistein tetapi memiliki kandungan lisin dan triptopan yang tinggi, sedangkan karbohidrat dalam bungkil kedele sebesar 40% dari berat kering (Potter dan Potchanakorn 1984). Interaksi dengan komponen bahan pakan lain dapat meningkatkan nilai guna bungkil kedele sebagai bahan penyalut dalam mikroenkapsulasi dan sebagai bahan pakan.

Bungkil kedele dipilih sebagai bahan penyalut alternatif karena kandungan protein yang ada dalam kedele tersebut melalui proses lebih lanjut dapat dijadikan isolat protein kedele. Isolat protein kedele dapat digunakan sebagai bahan

(13)

penyalut dalam mikroenkapsulasi (Kim dan Morr 1996; Afeli 1998; Ariati 1998; Kristiani 1997; Lianawati 1998).

Salah satu alasan utama untuk membuat isolat/konsentrat protein dari kedele adalah untuk menurunkan atau menghilangkan flavor kedele yang tak diingini. Flavor kedele yang tidak menyenangkan tersebut dikenal dengan beany. Isolat protein kedele tersebut dapat digunakan sebagai bahan penyalut terutama untuk produk mikroenkapsulasi yang aplikasinya untuk di konsumsi manusia.

Selain sebagai sumber protein, bungkil kedele juga mengandung berbagai jenis karbohidrat. Potter dan Potchanakorn (1984) menyatakan bahwa bungkil kedele mengandung oligosakarida (sukrosa, stakiosa dan rafinosa) maupun polisakarida (pektin, arabinogalaktan dan selulosa). Kandungan oligosakarida dan polisakarida masing-masing sebesar 15 dan 16.5%. Fraksi oligosakarida meru-pakan komponen karbohidrat yang lebih mudah dicerna dari keseluruhan karbo-hidrat yang terkandung dalam bungkil kedele.

e. Corn gluten meal

Corn gluten meal merupakan hasil samping dari industri pengolahan sirup

jagung dan pati jagung, kandungan proteinnya tinggi yaitu sekitar 60% akan tetapi defisiensi asam amino lysin. Corn gluten meal juga tinggi pigmen xanthophyl yaitu sekitar 300 mg/kg (Leeson dan Summer 2001). Menurut NRC (1994) corn

gluten meal mengandung 3720 ME (kcal/kg), 62% protein kasar, 2,5% lemak,

1,3% serat kasar dan 0,5 % posfor.

Corn gluten meal dipilih sebagai bahan penyalut alternatif karena

mengandung protein yang tinggi yaitu 62% dan juga mengandung gluten. Gluten merupakan protein yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyalut dalam mikroenkapsulasi (Jackson dan Lee 1991).

f. Tepung daging dan tulang

Tepung daging dan tulang dipilih sebagai bahan penyalut alternatif karena merupakan sumber utama dari gelatin. Menurut Foegeding et al. (1996) pema-nasan tepung daging dan tulang akan menghasilkan gelatin. Gelatin telah umum digunakan sebagai bahan penyalut dalam mikroenkapsulasi (Lin et al. 1995).

Miles dan Jacob (1998) menyatakan tepung daging dan tulang merupakan bahan pakan yang dihasilkan dengan memanfaatkan kembali limbah hewan

(14)

seperti: potongan daging, organ-organ dan bahagian yang tidak dimakan, tulang, janin dan karkas yang diafkir, sedangkan darah, kulit, tanduk, kuku, manur, isi lambung dan potongan kulit tidak dibolehkan untuk ditambahkan. Menurut Leeson dan Summer (2001) sebanyak 200 kg tepung daging dan tulang dapat dihasilkan dari 1 ton karkas atau sebesar 20% dari berat karkas akan dihasilkan tepung daging dan tulang.

Komposisi nutrisi dari tepung daging dan tulang adalah protein kasar 50%, energi metabolisme 2500 kcal/kg, lemak kasar 6%, serat kasar 2,5%, kalsium 8 %, posfor 4% dan asam linoleat 0,6% (Leeson dan Summer 2001). Kandungan lemak tinggi sehingga tidak dapat disimpan lama (Miles dan Jacob 1998).

Kandungan asam amino pada tepung daging dan tulang adalah sebagai berikut: glisin (6.5%), treonin (1.62%), sistin (0.4%), tirosin (1.10%), valin (2.34%), fenilalanin (1.70%), triptopan (0.5%), dan metionin (0.77%). Glisin, treonin, sistin dan tirosin tergolong asam amino polar yang bersifat hidrofilik dan larut dalam air. Kandungan glisin pada tepung daging dan tulang lebih dominan, jumlahnya sekitar 6.5% dari keseluruhan asam amino dan lebih tinggi diban-dingkan dengan tepung ikan, tepung bulu ayam dan tepung darah serta dengan protein nabati.

Kandungan asam amino bersifat polar seperti glisin dan arginin lebih banyak pada gelatin dibandingkan dengan tepung daging dan tulang. Dengan demikian gelatin lebih baik dibandingkan dengan tepung daging dan tulang, tetapi dari segi harga tepung daging dan tulang lebih murah sehingga dapat digunakan sebagai bahan penyalut dalam mikroenkapsulasi untuk aplikasi pada ternak. Kekurangan dari tepung daging dan tulang dibandingkan dengan gelatin adalah terbatas penggunaannya sebagai bahan penyalut. Tepung daging dan tulang hanya dapat digunakan sebagai bahan penyalut untuk mikroenkapsulasi pakan ternak.

Teknik Pengeringan

Banyak terdapat teknik pengeringan yang digunakan dalam proses mikroenkapsulasi. Teknik pengeringan tersebut di antaranya: koaservasi (pemisahan fase dalam sistem koloid), pengering beku, pengering semprot dan pengering drum. Teknik-teknik tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan tergantung tujuan dan hasil akhir yang ingin dicapai. Pemilihan teknik didasarkan

(15)

pada sifat fisik dan kimia bahan inti, sensitifitas bahan inti, ukuran mikrokapsul, mekanisme pelepasan, aplikasi dalam makanan dan faktor ekonomi (Risch 1995). a. Pengering semprot

Pengering semprot merupakan teknik pengeringan yang paling umum digunakan dalam proses mikroenkapsulasi. Proses yang terjadi pada pengeringan semprot meliputi penyemprotan bahan melalui atomizer, kontak antara bahan dan udara pengering, evaporasi dan pemisahan partikel kering (Masters 1985). Atomisasi akan menghasilkan droplet yang berukuran kecil, sehingga luas permu-kaan menjadi besar yang mengakibatkan proses penguapan akan lebih cepat. Kontak bahan dengan udara pengering menyebabkan terjadinya evaporasi. Terjadi transfer panas dari udara pengering ke droplet, sehingga air yang terdapat di dalam droplet akan menguap. Partikel kering yang diperoleh selanjutnya dipi-sahkan dari udara dan dikumpulkan.

Keuntungan menggunakan pengering semprot adalah menghasilkan produk yang kondisinya seragam, produk menjadi kering tanpa bersentuhan dengan permukaan logam panas, biaya pengeringan 30 sampai 50 kali lebih rendah daripada pengering beku dan dapat dimanfaatkan untuk mengkapsulkan minyak atau sumber asam lemak ω-3 (Wanasundara dan Sahidi 1995). Sebagai bahan yang sensitif terhadap panas, asam lemak ω-3 sangat efektif dikapsulkan dengan metode ini. Hal ini disebabkan waktu kontak antara udara pengering dan droplet yang disemprotkan ke dalam ruang pengering terjadi dalam waktu yang singkat, sehingga kemungkinan terjadinya degradasi karena panas dapat diminimumkan. b. Pengering drum

Salah satu metode pengeringan yang ekonomis adalah pengering drum. Dalam operasi pengeringan tersebut bahan berbentuk bubur atau cairan dituangkan di atas permukaan drum, dan drum berputar untuk membentuk suatu permukaan tipis pada permukaan (Anonim 2003). Selanjutnya produk yang kering dilepaskan dari permukaan drum dengan menggunakan pisau pengeruk. Lapisan kering berupa lipatan-lipatan tersebut digiling menjadi suatu bubuk yang halus.

Bahan-bahan yang sensitif terhadap panas dapat dikeringkan dengan baik karena kontak dengan permukaan drum bertemperatur tinggi berlangsung hanya

(16)

beberapa detik (Moore 1995). Pengering drum juga dapat digunakan untuk mengeringkan bahan yang sensitif terhadap oksidasi. Desobry et al. (1997) telah berhasil menggunakan pengering drum dalam enkapsulasi β-carotene. Sama halnya dengan minyak ikan, β- carotene merupakan zat yang sensitif terhadap

oksidasi selama penyimpanan.

Faktor yang mempengaruhi tingkat pengeringan adalah: 1). lamanya bahan berada dalam drum, 2) temperatur permukaan dan 3) ketebalan film. Pengeringan hanya dapat dilakukan pada bahan dalam bentuk bubur dan produk harus mampu bertahan pada suhu tinggi dalam waktu singkat tanpa mengalami perubahan kualitas (Anonim 2003).

Keuntungan penggunaan alat pengering drum adalah kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis serta biaya pengeringan lebih murah. Kelemahannya hanya dapat digunakan pada bahan yang berbentuk pasta atau bubur yang tahan terhadap suhu tinggi dalam waktu singkat (Brennan et al. 1990). Selanjutnya menurut Moore (1995) salah satu syarat untuk proses pengeringan dengan alat pengering semprot maupun pengering drum adalah bahan tersebut dalam bentuk cairan pekat.

Aplikasi Mikroenkapsulasi dalam Bidang Pakan

Aplikasi mikroenkapsulasi mempunyai cakupan yang luas di antaranya dalam bidang bioteknologi, biomedis, farmasi, teknologi pangan, pertanian, pakan ikan dan pakan ternak (Bain 1998; Wong 1998). Penggunaan produk mikroenkapsulasi untuk ransum ternak belum banyak digunakan dan juga sangat sedikit data penelitian yang menyinggung hal tersebut. Beberapa data perkembangan penggunaan mikroenkapsulasi dalam industri peternakan dapat dilihat pada Tabel 6.

Teknik mikroenkapsulasi yang digunakan dalam industri pakan sama dengan dalam industri pangan. Teknik-teknik tersebut digunakan untuk meng-hasilkan mikrokapsul zat makanan dengan mencegahnya dari degradasi selama pengolahan, penanganan dan pencampuran dalam ransum. Produk mikroenkap-sulasi dapat digunakan sebagai feed supplement dalam industri peternakan dan perikanan (Langdon et al. 1985).

(17)

Tabel 6 Perkembangan hasil penelitian mikroenkapsulasi dalam bidang pakan

No Sumber Hasil

1 Bain 1998 Mikroenkapsulasi asam amino lisin dengan menggunakan bahan penyalut dari khitin dan diaplikasikan untuk pakan udang dewasa.

2 Wong 1998 Mikroenkapsulasi asam amino lisin dengan menggunakan bahan penyalut dari dekstrin, pati jagung,β-siklodekstrin untuk pakan udang dewasa. 3 Pedroza-Islas et

al. 1999

Mikroenkapsulasi bahan pakan udang dengan bahan penyalut gum arab, maltodekstrin dan mesquite gum. 4 Van-Immerseel

et al. 2004

Pemberian mikrokapsul asam lemak rantai pendek (asam butirat) sebagai feed aditif dalam ransum anak ayam untuk mengontrol bakteri patologi Salmonella

enteritidis.

5 Putnam et al. 2003

Perkembangan teknologi mikroenkapsulasi memberikan petunjuk yang berharga bagi nutrisionis ruminansia untuk menghasilkan nutrien tertentu ke lokasi penyerapan dalam usus halus.

6 Xing et al. 2004 Pemberian lemak yang dienkapsulasi ke dalam ransum berbentuk tepung atau pelet untuk babi pertumbuhan . 7 Emanuelle

2005

Teknologi mikroenkapsulasi potensial untuk menghasilkan nutrien yang dapat meningkatkan kesehatan ternak, reproduksi dan produksi susu .

Upaya Peningkatan Kandungan Asam Lemak ω-3 Kuning Telur dengan Penambahan SumberAsam Lemak ω-3 dalam Ransum Ayam Petelur

Kandungan asam lemak ω-3 pada telur dapat ditingkatkan dengan cara penambahan bahan pakan yang mengandung asam lemak ω-3 ke dalam ransum ayam petelur. Sumber asam lemak ω-3 yang biasa ditambahkan di antaranya

flaxseed, canola, biji chia, ganggang laut dan minyak ikan. Sumber asam lemak

ω-3 yang berasaldaritanaman,kandungan asam lemak ω-3 banyak mengandung asam linolenat, sedangkan sumber asam lemak ω-3 dari produk laut seperti minyak ikan dan ganggang,kandungan asam lemak ω-3 yang mengandung EPA dan DHA lebih tinggi.

Pemberian sumber asam lemak ω-3 dalam ransum ayam petelur tidak dibatasi umur produksi dan lama pemberian. Pemberian dapat dilakukan sebelum dan setelah mencapai puncak produksi serta lama pemberian dapat dilakukan 4 minggu atau lebih 24 minggu. Perkembangan penelitian pemberian sumber asam

(18)

lemak ω-3 dalam ransum ayam petelur berdasarkan umur ayam dan lama pemberian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Perkembangan hasil penelitian pemberian sumberasam lemak ω-3 dalam ransum ayam petelur berdasarkan umur ayam dan lama pemberian

Peneliti Sumber asam lemak ω-3

Umur ayam (minggu)

Lama pemberian (minggu)

Hargis et al. 1991 Minyak ikan 36 18

Van Elswyk et al. 1992 Minyak ikan 40 9

Van Elswyk et al. 1994 Minyak ikan 22 24

Van Elswyk et al. 1995 Minyak ikan 36 4

Herber dan Van Elswyk 1996

Minyak ikan dan ganggang laut

24 56

4 4 Scheideler dan Froning

1996

Minyak ikan dan

flaxseed

43 7

Meluzzi et al. 2000 Minyak ikan 39 4

Baucells et al. 2000 Minyak ikan 20 14

Sudibya 1998 Minyak ikan 24 8

Rusmana 2000 Minyak ikan 16 10

Carrillo-Dominguez et

al. 2005

Crustacea laut 65 3

Schreiner et al. 2004 Seal blubber oil 26 9 Ayerza dan Coates

2000

Biji chia (Salvia

hispanica)

27 13

Gonzales dan Leeson 2000

Minyak ikan 19 36

Penambahan bahan makanan yang mengandung asam lemak ω-3 ke dalam ransum ayam petelur dapatmeningkatkan asam lemak ω-3 dalam kuning telur. Penambahan 3 - 4 % minyak ikan dalam ransum ayam petelur dapat mening-katkan asam lemak ω-3 kuning telur 4 - 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pemberian minyak ikan (Hargis et al. 1991; Van Elswyk et al. 1992, 1994, 1995; Baucells et al. 2000; Gonzalez dan Leeson 2000). Penambahan 4.8% ganggang lautmenyebabkan totalasam lemak ω-3 dalam kuning telur meningkat sebesar 5 kali (Herber dan Van Elswyik 1996). Pemberian 8% flaxseed menyebabkan kandungan asam lemak ω-3 terutama asam linolenat meningkat 5 kali (Cherian dan Sim 1991).

Penambahan bahan makanan yang mengandung asam lemak ω-3 tersebut lebih banyak mempengaruhiasam lemak ω-3 dibandingkan dengan pengaruhnya terhadap asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh rangkap tunggal serta asam

(19)

lemak ω-6. Menurut Keshavarz (1999) komposisi asam lemak dalam kuning telur dipengaruhi oleh komposisi asam lemak dalam ransum, jika asam lemak dalam ransum banyak mengandung asam lemak jenuh atau asam lemak tidak jenuh rangkap tunggal maka dalam kuning telur ditemukan banyak asam lemak tersebut. Disamping itu penambahan sumber makanan yang banyak mengandung asam lemak ω-3 tersebut juga lebih banyak mempengaruhi kandungan asam lemak dalam kuning telur dibandingkan dengan pengaruhnya terhadap performa produksi (konsumsi ransum, produksi telur, berat telur, produksi massa telur dan konversi ransum) dan kualitas telur (nilai Haugh unit, indeks warna kuning telur dan berat kerabang telur). Beberapa hasil penelitian penambahan sumber asam lemak ω-3 dalam ransum ayam petelur dan pengaruhnya terhadap komposisi asam lemak dalam kuning telur, performa produksi dan kualitas telur dapat dilihat pada Tabel 8.

Kandungan asam lemak ω-3 pada kuning telur dengan penambahan produk laut seperti minyak ikan dan ganggang dalam ransum ayam petelur nyata lebih tinggikandungan EPA dan DHA.Penambahan sumberasam lemak ω-3 yang berasal dari tanaman seperti flaxseed dan minyak linseed, kandungan asam lemak ω-3 dalam kuning telur nyata lebih tinggi asam linolenat, sedangkan EPA dan DHA ditemukan dalam jumlah kecil (Caston dan Leeson 1990; Scheider dan Froning 1996; Baucells et al. 2000).

Kandungan EPA pada minyak ikan lebih tinggi daripada DHA. Pemberian minyak ikan dalam ransum menyebabkan kandungan EPA lebih tinggi daripada DHA akan tetapi pada kuning telur didapatkan sebaliknya, kandungan DHA lebih tinggi daripada EPA. Tingginya kandungan DHA dibandingkan dengan EPA disebabkan antara lain oleh: terjadinya desaturasi dan elongasi dari alpha linolenat menjadi DHA dalam organ hati, adanya perbedaan biokimia antara EPA dan DHA sehingga mempengaruhi inkorporasi mereka ke dalam kuning telur, lebih baiknya DHA daripada EPA untuk diinkorporasikan ke dalam membran, serta lebih kuatnya penyimpanan DHA daripada EPA dalam plasma ayam (Huang et al. 1990; British Nutrition Foundations 1994; Herber dan Van Elswyk 1996; Ayerza dan Coates 1999). Tingginya DHA dalam kuning telur juga ditemukan pada

(20)

penelitian pemberian ω-3 dalam ransum ayam petelur (Marshall et al. 1994; Baucells et al. 2000; Meluzzi et al. 2000; Gonzalez dan Leeson 2000).

Tabel 8 Perkembangan hasil penelitian pemberian sumberasam lemak ω-3 dalam ransum ayam petelurterhadap kandungan asam lemak ω-3 kuning telur dan performa ayam petelur

Peneliti Sumber asam lemak ω-3 Hasil penelitian Hargis et al. 1991 Minyak ikan menhaden (0 dan 3%)

Tidak mempengaruhi SAFA dan MUFA, asam lemak ω-3 meningkat 4 kali, imbangan ω-6 : ω-3 turun menjadi 3 : 1. Tidak mempengaruhi performa produksi. Van Elswyk et al. 1992 Minyak ikan menhaden (0 dan 3%)

Tidak mempengaruhi SAFA dan MUFA, asam lemak ω-3 meningkat 4.5 kali, imbangan ω-6 : ω-3 turun dari 18 menjadi 3. Tidak nyata mempengaruhi berat telur.

Van Elswyk et

al. 1994

Minyak ikan

menhaden (0 dan

3%)

Meningkatkan asam lemak ω-3 sebesar 4 kali dan menurunkan imbangan ω-6 :ω-3 dari 18 menjadi 3. Tidak mempengaruhi produksi telur. Van Elswyk et

al. 1995

Minyak ikan

men-haden (0, 0.5, 1.5,

dan 3%)

Kandungan asam lemak ω-3 pada pemberian 1.5 dan 3% tidak berbeda nyata dan meningkat 6 kali dibanding ransum kontrol.

Herber dan Van Elswyk 1996

Minyak ikan (1.5%) dan ganggang laut (2.4 dan 4.8%)

Tidak mempengaruhi SAFA dan MUFA, asam lemak ω-3 meningkat 3- 4 kali,imbangan ω-6 : ω-3 turun dari 18 menjadi 3. Tidak

mempengaruhi performa produksi. Sudibya 1998 Minyak ikan

lemuru

Tidak mempengaruhi SAFA dan MUFA. Konsumsi ransum, berat telur dan kualitas telur tidak beda nyata. Produksi dan konversi ransum berbeda nyata.

Gonzalez dan Leeson 2000

Minyak ikan

men-haden (2, 4 dan 6%)

Kandungan asam lemak ω-3 meningkat dengan meningkatnya pemberian minyak ikan.

Cherian dan Sim 1991

Flaxseed (8%) Asam linolenat meningkat 5 kali. Tidak mempengaruhi performa produksi.

Carilla-Dominguez et

al. 2005

Crustacea laut (6%)

Asam lemak ω-3 meningkat 4 kali. Imbangan asam lemak ω-6 :ω-3 turun dari 15 menjadi 5. Tidak mempengaruhi performa produksi. Schreiner et al.

2004

Seal blubber oil

(5%)

Tidak mempengaruhi SAFA dan MUFA, asam lemak ω-3 meningkat 1.5 kali. Tidak

mempengaruhi performa produksi.

Keterangan: SAFA : Saturated fatty acid (asam lemak jenuh),

MUFA : Monounsaturated fatty acid (asam lemak tidak jenuh rangkap tunggal)

Meningkatnya asam lemak ω-3 dalam kuning telur akibat pemberian sumber asam lemak ω-3 dalam ransum dapat mempengaruhi asam lemak ω-6 dan

(21)

imbangan antaraasam lemak ω-6 dan ω-3.Penambahan sumberasam lemak ω-3 dalam ransum dapat menurunkan imbangan ω-6 :ω-3 dalam kuning telur sampai 5 : 1. Imbangan asam lemak ω-6 : ω-3 sebesar 5 : 1 dalam kuning telur menghasilkan telur yang baik bagi kesehatan dan layak untuk dikonsumsi. Beberapa lembaga luar negeri yang menangani bidang pangan merekomendasikan imbangan ω-6 :ω-3 yang menyehatkan dan layak untuk dikonsumsi adalah 5 : 1 (Simopoulos 1989; Anonim 1990; British Nutrition Foundation 1992; Food and Agricultural Organization 1994).

Penambahan minyak ikan dalam ransum ayam petelur perlu diperhatikan karena dapat menimbulkan masalah. Masalah yang timbul dalam penggunaan minyak ikan untuk ayam petelur adalah tidak homogennya ransum serta bau amis baik pada ransum maupun pada telur setelah dimasak. Menurut Marshall et al. (1994) pemberian minyak ikan lebih dari 3% dalam ransum menjadikan telur yang dihasilkan berbau amis. Bau amis tersebut disebabkan oleh adanya senyawa volatil di dalam minyak ikan yang terserap dalam saluran pencernaan unggas (Van Elswyk et al. 1995; Karahadian dan Lindsay 1998). Proses perlakuan terhadap minyak dengan cara mikroenkapsulasi dapat mengurangi bau amis tersebut, karena salah satu tujuan dari proses mikroenkapsulasi tersebut adalah dapat mengurangi atau menutupi bau amis pada minyak ikan (Reddy 1998; Subramanian dan Stagnitti 2004).

Permasalahan lain dalam penggunaan minyak ikan adalah dalam transportasi, penyimpanan dan penanganannya sebelum dicampurkan ke dalam ransum ternak. Pengangkutan minyak ikan dalam bentuk cair membutuhkan wadah khusus (drum), sehingga membutuhkan biaya tambahan. Minyak ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang menyebabkan mudah teroksidasi sehingga menyulitkan dalam penyimpanan. Pencampuran minyak ikan lebih sulit karena terjadinya penggumpalan, sehingga ransum tidak homogen. Semua permasalahan tersebut dapat diatasi dengan penambahan mikrokapsul minyak ikan ke dalam ransum ayam petelur.

Keunggulan mikrokapsul minyak ikan di antaranya aroma amis kurang, daya simpan lebih tinggi serta produk tersebut dalam bentuk tepung, sehingga lebih mudah penanganan dan pencampurannya ke dalam ransum. Menurut Walter

(22)

(1990) enkapsulasi dari minyak memudahkan dalam penanganan dan pencampuran ke dalam ransum, sebaliknya jika minyak dalam bentuk cair digunakan dalam ransum maka diperlukan sistem khusus untuk menanganinya.

Penambahan mikrokapsul minyak ikan sebagai sumber asam lemak ω-3 dalam ransum ayam petelur sebagai alternatif dari penambahan minyak ikan merupakan suatu hal yang baru dan belum banyak dilaporkan oleh peneliti sebelumnya. Selama ini sumber asam lemak ω-3 yang biasa ditambahkan ke dalam ransum ayam petelurgunamenghasilkan teluryang kayaasam lemak ω-3 adalah minyak ikan, flaxseed, canola, biji chia dan ganggang laut. Pemberian sumberasam lemak ω-3 tersebut diharapkan dapat meningkatkan kandungan asam lemak ω-3 kuning telur.

Inkorporasi sumberasam lemak ω-3 dalam ransum sampai dalam kuning telur sehingga dapat meningkatkan EPA dan DHA pada kuning telur dapat dilihat pada gambar mekanisme absorbsi lemak (Gambar 1). Lemak dalam ransum mengandung trigliserida, kolesterol dan pospolipid. Trigliserida ada yang rantai pendek, menengah dan panjang. Minyak ikan banyak mengandung trigliserida rantai panjang (jumlah atom karbon lebih dari 14), setelah dicampurkan ke dalam ransum menyebabkan ransum juga banyak mengandung trigliserida rantai panjang.

Ransum yang mengandung trigliserida rantai panjang dengan adanya enzim lipase pankreas di dalam usus halus dicerna menjadi monogliserida dan asam-asam lemak rantai panjang (Gambar 1). Selanjutnya bersama dengan asam-asam lemak yang berasal dari pencernaan posfolipid dan kolesterol bergabung membentuk misel dan selanjutnya diabsorbsi ke dalam mukosa usus halus. Dalam mukosa usus halus asam lemak rantai panjang diesterifikasi kembali dengan gliserol membentuk trigliserida rantai panjang dan komponen-komponen lain. Selanjutnya bergabung dengan protein untuk membentuk kilomikron guna diangkut masuk ke dalam sistem limfa dan kemudian ke dalam sirkulasi darah dan akhirnya diteruskan ke hati. Di dalam hati asam lemak rantai panjang dibuat menjadi lebih panjang dan menjadi jenuh yaitu dengan cara mengubahnya menjadi asam lemak yang berbeda-beda, misalnya stearat (18:0) diubah menjadi oleat (18:1) dan asam linoleat (18:2) diubah menjadi arakidonat (20:4).

(23)

Gambar 1 Mekanisme absorbsi lemak (Piliang dan Djojosoebagio 2006).

Kolesterol kuning telur dibuat di hati, dibawa melalui darah dalam bentuk lipoprotein dan dideposisikan ke folikel kuning telur. Kandungan kolesterol tersebut ada hubungannya dengan kandungan asam lemak ransum. Jika asam lemak banyak mengandung SAFA maka dapat meningkatkan kolesterol, jika banyak mengandung MUFA maka tidak berpengaruh pada kolesterol, sedangkan jika banyak mengandung PUFA maka dapat menurunkan kolesterol (Piliang dan Djojosoebagio 2006).

Di dalam hati asam lemak disintesa melalui proses lipogenesis membentuk trigliserida baru. Bahan-bahan tersebut kemudian keluar dari hati dengan bantuan lipoprotein terutama dengan VLDL yang membawanya ke jaringan adiposa untuk

Bergabung dengan misel

TG rantai panjang Kolesterol Posfolipid

Proses emulsifikasi oleh empedu

Kilomikron hati Asam lemak + kolesterol lysolesitin Resintesis TG TG rantai pendek dan sedang Gliserol + asam lemak

Lipase pankreas Kolesterol esterase phospolipase

Bebas ester MG + asam lemak Koleste rol Kolesterol pospolipid Serum lipoprotein ovari

(24)

disimpan dan selanjutnya di bawa ke dalam ovari pada ayam petelur. Ovarium bertanggung jawab membentuk sel telur (ova). Terdapat sekitar 12.000 butir ova berukuran mikro tetapi hanya sekitar 200-300 butir yang mencapai matang dan diovulasikan. Ovarium menghasilkan hormon estrogen, progesteron dan testoteron yang berguna selama proses pembentukan ova. Ketersediaan nutrisi sangat mempengaruhi perkembangan ova dalam ovarium.

Ova yang matang dikeluarkan dari ovari (Gambar 2) masuk ke saluran sel telur (oviduct) dengan suatu proses yang dikenal sebagai ovulasi. Ketika telur matang, hormon progesteron yang diproduksi oleh indung telur, merangsang hipotalamus dan menyebabkan anterior pituitary mengeluarkan luteinizing

hormone (LH). Pembentukan putih telur terjadi di magnum dan dibantu oleh

hormon estrogen dan progesteron. Selaput kerabang dibentuk di isthmus dan kerabang telur di bentuk di uterus (Whittow 2000).

Gambar 2 Proses pembentukan telur (USDA 2000).

Kandungan telur ayam terdiri atas kuning telur sebesar 30%, albumin 60% dan kerabang 10%. Albumin mengandung 88% air, 11% protein dan 1% karbohidrat sedangkan kuning telur mengandung 48% air, 17% protein, 33%

(25)

lemak dan 1% karbohidrat. Lemak dalam kuning telur tersusun atas 63% trigliserida, 30% pospolipid dan 5% kolesterol. Kandungan Asam lemak utama dalam trigliseridapadatelurtanpapenambahan sumberasam lemak ω-3 dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Kandungan dan komposisi asam lemak pada telur ayam (%)

Asam lemak Proporsi (%)

Palmitat (16:0) 23.7 Stearat (18:0) 7.8 Arakhidat (20:0) 0.2 Total SAFA 32.4 Palmitoleat (16:1) 3.0 Oleat (18:1) 45.6 Eikosanoat (20:1) 0.3 Total MUFA 49.8 Linoleat (18:2) 13.3 Arakidonat (20:4) 2.6 Total-6 16.1 Linolenat (18:3) 0.5 EPA (20:5) -DPA (22 : 5) 0.1 DHA (22:6) 0.9 Total-3 1.5

Sumber: Gibson et al. (1998) dan disitasi dari Davis dan Reeves (2002).

Kandungan asam lemak ω-3 dalam kuning telur tanpa penambahan asam lemak ω-3 dalam ransum rendah yaitu sebesar 1.5% (Tabel 9). Pemberian sumber asam lemak ω-3 dalam ransum dapat mempengaruhi komposisi asam lemak dalam kuning telur. Kandungan asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh rangkap tunggal tidak dipengaruhi dengan pemberian sumber asam lemak ω-3 tersebut akan tetapi lebih banyak meningkatkan asam lemak ω-3 serta menurunkan imbangan asam lemak ω-6 dan ω-3 dalam kuning telur (Hargis et al. 1991; Van Elswyk et al. 1992,1994,1995; Baucelss et al. 2000).

Gambar

Tabel 3 Perkembangan hasil penelitian mikroenkapsulasi dengan imbangan bahan inti dan bahan penyalut serta total padatan dalam emulsi
Tabel 4 Perkembangan hasil penelitian mikroenkapsulasi dengan imbangan kandungan karbohidrat dan protein optimal dalam bahan penyalut
Tabel 6 Perkembangan hasil penelitian mikroenkapsulasi dalam bidang pakan
Tabel 7 Perkembangan hasil p e ne l i t i a n  pe mbe r i a n  s umbe r a s a m  l e ma k  ω-3 dalam ransum ayam petelur berdasarkan umur ayam dan lama pemberian
+5

Referensi

Dokumen terkait

uji ANOVA dengan α = 0,05 menunjukkan ada interaksi antara penggunaan sari nanas dengan konsentrasi starter yang ditambahkan terhadap tingkat kesukaan warna

Merendam sampel ayam broiler dengan berbagai konsentrasi ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L.) varietas putih yang telah diencerkan dengan aquades selama 30 menit..

Data dari Rock-Eval menunjukkan bahwa sampel batuan memiliki tingkat kematangan rendah, tingkat indeks oksigen tinggi, potensial generasi hidrokarbon rendah, serta

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yangberjudul “ Pengaruh Model STM

1) Zona Publik, adalah zona untuk umum atau lebih mengarah pada ruang terbuka, seperti taman. Zona publik dapat diakses gratis oleh semua orang yang berkunjung.

Disamping perkembangan fisik , motorik, kognitif, bahasa dan emosi sebagaimana telah dibicarakan diatas, masa awal anak-anak juga ditandai dengan perkembangan

[r]

Perlakuan PGPR pada masing-masing genotipe menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap persentase jumlah tanaman yang terinfeksi layu bakteri(Lampiran