• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka

Pemerintah Indonesia mempunyai komitmen yang tinggi dan konsisten dalam mewujudkan ketahanan pangan bagi rakyatnya. Komitmen yang tinggi tersebut telah diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan program-program peningkatan produksi pangan, khususnya beras. Besarnya perhatian pemerintah terhadap perekonomian beras ini didasari pertimbangan bahwa beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebahagian besar penduduk Indonesia, serta usaha tani padi merupakan sumber pendapatan dan sumber lapangan pekerjaan bagi sebagian besar masyarakat pedesaan. Pembangunan ketahanan pangan, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu (Suryana, 2003).

Menurut Sawit (2002), pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan suatu kebijakan yang memihak kaum miskin (pro-poorpolicy) sejak tahun 1998 yang kemudian dikenal secara luas sebagai program Raskin. Program tersebut dimulai pada tahun 1998 dengan nama program Operasi Pasar Khusus (program OPK). Pada tahun 2002 berubah menjadi program Beras untuk Keluarga Miskin, disingkat program Raskin. Melalui program ini, pemerintah menyalurkan sejumlah beras yang dijual dengan harga murah kepada rumah tangga miskin

(2)

(RTM) secara berkala (bulanan) dengan tujuan agar mereka dapat mempertahankan tingkat konsumsi energinya.

Program Raskin adalah program nasional yang bertujuan membantu rumah tangga miskin dalam memenuhi kecukupan kebutuhan pangan dan mengurangi beban finansial melalui penyediaan beras bersubsidi. Program ini merupakan kelanjutan program Operasi Pasar Khusus (OPK) yang diluncurkan pada Juli 1998. Pada 2007, Raskin mentargetkan penyediaan 1,9 juta ton beras bagi 15,8 juta rumah tangga miskin dengan total biaya Rp 6,28 triliun. Setiap rumah tangga menerima 10 kg beras setiap bulan dengan harga Rp1.000 per kilogram di titik distribusi. Penyaluran beras hingga titik distribusi menjadi tanggung jawab Bulog, sementara dari titik distribusi sampai kepada rumah tangga sasaran menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (Mawardi etl, 2007).

Dari sisi penyaluran hingga titik distribusi, Bulog telah melaksanakan tugasnya dengan relatif baik dan sesuai dengan pedoman program. Namun, penilaian keberhasilan program tidak dapat dilakukan secara parsial karena Raskin merupakan sebuah kesatuan program untuk menyampaikan beras bersubsidi kepada rumah tangga miskin. Permasalahan pelaksanaan Raskin banyak terjadi dari titik distribusi hingga rumah tangga penerima (Mawardi etl, 2007).

Menurut Pedoman Umum (Pedum) Raskin, keberhasilan Raskin diukur berdasarkan tingkat pencapaian indikator 6 Tepat, yaitu tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, tepat kualitas, dan tepat administrasi. Secara umum, hasil kajian terdahulu terhadap pelaksanaan program Raskin menunjukkan bahwa efektivitas program masih relatif lemah. Hal ini ditandai oleh sosialisasi

(3)

dan transparansi yang kurang, seperti target penerima, harga, jumlah, dan frekuensi penerimaan beras yang kurang tepat; biaya pengelolaan program yang tinggi; pelaksanaan monitoring yang belum optimal; dan mekanisme pengaduan yang kurang berfungsi (Mawardi etl, 2007).

2.2. Landasan Teori

Sikap manusia atau singkatnya kita sebut sikap, telah didefenisikan dalam berbagai versi oleh para ahli. Berkowitz bahkan menemukan adanya lebih dari tigapuluh defenisi sikap. Secara historis, istilah “sikap” (attitude) digunakan pertama kali oleh Herbert Spencer di tahun 1862 yang pada saat itu diartikan olehnya sebagai status mental seseorang. Di masa-masa awal itu pula penggunaan konsep sikap sering dikaitkan dengan konsep mengenai postur fisik atau posisi tubuh seseorang (Azwar, 2005)

Menurut Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood dalam Azwar (2005), sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut. Secara lebih spesifik, Thurstone sendiri memformulasikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis.

Menurut Chave, Bogardus, LaPierre, Mead dan Gordon Allport dalam Azwar (2005), sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang mengkehendaki adanya respons.

(4)

Lapierre mendefenisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.

Secord dan Backman mendefenisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (Afeksi), Pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Petty dan Cacioppo mengatakan bahwa sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu. (Azwar, 2005)

Proses pengukuran merupakan suatu proses deduktif. Peneliti berangkat dari suatu konstruksi, konsep atau ide, kemudian menyusun perangkat ukur untuk mengamatinya secara empiris. Dalam kehidupan sehari-hari, pengukuran dapat langsung dilakukan terhadap konsep yang konkret. Misalnya untuk mengukur suhu dalam ruangan, digunakan termometer (Prasetyo dan Miftahul, 2005).

Di dalam melakukan suatu prosesd pengukuran, seorang peneliti harus mengetahui cara pengukuran suatu konsep atau yang disebut tingkat pengukuran. Tingkat pengukuran ini bergantung pada konseptualisasi suatu konsep. Tingkat pegukuran mempengaruhi jenis indikator yang akan digunakan dan berkaitan dengan asumsi dasar dalam defenisi konsep tersebut dan berkaitan dengan pengukuran dan stasistik yang akan digunakan (Prasetyo dan Miftahul, 2005).

Menurut S. S. Stevens dalam Prasetyo dan Miftahul (2005), tingkat pengukuran dapat dibedakan menjadi nominal, ordinal, interval, dan rasio. Tingkat pengkuran nominal memiliki ciri hanya bahwa setiap kategori yang ada hanya berbeda satu

(5)

dengan yang lainnya. Perbedaan ini bisa dinyatakan dengan angka atau simbol lainnya, atau dengan kata atau istilah. Angka dalam hal ini hanya dipakai sebagai label untuk mepermudah proses pengkodean, jadi bukan menunjukkan urutan (Prasetyo dan Miftahul, 2005).

Tingkat pengukuran ordinal menunjukkan urutan selain perbedaan. Urutan ini biasanya dinyatakan dengan kata ‘lebih’, ‘kurang’ atau dalam pernyataan sikap, ‘ sangat setuju’, setuju’, ‘tidak setuju’, ‘sangat tidak setuju’. Selain perbedaan urutan, pada tingkat pengukuran interval terdapat jarak antara kategori yang dapat dihitung, jadi harus ada satuan/unit yang menunjukkan jarak tersebut. Misalnya, suhu dalam derajat Celsius. Jarak antara suhu 200C dengan 300C sama dengan

jarak antara 900C dengan 1000C (Prasetyo dan Miftahul, 2005).

Sementara itu, pada tingkat pengukuran rasio, selain ketiga hal yang merupakan ciri-ciri tingkat pengukuran di atas, juga memiliki nol mutlak sehingga memungkinkan perkalian dan pembagian. Titik nol ini menunjukkan ketiadaan sama sekali variabel yang hendak diukur. Misalnya variabel penghasilan. Orang berpenghasilan satu juta rupiah memiliki penghasilan dua kali lipat dari yang berpenghasilan lima ratus ribu rupiah. Titik nol mutlak diperoleh pada saat tidak ada penghasilan sama sekali (nol rupiah) (Prasetyo dan Miftahul, 2005).

Skala Likert berisi pernyataan yang sistematis untuk menunjukkan sikap seorang responden terhadap pernyataan itu. Indeks ini mengasumsikan bahwa masing-masing kategori jawaban ini memiliki intensitas yang sama. Keunggulan indeks ini adalah kategorinya memiliki urutan yang jelas mulai dari “sangat setuju”, “setuju”, “ragu-ragu”, “tidak setuju”, “sangat tidak setuju”. Penentuan banyaknya

(6)

kategori dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Misalnya apakah perlu memberikan kategori netral (seperti ragu-ragu, tidak ada pendapat, dan sebagainya) (Prasetyo dan Miftahul, 2005).

Skala Likert disusun untuk mengungkapkan sikap pro dan kontra, positif dan negatif, setuju dan tidak setuju terhadap suatu objek sosial. Skala Likert berisi tentang pernyataan-pernyataan sikap (attitude statements), yaitu suatu pernyataan mengenai objek sikap sekelompok orang terhadap isu renovasi pasar, maka setiap kalimat pernyataan yang mengenai renovasi pasar merupakan pernyataan sikap, sedangkan renovasi pasa sendiri merupakan objek sikap. Pernyataan sikap terdiri dari dua macam, yaitu pernyataan yang fevorable (mendukung atau memihak pada objek sikap) dan pernyataan yang non-fevorable (tidak mendukung objek sikap) (Azwar, 2004).

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Efektivitas dapat dilihat dari berbagai sudut pandang (view point) dan dapat dinilai dengan berbagai cara dan mempunyai kaitan yang erat dengan efisiensi. Arthur G. Gedeian dkk (1991) mendefinisikan efektivitas yaitu “That is, the greater the extent it which an organization’s goals are met or surpassed, the greater its effectiveness” (Semakin besar pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar efektivitas).

Ada beberapa hal yang menjadi ukuran dalam arti efektivitas yaitu efektivitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,

(7)

kualitas dan waktu) yang dicapai, semakin besar target yang dicapai maka semakin tinggi efektivitasnya. Lebih lanjut menurut Agung Kurniawan (2005) mendefinisikan efektivitas sebagai kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya. Menurut pendapat Mahmudi (2005) definisikan efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan.

Untuk mengukur tingkat keefektivitasan suatu program atau kegiatan sering mengalami kesulitan. Kesulitan tersebut terjadi karena pencapaian hasil (outcome) seringkali tidak dapat diketahui dalam jangka pendek, akan tetapi dalam jangka panjang setelah program berhasil, sehingga ukuran efektivitas biasanya dinyatakan secara kualitatif (berdasarkan pada mutu) dalam bentuk pernyataan saja (judgement), artinya apabila mutu yang dihasilkan baik, maka efektivitasnya baik pula (Sedarmayanti, 1995).

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pengukuran merupakan penilaian dalam arti tercapainya sasaran yang telah ditentukan sebelumnya dengan menggunakan sasaran yang tersedia. Jelasnya bila sasaran atau tujuan telah tercapai sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya adalah efektif. Jadi, apabila suatu tujuan atau sasaran itu tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, maka tidak efektif. Efektivitas merupakan fungsi dari manejemen, dimana dalam sebuah efektivitas diperlukan adanya prosedur, strategi, kebijaksanaan, program dan pedoman. Tercapainya tujuan itu adalah efektif

(8)

sebab mempunyai efek atau pengaruh yang besar terhadap kepentingan bersama.

Di dalam program Raskin, efektivitas distribusi dapat diukur dengan menggunakan 6 indikator yang disebut dengan 6 Tepat. 6 Tepat tersebut meliputi: tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, tepat administrasi dan tepat

kualitas. Tingkat efektivitas Raskin sangat tergantung 6 tepat tersebut (Bulog, 2012).

Kata efektif sering dicampuradukkan dengan kata efisien walaupun artinya tidak sama. Sesuatu yang dilakukan secara efisien belum tentu efektif. Menurut Markus Zahnd (2006), pengertian efektivitas dan efisiensi adalah sebagai berikut: “Efektivitas yaitu berfokus pada akibatnya, pengaruhnya atau efeknya, sedangkan efisiensi berarti tepat atau sesuai untuk mengerjakan sesuatu dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga dan biaya”.

Efisiensi berarti menjalankan pekerjaan dengan benar. Ada beberapa pengertian efesiensi menurut para ahli. Menurut Beirlein dan Michael dalam Rahim (2007), efisiensi adalah jumlah output dibagi dengan jumlah input yang dibutuhkan untuk menghasilkan output.

Downey dan Steven dalam Rahim (2007) dikatakan bahwa efisiensi pemasaran merupakan tolak ukur atas produktivitas proses pemasaran dengan membandingkan sumberdaya yang digunakan terhadap keluaran yang dihasilkan selama berlangsungnya proses pemasaran. Efisiensi pemasaran menurut Downey dan Erickson dapat dilihat dari masing-masing elemen yaitu:

(9)

1. Efisiensi produk merupakan usaha untuk menghasilkan suatu produk melalui penghematan harga serta penyerderhanaan prosedur teknis produksi dalam usaha mencapai target produksi guna memperoleh keuntungan maksimum. 2. Efisiensi distribusi dinyatakan sebagai produk dari produsen menuju pasar

sasaran melalui saluran distribusi yang pendek atau berusaha menghilangkan satu atau lebih mata rantai pemasaran yang panjang di mana distribusi produk berlangsung dengan tindakan penghematan biaya dan waktu.

3. Efisiensi harga yang menguntungkan pihak produsen dan konsumen diikuti dengan keuntungan yang layak diambil oleh setiap mata rantai pemasaran sehingga harga yang terjadi di tingkat petani tidak berbeda jauh dengan harga yang terjadi di tingkat konsumen akhir.

4. Efisiensi promosi mencerminkan penghematan biaya dalam melaksanakan pemberitahuan di pasar sasaran mengenai produk yang tepat, meliputi penjualan perorangan atau massal dan promosi penjualan.

Mubyarto dalam Rahim (2007) menyatakan bahwa efisiensi pemasaran untuk produk pertanian dalam suatu sistem pemasaran diangggap efisien apabila:

1. mampu menyampaikan hasil-hasil dari produsen ke konsumen dengan biaya semurah-murahnya, dan

2. mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan pemasaran.

Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka secara singkat pengertian daripada efisiensi dan efektivitas adalah efisiensi berarti melakukan

(10)

atau mengerjakan sesuatu secara benar, “doing things right”, sedangkan efektivitas melakukan atau mengerjakan sesuatu tepat pada sasaran “doing the right things”. Tingkat efektivitas itu sendiri dapat ditentukan oleh terintegrasinya sasaran dan kegiatan organisasi secara menyeluruh, kemampuan adaptasi dari organisasi terhadap perubahan lingkungannya (Mahmudi, 2005).

Menurut Rahim (2007), efisiensi pemasaran komoditas pertanian merupakan rasio yang mengukur keluaraan atau produksi komoditas pertanian suatu sistem atau proses untuk setiap unit masukan dengan membandingkan sumberdaya yang digunakan terhadap keluaran (output) yang dihasilkan selama berlangsungnya proses pemasaran komoditas pertanian dengan melalui efisiensi penetapan harga dan efisiensi operasional maupun efisiensi ekonomi. Efisiensi pemasaran produk pertanian dapat terjadi apabila:

1. biaya pemasaran dapat ditekan sehingga keuntungan pemasaran dapat lebih tinggi;

2. persentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi;

3. tersedianya fasilitas fisik pemasaran; 4. adanya kompetisisi pasar yang sehat.

Menurut Soekartawi (2002), efisiensi pemasaran dapat diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

𝐸𝐸𝐸𝐸 =𝑁𝑁𝐵𝐵𝑁𝑁𝐵𝐵𝐵𝐵 𝐸𝐸𝑃𝑃𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝 𝐵𝐵𝐵𝐵𝑃𝑃𝑦𝑦 𝑝𝑝𝐵𝐵𝐸𝐸𝐵𝐵𝑃𝑃𝐵𝐵𝑃𝑃𝑝𝑝𝐵𝐵𝑃𝑃 × 100%𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝐵𝐵𝑃𝑃𝐵𝐵𝑃𝑃𝐵𝐵𝑃𝑃 Jika:

(11)

Ep < 1 berarti efisien

Sedangkan untuk efisiensi distribusi Raskin dapat di ukur dengan menggunakan rumus berikut:

𝐸𝐸𝐸𝐸 =𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵 𝐷𝐷𝐵𝐵𝑃𝑃𝐷𝐷𝑃𝑃𝐵𝐵𝐷𝐷𝑝𝑝𝑃𝑃𝐵𝐵 𝑅𝑅𝐵𝐵𝑝𝑝𝐵𝐵𝑃𝑃𝐻𝐻𝐵𝐵𝑃𝑃𝑦𝑦𝐵𝐵 𝐽𝐽𝑝𝑝𝐵𝐵𝑁𝑁 𝑅𝑅𝐵𝐵𝑃𝑃𝑝𝑝𝐵𝐵𝑃𝑃 × 100%

David A. Revzan dalam Angipora (1999) menyatakan bahwa saluran distribusi merupakan suatu jalur yang dilalui oleh arus barang-barang dari produsen ke perantara dan akhirnya sampai pada pemakai. Pengertian distribusi yang dikemukakan tersebut masih bersifat sempit karena istilah barang sering diartikan sebagai suatu bentuk fisik akibatnya lebih cenderung menggambarkan pemindahan jasa-jasa atau kombinasi antara barang dan jasa.

Menurut The American Marketing Association dalam Angipora (1999), saluran distribusi merupakan suatu sturktur unit organisasi dalam perusahaan yang terdiri atas Agen, Dealer, Pedagang Besar, dan Pengecer melalui mana sebuah komoditi, produk atau jasa dipasarkan. Definisi ini lebih luas dibandingkan dengan definisi yang pertama.

Sedangkan C. Glenn Walters dalam Angipora (1999) menyatakan bahwa saluran adalah sekelompok pedagang dan agen perusahaan yang mengkombinasikan antara pemindahan fisik dan nama dari suatu produk untuk menciptakan kegunaan pasar tertentu. Dan terakhir Philip Kotler dalam Angipora (1999) menyatakan bahwa saluran distribusi dapat diartikan sebagai himpunan perusahaan dan

(12)

perorangan yang mengambil alih hak atas barang atau jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen.

Dari beberapa pengertian di atas dapat dikatakan bahwa saluran distribusi merupakan sekelompok lembaga yang ada di antara berbagai lembaga yang mengadakan kerja sama untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan dari distribusi adalah untuk mencapai pasar-pasar tertentu. Dengan demikian pasar merupakan tujuan akhir dari kegiatan saluran (Angipora, 1999).

Menurut Sugiarto, etl (2002), surplus konsumen menunjukkan keuntungan yang diperoleh konsumen karena mereka membeli suatu komoditas. Keuntungan tersebut diperoleh oleh konsumen karena harga yang berlaku pada kondisi keseimbangan lebih rendah daripada harga yang mereka mau bayarkan. Surplus konsumen ditunjukkan oleh daerah yang ditunjukkan dalam grafik 2.1.

Grafik 2.1. Surplus Konsumen

Surplus konsumen dapat dicari melalui persamaan berikut ini:

P Q Pe Pt Permintaan Penawaran Surplus Konsumen Qe

(13)

𝑆𝑆𝑆𝑆 =(𝑃𝑃𝐷𝐷 − 𝑃𝑃𝑃𝑃) × 𝑄𝑄𝑃𝑃 2

Dimana:

SK = Surplus Konsumen Pt = Harga tertinggi di pasar Pe = Harga keseimbangan Qe = Jumlah Keseimbangan.

2.3. Kerangka Pemikiran

Penyaluran Raskin (Beras untuk Rumah Tangga Miskin) sudah dimulai sejak 1998. Krisis moneter tahun 1998 merupakan awal pelaksanaan Raskin yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga terutama rumah tangga miskin. Pada awalnya disebut program Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian diubah menjadi Raskin mulai tahun 2002, Raskin diperluas fungsinya tidak lagi menjadi program darurat (social safety net) melainkan sebagai bagian dari program perlindungan sosial masyarakat.

Program Raskin saat ini dijalankan oleh Badan Urusan Logistik (Bulog). Bulog melaksanakan pendistribusian Raskin. Raskin disalurkan oleh Satuan Kerja Raskin dari gudang Perum Bulog kepada Pelaksana Distribusi Raskin di Titik Distribusi (TD). Pelaksana distribusi menyerahkan Raskin kepada RTS-PM sebanyak 15 kg/RTS/bulan. Pembagian Raskin kepada RTS-PM dilakukan di titik bagi. Penyaluran Raskin mulai dari titik distribusi sampai ke titik bagi merupakan tugas pemerintah kabupaten/kota. Apabila diperlukan, kepala desa/lurah dapat mengikut sertakan RT/RW dalam pendistribusian Raskin dari TD sampai ke RTS-PM.

(14)

Kegiatan mulai dari pengangkutan Raskin dari gudang Perum Bulog sampai dengan penyaluran Raskin kepada RTS-PM merupakan kegiatan distribusi Raskin. Kegiatan pendistribusian Raskin ini memerlukan biaya operasional. Biaya operasional Raskin dari gudang Perum Bulog sampai dengan titik distribusi menjadi tanggung jawab Perum Bulog, sedangkan biaya operasional penyaluran Raskin dari titik distribusi ke rumah tangga sasaran-penerima manfaat (RTS-PM) menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota yang diatur lebih lanjut dalam petunjuk pelaksana/petunjuk teknis masing-masing daerah.

Melalui biaya operasional distribusi Raskin dapat diketahui apakah program distribusi Raskin tersebut efisien atau tidak. Distribusi Raskin akan dikatakan efisien apabila biaya operasional distribusi Raskin lebih kecil daripada harga dari Raskin tersebut. Selain efisiensi, yang perlu diperhatikan lagi adalah efektivitas dari distribusi Raskin tersebut. Efektivitas Raskin dapat diketahui melalui sikap rumah tangga sasaran penerima manfaat terhadap lima indikator yang disebut dengan “5 Tepat”. ‘5 Tepat” itu meliputi tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, dan tepat kualitas. Penulis hanya menggunakan lima indikator saja dikarenakan oleh keterbatasan peneliti. Sehingga distribusi Raskin dikatakan efektif apabila memenuhi lima indikator tersebut.

RTS-PM akan menerima keuntungan dengan memperoleh Raskin. Keuntungan tersebut terjadi karena mereka dapat membeli beras dengan harga yang lebih murah daripada harus membelinya dari pasar. Dimana keuntungan ini disebut dengan surplus konsumen. Keuntungan tersebut dapat diketahui dengan menghitung selisih antara harga Raskin dengan harga beras di pasar.

(15)

Secara sistematis kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:

Bagan 2.1. Kerangka Pemikiran Keterangan:

: Menyatakan Proses

Sikap RTS-PM terhadap Indikator Tingkat Efektivitas Distribusi

Raskin: 1. Tepat Sasaran 2. Tepat Jumlah 3. Tepat Harga 4 Tepat Waktu Efektif Biaya Distribusi SurplusKonsumen Rumah Tangga Sasaran

Bulog

Titik Distribusi

(16)

2.4. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: 1. Distribusi Raskin di daerah penelitian sudah efektif 2. Distribusi Raskin di daerah penelitian sudah efisien.

3. RTS-PM di daerah penelitian memperoleh keuntungan (konsumen surplus) dengan memperoleh Raskin.

Gambar

Grafik 2.1. Surplus Konsumen

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh senyawa 2’,4’-dimetil-3,4- metilendioksikalkon dari 2,4-dimetilasetofenon dan piperonal melalui reaksi kondensasi Claisen-Schmidt

Pada makalah ini dipaparkan metode yang digunakan dalam menentukan nilai kemampuan ukur terbaik untuk pengukuran aktivitas sumber berbentuk titik menggunakan perangkat

Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang mengenai Teknik Pembesaran Abalon (Haliotis squamata) dengan Metode Keramba Jaring Apung di Balai

Jadi, yang tadi saya pegang Kartu Indonesia Sehat, kalau sakit, baik sakitnya batuk-batuk maupun sakitnya flu jangan ke dok... jangan ke rumah sakit tapi ke

Penutup Sebagai penutup, bahwa alur makalah ini lebih menekankan tentang pentingnya: Seorang guru (pendidik) sebaiknya memahami prinsip – prinsip dasar pengajaran bahasa

Menurut Darwanto (1995:66-67), media massa milik pemerintah, di dalam melaksanakan tugasnya tidak terlepas dari kebijaksanaan pemerintah, meskipun demikian tidak

Melalui model pembelajaran  problem based learning dan  problem based learning dan project based learning project based learning ,, peserta didik menggali informasi peserta

Berbeda halnya dengan konsep kompensasi yang setara, persoalan harga yang adil muncul ketika menghadapi harga yang sebenarnya, pembelian dan pertukaran barang,