• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagaimana Manusia Bertuhan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bagaimana Manusia Bertuhan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Pendidikan Agama Islam

Bagaimana Manusia Bertuhan

Disusun Oleh: Bambang Hari Wibowo

09030581620006 Dosen

Nurhidayatullah, S.H.I, S.Pd, S.H, LLM,MH,MHI Fakultas Ilmu Komputer

Jurusan Teknik Komputer Universitas Sriwijaya 2016

(2)

Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT, Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya dan untuk melakukan hal-hal yang baik kepada sesama manusia dan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.

Beribadah adalah suatu perbuatan yang dilakukan pada manusia untuk

menyembah tuhan-Nya, melaksanakan perintaqh-Nya dan menjauhi larangannya. Dalam bagimana manusia ber-Tuhan, kalian bisa melihat dalam dunia ini, ada manusia yang ber-Tuhan tapi tidak ber-Agama, begitu juga sebaliknya ada manusia yang ber-Agama tetapi tidak ber-Tuhan.

Sementara itu, dalam masalah ber-Tuhan dan ber-Agama menjadi masalah utama dalam keimanan dan keislaman, keimanan kepada tuhan itu lah yang akan

(3)

A. Pengertian Manusia

Manusia selain berperan sebagai khalifah di bumi memiliki kedudukan lainnya di alam ini, yaitu sebagai hamba yang harus beribadah kepada Allah swt. (QS. Adz-Zariat, 51:56). Al-Maraghi menjelaskan bahwa Allah menciptakan jin dan manusia agar mereka dapat mengetahui atau mengenal Tuhannya, mereka tidak hanya mengenal wujud Tuhannya saja, namun mereka juga dapat meyakini keberadaannya. Itulah konsekwensi logis dari kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang selalu bergantung dan berlindung kepada-Nya.

Esensi dari ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan yang semuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketaatan dan ketundukan kepada Tuhan akan senantiasa berlaku pada manusia dan makhluk ciptaan lainnya, oleh karena itu manusia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang telah menjadi kodrat pada setiap makhluk ciptaannya. Namun sebagai makhluk yang memiliki kemuliaan dan kelebihan dibanding yang lainnya, manusia tidak sepenuhnya terikat pada hukum alamiah saja, karena dengan kemampuan akalnya ia mampu untuk mengolah potensi alam menjadi sesuatu yang baru yang diperlukan bagi kehidupannya, sehingga kemudian manusia terikat oleh hukum-hkum berfikir dalam upaya mengembangkan dan mewujudkan pemikirannya.

Jika pengertian ibadah dihubungkan dengan pengertian khalifah maka dapat dijelaskan bahwa manusia sebagai khalifah yang berarti penguasa alam semesta memiliki kekuasaan dan kebebasan untuk berfikir dan menggunakan akalnya, sedangkan manusia sebagai ‘abd adalah seorang yang tidak memiliki wewenang untuk menentukan pilihan, tidak memiliki kebebasan untuk berkehendak. Jadi dapat disimpulkan bahwa esensi seorang khalifah adalah kebebasan dan kreatifitas, sedangkan sebagai ‘abd adalah ketaatan dan kepatuhan.

Dengan demikian manusia selain sebagai khalifah yang mengelola dan memelihara alam semesta ini dengan segala potensi-potensi yang dimilikinya, juga sebagai ‘abd yang seluruh aktifitasnya harus berdasarkan ibadah kepada Allah. Jika hal ini terlaksana dengan baik, maka manusia sebagai khalifah tidak akan berbuat kemungkaran, korupsi dan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Untuk dapat melaksanakan fungsi ke-khalifahan dan ibadah

(4)

dengan baik, maka manusia perlu diberikan pendidikan, pengajaran, pelatihan, keterampilan, teknologi dan sarana pendukung lainnya. Dengan demikian secara tersirat menunjukan bahwa konsep kekhalifahan dan ibadah dalam al-Qur’an erat kaitannya dengan pendidikan.1

1. Manusia Menurut Pola Pemikiran Biologis

Menurut pola pemikiran ini, manusia dan kemampuan kreatifnya dikaji dari struktur fisiologisnya. Salah satu tokoh dalam pola ini adalah Portmann yang berpendapat bahwa kehidupan manusia merupakan sesuatu yang bersifat sui generis meskipun terdapat kesamaan-kesamaan tertentu dengan kehidupan hewan atau binatang. Dia menekankan aktivitas manusia yang khas, yakni bahasanya, posisi vertikal tubuhnya, dan ritme pertumbuhannya. Semua sifat ini timbul dari kerja sama antara proses keturunan dan proses sosial-budaya.

Aspek individualitas manusia bersama sifat sosialnya membentuk keterbukaan manusia yang berbeda dengan ketertutupan dan pembatasan deterministis binatang oleh lingkungannya. Manusia tidak membiarkan dirinya ditentukan oleh alam lingkungannya. Menurut pola ini, manusia dipahami dari sisi internalitas, yaitu manusia sebagai pusat kegiatan intern yang menggunakan bentuk lahiriah tubuhnya untuk mengekspresikan diri dalam komunikasi dengan sesamanya.

2. Manusia Menurut Pola Psikolgis Kekhasan

Pola ini adalah perpaduan antara metode-metode psikologi eksperimental dan suatu pendekatan filosofis tertentu, misalnya fenomenologi. Tokohtokoh yang berpengaruh besar pada pola ini antara lain Ludwig Binswanger, Erwin Straus dan Erich Fromm. Binswanger mengembangkan suatu analisis eksistensial yang bertitik tolak dari psikoanalisisnya Freud. Namun pendirian Binswanger bertolak

(5)

belakang dengan pendirian Freud tentang kawasan bawah sadar manusia yang terungkap dalam mimpi, nafsu dan dorongan seksual.

Menurut Binswanger, analisis Freud sangat berat sebelah karena dia mengabaikan aspek-aspek budaya dari eksistensi manusia seperti agama, seni, etika dan mitos. Freud menurut Binswanger, memahami kebudayaan secara negatif, yakni lebih sebagai penjinakan dorongan-dorongan alamiah daripada sebagai ungkapan potensi manusia untuk memberi arah pada hidupnya. Penelitian psikologis harus diarahkan pada kemampuan manusia untuk mengatasi dirinya sendiri dalam penggunaan kebebasannya yang menghasilkan keputusan-keputusan dasar. Freud dengan psikoanalisisnya berpendapat bahwa manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instinktif.

Tingkah laku individu ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikhis yang sejak semula memang sudah ada pada diri individu itu. Individu dalam hal ini tidak memegang kendali atas “nasibnya” sendiri, tetapi tingkah lakunya semata-mata diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan instink biologisnya. Pandangan Freud tersebut ditentang oleh pandangan humanistik tentang manusia. Pandangan humanistik menolak pandangan Freud yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan dan tidak memiliki kontrol terhadap “nasib” dirinya sendiri.

Sebaliknya, pandangan humanistik yang salah satu tokohnya adalah Rogers mengatakan bahwa manusia itu rasional, tersosialisasikan dan untuk berbagai hal dapat menentukan “nasibnya” sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan, mengatur, dan mengontrol diri sendiri. Pandangan behavioristik pada dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol atau dikendalikan oleh faktorfaktor yang datang dari luar. Penentu tunggal dari tingkah laku manusia adalah lingkungan.

(6)

Dengan demikian, kepribadian individu dapat dikembalikan semata-mata kepada hubungan antara individu dan lingkungannya. Hubungan itu diatur oleh hukumhukum belajar seperti teori pembiasaan (conditioning) dan peniruan. Salah satu tokoh dari pandangan ini adalah Skinner (Depdikbud, 1984/1985: 1-3) Dari ketiga pandangan yang disebut terakhir, dapat disimpulkan bahwa Freud dengan psikoanalisisnya lebih menekankan faktor internal manusia, sementara pandangan behaviorisme lebih menekankan faktor eksternal. Sedangkan pandangan psikologi humanistik lebih menekankan kemampuaan manusia untuk mengarahkan dirinya, baik karena pengaruh faktor internal maupun eksternal.

Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak serta merta atau otomatis melakukan suatu tindakan berdasarkan desakan faktor internal, karena desakan faktor internal bisa saja ditangguhkan pelaksanaannya. Buktinya orang berpuasa, meskipun dorongan rasa laparnya kuat, tetapi manusia bisa mengarahkan dirinya dalam arti bisa menangguhkan desakan atau dorongan itu, yakni pada saatnya berbuka di sore hari. Begitu juga, manusia tidak serta merta atau otomatis melakukan tidakan karena mendapat rangsangan dari luar (eksternal). Dia dapat mengabaikannnya, bahkan dia dapat memutuskan sesuatu yang berbeda dengan desakan faktor eksternal. Buktinya, manusia dapat menolak iming-iming sesuatu yang menggiurkan dari pihak lain.

3. Manusia Menurut Pola Pemikiran Sosial-Budaya

Manusia menurut pola pemikiran ini tampil dalam dimensi sosial dan kebudayaannya, dalam hubungannya dengan kemampuannya untuk membentuk sejarah. Menurut pola ini, kodrat manusia tidak hanya mengenal satu bentuk yang uniform melainkan berbagai bentuk. Salah satu tokoh yang termasuk dalam pola ini adalah Erich Rothacker. Dia berupaya memahami kebudayaan setiap bangsa melalui suatu proses yang dinamakan reduksi pada jiwa-jiwa nasional dan melalui mitos-mitos.

(7)

Yang dimaksud reduksi pada jiwa-jiwa nasional adalah proses mempelajari suatu kebudayaan tertentu dengan mengembalikannya pada sikap-sikap dasar serta watak etnis yang melahirkan pandangan bangsa yang bersangkutan tentang dunia, atau weltanschauung. Pengalaman purba itu dapat direduksi lagi. Dengan demikian, meskipun orang menciptakan dan mengembangkan lingkup kebudayaan nasionalnya, kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan dan pengembangannya sudah ditentukan, karena semuanya itu sudah terkandung dalam warisan ras.

Tokoh lain yang dapat dimasukkan dalam pola ini adalah Ernst Cassirer (1990: 39-40) seorang filsuf kebudayaan abad 20. Dia merumuskan manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang pandai menggunakan symbol. Menurut Cassirer, definisi manusia dari Aristoteles, yakni zoon politicon, manusia adalah makhluk sosial memang memberi pengertian umum tetapi bukan ciri khasnya (1990:.337). Begitu pula definisi manusia sebaai animal rationale dianggap tidak memadai, karena rasio tidak memadai untuk memahami bentuk-bentuk kehidupan budaya manusia dalam seluruh kekayaan dan bermacam-macamnya.

Itulah mengapa dia menawarkan definisi manusia sebagai animal symbolicum yakni makhluk yang pandai membuat, memahami dan menggunakan symbol(1990: 40) Pada bagian lain Cassirer juga berpendapat bahwa ciri utama atau ciri khas manusia bukanlah kodrat fisik atau kodrat metafisiknya, melainkan karyanya. Karyanyalah, sistem-sistem kegiatan manusiawilah yang menentukan dan membatasi dunia

(8)

4. Manusia Menurut Pola Pemikiran Religius

Pola pemikiran ini bertolak dari pandangan manusia sebagai homo religiosus. Salah satu tokohnya adalah Mircea Eliade. Pandangan Eliade dapat dilihat pada tulisan Mangunhardjono dalam buku Manusia Multi Dimensional: Sebuah renungan filsafat, 1982:38). Menurut Eliade, homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam tumbuh-tumbuhan, dan manusia.

Pengalaman dan penghayatan akan Yang Suci ini selanjutnya mempengaruhi, membentuk, dan ikut menentukan corak serta cara hidupnya. Eliade mempertentangkan homo religiosus dengan alam homo non-religiosus, yaitu manusia yang tidak beragama, manusia modern yang hidup di alam yang sudah didesakralisasikan, bulat-bulat alamiah, apa adanya, yang dirasa atau yang dialami tanpa sakralitas. Bagi manusia yang nonreligiosus, kehidupan ini tidak sakral lagi, melainkan profane saja.

Menurut Soerjanto Poespowardojo sebagaimana dimuat dalam Sekitar Manusia: Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia (1978: 3) bahwa untuk memahami manusia bukan dari kacamata seorang antropolog, biolog atau psikolog, karena hal itu lebih merupakan interpretasi perorangan. Titik tolak pembahasan tentang manusia sebaiknya dari kondisi manusia yang sewajarnya dan keaslian hidupnya. Jadi, manusia yang ditempatkan dalam konteks kenyataan yang riil.

Apakah yang dimaksud manusia wajar? Menurut pelopor eksistensialisme Soren Kierkegaard dalam karyanya Either/Or sebagaimana dikutip oleh Poespowardojo dalam buku tersebut, bahwa manusia wajar adalah manusia

(9)

konkret, seperti yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, manusia yang demikian, harus disaksikan dan dihayati: semakin mendalam penghayatan kita perihal manusia, maka akan semakin bermaknalah kehidupannya. Dengan membuka lingkup yang sewajarnya, seharusnya kita melihat manusia sebagai makhluk alamiah, “naturwesen’ yang merupakan bagian dari alam dan oleh karena itu memiliki sifat-sifat dan tunduk kepada hukum yang alamiah pula. Sebagai makhluk alamiah, maka manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu. Ia membutuhkan makanan agar badannya tetap segar dan sehat.

Ia membutuhkan hiburan agar hidupnya menarik dan tidak membosankan. Ia pun perlu belajar dsb. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang serba butuh hal-hal yang fisik dan rohani. Adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang belum selesai, artinya untuk memenuhi segala kebutuhannya ia harus bekerja dan berkarya. Jelaslah di sini bahwa kerja dan berkarya mempunyai arti yang manusiawi. Dalam kerjalah tercermin mutu serta martabat manusia.2

B. Pengertian Tuhan

Dalam konsep Islam, Tuhan disebut Allah dan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.34

Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid).5 Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa.6 Menurut Al-Quran terdapat 99 Nama Allah (asma'ul husna artinya: "nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda.7 8 Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha Tinggi

(10)

dan Maha Luas.9 Di antara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahman) dan "Maha Penyayang" (ar-rahim).78

Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut ajaran Islam, Tuhan muncul di mana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk apa pun.10 Al-Quran menjelaskan, "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,

sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Al-'An'am 6:103).4

Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang personal: Menurut Al-Quran, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya.”10

Dalam membahas pengertian Tuhan, setidaknya kita harus mencakup 5 hal. 5 hal itu merupakan suatu gambaran kesatuan yang dapat memperjelas tentang

gambaran Tuhan secara lengkap, 5 hal tersebut adalah: 1. Wujud

Percaya akan ada atau tidak Tuhan sangat mempengaruhi cara dan pola kehidupan yang dijalani manusia. Dari abad ke abad, generasi ke generasi berusaha keras mencari jawaban yang argumentatif dan meyakinkan akan keberadaan Tuhan. Kuat atau tidaknya argumen tersebut tergantung pada bukti-bukti yang ditemukan. Beberapa argumen bukti-bukti adanya Tuhan dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Dalil Naqli, yaitu argumen yang dikemukakan melalui ayat Al-Qur’an atau wahyu ilahi.

(11)

b. Argumen Aqli, yaitu argumen yang dikemukakan lebih merupakan produk pemikiran rasio akal manusia. Beberapa dalil akal tersebut antara lain adalah:

1. Dalil Gerak 2. Sebab Akibat 3. Dalil Wahyu11

c. Dalil Empiris

Merupakan bukti yang didapat dari hasil pengamatan inderawi secara langsung terhadap fenomena alam sekitar manusia, termasuk manusia itu sendiri. Diantara bukti tersebut adalah:

1. Dalil Kosmologi 2. Dalil Teologi12

d. Dalil Psikofisik

Argumen yang berhubungan dengan keberadaan jiwa manusia misteri jiwa atau ruh dapat mengantarkan kepada keberadaan Tuhan, melalui penempaan spiritual, mampu melalui daya-daya imajinatif kreatifnya untuk menggapai realitas ilahiyah, atau melalui fenomena ini sebagaimana dialami oleh para nabi dalam menerima wahyunya.13

e. Argumen Moral

Argumen tentang nilai baik buruk yang ada dalam realitas kehidupan nyata ini. Tuhan menjadi sumber kebaikan dan kasih sayang serta disembah oleh orang dengan satu sembahan yang berisi cinta dan keimanan.14

2. Dzat Tuhan

Pembahan tentang dzat Allah merupakan hal yang pelik dan membutuhkan pemikiran jernih dan mendalam. Penalaran secara umum dilarang membahas dzat Tuhan. Dengan demikian larangan berpikir tentang dzat Tuhan tidak bersifat mutlak, namun melihat keadaan pemikiran seseoarang. Adapun pemikiran filsafat tentang dzat Tuhan adalah sebagai berikut:

(12)

a. Ada yang menyatakan bahwa hakekat dzat Tuhan adalah akal yang bersifat murni metafisik.

b. Ada yang mengatakan bahwa dzat Tuhan adalah cahaya.

3. Sifat

Dalam hal pensifatan Tuhan, ada dua aliran pemikiran yang perlu dikenal, yaitu Aliran Antrophomorfisme dan Teophomorfisme. Yang pertama disebut sebagai tasybih, yaiti menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat-sifat manusia yang dapat dikenali secara mudah oleh manusia. Yang kedua, tanzih, yaitu ketidak serupaan sama sekali sifat Tuhan dengan sifat manapun makhluknya dan hanya Tuhan sendiri yang tahu hakikat sifatnya. Tasybih merupakan sikap imanensi Tuhan, dan tanzih sikap mentrandensikan Tuhan.

4. Nama – Nama Tuhan

Nama adalah sebutan yang bersifat simbol, tertanda yang dinisbahkan kepada suatu realitas. Nama-nama Tuhan adalah simbol yang digunakan untuk menunjuk kepada realitas Tuhan, yang mencakup wujud, dzat, dan sifatnNya. Oleh karena itu,nama-nama Tuhan adalah kesatuan dari realitas Tuhan secara keseluruhan.

5. Af’al, Perbuatan Tuhan

Yaitu apa saja yang telah, sedang dan akan dilakukan Tuhan dalam kehidupan semesta ini. Perbuatan Tuhan, juga tudak lepas dari maujud, dzat, nama, dan sifatnya.

C. Manusia Sebagai Makhluk Bertuhan

1. Pengertian

Manusia adalah makhluk ber-Tuhan, pola pemikiran ini bertolak dari pandangan manusia sebagai makhluk homo religious. Salah satu tokohnya adalah

(13)

Mircea Eliade. Pandangan Eliade dapat dilihat pada tulisan Mangunhardjono dalam buku Manusia Multi Dimesional: Sebuah renungan filsafat, (1982:38). Menurut Eliade, homo religius tipe manusia yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam tumbuh-tumbuhan,dan manusia. Sebagai makhluk religius manusia sadar dan meyakini akan adanya kekuatan supranatural dalam dirinya. Sesuatu yang disebut supranatural itu dalam sejarah manusia disebut Tuhan.

Sebagai mahluk Tuhan, manusia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Mengakui kebesaran dan keagungan Tuhan yang diwujudkan dengan berbagai cara.

b. Menyadari bahwa dunia serta isinya adalah ciptaan Tuhan

c. Manusia dianugerahi akal dan budi yang dapat dikembangkan secara maksimal

d. Manusia memiliki keterbatasan yang kadang sukar dijelaskan

Ciri-ciri tersebut dapat kita amati dalam berbagai perilaku manusia dalam kesehariannya.

Keyakinan akan adanya Tuhan membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu:

 menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan

 menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali".

(14)

Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Sebagai orang yang beragama, manusia meyakini bahwa Tuhan telah mewahyukan kepada manusia pilihan yang disebt dengan rasul yang dengan wahyu Tuhan tersebut, manusia dibimbing ke arah yang lebih baik, lebih sempurna dan lebih bertaqwa.

2. Hubungan kebudayaan dengan agama

Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, agama sumbernya adalah wahyu dari Tuhan. Tuhan mengutus Rasul untuk menyampaikan agama kepada umat. Dengan perantaraan malaikat, Tuhan mewahyukan firman-firman-Nya di dalam kitab suci kepada pesuruh-Nya. Isi kitab suci itu berasal dari Tuhan, disampaikan oleh malaikat, diucapkan oleh Rasul, sehingga dapat ditangkap, diketahui, dipahami dan selanjutnya diamalkan oleh umat. Contoh: agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Dari pembahasan di atas jelas terlihat bahwa agama bersumber dari Tuhan sedangkan kebudayaan sumbernya dari manusia. Jadi, agama tidak dapat dimasukkan ke dalam lingkungan kebudayaan selama manusia berpendapat bahwa Tuhan tak dapat dimasukkan ke dalam hasil ciptaan manusia.

Orang-orang Atheis umumnya beraggapan bahwa Tuhan adalah ciptaan manusia yang timbul dari perasaan takutnya. Semuanya bersumber pada materi, jadi Tuhan juga hasil perkembangan-perpautan materi-materi akal manusia. Oleh golongan ini agama dipandang sebagai cabang kebudayaan, karena agama merupakan cara berpikir dan merasa dalam kehidupan: suatu kesatuan sosial mengenai hubungan dengan Yang Maha Kuasa. Agama ini dapat diistilahkan dengan: “agama budaya”, seperti misalnya animisme, dinamisme, naturalisme, spritualisme, agama Kong Hucu, agama Sinto.

Bagi orang yang ber-Tuhan adalah sebaliknya. Alam semesta ini menurut mereka adalah ciptaan Tuhan. Dengan demikian agama dapat ikut mempengaruhi terciptanya kebudayaan, sedang kebudayaan tak dapat mencipta agama. Sebagaimana halnya Tuhan dapat mempengaruh manusia, tetapi manusia tidak dapat mempengaruhi Tuhan. Jadi jelas bahwa agama bukan bagian dari kebudayaan, tetapi berasal dari Tuhan. Kebudayaan mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam nyata. Sedang agama selain mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam nyata, juga mengatur hubungan dengan alam gaib, terutama dengan Yang Maha Esa.

(15)

3. Pengaruh Agama Terhadap Kebudayaan

Akulturasi dalam lapangan agama dapat mempengaruhi isi iman dan budi yang tinggi. Akulturasi dalam lapangan agama tersebut dinamai: “syncrotisme” (perpaduan antara dua kepercayaan) misalnya agama Jawa terdiri dari Islam bercampur dengan Budha.

Menurut Prof. Koesoemadi SH: Pengaruh kebudayaan Hindu terhadap kebudayaan Indonesia itu bersifat “penetration pasifique e suggestive” artinya bersifat damai dan mendorong. Sebab datangnya kebudayaan Hindu bersifat menggiatkan dan meninggikan kebudayaan Indonesia-Kuno dengan tiada melepaskan kepribadian, dan setelah kebudayaan Hindu hilang, kebudayaan Indonesia tetap kaya dan tetap tinggal dalam kepribadiannya.

Menurut Yosselin de Yong: Pengaruh Islam terhadap kebudayaan Indonesia bersifat penetration pasifique dan tolerante et constructive (damai dan membangun). Jadi tidak hanya damai dan mendorong saja, tetapi juga membangun. Seperti pengaruh-pengaruh Islam dalam perkawinan, warisan, hak-hak wanita dan lain-lain. Pengaruh Islam tidak hanya pada kepercayaan dan adat istiadat sehari-hari, bahkan sampai pada bidang hukum dan upacara-upacaranya misalnya: hari besar Islam, upacara kematian, selamatan-selamatan, mengubur mayat, doa, wakaf, warisan, letak mesjid, dan sebagainya.

Dalam kehidupan sehari-hari dapat diambil beberapa pengaruh agama terhadap kebudayaan. Contohnya ketika ibadah hari raya idul fitri, hari raya ini dalam praktiknya tidak lagi menjadi perayaan “khas” penganut agama islam tetapi sudah lebih merupakan tradisi bagi segenap masyarakat Indonesia. Saling maaf memaafkan yang dulu tidak pernah terjadi di negeri-negeri timur tengah tetapi masyarakat Indonesia justru di jadikan momemtum untuk membangun kembali tali persaudaraan seta kesetiakawanan lintas etnoreligius.

(16)

Contoh lain adalah pengaruh agama terhadap kebudayaan masyarakat Banjarmasin yang terlihat pada tradisi Baayun Maulid. Baayun asal katanya “ayun” yang diartikan”melakukan proses ayunan”. Asal kata maulid berasal dari peristiwa maulid (kelahiran) Nabi Muhammad SAW. Sebelum mendapat pengaruh Islam, maayun anak sudah dilaksanakan ketika masyarakat masing menganut kepercayaan nenek moyang. Tradisi asalnya dilandasi oleh kepercayaan Kaharingan.

Setelah Islam masuk dan berkembang serta berkat perjuangan dakwah para ulama, akhirnya upacara tersebut bisa “diislamisasikan”. Dengan demikian, baayun anak adalah salah satu tradisi simbol pertemuan antara tradisi dan pertemuan agama. Inilah dialektika agama dan budaya, budaya berjalan seiring dengan agama dan agama datang menuntun budaya.

D. Membangun Argumen tentang Cara Manusia Meyakini dan Mengimani Tuhan

Mengingat Tuhan adalah Zat Yang Mahatransenden dan Gaib (ghā`ibul ghuyūb), maka manusia tidak mungkin sepenuhnya dapat mempersepsi hakikat-Nya. Manusia hanya mampu merespon dan mempersepsi tajalliyāt Tuhan. Dari interaksi antara tajalliyāt Tuhan dan respon manusia, lahirlah keyakinan tentang Tuhan. Tajalliyāt Tuhan adalah manifestasi-manifestasi Tuhan di alam semesta yang merupakan bentuk pengikatan, pembatasan, dan transmutasi yang dilakukan Tuhan agar manusia dapat menangkap sinyal dan gelombang ketuhanan.

Dengan demikian, keyakinan adalah persepsi kognitif manusia terhadap penampakan (tajalliyāt) dari-Nya. Dengan kata lain, meyakini atau memercayai Tuhan artinya pengikatan dan pembatasan terhadap Wujud Mutlak Tuhan yang gaib dan transenden yang dilakukan oleh subjek manusia melalui kreasi akalnya, menjadi sebuah ide, gagasan, dan konsep tentang Tuhan. Tajallī Tuhan yang esa akan ditangkap oleh segala sesuatu (termasuk manusia) secara berbeda-beda karena tingkat kesiapan hamba untuk menangkapnya berbeda-beda. Kesiapan (isti’dād) mereka berbeda-beda karena masing-masing memiliki keadaan dan sifat yang khas dan unik.

Karena penerimaan terhadap tajallī Tuhan berbeda-beda kualitasnya sesuai dengan ukuran pengetahuan hamba, maka keyakinan dan keimanan pun berbeda

(17)

satu dengan yang lain. Berbicara tentang keimanan, maka ia memiliki dua aspek, yaitu keyakinan dan indikator praktis. Apabila mengacu pada penjelasan di atas, keyakinan dapat dimaknai sebagai pembenaran terhadap suatu konsep (dalam hal ini konsep tentang Tuhan) sehingga ia menjadi aturan dalam hati yang menunjukkan hukum sebab akibat, identitas diri, dan memengaruhi penilaian terhadap segala sesuatu, serta dijalankan dengan penuh komitmen.

Adapun indikator praktis keimanan dapat ditengarai dari sikap dan perilaku yang dilakukan manusia. Orang yang memiliki keimananan kepada Allah harus dibuktikan dengan amal saleh, yang menjadi indikator praktis tentang iman tersebut. Indikator keimanan yang praktis dan terukur inilah yang bisa dijadikan patokan bagi seseorang untuk menilai orang lain, apakah ia termasuk orang baik atau tidak baik. Nabi mengisyaratkan bahwa indikator keimanan minimal ada 73, dari yang paling sederhana seperti menyingkirkan duri di jalan umum sampai indikator yang abstrak seperti lebih mencintai Allah dan rasul-Nya daripada yang lain.

Keimanan seseorang bertingkat-tingkat dan mengalami pasang surut seperti sinyal handphone. Ada kalanya seseorang dapat mencapai tingkat keimanan yang tinggi seperti sinyal handphone yang baru dicharge, namun ada kalanya seseorang memiliki keimanan yang rendah seperti baterai handphone yang ngedrop.

Selama seseorang memiliki indikator keimanan walaupun ibarat sinyal HP hanya tinggal segaris saja, ia tetap dikatakan beriman. Meskipun dikatakan masih beriman, ia memiliki juga indikator-indikator kekufuran. Apabila si pendosa ini terus-menerus melakukan indikatorindikator kekufuran dan sampai puncaknya ketika ia berani secara terang-terangan melawan Tuhan dan rasul-Nya, maka ketika itu ia dikatakan telah terjerumus dalam kekufuran (yang bersifat mutlak).

Sejalan dengan penjelasan di atas, maka menilai seseorang kafir atau tidak kafir, bukan dilihat dari keyakinannya, sebab keyakinan tidak bisa dilihat. Yang dijadikan patokan untuk menilai keimanan dan kekufuran seseorang adalah amalnya, sebagai indikator praktis yang bisa diukur. Oleh karena itu, kita tidak boleh dengan gampang menuduh orang kafir, apalagi penilaian tersebut hanya dilandasi oleh asumsi dan persepsi sepihak. Iman terbentuk karena peran Tuhan dan manusia. Peran Tuhan dalam pembentukan iman terletak pada karunia-Nya berupa akal dan potensi kebertuhanan yang disebut dengan roh.

Karena adanya akal dan roh inilah, manusia mempunyai potensi keimanan kepada Allah. Namun, mengingat potensi tersebut harus dipersepsi dengan cara tertentu sehingga menjadi keyakinan, maka iman pun membutuhkan peran

(18)

manusia. Proses pembelajaran, pembiasaan, pengalaman, dan indoktrinisasi yang dilakukan oleh guru, orang tua, orang-orang di lingkungan sekitar, dan kebiasaan sosial juga bisa menjadi faktor lain yang mempengaruhi pembentukan iman. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan iman identik dengan pembentukan karakter. Orang yang beriman adalah orang yang berkarakter. Beriman kepada Allah berarti memiliki karakter bertuhan.

Dalam bahasa agama, karakter identik dengan akhlak. Menurut Imam Ghazali, akhlak adalah bentuk jiwa yang darinya muncul sikap dan perilaku secara spontanitas dan disertai dengan perasaan nikmat dan enjoy ketika melakukannya. Oleh karena itu, orang beriman kepada Tuhan atau memiliki karakter bertuhan adalah seseorang yang meyakini Tuhan sebagai sumber kebenaran dan kebajikan tertinggi, mengidentikkan diri dengan cara banyak meniru akhlak Tuhan dalam bersikap dan berperilaku, dan memiliki komitmen kepada nilai-nilai tersebut.

E. Iman Kepada Allah

Iman kepada allah merupakan sebuah kewajiban bagi pemeluk agama islam. Bisa dikatakan ini merupakan sebuah pondasi dimana kita akan menjalani dan mengikuti segala perintah dan larangan yang telah disebutkan di dalam Al-quran dan Al-hadist. Dengan adanya iman kepada Allah, maka kita akan dengan senantiasa berada di jalan yang lurus.

Arti dari beriman kepada allah sebenarnya sangat simple, yaitu dengan meyakini bahwa Allah itu ada dan mengikuti segala perintahnya. Jika kamu benar-benar yakin bahwa Allah itu ada, maka normalnya kamu akan mengikuti segala perintah dan menjauhi larangannya. Dan apabila tingkat keyakinanmu mencapai seuatu level tertentu, maka kamu akan selalu mengingatnya setiap saat. Inilah yang disebut dengan mencintai Allah SWT.

Meyakini akan eksistensi Allah memang bukan sebuah bakat yang sudah ada sejak kita lahir. Sebagai makhluk yang berakal dan diberi kebebasan berkehendak, sudah sepatutnya kita berfikir bagaimana kita tercipta, siapa pencipta alam

(19)

semesta, atau kemana kita akan pergi setelah mati nanti. Inilah yang akan membawa kita kepada jawaban yang akan menghasilkan iman kepada Allah.

Setiap orang memiliki tipe dan cara berbeda bagaimana ia dapat meyakini akan eksistensi Allah SWT. Ada 4 tipe berbeda yang menyebabkan mengapa orang akan meyakini akan keberadaan Allah. Diantaranya adalah:

1. Iman yang disebabkan oleh akal sehat

Di tipe ini orang akan beriman kepada Allah hanya dengan berfikir dengan menggunakan akal sehatnya. Seperti berfikir tentang manusia yang dari dulu hingga sekarang pasti ada penciptanya. Manusia tidak mungkin dapat menciptakan dirinya sendiri. Seperti yang disebutkan pada firman Allah:

Apakah mereka ini diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri) (QS; At-Thur:35)

2. Iman yang disebabkan reward/hadiah

Sewaktu kecil mungkin kita biasa mendengar kalimat yang mengatakan bahwa jika kita melakukan suatu perbuatan baik, maka kita akan mendapatkan pahala dan masuk surga. Ternyata bagi sebagian orang ini dapat membuat mereka seketika mempercayai eksistensi tuhan mereka dan termotivasi untuk selalu berbuat baik agar dapat masuk surge

.

3. Iman yang disebabkan oleh hukuman

Kebalikan dari reward, hukuman juga dapat membuat sebagian orang takut dan akhirnya beriman kepada Allah. Hukuman yang diberikan ketika masih berada di dunia hingga panasnya api neraka dapat membuat sebagian orang berfikir dua kali untuk tetap melakukan larangan-larangannya. Semoga kita semua terhindar dari hukuman di dunia dan azab api neraka.

(20)

4. Iman yang disebabkan oleh logika

Bagi sebagian orang, ketiga hal yang disebutkan diatas tidak dapat membuat mereka yakin begitu saja dengan keberadaan Allah s.w.t. Biasanya ini adalah orang-orang yang biasa menggunakan logikanya dalam berfikir. Orang-orang yang memiliki tipe seperti ini harus mau mempelajari lebih dalam tentang islam dan mencari kebenaran atas pertanyaan-pertanyaan mereka. Logika seperti apakah yang akan membuat orang-orang ini akan beriman kepada Allah? Salah satunya ialah logika tentang kebenaran akan isi Al-quran yang membantu para ilmuan untuk memecahkan pertanyaan-pertanyaan tentang alam semesta. Di luar sana ada beberapa pemuka islam yang juga memiliki tipe seperti ini, salah satunya adalah Zakir Naik dan Ahmed Deedad.15

Kesimpulan

Dari hasil uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa cara manusia bertuhan itu berbeda-beda, ada yang bertuhan ada yang menerima segala kepastian yang menimpa diri dan saekitarnya dan yakin berasal dari tuhan, ada juga yang menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari tuhan.

Bahkan ada manusia yang hanya bertuhan saja ada juga yang beragama saja, yang dimaksud bertuhan saja manusia itu hanya mengakui keberadaan tuhan saja, mengakui kebesarannya tetapi dia tidak mengikuti perintah Tuhan-Nya, sedangkan yang beragama saja dia hanya menjalankan apa yang diperintahkan oleh agamanya, tetapi dia tidak mengakui keberadaan Tuhan-Nya.

Jadi lebih baik kita beragama dan juga bertuhan, itu akan lebih baik dari pada hanya bertuhan saja atau hanya beragama saja, sebab kita akan bisa mengenal lebih dekat dengan Agama dan Tuhan kita.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.uny.ac.id/285/1/URGENSI_MEMAHAMI_HAKEKAT_MANUSIA. pdf

(22)

file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/195903051989011-SYARIF_MOEIS/MAKALAH__9.pdf

http://id.wikipedia.org/wiki/Agama

http://www.entrepreneurmuslim.com/4-tipe-sebab-orang-beriman-kepada-allah Prasetya, Joko Tri. 2004. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta Abid Al-Jabiri, Muh. 2000. Binyah al-Aql al-Araby. Tanpa kota: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah.

Al-Khatib, Sulaiman. Tanpa tahun. Al-Falsafah al-‘Aammah wa alAkhlaaq. Minia: Jami ah Minia. ‟

Aman, Saifudin. 2013. Tren Spiritualitas Milenium Ketiga. Jakarta: Ruhama. Hossein, Nasr Seyyed. 1994. Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan untuk Generasi Muda Muslim. Bandung: Mizan.

Mubarok, Achmad. 2002. Pendakian Menuju Allah. Jakarta: Khazanah Baru. Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Dakwah Sufistik Kang Jalal. Jakarta: Dian Rakyat. Sauq, Achmad. 2010. Meraih Kedamaian Hidup Kisah Spiritualitas Orang Modern. Yogyakarta: Sukses Offset.

Sukidi. 2002. Kecerdasan Spiritual. Jakarta: Gramedia.

(23)

1 Asiyah Muis, “Manusia Menurut Ajaran Islam”, diakses dari

https://www.academia.edu/5094626/MANUSIA_MENURUT_AJARAN_ISLAM, pada tanggal 25 Agustus 2016 pukul 17:45

2 Achmad Dardiri, “URGENSI MEMAHAMI HAKEKAT MANUSIA”, diakses dari

http://eprints.uny.ac.id/285/1/URGENSI_MEMAHAMI_HAKEKAT_MANUSIA.pdf, pada tanggal 25 Agustus 2016 pukul 18:43

3Gerhard Böwering, God and his Attributes, Encyclopedia of the Quran

4 John L. Esposito, Islam: The Straight Path, Oxford University Press, 1998, p.22.

5John L. Esposito, Islam: The Straight Path, Oxford University Press, 1998, p.88

6 "Allah." Encyclopædia Britannica. 2007. Encyclopædia Britannica

7Bentley, David (September 1999). The 99 Beautiful Names for God for All the People of the Book. William Carey Library. ISBN0-87808-299-9.

8 Encyclopedia of the Modern Middle East and North Africa, Allah

9 Annemarie Schimmel,The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic, SUNY Press, p.206

7 8

10 Britannica Encyclopedia, Islam, p. 3 4

10

(24)

12 Abbas Mahmoud Al-‘Akkad, KETUHANAN Sepanjang Ajaran Agama-Agama Dan Pemikiran Manusia, (Jakarta: N.V Bulan Bintang, 1981), hlm, 182.

13 Imam Khanafie Al-Jauharie,Op. Cit, hlm, 47.

14 Abbas Mahmoud Al-‘Akkad, Op. Cit, hlm, 190-191.

15 Miftah Fadli, “4 TIPE SEBAB ORANG BERIMAN KEPADA ALLAH”, diakses dari

http://www.entrepreneurmuslim.com/4-tipe-sebab-orang-beriman-kepada-allah, pada tanggal 28 Agustus 2016 pada pukul 19:51

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu nikmat anugrah yang diberikan kepada manusia oleh Allah, di berinya manusia akal untuk berfikir dengan akalnya dapat membedakan dengan makhluk yang

Hal ini berbeda dengan binatang sebagai makhluk hidup yang sama-sama makhluk alamiah, berbeda dengan manusia hewan tidak dapat melepaskan dari ikatan dorongan nalurinya dan terikat

mungkin dapat ditentukan perinciannya semua manusia dengan akalnya, sebagaimana tidak mungkin pula akal manusia dapat mengetahui hukum-hukum berupa perintah dan larangan

Manusia adalah makhluk yang lemah dibanding makhluk lain namun dengan akal budinya dan kemauannya yang sangat kuat maka manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan

Manusia sebagai makhluk alamiah mengandung arti bahwa manusia secara individualitas dapat belajar secara langsung maupun tidak langsung belajar mempelajari

Manusia memiliki kelebihan dari makhluk lain, salah satu buktinya adalah kepatuhan manusia pada Allah SWT melalui perjuangan yang berat melawan hawa nafsu dan

Manusia merupakan makhluk yang paling dominan di permukaan bumi. Hampir semua lini di bumi ini dikuasai oleh manusia. Kenapa bisa demikian? Karena manusia memiliki beberapa

Bagaimana dengan manusia? Manusia juga memiliki instink seperti yang dimiliki oleh hewan dan tumbuh-tumbuhan. Namun, manusia memiliki kelebihan, yaitu kemampuan berpikir dengan kata