• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHTSUL MASAIL NU (Sebuah Kritik Metodologi) Nurotun Mumtahanah Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hikmah Tuban

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAHTSUL MASAIL NU (Sebuah Kritik Metodologi) Nurotun Mumtahanah Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hikmah Tuban"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016 (Sebuah Kritik Metodologi)

Nurotun Mumtahanah

Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hikmah Tuban e-mail: ningmumun74@gmail.com

Abstract: It has long been known that to deal with various religious problems related to Islamic jurisprudence (fiqh), Nahdlatul Ulama (NU) has commonly based its thinking on four schools of thought (madzhab), ie Hanafi, Maliki, Shafi'i and Hanbali. The decision making system in NU problems deliberation (bahsul masail) is formulated in three procedures such as taqrir jama'i, ilhaq al-masail bi nadzairiha, and istinbath. To determine the authoritative (mu'tabar) books used to solve the legal problems Nahdliyin (NU followers) used to base their lines of thouight on the so-called al kutub 'ala al-madzahib al-arba'ah (the books referring to the four schools of thought / madhhab).

Keywords: Bahtsul Masail, NU, schools of thought

Pendahuluan

Sudah diakui bersama bahwa di dunia Islam telah terjadi polarisasi masyarakat Muslim dalam bentuknya sebagai organisasi, komunitas atau golongan dengan orientasi gerakan, pemikiran dan ideologi yang berbeda-beda. Awal terjadinya polarisasi ini berangkat dari kasus tahkim (arbitrase) antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah yang bersumber dari kekecewaan Mu’awiyah karena Ali tidak mau menghukum pembunuh-pembunuh Usman ibn Affan. Bahkan Ali dituduh oleh Mu’awiyah turut campur dalam pembunuhan Usman.1 Dari pertikaian ini kemudian memunculkan golongan Khawarij dan Syi’ah. Pada awalnya, persoalan-persoalan yang timbul adalah masalah politik namun pada akhirnya membawa kepada persoalan-persoalan teologi.2

Untuk masa berikutnya, berbagai aliran mulai muncul, semisal Mu’tazilah, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau yang biasa disebut kelompok Sunni dan sebagainya, dengan berbagai orientasi gerakan dan pemikiran. Kemunculan berbagai kelompok ini mengindikasikan bahwa hadits Nabi yang menjelaskan tentang terpecahnya Umat Islam menjadi 73 golongan semakin kuat. Penentuan siapa yang salah dan benar selalu memunculkan truth claim disertai dengan sikap menyalahkan kelompok lain.

Di Nusantara sendiri fenomena polarisasi juga tampak. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai organisasi yang ada, baik itu orientasinya ke arah politik, keagamaan, sosial keagamaan, pendidikan maupun orientasi yang lain, semisal Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, LDII dan lain sebagainya sampai organisasi keagamaan yang baru saja memunculkan polemik dan kontroversi, yaitu Ahmadiyah. Masing-masing organisasi ini memiliki pijakan dan dasar tersendiri untuk memutuskan kebijakan dalam segala sisi kehidupan, baik itu berupa agama, sosial, ekonomi, hukum, politik, pendidikan dan ideologi.

1

Tarikh al-Thabari, (Kairo; Dar al-Ma’arif, Jld. V, th. 1963), 7

2

(2)

AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016

Dalam al-Quran,3 Allah SWT menjelaskan bahwa perbedaan yang terjadi pada manusia merupakan sunnatullah, meskipun Allah mampu untuk menyatukan mereka. Perbedaan yang terjadi ini muncul karena perbedaan kecenderungan umat manusia untuk “melirik” ke arah yang dikehendaki sesuai dengan konteks dan kebutuhan mereka masing-masing, dimana kecenderungan dan konteks manusia selalu tidak sama, bahkan terlalu jauh untuk dapat disatukan demi menyeragamkan visi dan misi kemanusiaan secara universal.

Salah satu apresiasi dan sikap terhadap perbedan ini adalah menghargai dan toleransi terhadap setiap golongan atau kelompok serta meyakini bahwa dalam suatu kelompok atau golongan selalu ada kebenaran yang tidak diperoleh dalam kelompoknya sendiri, meskipun dengan prosentase yang sangat minim. Apresiasi dan sikap inilah yang akan mendorong kita untuk memahami sabda Nabi Muhammad SAW “ikhtilaafu ummati rahmatun”. Kesadaran kita terhadap realita heterogenitas merupakan kunci awal terciptanya kedamaian dan keselarasan (egaliter) hak setiap individu dan kelompok di kehidupan dunia ini.

Lajnah Bahtsul Masail NU

Studi tentang Lajnah Bahtsul Masail (lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan) Nahdlatul Ulama tidak dapat dilepaskan dari tradisi pemikiran fiqh madzhabi atau fiqh empat madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sudah menjadi kesepakatan ulama sejak dahulu bahwa untuk memecahkan masalah-masalah keagamaan yang terkait dengan hukum fiqh, NU mempergunakan acuan fiqh empat madzhab tersebut.4

Fiqh sendiri merupakan ilmu tentang masalah-masalah syar’iyyah praktis yang berkenaan dengan ‘ibadat (peribadatan), mu’amalat (transaksi dalam masyarakat), munakahat (pernikahan) dan ‘uqubat (hukuman). Sedangkan fiqh yang dipahami NU sebagai suatu ilmu tentang hukum-hukum syar’iyyah yang berkaitan dengan amal praktis yang

3

Untuk lebih jelasnya lihat al-Quran Surat an-Nahl (93), Yunus (19), Hud (118-119) dan asy-Syura (8). Dalam ayat-ayat ini, dijelaskan tentang kecenderungan manusia untuk selalu berbeda dalam segala hal. Perbedaan manusia disebabkan dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Pertama, merupakan ketetapan Allah untuk menentukan apakah seseorang mendapatkan hidayah dan rahmat dari Allah atau sebaliknya. Kedua, yaitu faktor eksternal dimana seseorang memiliki kehendak sendiri untuk menentukan langkah kehidupannya berdasarkan pandangannya terhadap dunia (view of world)

4

Anggaran Dasar NU (ADNU) Bab II pasal 3 hasil muktamar NU ke-30 di Kediri, 21-27 Nopember 1999 menyatakan NU sebagai jam’iyyah diniyyah beraqidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal jama’ah dan menganut salah satu madzhab empat : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sejak Muktamar ke I sampai dengan XXX, Bab II pasal 3 ADNU ini walaupun secara redaksional mengalami perubahan, namun substansinya belum pernah berubah dan tetap berlaku sampai sekarang :

a. Dalam statuten perkoempoelan Nahdlotoel ‘Oelama di Soerabaja tahun 1930 fatsal 2 disebutkan, Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe: Memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari madzhabnja Imam ampat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboehanifah An-Noe’man, ataoe Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam.

b. Dalam Anggaran Dasar Partai Nahdlatul ‘Ulama tahun 1952 pasal 2 tentang Azas dan Tudjuan disebutkan Nahdlatul ‘Ulama berazas agama Islam dan bertudjuan: a. Menegakkan Sjari’at Islam dengan berhaluan salah satu dari pada 4 madzhab: Sjafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali, b. Melaksanakan berlakunja hukum-hukum Islam dalam masjarakat.

c. Dalam Anggaran Dasar NU (keputusan Muktamar XXVII tahun 1984) pasal 3 tentang aqidah disebutkan NU sebagai Jam’iyyah Diniyyah Islamiyyah beraqidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan mengakui salah satu madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

d. Dalam Anggaran Dasar NU (keputusan Muktamar XXVIII tahun 1989) pasal 3 disebutkan NU sebagai

Jam’iyyah Diniyyah Islamiyyah beraqidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menganut

(3)

AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016

diambil dan disimpulkan dari dalil-dalil tafshily (terperinci), adalah fiqh yang diletakkan oleh para mujtahid pada dasar-dasar pembentukannya, yaitu al-Quran, al-Sunnah, ijma’ dan qiyas.5

Peran fiqh dalam kehidupan masyarakat muslim, termasuk warga NU, tidak dapat dipungkiri. Al-Maududi menjelaskan urgensi syari’ah dalam kehidupan, termasuk fiqh, karena sasaran syari’ah yang utama adalah membangun kehidupan manusia berdasarkan kebaikan dan menyucikannya dari kemunkaran. Syari’ah berusaha membasmi kejahatan dalam tatanan sosial dengan melarang keburukan, menjelaskan semua penyebab tumbuh dan berkembangnya kejahatan, menutup lubang-lubang masuknya kejahatan dalam masyarakat yang dapat meracuni umat manusia.6 Konsekunsi logis dari prinsip syari’ah yang berusaha membersihkan manusia dari kemunkaran dan menuntun ke jalan yang benar adalah diintroduksikannya syari’ah secara teratur, kontinyu dan menyeluruh kepada masyarakat, sehingga akan menjadi kebiasaan dan tradisi yang melekat dalam prilaku keseharian.

Dengan tradisi pemikiran fiqh yang mengacu kepada empat madzhab, NU mencoba memberi solusi terhadap tantangan perubahan yang dihadapi masyarakat untuk melembagakan nilai-nilai baru dan tingkah laku keberagamaannya. Dengan fiqh empat madzhab ini, NU secara teoritis memiliki keleluasaan menerapkan kebijakan organisasi untuk mengantisipasi masalah-masalah yang timbul, sehingga kebijakan yang diambil tidak rigid (kaku) karena mempunyai banyak alternatif dari pendapat-pendapat madzhab yang ada.7 Untuk itu, NU mempunyai suatu forum disebut Lajnah Bahtsul Masail yang beranggotakan para ulama dan intelektual guna memecahkan problematika keagamaan kontemporer dan aktual yang muncul di tengah masyarakat, pesantren dan bahkan dari pengurusnya sendiri.

Walaupun Lajnah Bahtsul Masail tersebut belum otonom, dalam arti NU belum membentuknya sebagai suatu badan otonom, namun dalam Muktamar XXVIII di Jogjakarta, tanggal 25-28 Nopember 1989, Komisi I (Bahtsul Masail) merekomendasikan kepada PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyyah sebagai lembaga permanen yang khusus menangani persoalan keagamaan.8 Akhirnya, berdasarkan rekomendasi itu PBNU dengan surat keputusannya Nomor : 30/A.I.05/5/1990 membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyyah pada tahun 1990.9

Bahtsul masail tidak dapat dilepaskan dari kitab acuan dalam mencari jawaban terhadap masalah yang dibahas, yaitu kitab-kitab yang sudah diakui keabsahannya oleh kalangan Nahdliyyin yang lazim disebut al-kutub al-mu’tabarah. Namun dalam ADNU sendiri belum dijelaskan tentang standar kemu’tabaran suatu kitab dan kitab-kitab yang berafiliasi kepada empat madzhab.

Prosedur Pengambilan Keputusan 5

KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm. 30. Tampaknya penulis buku ini belum dapat melepaskan diri dari term fiqh Syafi’i yang didasarkan pada empat asas tersebut.

6

Abu al-A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat (Bandung: Mizan, 1995), 70-71

7

M. Ali Haidar, NU dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih Dalam Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), 76

8

Ahmad Zahro, Lajnah Bahtsul Masail 1926 - 1999, Tradisi Intelektual NU, (Yogyakarta : LKiS, 2004), 3

9

(4)

AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016

Secara umum dapat dikemukakan bahwa sistem pengambilan keputusan dalam bahtsul masail NU dirumuskan dalam tiga cara atau prosedur.10 Pertama, melalui apa yang disebut dengan taqrir jama’i. Melalui cara ini permasalahan yang dicarikan jawaban dengan mengutip sumber fatwa dari kitab-kitab yang menjadi rujukan. Cara taqrir dengan demikian hanyalah menetapkan saja apa yang sudah ada. Hal ini dilatarbelakangi oleh suatu pandangan yang diyakini bahwa apa yang sudah diputuskan oleh ulama atau qaul al-faqih dipandang selalu memiliki relevansi dengan konteks kehidupan masa kini dan harus dipakai tanpa reserve atau kritik. Qaul al-ulama yang dikemukakan dalam kitab-kitab rujukan dianggap sebagai kata final. Boleh jadi pandangan demikian juga berkaitan dengan hakikat ilmu itu sendiri. Pada masa lampau ilmu dirumuskan sebagai sesuatu yang diketahui dan diyakini secara tuntas.11

Selanjutnya, menjawab permasalahan fiqh dengan pendapat tunggal hampir tidak dijumpai kecuali apabila telah menjadi ijma’. Ini lebih berkaitan dengan pernyataan fiqh itu sendiri. Fiqh yang berbasis dalil ‘amm secara apriori akan melahirkan keputusan dan pemikiran ganda, dua, tiga dan seterusnya. Terhadap kemungkinan paling dominan maka Sistem Pengambilan Keputusan Bahtsul Masail (SPKBM) NU seperti ini telah memberikan alternatif pilihan yang disusun secara hirarkis, yaitu kesepakatan Nawawi-Rafi’i, pendapat Nawawi, pendapat Rafi’i, pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama, pendapat ulama terpandai, dan terakhir adalah pendapat ulama yang paling wara’.12

Banyak hal yang melatarbelakangi pilihan Nawawi atas Rafi’i. Pertama, Nawawi dikenal sebagai muharrir madzhab Syafi’i. Di tangan ulama ini pikiran-pikiran Syafi’i terseleksi. Kedua, Nawawi dipandang sebagai muhaddits ‘aqil, sementara al-Rafi’i hanyalah faqih. Ketiga, Nawawi memiliki kecenderungan sikap asketis lebih tinggi dari pada al-Rafi’i.

Prosedur kedua adalah ilhaq al-masail bi nadzairiha. Istilah ini dipakai untuk menggantikan istilah qiyas yang dipandang tidak patut dilakukan. Pada ilhaq yang diperlukan adalah mempersamakan persoalan fiqh yang belum ditemukan jawabannya dalam kitab secara tekstual dengan persoalan yang sudah ada jawabannya berdasarkan teks suatu kitab (mu’tabar). Sementara pada qiyas, persoalan yang belum terjawab tersebut dirujuk langsung kepada al-Quran dan Hadits guna mempersamakan oleh karena antara keduanya memiliki ‘illat yang sama.13

Meskipun prosedur ilhaq memperlihatkan arah lebih maju, tetapi secara substansial tetap menghadapi persoalan yang sama dengan cara pertama, yaitu taqlid qauli. Menurut KH. Husein Muhammad, ada kecenderungan bahwa cara ini ditempuh hanya dalam rangka

10

Husein Muhammad, “Tradisi Istinbath Hukum NU: Sebuah Kritik”, dalam Kritik Nalar Fiqih NU, (Jakarta: LAKPESDAM, 2002), 27-33

11

Prosedur pertama ini merupakan kesamaan dari taqlid qauli yang hanya menetapkan hukum persoalan yang sudah ada jawabannya, seolah-olah meneguhkan kembali keputusan hukum yang telah ditetapkan ulama terdahulu.

12

Mencermati cara seperti ini, dapat dikatakan bahwa Imam Nawawi telah ditempatkan pada posisi paling atas. Ia mengungguli ulama terpandai, bahkan mengungguli pikiran-pikiran mayoritas. Diktum rumusan keputusan seperti ini yang diambil dari kitab I’anah al-Thalibin, karya Imam al-Dimyathi, yang sangat popular di pesantren, telah menempatkan pikiran personal mengungguli pikiran-pikiran kolektif.

13

Ini jelas memperlihatkan ketidakberanian pemikir fiqh nahdliyyin untuk melakukan kajian-kajian langsung terhadap sumber-sumber syari’ah. Mereka masih cenderung untuk mempertautkan persoalan-persoalan yang muncul dengan persoalan-persoalan yang sudah ada jawabannya dalam kitab-kitab yang menjadi rujukan.

(5)

AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016

menjaga agar tidak terjadi kemandegan/stagnasi (tawaqqufiyah) yang biasanya berkaitan dengan persoalan-persoalan kontemporer (al-qadlaya al-mu’ashirah).

Dr. Ahmad Zahro dalam penelitiannya terhadap seluruh keputusan hukum fiqh Lajnah Bahtsul Masail (1926-1999) menemukan setidaknya 33 keputusan yang ditetapkan dengan menggunakan metode ilhaqy, 29 keputusan diambil sebelum Munas Bandar Lampung dan 4 keputusan terjadi sesudahnya.14

Namun secara resmi dan eksplisit metode ilhaqy baru terungkap dan dirumuskan dalam Munas Bandar Lampung yang menyatakan bahwa untuk menyelesaikan masalah yang tidak ada qaul/wajh sama sekali, maka dilakukan prosedur ilhaq al-masail bi nadzairiha secara jama’i (kolektif) oleh para ahlinya.15 Sedangkan prosedur ilhaq adalah dengan memperhatikan unsure (persyaratan berikut), yaitu mulhaq bih (sesuatu yang belum ada ketetapan hukumnya), mulhaq ‘alaih (sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya) dan wajh al-ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dengan mulhaq ‘alaih) oleh para mulhiq (pelaku ilhaq) yang ahli.16

Prosedur ketiga adalah istinbath. Ini adalah istilah lain dari ijtihad yang hendak dihindari oleh ulama NU. Secara essensial kedua term ini adalah sama, yakni melakukan kajian intensif dan maksimal dari para ahli terhadap persoalan-persoalan fiqh melalui teori-teori atau kaidah-kaidah fiqh. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fiqh manhajy atau berijtihad secara manhajy, yakni dengan menelusuri dan mengikuti metode istinbath hukum atau jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang ditempuh oleh madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali.17

Proses istinbath atau manhajy ini adalah setelah tidak dapat dirujukkan kepada teks suatu kitab mu’tabar, juga tidak dapat diilhaqkan kepada hukum suatu masalah yang mirip dan telah terdapat rujukannya dalam suatu kitab mu’tabar, maka digunakanlah metode istinbath atau manhajy dengan mendasarkan jawaban mula-mula pada al-Quran, setelah tidak ditemukan lalu pada hadits dan begitu seterusnya yang akhirnya sampailah pada jawaban dari qaidah fiqhiyyah “daf’al-mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-mashalih” (menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada upaya memperoleh kemaslahatan). Hal demikian dimungkinkan karena prosedur istinbath hukum bagi metode manhajy adalah dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul al-fiqh) dan qawaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).18 Secara resmi metode ini baru dipopulerkan penggunaannya

dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Bandar Lampung.19

14

Ahmad Zahro, Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999, Tradisi Intelektual NU, (Yogyakarta: LKiS, 2004), 121

15

A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Nahdlatul Ulama, (Surabaya: PP. RMI dan Dinamika Press, 1997), 365 16 Ibid,367 17 Ibid,364 18 Ibid,367 19

Dapat dikatakan Munas Bandar Lampung adalah era kesadaran perlunya redefinisi dan reformasi arti bermadzhab. Era ini dapat dikatakan sebagai titik awal untuk bersikap lebih inklusif dalam hal pemahaman beragama, khususnya dalam Lajnah Bahtsul Masail menuju universalitas Islam dan era kesadaran perlunya “pabrik” pemikiran. Munas Bandar Lampung juga dapat dikatakan sebagai titik awal untuk mendobrak pemahaman jumud (stagnan) yang berupa ortodoksi pemikiran dengan mencukupkan pada apa yang telah diformulasikan oleh para ulama terdahulu yang sudah terkodifikasi dalam kitab-kitab empat madzhab, khususnya

(6)

AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016

Pendekatan manhajy menegaskan kepada warga nahdliyyin agar hanya memakai empat madzhab yang masih dianggap relevan dengan tuntutan kehidupan beragama, sesuai Anggaran Dasar NU (ADNU). Walaupun kalau merujuk pada kitab-kitab andalan dalam Lajnah Bahtsul Masail yang hampir semua keputusannya mengacu pada kitab-kitab tersebut, ternyata bermadzhab kepada selain empat madzhab diperbolehkan dengan syarat madzhab dimaksud telah terkodifikasi, sehingga dapat diketahui persyaratan-persyaratan dan hasil-hasil ijtihad dari madzhab itu.20

Walaupun dalam memecahkan masalah yang dilakukan Lajnah Bahtsul Masail dalam Munas ini secara praktis masih tetap sama dengan sebelum Munas, namun ada kemajuan dengan adanya penegasan teoritis dalam hal metode dan prosedur istinbath hukum, terutama upaya penerapan metode manhajy dari empat madzhab. Memang metode empat madzhab hingga saat ini masih dianggap representatif untuk memecahkan masalah keagamaan warga NU.

KH. MA. Sahal Mahfudh menjelaskan bahwa kaidah-kaidah pengambilan hukum yang dirumuskan ulama terdahulu masih tetap relevan hingga kini. Jadi yang perlu dilakukan adalah pengembangan fiqh melalui kaidah-kaidah tadi, menuju fiqh yang kontekstual.21 Namun yang perlu diperhatikan adalah adanya perkembangan secara konseptual terkait dengan metode yang digulirkan oleh ulama reformis di kalangan NU.22 Momen pengguliran ini makin mendapat angin segar setelah Munas Bandar Lampung yang menghasilkan keputusan tentang metode pemecahan masalah dalam bahtsul masail.23

Munculnya istilah bermadzhab secara manhajy dan timbulnya gagasan untuk mempopulerkannya dapat ditelusuri sejak tahun 1987 ketika intelektual muda NU mengadakan kajian-kajian kritis terhadap kitab kuning, walaupun akhirnya mendapat tanggapan negatif dan hambatan dari beberapa ulama senior dengan melarang pelaksanaan diskusi di kantor PBNU. Namun demikian para intelektual muda tetap mengadakan diskusi-diskusi kritis di tempat lain, yaitu di P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). Melalui P3M inilah hasil-hasil diskusi tersebut dipublikasikan oleh Jurnal Pesantren.24

Tahun berikutnya (1988) atas dukungan KH. MA. Sahal Mahfudh dan KH. Imron Hamzah, para intelektual muda NU mengadakan mudzakarah (seminar) dengan tema “Telaah Kitab Secara Kontekstual” di Pondok Pesantren Watucongol, Muntilan, Magelang pada 15-17 Desember 1988, yang antara lain menghasilkan pokok-pokok pikiran berikut: memahami teks kitab harus dibarengi dengan konteks sosial historisnya, mengembangkan kemampuan observasi dan analisis terhadap teks kitab, memperbanyak muqabalah (komparasi mengenai hal-hal yang berbeda) dengan kitab-kitab lain, meningkatkan intensitas

intelektual NU, bahwa kitab-kitab madzhab empat tidaklah cukup dan perlu ada semangat reformasi menuju pemikiran madzhab yang luwes, fleksibel, luas dan mampu menghadapi tantangan zaman.

20

A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Nahdlatul Ulama, (Surabaya: PP. RMI dan Dinamika Press, 1997), 168

21

MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994), 49

22

Pemikiran Abdurrahman Wahid, Masdar Farid Mas’udi dan lain-lain dapat dibaca dalam Feillard, NU vis-à-vis

Negara, 377-378

23

Untuk lebih jelasnya baca A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Nahdlatul Ulama, (Surabaya: PP. RMI dan Dinamika Press, 1997), 365-367

24

Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994), 222

(7)

AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016

diskusi intelektual antara pakar disiplin ilmu terkait dengan materi yang tercantum dalam kitab klasik, dan menghadapkan kajian teks kitab klasik dengan wacana aktual dan bahasa yang komunikatif.25

Kemudian pada pertengahan Oktober 1989 (menjelang Muktamar XXVIII) di Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak diselenggarakan halaqah (sarasehan) mengenai “Masa Depan NU” yang salah seorang pembicaranya adalah Ahmad Qodri Abdillah Azizy, menggagas perlunya redefinisi bermadzhab yang kemudian dicetuskanlah istilah bermadzhab fi al-manhaj (mengikuti metodologinya).26

Kitab-Kitab Mu’tabarah

Untuk menentukan kitab mu’tabar27 dan yang tidak mu’tabar dalam pandangan NU haruslah merujuk kepada keputusan konstitusionalnya. Kriteria al-kutub al-mu’tabarah yang legal-konstitusional untuk menyelesaikan problem hukum warga NU sebenarnya dapat dikatakan terlambat. Sebab sejak dimulainya bahtsul masail yang pertama, yakni dalam Muktamar I tahun 1926, baru pada Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo hal tersebut dipermasalahkan, dibahas dan kemudian ditentukan kriteria kemu’tabaran suatu kitab.

Dalam Munas tersebut dijelaskan bahwa maksud kitab mu’tabar adalah al-kutub ‘ala al-madzahib al-arba’ah28 (kitab-kitab mengacu pada madzhab empat). Walaupun tidak diterangkan mengapa standar kitab mu’tabar mengacu pada madzhab empat namun dapat diyakini bahwa hal itu disebabkan Anggaran Dasar NU memang mengacu pada madzhab empat.29

Definisi tersebut sebenarnya tidak jelas batas-batasnya, masih menimbulkan banyak pertanyaan, misalnya apakah kriteria al-kutub ‘ala al-madzahib al-arba’ah didasarkan pada sekedar pengakuan seorang penulis sebagai penganut salah satu dari madzhab empat? Atau standar kemu’tabaran suatu kitab dilihat dari alur berfikir, manhaj atau metodologinya, semisal karena ada kesamaan metodologi seorang penulis dalam karyanya dengan salah satu dari madzhab empat, maka kitab tersebut dianggap mu’tabar. Kalau demikian, maka seseorang yang mempunyai metodologi tertentu yang tidak sama dengan madzhab empat, tetapi mengaku bermadzhab salah satu dari madzhab empat, kitab karyanya harus diterima dan dikategorikan sebagai kitab mu’tabar.

Begitu juga bila standarnya dengan melihat manhaj atau metodologinya, masih timbul pertanyaan apakah harus sama dalam semua aspeknya atau sekedar ada beberapa kemiripan metodologis dengan salah satu madzhab empat. Bila cukup sekedar ada beberapa kemiripan metodologis dengan salah satu madzhab empat, konsekuensinya harus diterima

25

Ahmad Zahro, Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999, Tradisi Intelektual NU, (Yogyakarta: LKiS, 2004), 128-129

26

Baca Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 2000), 10-12 dan 50-54

27

Kata mu’tabar digunakan jika bergandengan dengan bentuk tunggal, sedangkan kata mu’tabarah digunakan jika bergandengan dengan bentuk jamak. Keduanya berarti diakui, memiliki otoritas.

28

A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Nahdlatul Ulama, (Surabaya: PP. RMI dan Dinamika Press, 1997), 301

29

Dalam Bab II pasal 3 Anggaran Dasar NU hasil Muktamar XXX di Lirboyo Kediri tahun 1999 dijelaskan bahwa NU sebagai jam’iyyah diniyyah Islamiyyah berakidah Islam paham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menganut salah satu madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

(8)

AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016

beragam aliran pemikiran Islam sebagai salah satu pengikut madzhab empat dan karyanya dianggap sebagai kitab yang mu’tabar.

Dalam Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung pada 21-25 Juni 1992 diadakan pembahasan lagi tentang definisi kutub mu’tabarah. Menurut Munas ini definisi al-kutub al-mu’tabarah adalah kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan doktrin Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah).30 Namun dengan pembatasan kitab mu’tabar yang distandarisasi dari aspek kesesuaiannya dengan Aswaja, definisi kitab mu’tabar tetap tidak jami’-mani’ (tegas dan tuntas). Di satu sisi tidak tertutup kemungkinan adanya kitab-kitab selain madzhab empat (seperti Fiqh al-Sunnah, Subul al-Salam dan sebagainya) dapat dikategorikan sebagai kitab-kitab mu’tabarah. Di sisi lain definisi operasional Aswaja sendiri masih polemis, sehingga akan menjadi persoalan tersendiri untuk mengklasifikasi kitab-kitab mana yang sesuai atau tidak sesuai dengan doktrin Aswaja.

Oleh karena itu, jika istilah al-kutub al-mu’tabarah masih harus dipakai dan dilekatkan bagi semua kitab yang diakui untuk menjadi rujukan Lajnah Bahtsul Masail, maka al-kutub al-mu’tabarah harus didefinisikan secara operasional, yaitu kitab-kitab yang disepakati oleh anggota Lajnah Bahtsul Masail sebagai refrensi guna menetapkan suatu keputusan hukum. Dengan definisi operasional demikian, Lajnah Bahtsul Masail tidak akan mengalami kesulitan untuk memasukkan suatu kitab sebagai kitab mu’tabar atau sebaliknya dan dengan mudah mengesampingkan kitab tertentu karena dianggap tidak mu’tabar.31

Meskipun NU dalam Anggaran Dasarnya menyatakan bermadzhab pada salah satu madzhab empat sebagai pedoman hukumnya, namun diktum ini dalam realitasnya telah mangalami reduksi besar-besaran. Kitab-kitab yang dianggap mu’tabarah sebagian besar didominasi oleh kitab-kitab Syafi’iyyah semata. Pandangan-pandangan fiqh dari madzhab lain; Hanafi, Maliki dan Hanbali hampir diabaikan. Meskipun tidak secara jelas diucapkan, tetapi keengganan –kalau tidak dikatakan penolakan-- nampak sangat terasa dalam perdebatan-perdebatan yang berlangsung. Kenyataan juga memperlihatkan dengan jelas dengan tidak dihadirkannya kitab-kitab dari kalangan madzhab selain Syafi’i tersebut dalam forum bahtsul masail di berbagai forum dan yang termasuk dalam Munas atau Muktamar. Kalaupun ada, maka tidak banyak orang yang mengetahui bahwa sumber yang digunakan berasal dari madzhab selain Syafi’i. Ini misalnya dalam kasus asuransi yang dibahas dalam Munas Lampung yang mengambil pikiran-pikiran Ibn Abidin al-Hanafi.32

Belakangan ini, misalnya dalam Munas di Lombok, terdapat kecenderungan sebagian ulama NU untuk mencoba menjamah kitab-kitab di luar Syafi’iyyah tersebut, bahkan ada di antaranya yang menyebut-nyebut nama Ibn al-Zhahiri. Ini sesungguhnya merupakan fenomena yang menarik meskipun masih sangat sedikit.

Kesimpulan

Lajnah Bahtsul Masail (lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan) Nahdlatul Ulama adalah merupakan tradisi pemikiran yang tidak terlepaskan dari fiqh madzhabi atau

30

A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Nahdlatul Ulama, (Surabaya: PP. RMI dan Dinamika Press, 1997), 364

31

Untuk lebih jelasnya lihat Ahmad Zahro, Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999, 146-148

32

Husein Muhammad, “Tradisi Istinbath Hukum NU; Sebuah Kritik” dalam Kritik Nalar Fiqih NU, (Jakarta: LAKPESDAM, 2002), 32

(9)

AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016

fiqh empat madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sistem pengambilan keputusan dalam bahtsul masail NU dirumuskan dalam tiga cara atau prosedur. Prosuder yang pertama adalah melalui taqrir jama’i. Prosedur yang kedua melalui ilhaq al-masail bi nadzairiha. Dan prosedur ketiga adalah dengan cara istinbath.

Untuk menentukan kitab mu’tabar yang dibuat menyelesaikan problem hukum warga NU al-kutub ‘ala al-madzahib al-arba’ah (kitab-kitab mengacu pada madzhab empat). Dalam Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung pada 21-25 Juni 1992 diadakan pembahasan lagi tentang definisi al-kutub al-mu’tabarah. Menurut Munas ini definisi al-kutub al-mu’tabarah adalah kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan doktrin Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah)

Daftar Rujukan AD/ART NU

al-Maududi, Abu al-A’la. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. terj. Asep Hikmat. Bandung: Mizan, 1995.

Azizy, Ahmad Qodri A. Islam dan Permasalahan Sosial. Yogyakarta: LKiS, 2000.

Haidar, M. Ali. NU dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih Dalam Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Mahfudh, MA. Sahal. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LkiS, 1994.

Masyhuri, A. Aziz. Masalah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Surabaya: PP. RMI dan Dinamika Press, 1997.

Muhammad, Husein. “Tradisi Istinbath Hukum NU: Sebuah Kritik” dalam Kritik Nalar Fiqih NU. Jakarta: LAKPESDAM, 2002.

Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press, 1986.

van Bruinessen, Martin. NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS, 1994.

Zahro, Ahmad. Lajnah Bahtsul Masail 1926 - 1999, Tradisi Intelektual NU. Yogyakarta : LKiS, 2004.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penambahan lumpur sawit segar dan lumpur sawit fermentasi dalam ransum tidak berpengaruh

Peneliti berasumsi bahwa sebelum dilakukan intervensi pendidikan kesehatan melalui konseling menggunakan lembar balik, sebagian besar responden berpengetahuan cukup

Pada unit pengawasan mutu pabrik teh hitam yang direncanakan, total kebutuhan air yang digunakan untuk sanitasi karyawan, peralatan, dan ruangan laboratorium setiap bulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Danga Kecamatan Aesesa Kabupaten Nagekeo Tahun 2016, dapat disimpulkan bahwa terdapat

Variabel C mempunyai nilai loading factor 0.887 dimana mempunyai nilai yang signifikan sehingga berarti bahwa komunikasi yang terdapat pada website Pemerintahan Kota

Dosis kompos kiambang yang terbaik untuk pertumbuhan dan karakter fisiologis tanaman teh dataran rendah adalah media tanam topsoil dikombinasikan dengan kompos kiambang (1:1).

Pada oblique transmission , anggota Perkumpulan Tionghoa Marga “X” berinteraksi dengan orang dewasa lain seperti kakek, nenek, paman, bibi, guru, dosen, atasan dan

1) Telah mengikuti minimal 2 (dua) semester dan maksimal 4 (empat) semester, dan bukan mengundurkan diri atau diberhentikan dari pendidikan (DO). 2) Perpindahan