• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ankara State Information Organization (1972: 28) menyatakan bahwa kekaisaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ankara State Information Organization (1972: 28) menyatakan bahwa kekaisaran"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II ISI

A. Runtuhnya Kekaisaran Turki Utsmani

Peta sejarah Islam menyatakan bahwa Turki pernah menjadi pusat kekuasaan dunia Islam selama kurang lebih delapan abad dan sangat disegani oleh bangsa Eropa. Pada rentang waktu inilah masa keemasan Turki mencapai puncaknya, yaitu pada masa pemerintahan dinasti Utsmani(Ottoman Empire)yang berkuasa dengan sistem pemerintahan monarkhi absolut (Lubis, 2005: 189-190).

Dalam buku yang berjudul “Facts about Turkey” yang diterbitkan oleh Ankara State Information Organization (1972: 28) menyatakan bahwa kekaisaran Ottoman adalah Kekaisaran terbesar dan paling kuat yang ada dalam sejarah Turki. Pada masa pemerintahan Sultan Murat III (1574-1595), kekaisaran menguasai seluas sekitar 20 juta km persegi dan juga menguasai tiga benua. Asal-usul Ottoman diketahui berasal dari salah satu kerajaan yang didirikan setelah kehancuran negara Seljuk oleh bangsa Mongol. Kerajaan ini didirikan oleh suku Kayl, anggota dari konfederasi Oghuz dari suku Turki. Kerajaan Ottoman berada di daerah Sogut dan Bilecik di Anatolia barat dan pertama kali diperintah oleh Ertugrul Gazi. Anak Osman terakhir, meluaskan daerah perbatasan sampai laut Marmara di barat dan laut Hitam di utara. Kemudian di bawah Orhan Gazi, seluruh segitiga yang dibatasi oleh laut Aegea, laut Marmara dan laut Hitam jatuh ke dalam kekuasaan Ottoman, yang juga menyeberang inti Eropa. Hal ini terjadi pada saat Byzantium kehilangan benteng penting mereka di Izmit dan

(2)

Iznik. Di sebelah timur, Kekaisaran Ottoman menduduki kekuasaan di Ankara, sehingga mengambil langkah pertama menuju reunifikasi Anatolia.

Awal mula kesultanan Turki Utsmani merupakan sebuah suku yang hidup secara nomaden (hidup yang selalu berpindah-pindah). Dapat dikatakan bahwa kebudayaan Turki Utsmani tidak hanya dipengaruhi dan didominasi oleh satu kebudayaan saja, melainkan sebuah proses panjang yang pada akhirnya menghasilkan sebuah perpaduan antara berbagai budaya yang pernah bersentuhan dengannya. Diantara kebudayaan itu adalah Persia, Byzantium, dan Arab. Kemudian, dalam tata pemerintah dan kemiliteran kerajaan Turki Utsmani terlihat lebih mengadopsi dari budaya Byzantium dan Persia, yang lebih mengambil ajaran-ajaran mengenai tata krama dan etika. Terkait dengan ajaran prinsip-prinsip ekonomi, perkembangan keilmuan dan sosial kemasyarakatan, Turki Utsmani lebih mengadopsi budaya Arab (Badri, 1997: 136).

Sucipto (2014: 60) dalam Sri Mulyati mengatakan bahwa salah satu kehebatan Turki Utsmani adalah negara dan kerajaan yang mampu mengakomodasi dan menyatukan berbagai macam suku bangsa yang majemuk dan heterogen untuk hidup damai, aman dan sejahtera di wilayah kekuasaannya. Semuanya, baik yang beragama Yahudi, Nasrani, dan Islam dapat hidup berdampingan. Berbagai etnik pun terdapat di Turki Utsmani, seperti misalnya Yunani, Serbia, Bulgaria, Rumania, Armenia, Arab dan Turki yang disebut millet. Meskipun begitu lambat laun perbedaan etnik yang terdapat di Turki Utsmani menimbulkan sebuah pertentangan dan konflik hingga peperangan.

Namun dalam 88 tahun berikutnya (1595-1683) Turki Utsmani tidak hanya menderita kerugian teritorial, tetapi daerah penaklukan mereka diambil alih. Pada

(3)

saat di bawah pimpinan Sultan Murat IV, kekaisaran tampaknya menghidupkan kembali kemegahan yang telah dicapai di bawah Sultan Sulaiman. Tapi penampilan eksternal ini menipu, benih disintegrasi menyerang struktur dalam negara dengan hasil yang menjadi nyata dalam abad berikutnya. Bencana melanda kerajaan antara 1683 dan 1699. Dalam enam belas tahun yang diikuti kegagalan upaya Turki Utsmani kedua untuk menyerbu Wina, kekaisaran harus bersatu dalam menghadapi negara Eropa.

Di bawah perjanjian Carlowitz, Turki Utsmani mengakui kekalahannya. Mereka harus kehilangan Polandia, Hungaria dan Transylvania. Meskipun demikian memulihkan keadaan dan membangun kembali posisi mereka sebagai kekuatan tunggal terkuat di daerah sampai tahun 1768. Beberapa wilayah menyerahkan pada Carlowitz kembali, dan reformasi internal tertentu dilakukan. Namun reformasi tidak menyentuh organisasi yang paling membutuhkan itu, yaitu korps militer Jennisari. Ini adalah penyebab kekalahan Turki Utsmani dalam perang melawan Rusia pada tahun 1768-1774. Antara tahun 1768-1838 di bawah Sultan Abdul Hamid I, Selim III, dan Mahmud II terguncang oleh munculnya sejumlah perang-perang yang ada. Pada suatu waktu keadaan mandiri dengan surplus untuk ekspor, kekaisaran Turki Utsmani mulai mengandalkan impor mondar-mandir Eropa. Mahmud II meniadakan perang, membangun kembali kewenangan pemerintah pusat, melakukan sejumlah reformasi ekonomi, dan saat jatuh untuk mencapai standar Eropa, memastikan keberadaan lanjutan dari kerajaan di tiga benua untuk abad selanjutnya.

Pada awal abad ke-18, usaha-usaha pembaruan itu sifatnya lain sebab Kerajaan Utsmai mulai membuka pintu bagi Barat. Kontak-kontak diplomatik dan

(4)

kultural dengan negara-negara Eropa meyakinkan para negarawan Utsmani akan keunggulan teknik Barat, dan menjadikan mereka berupaya mencari bantuan teknis dalam urusan-urusan kemiliteran dari para ahli Barat (Ankara State, 1972: 30-31).

Namun, pada akhir abad ke-18, kekuasan Turki Utsmani tidak mampu lagi untuk mempertahankan dirinya menghadapi perkembangan kekuasaan dan kekuatan militer Eropa, serta tidak mampu mengelak dari penetrasi komersial Eropa. Tahun 1908 terjadi krisis politik internal di dalam tubuh kekuasaan Turki Utsmani yang mengganggu perimbangan kekuatan. Perang Dunia I menyempurnakan proses kesendirian Turki Utsmani, sehingga pada bulan Desember 1914 Turki Utsmani melibatkan diri dalam perang Dunia dan masuk ke dalam kubu Jerman dan Austria (Lapidus, 2000: 66).

Akibat kekalahan Turki dalam pengepungan kota Wina pada tahun 1683, kerajaan Turki Utsmani mengalami kemunduran dan mendorong para sultan pemerintahannya mengadakan pembaharuan dan perubahan (Bernard, 1993: 218). Kekalahan demi kekalahan yang dialami oleh Turki Utsmani dari Barat menjadi awal isu tentang pembaharuan, modernisasi dan westernisasi. Zürcher (dalam Atika, 2010: 18) menyatakan bahwa kekhalifahan Utsmaniyyah runtuh pada masa pemerintah Sultan Mehmet VI Vahdettin. Runtuhnya Kekhalifahan Utsmani digantikan dengan pemerintah Republik Turki yang ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian damai Lausanne oleh Mustafa Kemal Ataturk.

Menjelang akhir abad ke-18, hubungan-hubungan yang dijalin dengan Barat itu mengakibatkan meningkatnya “pencarian jati diri” karena kaum intelektual dan negarawan Utsmani mulai memandang Westernisasi sebagai

(5)

prasyarat pembaruan Kerajaan Utsmani. Karena itu, abad ke-19, perhatian pokok para pembaru Utsmani ialah membaratkan angkatan bersenjata, lembaga-lembaga pendidikan, hukum dan politik Kerajaan Utsmani. Permasalahan yang mereka hadapi ialah bagaimana cara melakukannya dalam suatu masyarakat, di mana Islam sudah berpenetrasi ke dalam sub-struktur sistem sosio-politik Turki Utsmani (Toprak, 1999: 59).

Selain itu, Isputaminigsih dalam bukunya yang berjudul “Negara Turki Modern Ala Mustafa Kemal” (2009: 63) menjelaskan faktor-faktor runtuhnya kekaisaran Turki Utsmani diantaranya adalah:

1) Luasnya wilayah kekuasaan, sehingga kurangnya kontrol dari pusat. Hal ini menyebabkan banyak penguasa daerah yang ingin memperluas daerah kekuasaannya, sementara heterogenitas penduduk memerlukan organisasi pemerintahan yang teratur.

2) Lemahnya para penguasa. Sepeninggal Sulaiman al-Qanuni, Kerajaan Utsmani diperintah oleh Sultan-sultan yang lemah, sehingga semakin rendahnya kualitas aparat pemerintah pusat yang diimbangi dengan rendahnya kualitas kepemimpinan individual para sultan menyebabkan pemerintahan menjadi kacau.

3) Pemberontakan tentara Yenissari sebagai pasukan elite Kerajaan Utsmani, yang sebelumnya menjadi tulang punggung suksesnya militer kerajaan berubah menjadi sebuah pasukan yang disiplin dan loyalitasnya sangat merosotnya bahkan mereka sering memberontak.

(6)

4) Merosotnya ekonomi. Hal ini terjadi akibat karena peperangan yang tidak berhenti, pendapatan berkurang, sementara belanja negara sangat besar untuk biaya perang.

5) Terjadinya stagnasi dalam sains dan teknologi, sehingga tidak dapat mengimbangi kebangkitan Eropa dengan kemajuan sains dan teknologinya. Akibatnya, Turki tidak sanggup menghadapi persenjataan musuh dari Eropa yang sudah menguasai seluruh lapangan kehidupan, termasuk angkatan militernya sudah terorganisir dengan rapi dan dapat memukul mundur kekuatan militer Turki.

Benturan-benturan antara Kesultanan Turki Utsmani dengan kekuatan Eropa menyadarkan Sultan bahwa mereka memang sudah jauh tertinggal. Kondisi ini menyadarkan Sultan Salim III (1789-1807 M) sebagai penguasa dinasti Utsmani pada saat itu melihat kemajuan Eropa Barat ini sebagai sesuatu yang mempesona. Ia terpesona karena Eropa Barat yang pernah kalah dalam perang Salib melawan Islam, dalam tempo yang relatif singkat berhasil membangun negaranya secara pesat. Ia pun khawatir karena kemajuan Barat berarti ancaman bagi Turki Utsmani, sehingga dengan segala upaya, Salim berusaha melakukan pembaharuan bagi negaranya (Isputaminingsih, 2009: 64).

Kebangkitan dunia Barat bukanlah karena kemajuan sains dan teknologi-nya, karena ini hanya merupakan alat untuk mencapai kemajuan. Sebab pokok dari kemajuan Barat adalah “jiwa dan kekerasan hati rakyat Eropa untuk menumpahkan energi dan kemampuan mereka dalam rangka meningkatkan tingkatan hidup dan kesejahteraan umum, kemakmuran dan kebahagiaan masyarakatnya” (Ali, 1994: 17).

(7)

Tampaklah kemajuan Eropa memang bersumber dari metode berpikir Islam yang rasional sebagai implementasi peradaban Islam yang masuk ke Eropa pada waktu terjadinya perang Salib. Maka dapatlah dikatakan benturan-benturan antara kerajaan Islam dan kekuatan Eropa, telah menyadarkan umat Islam untuk terpaksa belajar dari Eropa.

Demikianlah Turki, pada abad ke-19/20, merupakan sebuah negara yang tidak memiliki kewibawaan lagi dimana negara tetangganya yaitu Eropa Barat, harus mengakui keunggulan bangsa Eropa dan berusaha mengadakan pembaharuan-pembaharuan di berbagai bidang kehidupan baik ekonomi, politik, sosial dan budaya maupun militer dalam rangka menghadapi modernisasi (Isputaminingsih, 2009: 64-65).

B. Munculnya Mustafa Kemal

Dalam kondisi sosial politis Turki yang berada dalam kehancuran, lahir tokoh pembaharuan Turki yang monumental dan spektakuler yaitu Mustafa Kemal Ataturk. Berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya yang pada umumnya gagasan mereka masih bersifat akademis, namun Mustafa Kemal lebih pada mengutamakan gerakan pembaharuan melalui perjuangannya dengan perombakan institusi dan peradaban masyarakat Turki.

Mustafa Kemal melihat bahwa Turki Utsmani berada diambang kehancuran terutama setelah kekalahannya dalam perang Dunia I (1914-1918), gerakan yang dapat memobilisasi massa dan kaum intelektual Turki waktu itu adalah ideologi nasionalisme dan sekulerisme. Ideologi kekhalifahan tidak lagi memiliki daya panggil untuk berjihad melawan kekuatan sekutu dan membangun

(8)

Turki dalam era modern, namun Mustafa Kemal menyadari kekuatan Islam tetap sebagai pemersatu kekuatan awal dalam melawan kekuatan asing (Isputaminingsih, 2009: 16).

Kemajuan sains dan teknologi modern ini pada awal abad ke-19 telah memasuki dunia Islam dan dipandang sebagai permulaan periode modern, dimana ide-ide Barat seperti rasionalisme, nasionalisme, dan demokrasi menandai perkembangan baru pemikiran politik islam kontemporer. Munawir Sjadzali (1990: 129) dalam Isputamingsih mengatakan perkembangan tersebut di latarbelakangi oleh desakan Barat di bidang ekonomi, militer dan politik yang mengancam kebutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi Barat atas sebagian besar wilayah daerah. Sementara Donald Eugeun Smith (1985: 41) menyatakan bahwa krisis politik yang ditimbulkan oleh dominasi Barat bersamaan dengan dengan krisis spiritual yang menyadarkan para pembaharu Islam untuk secara fundamental mengkaji ulang doktrin-doktrin agama agar dapat teraktualisasi dalam wacana perkembangan sejarah modern. Dalam negara Republik Turki, ruang lingkup modern ini sangat berkaitan dengan Mustafa Kemal Ataturk, yaitu seorang tokoh yang hidup pada masa Turki saat berada diambang kehancurannya dan ia terlibat dalam proses-proses penambahan di berbagai bidang kehidupan masyarakat Turki yang ia bangun dalam suatu atmosfir global perkembangan wacana politik Islam pada abad ke-19/20 (Isputamingsih, 2009: 30).

Mustafa Kemal merupakan tokoh yang mempelopori gerakan Turki Muda dengan tokoh-tokoh lainnya yaitu, Ahmed Riza (1839-1931), Mahmud Murad (1853-1912) dan Pangeran Sabahuddin (1877-1948). Gerakan Turki Muda ini

(9)

berusaha menggalang opini publik dan melancarkan kritikannya terhadap Sultan lewat penerbitan surat kabar dan majalah seperti Terekki (Kemajuan) dan Mizan (Timbangan). Ketiga tokoh ini berpendapat bahwa sebetulnya bukan Islam yang menyebabkan kemunduran kerajaan Turki Utsmani dan bukan pula terletak pada rakyatnya, tetapi semua ini diakibatkan oleh “Sultan yang memerintah secara absolut. Oleh sebab itu kekuasaan Sultan harus dibatasi” (Nasution, 2003: 114).

Mustafa Kemal juga merupakan sosok pemimpin baru di Turki, yang menyelamatkan Kerajaan Utsmani dari kehancuran total dan bangsa Turki dari penjajahan Eropa. Ialah pencipta Turki modern dan atas jasanya, ia mendapat gelar “Ataturk” (Bapak Turki) (Nasution, 2014: 134).

Kinross (1985: 142) dalam Isputaminingsih menyatakan bahwa Mustafa Kemal dilahirkan di Salonika pada tahun 1881, Latip (2011: 11) lebih menjelaskan bahwa Mustafa Kemal lahir pada tanggal 19 Mei tahun 1881. Ia berasal dari keluarga yang taat beragama. Andrew Mango dalam bukunya yang berjudul “Ataturk” menyatakan dalam bukunya bahwa:

Ataturk was born in salonica in 1880 into a family which muslim, Turkish- speaking and precariously meddle-class. He was born during the rign of AbdulHamit II, the last Ottoman sultan to exercise autoratic power (Mango, 1999:31).

Ataturk lahir di Salonika pada tahun 1880 dalam sebuah keluarga muslim Turki, dan berasal dari kelas menengah. Dia hidup pada masa pemerintahan Abdul Hamid II, sultan Ottoman terakhir yang menjalankan kekuasaan otokratis.

Ayahnya, Ali Reza adalah seorang karyawan pada suatu pemerintah. Ibunya, seorang yang menginginkan Mustafa Kemal mengikuti jejak keluarga menjadi orang yang taat beragama, setidak-tidaknya menjadi hafiz atau boja (guru). Karena itu ia dimasukan ke Madrasah Fatimah Mollahh Kadin, yang

(10)

sisitem penngajarannya masih tradisional. Ia tidak menyukai sekolah di madrasah ini dan sering melawan gurunya. Melihat hal ini, ayahnya memindahkannya ke sekolah umum Shemsi Effendi, dan di sinilah Mustafa Kemal sukses dalam belajar. Mustafa Kemal menyelesaikan sekolah dasar swasta modern pertama di Salonika, dan melanjutkan ke sekolah Militer tahun 1893. Setelah menyelesaikan sekolah Militer di Monnastir tahun 1899, dia melanjutkan Sekolah Tinggi Militer di Istanbul kelas infantri. Di Sekolah Perang ini, ia menemukan jati dirinya. Ketertarikannya pada Matematika dan pengetahuan kemiliterannya serta kepintarannya berbicara berkembang di sini, sehingga salah seorang gurunya memberikan nama kepadanya “Kemal” yang berarti “Kesempurnaan” (Jameelah 1965: 162).

Mustafa Kemal kemudian dipromosikan menjadi pejabat pengajaran, sebuah posisi yang baginya menunjukan kewibawaannya. Tahun 1905, ia lulus Akademi Perang dengan pangkat Kapten pada umur 24 tahun. Kondisi sosial-politik Turki selama Mustafa Kemal melaksanakan studi di Istanbul adalah dalam keadaan kacau dimana terjadi konflik, disatu sisi rakyat Turki mengecam dan menentang kekuasaan absolut Kesultanan Utsmani dan besarnya peran lembaga Syaikh al-Islam dalam pemerintahan. Di sisi lain rakyat-pun sedang berhadapan dengan Perang Dunia I (1941-1918) yang melibatkan Turki sebagai sekutu Jerman melawan Inggris dan sekutunya. Dalam kondisi ini pun banyak wilayah kekuasaan Turki Utsmani yang melepaskan diri dari pemerintahan Istanbul, seperti Arab dan Mesir (Qardhawy, 1996: 140).

Lembaga pendidikan Militer pada akhirnya menjadi salah satu pusat kegiatan oposisi. Mustafa Kemal dan teman-temannya membentuk organisasi

(11)

rahasia bernama Vaton Ve Hurriyet (Tanah Air dan kebebasan). Tindakan Mustafa Kemal ini menunjukkan keinginannya untuk menentang nasionalisme Arab dengan membentuk nasionalisme Turki melalui organisasinya sebagai wadah perjuangannya.

Masuknya Mustafa Kemal dalam dunia politik semakin kuat setelah ia berkenalan langsung dengan peradaban Barat, terutama mengenai konstitusi, pada waktu ia dikirim ke Swiss sebagai atase militer. Titik balik karirnya dimulai ketika Mustafa Kemal memimpin Turki dalam perang kemerdekaan (1919-1922) melawan Sekutu, dan Mustafa Kemal berhasil merebut kembali Turki setelah Jerman sebagai sekutu Turki mengalami kekalahan dalam Perang Dunia I. Keberhasilannya ini mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Momentum ini tidak disia-siakan oleh Mustafa Kemal. Dalam upayanya, ia melancarkan perjuangannya membangun Negara Turki Modern, dengan cara mengadakan westernisasi terutama dalam sistem ketatanegaraan yang berdasarkan kepada konstitusi yang dianggap Mustafa Kemal dapat mewakili kepentingan seluruh rakyat yang tergabung dalam satu bangsa dan negara (Anwar, 1989: 86). Kemudian ia mendirikan Partai Rakyat Republik (Republican People’s Party) dan membentuk Majelis Nasional Agung sebagai kendaraan politik dalam melaksanakan reformasinya (Nasution, 2003:136). Dan pada tanggal 29 Oktober 1923 terbentuklah Republik Turki dan Mustafa Kemal menjadi Presiden pertamanya (Isputaminingsih 2009: 13-15).

Sebagai seorang militer yang berpengalaman terjun kelapangan peperangan baik di Hijaz, Libya, Mesir dan beberapa negara lainnya, Mustafa Kemal selalu mencari kesempatan dalam perjuangannya. Ia juga memanfaatkan waktunya ini

(12)

untuk mendapatkan perhatian dari pasukan yang dipimpinnya, sehingga dimanapun ia dikirim dalam peperangan, kepintaran dasar dan pengetahuan militer serta kemampuannya dalam memimpin anggotanya selalu membawa kemenangan. Keberhasilan ini membawa dirinya pada puncaknya di masa disintegrasi sedang terjadi pada zaman Turki \Utsmani. Walaupun Sultan menolak untuk mengakui posisinya, namun Mustafa Kemal menggerakkan kekuatan rakyat biasa untuk mendukungnya dalam melawan pemerintah Pusat di Istanbul (Sabiq, 2008: 70).

Pengalaman politik Mustafa Kemal jelas mempengaruhi bentuk pemikirannya secara signifikan. Bagi Mustafa Kemal, Sultan dan agama tidak berpengaruh untuk pembangunan kembali kerajaan. Pandangannya tentang negara bagian adalah tidak berdasarkan agama. Tentu saja, konsepsi tersebut bukanlah keputusan yang dibuat secara mendadak tetapi sebuah ungkapan yang berkelanjutan dengan pandangan aliran politik yang bermacam-macam dimana Mustafa Kemal muncul (Isputaminingsih, 2009: 48).

Kesultanan Turki Utsmani memasuki Perang Dunia I pada tahun 1914 dengan bergabung dengan pihak Jerman dan Austria – Hungaria. Mustafa Kemal yakin bahwa keputusan-keputusan untuk turut ikut dalam perang telah diambil terlalu cepat. Dia dapat memprediksi bahwa hasil buruklah yang akan didapatkan dan berusaha untuk memperingatkan penguasa kerjaan terhadap konsekuensi dari keputusan mereka. Namun pada 1915 dia diberikan tugas yaitu perintah divisi 19 yang juga terbentuk di kota Thrace, dan ia ditempa menjadi tenaga tempur yang efisien. Selanjutnya dia bergerak bersama pasukannya menuju semenanjung Gallipoli dimana “Anglo-French” pesawat sekutu diperkirakan mendarat. Saat pendaratan berlangsung, Mustafa Kemal berhasil memeriksa sekutu terlebih

(13)

dahulu di Ariburnu, dan kemudian melawan dan memenangkan peperangan Anafartalar dimana dia berada di komando sebuah kelompok dari lima divisi, dengan pangkat kolonel. Tentara Inggris terpojok hingga ke pantai dimana mereka mendarat. Mustafa Kemal menaklukkan mereka dengan serangan terus menerus, mengharuskan mereka untuk pergi dari semenanjung pada 19 Desember 1915.

Perancis juga pergi secara bersamaan karena tidak mampu bertahan. Kemenangan ini menyelamatkan Istanbul, ibukota Kekaisaran (Kesultanan), dan menghindari kemungkinan Rusia mendapatkan pijakan di selat, Mustafa Kemal menjadi salah satu komandan besar dalam sejarah. Pada tahun 1915 ia diangkat ke Diyarbakir di timur depan, sebagai komandan korps militer. Dalam perintah baru ini ia pertama kali menghentikan kemajuan Rusia dan kemudian mendapatkan kembali kota-kota Bitlis dan Mus. Tahun-tahun berikutnya ia diberi komando tentara 7 disebut juga dengan “Lightning Group of Armies on The Southern Front in Palestine”. Namun, ia tidak setuju dengan komandan Jerman mengenai rencana serangan yang terakhir, ia mengundurkan diri dari perintah tersebut dan kembali ke Istanbul. Ditunjuk sekali lagi di Palestina bagian depan pada tahun 1918, ia berhasil menahan gempuran sekutu pada garis utara dari Aleppo yaitu di sepanjang perbatasan selatan Turki yang sekarang. Pada 30 Oktober 1918 kekaisaran (kesultanan) Ottoman menandatangani gencatan senjata Moudros dengan pihak sekutu, dimana Mustafa Kemal mengambil alih komando “Lightning Group of Armies” dari Jendral Jerman Liman Von Sanders.

Ketika kelompok itu tersebar, ia kembali ke Istanbul. Setelah memastikan bahwa senjata dan amunisi dibagi, ia kemudian membawa dan bersembunyi di utara pegunungan Taurus sebagai persiapan untuk operasi perlawanan masa depan.

(14)

Pada saat yang sama ia memperingatkan pemerintah di Istanbul dari bahaya yang dihadapi oleh negara dan perlu untuk mengambil tindakan sesegera mungkin untuk mencegah interpretasi yang tidak menguntungkan dari ketentuan gencatan senjata. Di Istanbul, Mustafa Kemal berhubungan terus dengan teman yang memiliki pemikiran sepaham dan juga dengan koresponden pers asing. Ia mempunyai pandangan bahwa negara itu hanya bisa diselamatkan dengan mengorganisir pasukan perlawanan di Anatolia. Kesempatan untuk menempatkan rencananya untuk dijalani muncul ketika ia dikirim oleh pemerintah Sultan ke Samsun untuk menekan gangguan.

Mustafa Kemal diangkat menjadi inspektur tentara dan diberi kekuasaan yang luas, membawahi otoritas sipil setempat. Pada 19 Mei 1919, Mustafa Kemal tiba di Samsun, tiga hari setelah pendaratan Yunani di Izmir, dan segera memulai persiapan untuk perang kemerdekaan Turki. Dia melakukan perjalanan dari Samsun ke Erzurum, mengundurkan diri jabatannya dan terpilih sebagai presiden dari kongres nasional yang diadakan di kota. Mustafa Kemal membujuk kongres untuk menetapkan prinsip-prinsip perjanjian nasional yang kemudian diadopsi oleh dewan deputi Ottoman. Dari Erzurum, Mustafa Kemal pindah ke barat menuju Sivas dimana kongres lain diadakan. Mustafa Kemal melihat bahwa prinsip-prinsip yang disepakati di Erzurum kini lebih luas, perumusan seluruh negeri. Kemudian Mustafa Kemal terpilih sebagai presiden eksekutif permanen (komite perwakilan) dari kongres, dan meneruskan ke Ankara untuk mengatur perjuangan nasional. Mustafa Kemal kemudian ditekan pemberontakan di berbagai belahan Anatolia oleh pemerintah Istanbul yang berkolaborasi dengan sekutu. Akhirnya Mustafa Kemal memutuskan untuk membentuk tentara reguler,

(15)

atas dasar perjuangannya pada kehendak rakyat. Dengan tujuan tersebut, Mustafa Kemal mengamankan pembukaan Majelis Agung Nasional Turki di ankara pada 23 April 1920. Sejak saat itu perjuangan dilakukan dan dipimpin dengan sukses oleh Majelis Pemerintahan. Dua perjanjian terpisah dicapai dengan perwakilan Perancis, di mana Perancis mengevakuasi wilayah Turki yang mereka duduki di selatan - sekarang Icel dan Gaziantep - dan senjata dan material yang digunakana diamankan untuk tentara Turki. Di barat, Turki memenangkan pertempuran Inönü dan Sakarya, dan akhirnya pada 30 Agustus 1922 Mustafa Kemal mengarahkan kekuatan ke pertempuran besar yang dikenal sebagai pertempuran “Commander-in-Chief” yang mengarah pada pembebasan seluruh Anatolia.

Ketika Mustafa Kemal masuk Izmir kekuatan sekutu bergegas untuk menjalin kontak dengannya, dan melalui negosiasi menghasilkan kesepakatan dari gencatan senjata mudanya pada 11 Oktober 1922. Hal ini menyatakan kembalinya Istanbul dan Thrace ke Turki. Pada 17 November 1922 sultan Utsmaniyah terakhir melarikan diri dari Istanbul dan Kekaisaran Ottoman menghilang dari sejarah (Ankara States, 1972: 36-38).

Setelah melalui keputusan Dewan Mustafa Kemal mendirikan negara Republik Turki. Kemudian pada tanggal 29 Oktober 1923, beliau menjadi presiden pertama Republik Turki (Latip, 2011: 14).

Latip (2011: 11-16) menuliskan tentang kronologi sejarah hidup Mustafa Kemal dan peristiwa-peristiwa penting yang dialami olehnya sebagai berikut:

1) 19 Mei 1881

(16)

2) Tahun 1905

Pada tahun ini, Mustafa Kemal dilantik menjadi kapten 3) Oktober 1906

Beliau mulai aktif dalam politik, lalu membuat perkumpulan “Tanah Air dan Kemerdekaan” di Damsyik

4) 1 Februari 1915

Beliau dinaikkan pangkat menjadi Brigadir Jenderal 5) Tahun 1916

Beliau dinaikkan pangkat sebgai basya, yaitu pangkat yang lebih tinggi dari brigadir

6) Tahun 1917 dan 1918

Beliau di hantar ke wilayah Balkan untuk memimpin dan menentang tentara Rusia tetapi misi yang dibwanya itu gagal. Kemudian ia dihantar ke Hijaz untuk membantu pemberontakan yang disokong oleh pihak Inggris. Kemudian ia ditugaskan ke Palestina. Namun, kedua misi yang ia pimpin itu gagal.

7) 23 Agustus 1919

Beliau di tarik menjadi Gubernur di Ardhrum, atau yang sekarang terkenal dengan kota Erzurum yang terletak di Turki bagian timur

8) 19 September 1921

Beliau di naikkan pangkat menjadi Masryal, yaitu tingkat tertinggi setara dengan Jenderal Besar

(17)

Selepas pulang dari medan perang, yaitu perang Shaqariya, beliau meminta supaya diberi julukan Ghazi beserta uang tunai sebanyak empat juta lira

10) 11 September 1923

Beliau mendirikan Partai Rakyat 11) Tahun 1923

Beliau menandatangani perjanjian Laussane 12) 29 Oktober 1923

Beliau menjadi presiden Turki yang pertama 13) 24 November 1934

Beliau memakai gelar Ataturk yang mempunyai arti Bapak Turki 14) 4 Mei 1931

Terpilih menjadi presiden untuk yang ketiga kalinya 15) 1 Maret 1935

Terpilih menjadi presiden yang ke empat kali 16) 10 November 1938

Beliau meninggal dunia di Istana Dulamah Baghjah Istanbul karena menghidap penyakit radang hati dan penyakit lainnya.

17) 21 November 1938

Mayat beliau diletakkan di Muzium Etnografi di Ankara.

C. Pemikiran Mustafa Kemal

Dari upaya-upaya pembaharuan dalam Kesultanan Turki, tampak bahwa gerakan-gerakan pembaharuan yang diupayakan oleh kekuatan dari luar elite

(18)

Kesultanan maupun dari Sultan sendiri belum memberikan hasil yang memuaskan. Kenyataan yang ada bahwa Turki Utsmani justru semakin melemah, bahkan mendapatkan predikat orang sakit Eropa. Wilayah Kesultanan yang masih cukup luas menyisakan suatu kesulitan yang tidak tertangani secara ekonomi dan politik. Perkeonomian tidak mampu membungkam rasa tidak puas di banyak kalangan masyarakat. Secara horizontal, majemuknya masyarakat karena adanya perbedaan agama maupun etnis, membuat persatuan Kesultanan Turki Utsmani semakin melemah dan sulit dicarikan simbol pemersatu (Isputaminingsih, 2009: 78).

Fragmentasi dalam mensikapi persoalan kemunduran Kesultanan dan ideologi dari solusi pembaharuan itu dapat dibagi menjadi tiga golongan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Harun Nasution (2003: 119) ada tiga aliran pembaharuan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat Turki saat itu, yaitu:

1) Golongan Barat yang menghendaki peradaban Barat sebagai dasar pembaharuan. Tokoh utamanya adalah Tewfik Fikret dan Dr. Abdullah Jewdat. Keduanya termasuk pengkritik tajam faham keagamaan tradisional dan fatalisme, sehingga mereka cenderung dimusuhi oleh kalangan agama dan dianggap sebagai musuh agama.

2) Golongan Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar pembaharuan dan mereka menganggap agama atau Islam bukanlah penghambat kemajuan seperti yang dituduhkan selama ini. Tokoh utamanya Mehmed Akif, yang memberikan contoh bahwa kemajuan yang dialami Jepang dengan tidak mengabaikan nilai-nilai kemasyarakatan. Jepang hanya

(19)

mengambil sains dan teknologi Barat saja. Sementara nilai yang menjadi pedoman kehidupan tetap dipertahankan.

3) Golongan Nasionalis Turki yang muncul paling akhir dan melihat bahwa pasukan peradaban Barat dan bukan Islam yang harus dijadikan dasar pembaharuan, tetapi jiwa nasionalisme Turki-lah yang harus dijadikan senjata dalam pembaharuan Turki. Tokoh utamanya adalah Ziya Gokalp. Menurut Gokalp kelemahan bangsa Turki disebabkan keengganan umat Islam dalam mengakui adanya perubahan dalam kehidupan disekeliling mereka serta tidak mau mengadakan interpretasi baru yang sesuai dengan kondisi zaman. Gokalp menghendaki Turki dibangun diatas kebudayaan nasional yang unsur-unsurnya berasal dari Barat namun dijiwai oleh Islam (Isputamingsih 2009: 79).

Ziya Gokalp adalah tokoh yang mengilhami kebijakan sekular Mustafa Kemal. Ziya Gokalp merupakan seorang ahli sosiologi Turki yang mengamati kondisi psikologi dan filsafat masyarakat Turki. Gokalp melihat kelemahan bangsa Turki adalah karena “adanya keengganan dari umat Islam dalam mengakui adanya perubahan dalam kondisi kehidupan mereka serta tidak mau mengadakan interpretasi baru yang sesuai dengan keadaan zaman atas ajaran-ajaran Islam” (Berkes, 1959: 7). Gokalp menginginkan Turki merupakan sebuah sintesis dari Nasionalisme Turki, Islamisme dan Westernisme. Inilah yang menjadi pioner dari pemikiran Mustafa Kemal dalam mewujudkan pembaharuan kerajaan Utsmani menjadi Republik Turki yang menganut paham sekular. Jameelah (1965: 155) mengatakan bahwa Ziya Gokalp adalah seorang diantara tokoh Turki yang mempelopori sebuah negara sekular Turki yang dilaksanakan oleh Mustafa Kemal

(20)

Ataturk. Jameelah dalam bukunya yang berjudul “Islam dan Modernisme” juga mengkritik tajam pemikiran Gokalp yang dianggapnya tidak orisinil dan menjiplak barat serta mencerminkan pendirian nasionalis tulen yang ingin menghancurkan Islam.

Ziya Gokalp sebenarnya menginginkan pemisahan antara hukum ibadat dan muamalat. Hukum ibadat menjadi urusan kaum ulama dan hukum muamalat menjadi urusan negara. Dengan demikian, apa yang hendak dipisahkan oleh golongan nasionalis dari negara bukanlah agama tetapi kekuasaan kaum ulama yang terdapat di Biro Syaikh al-Islam, itu pun hanya masalah muamalat. Namun, soal ibadah tetap berada di tangan kaum ulama (Nasution, 2003: 128).

Dalam pemikiran tentang pembaharuan, Mustafa Kemal dipengaruhi bukan oleh ide golongan Nasionalis Turki saja, tetapi juga oleh ide golongan Barat. Turki dapat maju hanya dengan meniru Barat. Setelah perjuangan kemerdekaan selesai, demikian Mustafa Kemal, perjuangan baru mulai, yaitu perjuangan untuk memperoleh dan mewujudkan peradaban Barat di Turki. Peradaban \\Barat akan diambil bukan hanya sebagian-sebagian, tetapi dalam keseluruhannya. Menurut Argouglu seorang pengikut Mustafa Kemal, ketinggian suatu peradaban terletak dalam keseluruhannya, bukan dalam bagian-bagiannya tertentu. Peradaban barat dapat mengalahkan peradaban-peradaban lain, bukan hanya karena kemajuan ilmu pengetahauan dan teknologi nya saja, tetapi karena keseluruhannya, keseluruhan unsur-unsur nya, dan bukan unsur baiknya saja tetapi juga unsur tidak baiknya. Peperangan antara timur dan barat adalah peperangan antara dua peradaban, peradaban Islam dan peradaban Barat. Di dalam peradaban Islam, agama mencangkup segala-galanya “mulai dari pakaian dan perkakas rumah sampai ke

(21)

sekolah dan institusi”. Turut campurnya Islam dalam segala lapangan kehidupan membawa kepada mudurnya Islam, dan di Barat sebaliknya sekulerisasi-lah yang menimbulkan peradaban yang tinggi itu. Jika ingin terus mempunyai wujud rakyat Turki harus mengadakan sekulerisasi terhadap pandangan keagamaan, hubungan sosial dan hukum mereka.

Mustafa Kemal berpendapat di dalam salah satu pidatonya bahwa kelanjutan hidup di dunia peradaban modern menghendaki dari suatu masyarakat supaya mengadakan perubahan dalam diri sendiri. Di zaman yang di dalamnya ilmu pengetahauan membawa perubahan terus menerus bangsa yang berpegang teguh pada pemikiran dan tradisi yang tua dan usang, tidak akan dapat mempertahankan wujudnya. Masyarakat Turki harus diubah menjadi masyarakat yang mempunyai peradaban Barat, dan segala kegiatan reaksioner harus dihancurkan (Nasution 2014: 140).

Westernisasi, Sekulerisme dan Nasionalisme itulah yang menjadi dasar pemikiran pembaharuan Mustafa Kemal. Pembaharuan pertama ditujukan terhadap perubahan negara. Mustafa Kemal berpendapat bahwa dalam hal ini harus diadakan sekulerisasi. Pemerintah harus dipisahkan dari agama. Mustafa Kemal juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran politik barat bahwa kedaulatan terletak di tangan rakyat.

Pada konstitusi 1921, ditegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, maka bentuk negara baru ini haruslah Republik. Pada bulan Oktober tahun 1923, Majelis Nasional Agung memutuskan bahwa Turki adalah negara Republik (Nasution 2014: 142).

(22)

Binnaz Toprak dalam bukunya yang berjudul “Islam dan Perkembangan Politik di Turki” (1999: xviii-xxii) menjelaskan bahwa Mustafa Kemal mempunyai prinsip yang disebut Kemalisme. Ideologi ini terbagi menjadi 5. Yaitu, Republikanisme, nasionalisme, populisme, sekulerisme, dan etatisme.

1) Republikanisme : merupakan garis demarkasi dari sistem kekuasaan yang semula berada di tangan Sultan lalu beralih ke tangan rakyat diwakili oleh parlemen. Republik Turki yang diproklamirkan pada 29 Oktober 1923 menandai berakhirnya kekuasaan Kesultanan Turki Utsmani yang kemudian beralih menjadi Republik Turki. kemenangan gerakan rakyat ini telah mengundang reaksi keras dari Sultan dan sebagian Ulama. Kebencian para Sultan di dunia Arab terhadap kelahiran Republik Turki barangkali disebabkan antara lain oleh ancaman pudarnya kekuasaan yang berciri dinastiisme lalu digantikan parlemen rakyat. 2) Nasionalisme : nasionalisme juga merupakan kekuatan kritik dan

perlawanan terhadap ideologi Ottomanisme dan Islamisme yang secara geografis dan etnis meliputi berbagai wilayah, agama dan suku bangsa mulai Iran, Irak, Balkan, Afrika Utara, bahkan pengaruhnya pernah sampai Aceh. Salah satu sebab Mengapa republikanisme dan nasionalisme muncul dan meraih kemenangan karena merosotnya kekuasaan Kesultanan Utsmani pada awal abad ke-20.Otot-otot birokrasi dan para pendukung kerajaan kian melemah, sementara kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan dan militer Barat mulai bangkit. Kebangkitan dan supremasi Barat baru disadari oleh penguasa Ottoman ketika Jerman

(23)

dan kawan-kawannya, termasuk Dinasti Utsmani kalah dalam Perang Dunia I.

Kekalahan Utsmani pada Perang Dunia I ini semakin mendorong keyakinan para pendukung nasionalisme-turkisme yang dipimpin oleh Mustafa Kemal untuk menggalang dan menghidupkan semangat kebangsaan, bukannya kesultanan dan keislaman karena menurut Mustafa Kemal, hanya ideologi dan bendera kebangsaan yang mampu membangkitkan masyarakat dan bangsa Turki utnuk mempertahankan identitas dan kehormatan dirinya di hadapan ancaman Eropa, terutama Inggris. Untuk mewujudkan semangat ini maka rakyat harus diberi ruang yang lebih luas dan hak-hak politiknya harus dihargai karena mereka inilah sesungguhnya pemilik, pewaris dan penerus perjuangan bangsa Turki.

3) Populisme : untuk mendukung itu semua maka ditetapkan sila populisme yang berarti kerakyatan, yaitu the governance of the people, with the people, for the people. Prinsip ini jelas berbeda dari prinsip Kesultanan karena yang memegang dan mengendalikan politik adalah Sultan, bukan rakyat.

4) Etatisme : pemikiran ini berasal dari Barat yang berkembang di abad ke-19, yaitu campur tangan negara terhadap perencanaan dan pengaturan ekonomi rakyat, sebagai kritik terhadap faham ekonomi liberalisme. Di Turki, prinsip etatisme tidak hanya diberlakukan dalam aspek ekonomi saja melainkan juga aspek sosial politik. Hal inilah yang

(24)

menyebabkan sampai hari ini peranan negara masih cukup kuat meskipun mereka menyatakan diri sebagai pelopor demokrasi bagi dunia Islam. 5) Sekulerisme : sebagai salah satu prinsip ideologi Kemalisme yang

mengundang kontroversi dan caci maki serta kemarahan para ulama. Prinsip Sekulerisme di Turki sulit dipahami tanpa melihat jauh ke belakang praktik kehidupan politik di abad ke-16 dan berakhirnya dengan berdirinya Republik Turki pada tahun 1923. Bangsa Turki yang berasal dari daratan Asia Tengah ini datang ke wilayah Anatolia pada abad ke-11 melalui dua jalur, yaitu: daerah Balkan di sebelah Barat dan melalui Iran di sebelah Timur. Mereka di kenal sebagai “warrior nation” karena keahliannya mengendarai kuda dan keberaniannya di medan perang. Dinasti Utsmani menjadi kekuatan politik yang di dalamnya terdapat semangat keislaman dan ke-Turki-an dengan wilayah yang meliputi tidak hanya benua Arab melainkan juga sampai ke Afrika, anak benua India dan Eropa. Oleh karena itu Dinasti Utsmani meliputi wilayah dengan penduduk wilayah non-Muslim.

Faham Sekulerisme muncul sebagai kritik atau perlawanan balik dari gerakan republikanisme terhadap kekuasaan Turki Utsmani yang menggunakan kekuatan jajaran Ulama dari simbol keagamaan sebagai alat legistimasi kekuasaan politiknya. Tidak bisa diingkari bahwa kekuatan Dinasti Utsmani tidak semata terletak pada kekuatan militernya namun juga pada dukungan dan kepandaian penguasa untuk menggunakan agama sebagai sandarannya. Pada awalnya, penggunaan simbol dan ideologi agama ini diterima oleh rakyat bahkan memiliki

(25)

daya panggil ideologis untuk memperthankan dan memperluas wilayah kekuasaan Utsmani.

Di mata Mustafa Kemal dan para pengikutnya, satu-satunya jalan keluar untuk menyelamatkan Turki waktu itu ialah dengan cara menyingkirkan peran ulama dan merobohkan mitos “Kekhalifahan”. Sejarah munculnya sekulerisme di Turki bukannya ditujukan untuk memusnahkan Islam dari bumi Turki melainkan mengeliminasi peran ulama yang dipandang tidak cakap dan tidak mampu lagi memberikan keamanan dan harga diri bangsa Turki terutama setelah Turki kalah dalam Perang Dunia I. Kekalahan Turki yang bergabung bersama Jerman ini telah menimbulkan ke-kagetan karena sebelumnya mereka memandang dirinya sebagai kekuatan yang paling besar di bumi (Toprak, 1999: xviii-xxii).

Meskipun awal sekularisasi bermula sekitar abad ke-18, baru setelah tahun 1923 hubungan historis antara Islam dan negara itu ambruk. Sejalan dengan sejarah panjang upaya westernisasi, program sekulerisasi Mustafa Kemal bertujuan untuk menggantikan kebudayaan Islam dengan kebudayaan Barat (Toprak, 1999: 2).

Perlunya pembaruan di Kerajaan Turki untuk pertama kalinya diakui di abad ke-17 ketika Kerajaan itu mulai kehilangan kekuatannya. Pembaruan-pembaruan di abad ke-17 itu merupakan upaya-upaya pribumi yang pada umumnya berpusat di sekitar usaha untuk memperkuat otoritas pemerintah pusat. Para pembaru Turki abad ke-19 berupaya mengatasi kontradiksi ini dengan cara menerima arus modernisasi yang menyingkirkan pembaruan pribumi tentang struktur-struktur sosio-politik Islam. Setelah runtuhnya Kerajaan Utsmani pada akhir Perang Dunia I dan dilanjutkan berdirinya pemerintah Republik Turki tahun

(26)

1923, dualitas dalam tujuan-tujuan ini pada akhirnya bisa diselesaikan dengan cara menerima peradaban Barat (Toprak, 1999: 61).

Program sekulerisasi Kemalis (sebutan bagi pendukung Mustafa Kemal) setelah berdirinya Republik Turki pada tahun 1923 dan reaksi lanjutan terhadap pembaruan-pembaruan Kemalis, memperkuat pentingnya kedua faktor ini dalam kasus Turki. Serangan kubu Kemalis terhadap Islam pada dasarnya timbul dari adanya pemahaman bahwa agama memainkan peranan konservatif dalam struktur sosio-politik Kerajaan Utsmani (Toprak, 1999: 68).

Dalam suatu wawancara yang dilakukan oleh wartawan Perancis yang bernama Maurice Pernot pada tahun 1923 (TurkInkilap Tarihi Enstitusu Yayinlari, Ataturk 'un Soyley ve Demecleri 1918-1937, vol III Ankara Turk Tarih Kurumu Basimevi 1961, hal 68), Mustafa Kemal mengatakan bahwa:

“Kami ingin memodernisasi negeri kami. Tujuan kami adalah mendirikan sebuah negara modern, dengan demikian, sebuah negara Barat di Turki. adakah suatu bangsa yang telah menunjukkan keinginannya untuk memasuki peradaban tetapi tidak mau menoleh ke Barat?” ( Toprak, 1999: 70). Toprak (1999: 72) menyatakan bahwa serangkaian pembaruan sekuler yang dilancarkan pada dekade pertama setelah berdirinya Republik Turki, dirancang untuk mengurangi peranan Islam dalam kehidupan Institusional dan kultural. Dengan demikian program sekulerisasi itu menempuh empat fase:

1) Sekulerisasi simbolis, yakni melakukan pembaruan dalam aspek-aspek kebudayaan nasional atau kehidupan sosial yang memiliki identifikasi simbolis Islam.

(27)

2) Sekulerisasi Institusioanl, yakni perubahan-perubahan tatanan organisasi yang dirancang untuk menghancurkan kekuatan institusional Islam.

3) Sekulerisasi fungsional, yakni melakukan perubahan-perubahan fungsi khusus institusi-institusi keagamaan dan pemerintahan,

4) Sekulerisasi legal, yakni perubahan-perubahan dalam struktur hukum masyarakat.

Berawal dari pemikiran-pemikirannya inilah Mustafa Kemal banyak melakukan perubahan Kebudayaan di Turki. Kebudayaan Turki yang sarat akan budaya Islam akibat pengaruh dari kesultanan Turki Utsmani dihapuskan oleh Mustafa Kemal. Melalui pemikirannya, ia membawa perubahan yang sangat signifikan dalam terbentuknya negara Republik Turki. Kebudayaan sendiri mempunyai arti keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

Koentjaraningrat juga menyatakan dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Antropologi” (1998: 38) bahwa kebudayaan memiliki tujuh unsur pembentuk kebudayaan. Yaitu:

1. Sistem Religi/ agama 2. Sistem Pengetahuan 3. Sistem Mata Pencaharian

4. Sistem Kemasyarakatan/ Organisasi Sosial 5. Sistem Bahasa

(28)

7. Kesenian

Dari ketujuh unsur tersebut, maka penulis menemukan bahwa unsur budaya menurut Koentjaraningrat sesuai dengan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Mustafa Kemal. Mustafa Kemal melakukan perubahan yang mencangkup ketujuh unsur tersebut. Penulis menguraikan ke tujuh unsur ini sesuai dengan perubahan yang dilakukan oleh Mustafa Kemal, yaitu:

1. Sistem Religi/Agama

Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa Turki merupakan negara di mana tempat kekhalifahan terakhir berdiri. Selama tujuh abad dari abad ke-14 hingga ke-20, kekhalifahan Turki Utsmani merasakan kejayaannya. Pandangan mengenai pemerintahan dibawah naungan islam yang maju dan berjaya sudah terdengar oleh seluruh bangsa di dunia. Islam-pun dipilih sebagai agama resmi dari kekhalifahan Turki Utsmani yang tercatat dalam konstitusi negara (Furqon, 2012: 35).

Namun setelah masa pemerintahan Mustafa Kemal berlangsung, terjadi banyak perubahan-perubahan yang terjadi dalam bidang agama. Menurut Niyazi Berkes (1964: 293-284) dalam Isputaminingsih menyatakan bahwa sekularisasi yang dilakukan oleh Mustafa Kemal tidaklah dimaksudkan untuk menghapus agama, tetapi lebih merupakan upaya menasionalkan agama. Hal ini dapat dilihat dari sambutan persidangan Majelis Nasional Agung 1923, Mustafa Kemal mengatakan bahwa agama Islam adalah satu dari agama yang paling logis dan wajar dan karena itu menjadi agama yang paling terakhir. Untuk itu, agama haruslah sesuai dengan kearifan, ilmu pengetahuan dan logika. Agama kita sesuai sekali dengan semuanya ini.

(29)

Pada tanggal 7 Februari 1923 Mustafa Kemal menyatakan penggunaan bahasa Turki pada khutbah Jumat di Masjid Baliksir. Ia berpendapat bahwa tujuan khutbah adalah untuk memberi petunjuk dan bimbingan kepada rakyat dan tidak lebih dari itu. Oleh karena itu, membaca khutbah yang sudah hampir berumur 100 tahun, 200 tahun, atau bahkan 1000 tahun berarti membiarkan umat manusia dalam kebodohan dan ketertinggalan. Dengan demikian, merupakan suatu keharusan bahwa orang yang memberikan khutbah harus selalu memberikan khutbahnya dalam bahasa rakyat yang di khutbahi. Perubahan agama yang dilakukan Mustafa Kemal bertujuan untuk men-Turki kan Islam, sehingga Islam mudah dimengerti oleh rakyat Turki (Ali, 1994: 98-99).

Mustafa Kemal juga melakukan perubahan fungsi dan kedudukan Syaikhul Islam serta Institusi Agama di Turki. Ia memutuskan untuk menghapuskan kedudukan Syaikhul Islam pada 3 Maret 1924 (Ali, 1994: 107). Syaikhul Islam merupakan lembaga yang mendapat kedudukan sebagai pemimpin yang mempunyai peranan penting dalam semua urusan kenegaraan. Sejak dikeluarkannya Konstitusi 1876, wilayah otoritas Syaikhul Islam tidak sebatas hanya pada wilayah eksekutif tapi juga meliputi wilayah legislatif dan yudikatif (Nasution, 1992:136). Selain menghapus kedudukan Syaikhul Islam, Mustafa Kemal juga menghapus Kementrian Syari’ah dan Wakaf. Kementrian Wakaf adalah kementrian yang mempunyai tanggung jawab untuk memberi bantuan kepada fakir miskin dan anak-anak yatim. Kemudian uang yang berasal dari kementrian wakaf ia gunakan untuk membuat patung-patung dengan wajah dirinya (Latip, 2011: 353-354). Penghapusan institusi ini terjadi setelah disetujuinya

(30)

undang-undang pada tahun 1924 oleh Dewan Nasional Agung mengenai penghapusan institusi tersebut (Toprak, 1999: 87).

Pada tahun 1925 ditetapkan undang-undang baru mengenai pembubaran aliran-aliran agama yang berada di Turki. Undang-undang yang dimaksud adalah Pasal 75 Konstitusi Negara Turki (Furqon, 2012: 41). Pelaksanaan dari Undang-undang tersebut diwujudkan dengan ditutupnya pusat-pusat kegiatan, melarang upacara-upacara keagamaan dan semua aktifitas-aktifitasnya. Sehingga semua aliran yang ada dihapuskan oleh Mustafa Kemal pada tahun 1925. Kebijakan Mustafa Kemal ini bukan tanpa perlawanan, ini dibuktikan dengan adanya pemberontakan dari pemimpin Naqshabandiyah yang bernama Syaikh Said di Anatolia Timur, dimana ia menentang tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan Mustafa Kemal (Ali, 1994: 85).

Perlawanan ini merupakan pemberontakan yang paling membahayakan, sehingga setelah itu dibuatlah Pengadilan Kemerdekaan yang dibuat untuk mengadili para pemimpin pemberontakan. Setelah itu majelis juga mengeluarkan Undang-undang Pemeliharaan Ketertiban yang intinya memberikan kekuasaan luar biasa kepada pemerintah dan berfungsi sebagai dasar partai untuk menumpas semua oposisi politik (Toprak, 2000: 128). Walaupun Musatafa Kemal telah melarang perkembangan aliran-aliran Islam, tetapi semua aliran tetap berkembang meskipun dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi (Esposito, 2001: 66).

Pada tahun yang sama, yaitu 1925 Mustafa Kemal berhasil membuat perubahan bentuk peribadatan. Ia mengubah masjid Aya Sophia menjadi museum. Aya sophia memang awalnya berupa gereja. Namun pada tanggal 29 Mei tahun 1453 Aya Sophia berubah menjadi Masjid pada masa kepemimpinan Sultan

(31)

Muhammad Al-Fatih atas persetujuan penduduk Kristian di Kota Istanbul. Kemudian, Masjid-masjid yang lain ditutup dengan alasan masjid-masjid itu digunakan untuk menentang pemerintah, Masjid Al-Fatih ditutup dan dijadikan gudang. Sedangkan Masjid Abu Ayub Al-Anshari tidak ikut ditutup.Sejak dikeluarkannya perintah itu orang-orang dilarang untuk mengerjakan solat di masjid Aya Sophia. Ukiran ayat-ayat Al-Quran di hapus dan diganti dengan gambar-gambar lama (Latip, 2011: 374). Akan tetapi, penulis menemukan perbedaan tahun pergantian Aya Sophia menjadi museum. Freely (2012: 410) menyatakan dalam bukunya yang berjudul “Istanbul Kota Keisaran” bahwa masjid Aya Sophia dirubah menjadi museum pada tahun 1934. Setelah menutup masjid-masjid, Mustafa Kemal juga menutup tempat-tempat suci (türbe) dan pusat-pusat perkumpulan darwis (tekke) pada bulan September 1925. Tekke dan türbe memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari (Zürcher, 2003: 224).

Kebijaksanaan Mustafa Kemal sejak awal adalah memisahkan agama dari masalah politik, sosial dan kebudayaan. Hal ini dimaksudkan untuk membatasi praktek agama hanya disekitar tempat-tempat ibadah. Perubahan yang dilakukan oleh Mustafa Kemal dalam agama Islam adalah pada bentuk beribadatan, bahasa ibadah, ciri sholat dan segi pemikiran ibadah. Fungsi dan cara peribadatan di masjid mulai mengalami suatu perubahan ketika muncul komite yang dibentuk oleh Fakultas Teologi Universitas Istanbul di bawah pimpinan Profesor Mehmed Fuad Koprulu. Ia melakukan perubahan masjid-masjid yang ada di Turki pada tahun 1928. Tujuan dari dibentuknya komite ini adalah untuk merencanakan guna memordenisasi Islam. Pembaharuan yang menjadi sasaran salah satunya adalah yang berhubungan dengan tempat peribadatan (Ali, 1994: 108).

(32)

Dalam melaksanakan tugasnya, komite melakukan perombakan mengenai tata cara di masjid. Mereka melakukan rekomendasi untuk mengenalkan kursi gereja dan ruang penyimpanan tempat mantel kedalam masjid. Setiap orang yang ingin memasuki masjid harus menggunakan sepatu yang bersih (Isputaminingsih, 2009: 139). Ketentuan yang telah ditetapkan oleh komite tersebut telah dijalankan sesuai dengan kebijakannya dan dilaksanakan pada tahun yang sama. Alasan yang dikemukakan oleh komite adalah untuk menenkanakan pentingnya masjid yang bersih dan teratur dengan bangku dan kamar untuk menyimpan jubah. Dengan demikian, hal ini sangat berbeda dengan fungsi masjid sebenarnya (Furqon, 2012: 37).

Komite agama juga melakukan banyak perubahan-perubahan terhadap fungsi masjid sekaligus cara peribadatan di dalamnya. Komite lalu berpikir untuk menyiapkan penyanyi-penyanyi dan imam-imam yang mempunyai pengetahuan tentang musik. Mereka mempunyai tujuan untuk menjadikan sholat lebih indah, memberi inspirasi dan spiritual. Hal tersebut juga mendorong mereka untuk menyediakan alat-alat musik dalam tempat sholat (Ali, 1994: 108-109) .

Mustafa Kemal terus meneruskan perjuangannya dalam merubah agama baik dalam bentuk dan suasananya seperti perubahan bahasa dalam peribadatan. Selain itu tempat peribadatan harus dibuat sebagaimana yang lazim di Barat seperti:

“mesjid dibangun dengan bentuk dan suasana gereja di negara-negara barat, dengan menekankan pada pentingnya mesjid yang bersih, dengan bangku-bangku dan ruang menyimpan mantel, mewajibkan jamaah masuk dengan sepatu yang bersih, menggantikan bahasa Arab dengan bahasa Turki, menyediakan alat-alat musik ditempat shalat untuk memperindah bentuk shalat, dan mengubah teks-teks khutbah yang telah ada dengan

(33)

khutbah yang berisi pemikiran agama berdasarkan filsafat Barat.” (Jameelah 1965:159).

Mukti Ali (1994: 168), menjelaskan penekanan sangat dilakukan dalam bentuk peribadatan. Tempat peribadatan harus bersih, teratur, mudah didatangi dan patut dihuni. Untuk itu tempat ibadah harus menyediakan bangku dan kamar untuk menggantungkan baju diluar. Rakyat juga diharuskan untuk memasuki tempat-tempat ibadah dengan sepatu yang bersih. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kesehatan dan kebersihan dalam melakukan ibadah. Alasan penyediaan kamar dalam tempat-tempat ibadah adalah karena Turki mengalami musim dingin, maka dalam musim itu orang-orang Turki memakai baju luar yang tebal yang akan dilepaskan sewaktu akan melakukan sholat. Orang-orang Turki memakai sepatu boot dan sepatu tersebut dilepas pada waktu masuk tempat-tempat ibadah, dan mereka melakukan sholat dengan sepatu dalam.

Fadlullah Jamil dalam Furqon (2012: 45) menyatakan bahwa pada masa pemerintahannya, Mustafa Kemal membuat peraturan pelarangan naik haji bagi masyarakat Muslim di Turki. Sebagaimana umat muslim di dunia, umat muslim yang berada di Turki juga melakukan ibadah Haji setiap tahunnya. Ditambah dengan kondisi letak geografis Turki yang berdekatan dengan Saudi Arabia memudahkan rakyat Turki untuk melaksanakan kewajiban dari rukun islam yang kelima tersebut. Kegiatan tersebut pasti sering terlihat tatkala kekhalifahan Turki Utsmani masih berkuasa di Turki, akan tetapi hal ini jarang dilaksanankan atau dirasakan pada masa pemerintahan Mustafa Kemal. Ketika mulai dilakukannya revolusi agama pada tahun 1928, Mustafa Kemal mulai mengeluarkan kebijakan pelarangan untuk melaksanakan ibadah Haji. Dengan adanya kebijakan ini, banyak

(34)

penduduk Muslim di Turki tidak dapat melakukan ibadah Haji di Makkah. Akhirnya kebijakan pelarangan Haji ini dicabut pada tahun 1948 setelah Mustafa Kemal wafat, sehingga penduduk Muslim di Turki dapat kembali melaksanakan ibadah Haji.

Pada tahun 1928 Mustafa Kemal menghapuskan artikel 2 Konstitusi Turki tahun 1921 tentang pencantuman Islam sebagai agama negara, sehingga antara agama dan negara sudah tidak ada lagi sangkut pautnya (Nasution, 2003:143). Perubahan yang diinginkan Mustafa Kemal adalah islam yang di Turki-kan dan tidak terikat oleh peradaban Timur (Arab). Menurutnya agama merupakan suatu lembaga sosial dan karena itu harus disesuaikan dengan sosial dan budaya masyarakat Turki (2003: 144).

Pada tahun yang sama, 1928 Mustafa Kemal juga merubah bahasa Arab sebagai bahasa dalam ibadah dengan bahasa Turki (Ali, 1994: 90). Ia mengambil secara penuh pemikiran Ziya Gokalp. Ia juga melakukan sebuah transformasi bahasa peribadatan dengan tujuan untuk membersihkan bahasa Turki dari kosa kata Arab Persia (Mughni, 1997: 157). Pemikiran Ziya Gokalp adalah ia berpendapat bahwa beribadah akan mudah di mengerti apabila kita bisa memahami bahasa yang kita gunakan dalam peribadatan. Gokalp juga menyatakan bahwa sebagai bangsa Turki menjadi suatu keharusan melaksanakan sholat dalam bahasa Turki. Hingga demikian, bangsa Turki bisa mengerti sholat mereka dan memperoleh rasa berupa ilham dari agama mereka. Jadi, menurutnya bahasa peribadatan dalam sholat agar dilakukan dalam bahasa Turki (Ali, 1994: 64).

Perubahan demi perubahan terus berlanjut. Agama Islam yang sebelumnya memiliki peranan yang penting dalam pemerintahan dan masyrakat Turki, bergeser

(35)

peranannya. Tidak hanya perubahan bahasa dalam sholat, bahasa Al-Qur’an juga dirubah dalam bahasa Turki. Oleh karena itu, Al-Qur’an harus disajikan dalam bahasa Turki (Furqon, 2012: 30). Selain itu, ia juga memerintahkan untuk menerjemahkan Qur’an ke dalam bahasa Turki dengan Tulisan Latin. Dan Al-Qur’an dalam bahasa arab juga dibakar (Latip,2011: 231).

Pada tahun 1932 pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengganti pengucapan adzan dari bahasa arab ke dalam bahasa Turki (Jameelah 1965: 159). Tepatnya pada bulan Januari 1932, adzan berbahasa Turki secara resmi juga dikumandangkan. Dalam bahasa Turki Lafadz Allahu Akbar digantikan dengan Allahu Buyuk. Mustafa Kemal menginginkan azan dirubah kedalam bahasa Turki supaya mudah dipahami oleh semua orang (Latip,2011: 301). Adzan dalam bahasa Turki disiapkan oleh himpunan linguistik dan disiarkan oleh kantor kepresidenan urusan agama. Melodi adzan dalam versi Turki disetujui oleh konservatori musik nasional Ankara. Pada tahun 1933 dikeluarkan keputusan pemerintah yang menyatakan bahwa adzan dalam bahasa Arab merupakan suatu pelanggaran (Husaini, 2005: 273).

Kebijakan yang terkait dengan adzan yang berbahasa Turki tentunya mendapat perlawanan dan tantangan dari berbagai ulama dan masyarakat muslim Turki. Salah satunya yaitu kelompok Naqsabandiyah. Pengikut Naqsabandiyah mengadakan perlawanan dalam pemeberontakan Bursa pada tahun 1933, dilanjutkan dengan perlawanan terhadap kebijakan kali ini sampai tahun 1936 di daerah Timur. Respon pemerintah cukup keras dengan melakukan penumpasan, penganiayaan dan hukuman mati (Toprak, 1999: 131).

(36)

Selain itu pada waktu itu dibentuk sebuah komite di Fakultas Teologi di Universitas Istanbul untuk memodernisasikan Islam sebagai usaha menyebarkan keinginan kemal untuk “menghapuskan penggantian bahasa arab dalam sholat dan praktek ibadah harus menggunakan bahasa Turki” dapat digagalkan kaum Ulama (Ali, 1994: 89). Namun kebijakan adzan berbahasa Turki berlangsung cukup lama yaitu selama 19 tahun. Sekitar tahun 1950, adzan berbahasa Arab baru kembali dikumandangkan (Esposito, 2001: 66).

Sebenarnya tujuan Mustafa Kemal yang merasionalkan agama adalah dalam rangka memajukan Turki agar dapat menguasai sains dan teknologi merupakan langkah yang bijaksana, tetapi tindakan Mustafa Kemal yang radikal dalam merubah bacaan Sholat dan Adzan dan praktek keagamaan lainnya kedalam bahasa Turki merupakan tindakan yang tidak dapat di toleransi (Isputaminingsih, 2009: 141).

2. Sistem Pengetahuan Dan Pendidikan

Dalam proses perubahan kebudayaan di Turki, pendidikan memainkan peranan yang penting, tetapi kondisi pendidikan yang ada sedang dalam keadaan yang menyedihkan, sarana fisik dan sumber daya sangat tidak memadai. Mayoritas penduduknya buta huruf dan struktur warisan kekhalifahan Turki Uutsmani tidak dimanfaatkan untuk membangun dan memperbaiki kondisi negara. Sejak awal, Mustafa Kemal menerapkan kebijakan yang sengaja untuk mengatur kembali seluruh sistem pendidikan dan memperluasnya dengan sistematis serta memanfaatkannya untuk tujuan nasional (Djainuri,2001: 257).

(37)

Masyrakat Turki Utsmani tradisional memahami istilah pendidikan sebagai upaya untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan tentang ilmu agama. Sekolah-sekolah yang didirikan adalah sekolah yang berbasis agama yang dinamakan medrese (madrasah) (Toprak, 1999: 91).

Pelajaran yang diajarkan dalam sekolah yang berbasis agama-agama itu secara keseluruhan mengenai ajaran agama. Majunya kebudayaan dan peradaban serta perkembangannya yang pesat membuat pengaruhnya tidak bisa dihindari dan ditahan lagi, menyebabkan sistem pendidikan modern mulai masuk dan menggeser ajaran-ajaran agama yang sebelumnya diterapkan di sekolah. Tahap selanjutnya, terjadi sebuah perubahan sistem dimana Mustafa Kemal melakukan pembaharuan dengan menghapus sekolah-sekolah agama.

Keputusan penghapusan agama di dalam sekolah-sekolah merupakan upaya pengontrolan atas perkembangan Islam di Turki dan menjatuhkan pengaruh agama dalam urusan pendidikan (Ali, 1994: 107-108). Pengontrolan dan perubahan yang dilakukan yaitu dengan mengganti sekolah keagamaan yang telah dihapuskan dengan mendirikan sekolah baru dibawah Yuridiksi Kementrian Pendidikan. Pada tahun 1924, ia mendirikan Fakultas Teologi. Pada awal berdirinya, mahasiswa yang mendaftar di fakultas Teologia berjumlah 244 orang, namun angka ini menurun menjadi 20 orang pada tahun 1933. Kemudian Fakultas Teologi ditutup dan digantikan dengan sebuah Institut untuk Studi Islam yang didirikan di Universitas Istanbul. Namun demikian, Insititut ini hanya bertahan selama tiga tahun. Pada tahun 1936 Insitusi ini di tutup karena sebagian besar tenaga akademisnya mengeluarkan diri (Toprak, 1999:92-93). Mustafa Kemal kemudian menutup sekolah-sekolah agama dan mengeluarkan surat yang memerintahkan

(38)

sekolah agama untuk ditutup. Ia juga mewajibkan pengajaran huruf latin di semua sekolah (Latip,2011: 231).

Pembangunan sistem pendidikan modern oleh pemerintahan Mustafa Kemal mengeluarkan undang-undang penyatuan pada tahun 1924. Penyatuan pendidikan yang dilakukan oleh Mustafa bertujuan untuk menghilangkan dualisme dalam sistem pendidikan, yaitu pendidikan tradisional (agama) dan pendidikan modern (umum). Seluruh sekolah agama/madrasah, baik yang dikelola kementrian wakaf atau yayasan wakaf swasta ditutup. Undang-undang tersebut mewajibkan seluruh sekolah berada dibawah penguasaan Kementrian Pendidikan. Negara mengambil alih sistem pendidikan Agama dari para Ulama, yang dimaksudkan untuk menerapkan sistem pendidikan nasional modern yang tersentralisasi (An-Na’im, 2007: 369).

Sejak saat itu pendidikan umum dipisahkan dari pengaruh agama, madrasah-madrasah ditutup dan diganti dengan sekolah-sekolah modern. Secara keseluruhan 479 madrasah ditutup. Langkah ini menandai berakhirnya sistem ganda dalam pendidikan yaitu, sekolah agama dan sekolah umum. Hal itu menyebabkan kesenjangan antara orang-orang yang dididik di sekolah-sekolah modern dan yang dididik di sekolah agama. Selain itu kurikulum sekolah juga diperbaiki agar sesuai dengan ideologi yang baru yaitu, dengan menghapus pelajaran sejarah Kesultanan Turki Utsmani dan wilayah Islam. Buku-buku pelajaran ditulis ulang dengan memasukan pembahasan tentang sejarah pembentukan \Republik Turki beserta prinsip dan tujuannya. Dalam rangka menasionalkan pelajaran-pelajaran tersebut, pemerintah mengubah program yang

(39)

secara teoritis sangat berorientasi pada warisan masa lalu (Djainuri, 2001: 264-265).

b. Penghapusan Pelajaran Agama di Sekolah Formal

Pendidikan agama merupakan hal yang penting untuk diberikan sebagai bahan transfer dalam ilmu. Pendidikan agama menjadi pelajaran dan ilmu terpenting yang diajarkan agar membentuk karakter yang agamis. Pemahaman yang mendalam mengenai agama akan membuat seseorang mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta. Walaupun agama penting untuk diajarkan, namun hal itu tidak sejalan dengan pemikiran para tokoh nasionalis dan modernis. Mereka berpendapat bahwa agama merupakan masalah individu dan tidak ada kaitannya dengan negara (Ali, 1994: 110).

Pendidikan agama ditiadakan di sekolah-sekolah pada tahun 1933, akan tetapi pemerintah masih mengurus masalah agama melalui Departemen Urusan Agama, termasuk sekolah-sekolah pemerintah untuk Iman dan Khotib dan Fakultas Ilahiyat dari perguruan tinggi Negara Universitas Istanbul (Nasution, 2003: 144).

Peraturan untuk melarang pendidikan agama yang diajarkan dikelas dikeluarkan pada tahun yang sama dengan dihapuskannya sekolah-sekolah keagamaan pada tahun 1924 (Ali, 1994: 107). Peraturan tersebut berupa dekrit presiden yang dikeluarkan pada tanggal 7 Februari 1924. Isi dari dekrit itu adalah melepaskan semua unsur keagamaan dari sekolah-sekolah asing dan menyatakan penyatuan pendidikan dibawah satu Kementrian Pendidikan (Isputaminingsih, 2001: 145).

(40)

Stokhof dalam Jameelah (1965: 145) menyatakan pada tanggal 7 Febuari 1924 Mustafa Kemal mngeluarkan dekrit yang isinya melepaskan semua unsur keagamaan dari sekolah-sekolah asing dan menyatakan penyatuan pendidikan dibawah satu atap yaitu berada dibawah Kementrian Pendidikan. Ini berarti penghapusan semua bentuk pengawasan yang dilakukan oleh badan-badan Islam terhadap sekolah. Adanya peraturan menghapuskan pendidikan agama di sekolah-sekolah dimaksudkan agar membatasi pemahaman dan praktik agama dan keagamaan. Hal tersebut merupakan salah satu cara pengontrolan pemerintahan dalam perkembangan Islam agar sesuai dengan kebijakan (Ali, 1994: 109).

Peraturan yang telah dibuat tersebut dapat dikatakan bahwa hal tersebut diupayakan oleh Mustafa Kemal dengan tujuan ingin menjauhkan agama dari dunia pendidikan. Pembatasan pengetahuan agama akan menjadi sebuah gagasan yang menciptakan sebuah generasi untuk menciptakan negara yang jauh dari pengaruh agama (Furqon, 2012: 62). Kemudian, pada tanggal 1 November 1928 pelajaran bahasa Arab dan Persia dihapuskan dan tulisan Arab diganti dengan tulisan Latin dimaksudkan agar sains dan teknologi Barat dapat dengan seluas luasnya dipelajari oleh bangsa Turki (Isputaminingsih, 2009: 146).

c. Penghapusan Pelajaran Bahasa Arab di Sekolah-sekolah

Sekolah agama di Turki yang sudah ada sejak 600 tahun yang lalu akan ditutup. Ia berpendapat bahwa di sekolah tidak perlu ada pelajaran bahasa Arab. Bagi Mustafa bahasa Arab bukan bahasa Ilmu dan bahasa Arab tidak dapat digunakan dalam melawan musuh (Latip, 2011: 229-230).

Mustafa Kemal melaksanakan revolusi pendidikan. Ia ingin melahirkan pelajar yang maju dan mengikuti zaman. Pelajaran bahasa Inggris, Matematika,

(41)

ilmu Sains dan juga sastra Inggris akan dijadikan mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah. Namun, pelajaran agama Islam dan bahasa Arab tidak lagi diajarkan di sekolah. Sekolah agama akan ditutup (Latip, 2011: 226).

Agar mudah dalam mempelajari ilmu seperti bahasa Inggris dan ilmu Sains maka tulisan Arab akan dihapus dan digantikan dengan tulisan latin (Latip, 2011: 226-227). Disamping hasil-hasil yang diperoleh, perubahan yang bersifat terburu-buru ini menimbulkan kesukaran yang barangkali tak terpikirkan sebelumnya, yakni bahwa murid-murid sekolah tidak mempunyai buku bacaan karena perpustakaan masih tertulis dalam huruf Arab (Suwirjadi, 1952: 98).

d. Pembatasan dan Pelarangan Media Islam Sebagai Sarana Pendidikan dan Media Dakwah

Banyak cara yang dilakukan untuk menyebarkan dakwah, seperti melalui pendidikan, media massa, atau ceramah-ceramah keagamaan. Dakwah merupakan cara yang dipakai untuk menyebarkan syi’ar Islam dalam memberikan pengetahuan kepada umat muslim. Tujuannya untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman yang luas mengenai ajaran agama yang benar. Melatar belakangi hal tersebut, maka cara yang dipilih dalam penyebaran dakwah yaitu melalui media dakwah yang mudah untuk didapatkan publik. Pembatasan penyebaran agama yang dilakukan oleh Mustafa Kemal terhadap aliran-aliran Islam memberikan dampak terhadap media-media penyebaran dakwah. Ia mencoba untuk membatasi penyebaran dakwah dengan menghapuskan pendidikan agama di sekolah-sekolah, melarang siaran keagamaan di radio dan pembatasan dalam ceramah-ceramah keagamaan (Ali, 1994: 122).

(42)

Langkah pertama yang dilakukan oleh Mustafa Kemal untuk membatasi penyebaran dakwah Islam adalah dengan menghapuskan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Langkah ini diambil agar bisa mengontrol perkembangan dan pemahaman Islam agar nantinya tidak merugikan kebijakan pemerintah yang pro akan Barat. Sehingga dalam memenuhi kebutuhan pengetahuan agama, ia mendirikan sekolah-sekolah keagamaan dibawah institusi pemerintahan dengan pengontrolan yang ketat dari pemerintahannya. Langkah yang diambil oleh Mustafa kemal selanjutnya yaitu pelarangan siaraan keagamaan di stasiun radio Turki. Pembacaan ayat suci Al-Qur’an di radio-radio harus dihilangkan. Acara keagamaan diganti dengan acara lain. Kebijakan tersebut ditetapkan dalam Konstitusi Negara Pasal 77 yang intinya semua media berada dalam pengawasan pemerintah (Furqon, 2012: 43).

e. Peningkatan Pendidikan Bagi Kaum Perempuan

Mustafa Kemal juga sangat memperhatikan pendidikan bagi perempuan Turki. Antara tahun 1923-1924 perempuan di Turki diberikan kesempatan untuk mengikuti pelajaran yang sama dengan laki-laki pada semua fakultas di Universitas. Pada tahun 1927 pendidikan bersama antara pria dan wanita secra resmi dibuka di semua jenjang dalam sistem pendidikan. Semua warga Turki berusia 15-45 tahun diwajibkan mengikuti pelajaran kewarganegaraan, kesusastraan, matematika dan kesehatan. Bahasa dan sejarah merupakan pelajaran utama disetiap jenjang pendidikan. Hal ini bertujuan untuk membangkitkan dan memperkuat kesadaran nasional Turki. Mustafa Kemal mendukung pelajaran sebelum masa Utsmani dan Teori Bahasa Matahari. Teori ini menyatakan bahwa semua bahasa pada mulanya berasal dari satu bahasa purba yang dipakai di Asia

(43)

Tengah, bahwa bahasa Turki merupakan bahasa yang paling erat dengan bahasa asal ini dan semua bahasa dikembangkan dari bahasa purba itu melalui bahsa Turki. Tujuan dari pelajaran sejarah ini adlah untuk mengajarkan kepada siswa bahwa bangsa Turki pernah memimpin peradaban (Zürcher, 2003: 246-247).

Mustafa Kemal juga mengirim tenaga pendidik ke desa-desa yang bertugas antara lain:

 Mengatur dan mengajar disekolah desa  Mengadakan upacara hari libur nasional

 Mengembangkan tingkat ekonomi masyarakat desa dengan mengajarkan cara membuat dan mengelola ladang dan kebun. Selain itu mereka juga mengajarkan cara pemakaian alat dan mesin yang benar terhadap warga, dan membentuk kerjasama, mempopulerkan olahraga atletik dikalangan pemuda desa dan bertanggung jawab mengelola serta melindungi utan beserta peninggalannya (Djainuri, 2001:283). Usaha Mustafa Kemal dalam membentuk sistem pendidikan yang modern telah terbentuk dan dapat mencapai hasil yang baik. Data statistik pendidikan memperlihatkan tingkat kemajuan yang dicapai dalam pendidikan. Tingkat kemampuan membaca dan menulis menjadi dua kali lipat, tingkat kemampuan membaca dan menulis pada laki-laki meningkat 17,6% menjadi 35,5%. Dan pada Wanita meningkat dari 4,8% menjadi 9,9% (Djainuri, 2001: 289).

Lapangan lain yang sangat diutamakan oleh Mustafa Kemal ialah pendidikan pemuda. Pendidikan yang hingga masa revolusi kebanyakan hanya dijalankan di dalam surau-surau, yang pada tahun 1926 berjumlah kurang lebih 30.000 dibandingkan dengan sekolah rakyat yang hanya berjumlah 5.000. Dengan

Referensi

Dokumen terkait

 Hiperemesis Gravidarum adalah mual dan muntah dengan intensitas sedang sering terjadi sampai gestasi sekitar 16 minggu.(Obstetri Willson.2006.hal:1424)  Hiperemesis

Menganalisis kornbinasi yang terbaik dari potongan harga, kualitas kunjungan dari tenaga penjual, serta bentuk promosi dagang yang akan dilakukan dalarn mempengaruhi

Perlakuan pemupukan berupa pupuk an- organik, kombinasi pupuk anorganik dan organik serta pupuk organik pada tanaman jagung manis memberikan pengaruh tidak nyata

terjadi di luar terjadi di luar endometrium rahim, endometrium rahim, disebut sbg KET  disebut sbg KET  Pada thn 2007, Pada thn 2007, terdapat 20 kasus terdapat 20 kasus setiap

Gaya geser ya geser kapasitas dalam arah tertentu dihitung dari kapasitas momen kolom yang terkait dengan aksial faktor.. kapasitas dalam arah tertentu dihitung dari kapasitas

pelanggan, salah satunya adalah strategi Unconditional Guarantees/Extraordinary Guarantees dimana perusahaan dapat merancang garansi tertentu atau dengan

nyeri dimulai di dalam & di sekitar mata atau pelipis, menyebar ke satu atau kedua sisi kepala, biasanya mengenai seluruh kepala tetapi bisa hanya pada

Dengan melihat hasil pada siklus II, maka refleksi terhadap hasil yang diperoleh peneliti pada siklus II ini adalah adanya peningkatan kemampuan guru dalam membuat tata