• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR KEPRIBADIAN DAN MEKANISME PERTAHANAN EGO TOKOH UTAMA DALAM NOVEL DARI AMBARAWA SAMPAI TEGAL SELATAN KARYA BUNG SMAS: PERSPEKTIF SIGMUND FREUD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRUKTUR KEPRIBADIAN DAN MEKANISME PERTAHANAN EGO TOKOH UTAMA DALAM NOVEL DARI AMBARAWA SAMPAI TEGAL SELATAN KARYA BUNG SMAS: PERSPEKTIF SIGMUND FREUD"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR KEPRIBADIAN DAN MEKANISME PERTAHANAN EGO TOKOH UTAMA

DALAM NOVEL DARI AMBARAWA SAMPAI TEGAL SELATAN KARYA BUNG SMAS: PERSPEKTIF SIGMUND FREUD

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Veronika Vera Febrianti Simamora NIM: 174114026

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan kepada:

Tuhan Yang Maha Esa

Bapak Natalis Simamora, Ibu Marta Edy Marbun, dan saudara Erwin Simamora Program Studi Sastra Indonesia USD

(3)

vi MOTO

Hadapi segala rintangan, berkerja keras untuk mencapai tujuan, iklas dalam melakukan pekerjaan dan berdoalah dalam setiap langkahmu

~ Ibu Marta Edy Marbun~

Jadilah diri sendiri dan berdirilah dikakimu sendiri ~Bapak Natalis Simamora~

Percaya tangismu dan perjuanganmu akan jadi kisah terbaik dihidupmu ~Lirik lagu merakit karya Yura Yunita~

(4)

x ABSTRAK

Simamora, Veronika Vera Febrianti. 2021. “Struktur Kepribadian dan Mekanisme Pertahanan Ego Tokoh Utama dalam Novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan Karya Bung Smas: Perspektif Sigmund Freud”. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini membahas struktur kepribadian dan mekanisme pertahanan ego tokoh utama dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas. Tujuan dari penelitian ini (1) mendeskripsikan struktur cerita, (2) mendeskripsikan struktur kepribadian tokoh utama, dan (3) mendeskripsikan mekanisme pertahanan ego tokoh utama.

Penelitian ini menggunakan teori strukturalisme dan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Teori strukturalisme digunakan untuk menganalisis unsur pembangun cerita khususnya alur, tokoh & penokohan, dan latar. Teori psikoanalisis Sigmund Freud digunakan untuk menganalisis struktur kepibadaian dan mekanisme pertahanan ego tokoh utama dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas.

Hasil analisis penelitian ini diklasifikasi menjadi tiga, yaitu: (1) Dari struktur pembangun cerita ditemukan hasil penelitian, yaitu: alur yang terdapat dalam novel tersebut merupakan alur campuran; penokohan Selasih (cantik, tekun beribadah, sabar dan tegar), penokohan Juworo (otoriter dan sombong), dan penokohan Jumait (pantang menyerah); serta latar yang terdapat dalam novel tersebut adalah latar tempat (Ambarawa, Cepiring, Desa Kemantren, dan Banyuputih); latar waktu (1945, 1949, 1961); dan latar sosial-budaya (ajaran agama Islam, ritual sintren, dan cara pikir masyarakat Kemantren). (2) Dari struktur kepribadian tokoh utama ditemukan hasil penelitian, yaitu: tokoh Selasih memiliki id (mencari kesenangan), ego (mengalihkan rasa ketidaknyamannya dan mencari rasa aman), dan superego (menyadari kesalahannya dan memperbaikinya); tokoh Juworo memiliki id (mencari kebahagiaan), ego (mengalihkan rasa ketidaknyamannya dengan mengikutsertakan Selasih dalam upacara sintren), superego (menyadari bila ada satu laki-laki yang pantas untuk Selasih); serta tokoh Jumait memiliki id (hasrat untuk mendapatkan cinta Selasih), ego (mendukung dan melindungi Selasih), dan Superego (menyadari bila dirinya belum pantas untuk mendapatkan Selasih). (3) Dari mekanisme pertahanan ego tokoh utama, terdapat tiga jenis mekanisme pertahanan ego yang muncul, yaitu proyeksi, regresi, dan apatis. Proyeksi adalah sikap melimpahkan kesalahan tokoh pada orang lain (tokoh lain). Regresi adalalah sikap seperti anak-anak untuk mendapatkan rasa aman atau sikap tidak berbudaya dan kehilangan kontrol sehingga tidak sungkan-sungkan berkelahi. Apatis adalah bersikap seakan-akan pasrah.

(5)

xi ABSTRACT

Simamora, Veronika Vera Febrianti. 2021. "Personality Structure and Self Defense Mechanism of The Main Character in The Novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan By Bung Smas: Sigmund Freud's Perspective". Thesis (S-1). Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.

This study discusses the personality structure and self defense mechanism of the main character in the novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan by Bung Smas. The purpose of this study are (1) describe the structure of the story, (2) describe the personality structure of the main character, and (3) describe the self defense mechanism of the main character.

This study used structuralism theory and psychoanalysis theory of Sigmund Freud. Structuralism theory is used to analyze the elements of story builders, especially plots, figure & characters, and settings. Sigmund Freud's psychoanalysis theory is used to analyze the personality structure and the self defense mechanisms of the main character in the novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan by Bung Smas. The results of this research analysis are classified into three, namely (1) From the structure of the story builder found the results of the research, namely: the plot contained in the novel is a mixed plot; the characters of Selasih (beautiful, diligent in worship, patient and strong), the characters of Juworo (authoritarian and arrogant), and the characters of Jumait (unyielding); and the setting in the novel is the setting (Ambarawa, Cepiring, Kemantren Village, and Banyuputih); background (1945, 1949, 1961); and socio-cultural background (Islamic teachings, sintren rituals, and kemantren people's way of thinking). (2) From the personality structure of the main character is found the results of research, namely: Selasih’s character has id (seeking pleasure), ego (diverting his sense of insecurity and seeking security), and superego (realizing his mistakes and correcting them); Juworo's character has an id (seeking happiness), ego (diverting his sense of inconscuity by including Selasih in sintren ceremony), superego (realizing that there is one man who deserves Selasih); and Jumait character has id (desire to get love Selasih), ego (supporting and protecting Selasih), and Superego (realizing if he does not deserve to get Selasih). (3) From the self defense mechanism of the main character, there are three types of ego defense mechanisms that appear, namely projection, regression, and apathy. Projection is the attitude of bestowing the fault of the character on others (other figures). Regression is a child-like attitude to gain a sense of security or uncultured attitude and lose control so that it does not hesitate to fight. Apathy is to act as if resigned.

(6)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN BIMBINGAN... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

MOTO ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 5

1.5 Tinjauan Pustaka ... 6

1.6 Landasan Teori ... 10

1.6.1 Teori Strukturalisme... 10

1.6.2 Teori Psikoanalisis ... 14

(7)

xiii

1.8 Sumber Data ... 24

1.9 Sistematika Penyajian ... 24

BAB II STRUKTUR PEMBANGUN CERITA DALAM NOVEL DARI AMBARAWA SAMPAI TEGAL SELATAN KARYA BUNG SMAS ... 26

2.1 Pengantar ... 26

2.2 Plot (Alur Cerita) ... 26

2.2.1 Tahap Penyituasian (situation) ... 26

2.2.2 Tahap Munculnya Konflik (generating circumstance) ... 28

2.2.3 Tahap Peningkatan Konflik (rising action) ... 29

2.2.4 Tahap Klimaks (climax) ... 31

2.2.5 Tahap Penyelesaian Konflik (denouement) ... 32

2.2.6 Rangkuman ... 34

2.3 Tokoh dan Penokohan ... 36

2.3.1 Tokoh Utama yang Utama ... 36

2.3.2 Tokoh Utama Tambahan ... 39

2.3.3 Rangkuman ... 41 2.4 Latar ... 42 2.4.1 Latar Tempat ... 42 2.4.2 Latar Waktu ... 45 2.4.3 Latar Sosial-Budaya ... 48 2.4.4 Rangkuman ... 51 2.5 Rangkuman ... 52

(8)

xiv

BAB III STRUKTUR KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL DARI

AMBARAWA SAMPAI TEGAL SELATAN KARYA BUNG SMAS ... 53

3.1 Pengantar ... 53 3.2 Struktur Kepribadian ... 53 3.2.1 Id ... 53 3.2.2 Ego ... 57 3.2.3 Superego ... 60 3.3 Rangkuman ... 64

BAB IV MEKANISME PERTAHANAN EGO DALAM NOVEL DARI AMBARAWA SAMPAI TEGAL SELATAN KARYA BUNG SMAS ... 65

4.1 Pengantar ... 65

4.2 Mekanisme Pertahanan Ego ... 65

4.2.1 Proyeksi ... 65 4.2.2 Regresi... 68 4.2.3 Apatis ... 70 4.3 Rangkuman ... 73 BAB V PENUTUP ... 74 5.1 Kesimpulan ... 74 5.2 Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA ... 77 LAMPIRAN ... 79

(9)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Rangkuman Alur ... 35

Tabel 2 Rangkuman Tokoh dan Perwatakan ... 42

Tabel 3 Rangkuman Latar ... 51

Tabel 4 Rangkuman Struktur Kepribadian Tokoh Utama ... 64

(10)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sastra menurut Surastina (2018: 3) adalah ekspresi perasaan manusia, atau ungkapan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari perasaan seseorang. Karya sastra adalah hasil dari pemikiran kreatif berupa tulisan yang diterbitkan sehingga dapat dibaca dan diapresiasi (Surastina, 2018: 6). Salah satu bentuk apresiasi pembaca terhadap karya sastra yang dibaca adalah dengan meneliti karya sastra tersebut dari sudut pandang psikologi sastra. Penelitian tersebut memiliki peranan penting dalam pemahaman sastra karena adanya beberapa kelebihan seperti pentingnya psikologi sastra untuk mengkaji lebih mendalam aspek perwatakaan; pendekatan ini dapat memberi umpan-balik kepada peneliti tentang masalah perwatakan yang dikembangkan; dan penelitiaan semacam ini sangat membantu untuk analisis karya sastra yang kental dengan masalah-masalah psikologis (Endraswara, 2008: 12).

Novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas merupakan salah satu karya sastra yang menarik untuk diapresiasi dari sudut pandang psikologi sastra. Bung Smas merupakan nama pena dari Slamet Mashuri. Dia adalah penulis angkatan 70-an. Bung Smas telah menghasilkan lebih dari 300 novel, baik serial maupun nonserial. Bung Smas juga pernah mendapatkan beberapa penghargaan dari karyanya salah satunya buku 31 Cerita Bada Isya yang berhasil memenangkan penghargaan Adi Karya IKAPI tahun 1998 dan 1999 sebagai buku terpuji dan terbaik.

(11)

Novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas berlatar di tahun 1945. Novel ini diawali dari kisah sepasang suami-istri yang terjebak dalam pertempuran antara Sekutu dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pasangan ini baru saja memiliki seorang putri yang cantik yang diberi nama Selasih. Belum lama menimang bayinya, sang ibu tertembak oleh peluru tentara Sekutu. Selasih kecil pun dibawa ayahnya ke rumah mertuanya untuk mengabarkan berita duka itu. Ayahnya yang harus kembali bekerja menjadi TKR menitipkan Selasih. Selasih pun dibesarkan oleh Juworo dan Nyai Juworo.

Juworo adalah orang yang sangat otoriter, bukan saja kepada Selasih melainkan kepada Nyai Juworo dan almarhum ibu Selasih. Sikapnya itu semakin menjadi-jadi saat Juworo menyadari bahwa Selasih telah berusia 17 tahun, namun ia belum dipinang oleh satu pria pun. Di tahun 1961 perempuan seumur Selasih seharusnya sudah menikah. Sebenarnya Selasih menyukai teman laki-lakinya, Jumait. Sayangnya kakek Selasih itu gila harta, tentu Jumait tidak masuk dalam kriterianya karena dia belum memiliki pekerjaan tetap. Juworo yang tak kehabisan ide pun memaksa Selasih untuk mencari jodohnya dengan menjadi Sintren.

Selasih tentunya tak sudi menjadi Sintren karena baginya itu adalah kolaborasi manusia dengan setan. Selasih berniat untuk kabur dari kakeknya itu dengan meminta bantuan Jumait. Namun, rencana mereka gagal. Selasih terpaksa harus menjadi Sintren. Dukun Sintren yang telah bekerja sama dengan orang tua lainnya yang ingin anaknya dijadikan Sintren merencanakan kegagalan ritual Sintren

(12)

Selasih tersebut. Selasih dituduh sudah tidak perawan sehingga ritual itu gagal. Juworo yang mendengar hal itu pun marah besar.

Di akhir cerita, sikap Juworo berubah drastis. Hal ini disebabkan karena Juworo mendapat pelajaran dari Ustaz Masduki. Selain itu, anak laki-laki dari ayah Selasih bernama Gaman itu datang ke Kemantren untuk menemui kakaknya, Selasih. Juworo yang sudah berubah itupun merestui hubungan Selasih dan Jumait. Ia meminta Jumait untuk mencari wali Selasih yaitu ayahnya. Ternyata nasib berkata lain, Selasih yang dari kecil tak pernah bertemu dengan ayahnya mendapat kabar buruk. Ayahnya yang saat itu menjadi pasukan Darul Islam (DI) tertembak oleh pasukan Mobrig. Selasih pun akhirnya menikah dengan wali sang adik laki-laki, Gaman.

Dari paparan cerita diatas, ditemukan pengalaman psikologis tokoh yang menghadirkan dua sikap atau perilaku yaitu sadar dan tak sadar. Dalam psikoanalisis sastra, hal ini disebut sebagai struktur kepribadian. Struktur kepribadian ini mencakup id, ego, dan superego tokoh. Konflik yang terjadi karena adanya pertentangan antara

id dan superego pun membentuk suatu mekanisme pertahanan ego.

Bung Smas dalam novelnya berjudul Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan menghadirkan konflik antar tokoh dan pertentangan antara kebudayaan dengan agama. Unsur kebudayaan yang diangkat adalah kebudayaan Jawa khususnya daerah Tegal Selatan yaitu Kemantren. Ajaran agama yang diangkat dalam novel tersebut adalah ajaran Agama Islam. Ajaran Islam ini tampak dari adanya beberapa doa dan tingkah laku tokoh yang sesuai dengan ajaran Islam. Bung Smas dengan mahirnya

(13)

merangkai cerita hingga konflik yang diceritakan terasa seakan-akan nyata hadir saat pembaca membaca novel tersebut.

Alasan pemilihan teori psikoanalisis perspektif Sigmund Freud untuk meneliti Novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas antara lain yaitu (1) gagasan tentang permasalahan psikis tokoh yang diungkapkan Freud termasuk cukup baru, tetapi sudah banyak diterapkan dalam penelitian karya sastra lainnya yang membahas permasalahan psikoanalisis. Akan tetapi, teori ini belum digunakan dalam pengkajian novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas; (2) Freud secara khusus meneliti dan membahas psikoanalisis menurut pengalamannya dengan pasiennya dan membuat penemuannya tentang psikoanalisis sehingga teorinya cukup faktual dan rinci; dan (3) Dalam karyanya berjudul “The Interpretation of Dream” yang bila diterjemahkan menjadi "Tafsiran Mimpi" Freud kerap menampilkan pengalaman pribadinya dan pengalaman masa kecilnya. Ditambah lagi, Freud juga seorang pencinta buku dan selalu mengkaji buku-buku yang dibacanya (Minderop, 2010: 1-2). Sehingga pengalaman pribadi dan masa kecil tokoh dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas bisa dijadikan bahan penelitian

dengan teori Freud tersebut. 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut. 1.2.1 Bagaimana struktur pembangun cerita yang terdapat dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas?

(14)

1.2.2 Bagaimana struktur kepribadian tokoh utama dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas?

1.2.3 Bagaimanakah mekanisme pertahanan ego tokoh utama dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut.

1.3.1 Mendeskripsikan struktur pembangun cerita dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas. Hal ini akan dibahas

dalam Bab II.

1.3.2 Mendeskripsikan struktur kepribadian tokoh utama dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas. Hal ini akan dibahas

dalam Bab III.

1.3.3 Mendeskripsikan mekanisme pertahanan ego tokoh utama dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas. Hal ini akan

dibahas dalam Bab IV. 1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini berupa deskripsi struktur kepribadian dan mekanisme pertahanan ego tokoh-tokoh dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas. Dengan demikian, manfaat teoretis dan praktis dalam penelitian ini, sebagai berikut.

(15)

Penelitian ini bermanfaat sebagai contoh penerapan teori struktur kepribadian Sigmund Freud. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat sebagai contoh pengembangan teori psikoanalisis dalam konteks karya sastra Indonesia.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian bermanfaat menambah khazanah apresiasi dan kritik sastra terhadap novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas. Bagi pembaca secara

umum, penelitian ini diharapkan menambah daya pikir kritis terhadap praktik kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak dalam kehidupan sehari-hari yang berpengaruh besar terhadap pengalaman psikologinya.

1.5 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka berisi penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini. Dalam tinjauan pustaka ini tidak ditemukan penelitian-penelitian tentang novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas, tetapi ditemukan penelitian-penelitian yang membahas tentang perspektif Sigmund Freud yang ditulis oleh Yulianti (2007), Fanani (2008), Setiadi (2012), Budiantoro (2015), dan Rahmadi (2019). Berikut tinjauan pustaka dalam penelitian ini.

“Psikoanalisis dalam Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan” merupakan judul artikel yang pernah dibuat Yulianti (2007). Yulianti mendeskripsikan perilaku seksualitas lima tokoh perempuan dalam novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan. Ia menggunakan pendekatan psikoanalisis. Lima tokoh perempuan ini memiliki hubungan darah, namun memiliki perilaku seksualitas yang berbeda. Psikoanalisis melihat teks yang ada dalam karya sastra sebagai teks manifes. Oedipus kompleks,

(16)

narsisme, kastrasi, mimpi, fantasme, dan mitologi sangat memengaruhi perilaku seksualitas lima tokoh ini.

Fanani (2008) pernah membahas struktur dan mekanisme pemertahanan jiwa tokoh utama dalam artikelnya yang berjudul “Struktur dan Mekanisme Pemertahanan Jiwa Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen Nyanyian Imigran (Kumpulan Cerpen Buruh Migran Indonesia) Telaah Psikoanalisis Sigmund Freud”. Fanani menemukan tiga hasil penelitian yaitu, (1) Struktur id berupa dorongan-dorongan primitif tokoh utama berkaitan dengan insting hidup seorang manusia yang harus dicapai dan dipuaskan. Struktur ego berupa keputusan-keputusan tokoh utama (pelaksana struktur id) untuk mereduksi tegangan dalam diri dengan bentuk perbuatan-perbuatan berkaitan dengan kehidupan nyata. Struktur superego berupa dorongan-dorongan tokoh utama berbuat kebajikan dengan mengikuti norma-norma di masyarakat. (2) Mekanisme pemertahanan jiwa represi berupa perbuatan-perbuatan tokoh utama meredakan kecemasan dalam diri dengan jalan menekan keinginan id ke dalam alam ketaksadaran. Penempelan yang keliru berupa perbuatan-perbuatan tokoh utama menyerang pihak yang dianggap kurang berbahaya. Rasionalisasi berupa perbuatan-perbuatan tokoh utama memutarbalikkan kenyataan yang sedang dialaminya. (3) Dari wujud struktur dan mekanisme pemertahanan jiwa tokoh utama terdapat satu hubungan yang saling berkaitan antara struktur dan mekanisme pemertahanan jiwa. Mekanisme pemertahanan jiwa tokoh utama berusaha sekuat mungkin menjaga kestabilan, menyesuaikan, dan melindungi diri struktur realitas (ego), id, dan

(17)

superego dari bahaya impuls-impuls untuk meredakan kecemasan yang berlebihan dalam diri tokoh utama.

Penelitian mengenai dinamika kepribadian tokoh utama pernah dibahas oleh Setiadi (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Dinamika Kepribadian Tokoh-tokoh Utama dalam Novel 3 Cinta 1 Pria Karya Arswendo Atmowiloto Kajian Psikoanalisis Sigmund Freud”. Dalam Penelitiannya Setiadi menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Teori tersebut memandang kepribadian manusia yang dibangun atas tiga struktur, id, ego, dan superego. Setiadi menemukan keterkaitan antara mimpi dan lupa nama yang memengaruhi dinamika kepribadian tokoh-tokoh utamanya. Dalam pembahasan ini diperoleh pula gambaran mengenai naluri dan kecemasan tokoh-tokoh utamanya. Tokoh Bong dan tokoh Keka mengalami kompleksitas naluri kehidupan dan kematian yang secara berputar dan berulang dari siklus kehidupan manusia. Pada sisi kecemasan, tokoh Bong dan tokoh Keka mengalami kecemasan moral, kecemasan realistik, dan kecemasan neurosis.

Budiantoro (2015) pernah meneliti kecemasan penyair menggunakan teori Psikoanalisis Sigmund Freud. Judul tesisnya “Kecemasan Penyair Abdul Wachid B.S. dalam Perspektif Psikoanalisis Sigmund Freud”. Hasil dari penelitian yang dilakukan Budiantoro menunjukkan bahwa dimensi psikologis pengarang memberikan pengaruh terhadap proses penciptaan karya sastra, khususnya yang terkait dengan kecemasan pengarang. Bentuk-bentuk kecemasan Abdul Wachid B.S. dalam perspektif Psikoanalisis Freud sebagai berikut. Pertama, kecemasan neurotik. Kecemasan ini berkaitan dengan relasi Abdul Wachid B.S. dengan perempuan dan

(18)

agama (yang menjadi candu). Kedua, kecemasan realistik. Perlawanan Abdul Wachid B.S. terhadap politik represif Orde Baru dan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Ketiga, kecemasan moralistik. Abdul Wachid B.S. sebagai makhluk spiritual dan tugas kemanusiaannya sebagai hamba Allah Swt. Sedangkan, upaya transferensi (pengalihan) yang dilakukan oleh Abdul Wachid B.S. adalah dengan menulis puisi. Sebab, dalam terminologi Achid, puisi mampu memberikan kelegaan secara psikologis (sublimasi) atas permasalahan yang dihadapi.

Sebuah kajian psikoanalisis terhadap tokoh perempuan pernah dilakukan oleh Rahmadi (2019) dalam artikel berjudul “Perempaun yang Ingin Jadi Perempuan Psikoanalisis Tokoh Perempuan Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini”. Perempuan dalam Novel Tarian Bumi dicitrakan sebagai sosok-sosok yang begitu kuat, gelisah, mandiri, dan pemberontak. Dalam penelitiannya Rahmadi memperoleh pembelajaran karakter perempuan (Luh Sekar, Telaga, dan Sagra Pidada) yang berjuang melawan derasnya tekanan adat yang mesti dijalani dengan segala keterbatasan gender, kasta, dan interaksi masyarakat. Perjuangan tokoh perempuan sebagai second sex untuk bertahan hidup dengan segala eksistensi menyuarakan keinginannya.

Dari tinjauan pustaka di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian dengan teori psikoanalisis sudah banyak diterapkan untuk mengkaji beberapa karya sastra. Akan tetapi, belum ditemukan pendekatan penelitian teori psikoanalisis untuk mengkaji novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas.

(19)

1.6 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan dua teori, yaitu teori strukturalisme dan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Berikut paparan selengakapnya.

1.6.1 Teori Strukturalisme

Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks-teks (Taum, 1997: 38). Menurut Nurgiyantoro (2015: 58), Setiap teks kesusastraan memiliki sebuah struktur yang unik dan khas yang menandai kehadirannya. Struktur yang saling berhubungan akan menjadi bermakna, masuk akal, logis, dan mudah dipahami.

Menurut Taum (1997: 39), komponen-komponen yang terdapat dalam karya sastra memiliki aksentuasi pada berbagai teks sastra. Strukturalisme sastra memberi keluasan kepada peneliti sastra untuk menetapkan komponen-komponen mana yang akan mendapat prioritas signifikan. Keluasan ini tetap harus dibatasi, yakni sejauh komponen-komponen itu tersurat dalam teks itu sendiri. Sesuai pendapat Taum, penelitian ini terbatas pada penelitian plot (alur cerita), tokoh & penokohan, dan latar. Unsur-unsur pembangun cerita tersebut merupakan unsur yang paling dibutuhkan untuk mendukung penelitian terkait struktur kepribadian dan mekanisme pertahanan ego tokoh utama dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas.

1.6.1.1 Plot (Alur Cerita)

Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain.

(20)

Kejelasan plot dapat berarti kejelasan cerita, kesederhanaan plot berarti kemudahan cerita untuk dimengerti. Dalam sebuah karya sastra plot dan teknik pemlotan dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk mencapai efek keindahan teks itu (Nurgiyantoro 2015: 164). Berikut lima tahapan plot.

(1) Tahap Penyituasian (Situation)

Tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembuka cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama, berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya (Nurgiyantoro 2015: 209).

(2) Tahap Munculnya Konflik (Generating Circumstances)

Masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan /atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya (Nurgiyantoro 2015: 209).

(3) Tahap Peningkatan Konflik (Rising Action)

Konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari (Nurgiyantoro 2015: 209).

(4) Tahap klimaks (Climax)

Konflik dan atau pertentangan yang terjadi, yang dilakukan atau ditimpalkan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan

(21)

dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama (Nurgiyantoro 2015: 209).

(5) Tahap Penyelesaian (Denouement)

Konflik yang mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri (Nurgiyantoro 2015: 210).

1.6.1.2 Tokoh dan Penokohan

Sama halnya dengan plot, tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam cerita fiksi.

(1) Tokoh

Istiah tokoh merujuk pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro 2015: 247). Berdasarkan peran dan pentingnya seseorang tokoh dibagi menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan (Nurgiyantoro 2015: 258). Dalam penelitian ini, peneliti hanya meneliti tokoh utamanya saja. Nurgiantoro membagi tokoh utama menjadi dua yaitu tokoh utama yang utama dan tokoh utama tambahan (Nurgiyantoro 2015: 260).

(2) Penokohan

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang tampak dalam sebuah cerita. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakteristik sering disamakan artinya dengan karakteristik dan perwatakan merujuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Antara seorang tokoh dengan perwatakan yang dimilikinya memang merupakan suatu kepaduan yang utuh (Nurgiyantoro 2015: 247)

(22)

1.6.1.3 Latar

Menurut Abrams (Nurgiyantoro 2015: 303) latar atau setting disebut juga sebagai landasan tumpu, menunjukkan pada penegrtian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu: tempat, waktu, dan sosial-budaya.

(1) Latar tempat

Latar tepat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi-lokasi tertentu tanpa nama yang jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama–nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak, tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat tentu memiliki karakteristiknya tersendiri yang membedakannya dengan tempat-tempat lainnya (Nurgiyantoro 2015: 314-315).

(2) Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa dalam cerita fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita (Nurgiyantoro 2015: 318).

(23)

Latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai permasalahan dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain (Nurgiyantoro 2015: 322).

1.6.2 Teori Psikoanalisis

Psikologi berasal dari kata Yunani psyche, yang berarti jiwa, dan logos yang berarti ilmu. Jadi, psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan mempelajari tingkah laku manusia. Masing-masing individu memiliki karakteristik kepribadian atau pembawaan yang menandainya. Kepribadian menurut psikologi bisa mengacu pada karakteristik perilaku dan pola pikir yang menentukan penilaian seseorang terhadap lingkungan. Kepribadian dibentuk sejak lahir yang dimodifikasi oleh pengalaman budaya dan pengalaman unik yang memengaruhi seseorang sebagai individu (Minderop, 2010: 3-4).

Psikoanalisis adalah disiplin ilmu yang dimulai sekitar tahun 1900-an oleh Sigmund Freud. Teori tersebut berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia. Walaupun Freud seorang dokter yang selalu berpikir secara ilmiah, dunia sastra tidak asing baginya karena semasa mudanya ia memperoleh pendidikan sastra dan menelaahnya secara serius (Minderop, 2010: 11). Penelitian teori psikoanalisis Sigmund Freud terbatas hanya pada penelitian strukur kepribadian dan mekanisme

(24)

pertahanan ego tokoh utama dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas.

1.6.2.1 Struktur Kepribadian

Freud membahas pembagian psikisme manusia: id (terletak di bagian tidak sadar) yang merupakan reservoir pulsi dan menjadi sumber energi psikis. Ego (terletak di antara alam sadar dan tidak sadar) yang berfungsi sebagai penengah yang mendamaikan tuntutan pulsi dan larangan superego. Superego (terletak sebagian di bagian sadar dan sebagian di bagian taksadar) bertugas mengawasi dan menghalangi pemuasan sempurna pulsi-pulsi tersebut yang merupakan hasil pendidikan dan identifikasi pada orang tua (Minderop, 2010:21). Pulsi merupakan istilah lain yang digunakan Freud untuk menggantikan kata instinct (naluri). Freud (dalam Minderop, 2010: 20), mengatakan bahwa tingkah laku merupakan hasil konflik dan rekosiliasi tiga kepribadian tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian adalah faktor historis masa lampau dan faktor kontemporer, analoginya faktor bawaan dan faktor lingkungan dalam pembentukan kepribadain individu.

Berikut klasifikasi struktur kepribadian menurut Freud. (1) Id (das Es)

Freud mengibaratkan id sebagai raja atau ratu, ego sebagai perdana menteri dan superego sebagai pendeta tertinggi. Id berlaku seperti penguasa absolut, harus dihormati, manja, sewenang-wenang, dan mementingkan diri sendiri; apa yang diinginkannya harus segera terlaksana. Ego selaku perdana menteri yang diibaratkan memiliki tugas harus menyelesaikan segala pekerjaan yang terhubung dengan realitas

(25)

dan tanggap terhadap keinginan masyarakat. Superego, ibaratnya seorang pendeta yang selalu penuh pertimbangan terhadap nilai-nilai baik dan buruk harus mengingatkan si id yang rakus dan serakah bahwa pentingnya perilaku yang arif dan bijak (Minderop, 2010:21).

Id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi

kebutuhan dasar seperti misalnya kebutuhan: makan, seks menolak rasa sakit atau tidak nyaman. Menurut Freud, id berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak dengan realitas. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari ketidaknyamanan (Minderop, 2010:21).

(2) Ego (das Ich)

Ego terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta

patuh pada prinsip realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan individu yang dibatasi oleh realitas. Seseorang penjahat, misalnya, atau seorang yang hanya ingin memenuhi kepuasan diri sendiri, tertahan dan terhalang oleh realitas kehidupan yang dihadapi. Demikian pula dengan adanya individu yang memiliki impuls-impuls seksual dan agresivitas yang tinggi misalnya; tentu saja nafsu-nafsu tersebut tidak terpuaskan tanpa pengawasan.

Demikianlah, ego menolong manusia untuk mempertimbangkan apakah ia dapat memuaskan diri tanpa mengakibatkan kesulitan atau penderitaan bagi dirinya sendiri. Ego berada di antara alam sadar dan alam bawah sadar. Tugas ego memberi tempat pada fungsi mental utama, misalnya: penalaran, penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Dengan alasan ini, ego merupakan pimpinan utama dalam

(26)

kepribadian; layaknya seorang pimpinan perusahaan yang mampu mengambil keputusan rasional demi kemajuan perusahaan. Id dan ego tidak memiliki moralitas karena keduanya ini tidak mengenal nilai baik dan buruk (Minderop, 2010:22).

(3) Superego (das Über Ich)

Struktur yang ketiga ialah superego yang mengacu pada moralitas dalam kepribadian. Superego sama halnya dengan ‘hati nurani’ yang mengenali nilai baik dan buruk (conscience). Sebagaimana id, superego tidak mempertimbangkan realitas karena tidak bergumul dengan hal-hal realistik, kecuali ketika impuls seksual dan agresivitas id dapat terpuaskan dalam pertimbangan moral. Jelasnya, sebagai berikut: misalnya ego seseorang ingin melakukan hubungan seks secara teratur agar karirnya tidak terganggu oleh kehadiran anak; tetapi id orang tersebut menginginkan hubungan seks yang memuaskan karena seks itu nikmat. Kemudian, superego timbul dan menengahi dengan anggapan merasa berdosa dengan melakukan hubungan seks (Minderop, 2010:22-23).

1.6.2.2 Mekanisme Pertahanan Ego

Dalam teori kepribadian, mekanisme pertahanan merupakan karakteristik yang cenderung kuat dalam diri setiap orang. Mekanisme pertahanan ini tidak mencerminkan kepribadian secara umum, tetapi juga–dalam pengertian penting— dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian (Minderop, 2010: 31).

Menurut pandangan Freud, keinginan-keinginan yang saling bertentangan dari struktur kepribadian menghasilkan kecemasan (anxitas). Misalnya ketika ego menahan keinginan mencapai kenikmatan dari id, anxitas dari dalam terasa. Hal ini

(27)

menyebar dan mengakibatkan kondisi tidak nyaman ketika ego merasakan bahwa id dapat menyebabkan gangguan terhadap individu. Anxitas mewaspadai ego untuk mengatasi konflik tersebut melalui mekanisme pertahanan ego, melindungi ego sekaligus mengurangi anxitas yang diproduksi oleh konflik tersebut. Berikut bentuk-bentuk dari mekanisme pertahanan ego.

(1) Represi (Repression)

Menurut Freud, mekanisme pertahanan ego yang paling kuat dan luas adalah antara lain, represi (repression). Tujuan represi ialah mendorong keluar impuls-impuls id yang tidak diterima, dari alam sadar dan kembali ke dalam bawah sadar. Represi merupakan fondasi cara kerja semua mekanisme pertahanan ego. Tujuan dari semua mekanisme pertahanan ego adalah untuk menekan (repress) atau mendorong impuls-impuls yang mengancam agar keluar dari alam sadar. Mekanisme represi pada awalnya diajukan oleh Sigmund Freud yang kerap masuk ke ranah teori psikoanalisis. Represi sebagai upaya menghindari perasaan anxitas. Sebagai akibat represi, si individu tidak menyadari impuls yang menyebabkan anxitas serta tidak mengingat pengalaman emosional dan traumatik di masa lalu (Minderop, 2010:32-33).

(2) Sublimasi

Sublimasi terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial menggantikan perasaan tidak nyaman. Sublimasi sesungguhnya suatu bentuk pengalihan. Misalnya, seorang individu memiliki dorongan seksual yang tinggi, lalu ia mengalihkan perasaan tidak nyaman ini ke tindakan-tindakan yang dapat diterima

(28)

secara sosial dengan menjadi seorang artis pelukis tubuh model tanpa busana (Minderop, 2010:34).

(3) Proyeksi

Setiap individu kerap menghadapi situasi atau hal-hal yang tidak diinginkan dan tidak dapat diterima dengan melimpahkannya dengan alasan lain. Misalnya, seseorang harus bersikap kritis atau bersikap kasar terhadap orang lain dan menyadari bahwa sikap ini tidak pantas untuk dilakukan, namun sikap yang dilakukan tersebut diberi alasan bahwa orang tersebut layak menerimanya. Sikap ini dilakukan agar tampak lebih baik. Mekanisme yang tidak disadari yang melindungi diri individu dari pengakuan terhadap kondisi tersebut dinamakan proyeksi. Proyeksi terjadi bila individu menutupi kekurangannya dan masalah yang dihadapi atau pun kesalahannya dilimpahkan kepada orang lain (Minderop, 2010:34).

(4) Pengalihan (Displacement)

Pengalihan adalah pengalihan perasaan tidak senang terhadap suatu objek ke objek lainnya yang lebih memungkinkan. Misal adanya impuls-impuls agresif yang dapat digantikan sebagai kambing hitam terhadap orang atau objek lainnya. Objek-objek tersebut bukan sebagai sumber frustrasi namun lebih aman dijadikan sebagai sasaran (Minderop, 2010: 35).

(5) Rasionalisasi (Rationalization)

Rasionalisasi memiliki dua tujuan. Pertama, untuk mengurangi kekecewaan ketika gagal mencapai suatu tujuan dan kedua, memberikan motif yang dapat diterima atas perilaku (Minderop, 2010:35).

(29)

(6) Reaksi Formasi (Reaction Formation)

Represi akibat impuls anxitas kerap kali diikuti oleh kecenderungan yang berlawanan yang bertolak belakang dengan tendensi yang ditekan (reaksi formasi). Misalnya, seseorang bisa menjadi syuhada yang fanatik melawan kejahatan karena adanya perasaan di bawah alam sadar yang berhubungan dengan dosa. Ia boleh jadi merepresikan impulsnya yang berakhir pada perlawanannya kepada kejahatan yang ia sendiri tidak memahaminya. Reaksi formasi mampu mencegah seorang individu berperilaku yang menghasilkan anxitas dan kerap kali dapat mencegahnya bersikap antisosial (Minderop, 2010: 37).

(7) Regresi

Terdapat dua interpretasi mengenai regresi. Pertama, perilaku seseorang yang mirip anak kecil, menangis dan sangat manja agar memperoleh rasa aman dan perhatian orang lain (retrogressive behavior). Kedua, ketika seorang dewasa bersikap sebagai orang yang tidak berbudaya dan kehilangan kontrol sehingga tidak sungkan-sungkan berkelahi (primitivation) (Minderop, 2010:38).

(8) Agresi dan Apatis

Perasaan marah terkait erat dengan ketegangan dan kegelisahan yang dapat menjurus pada penyerangan. Agresi dapat berbentuk langsung dan pengalihan (direct aggression dan displaced aggression). Agresi langsung adalah agresi yang

diungkapkan secara langsung kepada seseorang atau objek yang merupakan sumber frustrasi. Bagi orang dewasa, agresi semacam ini biasanya dalam bentuk verbal ketimbang fisikal, si korban yang tersinggung biasanya merespons. Agresi yang

(30)

dialihkan adalah bila seseorang mengalami frustrasi namun tidak dapat mengungkapkan secara puas kepada sumber frustrasi tersebut karena tidak jelas atau tidak tersentuh. Si pelaku tidak tahu ke mana ia harus menyerang; sedangkan ia sangat marah dan membutuhkan sesuatu untuk pelampiasan. Penyerangkan kadang-kadang tertuju kepada orang yang tidak bersalah atau mencari kambing hitam. Apatis adalah bentuk lain dari reaksi terhadap frustrasi, yaitu sikap apatis (apathy) dengan cara menarik diri dan bersikap seakan-akan pasrah (Minderop, 2010:38-39).

(9) Fantasi dan Stereotype

Ketika individu menghadapi masalah yang demikian bertumpuk, kadang kala mereka mencari solusi dengan masuk ke dunia khayal, solusi yang berdasarkan fantasi ketimbang realitas. Stereotype adalah konsekuensi lain dari frustrasi, yaitu perilaku stereotype memperlihatkan perilaku pengulangan terus menerus. Individu selalu mengulangi perbuatan yang tidak bermanfaat dan tampak aneh (Minderop, 2010:39).

Dengan teori strukturalisme dan teori psikoanalisis Sigmund Freud akan diteliti struktur cerita, struktur kepribadian dan mekanisme yang terdapat dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas.

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Paradigma dan Pendekatan

Paradigma kritik sastra terbagi menjadi empat paradigma, yaitu: paradigma Wallek dan Warren; paradigma Ronald Tanaka; paradigma M. H. Abrams; dan reposisi paradigma Abrams yang dikemukakan oleh Taum. Penelitian ini

(31)

menggunakan paradigma M. H. Abrams dan reposisinya. Dalam paradigma penelitian mengenai kritik sastra, Abrams memaparkan empat komponen utama, yakni: karya (work), pengarang (artist), realitas (universe), dan pembaca (audience).

M. H. Abrams memaparkan empat pendekatan, yaitu: (1) pendekatan objektif yang berfokus pada karya; (2) pendekatan ekspresif yang berfokus pada pengarang; (3) pendekatan mimetik yang berfokus pada realitas; dan (4) pendekatan pragmatik yang berfokus pada pembaca. Dalam reposisinya, Taum menambahkan dua pendekatan yang meliputi: pendekatan eklektik dan pendekatan diskursif. Pendekatan eklektik adalah pendekatan yang menggabungkan beberapa pendekatan untuk memahami sebuah fenomena. Pendekatan diskursif adalah pendekatan yang menitikberatkan pada diskursif (wacana sastra) sebagai sebuah praktik diskursif (Taum, 2017:3-4).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan objektif dan pendekatan eklektik. Pendekatan objektif pada penelitian ini digunakan untuk menganalisis struktur pembangun cerita yang mencakup plot/alur, tokoh & penokohan dan latar yang terdapat dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas. Sedangkan, pendekatan eklektik dalam penelitian ini

digunakan untuk menjelaskan tentang struktur kepribadian dan mekanisme pertahanan ego yang terdapat pada novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan objektif dan pendekatan eklektik, serta teori strukturalisme dan teori psikoanalisis Sigmund Freud

(32)

tentang struktur kepribadian tokoh dan mekanisme pertahanan ego tokoh. Pendekatan dan teori tersebut diturunkan ke dalam metode penelitian, yang meliputi tiga tahap, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penyajian data.

1.7.2 Metode Pengumpulan Data

Data yang diperlukan untuk penelitian ini diperoleh dari dua sumber, yakni: sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer diperoleh langsung dari novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas yang diterbitkan oleh PT Remaja Rosdakarya tahun 2014. Sumber data sekunder adalah sumber data penulisan yang diperoleh dari pustaka-pustaka, baik karya sastra maupun kajian teoretis mengenai novel dan topik kajian. Sumber sekunder ini pun dapat dibagi lagi menjadi sumber-sumber online (internet) dan sumber-sumber offline (pustaka). Data dikumpulkan dengan metode studi pustaka, secara spesifik dengan teknik baca-catat. Dalam hal ini peneliti membaca sumber data primer dan sekunder. Kemudian, hal-hal yang terkait dengan struktur kepribadian tokoh dan mekanisme pertahanan ego tokoh dicatat.

1.7.3 Metode Analisis Data

Analisis isi dilaksanakan atas dasar penafsiran yang memberikan perhatian pada isi pesan (Ratna, 2004:49). Penelitian ini menganalisis novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas dengan menggunakan teori psikoanalisis

Sigmund Freud. Penulis terlebih dahulu membaca isi novel dengan cermat. Selanjutnya penulis menganalisis struktur kepribadian tokoh dan mekanisme pertahanan ego tokoh yang berdasarkan teori Sigmund Freud.

(33)

1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data akan disajikan secara deskriptif kualitatif, yakni pendeskripsian hasil analisis dan penafsiran dalam bentuk kalimat-kalimat (Ratna, 2004:50). Isi dari deskripsi ini adalah hasil analisis terhadap struktur kepribadian tokoh dan mekanisme pertahanan ego tokoh dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas.

1.8 Sumber Data

Judul Buku : Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan Pengarang : Bung Smas

Tahun Terbit : 2014, Cetakan pertama Penerbit : PT Remaja Rosdakarya Ukuran Buku : 13×18 cm

Tebal Buku : 216 halaman ISBN : 978-979-692-472-1 1.9 Sistematika Penyajian

Tugas akhir ini terdiri atas lima bab. Pada bab I diuraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi uraian tentang struktur cerita. Pada bab II ini mendeskripsikan struktur cerita yang terdapat dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas. Bab III berisi uraian tentang struktur kepribadian tokoh utama. Pada bab III ini mendeskripsikan struktur kepribadian tokoh utama dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan

(34)

karya Bung Smas. Bab IV berisi uraian tentang mekanisme pertahanan ego tokoh utama. Pada bab IV ini mendeskripsikan mekanisme pertahanan ego tokoh utama dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas. Bab V merupakan bab penutup. Bab V berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran.

(35)

BAB II

STRUKTUR PEMBANGUN CERITA DALAM NOVEL

DARI AMBARAWA SAMPAI TEGAL SELATAN KARYA BUNG SMAS 2.1 Pengantar

Pada bab ini akan dipaparkan hasil analisis struktur pembangun cerita yang terdapat dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas. Unsur-unsur pembangun cerita yang akan dibahas pada penelitian ini terbatas pada penelitian plot (alur cerita), tokoh & penokohan dan latar. Ketiga unsur pembangun cerita ini merupakan unsur yang paling dibutuhkan untuk mendukung penelitian terkait analisis struktur kepribadian dan mekanisme pertahanan ego tokoh utama. 2.2 Plot (Alur Cerita)

Tahapan dalam plot dapat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu (1) tahap penyituasian (situation), (2) tahap munculnya konflik (generating circumstance), (3) tahap peningkatan konflik (rising action), (4) tahap klimaks (climax), (5) tahap penyelesaian konflik (denouement) (Nurgiyantoro, 2015: 209-210).

Berikut tahapan plot yang terdapat dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas.

2.2.1 Tahap Penyituasian (situation)

Tahap penyituasian adalah tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembuka cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain (Nurgiyantoro 2015: 209). Berikut

(36)

kutipan-kutipan tahap penyituasian dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas.

Tidak tahu mengapa dia diberi nama Selasih. Pemberi nama itu telah tiada sejak Desember 1945 dalam sebuah pertempuran seru antara tentara sekuru melawan prajurit TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di Ambarawa.

(Smas, 2014: 2) Tiba-tiba Mulatsih mengadu seperti karena terkejut. Lalu tersungkur dengan Selasih tertindih di bawahnya. Selasih menangis karena kesakitan. Mulatsih tak bersuara lagi selain aduan tadi. Tak jelas peluru siapa yang menembus dadanya tepat di arah jantungnya.

(Smas 2014: 5) Dari kutipan di atas, cerita berlatar di tahun 1945. Saat itu terjadi peristiwa perang antara Sekutu dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang terjadi di Ambarawa. Perang disebabkan karena Sekutu berlaku seenaknya. Akibatnya, TKR berusaha untuk mengusir dan melawan Sekutu. Di tengah perang sengit itu, Mulatsih tertembak oleh peluru yang salah sasaran. Selasih yang berada digendongannya langsung tertindih tubuhnya.

Selasih kecil kemudian dibawa ke sebuah desa di Tegal Selatan, ke rumah Juworo, orangtua Mulatsih. Tak terbayang duka Juworo dan istrinya menerima kedatangan satu-satunya cucu tanpa sang ibu.

(Smas 2014: 8) Nansy dibawa ke Banyuputih dan diislamkan oleh Kyai Subekhi. Kemudian dinikahkan dengan wali hakim karena Mijnheer Bergmans van Leeuw tidak bisa menjadi oleh keyakinan yang berbeda. Setahun Setelah Itu, lahirlah bayi laki-laki diberi nama Gaman Mahardika. Nama yang punya makna ‘senjata kemerdekaan’. Namun kelak Gaman lebih suka menyebut namanya sendiri Gaman Van Lodan. Tak apalah, dia memang separo Belanda.

(Smas 2014: 13) Dari kutipan di atas, diceritakan bila Lodan sangat menyesal meninggalkan Mulatsih di saat-saat terakhirnya. Dia malah sibuk membebaskan orang-orang

(37)

Belanda yang ditawan tentara Jepang. Setelah memakamkan istrinya, Selasih kecil pun dibawa ayahnya ke rumah mertuanya di Tegal Selatan. Selasih pun dibesarkan Juworo dan Nyai Juworo, orang tua Mulatsih. Ayahnya pergi untuk menikah lagi. Dia bahkan sampai memiliki anak laki-laki bernama Gaman Van Lodan

2.2.2 Tahap Munculnya Konflik (generating circumstance)

Masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan/atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya (Nurgiyantoro 2015: 209). Berikut kutipan-kutipan tahap munculnya konflik dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas.

Yang menjadi masalah Juworo sekarang adalah pada usia tujuh belas tahun Selasih belum laku juga. Usia itu sudah sangat terlambat bagi seorang gadis Kemantren, kecuali Sumiarsih anak juragan kaya Marwoto, juga karena Sumiarsih sangat kuper dan minderan. Kini usia Sumiarsih mendekati dua puluh tahunan dan orangtuanya resah luar biasa.

(Smas 2014: 19) Kacau juga Juworo kalau sedang tidak enak hati. Dia tidak sadar bahwa perangainya yang garang dan kasar itu membuat orang takut kepadanya, bukan sekadar segan. Orang lebih suka menjauh daripada sebaliknya. Jumait pun, pemuda desa yang diam-diam naksir Selasih, tak berani secara terang-terangan entah sampai waktu kapan.

(Smas 2014: 19-20) Dari kutipan di atas, terdapat konflik antara Selasih dan Juworo. Konflik tersebut muncul karena sikap otoriter Juworo. Juworo menyadari bila diusia 17 tahun cucu perempuannya itu tidak kunjung dilamar oleh laki-laki. Hal itu membuat Juworo

(38)

merasa malu dengan para tetangga karena anak perempuan yang belum menikah diumur 17 tahun pada tahun itu dianggap tidak akan laku lagi.

Juworo tak sadar jika cucunya itu tak pernah dilamar laki-laki manapun karena sikapnya sendiri. Sikapnya yang garang dan kasar membuat laki-laki yang ingin mendekati Selasih lebih memilih mundur dari pada berurusan dengan Juworo.

“Lasih harus ngomong gimana, Mbah? Sela Selasih “Omong kamu mau manut saja Mbah jadikan sintren!”

Kaget tak kepalang demi mendengar itu Selasih sampai terlonjak dari tempat duduknya. Nyai Juworo pun tak kurang kaget. Selasih harus menjadi sintren sungguh bencana bagi nenek dan cucunya itu.

(Smas 2014: 20) Sintren adalah penari magis yang berdandan dan menari dalam keadaan kesurupan, di bawah sadar. Awalnya dia duduk di atas tanah, lalu ditutupi kurungan ayam dan diberi sesaji serta dibakari kemenyan dan diiringi nyanyian yang syairnya aneh. Kurungan itu akan diselimuti kain sampai rapat dan bagian dalamnya gelap.

(Smas 2014: 20) Sikap otoriter Juworo semakin menjadi-jadi. Selasih yang merupakan cucu perempuannya sendiri diperintahkan untuk menjadi sintren. Tanpa meminta persetujuan cucunya, Juworo langsung menemui dukun sintren dan mengusulkan Selasih untuk menjalani ritual itu untuk mendapatkan jodoh.

2.2.3 Tahap Peningkatan Konflik (rising action)

Konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari (Nurgiyantoro 2015: 209). Berikut kutipan-kutipan tahap

(39)

peningkatan konflik dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas.

Memang sejak mendengar akan dijadikan sintren, dia sudah berencana akan lari dari kampung karena hanya hal itu yang bisa dilakukannya untuk menolak keinginan Juworo. Sayang dia Tidak tahu harus kemana. Diingatnya nama-nama orang yang mungkin bisa didatanginya. Salah satunya yang mungkin adalah Om Sahri, seorang anggota polisi negara Tegal.

(Smas 2014: 37) Konflik dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas yang sudah dibahas di bagian munculnya konflik semakin meningkat. Pada tahun 1960-an orang-orang di masa itu sudah mengenal agama. Salah satunya Selasih. Selasih tidak ingin mengikuti ritual sintren karena baginya ritual itu adalah kolaborasi manusia dengan setan. Dalam ajaran agama Islam, ritual yang berkaitan dengan kekuatan magis dilarang oleh agama. Sekali ini dia memutuskan untuk melawan kehendak kakeknya. Walaupun ia tahu hal itu berisiko sangat tinggi.

Juworo muncul dari balik gerumbul semak. Ia membawa arit seperti biasanya. Sikapnya tampak garang. Lebih-lebih setelah dia melihat Jumait. Dialah yang berkerosak karena kakinya menginjak daun-daun kering.

(Smas 2014: 61) Juworo diam. Dia merasa terhina bila tampak tunduk oleh ancaman tentara itu. Maka diamnya dengan gaya acuh tak acuh saja, seolah-olah memang dia ingin diam atas kemauannya sendiri.

(Smas 2014: 63) Sayangnya, di tengah perjalanan mereka dikepung oleh tentara DI. Sialnya lagi, TNI saat itu sedang mengintai pergerakan DI. Selasih dan Jumait dijadikan umpan oleh pasukan DI. Untung mereka berhasil selamat dari pertempuran itu. Seorang TNI mengantar mereka pulang. Dalam perjalanan menuju desa Juworo

(40)

memergoki mereka dan melampiaskan kemarahannya pada Jumait. Jumait babak belur dihajar Juworo. Untung TNI yang mengantar mereka bisa menghentikan kegilaan Juworo itu.

2.2.4 Tahap Klimaks (climax)

Konflik dan/atau pertentangan yang terjadi, yang dilakukan atau ditimpalkan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama (Nurgiyantoro 2015: 209). Berikut kutipan-kutipan tahap klimaks dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas.

“ Gampang saja.” Kata Murwoto seperti tahu yang dipikirkan Bengkonang. “Kamu kan dukun sintren paling ahli sepanjang sejarah Kemantren! Lakukan saja ritual-ritual yang salah supaya Selasih gagal jadi sintren. Juworo tidak akan menyalahkan kamu karena kegagalan itu. Dengan begini Sumiarsih bisa menggantikan Selasih.”

(Smas 2014: 73) Oh, tidak semudah itu. Nama baik Bengkonang akan tercemar bila sintren di tangannya gagal karena ketidakmampuannya. Lain soal jika yang menyebabkan kegagalan itu gadis yang akan menjadi sintren sendiri. Misalnya gadis itu tidak perawan lagi. Hah! Bengkonang teringat Selasih pernah minggat semalaman dengan Jumait. Bukankah kejadian itu cukup meyakinkan bahwa Selasih tidak suci lagi? Pergi semalaman dengan lelaki […]

(Smas 2014: 73) Konflik menjadi klimaks saat Selasih akhirnya menjadi sintren, namun gagal karena adanya kecurangan yang dilakukan oleh dukun sintren. Marwoto yang anak perempuannya belum juga dipinang ingin mengikutsertakan anaknya sebagai sintren agar mendapat jodoh. Hal ini membuat Bengkonang, si dukun sintren bingung karena sebelumnya telah berjanji pada Juworo untuk menjadikan cucunya sebagai sintren.

(41)

Dukun sintren yang terpengaruh dengan tawaran Marwoto berupa sebidang sawah merencanakan kecurangan dengan memanfaatkan kejadian saat Selasih dan Jumait kabur dari desa. Tentu kejadian itu telah diketahui oleh seluruh orang di desa Kemantren. Ritual sintren itu pun digelar. Banyak laki-laki yang datang menonton Selasih, si primadona Desa Kemantren. Benar saja Selasih gagal menjadi sintren. Semua orang mulai membicarakan kejadian dimalam pelarian mereka.

Ini bencana paling dasyat bagi nama baik Juworo. Ia menerobos dan menyisihkan orang-orang untuk bisa mencapai tengah arena. Dijambaknya rambut Selasih dan diseretnya ke luar arena. Para penabuh gamelan yang berusaha melerai ditinju dan ditendangnya sampai terjengkang.

(Smas 2014: 87) “Biar kubikin mati saja sekalian! Daripada hidup bikin malu orangtua!”

(Smas 2014: 88) Kecurangan yang diakukan Bengkonang membawa malapetaka bagi Selasih. Juworo yang merasa nama baiknya dipermalukan akibat cucu satu-satunya dituduh tidak perawan lagi hingga gagal menjadi sintren. Juworo bahkan tega menyiksa cucu satu-satunya itu. Melihat pujaan hatinya tersiksa, Jumait mendekati Juworo agar perhatiannya teralih dan balik memarainya. Benar saja, berkat Jumait Selasih bisa kabur dari kakeknya. Jumait lagi-lagi babak belur dihajar Juworo.

2.2.5 Tahap Penyelesaian Konflik (denouement)

Konflik yang mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri (Nurgiyantoro 2015: 210). Berikut kutipan-kutipan tahap klimaks dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas.

Dengan kondisi begitu sebenarnya Ustaz Masduki bisa menjatuhkan Juworo dengan sekali gebrak. Namun ia tidak melakukannya. Ia hanya mengelak ketika Juworo menyerang. Benar saja, pukulan deras yang

(42)

dilayangkan Juworo dengan sepenuh tenaga itu menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Dia tersungkur karena Ustaz Masduki mengelak. Orang-orang pun bersorak girang! Bahkan memanas-manasi agar Juworo menyerang lagi.

(Smas 2014: 93) […] Begitu pun dia tidak bangun juga karena malu. Ia tetap berbaring di atas tanah dan memejamkan matanya seolah masih pingsan.

(Smas 2014: 97) Konflik mulai mereda karena Selasih yang takut dihajar kakeknya lari ke rumah guru ngajinya, Bu Nyai. Juworo yang merasa cucunya berlindung di rumah Bu Nyai langsung berteriak dan menantang anak Bu Nyai, Ustaz Masduki. Ustaz Masduki yang jago bela diri ini memberi sedikit pelajaran kepada Juworo.

Juworo yang membuat keributan di rumah Ustaz Masduki malah dibuat malu oleh tingkahnya sendiri. Pukulannya tidak beraturan. Juworo bahkan jatuh karena Ustaz Masduki mengelak pukulannya. Hari itu adalah hari paling memalukan yang pernah dialami Juworo. Semenjak hari itu dia tak peduli lagi dengan Selasih.

Sampai suatu hari Nyai Juworo sakit dan Selasih pun terpaksa pulang untuk mengobati nenek kesayangannya itu. Nyai Juworo menyarankan agar Selasih mengabulkan harapan kakeknya kalau dirinya masih perawan. Nyai Juworo menyarankan agar ia kembali mengikuti ritual sintren.

Penonton ribut memprotes keputusan Juworo. Mereka berteriak-teriak marah. Juworo tak peduli. Baginya. Pembuktian kesucian Selasih sudah terlaksana. Bengkonang pun terpaksa mengakhiri pertunjukan itu.

(Smas 2014: 181) Tentu saja Selasih berhasil menjadi sintren karena dirinya perawan sejak lahir. Juworo yang puas dengan keberhasilan Selasih pun mengubah sikapnya. Juworo juga

(43)

akhirnya menyadari bila selama ini Jumait selalu melindungi Selasih dan membantu keluarga Juworo. Juworo pun merestui hubungan Selasih dengan Jumait.

2.2.6 Rangkuman

Dari analisis di atas dapat diketahui bahwa alur dari novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas ini memiliki alur campuran karena cerita

dibuka dengan narasi singkat tentang kecantikan Selasih diusia 17 tahun dan dilanjutkan oleh konflik-konflik yang terjadi semenjak Selasih berusia 1 tahun hingga usianya 17 tahun. Tahap penyituasian di awali dengan perang di Ambarawa pada tahun 1945. Mulatsih mati tertembak sehingga Selasih harus dibawa ke Kemantren dan tinggal di sana. Muncul konflik saat Selasih dipaksa untuk menjadi sintren. Konflik meningkat saat Selasih yang tak mau menjadi sintren sempat berencana kabur namun gagal. Konflik memuncak saat Selasih dinyatakan gagal menjadi sintren dan difitnah sudah tidak perawan. Konflik mereda karena Ustaz Masduki memberi Juworo pelajaran sekaligus Selasih bisa membuktikan bila dirinya tetap perawan dengan berhasil melaksanakan sintren. Berikut rangkuman analisis unsur alur dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas.

(44)

Tabel 1 Rangkuman Alur Tahap Penyituasia n (Situation) • Cerita berlatar di Ambarawa tahun 1945. • Disaat terjadi perang antara Sekutu dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) ibu Selasih tertembak oleh peluru yang salah sasaran. • Ayah Selasih membawa Selasih ke rumah mertuanya di Tegal Selatan dan menitipkan titipkan di rumah Juworo. Tahap Munculnya Konflik (Generating Circumstan ce) • Konflik muncul saat Selasih yang sudah berusia 17 tahun itu belum juga menikah. • Juworo yang malu memaksa Selasih untuk Menjadi sintren. • Sintren adalah penari magis yang berdandan dan menari dalam keadaan kesurupan. Tahap Peningkatan Konflik (Rising Action) • Konflik meningkat Selasih yang telah mengenal ajaran agama Islam tidak mau menjadi sintren. • Selasih mencoba kabur dari desanya dengan bantuan Jumait. • Sayangny a, rencana Selasih dan Jumait tidak berhasil. Tahap Klimaks (Climax) • Konflik menjadi klimaks saat Selasih gagal menjadi sintren. • Kegagalan Selasih tersebut terjadi karena adanya kecurangan yang dilakukan dukun sintren. • Kecurang an itu membawa malapetaka bagi Selasih. Kakeknya bahkan tega menyiksa Selasih tanpa ampun. Tahap Penyelesaia n konflik (denouemen t) • Konflik mulai mereda saat Juworo kalah ketika beradu dengan Ustaz Masduki. • Nyai Juworo meyakinkan Selasih agar mengikuti kembali upacara sintren untuk memperbaik i nama baik Juworo. • Selasih berhasil menjadi sintren dan Juworo merestui hubunganny a dengan Jumait.

(45)

2.3 Tokoh dan Penokohan

Istilah tokoh merujuk pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro 2015: 247). Berdasarkan peran dan pentingnya seseorang tokoh dibagi menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan (Nurgiyantoro 2015: 258). Dalam penelitian ini, peneliti hanya meneliti tokoh utamanya saja. Nurgiyantoro (2015: 260) membagi tokoh utama menjadi dua yaitu tokoh utama yang utama dan tokoh utama tambahan. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang tampak dalam sebuah cerita. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro 2015: 247).

2.3.1 Tokoh Utama yang Utama

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Dikarenakan tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, Ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan (Nurgiyantoro 2015: 258). Dengan pengertian Nurgiyantoro tersebut, tokoh utama yang utama adalah tokoh yang dari awal hingga akhir menjadi pelaku cerita maupun yang dikenai kejadian.

2.3.1.1 Selasih

Selasih berperan sebagai tokoh protagonis. Berikut penokohan Selasih dalam novel Dari Ambarawa Sampai Tegal Selatan karya Bung Smas.

Gadis tujuh belas tahunan itu cantik dengan tubuh mungilnya. Bibirnya merah dadu tanpa pulasan gincu. Rambutnya panjang hampir sepinggang. Namanya Selasih. Itu nama yang tak lazim karena selasih ialah bunga

(46)

untuk hiasan kuburan. Di antara bermacam bunga yang ditabur di kuburan baru, selalu ada selasih. Bunga putih butek, batangnya seperti lidi. Biasanya orang menancapkan seikat selasih dengan maksud menanamnya di kuburan itu, tapi selasih selalu layu karena memang bukan begitu cara menanamnya.

(Bung 2014: 1) Selasih adalah anak perempuan pertama dari pasangan Mulatsih dan Lodan Kridonggo. Mereka sangat mencintai Selasih. Selasih digambarkan sebagai gadis yang sangat cantik dan memiliki nama yang unik. Kecantikan Selasih bahkan diketahui oleh seluruh desa Kemantren dan desa-desa disekitarnya. Selasih merupakan primadona Desa Kemantren. Sayang, kehidupannya tidak seindah rupanya.

Kali ini kurungan ayam itu tidak bergoyang. Entah bagaimana sintren yang sesungguhnya Selasih hanya duduk bersimpuh di dalam kurungan ayam itu. Mulutnya terus menerus melafalkan doa ajaran Bu Nyai berulang-ulang

(Smas 2014: 85) Selasih merupakan salah satu orang yang telah mengenal dan memiliki agama. Selasih selalu menjalani kehidupannya sesuai dengan ajaran Agama Islam. Ia sangat tekun beribadah dan mengaji. Dia rajin belajar ngaji kepada Bu Nyai. Ia bahkan sempat memberanikan diri untuk menolak kehendak kakeknya karena ia merasa itu adalah hal yang dilarang agama. Dia bahkan membacakan doa-doa saat menjalani upacara sintren yang konon berhubungan dengan hal-hal mistis.

[…] Jumait pun, pemuda desa yang diam-diam naksir Selasih, tak berani secara terang-terangan entah sampai waktu kapan.

(Smas 2014: 20) “Jangan kita! Supaya tidak ketahuan kamu ikut membantuku lari. Kamu hanya perlu mengantarku sampai keluar dari Kemantren. Nanti aku nginep

(47)

di rumah temen, besoknya naik delman dari pasar, terus nunggu bis ke Tegal. Tapi aku gak punya ongkos.”

(Smas 2014: 38) Selasih memiliki teman laki-laki bernama Jumait. Diam-diam Jumait menyukai Selasih. Begitu juga sebaliknya. Selasih juga sering meminta bantuan kepada Jumait karena dialah orang yang bisa diandalkan Selasih.

Selasih tak mengenali ayahnya yang berambut gondrong dan berpakaian hijau-hijau sampai ia lari terbirit-birit.

(Smas 2014: 10) Selasih dari kecil tidak pernah bertemu ayahnya. Sebenarnya, Lodan pernah sekali mengunjungi Selasih di Kemantren. Dia saat itu masih berusia lima tahun. Lama tidak melihat ayahnya Selasih tak mengenali orang dihadapannya. Dia bahkan lari terbirit-birit karena ketakutannya

Selasih menyesali perbuatannya itu. Sejak saat itu nama Lodan Kridonggo hanya dongeng baginya. Dia merindukan sosok ayah, tetapi membayangkan sosoknya saja dia tidak bisa. Seperti apa dan di mana keberadaannya Selasih tidak mengetahuinya. Apalagi di saat kesulitan menghadapi sikap kakeknya, ayahnya tidak ada di sampingnya.

Ia diam, bahkan menangis pun tidak. Bila seseorang menangis pun sudah tak bisa, sedalam apakah derita batin yang dirasakannya?

(Smas 2014: 206) Harapannya untuk bertemu sang ayah sirna ketika mendapat kabar bahwa ayahnya gugur di medan perang. Selasih tidak menangis sedikit pun tetapi batinnya sangat terpukul mendengar kabar yang tidak disangkanya.

Gambar

Tabel 1 Rangkuman Alur   Tahap  Penyituasia n (Situation)  • Cerita  berlatar di  Ambarawa  tahun 1945
Tabel 2 Rangkuman Tokoh dan Perwatakan
Tabel 3 Rangkuman Latar
Tabel 4 Rangkuman Struktur Kepribadian Tokoh Utama
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan (1) struktur pembangun novel 9 Summers 10 Autumns saling berkaitan; (2) kepribadian sehat yang dimiliki tokoh Iwan sebagai tokoh

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini ada tiga yaitu 1) Bagaimanakah struktur kepribadian id, ego, dan superego tokoh Trimo dalam novel Sang Penakluk Angin Karya Novanka Raja?

Aspek Kepribadian Dan Profil Tokoh Utama Dalam Kumpulan Cerpen Arini>lla>h Karya Taufi>q Al-Chaki>m (Analisis Psikologi Sastra Sigmund Freud). Skripsi: Jurusan

Mekanisme pertahanan diri dalam novel Der Junge im Gestreiften Pyjamas adalah bentuk meminimalkan kecemasan tokoh utama. Batasan masalah penelitian ini adalah

karya 徐静雷 (Xú Jìnglěi) secara berulang-ulang agar memperoleh gambaran secara utuh tentang film tersebut. 2) Memahami teori psikoanalisis Sigmund Freud untuk

Dalam novel Saman karya Ayu Utami, konflik batin dialami oleh beberapa tokoh.. yang mendukung cerita, termasuk konflik batin yang dialami

Film dipandang sebagai karya sastra sebab memiliki unsur-unsur pembangun seperti unsur intrinsik dan ekstrinsik yang sama dengan drama. Dalam film terdapat tokoh

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur kepribadian pada tokoh Iryân dalam novel Al-Rojulu Al-Lazî Âmana dengan menggunakan teori Sigmund