• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

A. Tinjauan Teori 1. Autisme

a. Pengertian autisme

Autisme mengacu pada problem dengan interaksi sosial, komunikasi, dan bermain imajinatif, yang mulai muncul sejak anak berusia di bawah 3 tahun. Mereka mempunyai keterbatasan pada level aktivitas dan interest. Hampir 75% dari anak autis mengalami beberapa derajat Retardasi Mental. Autisme biasanya muncul sejak tiga tahun pertama kehidupan seorang anak (Priyatna, 2010).

Autis merupakan salah satu kelompok dari gangguan pada anak pada anak yang ditandai munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya. Autisme merupakan kelainan perilaku yang penderitanya hanya tertarik pada aktivitas mentalnya sendiri. Autis dapat terjadi di semua kalangan masyarakat (Veskarisyanti, 2008).

Autis adalah Suatu keadaan dimana seseorang anak berbuat semaunya sendiri baik cara berpikir maupun berperilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak usia masih muda, biasanya sekitar usia 2-3 tahun. Autisme bisa mengenai siapa saja, baik yang sosio-ekonomi mapan maupun kurang, anak atau dewasa dan semua etnis (Yatim, 2007).

b. Klasifikasi autisme

Menurut Veskarisyanti (2008), ada beberapa klasifikasi autism, diantaranya :

1) Aloof

Anak dengan autisme dari tipe ini senantiasa berusaha menarik diri dari kontak sosial, dan cenderung untuk menyendiri di pojok.

(2)

2) Passive

Anak dengan autisme tipe ini tidak berusaha mengadakan kontak sosial melainkan hanya menerima saja.

3) Active but odd

Sedangkan pada tipe ini, anak melakukan pendekatan namun hanya bersifat repetitif dan aneh.

c. Penyebab autisme

Menurut Huzaemah (2010), autis disebabkan multifaktor, yaitu:

1) Kerusakan jaringan otak

Patricia Rodier, ahli embrio dari Amerika menyatakan bahwa korelasi antara autis dan cacat lahir yang disebabkan oleh Thalidomide menyimpulkan bahwa kerusakan jaringan otak dapat terjadi paling awal 20 hari pada saat pembentukan janin. Peneliti lainnya, Minshe, menemukan bahwa pada anak yang terkena autis, bagian otak yang mengendalikan pusat memori dan emosi menjadi lebih kecil daripada anak normal.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat kehamilan, atau pada saat kelahiran bayi. Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan penyelidikan terhadap protein otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi yang normal mempunyai kadar protein tinggi, yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein tinggi ini berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental (Huzaemah, 2010).

2) Terlalu banyak vaksin Hepatitis B

Ada pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak vaksin Hepatitis B bisa mengakibatkan anak mengidap penyakit

(3)

autisme. Hal ini dikarenakan vaksin ini mengandung zat pengawet Thimerosal.

3) Kombinasi makanan atau lingkungan yang salah

Autis disebabkan kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar, yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis. Beberapa teori yang didasarkan oleh beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk mencari penyebab dan proses terjadinya autis. d. Perilaku autistik

Autisme merupakan sindroma yang sangat kompleks. Ditandai dengan ciri-ciri kurangnya kemampuan interaksi sosial dan emosional, sulit dalam komunikasi timbale balik, minat terbatas, dan perilaku tidak disertai gerakan berulang tanpa tujuan (stereo-tipic).

Menurut Safaria (2005), menyebutkan 2 jenis perilaku autisme, yaitu :

1) Perilaku berlebihan (excessive) :

a) Perilaku melukai diri sendiri (self-abuse), seperti memukul, menggigit, dan mencakar diri sendiri.

b) Agresif, seperti perilaku menendang, memukul, menggigit, dan mencubit.

c) Tantrum, seperti perilaku menjerit, menangis, dan melompat-lompat.

2) Perilaku berkekurangan (deficit)

Yang ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, deficit sensoris sehingga terkadang anak dianggap tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa autistime memiliki perilaku yang berlebihan (excessive) atau perilaku yang

(4)

berkekurangan (deficit) yang memungkinkan perilaku yang ditunjukkan tersebut dapat menggangu orang-orang yang disekitarnya.

e. Gangguan Anak Autisme

Menurut Yatim (2007), gangguan yang dialami anak autisme adalah :

1) Gangguan dalam berkomunikasi verbal maupun non verbal

Gangguan dalam berkomunikasi verbal maupun non verbal meliputi kemampuan berbahasa dan keterlambatan, atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata-kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan bahasa tubuh, dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-katanya tidak dapat dimengerti orang lain (bahasa planet). Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Meniru atau membeo (Ekolalia), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya (Yatim, 2007) .

2) Gangguan dalam bidang interaksi sosial

Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak bila dipeluk. Bila menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. Ketika bermain, ia selalu menjauh bila didekati.

3) Gangguan dalam bermain

Gangguan dalam bermain di antaranya ialah bermain sangat monoton dan aneh, misalnya mengamati terus menerus dalam jangka waktu yang lama sebuah botol minyak. Ada kelekatan dengan benda tertentu, seperti kertas, gambar, kartu, atau guling, terus dipegang kemana saja ia pergi. Bila senang satu mainan tidak

(5)

mau mainan lainnya. Lebih menyukai benda-benda seperti botol, gelang karet, baterai, atau benda lainnya. Tidak spontan, reflex, dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura-pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, atau angin yang bergerak (Yatim, 2007) . 4) Perilaku yang ritualistic

Perilaku yang ritualistic sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari-hari, misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila berpergian harus melalui rute yang sama. Gangguan perilaku dapat dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian, harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya (Yatim, 2007).

5) Hiperaktif

Anak dapat terlihat hiperaktif, misalnya mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti diri sendiri, seperti memukul kepala atau membenturkan kepala di dinding (walaupun tidak semua anak autis seperti itu). Namun terkadang menjadi pasif (pendiam), duduk diam, bengong dengan tatapan mata kosong. Marah tanpa alasan yang masuk akal. Sangat menaruh perhatian pada suatu benda, ide, aktifitas, ataupun orang (Yatim, 2007).

6) Gangguan perasaan dan emosi

Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat ketika ia tertawa-tawa sendiri, menangis, atau marah tanpa sebab yang nyata. Sering mengamuk tak terkendali, terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan.

7) Gangguan dalam persepsi sensoris

Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitive terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah), dari mulai ringan sampai berat, menggigit, menjilat, atau

(6)

mencium mainan atau benda apa saja. Bila mendengar suara keras, ia akan menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci rambutnya. Merasa tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan (Yatim, 2007)

f. Penanganan autisme

Menurut Danuatmaja, (2003), gangguan otak pada anak autis umumnya tidak dapat disembuhkan (not curable), tetapi dapat ditanggulangi (treatable) melalui terapi dini, terpadu, dan intensif. Gejala autisme dapat dikurangi, bahkan dihilangkan sehingga anak bisa bergaul dengan normal. Jika anak autis terlambat atau bahkan tidak dilakukan intervensi dengan segera, maka gejala autis bisa menjadi semakin parah, bahkan tidak tertanggulangi. Keberhasilan terapi tergantung beberapa faktor berikut ini :

1) Berat atau ringannya gejala, terganting pada berat-ringannya gangguan di dalam sel otak.

2) Makin muda umur anak pada saat terapi dimulai, tingkat keberhasilannya akan semakin besar. Umur ideal untuk dilakukan terapi atau intervensi adalah 2-5 tahun, pada saat sel otak mampu dirangsang untuk membentuk cabang-cabang neuron baru.

3) Kemampuan bicara dan berbahasa: 20% penyandang autism tidak mampu bicara seumur hidup, sedangkan sisanya ada yang mampu bicara tetapi sulit dan kaku. Namun, ada pula yang mampu bicara dengan lancer. Anak autis yang tidak mampu bicara (non verbal) bisa diajarkan ketrampilan komunikasi dengan cara lain, misalnya dengan bahasa isyarat atau melalui gambar-gambar.

4) Terapi harus dilakukan dengan sangat intensif, yaitu antara 4-8 jam sehari. Di samping itu, seluruh keluarga harus ikut terlibat dalam melakukan komunikasi dengan anak.

Berbagai jenis terapi yang dilakukan untuk anak autis, antara lain :

(7)

a) Terapi obat (medikamentosa)

Terapi ini dilakukan dengan obat-obatan yang bertujuan untuk memperbaiki komunikasi, memperbaiki respon terhadap lingkungan, dan menghilangkan perilaku-perilaku aneh yang dilakukan secara berulang-ulang. Pemberian obat pada anak autis harus didasarkan pada diagnosis yang tepat, pemakaian obat yang tepat, pemantauan ketat terhadap efek samping obat dan mengenali cara kerja obat. perlu diingat bahwa setiap anak memiliki ketahanan yang berbeda-beda terhadap efek obat, dosis obat dan efek samping. Oleh karena itu perlu ada kehati-hatian dari orang tua dalam pemberian obat yang umumnya berlangsung jangka panjang (Danuatmaja, 2003).

Saat ini pemakaian obat diarahkan untuk memperbaiki respon anak sehingga diberikan obat-obat psikotropika jenis baru seperti obat-obat anti depresan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) yang bisa memberikan keseimbangan antara neurotransmitter serotonin dan dopamine. Yang diinginkan dalam pemberian obat ini adalah dosis yang paling minimal namun paling efektif dan tanpa efek samping. Pemakaian obat ini akan sangat membantu untuk memperbaiki respon anak terhadap lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima tata laksana terapi lainnya. Bila kemajuan yang dicapai cukup baik, maka pemberian obat dapat dikurangi, bahkan dihentikan (Danuatmaja, 2003).

b) Terapi biomedis

Terapi melalui makanan (diet therapy) diberikan untuk anak-anak dengan masalah alergi makanan tertentu. Terapi ini bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian suplemen. Terapi ini dilakukan mengingat banyaknya gangguan pada fungsi tubuh yang sering terjadi anak

(8)

autis, seperti gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh yang rentan, dan keracunan logam berat. Gangguan-gangguan pada fungsi tubuh ini yang kemudian akan mempengaruhi fungsi otak.

Diet yang sering dilakukan pada anak autis adalah GFCF (Glutein Free Casein Free). Pada anak autis disarankan untuk tidak mengkonsumsi produk makanan yang berbahan dasar gluten dan kasein (gluten adalah campuran protein yang terkandung pada gandum, sedangkan kasein adalah protein susu). Jenis bahan tersebut mengandung protein tinggi dan tidak dapat dicerna oleh usus menjadi asam amino tunggal sehingga pemecahan protein menjadi tidak sempurna dan berakibat menjadi neurotoksin (racun bagi otak). Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan sejumlah fungsi otak yang berdampak pada menurunnya tingkat kecerdasan anak (Danuatmaja, 2003).

Menurut Veskarisyanti (2008), anak dengan autisme memang tidak disarankan untuk mengasup makanan dengan kadar gula tinggi. Hal ini berpengaruh pada sifat hiperaktif sebagian besar dari mereka.

c) Terapi wicara

Menurut Veskarisyanti (2008), umumnya hampir semua penyandang autisme mengalami keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai kemampuan bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, terapi wicara (speech therapy) pada penyandang autisme merupakan suatu keharusan, tetapi pelaksanaannya harus sesuai dengan metode ABA (Applied Behavior Analysis).

(9)

d) Terapi perilaku

Terapi ini bertujuan agar anak autis dapat mengurangi perilaku yang bersifat self-maladaption (tantrum atau melukai diri sendiri) dan menggantinya dengan perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat. Terapi perilaku ini sangat penting untuk membantu anak ini agar lebih bisa menyesuaikan diri didalam masyarakat. (Danuatmaja, 2003).

e) Terapi okupasi

Terapi ini bertujuan untuk membantu anak autis yang mempunyai perkembangan motorik kurang baik yang dilakukan melalui gerakan-gerakan. Terapi okupasi ini dapat membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan ketrampilan ototnya. Otot jari tangan misalnya sangat penting dikuatkan dan dilatih supaya anak bisa menulis dan melakukan semua hal yang membutuhkan ketrampilan otot jari tangannya seperti menunjuk, bersalaman, memegang raket, memetik gitar, main piano, dan sebagainya (Danuatmaja, 2003).

f) Terapi sensori integrasi

Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk megolah dan mengartikan seluruh rangsang yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian menghasilkan respon yang terarah. Terapi ini berguna untuk meningkatkan kematangan susunan saraf pusat, sehingga lebih mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya. Aktifitas ini merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks, dengan demikian dapat bisa meningkatkan kapasitas untuk belajar.

(10)

2. Pengetahuan

a. Pengertian Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).

Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng, sebelum orang mengadopsi perilaku baru tersebut terjadi proses yang berurutan yakni :

1) Awareness (kesadaran) : yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

2) Interest : yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.

3) Evaluation : menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

4) Trial : orang telah mulai mencoba perilaku baru.

5) Adoption : subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus

b. Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu :

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

(11)

2) Memahami (comprehension)

Suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3) Aplikasi (application)

Sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

4) Analisis (analysis)

Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu subyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5) Sintesis (synthetis)

Sintesis yaitu menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu kemampuan untuk menyusun formula baru.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu obyek atau materi. Penilian ini dibutuhkan suatu kriteria yang ditentukan atau menggunakan kriteria yang ada.

c. Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Sukmadinata (2003), faktor–faktor yang mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dipengaruhi oleh faktor – faktor sebagai berikut :

1) Faktor internal a) Jasmani

Faktor jasmani di antaranya adalah keadaan indera seseorang. b) Rohani

Faktor rohani di antaranya adalah kesehatan psikis, intelektual, psikomotor serta kondisi efektif dan kognitif individu.

(12)

2) Faktor eksternal a) Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi respon yang datang dari luar. Orang yang berpendidikan tinggi akan memberi respon yang lebih rasional terhadap informasi yang datang dan akan berfikir sejauh mana keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh dari gagasan tersebut (Sukmadinata, 2003).

b) Paparan Media Massa

Melalui berbagai media cetak maupun elektronik, berbagai informasi dapat diterima oleh masyarakat, sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media massa (TV, radio, majalah, pamphlet, dll) akan memperoleh informasi media ini, berarti paparan media massa mempunyai tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang (Sukmadinata, 2003) .

c) Ekonomi

Dalam memenuhi kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder, keluarga dengan status ekonomi lebih baik mudah tercukupi dibanding keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal ini akan mempengaruhi kebutuhan akan informasi yang termasuk kebutuhan sekunder (Sukmadinata, 2003) .

d) Pengalaman

Pengalaman seseorang individu tentang berbagai hal bisa diperoleh dari lingkungan kehidupan dalam proses perkembangannya, misal sering mengikuti kegiatan yang mendidik, misalnya seminar. Organisasi dapat memperluas jangkuan pengalamannya, karena dari berbagai kegiatan tersebut informasi tentang satu hal dapat diperoleh (Sukmadinata, 2003) .

(13)

Pendidikan kesehatan merupakan suatu kegiatan untuk memberikan dan atau meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktek masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan (Sukmadinata, 2003) .

3. Dukungan Keluarga a. Pengertian

Pengertian sebuah dukungan keluarga merupakan proses yang terjadi terus menerus disepanjang masa kehidupan manusia. Dukungan keluarga berfokus pada interaksi yang berlangsung dalam berbagai hubungan sosial sebagaimana yang dievaluasi oleh individu. Dukungan keluarga mengacu pada dukungan–dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai suatu yang dapat diakses untuk keluarga (dukungan keluarga bisa / tidak digunakan tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan bantuan). Dukungan keluarga dapat berupa dukungan keluarga internal seperti dukungan suami atau istri atau dukungan dari saudara kandungan dan dapat juga berupa dukungan keluarga eksternal yang didapat dari sahabat, teman dan tetangga bagi keluarga inti (Friedman, 1998).

b. Jenis Dukungan Keluarga

Terdapat empat jenis atau dimensi dukungan menurut (Setyowati & Murwani, 2008) yaitu:

1) Dukungan Emosional

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi meliputi ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap anggota keluarga untuk memilih tempat pelayanan kesehatan (misalnya umpan balik, penegasan).

(14)

Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah (menambah penghargaan diri).

3) Dukungan Instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit. Mencakup bantuan langsung seperti dalam bentuk uang, peralatan, waktu, modifikasi lingkungan maupun menolong dengan pekerjaan waktu saat mengalami stress.

4) Dukungan Informatif

Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan penyebar informasi tentang dunia. Mencakup memberi nasehat, petunjuk– petunjuk, sarana–sarana atau umpan balik.

Bentuk dukungan yang diberikan oleh keluarga adalah dorongan semangat, motifasi, pemberian nasehat dan saran atau mengawasi tentang pengobatan. Dukungan keluarga juga merupakan perasaan individu yang mendapat perhatian, disenangi, dihargai dan termasuk bagian dari masyarakat (Setyowati & Murwani, 2008).

4. Kecemasan a. Pengertian

Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki obyek yang spesifik. Cemas dialami secara subyektif dan dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart & Sundeen, 2002).

Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Kecemasan adalah respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar atau konfliktual. Kecemasan juga dapat diartikan sebagai respon emosi tanpa obyek yang spesifik yang

(15)

secara subyektif dialami oleh dan dikomunikasikan secara interpersonal. Kecemasan adalah suatu kebingungan atau kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya (Suliswati, 2006).

b. Faktor Pencetus Terjadinya Kecemasan

Beberapa faktor pencetus yang dapat menyebabkan terjadinya kecemasan antara lain (Stuart & Sundeen, 2002):

1) Ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas fisilogis yang akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

2) Ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi pada individu.

c. Tanda dan gejala kecemasan

Tanda dan gejala orang yang mengalami kecemasan adalah sebagai berikut (Kaplan, 2000):

1) Tanda fisik meliputi : badan gemetaran, rejatan, ketegangan otot, nafas pendek, mudah lelah, sering kaget, hiperaktifitas autonomik, wajah merah dan pucat, tangan terasa dingin, diare, mulut kering, sering kencing, takikardi atau nadi cepat.

2) Gejala Psikologis yang meliputi : rasa takut, sulit konsentrasi, Hypervigilance (siaga berlebih), insomnia, libido turun, rasa mengganjal ditenggorokan, rasa mual diperut.

d. Keluhan-Keluhan Mengalami Kecemasan

Terdapat beberapa yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami kecemasan (Hawari, 2008) sebagai berikut:

1) Khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung

(16)

3) Takut sendirian, takut pada keramaian, dan banyak orang 4) Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan 5) Gangguan konsentrasi dan daya ingat

6) Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan dan sakit kepala.

e. Tingkatan Kecemasan

Beberapa tingkatan kecemasan adalah sebagai berikut (Stuart & Sundeen, 2002) :

1) Kecemasan ringan

Kecemasan ini berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada serta meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas. Kecemasan ini normal dalam kehidupan karena meningkatkan motivasi dalam membuat individu siap bertindak. Stimulus dari luar siap diinternalisasi dan pada tingkat individu mampu memecahkan masalah secara efektif (Stuart & Sundeen, 2002). 2) Kecemasan sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga seseorang yang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Cemas sedang ditandai dengan lapang persepsi mulai menyempit. Pada kondisi ini individu masih bisa belajar dari arahan orang lain. Stimulus dari luar tidak mampu diinternalisasi dengan baik, tetapi individu sangat memperhatikan hal-hal yang menjadi pusat perhatian(Stuart & Sundeen, 2002) .

(17)

Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi orang yang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditunjukkan untuk mengurangi ketegangan. Seseorang memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain. Lapang persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya pada detail yang kecil (spesifik) dan tidak berfikir tentang hal-hal lain. Seluruh perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan perlu banyak perintah atau arahan untuk berfokus pada area lain, misalnya individu yang mengalami kehilangan harta benda dan orang yang dicintai karena bencana alam, individu dalam penyanderaan (Stuart & Sundeen, 2002).

4) Panik

Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik menyebabkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian. Individu kehilangan kendali diri dan detail perhatian hilang, karena hilangnya kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meski dengan perintah, terjadi peningkatan aktivitas motorik, berkurangnya keemampuan berhubungan dengan orang lain, penyimpanan persepsi dan hilangnya pikiran rasional, tidak mampu berfungsi secara efektif (Stuart & Sundeen, 2002).

f. Faktor-Faktor Yang Menimbulkan Kecemasan

Faktor yang menimbulkan kecemasan menurut Kaplan (2000) adalah :

(18)

1) Faktor psikoanalitis

Cemas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian : id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan oleh norma budaya. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut, dan fungsi cemas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

Fenomena semakin meningkatnya jumlah prevalensi autisme maka, akan semakin banyak pula orang tua yang mengalami konflik batin dalam menerima keberadaan anaknya yang autis. Konflik ini dapat terjadi karena adanya kesenjangan karena adanya keinginan dan harapan orang tua yang tidak terpenuhi untuk memiliki anak yang dapat dibanggakan dalam keluarga, sehingga dapat mempengaruhi penerimaan orang tua yang memiliki anak autis khususnya Ibu (Mansur, 2009).

Hasil penelitian Puspita (2011), yang melakukan penelitian tentang pengetahuan dan sikap ibu dengan kemandirian anak autis menunjukan responden dengan pengetahuan baik sebanyak 21 orang (40,4%). Sikap orang tua positif sebanyak 28 orang (53,8%). Sebagian besar kemandirian anak dengan bantuan sebanyak 18 orang (34,6%). Analisa data menunjukan ada hubungan antara pengetahuan dengan kemandirian merawat diri pada anak autis di SLB Negeri Semarang dan ada hubungan antara sikap dengan dengan kemandirian merawat diri pada anak autis di SLB Negeri Semarang.

2) Faktor interpersonal

Cemas timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. Cemas juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan harga diri rendah terutama rentan mengalami cemas yang berat.

(19)

Reaksi pertama orang tua ketika anaknya dikatakan bermasalah adalah tidak percaya (shock), sedih, kecewa, merasa bersalah, marah, menolak dan cemas. Sebagian orang tua yang segera menyadari kenyataan bahwa anaknya mengalami gangguan autisme sangat mungkin akan lebih baik dalam penanganan nantinya. Proses yang dilalui orang tua beragam, tentunya semakin cepat tahapan-tahapan yang dapat mereka lalui, maka akan semakin cepat akhirnya sampai pada tahap penerimaan (Puspita, 2004) .

Setiap orang tua menginginkan anaknya berkembang sempurna. Namun demikian sering terjadi keadaan dimana anak memperlihatkan gejala masalah perkembangan sejak usia dini. Salah satu contohnya adalah autisme. Autisme merupakan salah satu penyimpangan dalam perkembangan sejak masa bayi yang ditandai adanya gangguan pada hubungan interpersonal (interakasi sosial), gangguan pada perkembangan bahasanya (komunikasi) dan adanya kebiasaan untuk melakukan pengulangan tingkah laku yang sama.

3) Faktor perilaku

Cemas merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang segala sesuatu yang mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ahli teori perilaku lain menganggap cemas sebagai suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan dari dalam diri untuk menghindari kepedihan. Ahli teori konflik memandang cemas sebagai pertentangan antara dua kepentingan yang berlawanan. Mereka meyakini adanya adanya hubungan timbal balik antara konflik dan cemas. Konflik menimbulkan cemas dan cemas menimbulkan perasaan tidak berdaya, yang pada gilirannya meningkatkan konflik yang dirasakan.

(20)

Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003), menganalisis perilaku manusia tersebut dalam perilaku manusia pada tingkat kesehatan. Sedangkan kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor perilaku dan faktor diluar perilaku, selanjutnya perilaku kesehatan dipengaruhi oleh:

a) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor)

Faktor ini mencakup: pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi (Notoatmodjo, 2003).

b) Faktor-faktor pendukung(enabling faktor)

Faktor pendukung merupakan faktor pemungkin. Faktor ini bisa sekaligus menjadi penghambat atau mempermudah niat suatu perubahan perilaku dan perubahan lingkungan yang baik. Faktor pendukung (enabling factor) mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya suatu perilaku, sehingga disebut sebagai faktor pendukung atau faktor pemungkin (Notoatmodjo, 2003).

c) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor)

Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) merupakan penguat terhadap timbulnya sikap dan niat untuk melakukan sesuatu atau berperilaku. Suatu pujian, sanjungan dan penilaian yang baik akan memotivasi, sebaliknya hukuman dan pandangan negatif seseorang akan menjadi hambatan proses terbentuknya perilaku (Notoatmodjo, 2003).

4) Faktor keluarga

Gangguan cemas biasanya terjadi dalam keluarga. Gangguan cemas juga tumpang tindih antara gangguan gangguan

(21)

cemas dengan depresi. Keberadaan anak autis dalam suatu keluarga membuat orang tua pasrah atau sebaliknya, orangtua menganggap anak autis sebagai aib dalam keluarga. Kenyataan yang demikian ini dapat memberikan pengaruh pada dukungan orang tua terhadap anaknya yang autis (Safaria, 2005).

Milyawati dan Hastuti (2009) yang melakukan penelitian dukungan keluarga, pengetahuan, dan persepsi ibu serta hubunganya dengan strategi koping ibu pada anak dengan gangguan autisme menunjukan hasil bahwa karakteristik keluarga, dukungan keluarga, pengetahuan serta persepsi anak autis tidak berhubungan signifikan dengan strategi koping yang digunakan ibu dalam upaya meringankan tekanan yang dihadapi dalam merawat anak autisme.

5) Faktor biologis

Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepin, obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator inhibisi asam gama-aminobutirat (GAMA), yang berperan penting dalam mekanisme biologis yang berhubungan dengan cemas. Selain itu, kesehatan umum individu dan riwayat cemas pada keluarga memiliki efek nyata sebagai faktor penyebab cemas.

g. Alat Ukur Kecemasan

Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat atau berat sekali dapat digunakan alat ukur (instrument) Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS). Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing–masing kelompok gejala diberi penilaian angka (skor) antara 0-4 yang artinya adalah (Hawari, 2008) :

0 = Tidak ada (tidak ada gejala sama sekali) 1 = ringan (1 gejala dari pilihan yang ada)

(22)

2 = sedang (separo dari gejala yang ada)

3 = berat (lebih dari separo dari gejala yang ada) 4 = sangat berat (semua gejala ada)

Adapun hal-hal yang dinilai dalam alat ukur HRS-A ini adalah sebagai berikut : gejala kecemasan meliputi perasaan cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan pola tidur, perasaan depresi (murung), gejala somatik atau fisik (otot), gejala somatik atau fisik sensorik, gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah), gejala respiratory (pernafasan), gejala gastrointestinal (pencernaan), gejala urogenital (perkemihan dan kelamin), gejala autonom dan tingkah laku. Dari semua gejala kecemasan tersebut diukur dengan nilai atau angka (score) dengan rentang 0-4. Kemudian hasil akhir dari score kecemasan. Masing-masing nilai angka (score) dari 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang, yaitu:

1) Kurang dari 6 : tidak ada kecemasan. 2) 6-14 : kecemasan ringan 3) 15-27 : kecemasan sedang 4) >27 : kecemasan berat

(23)

B. Kerangka Teori

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Mengadopsi dari Kaplan (2000) dan Lawrence Green 1980 dalam Notoatmodjo (2003) Faktor enabling : 1. Lingkungan 2. Ketersediaan sarana dan prasarana Faktor predisposisi : 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Tingkat pendidikan 4. Tingkat sosial ekonomi Faktor reinforcing : 1. Motivasi

2. Sikap dan perilaku masyarakat

3. Sikap dan perilaku petugas kesehatan

Faktor perilaku

Faktor psikoanalitis : 1. insting

2. ego

Faktor dukungan keluarga : 1. Dukungan emosional 2. Dukungan penghargaan 3. Dukungan instrumental 4. Dukungan informatif Faktor interpersonal : 1. Perpisahan 2. Trauma 3. Rendah diri Faktor biologis Kecemasan

(24)

C. Kerangka Konsep

Bagan 2.2 Kerangka Konsep

D. Variabel Penelitian

Variabel adalah gejala yang menjadi fokus peneliti untuk diamati (Sugiyono, 2007). Variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel Independen (Variabel Bebas)

Variabel Independen adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan dukungan keluarga.

2. Variabel Dependen (Variabel Terikat)

Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kecemasan ibu yang memiliki anak autisme.

E. Hipotesis

Menurut Notoatmodjo (2005), hipotesa penelitian adalah jawaban sementara penelitian, patokan duga atau sementara, yang kebenaranya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut.

Hipotesa yang diajukan pada penelitian ini adalah :

1. Ada hubungan pengetahuan dengan kecemasan ibu yang memiliki anak autisme di Sekolah Luar Biasa Kota Semarang

2. Ada hubungan dukungan keluarga dengan kecemasan ibu yang memiliki anak autisme di Sekolah Luar Biasa Kota Semarang

Variabel Independen

Kecemasan ibu yang memiliki anak autisme Pengetahuan

Variabel Dependen

Referensi

Dokumen terkait

menggunakan metode pembelajaran ini siswa diberikan suatu permasalahan yang harus siswa pecahkan bersama-sama hal ini menuntut siswa untuk berfikir tingkat tinggi

W n : Kadar air yang dibutuhkan tanah sebelum pemberian air irigasi (kadar air kapasitas lapang - kadar air awal).. d : Kedalaman air rata-rata yang ditampung pada

Busana yang tetap mengikuti pakem (aturan) salah satu budaya lokal yaitu Jawa tetapi tidak menyimpang dari aturan berbusana umat Islam tersebut dikonsumsi oleh para

Kesimpulan penelitian bahwa tanaman cabai keriting galur MG1012 lebih unggul dibanding tiga varietas pembanding pada beberapa parameter pengamatan yaitu memiliki tinggi

Useat edellä tarkastelluista lausunnoista tai päätöksistä koskevat hankkeita, joihin liittyy YVA-harkinnan ratkaisun ajankohtana käynnissä olleita tai tulevia

The exploitations are done to mislead the hearers or to get good political bargaining position and to obey the quantity maxim and politeness principle. The exploitations are also

5.7 Tanah, Gedung, dan Perlengkapannya Cake and Cone memilih lokasi yang berdekatan dengan Sekolahan sampai Univesitas agar memudahkan distribusi produk ke konsumen yang

Pernikahan usia dini atau nikah di bawah umur di Indonesia memang menjadi isu yang patut diteliti, sebab isu ini berkembang seiring dengan tidak dilaksanakannya ketentuan Pasal 7