• Tidak ada hasil yang ditemukan

RENSTRA PASCAPANEN TAHUN 2010 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RENSTRA PASCAPANEN TAHUN 2010 2014"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

R

RE

EN

NC

CA

AN

N

A

A

S

ST

TR

RA

AT

TE

E

GI

G

IS

S

D

DI

IR

RE

EK

KT

TO

OR

RA

AT

T

P

PA

AS

SC

CA

AP

PA

AN

NE

EN

N

D

DA

AN

N

P

PE

EM

MB

BI

IN

NA

AA

AN

N

U

US

SA

AH

HA

A

2

20

01

11

1

-

-

2

20

01

14

4

D

D

I

I

R

R

E

E

K

K

T

T

O

O

R

R

A

A

T

T

P

P

A

A

S

S

C

C

A

A

P

P

A

A

N

N

E

E

N

N

D

D

A

A

N

N

P

P

E

E

M

M

B

B

I

I

N

N

A

A

A

A

N

N

U

U

S

S

A

A

H

H

A

A

D

D

I

I

R

R

E

E

K

K

T

T

O

O

R

R

A

A

T

T

J

J

E

E

N

N

D

D

E

E

R

R

A

A

L

L

P

P

E

E

R

R

K

K

E

E

B

B

U

U

N

N

A

A

N

N

2

(2)
(3)
(4)

iii

DAFTAR GAMBAR viii

I. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Kondisi Umum 5

1.2.1 Sumber Daya Manusia (SDM) 5 1.2.2 Kondisi Penanganan Pascapanen

Tanaman Semusim, Rempah dan Penyegar

7

1.2.3 Kondisi Penanganan Pascapanen Tanaman Tahunan

10

1.2.4 Kondisi Penanganan Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan

12

1.2.5 Kondisi Bimbingan Usaha dan Perkebunan Berkelanjutan

13

1.3 Potensi dan Permasalahan 15

1.3.1

II. VISI DAN MISI DIREKTORAT PASCAPANEN DAN

PEMBINAAN USAHA

18

2.1 Visi Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha

18

2.2 Misi Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha

18

2.3 Tujuan Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha

19

2.4 Tugas Pokok dan Fungsi 20

2.5 Nilai Nilai 21

(5)

iv 3.1 Arah Kebijakan dan Strategi Direktorat Jenderal

Perkebunan

23

3.1.1 Arah Kebijakan 23

3.1.2 Strategi 23

3.2 Arah Kebijakan dan Strategi Direktorat Pasca Panen dan Pembinaan Usaha

3.2.1 Arah Kebijakan

3.2.1.1 Arah Kebijakan Penanganan Pascapanen

3.2.1.2 Arah Kebijakan Pembinaan Usaha 3.2.2 Strategi 3.2.2.1 Pencermatan Lingkungan Pascapanen 27

A. Pencermatan Lingkungan Internal Pascapanen

29

B. Pencermatan Lingkungan Eksternal Pascapanen

30

3.2.2.2 Pencermatan Lingkungan Pembinaan Usaha

32

A. Pencermatan Lingkungan Internal Pembinaan Usaha

32

B. Pencermatan Lingkungan Eksternal Pembinaan Usaha

37

3.3 Analisa Faktor Faktor Strategis dan Kunci Keberhasilan (KAFI/ KAFE)

41

3.4 Kesimpulan Analisis Faktor Internal – Eksternal 47 3.4.1 Kesimpulan Analisis Faktor Internal –

Eksternal Pascapanen

47

3.4.2 Kesimpulan Analisis Faktor Internal – Eksternal Pembinaan Usaha

48

IV PROGRAM, KEGIATAN, DAN KELUARAN 67

4.1 Program Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha

67

4.2 Kegiatan Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha

(6)

v Komoditas Perkebunan

4.3.2 Fasilitasi Bimbingan Usaha dan Perkebunan Berkelanjutan

70

4.3.3 Fasilitasi Penanganan Pencegahan Gangguan Usaha dan Konflik

Perkebunan

72

4.3.4 Pelaksanaan Dukungan Administrasi dan Keuangan

73

4.4 Keluaran (Output) dan Sub Output 73 4.4.1 Fasilitasi Penanganan Pascapanen

Komoditas Perkebunan

73

4.4.2 Fasilitasi Bimbingan Usaha dan Perkebunan Berkelanjutan

74

4.4.3 Fasilitasi Penanganan Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan

75

4.4.4 Pelaksanaan Dukungan Administrasi dan Keuangan

76

4.5 Pendanaan 82

V. MANAJEMEN, PERENCANAAN, MONITORING

DAN EVALUASI

83

5.1 Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah 83

5.2 Peran Serta Masyarakat 84

5.3 Dukungan Institusi Terkait 84

5.4 Mekanisme Perencanaan 86

5.5 Monitoring, Evaluasi, Pengendalian, dan Pengawasan

88

5.5.1 Monitoring dan Evaluasi 88

5.5.2 Mekanisme Pemantauan dan Evaluasi 89 5.5.3 Pengendalian dan Pengawasan 90

(7)

vi

Nomor Hal

Tabel 1 Jumlah Petugas Penilai Perkebunan 6

Tabel 2 Jumlah Petugas Penilai Perkebunan Yang

Dibutuhkan

7

Tabel 3 Perkembangan Kasus GUPK Nasional Tahun

2005-2010

13

Tabel 4 Analisis Faktor-Faktor Strategis dan Kunci

Keberhasilan Pascapanen

41

Tabel 5 Analisis Faktor-Faktor Strategis dan Kunci

Keberhasilan Pembinaan Usaha

44

Tabel 6 Analisis SWOT untuk ASAP Pascapanen 49

Tabel 7 Analisis SWOT untuk ASAP Pembinaan Usaha 51

Tabel 8 Analisis Faktor Kunci Keberhasilan (FKK)

Pembinaan Usaha

53

Tabel 9 Analisis Faktor Kunci Keberhasilan (FKK)

Pascapanen

57

Tabel 10 Target Masing-Masing Kegiatan 77

Tabel 11 Proyeksi Penyediaan dana APBN untuk

mendukung kegiatan penanganan Pascapanen

dan Pembinaan Usaha

(8)

vii

Nomor Hal

Gambar 1 Struktur Organisasi Direktorat Pascapanen

dan Pembinaan Usaha

22

(9)

8

R

R

e

e

n

n

c

c

a

a

n

n

a

a

S

S

t

t

r

r

a

a

t

t

e

e

g

g

i

i

s

s

Direktorat Pascapanen dan

Pembinaan Usaha

2011-2014

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian termasuk sub sektor perkebunan mempunyai peranan yang cukup besar baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembangunan perekonomian nasional. Pada tahun 2010 sub sektor perkebunan mampu menyumbang devisa dari kegiatan ekspor senilai US$22 miliar meningkat sangat tajam dibandingkan dengan tahun 2005 yang hanya mencapai US$9 miliar. Devisa tahun 2010 diperoleh dari volume ekspor komoditi unggulan perkebunan sebanyak 26 juta ton, juga meningkat jika dibandingkan dengan volume yang dicapai pada tahun 2005 sebesar 16 juta ton. Hal ini membuktikan bahwa subsektor perkebunan ke depan masih merupakan andalan penyumbang devisa sektor pertanian. Lebih dari 80% produksi komoditi perkebunan berasal dari perkebunan rakyat yang terdiri dari kepemilikan lahan yang terbatas berbasis pada usaha tradisional baik dari aspek budidaya, Pascapanen dan pemasarannya. Kebijakan umum pembangunan perkebunan adalah mensinergikan seluruh sumber daya perkebunan dalam rangka meningkatkan daya saing, nilai tambah, produktivitas usaha perkebunan dan mutu produk perkebunan melalui partisipasi aktif masyarakat perkebunan dan penerapan organisasi modern yang berlandaskan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi serta didukung dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Sesuai dengan kebijakan tersebut maka fokus perhatian pemerintah tidak hanya pada aspek hulu (on farm), namun juga pada aspek hilirnya (off farm).

(11)

2

kegiatan yang dilakukan sejak proses pemanenan hasil perkebunan sampai dengan proses yang menghasilkan produk setengah jadi (produk antara/intermediate). Kegiatan pascapanen meliputi panen, pengumpulan, perontokan/pemipilan/pengupasan, pencucian, pensortiran, pengklasan (grading), pengangkutan, pengeringan (draying), penggilingan dan/atau penepungan, pengemasan, dan penyimpanan.

Penanganan pascapanen sangat menentukan mutu hasil produksi, oleh sebab itu penanganan proses produksi di kebun harus memperhatikan dan menerapkan prinsip-prinsip cara budidaya yang baik dan benar (Good Agricultural Practices/GAP) dan ditindaklanjuti dengan penerapan Good Handling Practices (GHP) pada tingkat Pascapanen. Penanganan Pascapanen merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi atau menekan tingkat kerusakan hasil produksi, hilangnya produksi/susut hasil, meningkatkan mutu produksi, meningkatkan nilai tambah dan daya saing, yang berarti meningkatkan pendapatan petani. Pada kenyataannya hingga saat ini, hasil perkebunan Indonesia kerapkali kalah bersaing di pasaran Internasional, karena mutu hasil masih rendah yang disebabkan antara lain adanya kontaminasi dengan kotoran dan benda-benda asing, pengeringan kurang sempurna sehingga dalam perjalanan ke tangan konsumen sering mengalami kerusakan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa penanganan Pascapanen produk perkebunan belum dilakukan dengan optimal.

(12)

Disadari bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pekebun terutama perkebunan rakyat adalah keterbatasan akses pada teknologi Pascapanen. Oleh sebab itu untuk mengatasi permasalahan tersebut dilakukan pembinaan usaha kepada pekebun utamanya kelompok tani yang telah mulai mengelola usaha berbasis perkebunan (benih dan hasil perkebunan). Pembinaan terhadap usaha perkebunan juga dilakukan atas pengelolaan perkebunan, terutama pada perkebunan besar berupa monitoring terhadap kinerja perusahaan perkebunan seperti : pemberian rekomendasi teknis dan pembinaan terhadap pelaku usaha untuk mentaati peraturan dan ketentuan yang berlaku baik pengelolaan kebun inti maupun kebun plasma. Mengingat keterbatasan sumberdaya alam khususnya lahan dan semakin menguatnya tuntutan masyarakat luas akan produk yang ramah lingkungan, mempertimbangkan aspek sosial selain aspek ekonomi maka pengelolaan perkebunan berkelanjutan menjadi prioritas pembangunan perkebunan di masa kedepan.

Peraturan Menteri Pertanian No 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan telah diterbitkan, tanggal 28 Februari 2007, namun dalam pelaksanaannya masih banyak kendala dalam menterjemahkan dan mengimplementasikan Permentan tersebut, antara lain terhadap kewajiban perusahaan membangun minimal 20 % untuk kebun masyarakat sekitar dari luas kebun yang diusahakan perusahaan masih banyak salah penafsiran.

(13)

4

operasioanl, maka perusaan perkebunan tersebut akan dicabut Izin Usahanya setelah mendapat peringatan sebelumnya.

Pembinaan juga dilakukan dalam rangka penanganan gangguan usaha dan konflik, dimana perkembangan perkebunan besar yang membuka lahan secara besar-besaran dengan mengkonversi hutan tropika basah dan hutan/lahan pasang surut telah memunculkan kritik internasional yang dikaitkan dengan kerusakan lingkungan hidup antara lain hilangnya biodiversitas, menurunnya fungsi hidro-orologis daerah aliran sungai, dan menyusutnya habitat satwa liar, terjadinya kebakaran lahan dan hutan. Disamping itu terjadinya konflik antar generasi dan konflik antara manusia dengan satwa dan fauna serta konflik antara perkebunan besar dengan masyarakat dan konflik antara perusahaan perkebunan dengan perusahaan lainnya, perlu pembinaan lebih lanjut.

Proyek Perusahaan Inti Rakyat ( PIRBUN, PIR-TRANS,PIR-KKPA) yang pembangunannya dimulai sejak tahun delapan puluhan sampai sekarang masih meninggalkan permasalahan dan harus ditangani secara sungguh sungguh, permasalahan tersebut : (1) sebagian besar kebun rusak/tidak produktif karena umur tanaman dudah tua, terkena bencana alam dan kurang pemeliharaan sehingga pendapatan petani semakin renadah, kebun sudah waktunya diremajakan dilain pihak petani tidak mampu meremajakan tanamannya; (2) belum adanya kebijakan mengenai peremajaan dan alih komoditas terhadap lahan etani yang masih punya tunggakan kredit pemerintah; (3) belum jelasnya status keproyekan PIR perkebunan dan kebijakan penyelsaian hutang petani;(4) masih banyak petani yang belum konversi dan sertifikat yang belum diterbitkan BPN; (5) kemitraan inti plasma banyak yang tidak lancar.

Dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategik internasional, regional, dan domestik diatas khususnya globalisasi dan otonomi daerah serta perubahan paradigma yang ada,

maka disusunlah “Rencana Strategis Direktorat Pascapanen

(14)

1.2. Kondisi Umum

Kondisi umum Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha Perkebunan saat ini dapat digambarkan sebagai berikut :

1.2.1 Sumber Daya Manusia (SDM)

a. Jumlah SDM

SDM Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha berjumlah 70 orang terdiri atas laki-laki 46 orang (65,7 %) dan perempuan 24 orang (34,3 %). Berdasarkan tingkat pendidikan, pegawai tersebut terdiri atas: S3 = 1 orang, S2 = 16 orang, S1 = 22 orang, SM/D = 2 orang, SLTA = 27 orang dan SD = 2 orang. Berdasarkan tingkat golongan pegawai dapat dibedakan menjadi golongan IV = 9 orang, III = 52 orang dan golongan II = 9 orang.

Di tinjau dari jurusan pendidikan pegawaii Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha dapat dibedakan menjadi Sarjana Pertanian = 18 orang, Sarjana Sosial = 8 orang, Sarjana Ekonomi = 7 orang, Sarjana Hukum = 4 orang, Sarjana Teknologi Pertanian = 1 orang, Sarjana Tehnik Lingkungan = 1 orang, Sarjana Muda = 2 orang, SLTA = 27 orang dan SD = 2 orang. Dari data tersebut menunjukkan bahwa dari tingkat pendidikan sarjana, hanya 18 orang (25,7 %) yang berasal dari lulusan Sarjana Pertanian dan hanya 1 orang (1,4 %) lulusan dari Sarjana Teknologi Pertanian. Padahal di direktorat ini sangat dibutuhkan Sarjana Pertanian dan Sarjana Teknologi Pertanian/Pascapanen yang dapat mendukung dan berkompeten dalam kegiatan dan tugas–tugas.

(15)

6

( Teknologi pertanian/Pascapanen 6 orang, agronomi 6 orang, sosek 4 orang, teknologi lingkungan 2 orang), Sarjana Sosial = 4 orang, Sarjana Ekonomi = 4 orang, Sarjana Hukum = 4 orang, Sarjana/Sarjana Muda Teknik informatika = 5 orang, SLTA = 20 orang dan SLP/SD = 2 orang dan Master ( S2 ) Pertanian 4 orang untuk eselon III dan S3 Pertanian 1 orang untuk eselon II.

Berdasarkan hasil data pegawai di Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa pegawai (SDM) yang ada sekarang ini di lihat dari jurusan pendidikannya, masih belum sesuai komposisi kualifikasi pendidikannya, sehingga SDM yang ada masih kurang berkompeten dalam melaksanakan tugas-tugas dan kegiatan di lingkup direktorat ini. Hal ini berdampak pada hasil kegiatan yang belum optimal dan hubungan sinergitas antara pegawai di Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha belum selaras dan seimbang.

b. Jumlah Petugas Penilai Perkebunan

Jumlah Petugas Penilai Perkebunan di seluruh Indonesia sampai dengan tahun 2010-2014 dapat dilihat pada tabel

Tabel 1. Jumlah Petugas Penilai Perkebunan

NO TAHUN JUMLAH PETUGAS PENILAI (orang) Pusat Daerah

1 2009 8 93

2 2010 4 125

3 2011 4 125

(16)

Tabel 2. Jumlah Petugas Penilai Perkebunan Yang Dibutuhkan

NO TAHUN JUMLAH PETUGAS PENILAI (orang) Pusat Daerah

1 2012 4 125

2 2013 4 125

3 2014 4 125

1.2.2 Kondisi Penanganan Pascapanen Tanaman

Semusim, Rempah dan Penyegar

Belum berkembangannya penanganan pascapanen seperti yang diharapkan disebabkan antara lain karena : (a). Kemampuan dan pengetahuan petani dan pekebun dalam kegiatan penanganan pascapanen masih terbatas, (b). kelembagaan pascapanen yang belum berkembang, (c). waktu pelaksanaan panen yang kurang tepat dan terbatasnya sarana pascapanen, (d). Sarana pascapanen yang tersedia di tingkat petani belum dimanfaatkan secara optimal, (e). penempatan dan penggunaan sarana pascapanen yang tidak tepat, (f). belum mantapnya kemitraan usaha antara petani/produsen dan industri (perusahaan).

(17)

8

harga yang signifikan terhadap produk yang berkualitas baik, mereka mencampur produk yang berkualitas baik dengan yang tidak baik. Kondisi ini menyebabkan petani enggan melakukan pascapanen yang baik karena tidak memberikan peningkatan harga. Hal ini terjadi pada komoditas kakao, perbedaan harga antara biji kakao yang difermentasi dengan yang tidak difermentasi tidak signifikan sehingga petani enggan untuk menghasilkan biji fermentasi.

Kualitas biji lada yang dihasilkan petani juga masih rendah. Perlakuan penanganan pascapanen ditingkat petani masih dilakukan secara tradisional, belum dilakukan sebagaimana yang direkomendasikan. Proses perendaman masih menggunakan air kotor sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap pada biji lada dan pencemaran oleh bakteri. Demikian juga pengeringan hanya dialasi terpal atau plastik di sembarang tempat, di pinggir-pinggoir jalan tanpa pembatas sehingga sangat mudah dijangkau bahkan diinjak-injak oleh hewan yang lewat. Pengemasan bubuk di tingkat petani masih sangat sederhana, menggunakan gelas air mineral bahkan botol bekas. Hal ini kurang menarik bagi konsumen sehingga tidak bias menambah nilai jual produk lada tersebut. Kemitraan antara petani lada dengan pembeli atau eksportir lada juga belum terjalin sepenuhnya dengan baik.

(18)

/pengolahan hasil terhenti karena kurangnya kemampuan untuk membeli bahan baku.

Kegiatan penanganan pascapanen tanaman utama semusim (tebu, kapas, tembakau dan nilam) di tingkat petani/kelompok petani umumnya masih dilakukan dengan menggunakan peralatan sederhana. Sebagai contoh alat pemanenan tebu atau perajang tembakau. Kedepan diharapkan secara bertahap mutu hasil dapat ditingkatkan melalui penerapan Pascapanen yang baik dan benar sehingga dapat mengurangi tingkat kehilangan hasil/susut hasil/kerusakan hasil produksi; meningkatkan daya saing, harga jual produk dan daya simpan serta meningkatkan nilai tambah, pendapatan dan kesejahteraan petani/kelompok tani.

Demikian pula, penanganan pascapanen tanaman utama rempah dan penyegar (kakao, kopi, lada, teh dan cengkeh) di tingkat petani/kelompok petani maupun pedagang pengumpul umumnya masih dilakukan dengan menggunakan teknik dan peralatan sederhana. Sebagai contoh pengeringan kakao, kopi, lada atau fermentasi kakao. Kedepan diharapkan secara bertahap mutu hasil dapat ditingkatkan melalui penerapan Pascapanen yang baik dan benar sehingga dapat menekan susut atau kehilangan/ kerusakan hasil, memperpanjang daya

simpan dan meningkatkan rendemen;

(19)

10

1.2.3 Kondisi Penanganan Pascapanen Tanaman

Tahunan

Belum berkembangannya penanganan pascapanen seperti yang diharapkan disebabkan antara lain karena : (a). Kemampuan dan pengetahuan petani dan pekebun dalam kegiatan penanganan pascapanen masih terbatas, (b). kelembagaan pascapanen yang belum berkembang, (c). waktu pelaksanaan panen yang kurang tepat dan terbatasnya sarana pascapanen, (d). Sarana pascapanen yang tersedia di tingkat petani belum dimanfaatkan secara optimal, (e). penempatan dan penggunaan sarana pascapanen yang tidak tepat, (f). belum mantapnya kemitraan usaha antara petani/produsen dan industri (perusahaan).

Penanganan pascapanen perkebunan tanaman tahunan pada umumnya disebabkan oleh cara dan waktu panen yang belum tepat. Disamping itu kendala jarak antar kebun dan pabrik pengolahan menyebabkan kerusakan atau penurunan hasil, khusunya perkebunan rakyat (kelapa sawit, karet, jambu mete, kelapa, dll) teknologi pascapanen telah tersedia dan teah disosialisasikan kepada petani dan berbagai upaya telah dilakukan agar petani mampu menerapkan teknologi pascapanen untuk menghasilkan produk yang berkualitas baik melalui pelatihan, bimbingan teknis, maupun pengawalan. Secara teknis petani telah mampu menerapkan teknologi tersebut, akan tetapi dilakukan secara individu bukan secara kelompok.

(20)

tidak baik. Kondisi ini menyebabkan petani enggan melakukan pascapanen yang baik karena tidak memberikan peningkatan harga.

Kualitas bahan olah karet (bokar) yang dihasilkan petani di Indonesia sangat buruk. Slab yang dihasilkan banyak yang dicampur dengan bahan lain seperti tanah, kayu, karet vulkanisat dan lain-lain yang sangat merusak mutu. Pencampuran ini dimaksudkan untuk bokar yang buruk ini dimanfaatkan oleh pedagang perantara untuk mendapat keuntungan melalui tekanan kepada petani.

Kegiatan penanganan pascapanen tanaman tahunan perkebunan (terfokus pada tanaman karet, kelapa dan jambu mete) di tingkat petani/kelompok petani umumnya masih dilakukan secara sederhana. Sebagai contoh, pengolahan bahan olah karet (bokar). Mutu bahan olah karet (bokar) sangat menentukan daya saing karet alam Indonesia dipasar International. Dengan mutu bokar yang baik akan terjamin permintaan pasar jangka panjang. Mutu bokar yang baik dicerminkan oleh Kadar Kering Karet (KKK) dan tingkat kebersihan yang tinggi. Upaya perbaikan mutu bokar harus dimulai sejak penanganan lateks di kebun sampai dengan tahap pengolahan akhir. Untuk saat ini mutu bahan olah karet masih tergolong rendah.

(21)

12

Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, beberapa kebijakan dari pemerintah yang telah dilakukan sebagai berikut: (a) melakukan pelatihan kepada (petugas aparat dinas, penyuluh, pendamping kelompok tani) sehingga mampu melakukan bimbingan kepada petani, (b) memberikan bimbingan dan pembinaan secara terus menerus kepada petani tentang teknologi dan sarana pascapanen, (c) melakukan pengawalan langsung kepada petani dan kelompok dalam penerapan Good Handling Parcatice (GHP) pascapanen yang baik dan benar, (d) memperkuat kelembagaan petani melalui penumbuhan peran Gapoktan sebagai wadah berkumpulnya kelompok tani sehingga memperkuat posisi tawarpetani terhadap pedagang/pengumpul, mempermudah dalam melakukan pembinaan, mempermudah dalam pemasaran produk dan memenuhi kuota permintaan pembeli, (e) memberikan bantuan peralatan pascapanen kepada gapoktan, (f) memberikan bantuan modal kerja kepada Gapoktan baik untuk dana operasional maupun untuk penguatan modal pembelian bahan baku, (g) menyiapkan pedoman GHP, (h) menjalin kerjasama kemitraan dengan pembeli/eksportir. Dengan adanya kemitraan ini berarti sudah tersedia pembeli tetap sehingga tidak perlu lagi mencapi pasar.

1.2.4 Kondisi Penanganan Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan

(22)

hasil perkebunan dan pendudukan tanah perkebunan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup. K onflik-konflik yang terjadi dalam pengusahaan perkebunan bukan hanya membahayakan kelangsungan usaha perkebunan itu sendiri, menurunkan minat investasi, tetapi juga yang lebih berbahaya dapat menimbulkan disintegrasi sosial.

Penanganan konflik dalam lingkungan perkebunan besar memiliki karakter multidimensi yaitu ekonomi, politik, hukum, sosial, lingkungan dan juga internasional. Oleh karena itu, penyelesaian konflik ini menjadi sangat strategis dalam rangka pemulihan kondisi sebagaimana yang terjadi saat ini. Kondisi jenis gangguan dan konflik perkebunan di daerah akan diinventarisasi diperkirakan di 23 propinsi dan 148 kabupaten/kota yang terdapat gangguan usaha dan konflik perkebunan mengalami pasang surut, untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 3. Perkembangan Kasus GUPK Nasional dari tahun 2005-2010

JMl Kasus/ Penyelesaian

Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Jml. Kasus 646 598 475 596 508 694 Penyelesaian 154 112 123 64 196 57

1.2.5 Kondisi Bimbingan Usaha dan Perkebunan

Berkelanjutan

(23)

14

berkelanjutan perlu dilakukan pembinaan terhadap perusahaan perkebunan besar dengan melakukan penilaian usaha perkebunan secara periodik. Dari total jumlah perkebunan besar di seluruh Indonesia 1.413 perusahaan, baru 1.205 perusahaan yang telah melakukan penilaian, untuk itu masih tetap diperlukan pembinaan lebih lanjut. Permasalahan yang dihadapi dalam penilaian kelas kebun adalah masalah anggaran untuk pelaksanaan penilaian, sebagian besar daerah tidak dapat menyediakannya karena legislatif (DPRD kabupaten/kota) tidak mendukungnya dengan alasan perusahaan perkebunan tidak memberikan konstribusi langsung pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disamping itu jumlah tenaga penilai di daerah yang telah dilatih jumlahnya masih kurang dan tidak sebanding dengan jumlah perusahaan yang akan dinilai.

Sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan (pasal 44) menetapkan bahwa pemberian izin usaha budidaya perkebunan dan/atau izin usaha industri pengolahan hasil perkebunan dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) terlebih dahulu mendapat rekomendasi teknis dari Direktorat Jenderal. Perkebunan. Perusahaan yang mengajukan permohonan rekomendasi tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan sesuai Pedoman yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan.

(24)

kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia. ISPO perlu disosialisasikan, sehingga seluruh stakeholder perkebunan kelapa sawit mempunyai pemahaman yang jelas. Perusahaan atau kebun kelapa sawit yang sudah memenuhi persyaratan ISPO (Prinsip dan Kriteria) berhak mendapat sertifikasi sehingga akan mempunyai daya saing di pasar internasional. Sistem perkebunan berkelanjutan ini akan dikembangkan pada komoditi utama perkebunan lainnya.

Sebagai salah satu bentuk pembinaan usaha pada perkebunan (rakyat) pada tahun 2010 telah dilaksanakan fasilitasi bantuan modal dari anggaran APBN Kementerian Pertanian dalam bentuk belanja sosial kepada 104 kelompok tani binaan dan Penggerak Membangun Desa (PMD) yang memenuhi syarat. Agar pelaksanaan kegiatan kelompok binaan tersebut berjalan seperti yang diharapkan, maka perlu dilakukan pembinaan, pengawalan, monitoring dan evaluasi.

1.3. Potensi dan Permasalahan

1.3.1. Potensi

1) Sumber daya manusia

a. Tersedianya SDM yang berkompeten dalam melaksanakan tugas-tugas dan kegiatan di lingkup direktorat;

(25)

16

2) Kelembagaan

a. Tersedianya kelembagaan Pascapanen perkebunan pada tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan kelompok tani.

b. Tersedianya kelembagaan gabungan perusahaan perkebunan dan assosiasi komoditi perkebunan.

c. Terjalinnya hubungan kerja dengan Pusat/Balai Penelitian/Perguruan Tinggi terkait dengan Pascapanen dan pembinaan usaha perkebunan.

3) Teknologi

a. Tersedianya penelitian dan pengembangan dalam introduksi dan penerapan teknologi pada mata rantai penanganan pascapanen;

b. Tersedianya teknologi Pascapanen perkebunan untuk mendukung peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan;

c. Penyampaian informasi teknologi pascapanen secara cepat dan akurat kepada petani yang melibatkan industri swasta yang bergerak dalam pengolahan hasil perkebunan agar aliran informasi lebih cepat.

1.3.2. Permasalahan

1) Sumber Daya Manusia

a. Jumlah dan kualifikasi SDM yang menangani Pascapanen dan pembinaan usaha perkebunan masih belum memadai;

(26)

2) Kelembagaan

a. Belum optimalnya kemitraan antara perusahaan perkebunan besar dengan kelompok petani/KUD;

b. Belum sempurnanya infrastruktur yang menunjang sistem distribusi dan transportasi hasil perkebunan rakyat.

3) Teknologi

a. Kesenjangan dalam inovasi teknologi, baik dalam teknologi pengembangan peralatan pascapanen maupun informasi teknologi penanganan pascapanen itu sendiri;

b. Rendahnya pengertian masyarakat umum dalam hal-hal yang berkaitan dengan teknologi penanganan pascapanen, misalnya tentang susut pascapanen sehingga berakibat kurangnya perhatian terhadap masalah mutu,

c. Penyebarluasan hasil teknologi atau inovasi teknologi kurang menyebar merata keseluruh lapisan yang memerlukan.

4) Pelaksanaan perizinan usaha belum sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku

a. Banyaknya tumpang tindih izin lokasi usaha.

b. Reformasi birokrasi perizinan belum berjalan sebagaimana mestinya.

c. Otonomi daerah belum sepenuhnya mendukung reformasi birokrasi.

(27)

BAB II

VISI, MISI, DAN TUJUAN

DIREKTORAT PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

2.1. Visi Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha

Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha sebagai bagian integral dari Direktorat Jenderal Perkebunan, maka visi Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha harus selaras dengan visi Direktorat Jenderal Perkebunan yaitu ”Profesional dalam memfasiltasi peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan”. Bertitiktolak dari visi Direktorat Jenderal Perkebunan tersebut maka visi Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha adalah

“Profesional dalam mengupayakan peningkatan

penanganan pascapanen, bimbingan usaha, dan

perkebunan berkelanjutan serta memfasilitasi penanganan

gangguan usaha dan konflik perkebunan”.

2.2. Misi Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha

Mangacu pada pada salah satu Misi Direktorat Jenderal Perkebunan yaitu ”Mengupayakan penanganan Pascapanen dan pembinaan usaha, maka misi Direktorat Pascapanen dan pembinaan Usaha ditetapkan sebagai berikut :

1. Memfasilitasi peningkatan penyedian teknologi dan penerapan pascapanen budidaya tanaman tahunan, rempah penyegar dan semusim;

2. Memfasilitasi peningkatan bimbingan dan penanganan usaha perkebunan berkelanjutan;

3. Memfasilitasi peningkatan penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan;

4. Memfasilitasi peningkatan penerapan pengelolaan perkebunan berkelanjutan;

(28)

6. Memberikan pelayanan permohonan rekomendasi teknis usaha perkebunan (Rekomtek).

2.3. Tujuan Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha

Untuk mendukung pencapaian agenda pembangunan nasional dan tujuan pembangunan pertanian, maka tujuan pembangunan perkebunan ditetapkan sebagai berikut :

1. Meningkatkan produksi, produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing perkebunan;

2. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat perkebunan;

3. Meningkatakan penerimaan dan devisa negara dan sub sektor perkebunan;

4. Mendukung penyediaan pangan di wilayah perkebunan;

5. Memenuhi kebutuhan konsumsi dan meningkatkan penyediaan bahan baku industri dalam negeri;

6. Mendukung pengembangan bio-energi melalui peningkatan peran sub sektor perkebunan sebagai penyedian bahan bakar nabati;

7. Mengoptimalkan Pengelolaan sumber daya secara arif dan nerkebunan berkelanjutan serta mendorong pengembangan wilayah;

8. Meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) perkebunan;

9. Meningkatkan peran sub sektor perkebunan sebagai penyedia lapangan kerja;

(29)

20

Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut di atas, maka Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha perlu melakukan hal – hal sebagai berikut :

1. Memfasilitasi peningkatan ketersediaan dan penerapan teknologi pascapanen budidaya tanaman tahunan, rempah penyegar dan semusim;

2. Memfasilitasi peningkatan, mutu, nilai tambah dan daya saing hasil perkebunan;

3. Memfasilitasi penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan;

4. Memfasilitasi pengelolaan sumber daya alam secara arif dan berkelanjutan serta mendorong pengembangan wilayah berwawasan lingkungan;

5. Memfasilitasi peningkatan peran sektor perkebunan sebagai penyedia lapangan kerja;

6. Memfasilitasi peningkatan kemampuan, kemandirian dan profesinaliisme pelaku usaha perkebunan;

7. Memfasilitasi peningkatan dan penumbuhan kemitraan dan hubungan sinergi antar pelaku usaha perkebunan;

8. Meningkatkan pelayanan organisasi yang berkualitas.

2.4. Tugas Pokok dan Fungsi

(30)

Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha menyelenggarakan fungsi :

a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang pascapanen tanaman semusim, rempah, penyegar, tahunan dan bimbingan usaha dan perkebunan berkelanjutan serta gangguan usaha dan penangganan konflik;

b. Pelaksanaan kebijakan di bidang pascapanen tanaman semusim, rempah, penyegar, tahunan dan bimbingan usaha dan perkebunan berkelanjutan serta gangguan usaha dan penangganan konflik;

c. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang pascapanen tanaman semusim, rempah, penyegar, tahunan dan bimbingan usaha dan perkebunan berkelanjutan serta gangguan usaha dan penangganan konflik;

d. Pemberiaan bimbingan usaha teknis dan evaluasi di bidang pascapanen tanaman semusim, rempah, penyegar, tahunan dan bimbingan usaha dan perkebunan berkelanjutan serta gangguan usaha dan penangganan konflik;

e. Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha.

2.5. Nilai-Nilai

Nilai-nilai yang dianut oleh Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha adalah :

a. Profesional (Profesionalism), dalam artian seluruh aparat yang terkait dapat melaksanakan pelayanan sesuai dengan bidang keahlian dan keterampilannya;

b. Terukur (Measurable), dalam artian dapat diukur dengan skala penilaian tertentu yang disepakati dapat berupa pengukuran kuantitas ataupun kualitas;

c. Keterbukaan (Transfancy), dalam artian dapat dilaksanakan sesuai dengan Standard Operational Procedure (SOP);

(31)

22 2.6. Struktur Organisasi

Sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 61/Permentan/OT.140/10/2010 tanggal 14 Oktober 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa kelengkapan organisasi Direktorat Jenderal Perkebunan, struktur organisasi Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha sebagai berikut :

Gambar 1. Struktur Organisasi Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha

SEKSI TEKNOLOGI SEKSI PENERAPAN SEKSI TEKNOLOGI SEKSI PENERAPAN

SEKSI BIMBINGAN USAHA

SEKSI PERKEBUNAN

BERKELANJUTAN SEKSI GANGGUAN USAHA PENANGANAN SEKSI KONFLIK

(32)

BAB III

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI

3.1. Arah Kebijakan dan Strategi Direktorat Jenderal Perkebunan

3.1.1. Arah Kebijakan

Arah kebijakan pembangunan perkebunan Tahun 2010-2014 dibedakan menjadi kebijakan umum dan kebijakan teknis. Kebijakan umum pembangunan perkebunan adalah : mensinergikan seluruh sumber daya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing usaha perkebunan, nilai tambah, produktifitas dan mutu produk perkebunan melalui partisipasi aktif masyarakat perkebunan, dan penerapan organisasi modern yang berlandaskan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi serta didukung dengan tata kelola pemerintahan yang baik.

Adapun kebijakan teknis pembangunan perkebunan yang merupakan penjabaran dari kebijakan umum pembangunan perkebunan yaitu : meningkatkan produksi, produktifitas, dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan melalui pengembangan komoditas, SDM, kelembagaan, dan kemitraan usaha, investasi usaha perkebunan sesuai kaidah pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan dukungan pengembangan sistem informasi manajemen perkebunan.

3.1.2. Strategi

(33)

24

3.1.2.1. Strategi umum

Strategi pembangunan pertanian tahun 2010-2014 yang dikenal dengan Tujuh Gema Revitalisasi menjadi straegi pembangunan tahun 2010-2014 yaitu :

1. Revitalisasi Lahan;

2. Revitalisasi Perbenihan;

3. Revitalisasi Infrastruktur dan Sarana; 4. Revitalisasi Sumberdaya Manusia;

5. Revitalisasi Pembiayaan Petani;

6. Revitalisasi Kelembagaan Petani; dan 7. Revitalisasi Teknilogi dan Industri Hilir.

3.1.2.1. Strategi Khusus

Strategi umum pembangunan perkebunan tahun 2010-2014 merupakan strategi yang mengacu kepada target utama pembangunan pertanian masih bersifat sektoral. Agar lebih sesuai dengan karateristik pembangunan sub sektor perkebunan, strategi umum tersebut perlu diformulasikan kedalam startegi khusus, yaitu :

1. Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu hasil tanaman perkebunan berkelanjutan;

2. Pengembangan komoditas;

3. Peningkatan dukungan terhadap sistem ketahanan pangan;

4. Investasi usaha perkebunan;

5. Pengembangan sistem informasi manajemen perkebunan;

6. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM);

7. Pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha; dan

(34)

3.2. Arah Kebijakan dan Strategi Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha

3.2.1. Arah Kebijakan

Mengingat ruang lingkup kegiatan pascapanen dan ruang llingkup kegiatan pembinaan usaha berbeda maka kebijakan Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha dibagi dua yaitu : (1) Kebijakan penanganan pascapanen dan (2) Kebijakan pembinaan usaha

3.2.1.1. Arah Kebijakan Penanganan Pascapanen

Meningkatkan mutu berbasis kegiatan pascapanen melalui perbaikan sistem penaganan pascapanen dengan penerapan teknologi tepat guna dan fasilitasi alat pascapanen di pedesaan.

3.2.1.2. Arah kebijakan Pembinaan Usaha

Meningkatkan investasi dan iklim usaha yang kondusif dengan pegembangan kelembagaan dan kemitraan di bidang usaha perkebunan yang berkelanjutan melalui rekomendasi teknis (Rekomtek), penilaian usaha perkebunan, sosialisasi, penerapan, pembinaan pembangunan perkebunan berkelanjutan, pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup serta penaganan gangguan usaha dan konflik perkebunan.

3.2.2. Strategi

Dari delapan strategi umum Direktorat Jenderal Perkebunan, strategi yang sangat terkait dengan tugas pokok dan fungsi Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha adalah: 1) Peningkatan produksi, produktifitas, dan mutu tanaman

perkebunan berkelanjutan,

2) Investasi usaha perkebunan,

(35)

26 4) Pengembangan dukungan terhadap pengelolaan SDA

dan lingkungan hidup.

Mengingat ruang lingkup kegiatan pascapanen dan ruang lingkup kegiatan pembinaan usaha agak berbeda maka penetapan strategi Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha dibagi dua yaitu : (1) Strategi penanganan pascapanen dan (2) Strategi pembinaan usaha.

Selain mengacu kepada Strategi Direktorat Jenderal Perkebunan, penetapan strategi Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha juga mempertimbangkan faktor-faktor internal dan eksternal yang sangat mempengaruhi kinerja organisasi lingkup Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha. Untuk menetapkan strategi tersebut diperlukan pencermatan lingkungan strategis baik internal maupun eksternal. Pencermatan lingkungan strategis dilaksanakan dengan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Theart).

(36)

3.2.2.1. Pencermatan Lingkungan Pascapanen

A. Pencermatan Lingkungan Internal Pascapanen

1. KEKUATAN (STRENGTH)

a. Tersedianya landasan hukum tentang penanganan pascapanen :

- UU No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistim Budidaya Tanaman.

- UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan.

- Kepres No. 47 Tahun 1986 Tentang Peningkatan Penanganan Pascapanen.

- Permentan No. 44 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penanganan Pascapanen hasil pertanian asal tanaman yang baik.

- Permentan No. 61 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian

b. Tersedianya jumlah SDM yang mencukupi

- Jumlah SDM pada tahun 2011 70 orang dengan kualifikasi pendidikan S3 sebanyak 1 orang, S2 (16 orang), S1 (22 orang), Sarjana Muda/Diploma (2 orang), SLTA (27 orang), dan SD (2 orang).

c. Tersedianya sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan kegiatan

- Tersedianya Komputer dan perlengkapannya

- Tersedianya Furniture yang mencukupi (meja, kursi, lemari, kardeks)

- Jaringan komunikasi (Telp, dan Internet) di setiap ruang esselon III

(37)

28 - Tersedianya fasilitasi penanganan

pascapanen di daerah

d. Tersedianya norma, standar, prosedur, kriteria, pedoman umum, pedoman teknis dan kebijakan

- Tersedianya Renstra Direktorat Jenderal Perkebunan

- Tersedianya Pedoman Pelaksanaan Anggaran

- Tersedianya Pedoman Operasional Kegiatan (POK)

- Tersedianya Pedoman Penanganan Pascapanen

- Tersedianya Renstra Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha

e. Tersediannya roadmap komoditas utama dan Renstra Pengembangan Perkebunan

- Tersedianya Roadmap 14 Komoditi Perkebunan

- Tersedianya Renstra Pembangunan Perkebunan

2. KELEMAHAN(WEAKNESS)

a. Kompetensi dan kemampuan SDM Pegawai

(38)

b. Disiplin pegawai masih kurang

- Produktivitas kerja sebagaian pegawai masih rendah

- Penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) belum dilaksanakan sepenuhnya.

- Etos kerja masih rendah

c. Masih lemahnya koordinasi lintas institusi baik internal maupun eksternal

- Kerjasama antara Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha dengan lembaga penelitian dan Perguruan Tinggi yang terkait penanganan pascapanen belum optimal

- Kerjasama antara Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha dengan Dinas yang membidangi perkebunan di daerah belum optimal

d. Penyiapan perumusan penanganan pascapanen belum optimal

- Pedoman Penanganan Pascapanen yang telah disusun belum sepenuhnya dapat diterapkan di seluruh daerah

- Dalam penyiapan perumusan belum sepenuhnya mengakomodir masukan dari institusi/lembaga terkait

- Pedoman yang telah disusun belum sepenuhnya dapat mengakomodir Teknologi yang semakin berkembang

e. Masih rendahnya kegiatan peningkatan kemampuan SDM pegawai.

(39)

30 B. Pencermatan Lingkungan Ekternal Pascapanen

1. PELUANG (OPPORTUNITY)

a. Tersedianya teknologi yang memadai

- Tersedianya alat dan mesin pascapanen yang memadai

- Penelitian tentang teknologi pascapanen masih terus dilaksanakan

- Adanya lembaga puslit dan balit yang menangani pascapanen

- Akses terhadap teknologi semakin mudah (web site, email, dll)

b. Meningkatnya permintaan pasar domestik dan luar negeri untuk produk perkebunan yang berkualitas dan ramah lingkungan

- Jumlah penduduk yang mengkonsumsi/bahan baku produk perkebunan semakin meningkat

- Semakin meningkatnya kesadaran konsumen akan keamanan pangan dan keragaman produk

c. Tersedianya pakar dan peneliti pascapanen perkebunan

- Tersedianya pakar dan peneliti pascapanen perkebunan baik dari pemerintah maupun swasta dalam dan luar negeri.

d. Petani pekebun memiliki minat/keinginan yang tinggi untuk mendapatkan nilai tambah

- Produk perkebunan yang berkualitas tinggi pada umumnya akan mendapatkan harga yang tinggi

- Adanya Kemudahan akses teknologi pascapanen bagi petani

(40)

e. Adanya kelembagaan usaha /Asosiasi petani yang mendukung dalam penanganan pascapanen.

- Membantu pemerintah dalam penyusunan kebikan penanganan pascapanen.

2. ANCAMAN (THREATS)

a. Belum optimalnya sinergitas program antar institusi dan antara pusat dan daerah.

- Program pascapanen Ditjenbun dan Ditjen PPHP belum sinergis

-

a. Koordinasi program pascapanen antara Ditjenbun dengan instansi terkait ( Kemendag, Kemenperin, Kemennaker, BPPT) masih belum optimal

- Program pascapanen Ditjenbun (pusat) dan daerah belum ada sinkronisasi

b. Tingkat adopsi petani terhadap teknologi pascapanen belum optimal

- Sarana pascapanen yang diberikan untuk para petani kurang sesuai (tidak tepat guna)

- Kapasitas/kapabilitas petani dalam memanfaatkan teknologi yang tersedia belum memadai

c. Insentif harga bagi produk bermutu belum proporsional

- Belum ada jaminan pasar bagi produk perkebunan yang bermutu

- Margin harga yang tidak signifikan antara produk yang bermutu dengan yang kurang bermutu

d. Belum optimalnya harmonisasi peraturan dan kebijakan pusat dan daerah

(41)

32 e. Adanya tuntutan pasar global, isu lingkungan dan kampanye negative tentang produk perkebunan di pasar internasional

- Produk perkebunan sebagian besar adalah produk ekspor sehingga dipengaruhi langsung oleh adanya kebijakan dan mekanisme pasar global.

- banyak LSM/NGO yang menyoroti pembangunan perkebunan merusak lingkungan makin gencar

- banyak negara yang sudah menerapkan aturan tentang keamanan pangan

3.2.2.2. Pencermatan Lingkungan Pembinaan Usaha

A. Pencermatan Lingkungan Internal Pembinaan Usaha

1. KEKUATAN (STRENGTH)

a. Tersedianya landasan hukum yang mendukung pembinaan usaha perkebunan

- UU no 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

- UU No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

- UU No 12 Tahun 1992 Tentang Sistim Budidaya Tanaman

- UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

- UU No 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan

- UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

- PP No 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah

(42)

- Permentan No 26/Permentan/OT.140/2/2007 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan

- Permentan No 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit

- Permentan No 61/Kpts/OT.140/10/2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian - Permentan No 19/Permentan/OT.140/3/2011

Tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO)

b. Tersedianya jumlah SDM yang mencukupi

- Jumlah SDM pada tahun 2011 70 orang dengan kualifikasi pendidikan S3 sebanyak 1 orang, S2 (16 orang), S1 (22 orang), Sarjana Muda/Diploma (2 orang), SLTA (27 orang), dan SD (2 orang).

- Berdasarkan tingkat golongan terdiri atas Golongan IV sebanyak 9 orang, Golongan III (52 orang), Golongan II (9 orang)

- Berdasarkan latar belakang pendidikan terdiri atas Sarjana Pertanian sebanyak 18 orang, Sarjana Sosial (8 orang), Sarjana Ekonomi (7 orang), Sarjana Hukum (4 orang), Sarjana Teknologi Hasil Pertanian (1 orang), Sarjana Teknik Lingkungan (1 orang), Diploma Komputer (1 orang), Diploma Pertanian (1 orang), dan SLTA berbagai jurusan (27 orang) dan SD (2 orang)

c. Tersedianya Petugas Penilai Usaha Perkebunan (Pusat 16 orang, Daerah 343 orang)

d. Tersedianya Sarana dan Prasarana pendukung pelaksanaan kegiatan

(43)

34 - Tersedianya meubelair dan peralatan kantor yang

mencukupi (meja, kursi, lemari, kardeks, in focus)

- Tersedianya peralatan komunikasi (telepon, faksimili, dan internet).

- Tersedianya data dan informasi perkebunan (Pedoman, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan, Statistik, Media, Jurnal, VCD/CD, Leaflet, dan Booklet)

e. Tersedianya norma, standar, prosedur, kriteria, pedoman umum, pedoman teknis dan kebijakan - Tersedianya Renstra Direktorat Jenderal

Perkebunan

- Tersedianya Pedoman Pelaksanaan Anggaran - Tersedianya Pedoman Operasional Kegiatan (POK)

- Tersedianya Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan

- Tersedianya Pedoman Penutupan Proyek PIR (draft)

- Tersedianya Pedoman Pelaksanaan Konversi Non KLBI dan Kebun Sub Standar (draft)

- Tersedianya Pedoman Pemberian Rekomendasi Teknis Usaha Perkebunan

- Tersedianya Pedoman ISPO

f. Tersedianya Roadmap Komoditas Utama dan Renstra Pengembangan Perkebunan

(44)

2. KELEMAHAN (WEAKNESES)

a. Kompetensi dan kemampuan SDM belum memadai

- Dari 70 orang jumlah pegawai, yang mempunyai latar belakang pendidikan di bidang Teknologi Hasil Pertanian hanya 1 orang, sedangkan yang terkait dengan pembinaan usaha hanya 32 orang, yaitu Sarjana Pertanian 18 orang, Sarjana Ekonomi 7 orang, Sarjana Hukum 4 orang, Sarjana Teknik Lingkungan 1 orang, Diploma Komputer 1 orang, Diploma Pertanian 1 orang.

- Jumlah pegawai yang sudah mengikuti pelatihan yang terkait dengan pascapanen dan pembinaan usaha masih sangat kurang (Pelatihan Penilaian Usaha Perkebunan 2 orang).

- Pegawai dengan latar belakang pendidikan Teknologi Hasil Pertanian, Teknik Lingkungan, Sarjana Hukum, Diploma Pertanian, dan Diploma Komputer baru memiliki masa kerja kurang dari 3 tahun.

b. Masih adanya peraturan perundangan yang belum sinkron dalam penerapannya

- Penegakan hukum masih rendah

- Terjadinya gejolak sosial yang berdampak timbulnya gangguan usaha dan konflik.

- Jumlah gangguan usaha dan konflik meningkat ( Jumlah kasus lima tahun terakhir meningkat : Tahun 2006 berjumlah 598 kasus, tahun 2007 berjumlah 475 kasus, tahun 2008 berjumlah 596 kasus, tahun 2009 berjumlah 508 kasus, dan tahun 2010 sebanyak 694kasus)

(45)

36 c. Masih lemahnya koordinasi lintas institusi baik

internal maupun eksternal

- Penyelsaian gangguan usaha perkebunan dan konflik lambat

- Beberapa instansi terkait tidak serius dalam menangani suatu kasus

- Pembinaan usaha belum berjalan sebagaimana mestinya dan belum menjangkau ke seluruh lokasi

- Rumusan pertemuan koordinasi belum ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang terkait.

d. Penyiapan perumusan bimbingan dan penanganan gangguan usaha belum optimal

- Pedoman Penanganan Pembinaan Usaha yang telah disusun belum disepakati oleh instansi terkait.

- Dalam penyiapan perumusan belum sepenuhnya mengakomodir masukan dari institusi/lembaga terkait di pusat dan daerah.

- Pedoman yang telah disusun belum sepenuhnya selaras dengan perkembangan teknologi.

e. Masih rendahnya kegiatan peningkatan kemampuan SDM pegawai.

- Pelatihan, Magang, Job Training, Study banding tentang pembinaan usaha belum dilaksanakan.

- Masih banyak pegawai yang tidak terampil dalam melaksanakan tugasnya

(46)

B. Pencermatan Lingkungan Ekternal Pembinaan Usaha

1. PELUANG (OPPORTUNITY)

a. Meningkatnya permintaan pasar domestik dan luar negeri

- Jumlah penduduk cenderung meningkat

- Industri dalam negeri semakin berkembang

- Meningkatnya daya beli masyarakat.

b. Adanya kelembagaan usaha/assosiasi komoditi yang mendukung pengembangan usaha perkebunan

- Adanya peran assosiasi dalam stabilisasi pasar komoditi perkebunan.

- Bersama pemerintah berperan dalam menangkal isu lingkungan.

- Ikut berperan dalam memfasilitasi penanganan gangguan usaha perkebuan dan konflik.

- Turut serta memberi masukan terhadap penyusunan kebijakan pemerintah.

c. Potensi dan minat pelaku usaha/investor untuk pengembangan usaha perkebunan masih tinggi

- Kelembagaan usaha perkebunan (Perusahaan perkebunan besar, Koperasi, Asosiasi dan Dewan Komoditas, serta petani/pekebun) sebagai pelaku usaha jumlahnya cukup banyak.

- Pengajuan izin usaha perkebunan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah jumlahnya semakin meningkat.

(47)

38

- Masyarakat sangat antusias untuk berinvestasi di bidang usaha perkebunan baik penanaman baru maupun peremajaan dan rehabilitasi (program revitalisasi, bantuan sosial, swadaya).

d. Potensi sumber daya alam yang masih tersedia

- Potensi usaha perkebunan masih layak (feasible).

- Luas areal yang masih cukup tersedia;

- Bahan tanaman cukup tersedia dan beragam;

- Sarana produksi cukup tersedia;

- Sumber daya air mencukupi

e. Potensi teknologi untuk pengembangan usaha perkebunan tersedia

- Tersedianya teknologi budidaya perkebunan berkelanjutan.

- Penelitian tentang teknologi budidaya perkebunan berkelanjutan terus dikembangkan.

- Adanya lembaga puslit dan balit yang mengembangkan teknologi di bidang usaha perkebunan.

- Akses terhadap teknologi semakin mudah (web site, email, dll)

(48)

2. ANCAMAN (THREATS)

a. Penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan melibatkan berbagai pihak/instansi terkait.

- Hasil penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan belum bisa di terima oleh beberapa pihak/instansi terkait.

- Lingkup kegiatan penanganan gangguan usaha perkebunan menyangkut tugas dan wewenang berbagai instansi/lembaga.

- Belum ada persepsi yang sama dalam pemahaman dan penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Data dan informasi tentang usaha dan gangguan usaha perkebunan belum optimal

- Data dan informasi pusat dan daerah sering berbeda

- Data dan informasi yang tersedia tidak akurat

- Penyampaian data dan informasi antar instansi dan antar pusat dan daerah kurang lancar

- Pemutakhiran data belum berjalan secara teratur dan berkesinambungan.

c. Pelaksanaan perizinan usaha belum sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku

- Banyaknya tumpang tindih izin lokasi usaha

- Sering terjadinya konflik antar pelaku usaha perkebunan dan di luar usaha perkebunan

- Reformasi birokrasi belum berjalan sebagaimana mestinya (waktu pengurusan masih panjang, biaya tinggi, dll)

(49)

40

- Belum sepenuhnya sinergi antara kebijakan Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota

d. Belum optimalnya pemahaman dan harmonisasi peraturan dan kebijakan di pusat dan daerah

- Banyak peraturan daerah yang tidak sinkron dengan peraturan yang berada di hirarki atasnya

- Penerapan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di daerah berbeda-beda

- Adanya konflik kepentingan di masing-masing daerah yang bersifat kelompok dan/atau golongan

- Peraturan perundang-undangan yang ada belum dijabarkan ke dalam bentuk peraturan yang lebih rinci di tiap daerah (perda, pedoman, juklak, dan juknis)

e. Adanya isu lingkungan dan kampanye negatif tentang produk perkebunan di pasar Internasional

- LSM/NGO melakukan kampanye negatif tentang perusakan lingkungan dalam usaha perkebunan, seperti deforestasi, perusakan habitat satwa liar, menurunnya keanekaragaman hayati, penyerapan air tanah, dll

- Persepsi antar berbagai instansi/lembaga terkait terhadap peraturan dan ketentuan tentang lingkungan hidup belum sama

- Adanya persaingan bisnis antara usaha perkebunan dengan usaha lainnya terutama untuk produk minyak kelapa sawit

(50)

3.3. Analisis Faktor-faktor Strategis dan Kunci Keberhasilan (KAFI/KAFE)

Berdasarkan PLI dan PLE dilakukan pembobotan faktor-faktor internal dan eksternal dan dilandasi skalaprioritas yang tercermin dalam rating untuk merumuskan Kesimpulan Analisis Faktor Internal (KAFI) dan Kesimpulan Analisis FaktorEksternal (KAFE) sebagai berikut :

Tabel 4. Analisis Faktor-Faktor Strategis dan Kunci Keberhasilan Pascapanen

No Faktor Internal Bobot Rating

Score

A Tersedianya landasan hukum yang

mendukung penanganan pascapanen.

12 7 84 II

B Tersedianya jumlah

SDM yang mencukupi. 5 3 15 IV

C Tersedianya sarana dan prasarana pendukung

pelaksanaan kegiatan.

3 2 6 V

(51)

42

G Disiplin pegawai masih

kurang 14 8 112 III

I Penyiapan perumusan penanganan

pascapanen belum optimal

15 9 135 I

J Masih rendahnya peningkatan

A Tersedianya alat dan mesin pascapanen

C Tersedianya pakar dan peneliti pascapanen perkebunan

(52)

D Petani pekebun memiliki

minat/keinginan yang tinggi dalam

penerapan teknologi pascapanen

17 9 153 I

E Adanya kelembagaan usaha /Asosiasi petani yang mendukung dalam penanganan pascapanen.

7 4 28 IV

Tantangan (Threats) -

F Belum optimalnya sinergitas program antar institusi dan antara pusat dan daerah.

7 4 28 IV

G Teknologi pascapanen yang tersedia belum

sesuai kebutuhan 11 6 66 II

H Insentif harga bagi produk bermutu belum

proporsional 13 7 91 I

I Belum optimalnya harmonisasi peraturan dan kebijakan pusat dan daerah

9 5 45 III

J Adanya pasar global, isu lingkungan dan kampanye negative tentang produk perkebunan di pasar internasional

2 1 2 V

(53)

44 Tabel 5. Analisis Faktor-faktor Strategis dan Kunci Keberhasilan

Pembinaan Usaha

No. Faktor Internal Bobot Rating

Score

A Tersedianya landasan hukum yang

mendukung pembinaan usaha

12 7 84 III

B Tersedianya jumlah

SDM yang mencukupi. 4 2 8 IV

C Tersedianya sarana dan prasarana pendukung

pelaksanaan kegiatan.

2 1 2 V

(54)

H Masih lemahnya koordinasi lintas institusi baik internal maupun eksternal

14 8 112 II

I Penyiapan perumusan

bimbingan dan

penanganan gangguan usaha belum optimal

16 9 144 I

J Masih rendahnya peningkatan

B Adanya kelembagaan usaha/assosiasi

D Potensi Sumber Daya Alam yang masih

tersedia 17 9 153 I

E Potensi Teknologi untuk pengembangan

(55)

46

Tantangan (Threats)

F Penanganan gangguan usaha perkebunan harus melibatkan banyak instansi terkait ditingkat pusat dan daerah.

8 4 32 IV

G Data dan informasi tentang usaha dan gangguan usaha perkebunan belum optimal

11 6 66 II

H Pelaksanaan perizinan usaha belum sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku

11 6 66 III

I Belum optimalnya pemahaman dan harmonisasi peraturan dan kebijakan di pusat dan daerah

13 7 91 I

J Adanya pasar global, isu lingkungan dan kampanye negative tentang produk perkebunan di pasar internasional

2 1 2 V

(56)

3.4. Kesimpulan Analisis Faktor Internal-Eksternal

Berdasarkanperumusan KAFI/KAFE diperoleh faktor-faktor lingkungan internal dan lingkungan eksternal yang sangat mempengaruhi kinerja Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha, yaitu :

3.4.1. Kesimpulan Analisis Faktor Internal-Eksternal

Pascapanen

1. Tersedianya norma, standar, prosedur, kriteria, pedoman umum, pedoman teknis dan kebijakan.

2. Tersedianya landasan hukum tentang penanganan pascapanen.

3. Tersedianya jumlah SDM yang mencukupi.

4. Penyiapan perumusan penanganan pascapanen belum optimal.

5. Masih lemahnya koordinasi lintas institusi baik internal maupun eksternal.

6. Kompetensi dan kemampuan SDM belum memadai. 7. Meningkatnya permintaan pasar domestik dan luar negeri

untuk produk perkebunan yang berkualitas dan ramah lingkungan

8. Tersedianya pakar dan peneliti pascapanen perkebunan

9. Tersedianya teknologi pascapanen yang memadai.

10. Tingkat adopsi petani terhadap teknologi masih belum optimal.

11. Belum optimalnya sinergitas program antar institusi dan antara pusat dan daerah.

(57)

48

3.4.2. Kesimpulan Analisis Faktor Internal-Eksternal

Pembinaan Usaha

1. Tersedianya norma, standar, prosedur, kriteria, pedoman umum, pedoman teknis dan kebijakan.

2. Tersediannya roadmap komoditas utama dan Renstra Pengembangan Perkebunan.

3. Tersedianya landasan hukum yang mendukung pembinaan usaha perkebunan

4. Penyiapan perumusan bimbingan dan penanganan gangguan usaha belum optimal.

5. Masih lemahnya koordinasi lintas institusi baik internal maupun eksternal.

6. Masih adanya peraturan perundangan yang belum sinkron dalam penerapannya

7. Potensi sumberdaya alam yang masih tersedia.

8. Potensi dan minat pelaku usaha/investor untuk pengembangan usaha perkebunan masih tinggi.

9. Adanya kelembagaan usaha/assosiasi komoditi yang mendukung pengembangan usaha perkebunan.

10. Belum optimalnya pemahaman dan harmonisasi peraturan dan kebijakan di pusat dan daerah.

11. Data dan informasi tentang usaha dan gangguan usaha perkebunan belum optimal.

12. Pelaksanaan perizinan usaha belum sesuai dengan perturan dan ketentuan yang berlaku.

(58)

Tabel 6. Analisis SWOT untuk ASAP Pascapanen

KEKUATAN/STRENGTHS KELEMAHAN/WEAKNESSES 1 Tersedianya norma,

standar, prosedur, kriteria, pedoman umum, pedoman teknis dan kebijakan.

1 Penyiapan perumusan penanganan pascapanen belum optimal

2 Tersedianya landasan hukum tentang penanganan

pascapanen.

2 Masih lemahnya koordinasi lintas institusi baik internal maupun eksternal

3 Tersedianya jumlah SDM yang domestik dan luar negeri untuk produk perkebunan yang berkualitas dan ramah lingkungan

1 Memanfaatkan SDM yang ada dalam upaya meningkatkan mutu hasil pertanian untuk menjawab permintaan pasar domestik dan luar negeri akan produk perkebunan yang berkualitas dan ramah lingkungan

2 Memanfaatkan sumber daya manusia yang tersedia untuk melakukan koordinasi dengan kelembagaan usaha/ asosiasi petani

2 meningkatkan koordinasi lintas institusi (internal/ eksternal) dalam rangka memenuhi permintaan pasar domestik dan luar negeri yang semakin meningkat

3 Tersedianya teknologi pascapanen yang memadai

3 Meningkatkan peranan pakar dan peneliti

(59)

50 adopsi petani terhadap teknologi

1 Meningkatkan kompetensi dan kemampuan SDM untuk memfasilitasi petani dalam meningkatkan adopsi teknologi

2 Belum optimalnya sinergitas program antar institusi dan antara pusat dan daerah. institusi dan antara pusat dan daerah

2 Meningkatkan koordinasi lintas institusi dalam rangka meningkatkan adopsi petani terhadap teknologi

3 Menerapkan peraturan dan perundangan (landasan hukum ) untuk menjawab pasar glbal, isu lingkungan dan kampanye negatif tentang produk perkebunan di pasar internasional

(60)

Tabel 7. Analisis SWOT Untuk ASAP Pembinaan Usaha

INTERNAL

EXSTERNAL

Strengths (kekuatan)

1.Tersedianya norma, standar, prosedur, kriteria, pedoman umum, pedoman teknis dan kebijakan.

Weaknesses (kelemahan)

1. Penyiapan perumusan bimbingan dan institusi baik internal maupun eksternal.

3. Tersedianya landasan hukum yang mendukung

(61)

52

1. Belum optimalnya pemahaman dan harmonisasi

peraturan dan kebijakan di pusat dan daerah.

2. Meningkatkan Potensi dan minat pelaku usaha/investor untuk pengembangan usaha perkebunan sesuai norma, standar, prosedur, kriteria, pedoman umum, pedoman teknis dan kebijakan.

3. Meningkatkan peranan kelembagaan

usaha/assosiasi komoditi sesuai dengan landasan hukum yang mendukung pembinaan usaha. dan kebijakan yang telah ditetapkan.

2. Meningkatkan

(62)

2. Data dan informasi

2. Mengoptimalkan data dan informasi tentang usaha dan gangguan sesuai dengan landasan hukum yang mendukung pembinaan usaha.

2. Meningkatkan koordinasi lintas institusi baik internal maupun eksternal dalam tabel 8 dan 9 sebagai berikut :

Tabel 8. Analisis Faktor Kunci Keberhasilan (FKK)

Pembinaan Usaha 1 Memberdayakan Potensi

sumberdaya alam yang masih tersedia sesuai dengan roadmap komoditas utama dan Renstra Pengembangan Perkebunan yang tersedia.

(63)

54 2

Meningkatkan Potensi dan minat pelaku usaha/investor untuk pengembangan usaha perkebunan sesuai norma, standar, prosedur, kriteria, pedoman umum, pedoman teknis dan kebijakan.

3 0 3 2 2 3 3 3 2 2 2 25 = VI

3

Meningkatkan peranan kelembagaan usaha/assosiasi komoditi sesuai dengan landasan hukum yang dan harmonisasi peraturan dan kebijakan di pusat dan daerah melalui sosialisasi landasan hukum yang mendukung pembinaan usaha dan mengacu kepada norma, standar, prosedur, kriteria, pedoman umum, pedoman teknis dan kebijakan yang telah ditetapkan.

3 0 3 3 3 3 3 3 3 3 2 29 = II

2

Mengoptimalkan data dan informasi tentang usaha dan gangguan usaha perkebunan dengan memanfaatkan roadmap komoditas utama dan Renstra Pengembangan Perkebunan.

2 0 2 2 2 3 2 3 3 2 3 24 = VII

3

Mengoptimalkan pelaksanaan perizinan sesuai dengan landasan hokum yang mendukung pembinaan usaha.

(64)

Strategi perumusan bimbingan usaha dan penanganan gangguan usaha untuk pemberdayaan potensi dan peningkatan minat pelaku usaha/investor untuk pengembangan usaha perkebunan.

3 0 2 3 2 3 3 3 2 3 3 27 = IV

2

Meningkatkan koordinasi lintas institusi baik internal maupun eksternal dalam mendukung penguatan kelembagaan usaha/assosiasi komoditi usaha perkebunan.

2 0 2 2 2 2 3 3 1 2 2 21 = X

3

Meningkatkan sinkronisasi penerapan peraturan perundangan dalam mendukung pemberdayaan potensi sumber daya alam yang perumusan bimbingan dan penanganan gangguan usaha melaui pemahaman dan harmonisasi peraturan dan kebijakan di pusat dan daerah.

3 0 3 3 3 3 3 3 3 3 3 30 = I

2

Meningkatkan koordinasi lintas institusi baik internal maupun eksternal melaui forum dialog dan pertukaran dan pemutakhiran data dan informasi tentang usaha dan gangguan usaha perkebunan.

Gambar

Tabel 1. Jumlah Petugas Penilai Perkebunan
Gambar 1. Struktur
Tabel 4. Analisis Faktor-Faktor Strategis dan Kunci Keberhasilan
Tabel 6. Analisis SWOT untuk ASAP Pascapanen
+6

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menganalisis data dalam penelitian ini di gunakan analisis data secara deskriptif dengan pendekatan secara kualitatif yang menyajikan data bukan berupa data

kekurangannya.pendapatan dari sumber-sumber lain yang berkaitan dengan proyek atau pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini peningkatan tarif atau juga

Jadi kedepannya tidak akan mengalami kesulitan dalam mengakses repository jika internet mengalami gangguan, karena sudah memiliki repository sendiri yang dapat akses

Sedangkan misi pendidikan nasional adalah: (1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat

Analisis uji beda sifat fisik tanah (porositasas, permeabilitas, BJ, BV, BO, dan Kadar Air) pada berbagai penggunaan lahan (hutan, kebun campuran, permukiman, sawah, dan

Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan outstanding reverse repo yang signifikan selama minggu lalu yaitu sebesar Rp27,1 triliun dan meningkatnya kepemilikan domestik bank

Dari seluruh repair mortar yang diteliti (mortar biasa, mortar dengan bahan tambah polymer dan BASF EMACO Nanocrete) diperoleh hasil bahwa nilai kuat tekan yang

Pembahasan yang akan dilakukan pada penelitian ini merujuk pada penelitian terdahulu yang terkait dengan pengaruh lokasi, promosi, word of mouth, dan kualitas