16 3.1. Sejarah Singkat CSR
Bermula diawal abad ke-19, perusahaan sebagai organisasi bisnis berkembang pesat di Amerika (Suharto 2008d: 2). Kemudian, kebijakan publik secara tegas merubah lingkup sosial yang mesti direspon perusahaan secara lebih spesifik, seperti kesehatan dan keselamatan kerja (K3), jaminan sosial pekerja, pelestarian lingkungan, perlindungan konsumen, dll. Perusahaan perlu merespon tuntutan-tuntutan pasar secara sukarela, karena merefleksikan tuntutan-tuntutan moral dan sosial konsumen, di sisi lain juga memiliki tanggungjawab sosial, juga harus patuh terhadap hukum dan kebijakan publik.
Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) sebetulnya sudah muncul sejak lama. Tahun 1933, dalam buku The Modern Corporation and Private Property, dikemukakan bahwa korporasi modern seharusnya mentransformasi diri menjadi institusi sosial, ketimbang institusi ekonomi yang semata memaksimalkan laba. Pemikiran ini dipertajam oleh Peter F Drucker pada tahun 1946, lewat bukunya, The
Concept of Corporation.
Kemudian pada tahun 1953 nama CSR pertama kali digaungkan dalam diskursus resmi akademik Howard R. Bowen dengan bukunya yang berjudul Social Responsibility of the Businessman. Ide dasar yang dikemukakan Bowen mengacu pada kewajiban pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya sejalan dengan nilai- nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat di tempat perusahaannya beroperasi. Prinsip-prinsip yang dikemukakannya mendapat pengakuan publik dan akademisi sehingga Howard R Bowen dinobatkan sebagai “Bapak CSR”. (Susiloadi, 2008 : 124)
Namun pada tahun 1970, ekonom Milton Friedman menjelaskan pandangan yang berbeda tentang CSR. Bahwa tanggungjawab sosial perusahaan adalah menghasilkan keuntungan (profit) dalam batasan moral masyarakat dan hukum. Ia mengingatkan bahwa inisiatif perusahaan untuk menjalankan CSR dapat membuat arah manajemen menjadi tidak fokus, membuat pengelolaan sumber daya menjadi tidak efisien, memperlemah daya saing, serta mempersempit pilihan-pilihan dan kesempatan. Namun seiring waktu berjalan, CSR semakin berkembang dan terus menjadi isu kunci dalam konteks manajemen, pemasaran dan akuntansi di Inggris, Amerika, Eropa, Canada dan negara- negara lain.
Masih didalam konteks global, istilah CSR semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington. (Suharto, 2008a) Publikasi atas bukunya
Kemudian KTT Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep CSR yang bersifat sustainibility development (pembangunan berkelanjutan) adalah aspek yang harus diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan korporat yang kekuatan kapitalnya semakin “menggila”. Lewat riset yang dilakukan James Collins
dan Jerry Porras dalam Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies yang mereka luncurkan di tahun 1994, dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang bertahan hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak uang semata. (http://www.ppm- manajemen.ac.id/index.php?wb=11&mib=highlights.detail&id=9)
3.2. Tren Perkembangan CSR
Diawal perkembangannya, bentuk CSR yang umum adalah pemberian bantuan terhadap masyarakat miskin juga organisasi lokal di sekitar perusahaan. Pendekatan CSR yang berdasarkan motivasi karitatif dan kemanusiaan ini pada umumnya dilakukan secara sementara, parsial, dan tidak melembaga. CSR pada tataran ini hanya sekadar do good dan to look good, berbuat baik agar terlihat baik. (Suharto, 2008a).
Sumber: Suharto (2006 : 5)
Dilihat dari perspektif pembangunan yang lebih luas, CSR terlibat pada kontribusi perusahaan terhadap konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni “pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan generasi saat ini tanpa mengabaikan kebutuhan generasi masa depan.” Prinsip-prinsip good corporate
governance, seperti fairness, transparency, accountability, dan responsibility kemudian menjadi pijakan untuk mengukur keberhasilan program CSR.
Dalam konteks empowerment (pemberdayaan), CSR merupakan bagian dari policy perusahaan yang dijalankan secara profesional dan melembaga. CSR kemudian identik dengan CSP (corporate social policy), yakni strategi dan roadmap perusahaan yang mengintegrasikan tanggung jawab ekonomis korporasi dengan tanggung jawab legal, etis, dan sosial sebagaimana konsep piramida CSR- nya Archie B. Carol (Suharto, 2007a) .
Gambar 3.1. Triple Bottom Lines dalam CSR
Profit
(Keuntungan Bersama)
Planet
(Keberlanjutan Lingkungan
Hidup)
People
(Kesejahteraan
Konsep triple bottom line (3P) kemudian berkembang dengan adanya ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility. Secara langsung standar ini akan memberikan warna baru dalam definisi dan implementasi bentuk CSR.
Berdasarkan ISO 26000, CSR sangat berkait dengan tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh (http://www.mediaqitafoundation.org/Mediaqita_Foundation/CSR.html).
Sumber : Alois A. Nugroho, Kompas, 2006 dalam Hartono, 2009
Gambar 3.2. Skema Quadruple Bottom Line dalam pelaksanaan CSR
Terkait dengan hal tersebut, maka implementasi CSR dengan konsep 4P ini selaras dengan konsep dalam ISO 26000. Konsep planet secara luas akan berkaitan dengan aspek the environment. Konsep people di dalamnya merujuk pada konsep social development dan human rights yang tidak hanya menyangkut kesejahteraan ekonomi masyarakat (seperti pemberian modal usaha, pelatihan keterampilan kerja) tetapi akan banyak bersentuhan dengan kesejahteraan sosial (semisal pemberian jaminan sosial, penguatan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan pendididikan, penguatan kapasitas lembaga- lembaga sosial dan kearifan lokal). Sedangkan konsep procedure bisa mencakup konsep organizational governance (tata kelola organisasi), Praktek ketenagakerjaan (labor practices), Praktek
Profit
Planet People
pelaksanaan yang adil (fair operating practices), dan issu- issu konsumen (consumer issues) yang termasuk didalamnya adalah komunitas dan masyarakat.
Jika dilihat dari motivasinya, ada beberapa motivasi perusahaan melakukan CSR. Saidi (2004 : 69) membuat matriks yang kemudian dikembangkan Suharto yang menggambarkan tiga tahap atau paradigma yang berbeda.
1. Tahap pertama adalah corporate charity, yakni dorongan amal berdasarkan motivasi keagamaan.
2. Tahap kedua adalah corporate philantrophy, yakni dorongan kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan memperjuangkan kemerataan sosial.
3. Tahap ketiga adalah corporate citizenship, yaitu motivasi kewargaan demi mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip keterlibatan sosial
Kalau dipetakan, tampaklah bahwa gambaran paradigma CSR bermetamorfosis dari “sekadar menjalankan kewajiban” hingga “demi kepentingan bersama” atau dari “membantu dan beramal kepada sesama” menjadi
“memberdayakan sesama”.
Pada umumnya perusahaan melakukan CSR didorong oleh 3 motivasi yaitu motivasi karitatif, motivasi kemanusiaan dan motivasi kewargaan (Tabel 1).
Tabel 3.1. : Motivasi CSR
Motivasi Tahapan/Paradigma
Karitatif Filantropis Kewargaan
Semangat/Prinsip Agama, Tradisi, adat
Norma, etika dan hukum universal: redistribusi kekayaan
Pencerahan diri dan rekonsiliasi dengan ketertiban sosial
Misi Mengatasi masalah
sesaat/saat itu Menolong sesama;
Mencari dan mengatasi akar masalah;
memberikan kontribusi kepada masyarakat
Pengelolaan Jangka pendek dan parsial Terencana, terorganisasi, terprogram Terinternalisasi dalam kebijakan perusahaan
Pengorganisasian Kepanitiaan Yayasan/Dana Abadi
Profesional: keterlibatan tenaga-tenaga ahli di bidangnya
Penerima Manfaaat Orang miskin Masyarakat Luas Masyarakat Luas dan perusahaan
Kontribusi Hibah sosial Hibah pembangunan
Hibah sosial maupun pembangunan dan keterlibatan sosial Inspirasi Kewajiban Kemanusiaan Kepentingan bersama Sumber : Dikembangkan Suharto (2006 : 7) dari Saidi dan Abidin
Corporate Citizenship merupakan suatu cara pandang perusahaan dalam bersikap dan
berperilaku ketika berhadapan dengan pihak lain, misalnya pelanggan , pemasok, masyarakat,
Citizenship (GCC) adalah sebagai salah satu cara untuk memperbaiki reputasi perusahaan, meningkatkan keunggulan kompetitif serta membantu memperbaiki kualitas hidup manusia (Harian BISNIS INDONESIA : 7).
Sekarang ada banyak perusahaan yang mulai perubahan pendekatan dari sifat karitatif menjadi kewargaan, karena konsep kewargaan dianggap mampu meningkatkan keberdayaan atau kapasitas masyarakat local juga karena dianggap lebih mendekati konsep pemberdayaan (empowerment) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
(http://publiknasional.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1325:2 012-csr-kemitraan-telkom- lebih- fokus-bina-cluster&catid=36:jawa-timur).
Implementasi dari konsep kewargaan salah satunya adalah Community Development (I) dan Community Organizing (CO). Meskipun mirip, Comdev dapat
dibedakan dengan CO.
Dilihat dari motivasi dan paradigma CSR di atas, maka sesungguhnya pendekatan ComDev merupakan satu bentuk CSR yang lebih banyak didorong oleh motivasi kewargaan (citizenship), meskipun pada beberapa aspek lain masih diwarnai oleh motivasi filantropis (Saidi dan Abidin dalam Suharto, 2006). Dikatakan masih berbau filantropis karena dalam sejarahnya, karena ComDev lebih sering diterapkan pada masyarakat pedesaan di negara- negara berkembang. Karena permasalahan sosial utama di negara ini adalah kemiskinan massal dan struktural, maka dalam praktiknya ComDev lebih sering diwujudkan dalam bentuk “pengembangan ekonomi masyarakat” atau Community Economic Development (Suharto, 2008; Suharto, 2006;
Ife 1995 dalam Suharto 2009 : 5).
difokuskan pada kegiatan-kegiatan pembangunan lokal di sebuah pemukiman atau wilayah yang relatif kecil. Program-programnya biasanya berbentuk usaha ekonomi mikro atau perawatan kesehatan dasar, pemberantasan buta aksara, peningkatan kesadaran dan partisipasi politik warga yang bersifat langsung dirasakan oleh penduduk setempat.
Pemberdayaan masyarakat ini pada dasarnya merupakan kegiatan terencana dan kolektif dalam memperbaiki kehidupan masyarakat yang dilakukan melalui program peningkatan kapasitas orang, terutama kelompok lemah atau kurang beruntung (disadvantaged groups). Meskipun pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan terhadap semua kelompok atau kelas masyarakat, namun pada umumnya pemberdayaan dilakukan terhadap kelompok masyarakat yang dianggap lemah atau kurang berdaya yang memiliki karakteristik lemah atau rentan dalam beberapa hal atau aspek (Suharto, 2006).
Selanjutnya, melalui program-program pelatihan, pemberian modal usaha, perluasan akses terhadap pelayanan sosial, dan peningkatan kemandirian, proses pemberdayaan diarahkan agar kelompok lemah tersebut memiliki kemampuan atau keberdayaan. Ada beberapa tahapan proses pemberdayaan masyarakat. Mulai dari menentukan populasi atau kelompok sasaran; mengidentifikasi masalah dan kebutuhan kelompok sasaran; merancang program kegiatan dan cara-cara pelaksanaanya; menentukan sumber pendanaan; menentukan dan mengajak pihak-pihak yang akan dilibatkan; melaksanakan kegiatan atau mengimplementasika n program; hingga memonitor dan mengevaluasi kegiatan.
Sedangkan Community Organizing (CO) dijelaskan dalam Suharo (2009 : 5) pada hakikatnya merupakan sebuah proses dengan mana warga masyarakat didorong agar bekerjasama untuk bertindak berdasarkan kepentingan bersama. Makna “pengorganisasian” menegaskan segala kegiatan yang melibatkan orang berinteraksi
dengan orang lain secara formal. Gerakan atau aksi-aksi sosial CO biasanya melalui pembentukan kelompok masa, dan kemudian memobilisasi para anggotanya unt uk bertindak, mengembangkan kepemimpinan, serta relasi diantara mereka yang terlibat.
pendidikan warga yang merayakan pluralisme, kesetaraaan dan partisipasi publik. CO seringkali melibatkan kegiatan-kegiatan advokasi atau aksi sosial yang melibatkan pengorganisasian masyarakat (CO) dan menuntut adanya perubahan kebijakan publik dan menyentuh konteks politik.
Program-program CO juga bermacam- macam, seperti perumusan dan pengusulan naskah kebijakan (policy paper) mengenai pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis, pengusulan draft Peraturan Daerah tentang perlindungan sosial warga miskin, advokasi upah buruh yang manusiawi, peningkatan kesadaran akan bahaya HIV/AIDS, pengarusutamaan jender dan kesetaraan sosial, perlindungan anak, penanganan KDRT, dst.
Singkatnya, jika CD menanggulangi kemiskinan melalui pemberian kredit dan pelatihan ekonomi mikro, maka CO menanggulangi kemiskinan dengan mendidik warga agar membentuk organisasi massa atau forum warga, sehingga mereka mampu bertindak melawan status quo, kaum pemodal rentenir, atau kebijakan pemerintah yang dirasakan tidak adil dan menindas.
bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, konsep PM dirasa lebih tepat dan sesuai dengan karakteristik mereka.
Dalam lingkup Pekerjaan Sosial, PM didefinisikan sebagai proses penguatan masyarakat yang dilakukan secara aktif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan sosial, partisipasi dan kerjasama yang setara (Suharto, 2008; Suharto, 2006; Ife, 1995; Netting, Kettner dan McMurtry, 1993; DuBois dan Milley, 1992 da lam Suharto 2009 : 2). PM adalah strategi Pekerjaan Sosial dengan mana anggota masyarakat didorong agar memiliki kepercayaan diri dan kemampuan untuk memperbaiki kehidupannya. Target utama PM pada umumnya adalah kelompok miskin dan lemah yang tidak memiliki akses kepada sumber pembangunan, meskipun tidak menutup kemungkinan kelompok lain untuk berpartisipasi.
PM memiliki tujuan utama yaitu memberdayakan individu- individu dan kelompok-kelompok orang melalui penguatan kapasitas (termasuk kesadaran, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan) yang diperlukan untuk mengubah kualitas kehidupan komunitas mereka.
PM tidak seperti pendekatan “cetak biru” (blue print) sekali jadi. Melainkan
kapasitas agar mampu mengakses sumber-sumber yang ada di dalam maupun diluar komunitasnya.
Sayangnya, menurut argumen dalam bukunya “Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat”, Suharto (2006) berpendapat bahwa terjadi penyimpangan
dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Penyimpangan yang dimaksud adalah pendekatan yang diterapkan seringkali terlalu terkesima (untuk tidak menyatakan sangat mengagungkan) konteks lokal. Sistem sosial yang lebih luas seperti pembangunan sosial, kebijakan sosial, relasi kekuasaan, ketidakad ilan jender, ekslusifisme, pembelaan hak- hak publik, dan kesetaraaan sosial seringkali kurang mendapat perhatian.
Komunitas lokal dianggap seakan entitas sosial yang vacuum dan terpisah dari dinamika dan pengaruh sosial yang mengitarinya. Penyempitan makna pemberdayaan masyarakat semacam ini, antara lain, bisa dilihat dari dominannya program-program PM yang bermatra usaha ekonomi produktif berskala mikro seperti dikatakan Suharto yaitu “warungisasi” (setiap kelompok sasaran atau warga binaan dilatih atau diberi modal agar dapat membuka warung) atau “kambingisasi”
(pemberian kambing kepada kelompok miskin untuk dikelola secara kelompok).
pemberdayaan masyarakat bukan saja akan kurang efektif, melainkan pula tidak akan berkelanjutan.
Tak hanya “terjebak dalam lokalitas” seperti ditunjukkan diatas, tetapi
kegagalan PM juga disebabkan oleh adanya bias-bias yang menghinggapi perencanaan dan pelaksanaan PM. Dalam buku Rural Development: Putting the Last First (1985) oleh Robert Chambers dan buku “Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di Indonesia” (2004) oleh Suharto, dikatakan ada
10 bias dalam PM. Seperti yang dikemukakan dalam Tabel 3.2. Tabel 3.2. Jenis-jenis Bias No Jenis Bias Penjelasan
1 Bias perkotaan
PM cenderung banyak di laksanakan di wilayah perkotaan. Sementara itu
daerah-daerah perdesaan seringkali terabaikan.
2. Bias jalan utama
PM lebih banyak dilakukan di wilayah-wilayah yang dekat dengan jalan
utama. Daerah-daerah terpencil yang jauh dari jalan raya kurang
menarik perhatian karena sulit d ijangkau dan ku rang terekpose media massa.
3.
Bias musim
kering.
Masyarakat seringkali mengalami masalah kekurangan pangan dan
penyebaran penyakit pada saat mus im hujan dan banjir. Namun, p
rogram-program PM kerap dilaku kan pada saat musim kering ketika mobil para
“development tourist” mudah menjangkau lokasi dan sepatu mengkilat
mereka tidak mudah terperosok lu mpur.
4.
Bias
pembangunan
fisik.
Donor dan aktivis PM lebih menyukai melaksanakan program
5.
Bias modal
finansial.
Saat melakukan needs assessment dan Participatory Rural Appraissal
(PRA), baik anggota masyarakat maupun para akt ivis PM tidak jarang
terjebak pada pemberian prioritas yang tinggi pada perlunya penguatan
modal finansial (kredit mikro, simpan pin jam). Padahal dalam kondisi
modal sosial yang tipis, kemungkinan terjadinya korupsi, pemotongan dana,
dan pemalsuan nama orang-orang miskin, sangat besar.
6. Bias aktivis
Program PM seringkali diberikan pada “orang-orang itu saja” yang relatif
lebih menonjol dan aktif dalam menghadiri pertemuan,
mengemukakan pendapat dan mengikuti berbagai kegiatan di wilayahnya.
Kecenderungan kepada “good persons” ini menyebabkan “silent majority”
men jadi terabaikan.
7. Bias proyek.
Program PM diterapkan berulangkali pada wilayah-wilayah yang sering
menerima proyek, karena dianggap telah mampu men jalankan kegiatan
dengan baik. Daerah-daerah yang dikategorikan “good locations” ini
biasanya menjadi target rut in pelaksanaan proyek-proyek percontohan.
8.
Bias orang
dewasa.
Anak-anak dan kelo mpok lanjut usia yang pada umu mnya dianggap
kelompok “minoritas” jarang tersentuh program PM. Mereka jarang
dilibatkan dalam identifikasi kebutuhan dan perencanaan program,
apalagi dimasukan sebagai penerima program.
9. Bias laki-laki.
Di daerah-daerah terpencil di Indonesia, laki-laki pada u mu mnya lebih
sering terlibat dalam kegiatan PM ketimbang perempuan.
10
Bias orang
“normal”.
Para penyandang cacat, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus
jarang tersentuh program PM. Mereka dipandang kelo mpok yang
tidak “normal”.
Dalam mengatasi tragedi PM diperlukan perumusan dan pengembangan platform kebijakan dalam tataran yang lebih luas dan holistik. Perumusan Kebijakan Sosial yang tepat merupakan strateginya. Kebijakan Sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan Publik. Kebijakan Sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu- isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak.
Secara konseptual, tren perkembangan CSR dijelaskan secara sederhana dalam skema dibawah.
Gambar 3.3 : Skema Konseptual Tren Perke mbangan CSR di Indonesia
Motivasi CSR
Charity
Community Development
Kewargaan Filantropi
Community Organizing
Karitatif Pemberdayaan
dan pembangunan berkelanjutan
3.2.1. Implementasi CSR di Indonesia
Implementasi CSR merupakan perwujudan komitmen yang dibangun oleh perusahaan untuk memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas kehidupan masyarakat (Susiloadi, 2008 : 124)
CSR sangat relevan diterapkan oleh dunia usaha di Indonesia. Selain karena kebijakan sosial dan kebijakan kesejahteraan di Indonesia cenderung bernuansa residual dan parsial (tidak melembaga dan terintegrasi dengan sistem perpajakan seperti halnya di negara-negara yang menganut welfare state), mayoritas masyarakat Indonesia masih hidup dalam kondisi serba kekurangan. (Suharto, 2006)
Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (corporate social activity) atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara implementasinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “kontribusi” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan.
Keragaman kegiatan dan pengelolaannya semakin bervariasi, dilihat dari kontribusi finansial, jumlahnya semakin besar. Pada tahun 2001 PIRAC melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa dana CSR di Indonesia mencapai lebih dari 115 miliar rupiah atau sekitar 11,5 juta dollar AS dari 180 perusahaan yang dibelanjakan untuk 279 kegiatan sosial yang terekam oleh media massa. Angka rata-rata perusahaan yang menyumbangkan dana bagi kegiaran CSR adalah sekitar 640 juta rupiah atau sekitar 413 juta per kegiatan. Mesk ipun dana ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan dana CSR di Amerika Serikat, dilihat dari angka kumulatif tersebut, perkembangan CSR di Indonesia cukup menggembirakan. Sebagai perbandingan, di AS porsi sumbangan dana CSR pada tahun 1998 mencapai 21,51 miliar dollar dan tahun 2000 mencapai 203 miliar dollar atau sekitar 2,03 triliun rupiah (Saidi dan Abidin dalam Suharto 2007 : 6)
Lewat konsep investasi sosial perusahaan, sejak tahun 2003, Departemen Sosial adalah lembaga pemerintah yang aktif dala m mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari landasan filosofis bahwa kegiatan perusahaan membawa dampak (baik maupun buruk) bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi.
Model pelaksaan CSR pun bermacam- macam. Paling tidak ada empat model pelaksanaan CSR yang umum digunakan di Indonesia. Keempat model tersebut antara lain:
1. CSR yang dilaksanakan langsung oleh perusahaan
Perusahaan melakukannya sendiri tanpa melalui perantara atau pihak lain. Perusahaan memiliki satu divisi tersediri atau bisa juga digabung dengan divisi yang lain yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan sosial perusahaan termasuk CSR. Perusahaan juga bisa menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manajer atau menjadi bagian dari tugas divisi human resource development atau public relations. (Susiloadi, 2008: 128)
2. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan.
Yayasan Dharma Bhakti Astra, Yayasan Sahabat Aqua, Danamon peduli, dan Samporna Foundation,
3. Menjalankan CSR melalui kerjasama atau bermitra dengan pihak lain. Perusahaan menjalin kerjasama dengan pihak lain seperti perguruan tinggi, lembaga pemerintah, LSM dan organisasi lainnya. Kerjasama dapat dilakukan dalam mengelola maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. Beberapa lembaga sosial/Ornop yang bekerjasama dengan perusahaan dalam menjalankan CSR antara lain adalah Palang Merah Indonesia (PMI), Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Dompet Dhuafa; instansi pemerintah (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/Lipi, Depdiknas, Depkes, Depsos); universitas (UI, ITB, IPB); media massa (DKK Kompas, Kita Peduli Indosiar). Contoh lain adalah Bank Rakyat Indonesia yang memiliki program CSR yang terintegrasi dengan strategi perusahaan dan bekerjasama dengan pemerintah mengeluarkan produk pemberian kredit untuk rakyat atau yang di kenal dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
4. Mendukung atau bergabung dengan suatu konsorsium.
kalangan dan kemudian mengembangkan program yang te lah disepakati. (Susiloadi, 2008 : 128)
Model mana yang dipilih sangat tergantung pada visi dan misi perusahaan, sumberdaya yang dimiliki, serta tuntutan eksternal (misalnya kondisi masyarakat lokal, tekanan pemerintah atau LSM).
Namun dari keempat model diatas, model yang banyak dijalankan selama tahun 2001 adalah model ketiga yakni perusahaan bermitra dengan organisasi sosial atau lembaga lain dengan dana yang teralokasi mencapai 79 miliar rupiah (tabel 3.3).
Tabel 3.3. : CSR be rdasarkan Jumlah Kegiatan dan Dana No Model Jumlah Kegiatan Jumlah Dana (rupiah)
1 2 3 4 Langsung Yayasan Perusahaan
Bermitra dengan Lembaga Sosial
Konsorsium
113 kegiatan (40,5%)
20 Keg iatan (7,2%)
144 kegiatan (51,6%)
2 kegiatan (0,7%)
14,2 miliar (12,2%)
20,7 miliar (18%)
79 miliar (68,5%)
1,5 miliar (1,3%)
Jumlah total 279 kegiatan 115,3 miliar
Sumber : Saidi dan Abidin (2004 : 66) dalam Suharto (2006 : 9)
Pada tabel 3.4 akan diperlihatkan mengenai jenis kegiatan CSR dilihat dari jumlah kegiatan dan jumlah dana yang dikeluarkan.
Tabel 3.4. : Jenis Kegiatan CSR be rdasarkan Jumlah Kegiatan dan Dana No Jenis/Sektor Kegiatan Jumlah Kegiatan Jumlah Dana (Rupiah)
1
2
3
4
Pelayanan Sosial
Pendidikan dan Penelit ian
Kesehatan
Kedaruratan (emergency)
95 keg iatan (34,1%)
71 keg iatan (25,4%)
46 keg iatan (16,4%)
30 keg iatan (10,8%)
38 miliar (33,0%)
66,8 miliar (57,9%)
4,4 miliar (3,8%)
5 6 7 8 9 Lingkungan Ekonomi Produktif
Seni, Olah Raga dan Pariwisata
Pembangunan Prasarana dan
Peru mahan
Huku m, Advokasi dan Polit ik
15 keg iatan (5,4%)
10 keg iatan (3,6%)
7 kegiatan (2,5%)
5 kegiatan (1,8%)
0
395 juta (0,3%)
640 juta (0,6%)
1,0 miliar (0,9%)
1,3 miliar (1,0%)
0
Jumlah Total 279 kegiatan 115,3 miliar
Sumber: Saidi dan Abidin (2004:67) dalam Suharto (2006 : 9)
3.2.2. Integrasi CSR dalam Bauran Pe masaran
Bauran pemasaran merupakan seperangkat alat yang dapat digunakan pemasar untuk membentuk karakteristik barang/jasa yang ditawarkan kepada pelanggan (http://frenndw.wordpress.com/2011/01/18/bauran-pemasaran/).
Berdasarkan pandangan klasik „komponen 4P‟ dalam bauran
tetapi lebih ke-“sekali tepuk dua lalat”. Namun dalam beberapa kasus, integrasi CSR tidak selalu sama antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain. Integrasinya berbeda-beda tergantung kebijakan dan kreativitas pemasar di perusahaan tersebut. “4P” dan kaitannya dengan bauran pemasaran
adalah:
(1) Produk : penawaran baik berupa barang maupun jasa yang ditujukan untuk pemuasan kebutuhan. Integrasi CSR dapat dilakukan melalui Produk yang digunakan berasal dari bahan yang ramah lingkungan. Jika jasa, perekrutan karyawan sebagian berasal dari lingkungan sekitar perusahan. Contohnya adalah plastik pembungkus atau sering disebut plastik kresek yang dibuat oleh Alfamart. Plastik yang digunakan lebih cepat terurai dalam tanah.
(2) Harga: bauran pemasaran yang melibatkan komponen yang digunakan dalam mempengaruhi harga. Integrasi CSR dengan harga berkaitan dengan sejumlah rupiah yang dibayarkan oleh pelanggan digunakan untuk kegiatan CSR yang dilakukan perusahaan. Starbucks adalah salah satu perusahaan yang melakukannya.
melalui outlet yang didirikan bekerja sama dengan lingkungan sekitar dalam rangka pemberdayaan dengan branding perusahaan dioutlet tersebut. Beberapa perusahaan rokok seperti PT. HM. Sampoerna dengan Sampoerna Ijonya atau beberapa provider seluler seperti Axix dan XL mendirikan beberapa outlet di desa-desa dengan mencantumkan mereknya.
(4) Promosi: bauran promosi meliputi berbagai metode, yaitu Iklan, Promosi Penjualan, Penjualan Tatap Muka dan Hubungan Masyarakat. Menggambarkan berbagai macam cara yang ditempuh perusahaan dalam rangka menjual produk ke konsumen. Integrasi CSR disini lebih terlihat tebar pesona dengan melakukan kegiatan promosi dan dikaitkan dengan CSR yang dilakukan perusahaan. Bank BNI, Bank Mandiri, PT. Djarum, dan berbagai perusahaan sering melakukan metode ini.
3.3. Faktor yang me mpengaruhi perke mbangan CSR
Perkembangan CSR dipengaruhi oleh fenomena DEAF (yang dalam Bahasa Inggris berarti tuli) di dunia industri. DEAF adalah singkatan dari Dehumanisasi, Emansipasi, Aquariumisasi, dan Feminisasi (Suharto, 2008a: 5):
Dehumanisasi industri.
maupun bagi masyarakat di sekitar perusahaan. Perampingan perusahaan telah menimbulkan gelombang PHK dan pengangguran. Ekspansi dan eksploitasi industri telah melahirkan ketimpangan sosial, polusi dan kerusakan lingkungan yang hebat.
Emansipasi hak-hak publik.
Masyarakat kini semakin sadar akan haknya untuk meminta pertanggung jawaban perusahaan atas berbagai masalah sosial yang seringkali ditimbulkan oleh beroperasinya perusahaan. Kesadaran ini semakin menuntut kepedulian perusahaan bukan saja dalam proses produksi, melainkan pula terhadap berbagai dampak sosial yang ditimbulkannya.
Aquariumisasi dunia industri.
Dunia kerja kini semakin transparan dan terbuka laksana sebuah akuarium. Perusahaan yang hanya memburu profit dan cenderung mengabaikan hukum, prinsip etis dan filantropis tidak akan mendapat dukungan publik. Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat menuntut agar perusahaan seperti ini di tutup.
Feminisasi dunia kerja.
melahirkan, keselamatan dan kesehatan kerja, melainkan pula terhadap timbulnya biaya-biaya sosial, seperti penelantaran anak, kenakalan remaja, akibat berkurangnya atau hilangnya kehadiran ibu- ibu di rumah dan tentunya di lingkungan masyarakat. Pendirian fasilitas pendidikan, kesehatan dan perawatan anak (child care) atau pusat pusat kegiatan olah raga dan rekreasi bagi remaja adalah beberapa bentuk respon terhadap isu ini.
Fenomena DEAF tersebut dipaparkan dalam beberapa data menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan sosial akibat globalisasi. Saat ini dunia menjadi pusat perbelanjaan raksasa dimana kesejahteraan manusia dan kedaulatan negara dipaksa tunduk pada hukum hedonisme dan pasar bebas (Suharto, 2008c). Para penguasa dan pengusaha harus mampu menjaga agar CSR tidak terseret untuk memperkuat realitas ini.
Dalam majalah Bisnis dan CSR edisi Oktober 2007 bertajuk “Regulasi Setengah Hati” diturunkan laporan utama tentang paradoks kejayaan dunia bisnis dan fenomena kemiskinan di aras global (Bisnis dan CSR, 2007: 84-91). Disimpulkan bahwa dunia bisnis kini telah menjelma menjadi institusi paling berkuasa di muka bumi selama setengah abad terakhir ini. ( Suharto, 2008d : 4)
and Development (UNCTAD) dan The World Investment (2002), ditemukan bahwa sekitar 65 ribu korporasi transnasional bersama 850 ribu affiliasi asingnya menguasai 10% total Gros Domestic Product (GDP) dan 33% ekspor dunia (Suharto 2008d : 4). Sejumlah korporasi multinasional memiliki pendapatan sebanding dengan GDP negara maju dan melebihi puluhan negara miskin dan berkembang. Misalnya, penjualan tahunan GDP Denmark sebanding dengan General Motor dan gabungan GDP 180 negara miskin dan berkembang lebih sedikit dibanding omset Exxon Mobil.
Sayangnya, kejayaan perusahaan transnasional tersebut ternyata tidak selaras dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat dunia. Sampai awal abad ini, didalam 5,4 miliar populasi dunia, 24 persennya (1,3 miliar ) terdapat manusia yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari. Diluar itu ada ratusan juta keluarga yang tidak memiliki rumah layak, anak-anak usia sekolah yang tidak mengenyam pendidikan, kekurangan air bersih, ibu- ibu yang meninggal ketika melahirkan, dan bayi-bayi yang tidak sempat melihat dunia saat dilahirkan. Juga belum termasuk kerusakan lingkungan yang disebabkan (baik langsung maupun tidak langsung) oleh beroperasinya perusahaan yang rentetannya mengakibatkan bencana kemanusiaan berkepanjangan.
tersebut. Setahun setelah itu jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58% dari total penduduk Indonesia. Ini berarti jumlah orang miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. (Suharto, 2008a : 5)
Sekilas memang terjadi penurunan, tetapi angka ini tetap saja besar dan melampaui keseluruhan jumlah penduduk negara tetangga seperti Malaysia (25 juta), Australia (12 juta), dan Selandia Baru (4 juta). Jika menggunakan poverty line dari Bank Dunia sebesar US$ 2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar antara 40-60% dari total penduduk. Potret kesejahteraan ini terlihat lebih parah jika dimasukkan para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) yang diberi label oleh Departemen Sosial : Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). (Suharto, 2008a : 5)
Di dalam kelompok ini terdapat jutaan Anak Balita Terlantar; Anak Jalanan, Korban Tindak Kekerasan; Lanjut Usia Terlantar; Penyandang Cacat; Tuna Susila, Pengemis; Gelandangan; Korban Penyalahgunaan Napza; Keluarga Fakir Miskin; Keluarga yang Tinggal di Rumah Tak Layak Huni; Komunitas Adat Terpencil; Korban Bencana Sosial; Orang dengan HIV/AIDS dan seterusnya. Mereka bukan saja menghadapi kesulitan ekonomi, melainkan pula mengalami pengucilan sosial (social exlusion) akibat diskriminasi, stigma, dan eksploitasi.
membuat buruk tatanan ekonomi, keadilan sosial dan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu dalam perkembangannya di aras global, hembusan CSR dan perkembangan konsep-konsep yang terkait, seperti corporate citizenship dan corporate sustainability semakin meluas, terutama dalam merespon tantangan-tantangan baru akibat menguatnya globalisasi.
3.4. Manfaat Sustainable Development CSR
Menurut A.B. Susanto (2007), CSR dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan dapat dipandang sebagai aset strategis dan kompetitif bagi perusahaan di tengah iklim bisnis yang semakin kompetitif. Keuntungan yang dapat diambil adalah :
1. Peningkatan nilai saham bagi perusahaan dan kinerja finansial yang lebih baik. Pandangan ini didasari dengan pemikiran bahwa konsumen akan lebih menyukai produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang secara konsisten menjalankan CSRnya sehingga memiliki reputasi yang baik.
bagian dari pembangunan citra perusahaan (corporate image building). Pembentukan brand image perusahaan melalui social marketing dapat memberikan manfaat dalam kaitannya dengan kemampuan perusahaan terhadap komitmen yang tinggi terhadap lingkungannya.
4. Layak mendapatkan ijin untuk beroperasi (sosial license to operate) dan insentif- insentif lainnya seperti insentif pajak dan berbagai perlakuan khusus lainnya.
5. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan. Karyawan akan merasa bangga pada perusahaan yang memiliki reputasi yang baik dan konsisten melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Jika pada masa lalu pandangan terhadap CSR banyak sedikit dipengaruhi Milton Friedman yang cenderung tidak sejalan dengan CSR. Kini, pandangan terhadap CSR lebih positif, bahkan terkadang overestimate. Seakan-akan CSR adalah obat yang bisa menyembuhkan penyakit apa saja. Padahal, manfaat CSR terhadap perusahaan tidaklah “taken for granted” dan otomatis.
menimbang dengan hati- hati apa yang dapat dan tidak dapat dicapai oleh dan melalui CSR” (Jajal, 2006).
Berdasarkan hasil studinya, Vogel menemukan bahwa “tesis” yang menyatakan