PENGEMBALIAN MAHAR PENGAJARAN
AL QUR’AN
PADA CERAI GUGAT
(Studi tentang Hukum Islam)
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Ilmu Keislaman
Konsentrasi Shari’ah
Oleh Mawaddah NIM: F0.5.4.11.077
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
vi
ABSTRAK
Tesis ini adalah hasil penelitian kepustakaan (library research) dengan judul “Pengembalian Mahar Pengajaran al Qur’an pada Cerai Gugat (Studi tentang Hukum Islam)”. Penelitian ini untuk menjawab tiga permasalahan yaitu : bagaimana pendapat imam Madhab tentang mahar pengajaran al Qur’an?, bagaimana pengembalian mahar menurut imam Madhab dalam cerai gugat?, dan bagaimana pengembalian mahar pengajaran al Qur’an pada cerai gugat menurut imam Madhab?
Guna menjawab permasalahan di atas, maka penelitian yang di lakukan di sini mengunakan metode “deskriptif analisis“ yaitu dengan metode ini dapat digunakan untuk menganalisis dan memaparkan pandangan ulama’ tentang pengembalian mahar pengajaran al Qur’an pada cerai gugat baik dari segi argumen maupun dalilnya sehingga dapat diketahui bagaimana pengembalian mahar pengajaran al Qur’an pada cerai gugat. Melalui metode ini juga penulis berupaya secara sistematis dan objektif dengan menggunakan pendekatan tekstual dan kontekstual. Pendekatan tekstual dimaksudkan untuk memberikan pemaknaan teks dari sisi redaksi/gramatikalnya sedangkan pendekatan kontekstual dimaksudkan untuk menelaah pembahasan historisnya. Dan dalam mencari data baik data primer maupun sekunder penulis melakukan pengumpulan data dengan studi perpustakaan (library research) yakni pengumpulan data melalui penelusuran terhadap data-data kepustakaan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa konsep mahar berupa jasa (mengajarkan al Qur’an) dalam hukum Islam ini terkait dengan pendapat imam madzhab tentang mahar jasa. Pendapat-pendapat tersebut yaitu: a) Imam Abu Hanifah, tidak membolehkan terutama mahar berupa jasa dalam membacakan atau mengajarkan ayat-ayat al-Qur’an karena mahar yang berupa jasa tidak termasuk harta yang tidak boleh mengambil upah darinya, sehingga tidak sah untuk dijadikan mahar, namun darinya wajib dibayar mahar mithil. b) Imam Malik, membolehkan karena jasa patut menjadi mahar, sama halnya dengan harta. c) Imam Syafi'i, membolehkan karena mahar yang berupa jasa atau manfaat yang dapat diupahkan sah dijadikan mahar. d) Imam Ahmad Hambali, membolehkan karena mahar berupa manfaat seperti halnya mahar berupa benda, dengan syarat manfaat harus diketahui.
Pengembalian mahar adalah terjadinya perceraian antara suami isteri sebelum terjadi hubungan suami isteri (bersetubuh) dan perceraian tersebut datangnya dari pihak isteri atau si isteri mengajukan gugatan cerai karena suaminya cacat atau sebaliknya ataupun memang sejak awal si isteri telah mengembalikan maharnya.
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
PERYATAAN KEASLIAN... ii
PESETUJUAN PEMBIMBING... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
MOTTO... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR TRANSLITASI ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Tujuan Penelitian ... 8
E. Kegunaan Penelitian ... 9
F. Kerangka Teoretik ... 9
G. Kajian Pustaka ... 16
H. Metode Penelitian ... 17
I. Sistematika Pembahasan ... 19
xiii
1. Sejarah Mahar pada Masa Arab Pra-Islam ... 21
2. Pengertian dan Dasar Hukum Mahar ... 22
3. Fungsi Mahar ... 30
4. Syarat-syarat dan Kadar (jumlah) Mahar ... 33
5. Macam-macam dan Bentuk Mahar ... 39
6. Rusak dan Gugurnya Mahar ... 56
7. Penyebab Gugur atau Pengembalian Mahar ... 60
B. Tinjauan Umum tentang Cerai Gugat ... 63
1. Pengertian Cerai Gugat ... 63
2. Alasan-alasan Cerai Gugat ... 66
3. Prosedur Cerai Gugat ... 67
4. Akibat Cerai Gugat ... 71
5. Perbedaan Cerai Gugat dan Khulu’ ... 72
BAB III : MAHAR PENGAJARAN AL QUR’AN DAN CERAI GUGAT(KHULU’) DALAM HUKUM ISLAM A. Pendapat imam Madhab tentang Mahar Pengajaran al Qur’an ... 83
B. Pendapat imam Madhab tentang Cerai Gugat (khulu’)... 97
BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PENGEMBALIAN MAHAR PENGAJARAN AL QUR’AN PADA CERAI GUGAT (KHULU’) A. Analisis Pendapat imam Madhab tentang Mahar Pengajaran al Qur’an... 101
xiv
C. Analisis Pendapat imam Madzab tentang Pengembalian
Mahar Pengajaran al Qur’an pada Cerai Gugat (khulu’)….. 114
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 119
B. Saran ... 120
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam diyakini sebagai agama yang menebar rahmatan lil ‘a>lami>n
(rahmat bagi seluruh alam) dan salah satu bentuk rahmatNya adalah
ketentuan atau hukum perkawinan. Pengaturan tersebut penting karena
perkawinan bertujuan untuk memenuhi h}ajat tabi>’at kemanusiaan,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan perkawinan
untuk membentuk keluarga yang saki>nah1, mawaddah wa rah}mah2 (tentram,
penuh dengan cinta kasih dan sayang) agar dapat melahirkan keturunan yang
salih dan berkualitas menuju terwujudnya rumah tangga bahagia.
Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan
atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia merupakan suatu ibadah
kepada Allah dan harus berdasarkan ketentuan shari’at Allah dan RasulNya.
Maka amatlah tepat jika kompilasi menegaskannya sebagai akad yang sangat
1
Sakinah berarti ketenteraman yang merupakan kebutuhan batin. Tanpa terpenuhinya kebutuhan ini manusia akan sulit mencapai kebahagiaan hidup. Ketenteraman akan dapat diperoleh manusia bila dilengkapi oleh mawaddah (cinta) dan rah{mah (kasih sayang) didalam diri
pasangan yang menikah. Sakinah lebih luas kandungan maknanya dan lebih mencakup tujuan
perkawinan itu yaitu ketenteraman batin/ jiwa. lihat Ismah Salman, Keluarga Sakinah dalam
‘Aisyiyah: Diskursus Jender di Organisasi Perempuan Muhammadiyah (Jakarta: PSAP, 2005), 58.
2
Sedangkan Mawaddah merupakan perasaan yang timbul dalam diri seseorang, namun
tidak mencakup pada seluruh kondisi. Orang yang memiliki perasaan mawaddah, akan mendorong
untuk mau berkorban bagi orang yang dicintainya. Ikrimah berpendapat bahwa mawaddah lebih
erat kaitannya dengan kebutuhan biologis (seks). Kecenderungan hati seseorang kepada lawan
jenisnya mendorong ia untuk melakukan hubungan seks dan melahirkan rah{mah yaitu keturunan
tempat dia menyalurkan kasih sayang seterusnya. Ibid
kuat (mi>tha>qan ghali>d}an) untuk mentaati perintah Allah, dan
melaksanakannya merupakan ibadah.3
Selain shari’at mengatur tata laksana perkawinan, shari’at juga
mengatur masalah mahar. Pemberian mahar memiliki beberapa hikmah
antara lain menunjukkan kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi
seorang wanita, sebagai bukti cinta dan kasih sayang seorang suami kepada
istrinya, dan menunjukkan tanggung jawab suami kepada istrinya.
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam (ps. 1 huruf d. KHI). Hukumnya wajib,
yang menurut kesepakan para ulama’ merupakan salah satu syarat sahnya
nikah.4 KHI telah merumuskan pada pasal 30 “calon mempelai pria wajib
membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan
jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak”. Penentuan besarnya mahar
didasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran
Islam (ps. 31 KHI).
Tidak ada ketentua hukum yang disepakati ulama’ tentang batas
maksimal pemberian mahar, demikian juga batas minimalnya.5 Yang jelas,
meskipun sedikit wajib ditunaikan.
Mahar bisa dilakukan secara kontan/tunai pada saat akad nikah atau
bisa dihutang untuk dibayarkan dikemudian hari setelah akad. Mahar
3
lihat Kompilasi Hukum Islam pasal 2
4 Ibn Rusyd, Bida>yah al Mujtahid, juz 2, (Semarang: Usaha Keluarga, tt.), 14.
tersebut bisa saja berasal dari harta milik suami atau dari pemberian orang
lain atau dari hutang kepada orang lain dan bahkan dengan pengajaran al
Qur’a>n.
عاسل عس نب ل س نع
قا
:
ج
ءا
م
أ
إ
ل
م س هي ع ه ص ه وس
تلا ف
:
ه وس اي
ج
ت
ه
ب
كل
ظ ف يسفن
ا يلإ
وس
م س هي ع ه ص ه
عصف
ظ ل
ص ا يف
َو
ب
مث ه
أطأط
وس
ص ه
م س هي ع ه
سأ
ف ه
أ ا
أ ل
نأ
مل ه
ض ي
لج ا ف تس ج ا يش ا يف
ا ف هباحصأ نم
ه وس اي
جاح كل ن ي ا ب مل إ
ِ زف
ج
ه ا ا ف ؟ ئيش نم ع ل ف ا ف ا ي
ه وس اي
ك هأ ل به ا ف
ا ف عج مث به ف ا يش جت له ظناف
ا ف ا يش ج ام ه ا
وس
ص ه
م س هي ع ه
تاخ ول ظن
ه ا ا ف عج مث به ف ي ح نم ا
ه وس اي
ا
ي ح نم ا تاخ
.
ه ن ل
(
ء هلام ل س اق
)
فصن ا ف
ا ف ه
وس
ه
م س هي ع ه ص
:
اب ع صت ام
تس ل
مل هتس ل ئيش ه م ا ي ع ن ي مل ه
كي ع ن ي
س جم اط تح لج ل س جف ئيش ه م
آ ف اق ه
وس
ه ص ه
م س هي ع
م
ول
اف اي
ف هب م
يع
ف
اق ءاج ا
:
كعم ام
آ ل نم
اق ؟
:
وس يعم
ك وس ك
(
ع
اه
)
ا ف
:
نهأ ت
ق ظ نع
اق ؟ ك
:
ف به اق معن
م
ت
كعم ا ب ا
آ ل نم
.
“Dari Sahl ibn Sa’id al-Sa>’idiy, ia berkata: “Ada seorang wanita
datang kepada Rasu>lulla>h saw dengan berkata, “Ya Rasulullah! saya
datang untuk menyerahkan diri kepada tuan (untuk dijadikan istri).”
Rasul memandang wanita itu dengan teliti, lalu beliau menekurkan kepala. Ketika wanita itu menyadari bahwa Rasul tidak tertarik kepadanya, maka ia pun duduklah. Lalu salah seorang sahabat beliau berdiri dan berkata, “Ya Rasulullah! Seandainya tuan tidak membutuhkannya, nikahkanlah dia dengan saya.” Rasul bertanya, “Adakah engkau mempunyai sesuatu?” Jawab orang itu, “Demi
Allah, tidak ada apa-apa ya Rasulullah.” Rasul berkata, “Pergilah
kepada sanak keluargamu, mudah-mudahan engkau memperoleh apa-apa.” Lalu orang itu pergi. Setelah kembali ia berkata, “Demi Allah
tidak ada apa-apa.” Rasulullah berkata, “Carilah walaupun sebuah
cincin besi!” Orang itu pergi kemudian kembali lagi. Ia berkata, “Demi Allah ya Rasulullah, cincin besipun tidak ada. Tetapi saya mempunyai sarung yang saya pakai. (Menurut Sa’ad, ia tidak mempunyai kain lain selain yang ia pakai). Wanita itu boleh mengambil dari sebagia yang ada padanya.” Rasul berkata, “Apa yang dapat engkau lakukan dengan sarungmu itu. Kalau engkau pakai, tentu ia tidak berpakaian,”. Lalu orang itu pun duduk dan lama termenung, kemudia ia pergi, ketika Rasul melihatnya pergi, beliau menyuruh agar orang itu dipanggil kembali. Setelah ia datang, beliau
bertanya, “Apakah kamu ada sesuatu dari al Qur’an?”. Maka ia menjawab, “saya hafal surat ini dan surat ini.” Ia menyebutkan nama beberapa surat dalam al Qur’an. Rasul bertanya lagi, “kamu dapat membacanya di luar kepala?” “ya”. Rasulullah saw bersabda; “Pergilah, sungguh aku akan menikahkan kamu dengannya, dengan mahar apa yang kamu miliki dari al Qur’an.”(HR. Muslim)
Hadith tersebut menunjukkan tidak adanya batasan secara tegas
mengenai berapa jumlah minimal mahar yang diberikan mempelai laki-laki
kepada mempelai wanita, bahkan pada akhirnya mahar dibayar dengan cara
jasa mengajarkan atau membaca sebagian surat al Qur’an.
Selain Islam mengatur masalah tentang mahar, Islam juga mengatur
masalah perceraian. Perceraian dapat terjadi antara sepasang suami istri yang
tidak mungkin lagi dapat hidup bersama juga harus dilaksanakan berdasarkan
aturan shari’at. Dengan adanya shari’at ini bukan berarti Islam
menganjurkan adanya perceraian, tetapi merupakan upaya mencegah
kesewenangan dan bagaimanapun juga perceraian tidak boleh dilakukan
setiap saat yang dikehendaki tanpa alasan yang benar. Karena pada
prinsipnya perceraian dalam Islam dilarang, ini dapat dilihat pada isyarat
Rasulullah saw. Bahwa perceraian atau talak adalah perbuatan halal yang
paling dibenci oleh Allah.
اطل ه ل احل ضغب
( .
جام نب وبأ
مكاحل ه
)
“sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian)”. (Riwayat Abu> Da>wu>d, ibn Ma>jah, dan al H{a>kim).
Isyarat tersebut menunjukkan bahwa perceraian atau talak
merupakan alternatif terakhir sebagai “pintu darurat” yang boleh ditempuh
manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan
keutuhan dan kesinambungannya.8
Adapun cerai (t}alaq) adalah hak seorang suami, tetapi apabila ada
seorang suami yang nushu>z, dengan tidak melaksanakan kewajibannya
sebagai seorang suami ( misalnya ; tidak memberi nafkah ) atau berlaku
kasar kepada istri dan istri tidak ridho serta sudah mengkomunikasikan
kepada suaminya dengan cara yang baik, maka hal tersebut bisa menjadi
alasan syar'i bagi istri untuk mengajukan cerai gugat ( khulu>'), dengan
ketentuan istri mengembalikan mahar yang telah diterima dari suaminya saat
akad nikah dahulu atau setelahnya atau yang senilai dengan mahar tersebut.
Namun semua itu seyogyanya dilakukan setelah adanya komunikasi yang
optimal dalam rangka mencari solusi perbaikan dan tidak membuahkan hasil.
Khulu>’ adalah pembatalan ikatan pernikahan dengan memberikan
imbalan dan menggunakan kata khulu’ (gugat cerai). Khulu>’ dibolehkan
oleh para ‘ulama baik yang dahulu maupun yang belakangan. Dalil
kebolehannya adalah firman Allah dalam al Qura>n.
... 8 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003), 269.
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah. Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang z}alim”
(al-Baqarah, 2:229)10
Begitu juga, hadith Ibn ‘Abba>s ra. Menyebutkan :
ا ع نب نع
َ
أ م
سيق نب تباث
تت
َي ل
م هس ههي ع ه ص
تهلا ف
:
وهس اهي
،ه
تباث
نب
سيق
ع ام
ي
اسا ف ف ل ك ل ،ني ا ق خ ف هي ع ب
.
ا ف
وس
ه
م س هي ع ه ص
:
تلاق ؟هت ي ح هي ع ني ت
:
معن
.
ه وهس ا ف
هص
م س هي ع ه
:
ق
ي طت ا ط ي حل ل
.
(
ا ل
)
Dari ibnu ‘Abbas, ia berkata : Istri Thabit ibn Qais datang kepada
Nabi saw, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak
mencela Thabit bin Qais (suamiku) tentang akhlaq dan agamanya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Maukah kamu mengembalikan kebunmu
kepadanya ?”. Ia menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda
(kepada Thabit), “Terimalah kebunmu itu dan talaklah dia sekali”.
(HR. Bukha>riy)
Dengan demikian, seorang istri yang menuntut cerai dari suaminya
harus mengembalikan mahar yang diberikan kepadanya. Ia juga harus
menggugurkan hak-haknya di masa mendatang, seperti hak nafkah selama
iddah, nafkah mut’ah (nafkah untuk istri yang dicerai tanpa alasan setelah
masa iddah) dan mahar yang belum sempat terbayar.
10
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
CV Darus Sunnah, 2002), 37.
Untuk itu penulis ingin mengkaji dan meneliti lebih dalam tentang
pengembalian mahar al Qur’an pada cerai gugat dengan harapan dapat
dijadikan bahan untuk penyusunan program hukum.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan cakupan yang dapat
muncul dalam penelitian, maka penulis melakukan identifikasi dan
memberikan batasan masalah sebagai berikut:
1. Mahar : mas kawin12. Mas kawin adalah pemberian wajib dari calon suami
kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan
rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya atau suatu
pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik
dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain
sebagainya).13 Mas kawin dalam pembahasan kali ini adalah mas kawin
pengajaran al Qur’an.
2. Cerai gugat : khulu’. Perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan
memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya.
3. Studi : mempelajari dan menyelidiki. Yang dimaksud dalam penulisan ini
adalah mengetahui dan mempelajari bagaimana pengembalian mahar pada
cerai gugat dalam uraian hukum Islam.
12 Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola,
2011), 29.
13 Lihat Kamus Istilah Fiqh, 184. Lihat Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh (Jakarta: Depag
RI, 1985) Jilid 3, 83. Lihat pula H. Abdurrahman Ghazali, Fiqih Munakahat (Jakarta: Prenada
4. Hukum Islam : Artinya permasalahan tersebut akan penulis analisis
dengan hukum Islam (aturan hukum Islam) yan didalamnya mencakup
pengembalian mahar pengajaran al Qur’an pada cerai gugat.
Dengan memahami identifikasi masalah yang telah penulis tentukan,
dapat ditarik sebuah konklusi bahwa penelitian ini didesain oleh penulis
dengan batasan mengetahui mahar pengajaran al Qur’an menurut imam
Madhab dan bagaimana pengembalian mahar pengajaran al Qur’an pada
cerai gugat dalam analisis hukum Islam.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka terdapat permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana pendapat imam Madhab tentang mahar pengajaran al
Qur’an?
2. Bagaimana pendapat imam Madhab tentang pengembalian mahar
dalam cerai gugat (khulu’)?
3. Bagaimana pengembalian mahar pengajaran al Qur’an pada cerai gugat
(khulu’) dalam hukum Islam?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk menjelaskan pendapat imam Madhab tentang mahar pengajaran
2. Untuk menjelaskan pengembalian mahar dalam cerai gugat secara
umum. Sehingga diperoleh gambaran secara lengkap tentang
pengembalian mahar dalam cerai gugat
3. Untuk menjelaskan bagaimana cara pengembalian mahar pengajaran al
Qur’an pada cerai gugat(khulu’) dalam hukum Islam
E. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
keilmuan dunia ke-Islaman kedua mengenai mahar pengajaran al Qur’an
dalam perkawinan. Dalam perkawinan, mahar pengajaran al Qur’an ini
mengingat kurang adanya perhatian dalam memahami lebih jauh esensi
mahar pengajaran al Qur’an yang telah disampaikan dalam Hadith.
2. Kegunaan Praktis
Melalui hasil analisa ini diharapkan memberikan sumbangan
pengetahuan bagi masyarakat Muslim, khususnya bagi yang melakukan
cerai gugat. Sehingga mengetahui cara mengembalikan mahar pengajaran
al Qur’an.
F. Kerangka Teoretik
1. Mahar dalam Perkawinan
a. Pengertian dan Hukum Mahar
dipakai perkataan : “s}adaq” , nih}lah; dan fari>d}ah” dalam bahasa
indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.14
Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara
terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada
calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan
rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau
suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon
istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan,
mengajar, dan lain sebagainya).15
Ima>m Sya>fi’iy mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu
yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan
untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.16
Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu
muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh
diterima dan tidak disalahkan.Akan tetapi, bila istri dalam memberi
maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya.
Allah Swt. Berfirman:
14 Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), 81.
15 Lihat Kamus Istilah Fiqh, 184. Lihat Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh (Jakarta: Depag
RI, 1985) Jilid 3, 83. Lihat pula H. Abdurrahman Ghazali, Fiqih Munakahat (Jakarta, Prenada
Media, 2003), 84.
16 Lihat Abdurrahma>n al-Jazi>riy, Al-Fiqh ‘ala> Madza>hib al-‘Arba’ah, juz 4, (Bairu>t
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa yang nyata? (QS. Al Nisa>’: 20)18
Dalam ayat selanjutnya, Allah Swt. Berfirman
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. Al Nisa>’:
21)20
Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam
Malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum
memberikannya adalah wajib.21
Allah berfirman:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan...(QS. Al Nisa>’: 4)23
17Al Qur’an, 4: 20.
18
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
CV Darus Sunnah, 2002), 82.
19Al Qur’an, 4: 21.
20
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
CV Darus Sunnah, 2002), 82.
21Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), 38.
22Al Qur’an, 4: 4
23
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
2. Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut.
a. Barang berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga
walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar
sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut mahar.
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan
memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan
tidak berharga.
c. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang
milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk
memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak.
Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi
akadnya tetap sah.
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.Tidak sah mahar dengan
memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak
disebutkan jenisnya.24
3. Kadar (jumlah) mahar
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula
jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya
mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar
jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang
hampir tidak mampu memberinya.25 Oleh karena itu, pemberian mahar
diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan
persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan
jumlahnya. Kamal Mukhtar menyabutkan, “janganlah hendaknya
ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi
penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan,” sesuai dengan sabda
nabi:
عاسل عس نب ل س نع
اق
:
لإ أ م ءاج
م س هي ع ه ص ه وس
تلا ف
:
ه وس اي
ا يلإ ظ ف يسفن كل به ت ج
وس
م س هي ع ه ص ه
أطأط مث هبَوص ا يف ظ ل عصف
وس
ص ه
م س هي ع ه
أ ا ف هسأ
ا ف هباحصأ نم لج ا ف تس ج ا يش ا يف ض ي مل هنأ أ ل
ه وس اي
مل إ
ه ا ا ف ؟ ئيش نم ع ل ف ا ف ا ي جِ زف جاح كل ن ي ا ب
ه وس اي
ا ف عج مث به ف ا يش جت له ظناف ك هأ ل به ا ف
ا يش ج ام ه ا
ا ف
وس
م س هي ع ه ص ه
ا ا ف عج مث به ف ي ح نم ا تاخ ول ظن
ه
ه وس اي
ي ح نم ا تاخ ا
.
ه ن ل
(
ء هلام ل س اق
)
ا ف
ا ف هفصن
وس
م س هي ع ه ص ه
:
اب ع صت ام
ا ي ع ن ي مل هتس ل
اق هس جم اط تح لج ل س جف ئيش ه م كي ع ن ي مل هتس ل ئيش ه م
آ ف
وس
م س هي ع ه ص ه
اق ءاج ا ف يع ف هب ماف ايلوم
:
كعم ام
آ ل نم
اق ؟
:
ك وس ك وس يعم
(
اه ع
)
ا ف
:
ك ق ظ نع نهأ ت
اق ؟
:
كعم ا ب ا ت م ف به اق معن
آ ل نم
.
“Dari Sahl ibn Sa’id al-Sa>’idiy, ia berkata: “Ada seorang wanita
datang kepada Rasu>lulla>h saw dengan berkata, “Ya Rasulullah! saya
datang untuk menyerahkan diri kepada tuan (untuk dijadikan istri).”
Rasul memandang wanita itu dengan teliti, lalu beliau menekurkan kepala. Ketika wanita itu menyadari bahwa Rasul tidak tertarik kepadanya, maka ia pun duduklah. Lalu salah seorang sahabat beliau berdiri dan berkata, “Ya Rasulullah! Seandainya tuan tidak membutuhkannya, nikahkanlah dia dengan saya.” Rasul bertanya, “Adakah engkau mempunyai sesuatu?” Jawab orang itu, “Demi
Allah, tidak ada apa-apa ya Rasulullah.” Rasul berkata, “Pergilah
kepada sanak keluargamu, mudah-mudahan engkau memperoleh
25 Kamal Muhktar, Asas-asas, 82.
apa.” Lalu orang itu pergi. Setelah kembali ia berkata, “Demi Allah
tidak ada apa-apa.” Rasulullah berkata, “Carilah walaupun sebuah
cincin besi!” Orang itu pergi kemudian kembali lagi. Ia berkata, “Demi Allah ya Rasulullah, cincin besipun tidak ada. Tetapi saya mempunyai sarung yang saya pakai. (Menurut Sa’ad, ia tidak mempunyai kain lain selain yang ia pakai). Wanita itu boleh mengambil dari sebagia yang ada padanya.” Rasul berkata, “Apa yang dapat engkau lakukan dengan sarungmu itu. Kalau engkau pakai, tentu ia tidak berpakaian,”. Lalu orang itu pun duduk dan lama termenung, kemudia ia pergi, ketika Rasul melihatnya pergi, beliau menyuruh agar orang itu dipanggil kembali. Setelah ia datang, beliau bertanya, “Apakah kamu ada sesuatu dari al Qur’an?”. Maka ia menjawab, “saya hafal surat ini dan surat ini.” Ia menyebutkan nama beberapa surat dalam al Qur’an. Rasul bertanya lagi, “kamu dapat membacanya di luar kepala?” “ya”. Rasulullah saw bersabda; “Pergilah, sungguh aku akan menikahkan kamu dengannya, dengan mahar apa yang kamu miliki dari al Qur’an.”(HR. Muslim)
Ima>m Sya>fi’iy, Ahmad, Isha>q, Abu> Thaur, dan Fuqaha>’ Madi>nah
dari kalangan Ta>bi’i>n berpendapat bahwa mahar tidak ada batas
minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang
lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh ibn
Wahab dari kalangan pengikut Ima>m Ma>lik.
Sebagian fuqaha>’ yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada
batas terendahnya. Ima>m Ma>lik dan para pengikutnya mengatakan bahwa
mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat
tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak
tersebut.
Ima>m Abu> H{ani>fah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu
adalah sepuluh dirham. Riwayat yang lain ada yang mengatakan lima
dirham, ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham.
dua hal, yaitu:
1. Ketidak jelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai
salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan
menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual
beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuan.
Demikian itu, karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu
laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka perkawinan itu
mirip dengan pertukaran. Tetapi, ditinjau dari segi adanya larangan
mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka hal itu mirip
dengan ibadah.27
2. Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya
pembatasan mahar dengan mafhu>m hadith yang tidak menghendaki
adanya pembatasan. Qiya>s yang menghendaki adanya pembatasan
adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada
ketentuannya.28
Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi Saw., “nikahlah
walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak
mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang ada batas
terendahnya tentu beliau menjelaskannya.29
27H. Abd. Rahman Ghazali, Fiqih, 88-89.
28 Ibid., 88-89.
29 Bandingkan dengan Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id, (Bairut:
G. Kajian Pustaka
Pada dasarnya kajian pustaka ini adalah deskripsi ringkas tentang
penelitian yang sudah pernah dilakukan peneliti sebelumnya, sehingga tidak
ada pengulangan atau duplikasi. Dalam penelusuran awal sampai saat ini
penulis belum menemukan penelitian atau tulisan yang sama. Adapun
beberapa penelitian yang membahas tentang pengembalian mahar
diantaranya:
Pertama, dalam penelitian skripsi Muhammad Khisom pada tahun
2005 yang meneliti “Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan
Agama Sidoarjo tentang Pengembalian Mahar dan Pemberian Suami
Terhadap Istri”.30
Kedua, Muhammad Rozak pada tahun 2007 meneliti “Studi Analisis
Hukum Islam Terhadap Pandangan KH. Abdullah Faqih Langitan Tuban
tentang Mahar al Qur’an dan alat Shalat. Skripsi ini membahas tentang
pandangan KH. Abdullah Faqih, pengasuh ponpes Langitan terhadap Mahar
al Qur’an dan alat Shalat, respon masyarakat sekitar, yakni masyarakat
kelurahan Babat terhadap pandangan Kiai Langitan dan mencoba untuk
melakukan analisis terhadap permasalahan tersebut.31
Dari beberapa hasil karya yang penulis sebutkan di atas dapat
disimpulkan bahwa penelitian yang penulis tulis saat ini adalah berbeda.
30 Muhammad Khisom, “Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama
Sidoarjo tentang Pengembalian Mahar dan Pemberian Suami Perhadap Istri” (Skripsi—IAIN
Sunan Ampel, Surabaya, 2005), 8.
31Muhammad Rozak, “Studi Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan KH. Abdullah
Faqih Langitan Tuban tentang Mahar al Qur’an dan alat Shalat”, (Skripsi—IAIN Sunan Ampel,
Misalnya pembahasan yang pertama diatas yang dilakukan oleh Muhammad
Khisom menggunakan metode penelitian pada pengadilan agama sedangkan
penulis menggunakan studi library, hal ini jelas berbeda dengan pembahasan
yang penulis tulis. Sama halnya dengan penelitian Muhammad Rozak,
meskipun penelitian tersebut adalah meneliti tentang mahar al Qur’an,
namun yang dimaksud penulis adalah mahar pengajaran al Qur’an. Jelas
sangat berbeda dengan penelitian penulis.
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research),
yaitu sebuah penelitian tentang pengembalian mahar pengajaran al
Qur’an pada cerai gugat. Untuk mencapai target yang diinginkan,
maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu
penelitian yang dapat menghasilkan data deskriptif dari kata-kata
tertulis, atau lisan dari beberapa orang yang dapat diamati.32
Data sepenuhnya diambil dari dari khazanah kepustakaan dengan
melakukan survey buku, tulisan-tulisan atau yang lainnya.
2. Sumber Data
Sebagai sumber data primer (primary sources) dalam
penelitian ini adalah berbagai penelitian tentang pengembalian mahar
32Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991),
dalam cerai gugat yang banyak dibahas oleh ulama-ulama terdahulu di
dalam khazanah kajian hukum Islam.
Peneliti juga akan mencari pembahasan tentang pengembalian
mahar dalam cerai gugat secara umum yang tertuang dalam al
Qur’an/Hadith. Setelah menemukannya, maka penulis mencoba
mendalami pengembalian pengajaran al Qur’an pada cerai gugat.
Peneliti akan menjelajahi kitab-kitab hadith yang berkaitan dengan
pembahasan seperti kutub al tis’ah.33
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan studi perpustakaan
(library research) yakni pengumpulan data melalui penelusuran
terhadap data-data kepustakaan.
4. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul lalu diklasifikasikan sesuai dengan
proporsinya kemudian diolah dengan menggunakan metode deskriptif
analisis. Dengan metode ini dapat digunakan untuk menganalisis dan
memaparkan pandangan ulama’ tentang pengembalian mahar
pengajaran al Qur’an pada cerai gugat baik dari segi argumen maupun
dalilnya sehingga dapat diketahui bagaimana pengembalian mahar
pengajaran al Qur’an pada cerai gugat. Melalui metode ini juga
penulis berupaya secara sistematis dan objektif dengan menggunakan
33 Lihat sembilan buku tentang hadith-hadith Nabi, khususnya yang berkaitan dengan
pendekatan tekstual dan kontekstual. Pendekatan tekstual
dimaksudkan untuk memberikan pemaknaan teks dari sisi
redaksi/gramatikalnya sedangkan pendekatan kontekstual
dimaksudkan untuk menelaah pembahasan historisnya.
I. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini akan disusun dalam lima bab; satu bab pendahuluan,
tiga bab pembahasan dan satu bab penutup.
Bab Pertama, pendahuluan yang meliputi : latar belakang masalah,
identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, kerangka teoritik, kajian pustaka, dan metode
penelitian. Dalam metode penelitian ini meliputi : jenis penelitian, sumber
data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data, kemudian
sistematika pembahasan.
Bab kedua, adalah tinjauan umum tentang mahar dan cerai gugat
yang terdiri dari dua sub bab yang meliputi : tinjauan umum tentang mahar,
meliputi ; pertama sejarah mahar pada masa Arab pra-Islam, kedua
pengertian dan dasar hukum mahar, ketiga fungsi mahar, keempat
syarat-syarat dan kadar (jumlah) mahar, kelima macam-macam dan bentuk mahar,
keenam gugur/rusaknya mahar, dan ketujuh penyebab gugur atau
pengembalian mahar. Dan tinjauan umum tentang cerai gugat, meliputi ;
prosedur cerai gugat, keempat akibat cerai gugat, kelima perbedaan cerai
gugat dan khulu’.
Bab ketiga, mahar al Qur’an dan cerai gugat (khulu’) dalam hukum
Islam, yang meliputi : pertama pendapat imam madhab tentang mahar
pengajaran al Qur’an dan yang kedua pendapat imam madhab tentang cerai
gugat (khulu’).
Bab keempat, analisis pendapat imam madhab tentang pengembalian
mahar pengajaran al Qur’an pada cerai gugat (khulu’) yang terdiri dari tiga
sub bab, yang pertama meliputi analisis tentang analisis pendapat imam
Madhab tentang mahar pengajaran al Qur’an, yang kedua analisis hokum
Islam tentang pengembalian mahar pada cerai gugat (khulu’). Kemudian
yang ketiga analisis hukum Islam tentang pengembalian mahar pengajaran al
Qur’an pada cerai gugat(khulu’).
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MAHAR DAN CERAI GUGAT
A. Tinjauan Umum tentang Mahar
1.Sejarah Mahar pada Masa Arab Pra-Islam
Al Qur’an menghapus adat kebiasaan pra-Islam mengenai mahar
dan mengembalikannya kepada kedudukan yang asasi dan alami. Di masa
pra Islam para ayah dan ibu para gadis menganggap maskawin adalah hak
mereka sebagai imbalan atas pendidikan dan perawatan mereka. Dalam
kitab-kitab tafsir disebutkan bahwa apabila seorang bayi wanita lahir
maka biasanya orang yang mengucapkan selamat kepadanya dengan
mengatakan “hannian laka al na>fi’ah” (selamat semoga ia menjadi
sumber kekayaan bagimu). Hal ini menunjukkan bahwa kelak si gadis
akan dikawinkan dan mahar akan menjadi milik si ayah sepenuhnya.1
Pada masa ini juga terdapat adat kebiasaan lain yang dalam
praktiknya digunakan untuk merampas hak wanita atas maskawinnya.
Salah satu dari adat kebiasaan itu adalah pewarisan istri. Apabila seorang
pria meninggal, maka para ahli warisnya, seperti anak laki-lakinya atau
saudara laki-lakinya mewarisi istrinya persis sebagaimana mereka
mewaris harta dari laki-laki yang meninggal itu. Setelah kematian si pria,
putranya atau saudara laki-lakinya menganggap bahwa hak atas
perkawinan tersebut masih terus berlaku. Si pewaris memandang dirinya
1 Morteza Mutahhari, Wanita dan Hak-haknya dalam Islam terj. M. Hashem (Bandung:
Pustaka, 1985), 167.
berhak untuk mengawinkan si wanita warisan tersebut dengan siapa saja
yang dikehendakinya dan mengambil maskawin dari perkawinan itu. Bisa
pula ia sendiri mengambilnya sebagai istri tanpa maskawin lagi atas
dasar kekuatan maskawin yang telah diberikan oleh almarhum dulunya.2
Namun adat seperti ini telah dihapus dengan turunnya firman Allah QS.
An Nisa’: 19
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa4 dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.5
2.Pengertian dan Dasar Hukum Mahar
a. Pengertian mahar secara etimologi
2 Afdawaiza, Konsep S{aduq sebagai Mahar dalam al Qur’an, Al Qur’an dan Hadith 5,
Januari 2004, 48-49.
3Al Qur’an, 4:19
4Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa
dibolehkan. Menurut adat sebagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
5
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
Dalam bahasa Arab mahar adalah bentuk mufrad sedang
bentuk jama’nya adalah muhu>run yang secara lughah (etimologi)
berarti maskawin.6
Sedangkan menurut Ima>m ibn al Qa>sim mahar disebut juga
dengan istilah s}adaq yang secara etimologi berarti sebutan suatu
benda yang wajib diberikan sebab adanya nikah.7 Benda yang
diberikan itu disebut s}adaq karena memberika kesan bahwa pemberi
sesuatu itu benar-benar menunjukkan rasa cinta dengan ditandai
adanya pernikahan.8
Dalam istilah ahli fiqh disamping dipakai istilah fari>d}ah dan
‘ajrun. Dalam bahasa Indonesia dipakai istilah maskawin. Sebagian
ulama’ menyebut maskawin menjadi 8 istilah yang dihimpun dalam
syair yaitu “s}adaq”, “mahar”, “nih}lah”, “fari>d}ah”, “haba”, “’ajr”,
“’aqr”, dan “’ala>’iq”.9
Kata s}adaq dengan fath}ah s}adnya dan dengan kasrah (s}ida>q)
diambil dari kata “s}idqun” (kebenaran) untuk membenarkan cinta
suami terhadap calon istrinya. S}adaq (mahar) bisa juga diartikan
penghormatan kepada istri. Bentuk jamak dari s}adaq adalah as}diqah
untuk jamak sedikit dan s}udu>q untuk jamak banyak.10
6 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: PT . Hidakarya Agung, 1977), 431.
7‘Ali ibn Qa>sim al Gha>zi, al Baju>ri, juz II, (Surabaya: Da>r al Nas}r al Mis}riyyah, t.t), 118.
8 Zainuddin bin Abd. ‘Azi>z al Malaibary, Fath}u al Mu’in, (Surabaya: al Hidayah, t.t).
107.
9 Abu Bakar, I’a>nah al T{a>libi>n, J.3, (Surabaya: al Hidayah, t.t), 346.
10Abu Louis Ma’luf, al Munjid fi> al Lughah wa al A’la>m, (Beirut: Da>r al Masyriq, t.t),
b. Pengertian mahar secara terminologi
Pengertian mahar secara terminologi sebagaimana dijelaskan
al Ja>ziriy sebagai berikut :
ا ل ع يف أ ل بجي ل ا ل مس و ف احاطص ا عم ام
با م يف
تسا
ت
كل وحن ساف ا ن شب عطول يف ا
“Adapun makna shadaq secara istilah adalah nama untuk sebuah harta
yang wajib diberikan kepada wanita dalam akad nikah sebagai perimbangan karena memanfaatkan wanita tersebut untuk bersenang-senang, juga dalam wati subhat, nikah fa>sid, atau yang semisal dengan itu”.
Menurut Sayyid Sabiq mahar adalah pemberian wajib dari
suami pada istri sebagai jalan yang menjadi istri berhati senang dan
ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya.12
Al Hamdani dalam risalah nikah menyatakan : maskawin atau
mahar ialah pemberian seorang suami kepada seorang istri
sebelumnya, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad sebagai
pemberian wajib yang tidak diganti dengan lainnya.13
Sebagaimana ‘ulama’ Hana>fiyyah mendefinisikan mahar
sebagai berikut :
ء ول ا ل عب أ ل ه حتسي ام وه ل
“mahar adalah sesuatu yang berhak dimiliki oleh seorang wanita
sebab adanya akad nikah atau wati’”.
11 Abdurrahma>n al Ja>ziriy, Madhahib al ‘Arba’ah, J. IV, (Kairo: Mu’assasah al Mukhta>r,
t.t), 78.
12 Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, J.7, alih bahasa M. Thalib, (Bandung: Da>r al Ma’a>rif,
1990), 53.
13 Al Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, terj. Agus Salim, (Jakarta:
Pustaka Amani, 1989), 110.
Sedangkan menurut sebagian ‘ulama’ Ma>likiyyah mahar
adalah :
هب ا تسا يظن يف ج ز ل لعجي ام وه ل
“mahar adalah sesuatu yang dijadikan (dibayarkan) kepada istri sebagai imbalan atas jasa pelayanan seksualitas”
Ma>likiyyah memandang bahwa mahar yang diwajibkan dalam
nikah sebagai alat pembayaran bagi istri atas pelayanan jasa
seksualitas pada suami, dan ini merupakan pandangan yang materialis.
Imam Zakariyya> al Ans}a>riy mendefinisikan s}ida>q (mahar)
sebagai berikut :
ق ع ب طيوفت ء ا ب بج ام
اض اك
“sesuatu yang diwajibkan sebab nikah, persetubuhan atau hilangnya manfaat budu’ dengan terpaksa seperti terjadinya susunan”
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mahar adalah
pemberian calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita baik
berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
Dr. Hamuda dalam bukunya The Family Structure in Islam
menyatakan bahwa mahar merupakan bentuk pembayaran yang
bersifat simbolis. Simbol tanggung jawab dari pihak lelaki untuk
15 Ibid, 6758.
16Zakariyah al Anshari, Fath} al Wahha>b, J.2,(Da>r al Ihya>’ al Kutub al ‘Arabiyyah, t.t),
menjamin keamanan hak dan kesejahteraan keluarga setelah
perkawinan terwujud.17
Apabila diperhatikan pengertian-pengertian tentang mahar di
atas adalah harta yang diberikan oleh suami kepada isteri sebagai
pemberian wajib dalam ikatan perkawinan yang sah dan merupakan
tanda persetujuan serta kerelaan mereka untuk hidup sebagai suami
istri.
c. Dasar hukum mahar
Suatu kelebihan syari’at Islam dengan syari’at yang lainnya
antara lain dalam hal memuliakan wanita. Dalam hukum Islam
diwajibkan seorang laki-laki yang hendak nikah dengan seorang
wanita untuk memberikan mahar. Meskipun pemberian mahar
tersebut hanya sebagai simbol atas kecintaan (cinta kasih) seorang
calon suami bahwa dia benar-benar mencintai calon istrinya.
Demikian juga calon istri, bahwa penerimaan mahar tersebut sebagai
simbol tentang tanggung jawab seorang wanita terhadap harta atau
apa saja yang diamanatkan suami kepadanya.
Perintah pembayaran mahar ini didasarkan atas firman Allah
SWT dalam surat an Nisa’ ayat 4 yang berbunyi :
17Hammuda Abd. Al ‘Ati, Keluarga Muslim, terj. Anshari Thalib,(Surabaya: PT. Bina
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.19
Dalam ayat 4 surat al Nisa’ di atas yang dimaksud dengan kata
nih}lah adalah merupakan pemberian yang berdasarkan pada suka rela.
Ini berarti bahwa mahar adalah hak milik si wanita itu sendiri, bukan
milik ayah atau saudara laki-lakinya, dan merupakan pemberian dan
hadiah dari pria kepadanya.
Dengan demikian meskipun dokumen klasik masih
mengandung peninggalan dari konsep orisinil (ja>hiliyyah) yang
menganggap bahwa perkawinan adalah sebagai macam jual beli,
namun Islam telah berusaha meninggalkan pandangan yang
menganggap bahwa mahar sebagai harga beli wanita.
Al Qur’an telah menunjukkan tiga pokok dasar dalam tersebut
di atas. Pertama, mahar disebut sebagai s}aduqah dan tidak disebut
mahar. S}aduqah berasal dari kata s}adaq, mahar adalah s}ida>q atau
s}aduqah karena ia merupakan suatu pertanda kebenaran dan
kesungguhan cinta kasih pria.
Menurut Raghib Isfahani dalam kitabnya “Mufrada>t ghari>b al
Qur’a>n” alasan “s}adaqah” ditulis “s}aduqah” di sini adalah karena ia
18Al Qur’an, 4: 4
19
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
merupakan pertanda keikhlasan rohani. Kedua kata ganti hunna
(orang ketiga jamak femina) dalam ayat ini berarti mahar itu menjadi
hak milik wanita sendiri, bukan hak ayah atau ibunya. Mahar
bukanlah upah atas pekerjaan membesarkan dan memelihara si anak
perempuan. Ketiga, nih}latan (dengan sukarela, secara spontan, tanpa
rasa enggan) menjelaskan dengan sempurna bahwa tidak mengandung
maksud lain kecuali sebagai pemberian hadiah.20 Ibn ‘Abba>s dan
Qata>dah menafsirkan lafadz nih}lah sebagai fari>dhah (pemberian
wajib) karena nih}lah secara etimologi berarti agama, syari’ah dan
jalan untuk pergi.21
Perintah pembayaran mahar juga tercantum dalam al Qur’an
surat al Nisa’ ayat 25 yang berbunyi :
...
...
”...karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah
maskawin mereka menurut yang patut...”23
Juga terdapat dalam hadith yang diriwayatkan oleh Ima>m
Bukha>riy dari Sahl bin Sa’i>d, ketika ada seorang wanita yang datang
kepada Rasul dan menawarkan diri untuk dinikahi. Sedangkan Rasul
tidak berminat pada wanita tersebut namun ada seorang sahabat yang
20 Murtad}a Mut}ahari, The Rights of Women in Islam, diterjemahkan oleh Hashem
dengan judul, Hak-hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1995), 128.
21 Muhammad Nawa>wi, Marahu Labid Tafsir Nawawi, juz 1, (Surabaya: al Hidayah, t.t),
139.
22Al Qur’an, 4: 25
23
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
menginginkan wanita tersebut untuk dijadikan istrinya, dan Nabi
memerintahkan kepada sahabat tersebut untuk memberi mahar kepada
wanita yang aka dinikahi itu. Adapun bunyi hadith sebagai berikut :
عاسل عس نب ل س نع
اق
:
لإ أ م ءاج
هي ع ه ص ه وس
م س
تلا ف
:
ه وس اي
ا يلإ ظ ف يسفن كل به ت ج
وس
ه ص ه
م س هي ع
أطأط مث هبَوص ا يف ظ ل عصف
وس
ص ه
م س هي ع ه
ا ف هباحصأ نم لج ا ف تس ج ا يش ا يف ض ي مل هنأ أ ل أ ا ف هسأ
ه وس اي
ا ف ؟ ئيش نم ع ل ف ا ف ا ي جِ زف جاح كل ن ي ا ب مل إ
ه ا
ه وس اي
عج مث به ف ا يش جت له ظناف ك هأ ل به ا ف
ا ف
ا ف ا يش ج ام ه ا
وس
م س هي ع ه ص ه
ول ظن
ه ا ا ف عج مث به ف ي ح نم ا تاخ
ه وس اي
ي ح نم ا تاخ ا
.
ه ن ل
(
ء هلام ل س اق
)
ا ف هفصن ا ف
وس
ه ص ه
م س هي ع
:
اب ع صت ام
مل هتس ل ئيش ه م ا ي ع ن ي مل هتس ل
آ ف اق هس جم اط تح لج ل س جف ئيش ه م كي ع ن ي
وس
ه
م س هي ع ه ص
اق ءاج ا ف يع ف هب ماف ايلوم
:
كعم ام
آ ل نم
؟
اق
:
ك وس ك وس يعم
(
اه ع
)
ا ف
:
اق ؟ ك ق ظ نع نهأ ت
:
كعم ا ب ا ت م ف به اق معن
آ ل نم
.
“Dari Sahl ibn Sa’id al-Sa>’idiy, ia berkata: “Ada seorang wanita
datang kepada Rasu>lulla>h saw dengan berkata, “Ya Rasulullah! saya
datang untuk menyerahkan diri kepada tuan (untuk dijadikan istri).”
Rasul memandang wanita itu dengan teliti, lalu beliau menekurkan kepala. Ketika wanita itu menyadari bahwa Rasul tidak tertarik kepadanya, maka ia pun duduklah. Lalu salah seorang sahabat beliau berdiri dan berkata, “Ya Rasulullah! Seandainya tuan tidak membutuhkannya, nikahkanlah dia dengan saya.” Rasul bertanya, “Adakah engkau mempunyai sesuatu?” Jawab orang itu, “Demi
Allah, tidak ada apa-apa ya Rasulullah.” Rasul berkata, “Pergilah
kepada sanak keluargamu, mudah-mudahan engkau memperoleh apa-apa.” Lalu orang itu pergi. Setelah kembali ia berkata, “Demi Allah
tidak ada apa-apa.” Rasulullah berkata, “Carilah walaupun sebuah
cincin besi!” Orang itu pergi kemudian kembali lagi. Ia berkata, “Demi Allah ya Rasulullah, cincin besipun tidak ada. Tetapi saya mempunyai sarung yang saya pakai. (Menurut Sa’ad, ia tidak mempunyai kain lain selain yang ia pakai). Wanita itu boleh mengambil dari sebagia yang ada padanya.” Rasul berkata, “Apa yang dapat engkau lakukan dengan sarungmu itu. Kalau engkau pakai, tentu ia tidak berpakaian,”. Lalu orang itu pun duduk dan lama termenung, kemudia ia pergi, ketika Rasul melihatnya pergi, beliau
menyuruh agar orang itu dipanggil kembali. Setelah ia datang, beliau bertanya, “Apakah kamu ada sesuatu dari al Qur’an?”. Maka ia menjawab, “saya hafal surat ini dan surat ini.” Ia menyebutkan nama beberapa surat dalam al Qur’an. Rasul bertanya lagi, “kamu dapat membacanya di luar kepala?” “ya”. Rasulullah saw bersabda; “Pergilah, sungguh aku akan menikahkan kamu dengannya, dengan mahar apa yang kamu miliki dari al Qur’an.”(HR. Muslim)
Mengenai status hukum mahar, para ulama berbeda pendapat.
Menurut Imam Malik mahar merupakan rukun nikah.25 Dan sebagai
konsekuensinya jika memakai sighat hibah, maka mahar harus disebut
ketika akad nikah, jika tidak maka nikahnya tidak sah.26 Sedangkan
selain Imam Malik dari ketiga Imam madhab berpendapat bahwa
mahar termasuk syarat sahnya nikah, oleh karena itu tidak boleh
diadakan persetujuan untuk meniadakannya.27
Wah}bah al Zuh}ailiy berpendapat bahwa mahar bukanlah rukun
dan syarat sahnya nikah, tetapi hanya merupakan konsekuensi logis
yang harus dibayarkan dengan adanya akad nikah.28
3.Fungsi Mahar
Salah satu usaha Islam dalam memperhatikan dan menghargai
wanita yaitu memberi hak untuk memegang usahanya. Di zaman
jahiliyah hak wanita dihilangkan dan disia-siakan, lalu Islam datang
mengembalikan hak-hak itu. Kepadanya diberi hak mahar, dan kepada
25 Muhammad ibn Ahmad, Fath} al Rah}im ‘ala> al Fiqh Ima>m Malik, j.1, (Beirut: Dar al
Fikr, t.t), 34.
26‘Abdurrahma>n al Jazi>ri, al Fiqh ‘ala> al Madha>hib, j.4, (Kairo: Mu’assasah al Mukhta>r,
t.t), 23.
27 Ibn Rusyd, Bida>yah al Mujtahid, j.2, (Surabaya: al Hida>yah, t.t), 14.
28 Wahbah al Zuh}ailiy, al Fiqh al Isla>miy wa Adillatuhu>, j.4, (Beirut: Da>r al Fikr, t.t),
suami diwajibkan memberi mahar kepadanya bukan kepada ayahnya dan
kepada orang yang paling dekat kepadanya.
Mahar atau maskawin adalah bagian esensial pernikahan dalam
Islam. Tanpa maskawin sebuah pernikahan tidak dapat dinyatakan telah
dilaksanakan dengan benar. Maskawin harus ditetapkan sebelum
pelaksanaan akad nikah. Dan merupakan hak mutlak seorang wanita
untuk menentukan besarnya mahar atau maskawin. Apabila mahar sudah
ditentukan bentuk dan besar kecilnya, maka barang itulah yang wajib
dibayarkan. Tetapi bila tidak ada ketentuan sebelumnya, dan tidak
disebutkan bentuknya diwaktu akad nikah, maka bagi suami harus
membayar yang sesuai dengan tingkatan (status) istrinya (mahar
mithil).29
Dalam pandangan Islam, mahar merupakan hak absolut wanita
dan semata-mata hanya pemberian atau hadiah dari seorang pria.
Pandangan ini tersurat dengan tegas dalam al Qur’an surat an Nisa’ ayat
4.
Must}afa> al Mara>ghi menambahkan bahwa mahar juga berfungsi
sebagai alat bukti atas kesungguhan atau kuatnya hubungan dan ikatan
yang akan dijalani oleh kedua belah pihak.30
Mahar sama sekali tidak dimaksudkan sebagai upah atas pekerjaan
memelihara dan membesarkan anak-anak yang lahir akibat perkawinan
29 Al Utsaimin, M. Shaleh dan A. Aziz, Pernikaha Islami, Dasar Hukum Hidup berumah
Tangga, (Surabaya: Risalah Gusti, 1992), 17.
30 Ah}mad Must}afa> al Mara>ghi>, Tafsi>r al Mara>ghi>, j. 1, (Semarang: Toha Putra, 1992),
tersebut, atau lebih-lebih sebagai imbalan atas jasa pelayanan seksual
yang diberikan istri kepada suami.
Mahar juga bukan untuk menghargai atau menilai perempuan,
melainkan sebagai bukti bahwa calon suami sebenarnya cinta kepada
calon istrinya, sehingga dengan sukarela hati ia mengorbankan hartanya
untuk diserahkan kepada istrinya, sebagai tanda cinta dan sebagai
pendahuluan bahwa si suami akan terus menerus memberi nafkah kepada
istrinya, sebagai suatu kewajiban suami terhadap istrinya.31 Oleh karena
itu mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita, baik berupa uang, barang atau jasa yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
Para Imam madhab (selain Ima>m Ma>lik) sepakat bahwa mahar
bukanlah salah satu rukun akad, tetapi merupakan salah satu konsekuensi
adanya akad. Karena itu, akad nikah boleh dilakukan tanpa (menyebut)
mahar, dan bila terjadi percampuran (dukhu>l), ditentukan mahar mitsil,
dan jika kemudian si istri ditalak sebelum dicampuri maka dia tidak
berhak atas mahar, tetapi harus diberi mut’ah yaitu pemberian sukarela
dari suami bisa dalam bentuk pakaian, cincin, dan sebagainya.32
31 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung,
1977), 82.
32 M. Jawad Mughniyah, Fiqih lima Madhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2001),
Abdurrah}ma>n al Jazi>riy mengatakan mahar berfungsi sebagai
pengganti (muqa>balah) istimta>’ dengan istrinya.33 Sedangkan sebagian
ulama’ Ma>likiyyah mengatakan bahwa mahar berfungsi sebagai imbalan
jasa pelayanan seksual dan Abu H{asan ‘Ali memposisikan mahar sebagai
alat ganti (‘iwadh) yang wajib dimiliki wanita karena adanya akad
nikah.34
Muh}ammad Amin al Kurdi menolak mentah-mentah pendapat
Abdurrahman al Jazi>riy tentang fungsi mahar. Menurut beliau kewajiban
membayar mahar bagi suami kepada istrinya hakikatnya bukan sebagai
pengganti (muqa>balah) bersenang-senang dengan istrinya melainkan
sebagai suatu penghormatan dan pemberian dari Allah agar tercipta cinta
dan kasih sayang. Kewajiban membayar mahar dibebankan kepada suami
karena suami yang lebih kuat dan lebih banyak yang bekerja daripada
istrinya.35
Dengan demikian mahar yang menjadi hak istri itu dapat diartikan
sebagai tanda bahwa suami sanggup untuk memikul
kewajiban-kewajiban suami dalam berumah tangga. Jadi jangan diartikan bahwa
pemberian mahar itu sebagai pembelian atau upah bagi istri yang telah
menyerahkan dirinya kepada suami.
4.Syarat-syarat dan Kadar (jumlah) Mahar
a. Syarat-Syarat mahar
33‘Abdurrahma>n Al Jaziri, Madhahib al Arba’ah, J. IV, (Kairo: Mu’assasah al Mukhta>r,
t.t), 78.
34Abu H}asan ‘Ali, al H{awi al Kabi>r, j.9, (Beiru>t: Da>r al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1994), 393.
Mahar yang diberikan suami kepada istri harus memenuhi
syarat sebagai berikut :
1) Berupa harta/benda yang berharga
Tidak sah mahar dengan sesuatu yang tidak memiliki nilai
harga, seperti bijinya kurma. Wahbah al Zuh}ailiy menggunakan
bahasa lain yaitu “mahar itu harus berupa sesuatu yang boleh
dimiliki dan dapat dijual”.36
2) Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya
Tidak sah mahar dengan khamr, babi, darah, dan bangkai
karena semua itu haram, najis, dan tidak berharga menurut
pandangan syari’at Islam. Walaupun menurut sebagian orang hal
tersebut bernilai (berharga). Disamping itu khamr, babi, dan
darah tidak boleh dimiliki oleh orang-orang Islam sehingga tidak
mungkin hal tersebut ketika ijab dijadikan mahar. Tetapi kalau
waktu akad nikah, khamr, babi (sesuatu yang tidak sah dimiliki
orang Islam) dijadikan mahar dan disebut ketika akad, maka
tasmiyah (penyebutan mahar) tersebut batal dan akadnya sah.
Tetapi bagi wanita tersebut wajib menerima mahar mitsil.
Sedangkan menurut golongan Ma>likiyyah akad tersebut batal dan
difasakh sebelum dukhu>l, adapun setelah dukhu>l akadnya sah dan
wajib mahar mithil.37
36 Wahbah Al Zuhailiy, al Fiqh al Islamiy wa Adillatuhu, j.9, (Beirut: Dar al Fikr, t.t),
6767.
3) Barang bukan barang ghas}ab
Ghas}ab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa
seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena
berniat untuk mengembalikannya.
Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab adalah
tidak sah, tetapi akadnya tetap sah dan bagi calon istrinya wajib
ada mahar mithil.
Tetapi seluruh golongan Ma>likiyyah apabila ketika akad
disebutkan mahar yang berupa barang ghasab, jika kedua
mempelai mengetahui kalau mahar tersebut barang ghasab dan
keduanya rasyid (pandai) maka akadnya rusak, dan fasakh
sebelum dukhu>l, tetapi akadnya tetap jika telah dukhul serta
wajib membayar mahar mitsil apabila keduanya masih kecil
(tidak rasyid). Sedangkan kalau yang mengetahui hanya suaminya
saja, maka nikahnya sah. Tetapi kalau pemilik benda (yang dibuat
mahar) mengambil benda tersebut maka suami wajib mengganti
benda yang dijadikan mahar tadi.
Sedangkan menurut golongan Hanafiyyah, akad dan tasmiyah
(penyebutan mahar) nya sah baik keduanya mengetahui atau
tidak, bahwa benda yang dibuat mahar adalah ghasab. Jika ma>lik
(pemilik barang) membolehka benda tersebut dijadikan mahar,
maka sang suami wajib mengganti sesuai dengan harga benda
tersebut dan tidak membayar mahar mithil.38
4) Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
Tidak sah memberikan barang yang tidak jelas keadaannya atau
tidak disebutkan jenisnya. Imam Syafi’iy mengatakan bahwa
“mahar itu tidak boleh kecuali dengan sesuatu yang ma’lum