KONSTRUKSI IDENTITAS DAN RUANG PUBLIK
JAMAAH MAIYAH BANG BANG WETAN SURABAYA
SKRIPSI
Diajukan Kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Program Studi Ilmu Komunikasi (S.I.Kom.)
Dalam Bidang Ilmu Komunikasi
Oleh:
Maulana Syarifudin
B96213102
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
JURUSAN KOMUNIKASI
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
ABSTRAK
Maulana Syarifudin, B96213102, 2017. Konstruksi Identitas dan Ruang Publik Jamaah Maiyah Bangbang Wetan Surabaya. Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya.
Kata Kunci : Konstruksi Identitas, Ruang Publik, Bang Bang Wetan
Skripsi dengan judul “Konstruksi Identitas dan Ruang Publik Jamaah Maiyah Bang Bang Wetan Surabaya” adalah hasil penelitian lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana makna Bang Bang Wetan bagi jamaah maiyah, dan bagaimana konstruksi identitas jamaah maiyah Bang Bang Wetan, serta bagaimana representasi jamaah maiyah Bang Bang Wetan sebagai ruang publik.
Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomologi, dalam penelitian ini mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji.
Data penelitian ini terhimpun dari hasil observasi pada setiap rutinitas Bang Bang Wetan Surabaya dan juga hasil dari wawancara secara langsung dengan para jamaah maiyah Bang Bang Wetan serta para pengiatnya. Data penelitian juga didukung dengan data dokumentatif secara literatur pendukung yang relevan terhadap permasalahan yang diangkat oleh penulis. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa hadirnya Bang Bang Wetan di tengah masyarakat perkotaan bagai oase ditengah tanah gersang. Adanya sosok figur panutan pada
Bang Bang Wetan yaitu Emha Ainun Najib menjadi sosok pembentuk opinion
leader pada setiap rutinitas. Terdapat beberapa tahapan dalam pembentukan identitas jamaah maiyah, mulai dari pengenalan, interaksi, hingga pada tahapan penilaian. Terdapat dua aspek dalam konstruksi identitas jamaah yaitu secara pola pikir, dan juga corak fisik. Sebagai ruang publik Bang Bang Wetan Surabaya direpresentasikan sebagai ruang alternatif dan ruang artikulasi identitas oleh jamaah maiyah.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR BAGAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian... 7
E. Penelitian Terdahulu ... 8
F. Definisi Konsep ... 9
H. Metode Penelitian ... 15
I. Sistematika Pembahasan ... 25
a. Pengertian Konstruksi Identitas... 27
b. Proses Konstruksi Identitas ... 30
c. Perspektif Tentang Identitas ... 34
d. Sifat Dinamis Identitas ... 36
2. Ruang Publik ... 36
B. Kajian Teori 1. Teori Identitas ... 45
BAB III PENYAJIAN DATA A. Deskripsi Subyek, obyek, dan Lokasi Penelitian 1. Deskripsi Subjek Penelitian a. Profil Komunitas Jama’ah Maiyah ... 51
b. Struktur Isim Bangbang Wetan Surabaya... 56
c. Profil Informan... 61
2. Deskripsi Obyek Penelitian ... 66
3. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 66
B. Deskripsi Data Penelitian 1. Makna Bang Bang Wetan Bagi Jamaah Maiyah Surabaya a.Oase di Tengah Kehidupan Metropolis ... 68
b.Energi Lingkaran Cinta ... 70
c.Endapan Pengetahuan ... 71
2. Konstruksi Identitas Jamaah Maiyah Bang Bang Wetan Surabaya a.Tahap Pengenalan ... 72
b.Tahap Interaksi ... 74
c.Tahap Penilaian ... 75
a.Ruang Ekspresi Komunikasi... 78
b.Ruang Media Komunikasi ... 80
BAB IV INTEPRETASI HASIL PENELITIAN A. Temuan Penelitian 1. Identitas Jamaah Maiyah Bang Bang Wetan ... 85
a. Jamaah Maiyah antara Sudut Pandang dan Jarak Pandang ... 85
b. Peci Maiyah Jimat Jamaah ... 86
2. Media Refleksi Diri Masyarakat Metropolis... 87
3. Sosok Figur Anutan ... 88
4. Kesadaran Diri ... 89
a. Kerelaan Diri ... 90
b. Bertukar Informasi ... 91
5. Ruang Publik Alternatif ... 92
a. Ruang Komunikasi ... 92
b. Ruang Artikulasi Identitas ... 93
B. Konfirmasi Temuan dengan Teori 1. Pemaknaan Membentuk Konstruksi Identitas... 95
a. Kategorisasi ... 96
b. Identifikasi ... 98
c. Perbandingan Sosial ... 99
2. Ruang Publik BBW Menjadi Ruang Artikulasi Identitas ... 101
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 105
B. Rekomendasi ... 108
DAFTAR PUSTAKA ... 109
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komunitas Bang Bang Wetan Surabaya hadir di tengah masyarakat
perkotaan Surabaya sejak 16 September 2006, memberikan angin segar bagi
berbagai elemen masyarakat metropolis untuk bersama duduk bersilah dalam satu
forum diskusi tanpa sekat. Forum komunitas Bang Bang Wetan Surabaya ini
rutin diadakan setiap satu bulan sekali dengan konsep diskusi sederhana tentang
berbagai isu. Pada aktivitas di komunitas ini mereka mendefinisikan diri mereka
sebagai forum pencerahan. Layaknya sebuah forum, tentu saja harus melibatkan
banyak pihak di antara anggota forum itu sendiri. Forum tidak bersifat satu arah
saja, melainkan dua arah.
Di dalam Bang Bang Wetan Emha Ainun Najib atau biasa dipanggil Cak
Nun menekankan bahwa format Bang BangWetan harus egaliter, siapapun dari
kalangan manapun bebas dan merasa nyaman untuk menghadirinya, tidak sebatas
pada yang beragama islam saja, melainkan semua pemeluk agama apapun boleh
hadir, bahkan penganut atheispun dipersilahkan, karena forum ini adalah forum
Maiyah, forum kebersamaan bagi semua makhluk Allah. Selain bermakna
رونلا يلا تاملظلا نم , Bang Bang Wetan juga bisa bermakna adzan karena kata
„bang’1
adalah sebutan atau istilah untuk panggilan sholat.2 Jadi Bang BangWetan
diharapkan juga sebagai sebuah forum pemanggil atau penyeru yang
1
http://kbbi.web.id/bang diakses pada 20 Maret 2017
2
2
membangunkan kita untuk bersembahyang, yakni bersembahyang dalam gerak
kehidupan.3
Jika kita telisik dari referensi pada buletin Bang Bang Wetan Surabaya
yang diterbitkan tiap bulan maka komunitas Bang Bang Wetan ini dapat
mensinergikan beberapa unsur masyarakat pinggiran dan perkantoran yang ada
dalam masyarakat, karena di dalamnya mempersatukan banyak golongan, dan
menyajikan dialog dua arah antara kelompok-kelompok masyarakat dalam setiap
pertemuannya. Maka forum ini selalu menekankan pentingnya dialog antara
anggota komunitasnya. Jika dilihat memang forum ini mirip dengan pengajian
karena dimasuki identitas keagamaan Islam, seperti shalawat, dzikir, dan doa
bersama. Akan tetapi, topik permasalahan yang diangkat dalam pertemuan
bulanannya, tidak terbatas masalah keagamaan saja, tapi berskala nasional,
bahkan internasional.
Forum ini tidak selalu diisi dengan dialog da n diskusi, melainkan juga
dihadirkan berbagai kelompok musik dari berbagai aliran sebagai selingan di
antara sesi dialog. Sehingga kebutuhan jamaah maiyah untuk menambah
kekayaan pemikiran disadur dengan unsur hiburan mampu menjadi pengikat dan
pemikat, sehingga jamaah maiyah merasakan kenyamanan dalam sebuah foum
diskusi.
Dalam penelitian ini penulis melihat jamaah maiyah pada komunitas Bang
Bang Wetan Surabaya terdapat berbagai individu individu dengan berbagai latar
belakang. Sehingga penulis ingin menjelaskan mengenai makna Bang Bang
Wetan Surabaya bagi jamaah maiyah serta representasi ruang publik jamaah
3
3
maiyah Bang Bang Wetan Surabaya dan menggali bagaimana konstruksi identitas
jamaah maiyah Bang Bang Wetan Surabaya.
Jurgen Habermas4, seorang sosiolog Jerman, mengemukakan konsep
tentang ruang publik yang mendeskripsikan sebuah ruang institusi dan praktik di
antara perhatian privat kehidupan sehari- hari dalam masyarakat sipil dan ranah
kekuasaan negara. Ruang publik kemudian menjembatani wilayah keluarga dan
tempat kerja, di mana perhatian privat berlaku, dan negara di mana kebanyakan
menggunakan bentuk paksaan berupa kekuasaan dan dominasi. Apa yang
Habermas sebut sebagai „ruang publik borjuis’ terdiri dari ruang sosial di mana
para individu berkumpul untuk mendiskusikan urusan publik umum mereka dan
untuk mengatur dalam rangka melawan kesewenang-wenangan dan bentuk
penindasan kekuasaan sosial dan publik.
F. Budi Hardiman5 membandingkan ruang publik borjuis yang dikemukakan
oleh Jurgen Habermas dengan ruang publik pada realitas masyarakat Indonesia.
Ketika ruang publik borjuis muncul dari masyarakat liberal barat yang memiliki
fase historis kemunculan borjuasi sebagai kelas menengah yang aktif dan mandiri,
maka yang terjadi di Indonesia pada masa orde baru adalah semacam kelumpuhan
basis kemandirian kelas menengah. Tidak pernah ada era „ruang publik borjuis’
yang dapat dijadikan kriteria untuk mengukur demokrasi di dalam masyarakat
kita, karena ruang publik dalam pengertian F. Budi Hardiman, seperti yang
dikemukakan Habermas, tidak pernah ada.
4
Jurgen Habermas, Ruang Publik , Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarak at Borjuis, Yog jaka rta ; Kreasi Wacana 2007
5
4
Pada era reformasi, ketika demokratisasi bagai kran yang mengucurkan air
yang begitu deras, yang kemudian diikuti dengan kemunculan berbagai opini
publik atas nama kebebasan.6 Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah ruang
publik politis yang sepintas berciri komunikasi, tetapi seketika berubah menjadi
komoditas industri media di negeri ini. Inilah yang kemudian disebut Hardiman7
sebagai patologi demokrasi akibat hegemoni pasar atau birokrasi. Ia memberikan
sebuah gambaran tentang ruang publik yang berisi manipulasi- manipulasi oleh elit
media dan birokrasi yang dipasok oleh investasi- investasi besar untuk menjamin
kepentingan-kepentingan privat mereka, juga tentang perversi fungsi- fungsi
parlementer yang menjadi political show dan arena pertukaran komoditas politis.
Maka kehadiran forum Bang Bang Wetan menjadi fenomena unik, di mana forum
ini dapat memberikan alternatif ruang publik dalam masyarakat, yang jauh dari
konsep kapitalisme dan pasar.
Begitu pula dengan setiap individu yang turut hadir pada komunitas Bang
Bang Wetan yang datang dari berbagai lapisan masyarakat yang heterogen yang
memiki sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan keperibadian tersendiri dan
berbeda. Sehingga tingkah lakunya dan gaya yang dimiliki mampu membedakan
dirinya dengan orang lain atau yang disebut dengan identitas, dan tak pelak
kadang seseorang ingin tampak berbeda dengan individu yang lain sehingga
identitas dirinya lebih menonjol daripada orang lain. Sehingga individu tersebut
akan selalu berusaha membangun atau mengkonstruksi identitasnya melalui
berbagai macam cara. Contoh kecil, melalui cara dia berpakaian, berjalan,
6
Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta : 2010. Kan isius, hlm. 109 normatif
7
5
berbicara, sampai cara individu tersebut berpendapat atau bahkan melalui cara
individu tersebut mengambil keputusan.
Identitas adalah bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri, kelompoknya
serta lingkungannya. Secara umum, identitas sebuah komunitas ata u kelompok
berasal dari individu individu yang ada didalamnya. Identitas juga dapat
membentuk orang lain, artinya orang lain dapat terbentuk oleh identitas yang telah
ada dalam suatu kelompok secara sosial maupun kultural. Erving Goofman (1959)
menyebutkan bahwa “a performance can be defined as the sum of activity of a
given participant which seeks to influence the audience in any way”. Menurutnya
setiap individu pada dasarnya mereka melakukan konstruksi identitas dirinya
dengan cara menampilkan diri. Penampilan diri inilah yang menjadi keinginan
untuk mendapatkan pengakuan sosial tentang identitasnya ini.8
Dalam upaya untuk memahami identitas sebagai kategori yang terdiri dari
identitas yang saling berkaitan (interlocking identities), teori – teori yang berada
dalam kelompok “politik identitas” (identity politics) memiliki kepentingan yang
sama dalam hal konstruksi dan pelaksanaan (performance) dari berbagai kategori
identitas. Teori identitas kontemporer (contemporary identity theories)
menyatakan bahwa tidak ada kategori identitas yang berada di luar konstruksi
sosial oleh budaya yang lebih besar. Kita mendapatkan sebagian besar identitas
kita dari konstruksi yang ditawarakan dari berbagai kelompok sosial di mana kita
menjadi bagian di dalamnya seperti keluarga, komunitas, sub kelompok budaya,
budaya dan berbagai ideologi berpengaruh. Tidak peduli apakah hanya ada satu
dimensi atau beberapa dimensi identitas gender, kelas sosial, ras, jenis kelamin,
8Santoso, Edi dan Setiansah, Seti. 2010 “
6
identitas itu dijalankan atau dilaksanakan menurut atau be rlawanan dengan
norma-norma dan harapan terhadap identitas bersangkutan.9
Pengetian Identitas sendiri menurut Chirs Barker adalah soal kesamaan dan
perbedaan tentang aspek personal dan sosial, tentang kesamaan individu dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan individu dengan orang lain.10
Sehingga berdasarkan pemaparan diatas bahwa konstruksi identitas seseorang
dapat terbentuk berdasar pada lingkungan dan kelompok yang ia ikuti, begitu pula
yang terjadi pada komunitas Bang Bang Wetan Surabaya, bagaimana seseorang
dapat melakukan konstruksi identitasnya pada ruang publik yang tersedia pada
komunitas Bang Bang Wetan Surabaya.
Identitas juga merupakan suatu esensi yang dapat dimaknai melalui selera,
kepercayaan, sikap, dan gaya hidup. Dengan demikian identitas dapat dimaknai
sebagai penanda bahwa kita berbeda atau sama dengan yang lainnya. Identitas
bukan merupakan sesuatu yang tetap dan statis, tetapi ia merupakan sesuatu yang
tumbuh dan berkembang. Identitas yang dibentuk oleh individual- individual
dalam sebuah komunitas sosial, secara tidak langsung merupakan pembentukan
identitas komunitas tersebut. Individu yang berada dalam komunitas Bang Bang
Wetan pada dasarnya mempunyai persamaan-persamaan dalam hal konsep
berfikir dan tingkah laku.
Sehingga dari pemaparan diatas terdapat berbagai hal menarik yang perlu
dicermati dan dikaji lebih mendalam dengan perspektif ilmu sosial dan
komunikasi. Pada penelitian kali ini penulis akan melakukan studi di komunitas
9
Morissan, Teori Komunik asi, Individu hingga Massa,Kencana Predana Media Grup,2013, h lm. 129-130
10
7
Bang Bang Wetan Surabaya, terkait konstruksi identitas dan ruang publik pada
komunitas tersebut, dengan menggunakan teori konstruksi identitas dan ruang
publik sebagai acuannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa makna Bang Bang Wetan bagi jamaah maiyah ?
2. Bagaimana jamaah maiyah Bang Bang Wetan mengkonstruksi
identitasnya ?
3. Bagaimana Bang Bang wetan direprentasikan sebagai ruang publik oleh
jamaah maiyah?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menjelaskan makna Bang Bang wetan bagi jamaah maiyah.
2. Untuk menjelaskan konstruksi identitas jamaah maiyah Bang Bang
Wetan Surabaya.
3. Untuk menjelaskan representasi Bang Bang wetan Surabaya sebagai
ruang publik.
D. Manfaat Penelitian
Dasar tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
fenomena sosial dan komunikasi yang ada. Manfaat dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Secara teoretis: untuk memperkaya studi dan kajian tentang komunitas
8
2. Secara praktis: hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai referensi
dalam pengambilan kebijakan pemerintah dalam menyaring aspirasi.
E. Penelitian Terdahulu
Peneliti telah berusaha mencari, membaca dan mengklarifikasikan penelitian
mengenai kontruksi identitas yang berfokus pada konstruksi identitas jamaah
maiyah pada komunitas Bang Bang Wetan Surabaya, dan peneliti belum
menemukan penelitian yang membahas mengenai pembahasan tersebut. Akan
tetapi, terdapat penelitian yang membahas mengenai kontruksi identitas yang
tertuang dalam judul-judul sebagai berikut:
Pertama, Konstruksi Sosial Religiusitas (Studi tentang Religiusitas terhadap
Jama’ah Maiyah di Yogyakarta) yang ditulis oleh Barikur Rahman, Program Studi
Sosiologi, Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini lebih menonjolkan pada
deskripsi Jama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial dalam memaknai
Maiyahan. Juga mendiskripsikan bagaimana pengaruh Maiyahan terhadap
Jama’ah Maiyah dalam kehidupan sehari- harinya.
Kedua, penelitian yang dilakukan Wahyu C. Kristanto dengan judul Acara
Cangkru’an di JTV Sebagai Ruang Publik Masyarakat Jawa Timur, pada
penelitian ini peneliti berfokus pada konsep ruang publik dalam acara Cangkru’an
yang disiarkan di JTV. Hasil penelitian menunjukan ruang publik yang dikemas
dalam acara ini cenderung menonjolkan atribut-atribut masyarakat pinggiran, serta
prinsip kesetaraan yang mewarnai dalam proses dialog di dalamnya.
Penelitian yang berkaitan dengan konstruksi identitas dalam ruang publik pada
9
serupa. Namun penelitian mengenai Bang Bang Wetan dengan judul konstruski
sosial religiusitas (studi pada jamaah maiyah di Yogyakarta), Bang Bang Wetan
dan Komunikasi Politik Komunitas Bang BangWetan. Penelitian-penelitian diatas
menjadi inspirasi serta rujukan penulis dalam melakukan penelitian tentang
Konstruksi Identitas jamah maiyah pada komunitas Bang Bangwetan Surabaya.
Yang mana penulis tidak dapat mengklaim bahwa penelitian ini adalah obyektif.
namun peneliti akan mejelaskan perbedaan penekana n pada penelitian-penelitian
tersebut diatas dengan penelitian yang peneliti lakukan tentang konstruksi
identitas jamah maiyah pada komunitas Bang Bangwetan Surabaya.
Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan ini lebih meneliti pada bagaimana
konstruksi identitas dan ruang publik yang dilakukan jamaah maiyah Bang Bang
Wetan Surabaya.
F. Definisi Konsep
Konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Penentuan dan
perincian konsep sangat penting supaya persoalannya tidak menjadi melebar dan
kabur. Penegasan dari konsep yang terpilih perlu untuk menghindarkan salah
pengertian tentang arti konsep yang digunakan. Karena konsep masih bersifat
abstrak maka perlu upaya penerjemahan atau penjelasan dalam bentuk kata-kata
sedemikian rupa sehingga dapat diuk ur secara empiris. Maka dari itu peneliti
10
1. Konstruksi Identitas
Pengetian Identitas sendiri menurut Chirs Barker adalah soal kesamaan
dan perbedaan tentang aspek personal dan sosial, tentang kesamaan individu
dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan individu dengan orang lain.11
Dilihat dari bentuknya, Setidaknya ada tiga bentuk identitas, yakni identitas
budaya, identitas sosial dan identitas pribadi. Berikut pengertiannya:
Identitas budaya
Identitas budaya merupakan ciri yang mencul karena seseorang itu
merupakan anggota dari sebuah etnik tertentu. Itu meliputi pembelajaran tentang
penerimaan tradisi, sifat bawaan, agama, dan keturunan dari suatu kebudayaan.
Identitas sosial, Identitas sosial terbentuk akibat dari keanggotaan
seseorang itu dalam suatu kelompok kebudayaan. Tipe kelompok itu antara lain,
umur, gender, kerja, agama, kelas sosial, dan tempat, identitas sosial merupakan
identitas yang diperoleh melalui proses pencarian da n pendidikan dalam jangka
waktu lama.
Identitas pribadi, Identitas pribadi didasarkan pada keunikan karakteristik
pribadi seseorang. Seperti karakter, kemapuan, bakat, dan pilihan. Dan lain
sebagainya. Sementara pengetian konstruksi identitas menurut Chris Barker
adalah banguanan identitas diri, memperlihatkan siapa diri kita sebenarnya dan
kesamaan kita dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan kita dari orang
lain. 12 Sedangkan menurut Stuard & Sundeen konstruksi identitas adalah
kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian, yang
merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan utuh.
11
Chris Ba rker. 2004. Cultural Studies, Teori Dan Prak tik , Yogyakarta: Kreasi Wacana, Hal. 172.
12
11
Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat maka akan
memandang dirinya berbeda dengan orang lain, unik dan tidak ada duanya.
Individu yang memiliki identitas diri yang kuat akan memandang dirinya sebagai
suatu kesatuan yang utuh dan terpisah dari orang lain dan individu tersebut akan
mempertahankan identitasnya walau dalam kondisi sesulit apapun.13
2. Ruang Publik
Konsep Habermas tentang ruang publik mendeskripsikan sebuah ruang
institusi dan praktek di antara perhatian privat kehidupan sehari- hari dalam
masyarakat sipil dan ranah kekuasaan negara. Istilah ruang publik dilacak secara
historis oleh Habermas sebagai ranah yang muncul dalam suatu fase spesifik
masyarakat borjuis, ia adalah suatu ruang yang menengahi masyarakat dengan
negara di mana publik mengorganisasi dirinya dan di mana opini publik
terbentuk.14
Institusi- institusi awal ruang publik borjuis berawal dengan keterikatan
dengan masyarakat aristokratik karena menginginkan lepas dari istana. Intensitas
publik dalam jumlah besar yang terbentuk di teater-teater, museum- museum, dan
konser-konser adalah borjuis bahkan sampai akar-akarnya. Kemudian ruang
publik berkembang menuju salon dan kedai kopi (di Inggris, Perancis, dan
Jerman) yang mempunyai kriteria-kriteria institusional. Pertama, mereka
mempertahankan bentuk hubungan sosial yang jauh dari mengangankan
kesetaraan status, bahkan malah mengesampingkan status tersebut. Mereka
mengganti perayaan kedudukan dengan kesetaraan yang layak secara bijak.
13
http://elib.uniko m.ac.id/files/disk1/526/ jbptunikompp-gdl-lindayulia-26296-4 uniko m_l-x.pdf, diakses pada tanggal 20 Nove mber 2016
14
12
Persamaan dianggap sebagai satu-satunya landasan bagi pengukuhan
argumen lebih baik dalam memenangkan perlawanan terhadap hirarki sosial.
Kedua, diskusi di dalam publik semacam itu mengandaikan adanya problematisasi
wilayah-wilayah yang sampai saat itu masih belum dipersoalkan, di mana otoritas
gereja dan negara memiliki monopoli interpretasi dalam ranah filsafat, sastra, dan
seni sehingga ruang publik turut memunculkan kepedulian umum. Ketiga, proses
yang mengubah kebudayaan menjadi komoditas (sehingga membuatnya dapat
menjadi objek diskusi) menciptakan sebuah publik yang pada prinsipnya inklusif.
Menurut Habermas, prinsip ruang publik tercermin dalam sebuah diskusi
terbuka tentang segala isu dalam persoalan umum, di mana argumentasi diskursif
menegaskan perhatian umum. Ruang publik lebih lanjut mengandaikan kebebasan
berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak untuk berpartisipasi secara bebas
dalam debat politik dan pengambilan keputusan.15
Konsep ruang publik, secara normatif, didefinisikan sebagai suatu arena
kehidupan sosial, tempat orang dapat berkumpul bersama, dan secara bebas
mengidentifikasi dan mendiskusikan berbagai bentuk permasalahan sosial. Sejalan
dengan meningkatnya intensitas diskusi dan berjalannya waktu, proses-proses
yang terjadi di dalam ruang publik nantinya akan mempengaruhi
kebijakan-kebijakan politik di masyarakat.16
Secara ideal, ruang publik juga sering dibayangkan sebagai ruang
diskursif, di mana setiap orang dan setiap kelompok dapat berkumpul untuk
15
Douglas Kellner. Jurgen Habermas, The Public Sphere, and Democracy: A Critical Intervention. http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner , d iakses 11 Februari 2017
16
13
membicarakan soal-soal yang berkaitan dengan kepentingan bersama, sehingga,
jika memungkinkan dapat mencapai keputusan bersama. Dapat pula diandaikan
ruang publik sebagai suatu bentuk teater raksasa di dalam masyarakat modern, di
mana partisipasi politik didorong melalui pembicaraan dan diskusi politik. Di
dalam ruang publiklah opini publik yang sesungguhnya bisa dibentuk.17
3. Bang Bang Wetan Surabaya
Forum Bang Bang Wetan hadir di masyarakat perkotaan Surabaya yang
rutin di adakan setiap satu bulan sekali. Forum ini dapat mensinergikan beberapa
elemen yang ada dalam masyarakat, mempersatukan banyak golongan, dan
menyajikan dialog dua arah antara kelompok-kelompok masyarakat dalam
pertemuannya.18
Forum ini mendefinisikan diri mereka adalah forum pencerahan. Sebagai
sebuah forum, tentu saja harus melibatkan banyak pihak di antara anggota forum
itu sendiri. Forum tidak bersifat satu arah saja, melainkan dua arah. Maka forum
ini selalu menekankan pentingnya dialog antara anggota komunitasnya. Jika
dilihat, forum ini mirip dengan pengajian karena diembel-embeli identitas
keagamaan Islam, seperti shalawat, dzikir, dan doa bersama. Akan tetapi, topik
permasalahan yang diangkat dalam pertemuan bulanannya, tidak terbatas masalah
keagamaan saja, tapi berskala nasional, bahkan internasional.19
Kehadiran forum Bang Bang Wetan di Surabaya bagaikan angin segar di
tengah pesimistik masyarakat Indonesia terhadap rumitnya segala persoala n
bangsa dan negara ini. Forum ini menyajikan dialog dan cara berpikir yang relatif
17
Chris Ba rker.2004.Cultural Studies, Teori & Prak tik .Bantul: Kreasi Wacana
18
www.Bang Bangwetan.com dia kses pada 19 Nove mber 2016 puku l, 17.55 WIB
19Saputra.R Prayogi. 2012 “
14
segar dan berbeda dengan mainstream kebanyakan media atau forum lain. Topik
permasalahan bulanan yang diangkat juga beragam, mulai dari dinamika sosial,
politik, agama, negara hingga kondisi keluarga. Bahkan forum ini menghadirkan
para pelaku topik yang sedang diangkat tersebut. Forum ini tidak selalu diisi
dengan dialog dan diskusi, melainkan juga dihadirkan berbagai kelompok musik
dari berbagai aliran sebagai selingan di antara sesi dialog.
4. Jamaah Maiyah
Sebutan Jamaah atau Jemaah ini tidak benar-benar bergerak secara
institutif sebagai kelompok eksklusif tertentu. Jamaah ini secara rutin berkumpul
dalam forum bersama Cak Nun ( Emha Ainun Nadjib ). Foum ini mungkin bisa
dibilang pengajian, tapi standar yang biasa ditemui dalam sebuah acara pengajian
tidak benar-benar menjadi dominan. Sebab di dalamnya lebih banyak
mengajarkan semangat hidup, sikap toleran dan hidup bersama dalam kontribusi
kebaikan. Jadi boleh juga dibilang bahwa Jemaah Maiyah tidaklah identik sebagai
sekumpulan orang Islam saja. Bahkan seringkali hadir dalam forum ini
tokoh-tokoh lintas Agama, Aliran, Suku Bangsa, Etnik, LSM, Mahasiswa dalam dan luar
negeri, dan lain- lain. Nuansanya sangat berbudaya dan tidak juga serta-merta
menjadi sinkretisme.
Dengan gaya bicara khasnya, Cak Nun mengatakan, "Acara ini bukan
acara khusus untuk orang Islam, tapi untuk semua manusia yang Islam dan yang
tidak Islam, Manusia waras dan manusia yang tidak waras, bahkan Jin, Setan,
Dhemit, Gendruwo, kalau memang berminat untuk jadi baik akan dis ambut
15
Cak Nun sebagai figur panutan. Tapi pengkultusan bukan menjadi ideologi masal
di Jamaah Maiyah. Jadi meskipun Ca
k Nun tidak bisa hadir di dalam acara, tetap saja forum bisa berlangsung
dengan baik.20
G. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan hal yang penting, karena berhasil tidaknya
suatu penelitian tergantung dari bagaimana peneliti menentukan metode yang
akan dilakukan. Titik tolak penelitian bertumpu pada minat untuk mengetahui
masalah atau fenomena sosial yang timbul karena berbagai rangsangan, dan
bukanlah pada metodologi penelitian. Sekalipun demikan, tetap harus di ingat
bahwa metodologi penelitian merupakan elemen penting untuk menjaga
reliabilitas dan validalitas hasil penelitian.21
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah interaksionisme
simbolik. Interaksionisme simbolik merupakan salah satu model metodologi
penelitian kualitatif berdasarkan pendekatan fenomenologis atau persepektif
interpretif. Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa dua pendekatan utama
dalam tradisi fenomenologis adalah interaksionisme simbolik dan
etnometodologi.22
Dalam penelitian ini memfokuskan dengan meilhat manusia apa yang telah
dilakukan, namun manusia memiliki kualitas dari apa yang telah dilakukannya
20
www.caknun.com dia kses pada 26 Nove mber 2016, pukul 19.35 WIB
21
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif Ak tualisasi Metodologis k e arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: Raja Gra findo Persada, 2001, 42
22
16
sehingga berbeda dengan hewan. Interaksi simbolik termasuk ke dalam salah satu
dari sejumlah tradisi penelitian kualitatif yang berasumsi bahwa penelitian
sistematik harus dilakukan dalam suatu lingkungan yang alamiah dan buka n
lingkungan artfisial seperti eksperimen. Secara lebih jelas Denzin
mengemukakan tujuh prinsip metodologis berdasarkan paham interaksi
simbolik.23
2. Jenis Penelitian
Penelit i dalam penelit ian ini mengunakan jenis penelitian deskriptif
kualitatif. Secara umum penelit ian kualitatif bertujuan untuk memahami
(understanding) dunia makna yang disimbolkan dalam perilaku masyarakat
menurut perspektif masyarakat itu sendiri.24
Metode kualitatif adalah metode yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami subjek penelit ian, misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata – kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan metode alamiah.25 Deskriptif disini menguraikan data
yang diperoleh secara mendalam dan luas serta dilakukan secara luas dalam
penjabarannya. Deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan objek
penelit ian.
Sesuai dengan definisi dari penelit ian deskriptif yaitu penelit ian
deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detai mengenai
23
Deddy Mulyana. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunik asi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Re maja Rosdakarya.2002 hlm 149.
24
Ima m Suprayogo dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial Agama cet. 1, Bandung : Re maja Rosdakarya, 2001, hal.1
25
17
suatu gejalan atau fenomena.26
Ciri khas dalam penelitian ini adalah menggunakan wawancara langsung
kepada informan untuk memperoleh keterangan dan disertai dengan observasi
lapangan. Penelit ian ini juga menggunakan jenis penelitian Interaksionisme
Simbolik yang merupakan salah satu model penelitian budaya yang berusaha
mengungkap realitas perilaku manusia.
Penelit ian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan
apa-apa yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapa-apat upaya mendeskripsikan,
mencatat, analisis dan menginterpretasikan kondisi yang sekarang ini terjadi
atau ada, dengan kata lain penelit ian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk
memperoleh informasi - informasi mengenai keadaan yang ada.27
Sedangkan pengertian lain menyatakan bahwa penelit ian kualitatif
berusaha memahami dan menafsirkan makna sautu peristiwa interaksi tingkah
laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif penelit ian sendiri.28
Penelit ian kualitatif memiliki ciri – ciri utama yang membedakan dengan
penelit ian kuantitatif.29
3. Subyek, Obyek dan Lokasi Pe nelitian
a. Subyek pe nelitian
Subyek penelitian adalah orang yang diminta untuk memberikan
keterangan tentang suatu fakta atau pendapat. Sebagaimana dijelaskan
26
Ba mbang Prasetyo dan Lina M iftahul Jannah, Metode Penelitian Kuantitatif, Ja karta: PT Ra ja Grafindo, 2005, hal. 45
27
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta : Bu mi A ksara, 1999, hal. 26
28
Husaini Us man dan Purno mo Set iady Akbar, Metode Penelitian Sosial, Jakarta: Bu mi Aksara, 2003, ha l. 81
29
18
Arikunto, subjek penelit ian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh
penelit i.30 Jadi subjek penelit ian itu merupakan sumber informasi yang digali
untuk mengungkap fakta - fakta dilapangan.
Penentuan subyek penelit ian atau informan dalam penelit ian ini dilakukan
dengan cara purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik
pengambilan sampel yang ditentukan dengan menyesuaikan pada tujuan
penelit ian atau pertimbangan tertentu. Meski demikian, untuk mene ntukan
informan ini, peneliti kualitatif harus memiliki kriteria terrtentu yang dapat
memperkuat alasan pemilihan seseorang untuk menjadi subjek penelitiannya.
Inilah mengapa dalam penelit ian kualitatif kerap mempergunakan teknik
purposive sebagai cara untuk menentukan subjek penelitiannya.
Dalam penelit ian kualitatif ini informan biasa disebut dengan subjek peneliti.
Subjek penelitian ini terdapat dari para penggiat Bang Bang wetan Surabaya
dan para jamaah Bang Bang wetan Surabaya. Adapun petimbangan peneliti
dalam menentukan narasumber yak ni orang yang sudah lama mengikuti Bang
Bang Wetan. sehingga mampu dan kaya akan informasi yang dibutuhkan peneliti.
4. Obyek Penelitian
Sesuai dengan judul dalam penelitian ini. Obyek yang akan diteliti dalam
penelit ian ini ialah bagaimana konstruksi identitas jamaah maiyah Bang Bang
wetan Surabaya dan representasi Bang Bang wetan sebagai ruang publik bagi
jamaah Bang Bang wetan.
5. Lokasi Penelitian
Lokasi penelit ian ini bertempat di Balai Pemuda Surabaya dan komplek
30
yang diperoleh secara langsung dari penelit ian pero rangan, kelompok dan
organisasi.31
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua. Sumber –
sumber data dua yang dikumpulkan nantinya akan sesuai dengan fokus
penelit ian yang dilakukan. Menurut Lofland, sumber data utama dalam
penelit ian kualitatif adalah kata – kata dan tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain- lain.32
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk me mberikan informasi
tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian. Jenis dan sumber data
utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Selebihnya
adalah tambahan seperti dokumen-dokumen dan lain- lain. Data dalam
penelit ian kualitatif, informan memiliki peran yang sangat penting untuk
membantu penggalian data. Dari data-data yang ada dapat membentuk
proposisi-proposisi, dari situ dapat menemukan hipotesis.33
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua. Sumber
– sumber satu dua yang dikumpulkan nantinya akan sesuai dengan fokus
penelit ian yang dilakukan.
Data premier dalam penelitian ini merupakan data utama yang diperoleh
31
Rosady Ruslnn, Metode Penelitian Public Relation dan Komunikasi, Jakarta: PT Ra jagrafiindo, 2006, ha l.26 – 28
32
Le xy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung; PT. Re maja Rosdakarya, 2007. Ha l. 157.
33
20
dari informan. Informan dalam penelit ian ini adalah para jamaah maiyah Bang
Bang wetan Surabaya. Data sekunder dalam penelitian ini nantinya akan
dikumpulkan dengan sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang
berhubungan dengan informan dalam prosesnya, seperti: Bagaimana
representasi ruang publik jamaah maiyah Bang Bang Wetan Surabaya.
7. Tahap – tahap Pe nelitian
Adapun tahapan penelitian yang akan dilakukan peneliti, diantaranya
yaitu:
a. Pra – Lapangan
Untuk melakukan sebuah penelit ian kualitatif, perlu mengetahui
tahap-tahap yang akan dilalui dalam proses penelit ian. Tahapan ini disusun secara
sistematis agar diperoleh data secara sistematis pula. Ada empat tahap yang
bisa dikerjakan dalam suatu penelitian, yaitu:34
1. Menyusun rancangan penelitain yang akan dilakukan, setelah
mentukan konteks penelitian yang akan diteliti penelitian ini
dilanjutkan dengan menentukan subyek yang akan diteliti dan apa
obyek yang akan diteliti. Membuat fokus penelitian yang akan diteliti
dari konteks yang ada. Kemusian menentukan informan yang terkait.
2. Mempersiapkan data yang dibutuhkan dalam penelit ian,
Mempersiapkan pertanyaan – pertanyaan yang akan dilakukan untuk
memperoleh data dari informan.
b. Pekerjaan Lapangan
Penelit i akan melakukan observasi terhadap informan yang terkait agar
34
21
dapat memahami kondisional informan yang sebenarnya saat berproses dalam
kegiatannya. Selanjutnya akan membuat pedoman wawancara mengenai hal –
hal yang akan diteliti. Setalah itu mengumpulkan data yang telah diperoleh dan
dikaji ulang untuk dapat dianalisis pada tahapan berikutnya.
c. Penulisan Laporan
Penelit i akan memulai menulis dan menyusun laporan yang telah
didapatkan dan telah diverifikasi ulang.
8. Teknik Pe ngumpulan Data
Pengumpulan data adalah pencatatan peristiwa-peristiwa atau hal- hal atau
keterangan-keterangan atau karakteristikkarakteristik sebagian atau seluruh
elemen populasi yang akan mendukung penelitian, atau cara yang dapat
digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data .35
Tekhnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelit ian kualitatif ini
adalah wawancara mendalam, observasi partisipasi, fenomologi, dan analisis
dokumen.36 Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik:
a. Observasi
Pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan
caramengamati dan mencatat segala sistematik gejala- gejala yang
diselidiki.37Menurut Sukardi, observasi adalah cara pengambilan data dengan
menggunakan salah satu panca indra yaitu indra penglihatan sebagai alat bantu
utamanya untuk melakukan pengamatan langsung, selain panca indra biasanya
35
Suharsimi A rikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendek atan Prak tek, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, h lm. 100.
36
Farouk Muha mmad dan H Djaali, Metodologi Penelitian Sosial Edisi Revisi, Jakarta: PTIK P ress & Agung, 2005, hal. 89
37
22
penulis menggunakan alat bantu lain sesuai dengan kondisi lapangan antara lain
buku catatan, kamera, film proyektor, checklist yang berisi obyek yang diteliti
dan lain sebagainya.
Observasi harus dilakukan secara teliti dan s istematis untuk mendapatkan
hasil yang bisa diandalkan, dan peneliti harus mempunyai latar belakang atau
pengetahuan yang lebih luas tentang objek penelit ian mempunyai dasar teori
dan sikap objektif.38
b. Wawancara
Interview adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide
melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonsentrasikan makna dalam suatu topik
tertentu. Ciri utama dari interview adalah kontak langsung dengan cara tatap muka
antara pencari informasi dan sumber informasi. Adapun wawancara yang
dilakukan adalah wawancara tidak berstruktur, dimana di dalam metode ini
memungkinkan pertanyaan berlangsung luwes, arah pertanyaan lebih terbuka,
tetap fokus, sehingga diperoleh informasi yang kaya dan pembicaraan tidak
kaku.39 Bentuk memperoleh informasi yang tepat dan objektif, setiap interviewer
harus mampu menciptakan hubungan baik dengan interview.
c. Dokumentasi
Dokumentasi berasal dari kata Dokumen, yang artinya barang-barang
tertulis. Untuk mendapatkan data yang akurat, selain diperoleh dari sumber
manusia, data juga diperoleh dari dokumen. Dokumen merupakan catatan
peristiwa lampau. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya
monumental dari seseorang. Studi dokumen merupakan pelengkap dari
38
Soeratno, Metodologi Penelitian, Yogyakarta : UUP AMP YKPN, 1995 Ha l. 99
39
23
penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.
Sedangkan menurut Ahmad Tanzeh penerapan metode dokumentasi ini,
biasanya peneliti menyusun instrument dokumentasi dengan menggunakan check
list terhadap beberapa variable yang akan didokumentasikan.40
9. Teknik Analisis Data
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan lebih banyak bersifat
uraian dari hasil wawancara dan studi dokumentasi. Data yang telah diperoleh
akan dianalisis secara kualitatif serta diuraikan dalam bentuk deskriptif.
Menurut Lexy J. Moleong berdasarkan pada pondasi penelitian, paradigma
penelitian, perumusan masalah, tahap-tahap penelitian, teknik penelitian, kriteria
dan teknik pemeriksaan data dan analisis dan penafsiran data.41
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan langkah- langkah seperti beikut:42
a. Pengumpulan Data (Data Collection)
Pengumpulan data merupakan bagian integral dari kegiatan analisis data.
Kegiatan pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan
wawancara dan studi dokumentasi.
b. Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan –catatan
tertulis di lapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data dimulai dengan
membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat, menulis memo dan
40
Ahmad Tanzeh, Pengantar Metode penelitian, Yogyakarta: Teras,2009, hal. 63
41
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta : Ra ja Gra findo Pe rsada, 1995, 63-64
42
24
sebagainya dengan maksud menyisihkan data/informasi yang tidak relevan.
c. Display Data
Display data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif.
d. Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan (Conclution Drawing and
Verification)
Pada tahap penarikan kesimpulan ini kegiatan yang dilakukan adalah
memberikan kesimpulan terhadap hasil penafsiran dan evaluasi. Kegiatan ini
mencakup pencarian makna data serta member penjelasan. Selanjutnya apabila
penarikan kesimpulan dirasakan tidak kuat, maka perlu adanya verifikasi yaitu
menguji kebenaran, kekokohan dan kecocokan maknamakna yang muncul dari
dataMerupakan kegiatan akhir dari analisis data.43 Penarikan kesimpulan berupa
kegiatan interpretasi, yaitu menemukan makna data yang telah disajikan.
10. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Teknik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan
data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan
sumber data yang telah ada. Bila peneliti melakukan pengumpulan data dengan
triangulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang. Sekaligus
menguji kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan sebagai
sumber data. Menurut Arikunto yang dimaksud dengan sumber data adalah
“subjek dari mana data dapat diperoleh”.44
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
43
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2009, ha l. 92-99
44
25
sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap suatu data.
Dalam penelitian kualitatif, teknik triangulasi dimanfaatkan sebagai
pengecekan keabsahan data yang peneliti temukan dari hasil wawancara peneliti
dengan informan kunci lainnya dan kemudian peneliti mengkonfirmasikan dengan
studi dokumentasi yang berhubungan dengan penelitian serta hasil pengamatan
peneliti di lapangan sehingga kemurnian dan keabsahan data terjamin.45
Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan
cara mengecek data kepada sumber data yang sama dengan teknik berbeda.
Misalnya data diperoleh dengan wawancara, lalu di cek dengan observasi,
dokumentasi, atau kuesioner. Bila dengan tiga teknik pengujian kredibilitas data
tersebut, menghasilkan data yang berbeda-beda, maka peneliti melakukan diskusi
lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan atau yang lain, untuk
memastikan data man yang dianggap benar. Atau mungkin semuanya benar,
karena sudut pandangnya berbeda.46
H. Sistematika Pembahasan
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini merupakan deskripsi yang menjelaskan tentang objek yang diteliti,
menjawab pertanyaan what, kegunaan penelitian serta alasan penelitian dilakukan.
Oleh karena itu, maka bab ini terdiri dari latar belakang masalah, fokus penelitian
(rumusan masalah), tujuan penelitian, manfaat dan sistematika pembahasan.
45
Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidik an Dan Sosial (Kuantit atif Dan Kualitatif), Jaka rta: GP. Press, 2009, hlm. 230-231
46
26
BAB II: KERANGKA TEORITIS
Pada bab ini menguraikan penjelasan tentng kerangka teoritik yang meliputi
pembahasan kajian pustaka dan kajian teoritik dan penelitian terdahulu yang
relevan yang mendukung terkait dengan permasalahan sehingga dapat dijadika n
acuan.
BAB III: PEN YAJIAN DATA
Bab ini berisi tentang gambaran singkat tentang konstruksi identitas dan
ruang publik jamaah Bang Bang wetan Surabaya.
BAB IV: ANALISIS DATA
Pada bab ini membahas temuan peneliti dalam melakukan penelitian dan
menganalisis data konfirmasi temuan dengan teori.
BAB V: PENUTUP
Bab ini merupkan bab terakhir dari seluruh bab dengan isi kesimpulan dan
saran. Dengan kesimpulan berisi tentang pokok permasalahan yang tersusun
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A. Kajian Pustaka
1. Konstruksi identitas
a. Pengertian Konstruksi Identitas
Secara Alamiah, setiap individu memiliki kebutuhan untuk menjalin dan
memiliki hubungan dengan individu lainnya. Kebutuhan ini selanjutnya
mengantarkan mereka untuk menciptakan ikatan-ikatan sosial tertentu sebagai
syarat bagi lahirnya kelompok sosial. Selama proses ini berlangsung, mereka akan
menemukan kesamaan – kesamaan sekaligus perbedaan perbedaan baik itu
terhadap hal-hal yang terkait dengan kepentingan – kepentingan maupun unsur –
unsur pembentuk konsep diri mereka. Kelompok sosial inilah yang kemudin
mampu berperan sebagai sumber identitas dan pemberi rasa aman bagi
anggota-anggotanya, baik ketika mereka sedang berinteraksi dengan maupun ketika sedang
menangkal ancaman-ancaman dari kelompok lain.1
Identitas menurut Chirs Barker dalam bukunya Cultural Studies adalah
soal kesamaan dan perbedaan tentang aspek personal dan sosial, tentang kesamaan
individu dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan individu dengan
orang lain.2 Konstruksi identitas berhubungan dengan citra suatu budaya
masyarakat terhadap budaya lainnya. Konstruksi identitas dibangun untuk melalui
proses historis dengan melibatkan berbagai pihak yang bertindak sebagai agen
kebudayaan. Konstruksi identitas merupakan dasar pelabelan serta
1
Afthonul Afif, Identitas Tionghoa Muslim Indonesia, Depok ; Penerbit Kepik, 2012, Hal. 17
2
28
pengidentifikasian sebuah ciri khas yang melekat dalam suatu budaya, yang
membedakan antara budaya satu dengan budaya lain.3
Kelompok juga memberi identitas terhadap individu, melalui identitas ini
setiap kelompok secara tidak langsung berhubungan satu sama lain. Melalui
identitas ini individu melakukan pertukaran fungsi dengan individu lain dalam
kelompok. Pergaulan ini akhirnya menciptakan aturan – aturan yang harus ditaati
oleh setiap individu dalam kelompok sebagai kepastian hak dan kewajiban mereka
dalam kelompok. Aturan – aturan inilah bentuk lain dari karakter sebuah
kelompok yang dapat dibedakan dengan kelompok lain dalam masyarakat.
Identitas merupakan suatu esensi yang dapat dimaknai melalui tanda selera,
kepercayaan, sikap, dan gaya hidup. Identitas dianggap bersifat personal sekaligus
sosial dan menandai bahwa, “kita sama atau berbeda” dengan orang lain. Tanda –
tanda itu hendaknya tidak dimaknai sebagai suatu yang tergariskan secara tetap
atau sui generis, tetapi sebagai bentuk yang dapat berubah dan diubah, serta
terkait konteks sosial budaya dan kepetingan. Dengan demikian, identitas dalam
konteks ini dipahami bukan sebagai entitas tetap, melainkan suatu yang
diciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak maju dari pada sesuatu
yang datang kemudian, dan sebagai deskripsi tentang diri yang diisi secara
emosional dalam konteks situasi tertentu.
Sebagai makhluk sosial dan budaya, manusia mencoba membangun
identitas mereka dalam relasi sosial dan kultural mereka, untuk menegaskan
posisi individual dan sosial suatu komunitas di hadapan orang atau komunitas
lain. Identitas adalah representasi diri melalui mana seseorang atau masyarakat
3
29
melihat dirinya sendiri dan bagaimana orang lain melihat mereka sebagai sebuah
entitas sosial-budaya. Dengan demikian, identitas adalah produk budaya yang
dalam praktik sosialnya berlangsung demikian kompleks, namun kadangkala atau
bahkan sering kali direduksi sebagai sesuatu yang pasti, utuh, stabil, dan tunggal.4
Identitas yang dibentuk oleh individual - individual dalam sebuah komunitas
sosial, secara tidak langsung merupakan pembentukan identitas komunitas
tersebut. Beberapa bentuk identitas dapat digolongkan sebagai berikut :
1) Identitas Budaya
Identitas budaya merupakan ciri yang muncul karena sesorang itu merupakan
anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu. Meliputi pembelajaran tentang dan
penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, dan keturunan dari suatu
kebudayaan.
2) Identitas Sosial
Identitas sosial terbentuk sebagai akibat dari keanggotaan kita dalam suatu
kebudayaan. Tipe kelompok itu antara lain, umur, gender, kerja, agama, kelas
sosial dan tempat. Identitas sosial merupakan identitas5 yang diperoleh melalui
proses pencarian dan pendidikan dalam jangka waktu yang lama.
3) Identitas Pribadi
Identitas pribadi atau personal didasarkan pada keunikan karakteristik
pribadi sesorang. Perilaku budaya, suara, gerak – gerik, anggota tubuh, nada
suara, cara berpidato, warna pakaian, dan guntingan rambut menunjukkan ciri
khas seseorang yang tidak dimiliki oleh orang lain.
4
Artikel Jamal D Rahman. Teks dan Konstruksi Identitas:Indonesia,
www.jamaldrahman.wordpress.com . Diakses pada tanggal 10 Februari 2017
5
30
Sementara itu Chris Barker juga menyebutkan konstruksi identitas adalah
bangunan identitas diri, memperlihatkan siapa diri kita sebenarnya dan kesamaan
kita dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan kita dari orang lain.6
Sedangkan menurut Stuard Hall konstruksi identitas adalah kesadaran akan
diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian, yang merupakan sintesa
dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan utuh.7 Seseorang yang
mempunyai perasaan identitas diri yang kuat maka akan memandang dirinya
berbeda dengan orang lain, unik dan tidak ada duanya. Individu yang memiliki
identitas diri yang kuat akan memandang dirinya sebagai suatu kesatuan yang
utuh dan terpisah dari orang lain dan individu tersebut akan mempertahankan
identitasnya walau dalam kondisi sesulit apapun.8
Konstruksi identitas dapat kita pahami sebagai persepsi tentang bagaiamana
kita melihat diri kita dan bagaimana orang lain melihat kita melalui perilaku
budaya, suara, gerak – gerik, serta konsep berfikir seorang pribadi, termasuk pada
diri Jamaah Maiyah Bang Bang Wetan Surabaya.
b. Proses Konstruksi Identitas
1) Konsep Diri
konsep diri atau self consept dapat diartikan sebagai (a) persepsi,
keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya, (b) kualitas pensifatan
individu tentang dirinya; dan (c) suatu sistem pemaknaan individu dan pandangan
orang lain tentang dirinya. Selft consept ini mempunyai tiga komponen, yaitu: (a)
6
Ibid Afthonul Afif, Identitas Tionghoa Muslim Indonesia, Depok ; Penerbit Kepik, 2012,
7
Stuard Hall, Cultural Identity and Diaspora, London, 1990
8
31
perceptual atau physical self consept, citra seseorang tentang penampilan dirinya
(kemenarikan tubuhnya), seperti: kecantikan, keindahan atau kemolekan
tubuhnya; (b) conceptual atau psychological self consept, konsep seseorang
tentang kemampuan (keunggulan) dan tidakmampuan (kelemahan) dirinya, dan
masa depannya, serta meliputi juga kualitas penyesuaian hidupnya: honesty, self
confidence, indepedence, dan couragie; dan (c) attitudinal, yang menyangkut
perasaan seseorang tentang dirinya, sikapnya terhadap keberhargaan, kebanggaan,
dan keterhinaannya.9
Apabila seseorang sudah masuk masa keyakinan, nilai-nilai, idealitas,
aspirasi, dan komitmen terhadap filsafat hidupnya. Dilihat dari jenisnya, self
concept ini terdiri atas beberapa jenis, yaitu sebagai berikut:
a) The basic self-concept, James menyebutnya “real-self” yaitu konsep seseorang
tentang dirinya, jenis ini meliputi persepsi seseorang tentang dirinya, jenis ini
meliputi persepsi seseorang tentang penampilan dirinya, kemapuan dan ketidak
mampuannya, peranan dan status dalam kehidupannya, dan nilai-nilai,
keyakinan, serta aspirasinya.
b) The transitory self-concept. Ini artinya bahwa seseorang memilki “self concept”
yang pada suatu saat di memegangnya, tetapi pada saat lain dia akan
melepaskannya. “self concept” ini mungkin menyenangkan, tetapi juga tidak
menyenangkan. Kondisinya sangat situasional, sangat dipengaruhi oleh suasana
perasaan (emosi), atau pengalaman yang telah lalu.10
c) The social self-concept. Jenis ini berkembang berdasarkan cara individu
mempercayai orang lain yang mempersepsikan dirinya, baik melalui perkataan
9
Afthonul Afif, Identitas Tionghoa Muslim Indonesia, Depok ; Penerbit Kepik, 2012
10
32
maupun tindakan. Jenis ini sering juga dikatakan sebagai “mirror image”. Contoh:
jika kepada seseorang secara terus menerus dikatakan bahwa dirinya nakal, maka
dia akan mengembangkan konsep dirinya sebagai anak yang nakal. Perkembangan
konsep diri seseorang dipengaruhi oleh jenis kelompok sosial tempat dia hidup,
baik keluarga, sekolah, teman sebaya, atau masyarakat. Jersild mengatakan,
apabila seseorang diterima, dicintai, dan dihargai oleh orang-orang yang berarti
baginya, maka seseorang tersebut akan mengembangkan sikap untuk menerima
dan menghargsi dirinya sendiri. Namaun apabila orang-orang yang berarti
(significant people) itu menghina, menyalahkan, dan menolaknya, maka ia akan
mengem-bangkan sikap-sikap yang tidak menyenagankan bagi dirinya sendiri.
d) The ideal selft-concept, konsep diri ideal merupakan persepsi seseorang
temtang apa yang diinginkan menegenai dirinya, atau keyakinan tentang apa yang
seharusnya mengenai dirinya. Konsep ini diri ideal ini semakin berkembang
seiring bertambahnya umur seseorang.11
2) lingkungan sosial
lingkungan sosial sangat mempengaruhi terhadap identitas seseorang,
seperti yang dikatakan J.M Baldwin, ia menyebutkan bahwa, “Self” sendiri
sebagai “an actively origanized concept” yang artinya “self” itu sebagai konsep
yag tersusun rapi. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa: “the child oroginaly as
no conception of self, but develops one along with the development of conceptions
of other person”.Robert E.L. Faris, berkata. “man is not bron with a self, or with
conciousness of self, each personbecomes an object to him self by virtue of an
11
33
active processof discovary the material for buildingan conception of self is
acquiredin the process of interaction with other persons. The self is difined
in the reactonsof others”.
Dua pendapat diatas, menunjukkan bahwa “self” tidak ada atau belum ada
pada saat manusia dilahirkan, atau pada waktu masih anak-anak. “Self”
selanjutnya akan lahir dan terbentuk sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungan sosialnya, Misalnya: ibunya, ayahnya, kakaknya dan sebagainya
dengan siapa dia selalu berhubungan tiap hari. Dengan kata lain “self” adalah
produk daripada sosial.12
Jadi, individu tidak akan menemukan identitas dirinya tanpa adanya
benturan atau interaksi dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial
berpengaruh besar terhadap identitas individu tersebut. Karena, Melalui
interaksi-interaksi dengan lingkungan tersebut ia senantiasa selalu mengkonstruk
identitasnya seperti apa yang ia hasilkan dari interaksi dengan lingkungan sosial
sekitar.
3) Pengaruh Kelompok
Konsep Identitas merujuk pada perasaan sesseorang tentang dirinya dalam
hubungannya dengan orang lain dan dengan masyrakat secara umum. Identitas
dibentuk dan diubah oleh proses sosialisasi dan dalam hubungan dengan orang
lain atau kelompok.13
Dalam pembentukan identitas, pengaruh kelompok juga menjadi salah satu
unsur yang dominan, karena dari pergaulan individu dengan kelompok dapat
12
Wuryo Karmiran & Sjaifullah Ali, Pengantar Ilmu Jiwa Sosial, Jakarta: Sabdodadi, 1982), hal. 38-39
13
34
tercipta identitas baru sesuai dengan itensitas interaksi pada kelompok tersebut.
Begitupula dengan Jamaah Maiyah Bang Bang Wetan Surabaya yang mana pada
diri Jamaah Maiyah terdapat interaksi dengan kelompok pada forum Bang Bang
Wetan Surabaya sehingga tidakm menutup kemungkinan juga dapat terbentuk
sebuah identitas baru yang mendekati dengan identitas kelompok tersebut, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
c. Prespektif Tentang Identitas
Martin dan Nakayama dalam bukunya Intercultural Communication in
Contexts menjawab keraguan tentang pemahaman atas identitas melalui tiga
pendekatan, yaitu: pendekatan psikologi sosial, pendekatan komunikasi dan
pendekatan kritis. 14
1) Pendekatan Psikologi Sosial
Pendekatan psikologi sosial berasumsi bahwa kehidupan dan perilaku individu
tidak sendirian, individu ada di dalam lingkungan sosial, oleh karena itu
kepribadian individu dibentuk oleh kepribadian lingkungan sosial. Beberapa
pendekatan psikososial adalah (1) apa yang kita sebut sebagai identitas individu
merupakan ciptaan identitas sosial melalui interaksi dengan kelompok; (2) di sini
terlihat bahwa identitas selalu bersifat ganda, sifat ganda itu karena kita hidup
dalam banyak peran yang berbeda – beda (setiap orang mempunyai banyak peran
yang berbeda - beda) maupun berbeda peran dengan peran orang lain. 15
14
Nakayama, J. N. (2010). Intercultural Communication In Contexts. Dalam J. N.
Nakayama,Intercultural Communication In Contexts (hal. 94). New York: The McGraw-Hill Company.
15
35
2) Perspektif Komunikasi
Perspektif ini menekankan bahwa sifat dari interaksi self atau group (interaksi
yang dilakukan seorang pribadi dan interaksi kelompok) merupakan sesuatu yang
komunikatif. Identitas yang dibangun melalui interaksi sosial dan komunikasi.
Identitas dihasilkan oleh negoisasi melalui media yakni media bahasa.
Tabel berikut ini menunjukkan bahwa identitas seseorang dapat ditentukan
oleh tampilan diri pribadi sendiri (awovel), faktor yang kedua tergantung
bagaimana orang lain memberikan atribusi atas tampilan kita (atribusi askripsi).16
Tabel 1.1
Perbandingan Pengakuan dan Askripsi17
Pengakuan (Awowel) Askripsi (Ascription)
Proses untuk penggambaran diri
atau pribadi seseorang.
Langkah yang menunjukkan
bawa seseorang melakukan
komunikasi.
Representasi seseorang sebagai
pribadi terhadap orang lain.
Ada interelasi yang jelas sekali antara gejala – gejala di atas, antara apa
yang seseorang tampilkan dengan apa yang dilihat oleh orang lain. Ada faktor lain
yang perlu diperhatikan dalam prespektif psikologi sosial jika dikaitkan dengan
komunikasi, yaitu core symbols. Core symbols adalah simbol – simbol inti yang
16
Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, Hal. 54
17
36
berkaian dengan variasi identitas kelompok yang terus berkembang dan berubah
melalui komunikasi.
3) Prespektif Kritis
Menurut pandangan konstektual, identitas dibentuk dalam suatu konteks.
Oleh karena itu, suatu identitas hanya bisa dipahami dalam konteks tersebut,
misalnya konteks sejarah, ekonomi, politik.
Resisiting Ascribet Identities sebenarnya merupakan upaya untuk
mempertahankan bentuk ascribed identity (identitas keturunan) yang diwariskan
kepada kita.
d. Sifat Dinamis dari Identitas
Konsep identitas merujuk pada perasaan seseorang tentang dirinya dalam
hubungannya dengan orang lain dan dengan masyarakat secara umum. Berbagai
kategori identitas dikonstruksi dan dipertahankan pada lapisan organisasi social
yang berbeda.18
Identitas selalu berada di dalam motion (gerak), artinya identitas itu
bersifat dinamis, tidak pernah stabil,. Setiap orang berubah sepanjang waktu,
tanpa peduli perubahan tampak aktif atau pasif. Identitas tidak selalu tetap, tatapi
prosesnya sering berubah. Oleh karena itu kita selalu berusaha mendekati,
membentuk dan bahkan menerima informasi perubahan tersebut.
2. Ruang Publik
Pada umumnya ruang publik adalah ruang terbuka yang mampu
menampung kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di
udara terbuka. Ruang ini memungkinkan terjadinya pertemuan antar manusia
18