• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TUJUAN PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK A. Jenis-Jenis Kecelakaan Lalu Lintas - Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TUJUAN PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK A. Jenis-Jenis Kecelakaan Lalu Lintas - Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusa"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TUJUAN PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK

PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK

A. Jenis-Jenis Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan dikelompokkan menjadi 3 bentuk kecelakaan yaitu :

1. Kecelakaan akibat kerja pada perusahaan

2. Kecelakaan lalu lintas

3. Kecelakaan dirumah19

Pengelompokkan 3 bentuk kecelakaan ini merupakan pernyataan yang

jelas, bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan bagian dari kecelakaan kerja,

Sedangkan definisi yang pasti mengenai kecelakaan lalu lintas adalah suatu

kejadian kecelakaan yang tidak terduga, tidak direncanakan dan diharapkan yang

terjadi di jalan raya atau sebagai akibat dari kesalahan dari suatu akitivitas

manusia di jalan raya, yang mana mengakibatkan luka, sakit, kerugian baik pada

manusia, barang maupun lingkungan.

Jenis kecelakaan dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme

kecelakaan yang dialami oleh kendaraan yang terlibat. Adapun jenis kecelakaan

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kecelakaan sendiri

2. Menabrak obyek tetap

3. Menabrak penyeberang

(2)

4. Tabrakan depan – belakang

5. Tabrakan depan – depan

6. Tabrakan samping – samping

7. Tabrakan beruntun.

Berdasarkan posisi kecelakaan, Kadiyali dalam Kamarwan membagi

kecelakaan menjadi :

1. Tabrakan menyudut (angle), terjadi antara kendaraan yang berjalan pada arah

yang berbeda tetapi juga bukan pada arah yang berlawanan.

2. Menabrak bagian belakang (rear end), kendaraan yang menabrak bagian

belakang kendaraan lain yang berjalan pada arah yang sama.

3. Menabrak bagian samping / menyerempet (side swipe), kendaraan menabrak

kendaraan lain dari bagian samping sambil berjalan pada arah yang sama

ataupun berlawanan.

4. Menabrak bagian depan (head on), tabrakan antara kendaraan yang berjalan

pada arah yang berlawanan.

5. Menabrak secara mundur (backing), kendaraan menabrak kendaraan lain pada

waktu kendaraan tersebut berjalan mundur.20

Menurut cara terjadinya kecelakaan, diklasifikasikan jenis kecelakaan

sebagai berikut :

1. Hilang kendali / selip (running of road)

2. Tanpa tabrakan / kecelakaan sendiri

20

(3)

3. Tabrakan di jalan (collision on road), terdiri dari :

• Dengan pejalan kaki

• Dengan kendaraan lain yang sedang berjalan

• Dengan kendaraan lain yang sedang berhenti

• Dengan kereta, binatang, dan lain-lain.21

Korban kecelakaan lalu lintas adalah manusia yang menjadi korban akibat

terjadinya kecelakaan lalu lintas, Berdasarkan tingkat keparahannya korban

kecelakaan (casualitas) dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :

1. Korban meninggal dunia atau mati (fatality killed)

2. Korban luka-luka berat (serious injury)

3. Korban luka-luka ringan (slight injury).22

Klasifikasi kecelakaan pada dasarnya dibuat berdasarkan tingkat

keparahan korban, dengan demikian kecelakaan lalu lintas dibagi dalam 4 macam

kelas sebagai berikut:

1. Klasifikasi berat (fatality accident), apabila terdapat korban yang mati

(meskipun hanya satu orang) dengan atau korban luka-luka berat atau ringan.

2. Klasifikasi sedang, apabila tidak terdapat korban yang mati namun dijumpai

sekurang-kurangnya satu orang yang mengalami luka-luka berat.

3. Klasifikasi ringan, apabila tidak terdapat korban mati dan luka-luka berat, dan

hanya dijumpai korban yang luka-luka ringan saja.

21

Ibid, hal. 35. 22

(4)

4. Klasifikasi lain-lain (kecelakaan dengan kerugian materiil saja), yaitu apabila

tidak ada manusia yang menjadi korban, hanya berupa kerugian materiil saja

baik berupa kerusakan kendaraan, jalan, jembatan, ataupun fasilitas lainnya.23

B. Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas

Lalu lintas ditimbulkan oleh adanya pergerakan dari alat-alat angkutan,

karena adanya kebutuhan perpindahan manusia dan atau barang. Karena itu,

dampak yang tidak mungkin ditolak karena adanya pergerakan tersebut adalah

terjadinya kecelakaan. Kecelakaan dapat disebabkan oleh faktor pemakai jalan

(pengemudi dan pejalan kaki), faktor kendaraan dan faktor lingkungan.

Kecelakaan diakibatkan oleh kombinasi dari beberapa faktor perilaku buruk dari

pengemudi ataupun pejalan kaki, jalan, kendaraan, pengemudi ataupun pejalan

kaki, cuaca buruk ataupun pandangan yang buruk.

Kecelakaan di jalan raya yang menyebabkan korban luka dan meninggal

dari waktu jumlahnya tak surut. Berdasarkan data yang disodorkan Perserikatan

Bangsa-Bangsa pada 2009, tak kurang dari 1,2 juta jiwa melayang di jalan raya

akibat kecelakaan kendaraan bermotor. 24

Lembaga perkumpulan bangsa sejagat itu juga menyebut, sekitar 87,2

persen kecelakaan itu terjadi di negara berkembang. Data yang tak jauh berbeda

juga disodorkan Lembaga Keselamatan jalan raya Amerika Serikat (NHTSA).

23

Ibid. 24

(5)

Sepanjang 2009, 21.798 orang tewas akibat kecelakaan lalu lintas di jalan

raya di Amerika Serikat. Penyebab terbesar dari kecelakaan bermacam-macam,

mulai dari menenggak minuman beralkohol, cuaca, masalah komponen mobil,

hingga menelepon saat mengemudi.25

Namun, seperti yang dilansir situs resmi NHTSA, setidaknya ada enam

penyebab yang paling sering memicu terjadinya kecelakaan. Keenamnya adalah :

1. Pengemudi kehilangan konsentrasi

Faktor ini menempati urutan pertama, karena hasil penelitian menyebut faktor

ini memiliki persentase menyebabkan kecelakaan hingga 55 persen.

Pengemudi tidak fokus ke kondisi jalan saat mereka menelepon atau

menerima telepon di saat mengemudi. Penyebab lainnya, karena pengemudi

membaca dokumen, membaca pesan pendek, melihat kejadian di sekeliling

jalan dalam waktu lama, mengatur peranti audio.

Selain itu, stres karena masalah pribadi, panik karena ulah pengendara lain,

hingga terburu-buru karena ada persoalan penting yang harus segera

diselesaikan juga menjadi penyebab buyarnya konsentrasi di jalan.

2. Lelah dan mengantuk

Penyebab kedua yang menjadi pemicu terjadinya kecelakaan adalah kelelahan

dan mengantuk. Keduanya memiliki persentase menyebabkan kecelakaan

hingga 45 persen.

Disebutkan, saraf sensorik dan motorik orang yang sangat lelah dan

mengantuk menurun kepekaannya. Sehingga, selain menyebabkan tidak

25

(6)

konsentrasi lelah dan mengantuk juga menyebabkan tingkat refleks seseorang

berkurang.

Kondisi badan yang kelelahan dan mengantuk memiliki kemiripan dengan

orang yang menenggak minuman beralkohol atau obat-obatan. Perbedaannya,

orang yang kelelahan masih memiliki kesadaran yang sewaktu-waktu masih

dikontrol dan distimulasi hingga kembali ke kesadaran penuh.

3. Pengaruh alkohol dan obat

Kondisi mabuk yang diakibatkan oleh minuman beralkohol atau obat-obatan

memiliki tingkat persentase menyebabkan kecelakaan hingga 30 persen.

Menenggak alkohol atau mengkonsumsi obat-obatan (atau bahkan obat yang

direkomendasi dokter) berpotensi menghilangkan kemampuan kontrol otak.

Sehingga selain kesadaran hilang atau berkurang, kemampuan refleks juga

merosot drastis.

Pengemudi yang mabuk cenderung kehilangan kemampuan memperhitungkan

manuver, kepekaan dalam merasakan kecepatan mobil, hingga

ketidakakuratan pandangan.

4. Kecepatan melebihi batas

Faktor lain yang juga kerap menjadi penyebab kecelakaan adalah pengemudi

menggeber mobil dengan kecepatan yang melebihi standar yang diizinkan di

jalan. Pengemudi akan kesulitan melakukan manuver dengan aman saat

kondisi jalan tak memungkinkan.

Terlebih bila mobil bermasalah, seperti ban pecah atau satu di antara

(7)

melengkapi mobil produksinya dengan seabrek peranti penunjang

keselamatan, jangan pernah berspekulasi.

Pasalnya, kondisi tersebut berasumsi pada saat jalanan dalam kondisi ideal.

Selain itu kondisi yang tak terduga dan dialami oleh pengemudi juga berbeda

saat mobil pertama kali diuji coba oleh pabrikan.

Faktor kecepatan ini memiliki persentase menyebabkan kecelakaan hingga 30

persen. Faktor kecepatan ini juga termasuk perilaku pengemudi yang agresif

dalam mengemudikan kendaraannya.

5. Cuaca

Meski terlihat sepele, namun cuaca hujan deras, angin ribut, berkabut, hingga

udara kering yang menyebabkan jalanan berdebu juga tercatat sebagai

penyebab kecelakaan. Persentasenya mencapai 13 persen.

Guyuran air hujan selain menyebabkan keterbatasan pandangan juga

menjadikan kemampuan ban untuk mencengkeram lintasan juga berkurang.

Terlebih bila kendaraan yang berada di depan atau belakang tidak memiliki

kewaspadaan yang tinggi atau bermasalah.

Di negara-negara tropis seperti Indonesia, faktor cuaca seperti hujan memiliki

tingkat potensi tinggi memicu terjadinya kecelakaan.

6. Komponen tak beres

Faktor ini kerap tidak disadari oleh pemilik atau pengguna mobil. T erlebih

bila pemilik atau pengguna mobil tidak memiliki kepekaan untuk mendeteksi

ada tidaknya permasalahan di satu komponen mobil.

(8)

14 persen. Beberapa kerusakan komponen yang paling sering terjadi adalah

kanvas rem yang sudah tidak berfungsi maksimal, power steering yang

terganjal sehingga kontrol kemudi tak terkendali dengan baik.

Selain itu ban pecah, sistem kontrol elektronik untuk menjaga kestabilan

mobil yang rusak, hingga kabel sistem kelistrikan yang berpotensi

korsleting.26

Hasil penelitian NHTSA juga menunjukkan, selama ini para pemilik atau

pengguna mobil jarang yang memperhatikan kondisi komponen mobil mereka.

Sebagian besar di antara mereka akan membawa kendaraannya saat ada gejala

yang benar-benar dirasakan atau setelah terjadi peristiwa kecelakaan.

Sumber lain mengatakan ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan

kecelakaan di jalan raya itu terjadi, yaitu: faktor human error (kesalahan

manusia), faktor mechanical failure (kesalahan teknis kendaraan), faktor kondisi

jalanan dan faktor cuaca. Berikut ini akan dibahas satu-persatu faktor-faktor

tersebut.

1. Faktor human error

Faktor ini seringkali menjadi penyebab utama kecelakaan. Penyebabnya bisa

karena ngantuk, tidak tertib, pengemudi kehilangan konsentrasi (melakukan

aktifitas lain sambil berkendara), mabuk alkohol/obat-obatan, kondisi psikis

(stress, depresi dan lain-lain). Di Amerika, sebanyak 45% kecelakaan jalan

raya yang terjadi adalah karena pengemudi ngantuk. Mengantuk disebabkan

karena manusia kurang tidur yang cukup sebelum berkendara sehingga syaraf

26

(9)

sensorik dan motorik jadi menurun kepekaannya.

2. Faktor mechanical failure

Faktor ini juga menjadi pemicu terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Persentasenya skitar 15%. Kurangnya pengetahuan si pengendara terhadap

kondisi kesiapan kendaraannya bisa fatal akibatnya. Kerusakan mesin, spare

parts, komponen pada kendaraan. Pemilik kendaraan sering melupakan atau

lalai mendeteksi adanya permasalahan di kendaraannya.

Supaya tetap berkendara dengan kendaraan yang prima, sangat disarankan

untuk melakukan pengecekan rutin mingguan/bulanan terhadap kondisi

kendaraan di bengkel resmi.

3. Faktor kondisi jalanan

Faktor kondisi jalanan yang bergelombang, lubang, rusak sangat

membahayakan bagi pengguna jalan raya. Untuk itu, pemakai jalan harus

sangat waspada terhadap kondisi jalanan. Berhati-hati pada setiap jalan yang

dilalui. Walaupun pemakai jalan sudah sering lewat jalan itu, tapi tetap harus

waspada. Memang, tanggung jawab dari pemeliharaan infrastruktur jalan raya

adalah tanggung jawab pemerintah, tapi ada baiknya pemakai jalan dalam hal

ini mengalah demi keselamatan sendiri.

4. Faktor kondisi cuaca/alam

Faktor ini juga termasuk sebagai pemicu terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Kondisi cuaca yang buruk bisa membuat jarak pandang berkurang, jarak

pengereman jadi jauh, kondisi jalanan jadi licin. Jika sudah itu yang terjadi,

(10)

Nyalakan lampu kendaraan dan jangan memacu kendaraan terlalu kencang.27

C. Tujuan Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Tindak Pidana Kecelakaan

Lalu Lintas Yang Dilakukan Anak

Sejarah perkembangan hukum pidana modern, pidana bersyarat ini berasal

dari AS tahun 1878.28 Sebagai negeri jajahan Belanda pada waktu itu lembaga

pidana bersyarat juga tercantum dalam Pasal 14a – 14 f WvS-NI (KUHP

Indonesia) pada tahun 1926 yang sampai sekarang masih berlaku.

Pasal 14:

“Terpidana yang dijatuhkan pidana penjara wajib menjalankan segala

pekerjaan yang dibebankan kepadanya berdasarkan ketentuan pelaksanaan

Pasal 29”

Pasal 14a :

(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.

(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana. Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara

27

All Information, "Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas", Melalui https://yvcibc.wordpress.com/2013/02/20/322/, Diakses tanggal 23 Mei 2015.

28

(11)

mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat 2.

(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan. (4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan

cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.

(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.

Pasal 14b:

(1) Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling lama dua tahun.

(2) Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.

(3) Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah.

Pasal 14c:

(1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana, hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.

(2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan.

(3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitik terpidana.

Pasal 14d:

(1) Yang diserahi mengawasi supaya syarat-syarat dipenuhi, ialah pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan, jika kemudian ada perintah untuk menjalankan putusan.

(12)

pemimpin suatu rumah penampungan yang berkedudukan di situ, atau kepada pejabat tertentu, supaya memberi pertolongan atau bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.

(3) Aturan-aturan lebih lanjut mengenai pengawasan dan bantuan tadi serta mengenai penunjukan lembaga dan pemimpin rumah penampungan yang dapat diserahi dengan bantuan itu, diatur dengan undang-undang.

Pasal 14e:

Atas usul pejabat dalam pasal ayat 1, atau atas permintaan terpidana, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama, selama masa percobaan, dapat mengubah syarat-syarat khusus dalam masa percobaan. Hakim juga boleh memerintahkan orang lain daripada orang yang diperintahkan semula, supaya memberi bantuan kepada terpidana dan juga boleh memperpanjang masa percobaan satu kali, paling banyak dengan separuh dari waktu yang paling lama dapat diterapkan untuk masa percobaan.

Pasal 14f:

(1) Tanpa mengurangi ketentuan pasal diatas, maka atas usul pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat 1, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan, atau memerintahkan supaya atas namanya diberi peringatan pada terpidana, yaitu jika terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi tetap, atau jika salah satu syarat lainnya tidak dipenuhi, ataupun jika terpidana sebelum masa percobaan habis dijatuhi pemidanaan yang menjadi tetap, karena melakukan tindak pidana selama masa percobaan mulai berlaku. Ketika memberi peringatan, hakim harus menentukan juga cara bagaimana memberikan peringatan itu.

(2) Setelah masa percobaan habis, perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat diberikan lagi, kecuali jika sebelum masa percobaan habis, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana di dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan pemidanan yang menjadi tetap. Dalam hal itu, dalam waktu dua bulan setelah pemidanaan menjadi tetap, hakim masih boleh memerintahkan supaya pidananya dijalankan, karena melakukan tindak pidana tadi.

Aspek tujuan pemidanaan sebenarnya pidana bersyarat ini lebih ditujukan

pada resosialisasi terhadap pelaku tindak pidana daripada pembalasan terhadap

perbuatannya. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan aliran hukum pidana

(13)

untuk kemanfaatan atau memperbaiki dengan mempertimbangkan sifat-sifat serta

keadaan terpidana. Dalam pidana bersyarat terdapat makna yang tersimpul bahwa

sanksi dijatuhkan bukan karena orang telah melakukan kejahatan, melainkan

supaya orang jangan melakukan kejahatan.

Syarat pertama yang ditegaskan dalam Pasal 14a KUHP untuk penerapan

pidana bersyarat adalah jika hakim berkehendak menjatuhkan pidana penjara

kepada terdakwa tidak lebih dari satu tahun. Jadi tolok ukurnya bukan pada pidana

yang diancamkan terhadap pelaku, tapi pada berat-ringannya pidana yang akan

dijatuhkan oleh hakim.

Bila hakim bermaksud memidana terdakwa tidak lebih dari satu tahun

penjara, maka hakim dapat memerintahkan untuk tidak menjalani vonis itu dengan

menetapkan syarat-syarat tertentu. Selain syarat-syarat yang telah ditentukan

dalam Pasal 14a - 14f KUHP, hakim juga harus memperhatikan bukti materiil

yang ditemukan dalam persidangan, dan mempertimbangkan pula sifat-sifat serta

kondisi terdakwa. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 14 a KUHP dan seterusnya.

Pidana bersyarat bukan merupakan pidana pokok tetapi hanya salah satu

bentuk dari cara pelaksanaan pidana penjara yang kewenangannya diserahkan

pada hakim. Meskipun dalam pidana bersyarat terkandung pengertian terpidana

tidak perlu menjalankan hukumannya di penjara, namun tidak berarti dia bebas

hukuman. Ada batas waktu percobaan yang ditetapkan oleh hakim kepada

terpidana untuk tidak melakukan suatu tindak pidana. Bila melanggarnya pidana

(14)

Menurut Pasal 14 c KUHP, disamping selama masa percobaan si terpidana

tidak boleh melakukan suatu tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat

khusus bahwa selama masa percobaannya si terpidana harus mengganti seluruh

atau sebagian kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan pidananya. Disamping

itu, dapat pula ditentukan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku si

terpidana yang harus dipenuhi sepanjang atau sebagian dari masa percobaannya.

Namun, syarat-syarat itu tidak boleh mengurangi kemerdekaan agama atau

kemerdekaan politik dari si terpidana.

Jadi, sebenarnya sistem hukum memungkinkan hakim untuk memutuskan

pidana bersyarat bagi seseorang dengan syarat khusus melakukan pelayanan

masyarakat untuk suatu waktu tertentu selama masa percobaan. Namun,

sepertinya belum ada hakim yang memberikan putusan seperti itu.

Sebenarnya penerapan pidana bersyarat mengandung beberapa

keuntungan. Beberapa keuntungan itu antara lain:

1. Memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di dalam masyarakat.

2. Memberikan kesempatan kepada terpidana untuk berpartisipasi dalam pekerjaan-pekerjaan, yang secara ekonomis menguntungkan masyarakat dan keluarga.

3. Biaya yang harus ditanggung Negara lebih murah dibandingkan dengan pidana penjara atau pidana kurungan.29

Nawawi menjelaskan dalam prakteknya lembaga pidana bersyarat ini tidak

dapat diterapkan secara optimal karena beberapa alasan, yaitu antara lain:

1. Belum adanya pedoman yang jelas tentang penerapan pidana bersyarat, yang mencakup hakekat, tujuan yang hendak dicapai serta ukuran-ukuran di dalam penjatuhan pidana bersyarat.

29

(15)

2. Belum melembaganya pola-pola pengawasan dan pembinaan dan sistem kerjasama dalam pengawasan dan pembinaan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat

3. Jaksa dan hakim masih sangat selektif dan membatasi diri dalam menuntut dan menjatuhkan sanksi pidana bersyarat. Padahal sebenarnya KUHP memberikan kemungkinan untuk menerapkan sanksi pidana bersyarat secara lebih luas. Seandainya saja semua pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan yang diputuskan hakim dapat diterapkan sanksi pidana bersyarat dengan salah satu syarat khususnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat seperti yang diterapkan kepada Naomi Campbell dan Boy George, maka selain memberikan efek jera pasti juga memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Apalagi apabila terpidana tersebut dapat diperbantukan sebagai tenaga relawan untuk membantu meringankan penderitaan korban bencana alam yang kerap terjadi di tanah air. .30

Ketentuan dalam Pasal 14 a KUHP inilah merupakan landasan hukum dari

pidana bersyarat yang lahir tahun 1927 (LN. 1926 No. 251 jo 486).31

Putusan hakim menurut Pasal 14 a ayat (5), perintah hakim tersebut harus

disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu. Akan

tetapi dalam praktek hukum hal ini jarang dilakukan. Di Negeri Belanda menurut

arrest HR 6 Juni 1933, W. 12634, juga tidak wajib menyebutkan alasan-alasan

tersebut dalam putusan hakim.32

Putusan pidana bersyarat dijatuhkan oleh hakim terkadang diikuti dengan

hukuman percobaan. Dengan demikian maka apabila hukuman percobaan

percobaan dilanggar berarti pidana bersyarat juga dilangga. Adapun masa

percobaan tersebut dikenal dalam spesifikasi:

1. Kejahatan.

2. Pelanggaran tersebut Pasal : 492, 504, 505, 506 dan 536 paling lama 3 tahun.

30

Ibid., hal. 31. 31

Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, hal. 473.

32

(16)

Hal di atas menjelaskan bahwa pidana bersyarat yang diputus dengan pidana

percobaan merupakan tindak pidana dalam bentuk kejahatan atau dalam bentuk

pelanggaran.

Masa percobaan untuk pelanggaran lainnya maksimum 2 tahun. Masa

percobaan dimulai sejak putusan menjadi tetap dan diberitahukan secara sah

kepada terpidana. Untuk masa percobaan tidak diperhitungkan masa penahanan

yang sah.

Perintah pelaksanaan pidana bersyarat, hakim boleh mewajibkan kepada

suatu lembaga badan hukum (lembaga reklasiring) untuk memberi bantuan kepada

terpidana bersyarat. Dan selama masa percobaan itu, hakim yang bersangkutan

dapat:

1. Mengubah syarat-syarat khusus atau lamanya waktu berlakunya syarat-syarat

terpidana.

2. Memerintahkan orang lain (badan hukum), selain dari yang diwajibkan semula

untuk membantu terpidana.

3. Memperpanjang masa percobaan.

Menurut Barda Nawawi ada dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal

dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) termasuk penerapan pidana

bersyarat ialah masalah penentuan:

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.33

33

(17)

Penganalisaan terhadap 2 (dua) masalah sentral ini dapat dilepaskan dari

konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau

kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas

harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial

politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana termasuk

pula kebijakan dalam menangani 2 (dua) masalah sentral di atas, harus pula

dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan. Sudah barang

tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum

pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya.

Klasifikasi kebijakan hukum pidana sebagaimana diutarakan oleh Muladi

dan Nawawi dapat meliputi :

1. Pendekatan integral antara kebijakan penal dan non penal.

2. Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan hukum

pidana.34

Pendekatan integral antara kebijakan penal dan non penal pada dasarnya

adalah usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi

kejahatan (politik kriminal) tentu tidak saja hanya menggunakan sarana penal

(hukum pidana) tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana-sarana yang

non penal. Usaha-usaha non penal ini misalnya penyantunan pendidikan sosial

dalam rangka pengembangan tanggungjawab sosial warga masyarakat,

penggarapan kese-hatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan

sebagainya, peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan

34

(18)

patroli dan pengawasan lainnya secara kontiniu oleh polisi dan aparat keamanan

lain dan sebagainya. Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi bidang yang

sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial.

Usaha non penal adalah suatu usaha yang dilakukan oleh pemerintah

dalam hal penanggulangan suatu kejahatan. Misalnya pengemis dan gelandangan

adalah suatu tindak pidana. Pengemis dan gelandangan tentunya sangat tidak

manusiawi jika dihukum berdasarkan undang-undang. Tetapi lebih menciptakan

kepastian hukum apabila dibekali dengan pendidikan dan latihan kerja. Inilah

yang dimaksudkan dengan usaha non penal. Atau usaha yang tidak semata-mata

hanya menghukum pelaku tindak pidana.

Oleh karena itu, suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan

dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang no penal itu ke

dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu.

Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan hukum

pidana adalah meliputi:

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.35

Penganalisaan terhadap dua keadaan sentral ini tidak dapat dilepaskan dari

konsepsi bahwa kebijakan kriminal merupakan again integral dari kebijakan

sosial. Ini berarti pemecahan masalah-masalah tersebut di atas harus pula

diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang

ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana termasuk pula kebijakan

35

(19)

dalam menangani dua keadaan di atas harus pula dilakukan dengan pendekatan

yang berorientasi pada kebijakan.

Sebagaimana diterangkan dalam dalam bab tinjauan pustaka bahwa

kebijakan hukum pidana dibuat dan direncanakan oleh masyarakat. Dengan

demikian maka dapat dipahami bahwa kebijakan hukum pidana tersebut

diperuntukkan bagi perlindungan hukum kepada masyarakat itu sendiri, baik itu

akibat dari pemberlakuan hukum pidana itu sendiri maupun juga akibat-akibat

dari pelanggaran hukum pidana itu.

Kebijakan hukum pidana juga diperuntukkan bagi perbaikan kehidupan

sosial kemasyarakatan dimana bentuk-bentuk pertanggungjawaban pidana

harus menggambarkan suatu pola yang memang memberikan potensi dalam hal

melindungi kepentingan diri pribadi masyarakat, harta, dan juga lingkungannya.

Maka kebijakan hukum pidana tidak saja melingkupi kebijakan penerbitan

perundang-undangan tetapi juga meliputi kebijakan perbaikan kehidupan dan taraf

kesejahteraan masyarakat.

Konsekuensi dari proses interaksi sosial yang menyangkut perilaku

kejahatan tersebut akan mendapat reaksi sosial. Reaksi-reaksi sosial terhadap

kejahatan dalam masyarakat mempunyai berbagai wujud, sebagian kejahatan ada

yang dihukum sesuai dengan rumusan-rumusan hukum dan ada pula yang

diberikan reaksi sosial tanpa dihukum, dan kalaupun dihukum hanyalah

pengurangan pidana.

Reaksi masyarakat atau lebih lebih tegasnya reaksi hukum yang berupa

(20)

ditentukan, masih mempunyai nilai penting karena:

1. Terjadinya tindak pidana telah mengguncangkan keamanan dan ketenteraman

kehidupan anggota masyarakat pada umumnya.

2. Korban kejahatan (suatu tindak pidana adalah seorang anggota masyarakat

yang seharusnya terhindari dari kejahatan).

3. Besarnya kerugian yang diderita (anggota) masyarakat disebabkan karena

kejahatan tersebut tidaklah hanya dapat diukur secara material semata-mata

melainkan terlebih penting adalah kerugian-kerugian secara moril yaitu

berkurangnya atau hilangnya kepercayaan anggota masyarakat terhadap

hukum dan kewibawaan aparat penegak hukum.

Pemidanaan termasuk pidana bersyarat penting dan mempunyai tujuan

seperti :

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

demi pengayoman masyarakat.

2. Mengadakan koreksi terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang

baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada diri terpidana.

5. Luasnya dan lapangan waktu yang diberikan kepada pelaku tindak pidana

untuk merubah kelakuannya.

Reaksi sosial merupakan konsekuensi terhadap perilaku jahat yang pada

(21)

masyarakat terhadap suatu kejahatan/pelanggaran yang timbul dalam masyarakat,

sehingga reaksi tersebut merupakan rangkaian peristiwa yang berkaitan dengan

peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya sehingga perlu dicari

sebab-sebabnya.

Masalahnya adalah apakah penjatuhan pidana bersyarat yang mempunyai

tujuan penting dan merupakan reaksi yuridis untuk kepentingan negara,

masyarakat dan kepentingan umum itu juga dapat menjadi faktor penanggulangan

kejahatan. Seandainya dapat maka akan timbul pertanyaan bagaimana upaya

pencegahannya. Atau alternatif apa yang seharusnya diterapkan oleh hakim agar

kecil kemungkinannya untuk menimbulkan kejahatan baru sebagai akibat dari

tindakan itu.

Suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana bersyarat memberikan

fungsi bagi perbaikan tingkah dan laku pelaku tindak pidana untuk menjadi lebih

baik, karena adanya waktu dan kesempatan yang luas bagi si terpidana untuk

memperbaiki dirinya.

Hanya saja dalam kaitan ini terhadap tindak pidana yang diancam dengan

pidana bersyarat dapat diselesaikan proses hukumnya secara tepat. Penerapan hu

-kum pidana dengan kemungkinan penjatuhan pidana dan terutama perampasan

kemerdekaan banyak mengandung kritik baik dilihat dari efektivitasnya maupun

akibat-akibat negatif lainnya yang menyertai atau berhubungan dengan

dirampasnya kemerdekaan seseorang. Kritik tajam tidak hanya ditujukan terhadap

pidana penjara menurut pandangan modern yang lebih bersifat kemanusiaan dan

(22)

Sesuai dengan pemikiran alternatif ini maka adalah sangat potensial sekali

jika suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana bersyarat dapat diterapkan

pemeriksaan dan pemutus perkaranya secara singkat dan juga tidak berlarut-larut,

dengan tidak melupakan konsep kepentingan hukum yaitu keadilan dan ketertiban

umum.

Pidana bersyarat dalam kaitan ini perlu juga dihubungkan dengan masalah

pidana minimal. Karena dengan adanya pidana bersyarat maka pidana minimal

dapat diterapkan. Pidana minimal adalah penjara 1 hari, yang pada dasarnya

dijatuhkan oleh hakim karena adanya pengurangan pidana. Dari pidana minimal

ini misalnya seseorang diancam pidana penjara 6 bulan, tetapi telah melakukan

ganti rugi terhadap objek yang dirusaknya, maka dalam putusannya hakim

menjatuhkan pidana bersyarat. Tetapi karena hukum Indonesia menganut asas

bahwa setiap perbuatan pidana ada hukumannya maka hakim menjatuhkan pidana

minimalnya yaitu 1 hari.

Kebijakan demikiaan sangat tepat karena diakui bahwa dalam beberapa hal

tujuan keadilan mungkin memerlukan pengenaan pidana penjara pendek dan

penghapus penyeluruh pidana penjara pendek dalam perakteknya tidaklah

mungkin. Namun demikian agar ketentuan minimal umum 1 (satu) hari itu tidak

menyebabkan kemungkinan terjadinya disparatis pidana yang sangat mencolok

untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya, sehingga perlu

diimbangi dengan pengurangan pidana khusus. Disamping bertolak dari

pemikiran, perlunya minimal khusus ini didasarkan pada pemikiran yang analog

(23)

diperberat dalam hal-hal tertentu. Analog dengan itu, minimum umum 1 (satu)

hari itupun hendaknya dalam hal-hal tertentu dapat diperberat. Secara teknik

perundang-undangan, kemungkinan memperberat minimal umum itu dapat

dicantumkan dalam aturan umum Buku I atau dalam buku II dengan menetapkan

minimal khusus untuk delik-delik tertentu, khususnya untuk delik-delik yang

Referensi

Dokumen terkait

Guru sebagai subjek pendidikan di sekolah menjadi orang yang berwenang dan yang paling bertanggung jawab untuk membimbing dan membina anak didik di madrasah

Pole yang terdekat dengan sumbu imajiner berpengaruh besar besar pada respon loop tertutup, maka walaupun sistem mempunyai 3 atau 4 pole, mungkin juga bekerja seperti

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan variasi suhu dan lama penggorengan memiliki pengaruh nyata terhadap kadar air, kadar asam lemak bebas, uji mikroskopik

Miriam, seorang Melankolis yang Sempurna, meceritakan kepada saya bagaimana dia tertarik dengan seketika kepada Chuck karena pria ini begitu percaya kepada dirinya sendiri,

Sebagaimana dikatakan bahwa masalah itu merupakan kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang tentunya dibutuhkan penyelesaian yang pasti sebagaimana yang terjadi

pengembangan anak usia dini yang holistik dan terintegrasi terutama keterpaduan PAUD, BKB, dan Posyandu; (4) untuk mengevaluasi pelaksanaan pelayanan PAUD yang

Metode yang digunakan untuk pengolahan data dalam penelitian ini adalah metode semiotik (petanda dan penanda) dengan melihat tanda bahasa yang melekat di