BAB II
TUJUAN PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK
PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK
A. Jenis-Jenis Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan dikelompokkan menjadi 3 bentuk kecelakaan yaitu :
1. Kecelakaan akibat kerja pada perusahaan
2. Kecelakaan lalu lintas
3. Kecelakaan dirumah19
Pengelompokkan 3 bentuk kecelakaan ini merupakan pernyataan yang
jelas, bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan bagian dari kecelakaan kerja,
Sedangkan definisi yang pasti mengenai kecelakaan lalu lintas adalah suatu
kejadian kecelakaan yang tidak terduga, tidak direncanakan dan diharapkan yang
terjadi di jalan raya atau sebagai akibat dari kesalahan dari suatu akitivitas
manusia di jalan raya, yang mana mengakibatkan luka, sakit, kerugian baik pada
manusia, barang maupun lingkungan.
Jenis kecelakaan dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
kecelakaan yang dialami oleh kendaraan yang terlibat. Adapun jenis kecelakaan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kecelakaan sendiri
2. Menabrak obyek tetap
3. Menabrak penyeberang
4. Tabrakan depan – belakang
5. Tabrakan depan – depan
6. Tabrakan samping – samping
7. Tabrakan beruntun.
Berdasarkan posisi kecelakaan, Kadiyali dalam Kamarwan membagi
kecelakaan menjadi :
1. Tabrakan menyudut (angle), terjadi antara kendaraan yang berjalan pada arah
yang berbeda tetapi juga bukan pada arah yang berlawanan.
2. Menabrak bagian belakang (rear end), kendaraan yang menabrak bagian
belakang kendaraan lain yang berjalan pada arah yang sama.
3. Menabrak bagian samping / menyerempet (side swipe), kendaraan menabrak
kendaraan lain dari bagian samping sambil berjalan pada arah yang sama
ataupun berlawanan.
4. Menabrak bagian depan (head on), tabrakan antara kendaraan yang berjalan
pada arah yang berlawanan.
5. Menabrak secara mundur (backing), kendaraan menabrak kendaraan lain pada
waktu kendaraan tersebut berjalan mundur.20
Menurut cara terjadinya kecelakaan, diklasifikasikan jenis kecelakaan
sebagai berikut :
1. Hilang kendali / selip (running of road)
2. Tanpa tabrakan / kecelakaan sendiri
20
3. Tabrakan di jalan (collision on road), terdiri dari :
• Dengan pejalan kaki
• Dengan kendaraan lain yang sedang berjalan
• Dengan kendaraan lain yang sedang berhenti
• Dengan kereta, binatang, dan lain-lain.21
Korban kecelakaan lalu lintas adalah manusia yang menjadi korban akibat
terjadinya kecelakaan lalu lintas, Berdasarkan tingkat keparahannya korban
kecelakaan (casualitas) dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1. Korban meninggal dunia atau mati (fatality killed)
2. Korban luka-luka berat (serious injury)
3. Korban luka-luka ringan (slight injury).22
Klasifikasi kecelakaan pada dasarnya dibuat berdasarkan tingkat
keparahan korban, dengan demikian kecelakaan lalu lintas dibagi dalam 4 macam
kelas sebagai berikut:
1. Klasifikasi berat (fatality accident), apabila terdapat korban yang mati
(meskipun hanya satu orang) dengan atau korban luka-luka berat atau ringan.
2. Klasifikasi sedang, apabila tidak terdapat korban yang mati namun dijumpai
sekurang-kurangnya satu orang yang mengalami luka-luka berat.
3. Klasifikasi ringan, apabila tidak terdapat korban mati dan luka-luka berat, dan
hanya dijumpai korban yang luka-luka ringan saja.
21
Ibid, hal. 35. 22
4. Klasifikasi lain-lain (kecelakaan dengan kerugian materiil saja), yaitu apabila
tidak ada manusia yang menjadi korban, hanya berupa kerugian materiil saja
baik berupa kerusakan kendaraan, jalan, jembatan, ataupun fasilitas lainnya.23
B. Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas
Lalu lintas ditimbulkan oleh adanya pergerakan dari alat-alat angkutan,
karena adanya kebutuhan perpindahan manusia dan atau barang. Karena itu,
dampak yang tidak mungkin ditolak karena adanya pergerakan tersebut adalah
terjadinya kecelakaan. Kecelakaan dapat disebabkan oleh faktor pemakai jalan
(pengemudi dan pejalan kaki), faktor kendaraan dan faktor lingkungan.
Kecelakaan diakibatkan oleh kombinasi dari beberapa faktor perilaku buruk dari
pengemudi ataupun pejalan kaki, jalan, kendaraan, pengemudi ataupun pejalan
kaki, cuaca buruk ataupun pandangan yang buruk.
Kecelakaan di jalan raya yang menyebabkan korban luka dan meninggal
dari waktu jumlahnya tak surut. Berdasarkan data yang disodorkan Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada 2009, tak kurang dari 1,2 juta jiwa melayang di jalan raya
akibat kecelakaan kendaraan bermotor. 24
Lembaga perkumpulan bangsa sejagat itu juga menyebut, sekitar 87,2
persen kecelakaan itu terjadi di negara berkembang. Data yang tak jauh berbeda
juga disodorkan Lembaga Keselamatan jalan raya Amerika Serikat (NHTSA).
23
Ibid. 24
Sepanjang 2009, 21.798 orang tewas akibat kecelakaan lalu lintas di jalan
raya di Amerika Serikat. Penyebab terbesar dari kecelakaan bermacam-macam,
mulai dari menenggak minuman beralkohol, cuaca, masalah komponen mobil,
hingga menelepon saat mengemudi.25
Namun, seperti yang dilansir situs resmi NHTSA, setidaknya ada enam
penyebab yang paling sering memicu terjadinya kecelakaan. Keenamnya adalah :
1. Pengemudi kehilangan konsentrasi
Faktor ini menempati urutan pertama, karena hasil penelitian menyebut faktor
ini memiliki persentase menyebabkan kecelakaan hingga 55 persen.
Pengemudi tidak fokus ke kondisi jalan saat mereka menelepon atau
menerima telepon di saat mengemudi. Penyebab lainnya, karena pengemudi
membaca dokumen, membaca pesan pendek, melihat kejadian di sekeliling
jalan dalam waktu lama, mengatur peranti audio.
Selain itu, stres karena masalah pribadi, panik karena ulah pengendara lain,
hingga terburu-buru karena ada persoalan penting yang harus segera
diselesaikan juga menjadi penyebab buyarnya konsentrasi di jalan.
2. Lelah dan mengantuk
Penyebab kedua yang menjadi pemicu terjadinya kecelakaan adalah kelelahan
dan mengantuk. Keduanya memiliki persentase menyebabkan kecelakaan
hingga 45 persen.
Disebutkan, saraf sensorik dan motorik orang yang sangat lelah dan
mengantuk menurun kepekaannya. Sehingga, selain menyebabkan tidak
25
konsentrasi lelah dan mengantuk juga menyebabkan tingkat refleks seseorang
berkurang.
Kondisi badan yang kelelahan dan mengantuk memiliki kemiripan dengan
orang yang menenggak minuman beralkohol atau obat-obatan. Perbedaannya,
orang yang kelelahan masih memiliki kesadaran yang sewaktu-waktu masih
dikontrol dan distimulasi hingga kembali ke kesadaran penuh.
3. Pengaruh alkohol dan obat
Kondisi mabuk yang diakibatkan oleh minuman beralkohol atau obat-obatan
memiliki tingkat persentase menyebabkan kecelakaan hingga 30 persen.
Menenggak alkohol atau mengkonsumsi obat-obatan (atau bahkan obat yang
direkomendasi dokter) berpotensi menghilangkan kemampuan kontrol otak.
Sehingga selain kesadaran hilang atau berkurang, kemampuan refleks juga
merosot drastis.
Pengemudi yang mabuk cenderung kehilangan kemampuan memperhitungkan
manuver, kepekaan dalam merasakan kecepatan mobil, hingga
ketidakakuratan pandangan.
4. Kecepatan melebihi batas
Faktor lain yang juga kerap menjadi penyebab kecelakaan adalah pengemudi
menggeber mobil dengan kecepatan yang melebihi standar yang diizinkan di
jalan. Pengemudi akan kesulitan melakukan manuver dengan aman saat
kondisi jalan tak memungkinkan.
Terlebih bila mobil bermasalah, seperti ban pecah atau satu di antara
melengkapi mobil produksinya dengan seabrek peranti penunjang
keselamatan, jangan pernah berspekulasi.
Pasalnya, kondisi tersebut berasumsi pada saat jalanan dalam kondisi ideal.
Selain itu kondisi yang tak terduga dan dialami oleh pengemudi juga berbeda
saat mobil pertama kali diuji coba oleh pabrikan.
Faktor kecepatan ini memiliki persentase menyebabkan kecelakaan hingga 30
persen. Faktor kecepatan ini juga termasuk perilaku pengemudi yang agresif
dalam mengemudikan kendaraannya.
5. Cuaca
Meski terlihat sepele, namun cuaca hujan deras, angin ribut, berkabut, hingga
udara kering yang menyebabkan jalanan berdebu juga tercatat sebagai
penyebab kecelakaan. Persentasenya mencapai 13 persen.
Guyuran air hujan selain menyebabkan keterbatasan pandangan juga
menjadikan kemampuan ban untuk mencengkeram lintasan juga berkurang.
Terlebih bila kendaraan yang berada di depan atau belakang tidak memiliki
kewaspadaan yang tinggi atau bermasalah.
Di negara-negara tropis seperti Indonesia, faktor cuaca seperti hujan memiliki
tingkat potensi tinggi memicu terjadinya kecelakaan.
6. Komponen tak beres
Faktor ini kerap tidak disadari oleh pemilik atau pengguna mobil. T erlebih
bila pemilik atau pengguna mobil tidak memiliki kepekaan untuk mendeteksi
ada tidaknya permasalahan di satu komponen mobil.
14 persen. Beberapa kerusakan komponen yang paling sering terjadi adalah
kanvas rem yang sudah tidak berfungsi maksimal, power steering yang
terganjal sehingga kontrol kemudi tak terkendali dengan baik.
Selain itu ban pecah, sistem kontrol elektronik untuk menjaga kestabilan
mobil yang rusak, hingga kabel sistem kelistrikan yang berpotensi
korsleting.26
Hasil penelitian NHTSA juga menunjukkan, selama ini para pemilik atau
pengguna mobil jarang yang memperhatikan kondisi komponen mobil mereka.
Sebagian besar di antara mereka akan membawa kendaraannya saat ada gejala
yang benar-benar dirasakan atau setelah terjadi peristiwa kecelakaan.
Sumber lain mengatakan ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan
kecelakaan di jalan raya itu terjadi, yaitu: faktor human error (kesalahan
manusia), faktor mechanical failure (kesalahan teknis kendaraan), faktor kondisi
jalanan dan faktor cuaca. Berikut ini akan dibahas satu-persatu faktor-faktor
tersebut.
1. Faktor human error
Faktor ini seringkali menjadi penyebab utama kecelakaan. Penyebabnya bisa
karena ngantuk, tidak tertib, pengemudi kehilangan konsentrasi (melakukan
aktifitas lain sambil berkendara), mabuk alkohol/obat-obatan, kondisi psikis
(stress, depresi dan lain-lain). Di Amerika, sebanyak 45% kecelakaan jalan
raya yang terjadi adalah karena pengemudi ngantuk. Mengantuk disebabkan
karena manusia kurang tidur yang cukup sebelum berkendara sehingga syaraf
26
sensorik dan motorik jadi menurun kepekaannya.
2. Faktor mechanical failure
Faktor ini juga menjadi pemicu terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Persentasenya skitar 15%. Kurangnya pengetahuan si pengendara terhadap
kondisi kesiapan kendaraannya bisa fatal akibatnya. Kerusakan mesin, spare
parts, komponen pada kendaraan. Pemilik kendaraan sering melupakan atau
lalai mendeteksi adanya permasalahan di kendaraannya.
Supaya tetap berkendara dengan kendaraan yang prima, sangat disarankan
untuk melakukan pengecekan rutin mingguan/bulanan terhadap kondisi
kendaraan di bengkel resmi.
3. Faktor kondisi jalanan
Faktor kondisi jalanan yang bergelombang, lubang, rusak sangat
membahayakan bagi pengguna jalan raya. Untuk itu, pemakai jalan harus
sangat waspada terhadap kondisi jalanan. Berhati-hati pada setiap jalan yang
dilalui. Walaupun pemakai jalan sudah sering lewat jalan itu, tapi tetap harus
waspada. Memang, tanggung jawab dari pemeliharaan infrastruktur jalan raya
adalah tanggung jawab pemerintah, tapi ada baiknya pemakai jalan dalam hal
ini mengalah demi keselamatan sendiri.
4. Faktor kondisi cuaca/alam
Faktor ini juga termasuk sebagai pemicu terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Kondisi cuaca yang buruk bisa membuat jarak pandang berkurang, jarak
pengereman jadi jauh, kondisi jalanan jadi licin. Jika sudah itu yang terjadi,
Nyalakan lampu kendaraan dan jangan memacu kendaraan terlalu kencang.27
C. Tujuan Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Tindak Pidana Kecelakaan
Lalu Lintas Yang Dilakukan Anak
Sejarah perkembangan hukum pidana modern, pidana bersyarat ini berasal
dari AS tahun 1878.28 Sebagai negeri jajahan Belanda pada waktu itu lembaga
pidana bersyarat juga tercantum dalam Pasal 14a – 14 f WvS-NI (KUHP
Indonesia) pada tahun 1926 yang sampai sekarang masih berlaku.
Pasal 14:
“Terpidana yang dijatuhkan pidana penjara wajib menjalankan segala
pekerjaan yang dibebankan kepadanya berdasarkan ketentuan pelaksanaan
Pasal 29”
Pasal 14a :
(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana. Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara
27
All Information, "Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas", Melalui https://yvcibc.wordpress.com/2013/02/20/322/, Diakses tanggal 23 Mei 2015.
28
mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat 2.
(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan. (4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan
cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.
Pasal 14b:
(1) Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling lama dua tahun.
(2) Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.
(3) Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah.
Pasal 14c:
(1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana, hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.
(2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan.
(3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitik terpidana.
Pasal 14d:
(1) Yang diserahi mengawasi supaya syarat-syarat dipenuhi, ialah pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan, jika kemudian ada perintah untuk menjalankan putusan.
pemimpin suatu rumah penampungan yang berkedudukan di situ, atau kepada pejabat tertentu, supaya memberi pertolongan atau bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.
(3) Aturan-aturan lebih lanjut mengenai pengawasan dan bantuan tadi serta mengenai penunjukan lembaga dan pemimpin rumah penampungan yang dapat diserahi dengan bantuan itu, diatur dengan undang-undang.
Pasal 14e:
Atas usul pejabat dalam pasal ayat 1, atau atas permintaan terpidana, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama, selama masa percobaan, dapat mengubah syarat-syarat khusus dalam masa percobaan. Hakim juga boleh memerintahkan orang lain daripada orang yang diperintahkan semula, supaya memberi bantuan kepada terpidana dan juga boleh memperpanjang masa percobaan satu kali, paling banyak dengan separuh dari waktu yang paling lama dapat diterapkan untuk masa percobaan.
Pasal 14f:
(1) Tanpa mengurangi ketentuan pasal diatas, maka atas usul pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat 1, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan, atau memerintahkan supaya atas namanya diberi peringatan pada terpidana, yaitu jika terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi tetap, atau jika salah satu syarat lainnya tidak dipenuhi, ataupun jika terpidana sebelum masa percobaan habis dijatuhi pemidanaan yang menjadi tetap, karena melakukan tindak pidana selama masa percobaan mulai berlaku. Ketika memberi peringatan, hakim harus menentukan juga cara bagaimana memberikan peringatan itu.
(2) Setelah masa percobaan habis, perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat diberikan lagi, kecuali jika sebelum masa percobaan habis, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana di dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan pemidanan yang menjadi tetap. Dalam hal itu, dalam waktu dua bulan setelah pemidanaan menjadi tetap, hakim masih boleh memerintahkan supaya pidananya dijalankan, karena melakukan tindak pidana tadi.
Aspek tujuan pemidanaan sebenarnya pidana bersyarat ini lebih ditujukan
pada resosialisasi terhadap pelaku tindak pidana daripada pembalasan terhadap
perbuatannya. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan aliran hukum pidana
untuk kemanfaatan atau memperbaiki dengan mempertimbangkan sifat-sifat serta
keadaan terpidana. Dalam pidana bersyarat terdapat makna yang tersimpul bahwa
sanksi dijatuhkan bukan karena orang telah melakukan kejahatan, melainkan
supaya orang jangan melakukan kejahatan.
Syarat pertama yang ditegaskan dalam Pasal 14a KUHP untuk penerapan
pidana bersyarat adalah jika hakim berkehendak menjatuhkan pidana penjara
kepada terdakwa tidak lebih dari satu tahun. Jadi tolok ukurnya bukan pada pidana
yang diancamkan terhadap pelaku, tapi pada berat-ringannya pidana yang akan
dijatuhkan oleh hakim.
Bila hakim bermaksud memidana terdakwa tidak lebih dari satu tahun
penjara, maka hakim dapat memerintahkan untuk tidak menjalani vonis itu dengan
menetapkan syarat-syarat tertentu. Selain syarat-syarat yang telah ditentukan
dalam Pasal 14a - 14f KUHP, hakim juga harus memperhatikan bukti materiil
yang ditemukan dalam persidangan, dan mempertimbangkan pula sifat-sifat serta
kondisi terdakwa. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 14 a KUHP dan seterusnya.
Pidana bersyarat bukan merupakan pidana pokok tetapi hanya salah satu
bentuk dari cara pelaksanaan pidana penjara yang kewenangannya diserahkan
pada hakim. Meskipun dalam pidana bersyarat terkandung pengertian terpidana
tidak perlu menjalankan hukumannya di penjara, namun tidak berarti dia bebas
hukuman. Ada batas waktu percobaan yang ditetapkan oleh hakim kepada
terpidana untuk tidak melakukan suatu tindak pidana. Bila melanggarnya pidana
Menurut Pasal 14 c KUHP, disamping selama masa percobaan si terpidana
tidak boleh melakukan suatu tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat
khusus bahwa selama masa percobaannya si terpidana harus mengganti seluruh
atau sebagian kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan pidananya. Disamping
itu, dapat pula ditentukan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku si
terpidana yang harus dipenuhi sepanjang atau sebagian dari masa percobaannya.
Namun, syarat-syarat itu tidak boleh mengurangi kemerdekaan agama atau
kemerdekaan politik dari si terpidana.
Jadi, sebenarnya sistem hukum memungkinkan hakim untuk memutuskan
pidana bersyarat bagi seseorang dengan syarat khusus melakukan pelayanan
masyarakat untuk suatu waktu tertentu selama masa percobaan. Namun,
sepertinya belum ada hakim yang memberikan putusan seperti itu.
Sebenarnya penerapan pidana bersyarat mengandung beberapa
keuntungan. Beberapa keuntungan itu antara lain:
1. Memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di dalam masyarakat.
2. Memberikan kesempatan kepada terpidana untuk berpartisipasi dalam pekerjaan-pekerjaan, yang secara ekonomis menguntungkan masyarakat dan keluarga.
3. Biaya yang harus ditanggung Negara lebih murah dibandingkan dengan pidana penjara atau pidana kurungan.29
Nawawi menjelaskan dalam prakteknya lembaga pidana bersyarat ini tidak
dapat diterapkan secara optimal karena beberapa alasan, yaitu antara lain:
1. Belum adanya pedoman yang jelas tentang penerapan pidana bersyarat, yang mencakup hakekat, tujuan yang hendak dicapai serta ukuran-ukuran di dalam penjatuhan pidana bersyarat.
29
2. Belum melembaganya pola-pola pengawasan dan pembinaan dan sistem kerjasama dalam pengawasan dan pembinaan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat
3. Jaksa dan hakim masih sangat selektif dan membatasi diri dalam menuntut dan menjatuhkan sanksi pidana bersyarat. Padahal sebenarnya KUHP memberikan kemungkinan untuk menerapkan sanksi pidana bersyarat secara lebih luas. Seandainya saja semua pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan yang diputuskan hakim dapat diterapkan sanksi pidana bersyarat dengan salah satu syarat khususnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat seperti yang diterapkan kepada Naomi Campbell dan Boy George, maka selain memberikan efek jera pasti juga memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Apalagi apabila terpidana tersebut dapat diperbantukan sebagai tenaga relawan untuk membantu meringankan penderitaan korban bencana alam yang kerap terjadi di tanah air. .30
Ketentuan dalam Pasal 14 a KUHP inilah merupakan landasan hukum dari
pidana bersyarat yang lahir tahun 1927 (LN. 1926 No. 251 jo 486).31
Putusan hakim menurut Pasal 14 a ayat (5), perintah hakim tersebut harus
disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu. Akan
tetapi dalam praktek hukum hal ini jarang dilakukan. Di Negeri Belanda menurut
arrest HR 6 Juni 1933, W. 12634, juga tidak wajib menyebutkan alasan-alasan
tersebut dalam putusan hakim.32
Putusan pidana bersyarat dijatuhkan oleh hakim terkadang diikuti dengan
hukuman percobaan. Dengan demikian maka apabila hukuman percobaan
percobaan dilanggar berarti pidana bersyarat juga dilangga. Adapun masa
percobaan tersebut dikenal dalam spesifikasi:
1. Kejahatan.
2. Pelanggaran tersebut Pasal : 492, 504, 505, 506 dan 536 paling lama 3 tahun.
30
Ibid., hal. 31. 31
Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, hal. 473.
32
Hal di atas menjelaskan bahwa pidana bersyarat yang diputus dengan pidana
percobaan merupakan tindak pidana dalam bentuk kejahatan atau dalam bentuk
pelanggaran.
Masa percobaan untuk pelanggaran lainnya maksimum 2 tahun. Masa
percobaan dimulai sejak putusan menjadi tetap dan diberitahukan secara sah
kepada terpidana. Untuk masa percobaan tidak diperhitungkan masa penahanan
yang sah.
Perintah pelaksanaan pidana bersyarat, hakim boleh mewajibkan kepada
suatu lembaga badan hukum (lembaga reklasiring) untuk memberi bantuan kepada
terpidana bersyarat. Dan selama masa percobaan itu, hakim yang bersangkutan
dapat:
1. Mengubah syarat-syarat khusus atau lamanya waktu berlakunya syarat-syarat
terpidana.
2. Memerintahkan orang lain (badan hukum), selain dari yang diwajibkan semula
untuk membantu terpidana.
3. Memperpanjang masa percobaan.
Menurut Barda Nawawi ada dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal
dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) termasuk penerapan pidana
bersyarat ialah masalah penentuan:
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.33
33
Penganalisaan terhadap 2 (dua) masalah sentral ini dapat dilepaskan dari
konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau
kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas
harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial
politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana termasuk
pula kebijakan dalam menangani 2 (dua) masalah sentral di atas, harus pula
dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan. Sudah barang
tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum
pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya.
Klasifikasi kebijakan hukum pidana sebagaimana diutarakan oleh Muladi
dan Nawawi dapat meliputi :
1. Pendekatan integral antara kebijakan penal dan non penal.
2. Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan hukum
pidana.34
Pendekatan integral antara kebijakan penal dan non penal pada dasarnya
adalah usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi
kejahatan (politik kriminal) tentu tidak saja hanya menggunakan sarana penal
(hukum pidana) tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana-sarana yang
non penal. Usaha-usaha non penal ini misalnya penyantunan pendidikan sosial
dalam rangka pengembangan tanggungjawab sosial warga masyarakat,
penggarapan kese-hatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan
sebagainya, peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan
34
patroli dan pengawasan lainnya secara kontiniu oleh polisi dan aparat keamanan
lain dan sebagainya. Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi bidang yang
sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial.
Usaha non penal adalah suatu usaha yang dilakukan oleh pemerintah
dalam hal penanggulangan suatu kejahatan. Misalnya pengemis dan gelandangan
adalah suatu tindak pidana. Pengemis dan gelandangan tentunya sangat tidak
manusiawi jika dihukum berdasarkan undang-undang. Tetapi lebih menciptakan
kepastian hukum apabila dibekali dengan pendidikan dan latihan kerja. Inilah
yang dimaksudkan dengan usaha non penal. Atau usaha yang tidak semata-mata
hanya menghukum pelaku tindak pidana.
Oleh karena itu, suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan
dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang no penal itu ke
dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu.
Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan hukum
pidana adalah meliputi:
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.35
Penganalisaan terhadap dua keadaan sentral ini tidak dapat dilepaskan dari
konsepsi bahwa kebijakan kriminal merupakan again integral dari kebijakan
sosial. Ini berarti pemecahan masalah-masalah tersebut di atas harus pula
diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang
ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana termasuk pula kebijakan
35
dalam menangani dua keadaan di atas harus pula dilakukan dengan pendekatan
yang berorientasi pada kebijakan.
Sebagaimana diterangkan dalam dalam bab tinjauan pustaka bahwa
kebijakan hukum pidana dibuat dan direncanakan oleh masyarakat. Dengan
demikian maka dapat dipahami bahwa kebijakan hukum pidana tersebut
diperuntukkan bagi perlindungan hukum kepada masyarakat itu sendiri, baik itu
akibat dari pemberlakuan hukum pidana itu sendiri maupun juga akibat-akibat
dari pelanggaran hukum pidana itu.
Kebijakan hukum pidana juga diperuntukkan bagi perbaikan kehidupan
sosial kemasyarakatan dimana bentuk-bentuk pertanggungjawaban pidana
harus menggambarkan suatu pola yang memang memberikan potensi dalam hal
melindungi kepentingan diri pribadi masyarakat, harta, dan juga lingkungannya.
Maka kebijakan hukum pidana tidak saja melingkupi kebijakan penerbitan
perundang-undangan tetapi juga meliputi kebijakan perbaikan kehidupan dan taraf
kesejahteraan masyarakat.
Konsekuensi dari proses interaksi sosial yang menyangkut perilaku
kejahatan tersebut akan mendapat reaksi sosial. Reaksi-reaksi sosial terhadap
kejahatan dalam masyarakat mempunyai berbagai wujud, sebagian kejahatan ada
yang dihukum sesuai dengan rumusan-rumusan hukum dan ada pula yang
diberikan reaksi sosial tanpa dihukum, dan kalaupun dihukum hanyalah
pengurangan pidana.
Reaksi masyarakat atau lebih lebih tegasnya reaksi hukum yang berupa
ditentukan, masih mempunyai nilai penting karena:
1. Terjadinya tindak pidana telah mengguncangkan keamanan dan ketenteraman
kehidupan anggota masyarakat pada umumnya.
2. Korban kejahatan (suatu tindak pidana adalah seorang anggota masyarakat
yang seharusnya terhindari dari kejahatan).
3. Besarnya kerugian yang diderita (anggota) masyarakat disebabkan karena
kejahatan tersebut tidaklah hanya dapat diukur secara material semata-mata
melainkan terlebih penting adalah kerugian-kerugian secara moril yaitu
berkurangnya atau hilangnya kepercayaan anggota masyarakat terhadap
hukum dan kewibawaan aparat penegak hukum.
Pemidanaan termasuk pidana bersyarat penting dan mempunyai tujuan
seperti :
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat.
2. Mengadakan koreksi terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang
baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada diri terpidana.
5. Luasnya dan lapangan waktu yang diberikan kepada pelaku tindak pidana
untuk merubah kelakuannya.
Reaksi sosial merupakan konsekuensi terhadap perilaku jahat yang pada
masyarakat terhadap suatu kejahatan/pelanggaran yang timbul dalam masyarakat,
sehingga reaksi tersebut merupakan rangkaian peristiwa yang berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya sehingga perlu dicari
sebab-sebabnya.
Masalahnya adalah apakah penjatuhan pidana bersyarat yang mempunyai
tujuan penting dan merupakan reaksi yuridis untuk kepentingan negara,
masyarakat dan kepentingan umum itu juga dapat menjadi faktor penanggulangan
kejahatan. Seandainya dapat maka akan timbul pertanyaan bagaimana upaya
pencegahannya. Atau alternatif apa yang seharusnya diterapkan oleh hakim agar
kecil kemungkinannya untuk menimbulkan kejahatan baru sebagai akibat dari
tindakan itu.
Suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana bersyarat memberikan
fungsi bagi perbaikan tingkah dan laku pelaku tindak pidana untuk menjadi lebih
baik, karena adanya waktu dan kesempatan yang luas bagi si terpidana untuk
memperbaiki dirinya.
Hanya saja dalam kaitan ini terhadap tindak pidana yang diancam dengan
pidana bersyarat dapat diselesaikan proses hukumnya secara tepat. Penerapan hu
-kum pidana dengan kemungkinan penjatuhan pidana dan terutama perampasan
kemerdekaan banyak mengandung kritik baik dilihat dari efektivitasnya maupun
akibat-akibat negatif lainnya yang menyertai atau berhubungan dengan
dirampasnya kemerdekaan seseorang. Kritik tajam tidak hanya ditujukan terhadap
pidana penjara menurut pandangan modern yang lebih bersifat kemanusiaan dan
Sesuai dengan pemikiran alternatif ini maka adalah sangat potensial sekali
jika suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana bersyarat dapat diterapkan
pemeriksaan dan pemutus perkaranya secara singkat dan juga tidak berlarut-larut,
dengan tidak melupakan konsep kepentingan hukum yaitu keadilan dan ketertiban
umum.
Pidana bersyarat dalam kaitan ini perlu juga dihubungkan dengan masalah
pidana minimal. Karena dengan adanya pidana bersyarat maka pidana minimal
dapat diterapkan. Pidana minimal adalah penjara 1 hari, yang pada dasarnya
dijatuhkan oleh hakim karena adanya pengurangan pidana. Dari pidana minimal
ini misalnya seseorang diancam pidana penjara 6 bulan, tetapi telah melakukan
ganti rugi terhadap objek yang dirusaknya, maka dalam putusannya hakim
menjatuhkan pidana bersyarat. Tetapi karena hukum Indonesia menganut asas
bahwa setiap perbuatan pidana ada hukumannya maka hakim menjatuhkan pidana
minimalnya yaitu 1 hari.
Kebijakan demikiaan sangat tepat karena diakui bahwa dalam beberapa hal
tujuan keadilan mungkin memerlukan pengenaan pidana penjara pendek dan
penghapus penyeluruh pidana penjara pendek dalam perakteknya tidaklah
mungkin. Namun demikian agar ketentuan minimal umum 1 (satu) hari itu tidak
menyebabkan kemungkinan terjadinya disparatis pidana yang sangat mencolok
untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya, sehingga perlu
diimbangi dengan pengurangan pidana khusus. Disamping bertolak dari
pemikiran, perlunya minimal khusus ini didasarkan pada pemikiran yang analog
diperberat dalam hal-hal tertentu. Analog dengan itu, minimum umum 1 (satu)
hari itupun hendaknya dalam hal-hal tertentu dapat diperberat. Secara teknik
perundang-undangan, kemungkinan memperberat minimal umum itu dapat
dicantumkan dalam aturan umum Buku I atau dalam buku II dengan menetapkan
minimal khusus untuk delik-delik tertentu, khususnya untuk delik-delik yang