• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Sistematika Tumbuhan - Penentuan Lc50 Dari Getah Buah Pepaya (Carica Papaya L.) Terhadap Ikan Nila (Oreochromis Niloticus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Sistematika Tumbuhan - Penentuan Lc50 Dari Getah Buah Pepaya (Carica Papaya L.) Terhadap Ikan Nila (Oreochromis Niloticus)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan

2.1.1 Sistematika Tumbuhan

Sistematika tumbuhan pepaya (Carica papaya L.) sebagai berikut (Herbarium Bandungense, 2012):

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Class : Dicotyledonae Ordo : Caricales Familia : Caricaceae Genus : Carica

Species : Carica papaya L. 2.1.2 Nama Daerah

(2)

papaen, papai, papaya, sempain, tapaya, kapaya. Papua: Sampain, asawa, menam, siberiani, tapaya (Iman, 2009).

2.1.3 Nama Asing

Inggris: papaya, paw paw. Melayu: Betik, ketelah, kepaya. Vietnam: Du du. Thailand: Mala kaw. Pilipina: Kapaya, lapaya. Cina: fan mu gua (Iman, 2009). 2.1.4 Deskripsi

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman berasal Meksiko bagian selatan dan bagian utara dari Amerika Selatan. Tanaman ini menyebar ke benua Afrika dan Asia. Dari India, tanaman ini menyebar ke berbagai negara tropis termasuk Indonesia di abad ke-17 (Setiaji, 2009). Pepaya tersebar hampir di seluruh kepulauan yang dapat tumbuh di daerah basah hingga kering, dataran maupun pegunungan dan pada ketinggian 1 - 1000 meter dari permukaan air laut (BPOM RI, 2010).

Hampir semua bagian tanaman pepaya dapat di manfaatkan mulai dari daun, batang, akar, maupun buah (Warisno, 2003). Buah pepaya tergolong buah yang popular dan digemari oleh hampir seluruh penduduk penghuni bumi ini. Batang, daun dan buah pepaya muda mengandung getah berwarna putih. Getah ini mengandung suatu enzim pemecah protein atau enzim proteolitik yang disebut papain (Moehd, 1999).

2.1.5 Morfologi Tumbuhan

(3)

Ruas batang merupakan tempat melekatnya tangkai daun yang panjang, berbentuk bulat dan berlubang. Daun pepaya berkumpul di ujung batang, bertulang menjari dengan warna permukaan atas hijau tua, sedangkan warna permukaan bawah hijau muda. Buah berbentuk bulat hingga memanjang tergantung jenisnya, buah muda berwarna hijau sedangkan buah tua berwarna jingga/kekuningan, buah berongga besar di tengahnya, tangkai buah pendek. Biji pepaya berwarna hitam dan diselimuti lapisan tipis (Muhlisah, 2007).

Ditinjau dari macam bunganya, pepaya digolongkan menjadi tiga, yaitu pepaya jantan, pepaya betina dan pepaya sempurna. Pepaya jantan mudah dikenal

karena ia memiliki bunga majemuk yang bertangkai panjang dan bercabang. Bunga pertama yang terdapat pada pangkal tangkai adalah bunga

jantan. Bunga jantan ini memiliki ciri-ciri putik atau bakal buah yang tidak berkepala karenanya tidak dapat menjadi buah, sedangkan benang sari susunannya sempurna. Pepaya betina hanya menghasilkan bunga betina, bakal buahnya sempurna dan tidak berbenang sari, untuk dapat menjadi buah harus diserbuki bunga jantan dari luar. Pepaya betina berbunga sepanjang tahun, buah bulat, bertangkai pendek. Pepaya sempurna memiliki bunga yang sempurna susunannya, ia memiliki bakal buah dan benang sari. Oleh karena itu pepaya sempurna dapat melakukan penyerbukan sendiri (Rochmatul, 2003).

2.1.6 Kandungan Kimia Tanaman Pepaya

(4)

mengandung papain, kemopapain, lisozim, lipase dan glutamin sedangkan pada biji pepaya terdapat glukosida kakirin dan alkaloid karpain (Dalimartha, 2003).

2.1.7 Manfaat Tumbuhan

Pemanfaatan tanaman pepaya cukup beragam. Daun pepaya muda, bunga, buah yang masih mentah dapat dibuat sebagai bahan berbagai ragam sayuran. Selain itu, buah pepaya, terutama yang masak mengkal, digunakan juga sebagai salah satu buah untuk rujak dan asinan. Sebagai buah segar, buah pepaya dapat dibuat manisan, buah dalam sirup, saus, selai, dan sebagainya. Sari akar tanaman pepaya dapat digunakan sebagai obat penyakit kencing batu, penyakit saluran kencing, dan cacing kremi. Batang, daun dan buah pepaya muda mengandung getah berwarna putih. Getah ini mengandung suatu enzim pemecah protein atau enzim proteolitik yang disebut papain. Lalap daun pepaya muda yang dapat menambah nafsu makan diduga disebabkan oleh enzim ini (Kalie, 1996).

Buah pepaya yang masih mengkal memiliki efek menggugurkan kandungan, sedangkan buah pepaya yang sudah matang berkhasiat untuk melancarkan gangguan sistem pencernaan, selain itu dalam buah pepaya terdapat enzim papain sebagai enzim proteolitik, yaitu enzim yang dapat mengurai dan memecah protein (Warisno, 2003).

(5)

2.2 Pestisida

Pestisida adalah bahan kimia untuk membunuh hama, baik insekta, jamur maupun gulma, sehingga pestisida dikelompokkan menjadi: Insektisida (pembunuh insekta), Fungisida (pembunuh jamur), dan Herbisida (pembunuh tanaman pengganggu/gulma). Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga digunakan di rumah tangga untuk memberantas nyamuk, lalat, kecoa, dan berbagai serangga penganggu lainnya, akan tetapi pestisida ini secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada makhluk hidup. Bermacam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping yang dapat menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat toksik pada serangga. Bila dihubungkan dengan pelestarian lingkungan maka penggunaan pestisida perlu diwaspadai karena akan membahayakan kesehatan bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya (Djunaedy, 2009).

Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan yang berkhasiat mengendalikan serangan hama. Cara kerja pestisida nabati sangat spesifik (Djojosumartono, 2004):

- Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa, - Menghambat pergantian kulit,

- Mengganggu komunikasi serangga, - Menyebabkan serangga menolak makan, - Menghambat reproduksi serangga betina, - Mengurangi nafsu makan,

(6)

- Mengusir serangga, dan

- Menghambat perkembangan patogen penyakit.

Pestisida alami merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik dari daun, buah, biji, atau akar yang memiliki senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu (Djunaedy, 2009). Meskipun disebut ramah lingkungan, tidak berarti pestisida alami memiliki daya racun (toksisitas) yang rendah. Beberapa jenis pestisida botani seperti nikotin, memiliki daya racun yang lebih tinggi dibandingkan dengan pestisida sintetis, terutama jika termakan. Dengan demikian penggunaan pestisida alami juga perlu diperhatikan toksisitasnya terhadap organisme non sasaran (Novizan, 2004). 2.3 Keracunan Pestisida

Di samping manfaat yang diberikan, pestisida juga sekaligus memiliki potensi untuk dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Tercemarnya tanah, air, udara dan unsur lingkungan lainnya oleh pestisida, dapat berpengaruh buruk secara langsung maupun tidak langsung terhadap manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Pencemaran lingkungan pada umumnya terjadi karena penanganan pestisida yang tidak tepat dan sifat fisiko kimia pestisidanya (Suprapti, 2011).

(7)

lama karena kemampuannya menumpuk (akumulasi) dalam lemak yang terkandung dalam tubuh. Racun ini juga apabila mencemari lingkungan (air, tanah) akan meninggalkan residu yang sangat sulit untuk dirombak atau dirubah menjadi zat yang tidak beracun karena kuatnya ikatan kimianya. Ada di antara racun ini yang dapat dirombak oleh kondisi tanah tapi hasil rombakan masih juga merupakan racun. Demikian pula halnya, ada yang dapat terurai di dalam tubuh manusia atau hewan tapi menghasilkan metabolit yang juga masih beracun (Ngatidjan, 2006).

Pestisida yang diaplikasikan untuk memberantas suatu hama tanaman atau serangga penyebar penyakit tidak semuanya mengenai tanaman. Sebagian akan jatuh ke tanaman, atau perairan di sekitarnya, sebagian lagi akan menguap ke udara, yang mengenai tanaman akan diserap tanaman tersebut ke dalam jaringan kemudian mengalami metabolisme karena pengaruh enzim tanaman. Pestisida yang diserap oleh tanah atau perairan akan terurai karena pengaruh suhu, kelembaban, jasad renik dan sebagainya. Penguraian bahan pestisida tersebut tidak terjadi seketika itu juga, melainkan sedikit demi sedikit. Sisa yang tertinggal inilah yang kemudian diserap sebagai residu. Jumlah residu pestisida dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, jasad renik, sinar matahari, dan jenis dari pestisida tersebut (Pohan, 2004).

(8)

pernafasan sehingga dapat mematikan ikan budidaya dalam jangka waktu tertentu, sedangkan secara tidak langsung adalah menurunnya kekebalan tubuh terhadap penyakit dan terhambatnya pertumbuhan ikan (Mega dan Abdulgani, 2013).

2.4 Kualitas Air

Air merupakan media vital bagi kehidupan ikan. Suplai air yang memadai akan memecahkan masalah dalam budidaya ikan secara intensif, yaitu dengan menghanyutkan berbagai kumpulan dari bahan buangan dan bahan beracun sehingga kondisi air optimal untuk pemeliharaan. Selain jumlah air yang tersedia, kualitas air memenuhi syarat adalah salah satu kunci keberhasilan budidaya ikan. Kemampuan ikan untuk mengonsumsi oksigen dipengaruhi oleh toleransi ikan terhadap stres, temperatur/suhu air, pH, dan konsentrasi CO2 serta sisa metabolism lain seperti amoniak (Taurusman, 1996).

Kandungan oksigen yang terlarut berbeda dalam air mempunyai pengaruh yang berbeda bagi organisme akuatik. Suhu merupakan faktor abiotik diduga memiliki pengaruh besar terhadap toksisitas suatu bahan kepada ikan. Suhu perairan yang semakin tinggi akan menyebabkan metabolisme ikan yang semakin meningkat dan berakibat meningkatnya kadar amoniak dalam air (Puspowardoyo dan Abbas, 1992).

(9)

2.4.1 Parameter Kualitas Air

Untuk menghindari terjadinya wabah penyakit akibat kualitas air yang tidak baik, sebaiknya air yang akan dimanfaatkan untuk memelihara ikan dianalisis terlebih dahulu. Pemeriksaan air ditujukan terhadap sifat fisika, kimia, dan keadaan biota air lainnya, khususnya makhluk hidup yang berpotensi mengganggu kehidupan ikan, baik berupa pemangsa (predator), pesaing (kompetitor) ataupun jasad penyebab penyakit (patogen). Dengan demikian, air yang digunakan benar-benar sesuai bagi kehidupan ikan yang akan dipelihara (Daelami, 2001).

1. Oksigen terlarut

Oksigen diperlukan ikan untuk respirasi dan metabolisme dalam tubuh ikan untuk aktivitas berenang, pertumbuhan, reproduksi dan lain-lain. Dalam pengelolaan kesehatan ikan sangat penting karena kondisi yang kurang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan dapat mengakibatkan ikan stres sehingga mudah terserang penyakit (Sucipto dan Prihartono, 2005).

2. Suhu

(10)

3. Derajat keasaman (pH)

Keadaan pH yang dapat mengganggu kehidupan ikan adalah pH yang terlalu rendah (sangat asam) atau sebaliknya terlalu tinggi (sangat basa). Setiap jenis ikan akan memperlihatkan respon yang berbeda terhadap perubahan pH dan dampak yang ditimbulkannya berbeda (Daelami, 2001).

4. Amoniak

Amonia di perairan berasal dari hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari dekomposisi bahan organik (biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah amonifikasi.

2.5 Mortalitas

Mortalitas atau kematian adalah merupakan keadaan hilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen yang dapat terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup (WHO, 1992). Kematian dapat menimpa kapan saja dan dimana saja. Mortalitas merupakan ukuran jumlah kematian pada suatu populasi, skala besar suatu populasi, per dikali satuan (Daelami, 2001).

2.6 Toksisitas

Toksisitas adalah daya racun yang berarti kemampuan suatu bahan atau zat yang menyebabkan keracunan. Toksikan adalah bahan atau agent yang mampu menghasilkan efek merugikan pada system biologi yang akan menyebabkan kematian. Beberapa toksikan yang disebutkan seperti pestisida, klorin, limbah industri yang bersifat racun dan karsinogenik (Koeman, 1983).

(11)

pemantauan rutin suatu limbah. Uji toksisitas akut dengan menggunakan hewan uji merupakan salah satu bentuk penelitian toksikologi perairan yang berfungsi untuk mengetahui apakah effluent atau badan perairan penerima mengandung senyawa toksik dalam konsentrasi yang menyebabkan toksisitas akut. Pengaruh zat pencemar antara lain berhubungan dengan lamanya pajanan/pemaparan serta konsentrasi atau dosis zat pencemar. Untuk melihat berbagai efek yang berhubungan dengan waktu pemaparan. Uji toksisitas akut (LC50 dan LD50), dilakukan dengan memberikan zat kimia/toksikan yang sedang diuji sebanyak satu kali dalam jangka waktu singkat (24, 48, 96 jam) (Rossiana, dkk., 2007).

Parameter yang diukur biasanya berupa kematian hewan uji, yang hasilnya dinyatakan sebagai konsentrasi yang menyebabkan 50% kematian hewan uji (LC50) dalam waktu yang relatif pendek satu sampai empat hari (Husni dan Esmiralda, 2010).

Sebelum percobaan toksisitas dilakukan, sebaiknya telah ada data mengenai identifikasi, sifat obat, dan rencana penggunaannya. Data ini dapat dipakai untuk mengarahkan percobaan toksisitas yang akan dilakukan untuk meneliti berbagai efek yang berhubungan dengan cara dan waktu pemberian suatu sediaan obat. Pengujian toksisitas biasanya dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Uji toksisitas akut

Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam.

2. Uji toksisitas jangka pendek (subkronis)

(12)

hidup hewan, yaitu 3 bulan untuk tikus dan 1 atau 2 tahun untuk anjing. Namun, beberapa peneliti menggunakan jangka waktu yang lebih pendek, misalnya pemberian zat kimia selama 14 dan 28 hari.

3. Uji toksisitas jangka panjang (kronis)

Percobaan jenis ini mencakup pemberian zat kimia secara berulang selama 3 - 6 bulan atau seumur hidup hewan, misalnya 18 bulan untuk mencit dan 24 bulan untuk tikus. Memperpanjang percobaan kronis lebih dari 6 bulan tidak akan bermanfaat, kecuali untuk percobaan karsinogenik. Pengujian toksisitas suatu senyawa dibagi menjadi dua golongan yaitu uji toksisitas umum dan uji toksisitas khusus. Pengujian toksisitas umum meliputi pengujian toksisitas akut, subkronik, dan kronik. Pengujian toksisitas khusus meliputi uji potensiasi, karsinogenik, mutagenik, teratogenik, reproduksi, kulit, mata, dan tingkah laku (Manggung, 2008).

Toksisitas merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari farmakologi yang merupakan efek biologis negatif akibat dari pemberian suatu zat. Toksisitas suatu bahan dapat didefinisikan sebagai kapasitas bahan untuk mencederai suatu organisme hidup. Pengetahuan mengenai bahan kimia dikumpulkan dengan mempelajari efek-efek dari pemaparan bahan kimia terhadap hewan percobaan, pemaparan bahan kimia terhadap organisme tingkat rendah seperti bakteri dan kultur sel-sel dari mamalia di laboratorium dan pemaparan bahan kimia terhadap manusia (Retnomurti, 2008).

(13)

dengan syarat harus mempunyai kepekaan tinggi yang memenuhi syarat umur, berat, dan panjang, serta sesuai dengan ikan yang hidup di perairan yang telah dalam keadaan tercemar (Pratiwi, dkk., 2012).

Toksisitas akut adalah efek total yang didapat pada dosis tunggal/multiple dalam 24 jam pemaparan. Toksisitas akut sifatnya mendadak, waktu singkat, biasanya reversibel yang secara statistik dapat menyebabkan kematian 50% dari hewan percobaan dinyatakan dengan LC50. Nilai LC50 sangat berguna untuk menentukan klasifikasi zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya.

2.6.1 Lethal Concentration (LC50)

LC50 (Lethal Concentration) merupakan konsentrasi yang menyebabkan kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik dan perhitungan. Berdasarkan waktu lamanya, metode penambahan larutan uji dan maksud serta tujuannya maka uji toksisitas diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Klasifikasi menurut waktu, yaitu uji hayati jangka pendek (short term bioassay), jangka menengah (intermediate bioassay) dan uji hayati jangka panjang (long term bioassay). Klasifikasi menurut metode penambahan larutan atau cara aliran larutan, yaitu uji hayati statik (static bioassay), pergantian larutan (renewal biossay), mengalir (flow trough bioassay).

b) Klasifikasi menurut maksud dan tujuan penelitian adalah pemantauan kualitas air limbah, uji bahan atau satu jenis senyawa kimia, penentuan toksisitas serta daya tahan dan pertumbuhan organisme uji (Rossiana, 2006).

(14)

mengevaluasi besarnya konsentrasi toksikan dan durasi pemaparan yang dapat menimbulkan efek toksik pada jaringan biologis (Pratiwi, dkk., 2012).

2.7 Ikan Nila

Ikan nila selama ini dikenal dengan nama ilmiah Tilapia nilotica, namun menurut klasifikasi terbaru pada tahun 1982 nama ilmiah ikan nila berubah menjadi Oreochromis niloticus (Kordi, 2004).

2.7.1 Klasifikasi Ikan Nila

Klasifikasi ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata Kelas : Osteichtyes Subkelas : Acanthopterygii Ordo : Percomorphi SubOrdo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

2.7.2 Morfologi Ikan Nila

(15)

bervariasi tergantung pada strain atau jenisnya. Mata ikan nila berbentuk bulat menonjol, dan bagian tepi berwarna putih. Ciri pada ikan nila adalah garis vertikal yang berwarna gelap di sirip ekor sebanyak enam buah. Garis seperti itu juga terdapat di sirip punggung dan sirip dubur (Rukmana,1997).

Morfologi dan anatomi ikan nila (Oreocrhomis nilotica) dapat dilihat sebagai berikut (Amri dan Khairuman, 2003).

Gambar 2.1 Morfologi dan Anatomi Ikan Nila

Ikan nila berwarna putih kehitaman, makin ke perut makin terang. Ikan nila mempunyai garis vertikal 9 - 11 buah berwarna hijau kebiruan. Pada sirip ekor terdapat 6 - 12 garis melintang yang ujungnya berwana kemerah-merahan, sedangkan punggungnya terdapat garis-garis miring. Letak mulut ikan terminal, garis rusuk (Linea lateralis) terputus menjadi dua bagian, letaknya memanjang di atas sirip dada dengan jumlah sisik pada garis rusuk 34 buah (Andrianto, 2005).

(16)

lebih gelap dari ikan betina, alat kelamin berupa tonjolan (papila) di belakang lubang anus, dan tulang rahang melebar ke belakang. Sedangkan tanda-tanda ikan nila betina adalah alat kelamin berupa tonjolan di belakang anus, dimana terdapat 2 lubang. Lubang yang di depan untuk mengeluarkan telur, sedang yang di belakang untuk mengeluarkan air seni dan bila telah mengandung telur yang masak, dan perutnya tampak membesar (Adrianto, 2005).

Gambar

Gambar 2.1 Morfologi dan Anatomi Ikan Nila

Referensi

Dokumen terkait

komentar pesan dan voting kegunaan website bagi pengunjung. Hasil rekapitulasi kuesioner siswa yang diperoleh dari uji lapangan adalah sebagai berikut.. Kesimpulannya

Konsentrasi 0,5% pada formulasi pembuatan film kitosan baik dengan EBP maupun tanpa EBP adalah yang terbaik dengan keliman terkuat dibandingkan dengan penambahan

Sedangkan jika digunakan untuk melayani beban campuran dimana generator biogas digunakan untuk beban AC dan sel surya untuk penyalaan beban lampu DC, maka generator biogas

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa analisis kariotipe dapat membantu dalam menentukan kedudukan suatu takson (Primack 1987).Variasi dari kariotipe dalam satu spesies yang

Peternakan sapi potong di CV Sabdo Palon Farm untuk memenuhi kebutuhan pakan yang diberikan pada ternak sapi potong dengan memanfaatkan limbah pertanian.. Jenis pakan

Saya senang apabila lembar materi dan tugas lebih banyak daripada dari video pelajaran berbahasa Inggris supaya saya dapat mengerjakannya di luar kelas atau di rumah. Sangat

Kecemasan ibu pada saat persalinan merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan oleh perawat, karena apabila kecemasan berlangsung terus-menerus