PONOROGO JAWA TIMUR
Medicinal Plants Species in Sigogor Nature Reserve Ponorogo, East Jawa
Yuli Widiyastuti
*), M. Bakti Samsu Adi
*), Tri Widayat
*)Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional
Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI
Jl. Raya Lawu 11, Tawangmangu Surakarta
e-mail:
ywidiyasis@gmail.com
ABSTRACT
Up to this moment, forest areas are still the main habitat of medicinal plants germplasm. Sigogor Nature Reserve in Ponorogo Regency, East Java, is a potential area that has a diversity of medicinal plants and has not been widely studied. The exploration of medicinal plants in the Sigogor Nature Reserve area aims to know the diversity, abundance and knowledge of the surrounding community about the existence of these medicinal plants. The method used is explorative survey with qualitative approach. The data collected in the form of secondary data and primary field observation results and literature studies of previous research results. Data analysis was carried out descriptively for the identification of medicinal plant specimens, qualitative vegetation analysis to determine plant habitus type, than percentage of habitus type and plant part was calculated based on observation result. The results of exploration activities show there were 43 species of medicinal plants from 33 families have been found in the sorrounding area of Sigogor. Habitus of medicinal plants found mostly were herbs (39.5%), then trees (23.25%) and the least were shrub (6.9%). The most widely used medicinal plants part are leaves and herbs, while the least utilized are flowers. The Sigogornature conservation area has potential as a source of germplasm of medicinal plants and still requires further research covering in wider area.
Keywords:exploration, medicinal plants, Sigogor, Ponorogo
ABSTRAK
(6,9%). Bagian tanaman obat yang paling banyak dimanfaatkan adalah daun dan herba, sedangkan yang paling sedikit dimanfaatkan adalah bunga. Kawasan CA Sigogor memiliki potensi sebagai sumber plasma nutfah tumbuhan obat dan masih membutuhkan penelitian lanjut mencakup wilayah yang lebih luas.
Kata Kunci :eksplorasi, tumbuhan obat, Sigogor, Ponorogo.
PENDAHULUAN
Hutan baik hutan dataran rendah maupun hutan dataran tinggi masih menjadi habitat utama plasmanutfah tumbuhan obat. Hutan memiliki fungsi sangat penting bagi ekosistem di sekitarnya utamanya sebagai penyimpan air (reservoir), keanekaragaman hayati, dan sebagai penyimpan carbon (carbon sink). Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, hutan dapat mendatangkan penghasilan (income) untuk kehidupan masyarakat di sekitarnya, melalui usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan (Whitmore, 1984).
Keanekaragaman hayati hutan meliputi jenis-jenis tumbuhan dan satwaliar. Tumbuhan yang ada memiliki banyak potensi, selain sebagai penghasil kayu untuk pertukangan dan energi, juga terdapat banyak jenis tumbuhan hutan berkhasiat obat potensial (Peter, 1982). Di beberapa wilayah, hutan merupakan sumber tanaman obat bagi penduduk di sekitarnya tidak saja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari namun juga sebagai bahan perdagangan untuk mensuplai industri obat tradisional. Secara umum dapat diketahui bahwa tidak kurang 82 % dari total spesies tumbuhan obat hidup di ekosistem hutan tropika dataran rendah pada ketinggian di bawah 1.000 meter dari permukaan laut (Bruenig, 1995). Saat ini ekosistem hutan dataran rendah adalah kawasan hutan yang paling banyak rusak dan punah karena berbagai kegiatan eksploitasi kayu oleh manusia (Zuhud, 2009).
Salah satu wilayah sumber penghasil tanaman obat di Provinsi Jawa Timur adalah
Kabupaten Ponorogo, khususnya di sekitar wilayah hutan lindung Sigogor. Penetapan wilayah sebagai hutan lindung sebenarnya bertujuan untuk menjamin tersedianya fungsi hutan secara berkelanjutan disamping fungsi lainnya (Setyawati, 2010). Pemanenan dan pengelolaan plasma nutfah tumbuhan obat di sekitar wilayah Sigogor yang tidak terkendali akan menyebabkan penurunan jumlah populasi secara cepat. Kegiatan tersebut meskipun berdampak secara ekonomi bagi masyarakat sekitar namun akan mengancam kelestarian alam di masa depan.
METODE PENELITIAN
Tempat dan waktu penelitian.
Penelitian dilaksanakan di sekitar kawasan Cagar Alam Sigogor, Kecamatan Ngebel, Ponorogo Jawa Timur, pada bulan September 2015. Daerah penelitian meliputi kawasan hutan produksi Perum Perhutani wilayah Sigogor, dari ketinggian 600-1.000 m dpl, dengan panjang jalur pengamatan 5 km.
Bahan dan alat. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, kamera digital, kantong plastik, gunting tanaman, kertas merang, kertas label, sasak, benang, jala plastik, sekop kecil, garpu tanah, dan sabit besar.
Cara kerja. Penelitian ini menggunakan metode eksploratif melalui pengamatan langsung pada komunitas vegetasi di Hutan Lindung Gunung Sigogor wilayah selatan serta wawancara dengan penduduk di sekitar wilayah hutan tentang manfaat berbagai jenis tumbuhan obat di CA Sigogor. Penentuan lokasi pengamatan ditetapkan berdasarkan kajian pustaka (Setyawati, 2010) yang menyebutkan bahwa di lokasi tersebut terdapat banyak tumbuhan hutan berkhasiat obat khususnya tanaman yang sudah dijadikan komoditi perdagangan oleh penduduk sekitar wilayah hutan. Pengambilan spesimen meliputi spesimen herbarium, simplisia dan bibit/benih dilakukan dengan mengacu pada Buku Pedoman Pengumpulan Spesimen (Rugayah et al., 2004)
Pengamatan difokuskan pada lokasi dengan vegetasi hutan hujan yang masih belum mengalami banyak perubahan. Pengamatan vegetasi meliputi jenis tanaman baik yang ketersediaannya melimpah ataupun jarang yang ditentukan menggunakan pendekatan kualitatif berdasarkan keberulangan pengataman (Uji,
2003). Penentuan kelayakan
pengelompokan jenis tumbuhan obat juga dilakukan dengan menggunakan partisipasi masyarakat lokal dengan wawancara tidak
terstruktur tentang penggunaan jenis-jenis tumbuhan obat di Kawasan Cagar Alam Sigogor. Responden ditentukan secara
purposive yaitu petugas pemangku hutan dan masyarakat pencari hasil hutan.
Dari hasil pengamatan tumbuhan kemudian dilakukan identifikasi dan pengumpulan spesimen tumbuhan obat. Identifikasi spesimen dilakukan dilapangan berdasarkaan karakter anatomi morfologi (Xi-Jiang et al., 2007) dan beberapa spesimen yang sulit diidentifikasi berdasarmorfologi dilakukan dengan identifikasi spesimen di Laboratorium Sistematika Tumbuhan B2P2TO2T.
Pengambilan spesimen bibit atau benih dilakukan untuk spesies-spesies yang belum terkoleksi di kebun koleksi maupun di etalase tanaman obat B2P2TO2T. Koleksi tanaman obat dilakukan dengan mengambil tanaman dalam bentuk bibit (tanaman kecil) atau biji jika tersedia di lapangan, atau jika memungkinkan keduanya juga dikoleksi. Cara pengambilan bibit dimulai dari pemilihan bibit yang pertumbuhannya relatif lebih baik, kemudian dicabut secara hati-hati, atau membongkar tempat tumbuhnya dengan sekop kecil, memindahkan ke kertas koran, dibungkus dengan sedikit tanah dan dibasahi. Jika koleksi berupa stek batang atau cabang, bungkus pangkal stek dengan kertas tisu, basahi, dan masukkan ke dalam plastik, tutup rapat. Semua hasil koleksi dibungkus kembali dengan pelepah pisang, dan jaga akar semua koleksi dalam keadaan basah/lembab.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a.
Kondisi Wilayah Pengamatan
Cagar alam Gunung Sigogor ditunjuk sebagai cagar alam berdasarkan SK : GB No. 23 Stbl. 471, 4 September 1936 dengan luas 190,5 Ha. Cagar Alam Gunung Sigogor terletak di Desa Pupus, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo. Panjang jalur batas kawasan sepanjang 19,71 km dan telah direalisasikan sepanjang 19,71 km saat rekonstruksi kawasan tahun 1986. Jumlah pal batas sebanyak 364 buah pal batas. Letak geografi CA Sigogor adalah 07°48′ -07°50′ LS dan 111°36′-111°38′ BT.Gambar 1. Beberapa tanaman eksotis dari
wilayah CA Sigogor, A. Persea odoratissima; B.
Disporum cantoiense, C. Codonopsis javanica
Topografi Cagar Alam Sigogor berbukit-bukit (terletak di lereng barat Gn. Wilis) dengan medan berlereng sedang hingga curam pada ketinggian 100-1.700 mdpl. Puncak-puncak tertinggi antara lain terdapat di bagian selatan (daerah Patok Banteng dan Batu Blandar) dan di bagian Timur (daerah Cenger). CA Sigogor memiliki formasi geologis batuan vulkanik muda dengan jenis tanah yang masuk dalam kompleks mediteran, tipe tanah litosol. Tipe iklim di wilayah tersebut masuk dalam
kategori C dengan nilai Q= 57% (menurut Schmidt and Ferguson, 1951). Rata-rata curah hujan yaitu 2.582 mm/tahun dengan jumlah hari hujan 142 hari. Suhu rata-rata adalah 15-20°C pada malam hari dan antara 30-35°C pada siang hari (Setyawati, 2010).
b. Ekslorasi tumbuhan obat
Tabel 1. Daftar Tumbuhan Obathasil eksplorasi di kawasan Cagar Alam Sigogor
No. Famili Nama Latin Nama lokal Bagian yang
digunakan
Kegunaan*)
1 Acanthaceae Graptophyllum pictum
(L.) Griff.
Daun ungu, wungu
Daun Wasir
2 Amaranthaceae Iresine herbstii Hook. Sambang
colok
Daun Nyeri haid
3 Apiaceae Centella asiatica (L.) Urb. Pegagan,
gagan-gagan
Herba Darah tinggi
4 Araucariaceae Agathis dammara
(Lamb.) Rich. & A. Rich.
Damar Getah Antiseptik
5 Asteraceae Ageratum conyzoides L. Bandotan Herba Luka, sakit
mata, kolik
6 Asteraceae Ageratina riparia (Regel)
R.M. King & H. Rob.
Kecapan Herba, daun Peluruh
kencing
7 Asteraceae Chromolaena odorata (L.)
R.M. King & H.Rob
Kirenyu Daun, herba Kencing
manis
8 Asteraceae Blumea balsamifera (L.)
DC.
Sembung Daun Batuk
9 Balsaminaceae Impatiens platysepala
Y.L.Chen
Pacar banyu Herba Panas dalam
10 Campanulaceae Codonopsis javanica
(Blume) Hook.f.& Thomson
Kolesom Umbi Tumor,
diabetes
11 Colchicaceae Disporum cantoniense
(Lour.) Merr.
Anting-anting Akar, herba Sakit kepala,
demam
12 Cucurbitaceae Coccinia grandis (L.)
Voigt
Timunan Buah Darah tinggi
13 Dioscoreaceae Dioscorea bulbifera L. Gembili Umbi, umbi
gantung
Sakit perut
14 Elaeocarpaceae Elaeocarpus ganirtus
Roxb. ex G.Don
Genitri Biji Pelangsing
15 Fagaceae Lithocarpus elegans
(Blume) Hatus ex.
Soepadmo
Pasang Biji Diare
16 Gesneriaceae Liebigia speciosa (Blume)
A.DC.
Acar banyu Daun Luka
17 Hypoxidaceae Molineria
latifolia(Dryand.ex W.T.Aiton) Herb. ex Kurz
Nyangkuh Akar Kencing
manis
18 Lauraceae Cinnamomum porrectum
(Roxb.) Kosterm.
Telasih Kayu, daun Anti
seranngga
19 Lauraceae Litsea elliptica Blume Trawas Daun Bengkak
20 Lauraceae Persea odoratissima
(Nees) Kosterm.
Talesan Daun Pening
21 Loranthaceae Macrosolen sp. Kemladehan Herba Tumor
22 Marratiaceae Angiopteris evecta
(G.Forst.) Hoffm.
23 Moraceae Artocarpus elasticus
Reinw. ex Blume
Bendo Daun, getah Susah buang
air besar
24 Myrtaceae Syzygium polyanthum
(Wight) Walp.
Salam Daun Asam urat,
diabetes
25 Nyctaginaceae Mirabilis jalapaL. Pupur gadung Biji Jerawat
26 Orchidaceae Calanthe triplicata
(Willemet) Ames
Anggrek burung
Umbi Pelega perut
27 Orchidaceae Apostasia wallichii R.Br. Anggrek
kuning
Batang Daya tahan
tubuh
28 Orchidaceae Macodes petola (Blume)
Lindl.
Anggrek batik Herba Obat tetes
mata
29 Oxalidaceae Oxalis articulataSavigny Semanggi Herba Obat Luka
30 Pinaceae Pinus merkusii Jungh.&de
Vriese
Pinus Getah Antiseptik,
biopestisida
31 Piperaceae Piper sp. Sirih hutan Daun Antiseptik
32 Poaceae Imperata cylindrica (L.)
Raeusch.
Alang-alang Akar, daun Penutup luka,
melancarkan kencing
33 Polypodiaceae Drynaria quercifolia(L.) J.
Sm.
Paku sarang burung
Daun Demam,
pegal linu
34 Polypodiaceae Pyrrosia nummularifolia
(Sw.) Ching
Picisan Herba Tumor
35 Rubiaceae Coffea canephora Pierre
ex A. Froehner
Kopi Daun, biji Penyegar
badan
36 Rubiaceae Pavetta lanceolataEckl. Soka putih Daun Diare
37 Schisandraceae Kadsura scandens
(Blume) Blume
Mendelan Daun Batuk, diare
38 Solanaceae Solanum sanitwongsei
W.G.Craib
Senggigit Ngor
Buah Darah tinggi
39 Theaceae Schima walichii Choisy Puspa/sari
mekar
Dianella ensifolia(L.) DC. Tegari Tanaman Pengusir
tikus
42 Zingiberaceae Etlingera coccinea
(Blume) S.Sakai & Nagam
Jombram Rimpang Anti bau
badan
43 Zingiberaceae Zingiber sp. Puyang Rimpang Pegal linu
*) Informasi masyarakat sekitar wilayah hutan dan studi pustaka (Heyne, 1987; Hutton, 1997; Padua, 1999; Wiart C, 2012)
Menurut Primak (1998), Keragaman flora yang terdapat pada suatu daerah dipengaruhi oleh faktor biogeografi pulau yang khas serta faktor-faktor fisik lainnya, misalnya ketinggian tempat, curah hujan serta garis lintang dan jauh dekatnya suatu daerah atau pulau dari pulau lainnya. Wilayah CA Sigogor merupakan hutan
lindung yang memperoleh pengawasan dari Perum Perhutani sehingga perambahan masyarakat bisa dikendalikan sehingga keragaman floranya masih tinggi.
Tumbuhan obat berupa pohon yang ditanam sebagai tanaman hutan seperti
dominan di sekitar wilayah CA Sigogor. Sedangkan tumbuhan obat jenis semak dan perdu yang dominan dan umum ditemukan di wilayah hutan dataran rendah sampai ketinggian di atas 1.000 m dpl adalah
Cromolaena odorata dan Ageratina riparia. Kedua jenis tumbuhan obat ini mendominasi tegakan bawah disebabkan keduanya merupakan tumbuhan menahun yang sangat mudah berkembang biak dengan produksi bunga yang melimpah sepanjang tahun.
Terdapat 33 familia dari 43 spesies tumbuhan obat yang diamati menunjukkan bahwa wilayah CA Sigogor kaya akan jenis tumbuhan obat. Famili Asteraceae, Lauraceae, Orchidaceae, Polypodiaceae dan Zingiberaceae yang memiliki jumlah spesies tumbuhan obat lebih dari 1. Dari famili Lauraceae yang ditemukan tumbuh di sekitar CA Sigogor adalah talesan (Persea odoratissima), trawas (Litsea odorifera) dan telasih (Cinnamomum porrectum).Pada penelitian sebelumnya ditemukan 12 jenis tumbuhan obat berhabitus pohon yang mendominasi tegakan atas di dalam kawasan CA Sigogor (Setyawati, 2010).
Pada Tabel 2 diketahui hanya ada beberapa tanaman yang dikoleksi bibitnya dari kawasan CA Sigogor, hal ini disebabkan
minimnya ketersediaan bibit/tanaman kecil dari berbagai vegetasi yang ada. Penelitian dilakukan pada kondisi kemarau panjang yang menyebabkan lingkungan tidak kondusif untuk pertumbuhan vegetasi baru sehingga tanaman tidak tumbuh optimal. Menurut Smith and Smith (2000) perubahan kondisi iklim akan mempengaruhi semua respon fisiologi dan perilaku mahluk hidup, kelahiran, kematian dan pertumbuhan populasi, kemampuan kompetisi spesies, struktur komunitas, produktivitas dan siklus nutrisi.
Selanjutnya menurut Saksa et al. (2017), kondisi kekeringan yang terjadi pada hutan akan berpengaruh secara linier terhadap pengurangan nilai indeks vegetasi. Ketersediaan air menyebabkan kondisi vegetasi optimal dengan menyediakan sumber kehidupan dan nutrisi sehingga tumbuhan mampu menjalankan proses fisiologis termasuk berkembang biak (Zhang
et al., 2001). Sehingga dapat diduga bahwa kekeringan menyebabkan banyak biji yang dihasilkan tumbuhan hutan tidak mampu tumbuh menghasilkan anakan atau tumbuhan baru.
Tabel 2. Hasil koleksi tumbuhan obat dari CA Sigogor
Nama Tumbuhan Jenis koleksi Jumlah Individu
1 Angiopteris evecta Bibit 2
2 Calanthe triplicata Bibit, siwilan 1
3 Centella asiatica Bibit, stolon 5
4 Cinnamomum partenoxylon Bibit 1
5 Codonopsis javanica Bibit, umbi 7
6 Curculigo sp. Siwilan, bibit 2
7 Molineria latifolia Siwilan, bibit 2
8 Disporum cantoniense Bibit, siwilan 3
9 Kadsura scandens Stek batang, bibit 3
10 Liebigia barbata Stek batang, bibit 5
11 Persea odoratissima Bibit 1
Berdasarkan habitus tumbuhan obat yang diamati di wilayah CA Sigogor proporsi paling banyak adalah terna, kemudian pohon dan paling sedikit adalah semak (Gambar 2).
Gambar 2. Habitus tumbuhan obat yang ditemukan di kawasan CA Sigogor
Tumbuhan obat berhabitus terna mendominasi permukaan bawah hutan di sekitar kawasan CA Sigogor dan sebagian adalah sumber utama pupuk hijau bagi masyarakat sekitar kawasan seperti
Chromolaena odorata dan Eupatorium riparium. Berdasarkan hasil pengumpulan informasi dari masyarakat dan juga studi pustaka diketahui bahwa sebagian besar jenis simplisia yang digunakan adalah daun dan herba. Hal ini merujuk dari jenis habitus tumbuhan obat dominan yang ditemukan adalah terna, maka dapat dimengerti bahwa
jenis simplisia dominan yang digunakan adalah daun dan herba seperti tersaji pada gambar 3.
Simplisia daun merupakan jenis simplisia yang paling banyak digunakan juga dikarenakan daun adalah organ tanaman yang paling mudah dikenali, diambil dan dimanfaatkan. Daun dapat dipanen setiap saat tanpa bergantung terhadap musim dan paling mudah untuk diolah atau diramu sebagai bahan ramuan atau jamu.
Menurut Noorhidayah et al., (2005), pemanfaatan daun tanaman merupakan satu bentuk kearifan masyarakat yang baik karena dengan memanfaatkan daun maka dapat menjaga kelangsungan hidup tanaman. Tentunya pemanfaatan daun sebagai bahan obat dalam jumlah tertentu tidak akan mengganggu pertumbuhan tumbuhan secara nyata. Pemanfaatan kulit batang, batang, akar atau umbi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan bahkan bisa mematikan.
Kearifan masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan untuk pengobatan ini perlu terus dikembangkan untuk kesehatan dan tentunya juga pada aspek ekonomi karena beberapa jenis tumbuhan obat tersebut telah menjadi
komoditi bahan baku jamu.
KESIMPULAN
Dari hasil kegiatan eksplorasi tumbuhan obat di kawasan CA Sigogor berhasil ditemukan dan diidentifikasi sebanyak 43 spesies tumbuhan obat dari 33 familia. Habitus tumbuhan obat yang ditemukan sebagian besar adalah terna (39,5%), kemudian jenis pohon (23,25%) dan yang paling sedikit adalah semak (6,9%). Bagian tanaman obat yang paling banyak dimanfaatkan adalah daun dan herba, sedangkan yang paling sedikit dimanfaatkan adalah bunga. Minimnya perolehan materi penanaman berupa bibit atau biji dikarenakan musim kering menjadi pertimbangan untuk replikasi kegiatan pada musim basah. Kawasan CA Sigogor memiliki potensi sebagai sumber plasma nutfah tumbuhan obat dan masih membutuhkan penelitian lanjut di wilayah yang lebih luas.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Kepala Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional atas pemberian fasilitas dan anggaran untuk pelaksanaan kegiatan penelitian ini, serta secara khusus kepada anggota tim eksplorasi yang telah membantu pelaksanaan kegiatan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bruenig E.F. 1995. Conservation and Management of Tropical Rain Forest: An Integrated Approached to Sustainability. CAB International Peter, F. 1982. HUTAN, Tri Pustaka, Jakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna
Indonesia Vol. 1-4. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.
Hutton, W. 1997. Tropical Herbs and Spices of Indonesia. Periplus Edition (HK) Ltd. Singapore
Krismawati A dan Sabran M. 2004. Pengelola sumber daya genetik tanaman obat spesifik Kalimantan Tengah. Buletin Plasma Nutfah 12:1
Kusumo, S., M. Hasanah, S. Moeljoprawiro, M. Thohari, Subandrijo, A. Hardjamulia, A. Nurhadi, dan H.
Kasim. 2002. Pedoman
pembentukan komisi daerah plasma nutfah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Komisi Nasional Plasma Nutfah. Bogor. hlm. 18.
Noorhidayah , Kade Sidiyasa & Ibnu Hajar.
2006. Potensi dan
keanekaragaman tumbuhan obat di hutan kalimant an dan upaya konservasinya, Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 3(2): 95-107 Padua de L.S., N Bunyapraphahatsara, and
Lemmens RHJMI. 1999. Plants Resources of South East Asia 12(1): Medicinal and Poisonous Plants. PROSEA, Bogor, Indonesia.
Primack, R.B. 1998. Biologi Konservasi. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Rugayah, Elizabeth A.W., Praptiwi (Edt). 2004. Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman Flora, Pusat Penelitian Biologi, Bogor.
Saksa P., SafeeqM., and Dymond S., 2017. Recent Patterns in Climate, Vegetation, and Forest Water Use in California Montane Watersheds,
Forests, 8(278): 1-12; doi:10.3390/f8080278.
Setyawati Titiek. 2010. Pemanfaatan pohon berkhasiat obat di cagar alam gunung Picis dan gunung Sigogor, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Smith, R.L.and Smith,T.M. 2000.Element of Ecology, 4 th Ed. Benjamin Cumming Science Publishing. Sanfransisco-California. USA. Soerianegara I dan A Indrawan, 1983.
Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Kehutanan-IPB, Bogor.
Uji T. 2003. Keanekaragaman dan Potensi Flora di Cagar Alam Muara Kendawangan, Kalimantan Barat.
Biodiversitas. 4(1): 112-117.
Whitmore, T.C. 1984. Tropical Rain Forest of the Far East. Claderon Press. London. p. 423.
Wiart C., 2012.Medicinal Plants of China, Korea and Japan: Bioresources for Tomorow Drug and Cosmetics, CRC Press, London, New York. P 421. Xi-jiang Du, Xiao-Feng Wang, and Guo-Jun
Zhang. 2007. Leaf Shape Based Plant Species Recognition. Applied Mathematic and Computation, 185(2): 883- 893.
Zhang, L., Dawes, W.R.,and Walker, G.R., 2001. Response of mean annual evapotranspiration to vegetation changes at catchment scale. Water Resour. Res. 37: 701–708