• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - BAB I, II, III keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - BAB I, II, III keluarga"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seorang pekerja sosial perlu mempelajari tingkah laku manusia dalam lingkungan sosialnya, karena tingkah laku manusia dalam lingkungan sosial adalah pengetahuan dasar untuk mempelajari tingkah laku manusia melalui pendidikan ilmu-ilmu sosial yang relevan dengan pekerjaan sosial. Tingkah laku manusia dalam lingkungan sosial juga merupakan suatu studi yang mengkaji bagaimana memahami manusia sebagai individu dan sebagai kolektivitas, memahami kondisi yang memengaruhi tingkah laku manusia sebagai makhluk sosial dan melihat bagaimana interaksi manusia dengan lingkungan sosialnya.

Dapat dikatakan bahwa tingkah laku manusia dalam lingkungan sosial (Human Behaviour in the Social Environment) memiliki kedudukan penting dalam pekerjaan sosial karena dalam perkembangan pekerjaan sosial (teori dan praktik) senantiasa berhubungan dengan masalah perilaku manusia baik sebagai individu ataupun kelompok serta dikaitkan dengan lingkungan sosialnya. Pekerjaan sosial sebagai suatu profesi pertolongan dapat membantu pemerlu pelayanan untuk mengembalikan dan menguatkan keberfungsian sosialnya, baik itu keberfungsian individu maupun situasi sosialnya.

(2)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :

1.2.1 Apa yang dimaksud dengan keluarga? 1.2.2 Bagaimana struktur keluarga?

1.2.3 Bagaimana relasi dalam keluarga?

1.2.4 Apa yang dimaksud dengan keberfugsian keluarga? 1.2.5 Apa yang dimaksud dengan teori sistem keluarga?

1.2.6 Pendekatan apa saja yang digunakan untuk menganalisis keluarga? 1.2.7 Apa yang dimaksud dengan krisis keluarga?

1.2.8 Bagaimana upaya mengatasi krisis keluarga? 1.2.9 Apa saja karakteristik konflik keluarga?

1.2.10 Bagaimana pegaruh keluarga terhadap perilaku anak?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah yang berjudul “Keluarga” ini adalah untuk mengetahui definisi keluarga, mengetahui struktur keluarga, mengetahui bagaimana relasi yang terjalin dalam keluarga, mengetahui keberfungsian keluarga, mengetahui teori sistem keluarga, mengetahui pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis keluarga, mengetahui krisis dan upaya mengatasi krisis dalam keluarga, mengetahui karakteristik konflik dalam keluarga serta mengetahui bagaimana pengaruh keluarga terhadap perilaku anak.

1.4 Metode Penulisan

(3)

BAB II KELUARGA

2.1 Definisi Keluarga

Keluarga merupakan konsep yang bersifat multidimensi. Para ilmuan sosial bersilang pendapat mengenai rumusan definisi keluarga. Pendapat para ilmuan sosial tersebut antara lain:

 Keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal

bersama, terdapat kerjasama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi (Murdock, 1965).

 Keluarga adalah suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian

keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan tehadap generasi baru (Ira Reiss, 1965).

 Keluarga adalah suatu tatanan utama yang mengomunikasikan pola-pola niai yang bersifat simbolik kepada generasi baru (Weigert dan Thomas 1971).

 Menurut Koerner dan Fitzpatrick (2004), definisi tentang keluarga

setidaknya dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu definisi struktural, definisi fungsional, dan definisi interaksional.

a. Definisi struktural. Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan pada siapa yang menjadi bagian dari keluarga. Dari perspektif ini dapat muncul pengertian tentang keluarga sebagai asal-usul, keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan, dan keluarga batih.

(4)

c. Definisi transaksional. Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga, berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan. Definisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya.  Keluarga adalah rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau

perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada pada suatu jaringan (Hill, 1998). Konsep keluarga tersebut tampaknya bersesuaian dengan konsep keluarga dalam masyarakat Indonesia yang memaknai keluarga tidak terbatas pada keluarga inti saja, tetapi juga keluarga batih.

2.2 Struktur Keluarga

Dari segi keberadaan anggota keluarga, maka keluarga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti dan keluarga batih.

Keluarga inti adalah kelurga yang di dalamnya hanya terdapat tiga posisi sosial, yaitu: suami-ayah, istri-ibu, dan anak-sibling (Lee, 1982). Struktur keluarga yang demikian menjadikan keluarga sebagai orientasi bagi anak, yaitu keluarga tempat ia dilahirkan. Adapun orang tua menjadikan keluarga sebagai wahana prokreasi, karena keluarga inti terbentuk setelah sepasanag laki-laki dan perempuan menikah dan memiliki anak (Berns, 2004). Dalam keluarga inti hubungan antara suami istri bersifat saling membutuhkan dan mendukung layaknya persahabatan, sedangkan anak-anak tergantung pada orang tuanya dalam hal pemenuhan kebutuhan afeksi dan sosialisasi. Keluarga inti pada umumnya dibangun berdasarkan ikatan perkawinan. Perkawinan menjadi pondasi bagi keluraga, oleh karena itu ketika sepasang manusia menikah akan lahir keluarga yang baru.

Keluarga batih adalah keluarga yang di dalamnya menyertakan posisi lain

(5)

bercabang terjadi manakala seorang anak, dan hanya seorang, yang sudah menikah masih tinggal dalam rumah orang tuanya. Bentuk kedua dari keluarga batih adalah keluarga berumpun. Bentuk ini terjadi manakala lebih dari satu anak yang sudah menikah tetap tinggal bersama kedua orang tuanya. Bentuk ketiga dari keluraga batih adalah keluarga beranting. Bentuk ini terjadi manakala di dalam suatu keluarga terjadi generasi ketiga (cucu) yang sudah menikah dan tetap tinggal bersama. Adapun keluarga batih dibangun berdasarkan hubungan antargenerasi, bukan antarpasangan. Keluarga batih biasanya terdapat dalam masyarakat yang memandang penting hubungan kekerabatan. Hubungan perkawinan berada pada posisi sekunder dibanding hubungan dengan orang tua.

Dari segi pemegang wewenang utama atas keluarga, misalnya dalam hal menentukan siapa yang bertanggung jawab atas sosialisasi anak, keluarga dibedakan menjadi matriarki, patriarki, dan egaliter (Berns, 2004). Keluarga kerajaan Inggris dan masyarakat Minang merupakan contoh keluarga matriarki, karena ibu menjadi pemegang utama wewenang atas keluarga. Pada umumnya keluarga menerapkan pola patriarki dengan ayah sebagai pemegang utama wewenang atas keluarga. Namun pada masa kini, dengan berkembangnya pandangan tentang kesetaraan gender dan semakin banyaknya keluarga yang kedua orang tuanya sama-sama bekerja, telah berkembang pola egaliter.

Selain itu variasi keluarga berdasarkan struktur juga mencakup keluarga dengan orang tua tunggal, baik karena bercerai maupun meninggal, keluarga yang salah satu orang tuanya jarang berada di rumah karena bekerja di luar daerah, keluarga tiri, dan keluarga dengan anak angkat. Bahkan di dunia Barat banyak ditemui keluarga kohabitasi, yang orang tuanya tidak menikah, dan keluarga dengan orang tua pasangan sejenis.

(6)

menghadirkan tantangan-tantangan yang membutuhkan penyesuaian, sehingga membuat remaja lebih beresiko mengalami penyesuaian.

Koweleski-Jones dan Dunifon (2006) mengungkapkan bahwa pada kaum muda kulit putih, orang tua tunggal dan kohabitasi berkaitan dengan tingkat kesejahteraan yang lebih rendah. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Joblonska dan Lindber (2007), yang menyatakan bahwa remaja dengan orang tua tunggal memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap perilaku beresiko, menjadi korban dan mengalami stres mental, daripada remaja dengan orang tua yang lengkap.

Dengan beberapa pengecualian, pada dasarnya keluarga yang utuh dan dalam perkawinan yang sah lebih menjamin kesejahteraan anak. Walaupun demikian, sebagaimana diungkapkan Hetherington (1999), proses yang berlangsung pada keluarga lebih besar dari pada pengaruhnya terhadap akibat-akibat pada diri anak, seperti rendahnya perilaku bermasalah dan kepuasan hidup. Proses dalam keluarga tersebut mencakup proses yang terjadi dalam relasi pasangan, relasi orang tua-anak, supervisi orang tua kepada anak dan perilaku kontrol dalam pengasuhan (Leiber, Mack, dan Featherstone, 2009).

2.3 Relasi dalam Keluarga

(7)

a. Relasi Pasangan Suami Istri

Sebagai permulaan bagi relasi yang lain, relasi suami istri memberi landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga. Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan relasi suami istri. Kunci bagi kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan melakukan penyesuaian di antara pasangan. Penyesuaian ini bersifat dinamis dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Penyesuaian adalah interaksi yang kontinu dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Calhoun & Acocella, 1995).

Terdapat tiga indikator bagi proses penyesuaian sebagaimana diungkapkan Glenn (2003), yakni konflik, komunikas, dan berbagai tugas rumah tangga. Keberhasilan penyesuaian dalam perkawinan tidak ditandai dengan tiadanya konflik yang terjadi. Penyesuaian yang berhasil ditandai oleh sikap dan cara yang konstruktif dalam melakukan resolusi konflik. Komunikasi yang positif merupakan salah satu komponen dalam melakukan resolusi konflik yang konstruktif. Walaupun demikian, komunikasi berperan penting dalam segala aspek kehidupan perkawinan, bukan hanya dalam resolusi konflik. Peran terpenting komunikasi adalah untuk membangun kedekatan dan keintiman dengan pasangan. Bila kedekatan dan keintiman suatu pasangan dapat senantiasa terjaga, maka hal itu menandakan bahwa proses penyesuaian keduanya telah berlangsung dengan baik. Keberhasilan membangun kebersamaan dalam pelaksanaan kewajiban keluarga menjadi salah satu indikasi bagi keberhasilan penyesuaian pasangan.

b. Relasi Orang Tua-Anak

(8)

kecenderungan yang mulai mereka pahami merupakan hal pokok yang memengaruhi perkembangan konsep dan kepribadian sosial mereka. Menurut Thompson, hubungan menjadi katalis bagi perkembangan dan merupakan jalur bagi peningkatan pengetahuan dan informasi, penguasaan keterampilan dan kompetensi, dukungan emosi, dan berbagai pengaruh lain semenjak dini. Suatu hubungan dengan kualitas yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan, misalnya penyesuaian, kesejahteraan, perilaku prososial, dan tranmisi nilai. Sebaliknya, kualitas hubungan yang buruk dapat menumbulkan akibat berupa malasuai, masalah perilaku, atau psikopatologi pada diri anak.

Dalam tinjauan psikologi perkembangan, pandangan tentang relasi orang tua dan anak pada umumnya merujuk pada teori kelekatan (attachment theory) yang pertama kali dicetuskan oleh John Bowlby (1969). Bowlby mengidentifikasikan pengaruh perilaku pengasuhan sebagai faktor kunci dalam hubungan orang tua-anak yang dibangun sejak usia dini. Pada masa awal kehidupannya anak mengembangkan hubungan emosi yang mendalam dengan orang dewasa yang secara teratur merawatnya. Kelekatan merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan khusus antara bayi dan pengasuhnya. Kelekatan dicirikan sebagai hubungan timbal balik antara sistem kelekatan dari anak dan sistem pengasuhan dari orang tua (Tuner,2005). Pengertian yang lebih luas dari kelekatan diungkapkan oleh Mercer (2006), yakni sebagai ikatan emosional yang terjadi di antara manusia yang memandu perasaan dan perilaku.

(9)

ketiadaan atau penarikan berbagai perasaan atau perilaku tersebut (kehangatan, afeksi, dan lain-lain), dan adanya berbagai perasaan atau perilaku yang menyakitkan secara fisik maupun psikolgis (seperti tidak menghargai, penelantaran, tak acuh, caci maki, dan penyiksaan). Menurut Rohner dkk., persepsi anak terhadap penerimaan dan penolakan orang tua atau sosok signifikan yang lain akan memengaruhi perkembangan kepribadian individu dan mekanisme yang dikembangkan dalam menghadapi masalah.

Kajian tentang hubungan orang tua-anak dapat dibagi ke dalam dua masa, yaitu sebelum berkembangnya paham dua arah (bidirectionality) pada akhir tahun 60-an dan setelahnya (Chen, 2009). Semasa berkembangnya paham satu arah (unidirectionality), penelitian tentang hubungan orang tua-anak memfokuskan pada mengenali strategi pengasuhan, praktik-praktik, perilaku, gaya, dan pembawaan yang memengaruhi akibat pada anak, misalnya kompetensi perkembangan yang sehat, prestasi akademik, dan problem perilaku. Setelah era paham dua arah pengaruh imbal balik antara orang tua dan anak mulai diperhatikan. Para ilmuan mulai mengenali bahwa baik orang tua maupun anak merupakan agen bagi proses sosialisasi.

Menurut Chen, kualitas hubungan orang tua-anak merefleksikan tingkatan dalam hal kehangatan (warmth), rasa aman (security), kepercayaan (trust), afeksi positif (positive affect), dan ketanggapan (responsiveness) dalam hubungan mereka. Kehangatan menjadi komponen mendasar dalam hubungan orang tua-anak yang dapat membuat anak merasa dicintai dan mengembangkan rasa percaya diri. Mereka memiliki rasa percaya dan menikmati kesetaraan dalam aktivitas bersama orang tua kehangatan memberi konteks bagi afeksi positif yang akan meningkatkan mood untuk peduli dan tanggap terhadap satu sama lain.

(10)

aman juga akan mendorong anak untuk berani melakukan eksplorasi yang bermanfaat bagi perkembangan kompetensi.

Setelah berkembangnya paham dua arah, area penting yang menjadi fokus penelitian adalah kaitan antara interaksi orang tua-anak dan relasi yang terbentuk. Interaksi dan waktu merupakan dua komponen mendasar bagi relasi orang tua-anak. Yang dimaksud dengan interaksi adalah suatu rangkaian peristiwa ketika individu A menunjukkan suatu perilaku X kepada individu B, atau A memperlihatkan X kepada B yang meresponnya dengan Y. Menurut Hinde relasi orang tua-anak mengandung beberapa prinsip pokok, yaitu :  Interaksi

Orang tua dan anak berinteraksi pada suatu waktu yang menciptakan suatu hubungan. Berbagai interaksi tersebut membentuk kenangan pada interaksi di masa lalu dan antisipasi terhadap interaksi di kemudian hari.

 Kontribusi mutual

Orang tua dan anak sama-sama memiliki sumbangan dan peran dalam interaksi, demikian juga terhadap relasi keduanya.

 Keunikan

Setiap relasi orang tua-anak bersifat unik yang melibatkan dua pihak, dan karenanya tidak dapat ditirukan dengan orang tua atau anak yang lainnya.  Pengharapan masa lalu

Interaksi orang tua-anak membentuk suatu cetakan pada pengharapan keduanya. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, orang tua akan memahami bagaimana anaknya akan bertindak pada suatu situasi. Demikian pula sebaliknya anak kepada orang tua.

 Antisipasi masa depan

Karena relasi orang tua-anak bersifat kekal, masing-masing membangun pengharapan yang dikembangkan dalam hubungan keduanya.

c. Relasi Antarsaudara

(11)

masa kanak-kanak dapat bertahan hingga dewasa. Hubungan dengan saudara dapat memengaruhi perkembangan individu secara positif maupun negatif tergantung pola hubungan yang terjadi.

Pada masa kanak-kanak pola hubungan dengan sibling dipengaruhi oleh empat karakteristik, yaitu : jumlah saudara, ururan kelahiran, jarak kelahiran, dan jenis kelamin. Penelitian Powell dan Steelman (1990) menemukan bahwa kombinasi antara jumlah saudara dan jarak kelahiran yang dekat berpengaruh negatif terhadap prestasi akademik dibandingkan dengan yang memiliki jarak kelahiran yang jauh. Pola hubungan antara saudara kandung juga dipengaruhi oleh cara orang tua dalam memperlakukan mereka. Misalnya, ibu menyediakan waktu yang lebih sedikit untuk interaksi yang bersifat sosial, afeksi, dan perawatan terhadap anak kedua dibanding dengan anak pertama, terutama bila anak kedua perempuan (Jacobs & Moss, 1976). Perlakuan orang tua yang berbeda terhadap anak dapat berpengaruh pada kecemburuan, gaya kelekatan, dan harga diri yang pada gilirannya bisa menimbulkan distress pada hubungan romantis di kemudian hari (Rauer & Voliing, 2007).

Menurut Dunn (2002), pola hubungan antara saudara kandung dicirikan oleh tiga karakteristik, pertama, kekuatan emosi dan tidak terhambatnya pengungkapan emosi tersebut. Emosi yang menyertai hubungan dengan saudara dapat berupa emosi negatif maupun emosi positif. Kedua, keintiman yang membuat antarsaudara kandung saling mengenal secara pribadi. Keintiman ini dapat menjadi sumber bagi dukungan maupun konflik. Ketiga, adanya perbedaan sifat pribadi yang mewarnai hubungan diantara saudara kandung. Sebagian memperlihatkan afeksi, kepedulian, kerja sama, dan dukungan. Sebagian yang lain menggambarkan adanya permusuhan, gangguan, dan perilaku agresif yang memperlihatkan adanya ketidaksukaan satu sama lain.

(12)

memperoleh bagian sumber daya yang lebih besar. Selain itu, terdapat suatu kecenderungan bahwa orang tua akan menginvestasikan sumber dayanya secara lebih besar pada anak sulung daripada anak yang lahir kemudian.

Walaupun berbagai penelitian menunjukkan berbagai hal negatif dalam hubungan antarsaudara yang dikenal dengan sebutan sibling rivary, namun keberadaan saudara kandung juga bermanfaat (Ihinger-Tallman & Hsiao, 2003), antara lain :

 Sebagai tempat uji coba (testing ground). Saat bereksperimen dengan

perilaku baru, anak akan mencobanya terhadap saudaranya sebelum menunjukkan pada orang tua atau teman sebayanya.

 Sebagai guru. Biasanya anak yang lebih besar, karena memiliki

pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak, akan banyak mengajari adiknya.

 Sebagai mitra untuk melatih keterampilan negosiasi. Saat melakukan tugas dari orang tua atau memanfaatkan alokasi sumber daya keluarga, kakak beradik biasanya akan melakukan negosiasi mengenai bagian masing-masing.

 Sebagai sarana untuk belajar mengenai konsekuensi dari kerja sama dan

konflik.

 Sebagai sarana untuk mengetahui manfaat dari komitmen dan kesetiaan.

 Sebagai pelindung bagi saudaranya.

 Sebagai penerjemah dari maksud orang tua dan teman sebaya terhadap adiknya.

 Sebagai pembuka jalan saat ide baru tentang suatu perilaku dikenalkan

pada keluarga.

2.4 Keberfungsian Keluarga

(13)

fungsi yang penting bagi keberlangsungan masyarakat dari generasi ke generasi. Dari kajian lintas budaya ditemukan dua fungsi utama keluarga, yakni iternal (memberikan perlindungan psikososial bagi para anggotanya) dan eksternal (mentransmisikan nilai-nilai budaya pada generasi selanjutnya) menurut Minuchin (1974).

Menurut Berns (2004) keluarga memiliki lima fungsi dasar, yaitu :

a. Reproduksi. Keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan populasi yang ada di dalam masyarakat.

b. Sosialisasi/edukasi. Keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai, keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi sebelumnya ke generasi yang lebih muda.

c. Penugasan peran sosial. Keluarga memberikan identitas pada para anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran gender. d. Dukungan ekonomi. Keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan,

dan jaminan kehidupan.

e. Dukungan emosi/pemeliharaan. Keluarga memberikan pengalaman interaksi sosial yang pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi bersifat mendalam, mengasuh dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa aman pada anak.

Dalam perspektif perkembangan fungsi paling penting dari keluarga adalah melakukan perawatan dan sosialisasi pada anak. Sosialisasi merupakan proses yang ditempuh anak untuk memperoleh keyakinan, nilai-nilai dan perilaku yang dianggap perlu dan pantas oleh anggota keluarga dewasa, terutama orang tua. Keluarga memang bukan satu-satunya lembaga yang melakukan peran sosialisasi, melainkan keluarga merupakan tempat pertama bagi anak dalam menjalani kehidupannya. Oleh karena berbagai peristiwa, pada awal tahun kehidupan anak sangat berpengaruh pada perkembangan sosial, emosi, dan intelektual anak, maka keluarga harus dipandang sebagai instrument sosialisasi yang utama.

(14)

keberfungsian keluarga merujuk pada kualitas kehidupan keluarga, baik pada level sistem maupun subsistem, dan berkenaan dengan kesejahteraan, kopetensi, kekuatan, dan kelemahan keluarga (Shek,2002). Keberfungsian keluarga dapat dinilai dari tingkat kelentingan (resiliency) atau kekukuhan (strength) keluarga dalam menghadapi berbagai tantangan.

a. Kelentingan keluarga

Pendekatan kelentingan keluarga bertujuan untuk mengenali dan membentengi proses interaksi yang menjadi kunci bagi kemampuan keluarga untuk bertahan dan bangkit dari tantangan kehidupan yang mengganggu (Walsh,2006). Perspektif kelentingan memandang distress sebagai tantangan bagi keluarga, bukan hal yang merusak, serta melihat potensi yang dimiliki keluarga untuk tumbuh dan melakukan perbaikan. Walsh mendefinisikan kelentingan sebagai kemampuan untuk bangkit dari penderitaan, dengan menjadi lebih kuat dan lebih memiliki sumber daya. Kelentingan lebih dari sekedar kemampuan untuk bertahan (survive), Karena kelentingan memampukan orang untuk sembuh dari luka yang menyakitkan, mengendalikan kehidupannya dan melanjutkan hidupnya dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Terdapat tiga faktor yang menjadi kunci bagi kelentingan keluarga, yaitu sistem keyakinan, pola pengorganisasian keluarga, dan proses komunikasi dalam keluarga. Keyakinan merupakan lensa yang digunakan untuk memandang dunia dan kehidupan. Sistem keyakinan merupakan inti dari kelentingan keluarga yang mencakup tiga aspek, yaitu kemampuan untuk memaknai penderitaan, berpandangan positif yang melahirkan sikap optimis, dan keberagaman.

(15)

fleksibilitas, keterhubungan (connectedness), serta sumber daya sosial dan ekonomi.

Komunikasi yang baik merupakan faktor yang penting bagi keberfungsian dan kelentingan keluarga. Komuikasi mencakup transmisi keyakinan, pertukaran informasi, pengungkapan perasaan, dan proses penyelesaian masalah. Keterampilan yang menjadi elemen dari komunikasi yang baik adalah keterampilan berbicara, mendengar, mengungkapkan diri, memperjelas pesan, menyinambungkan jejak, menghargai dan menghormati. Tiga aspek komunikasi yang menjadi kunci bagi kelentingan keluarga adalah:  Kemampuan memperjelas pesan yang memungkinkan anggota keluarga

untuk memperjelas situasi krisis.

 Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan yang memungkinkan

anggota keluarga untuk berbagi, saling berempati, berinteraksi secara menyenangkan, dan bertanggung jawab terhadap masing-masing perasaan dan perilakunya.

 Kesediaan berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah sehingga yang berat sama dipikul dan yang ringan sama dijinjing.

b. Kekukuhan Keluarga

Selain konsep tentang kelentingan keluarga, terdapat ahli yang mengajukan konsep kekukuhan keluarga. Kekukuhan keluarga merupakan kualitas relasi di dalam keluarga yang memberikan sumbangan bagi kesehatan emosi dan kesejahteraan (well-being) keluarga. Defrain dan Stinnett (2003) mengidentifikasi enam karakteristik bagi keluarga yang kukuh, sebagai berikut:

 Memiliki komitmen.

Dalam hal ini keberadaan setiap anggota keluarga memiliki komitmen untuk saling membantu meraih keberhasilan, sehingga semangatnya adalah “satu untuk semua, semua untuk satu”. Intinya adalah terdapat suatu kesetiaan terhadap keluarga dan kehidupan keluarga menjadi prioritas.

(16)

Setiap orang menginginkan apa yang dilakukannya diakui dan dihargai. Ketahanan keluarga akan kukuh manakala ada kebiasaan mengungkapkan rasa terima kasih. Setiap anggota keluarga dapat melihat sisi baik dari anggota yang lainnya, dan selalu terbuka untuk mengakui kebaikan tersebut. Setiap ada keberhasilan dirayakan bersama. Dengan demikian komunikasi dalam keluarga bersifat positif.

 Terdapat waktu untuk berkumpul bersama.

Kuantitas interaksi antara orang tua dan anak di masa kanak-kanak menjadi pondasi penting untuk membentuk hubungan yang berkualitas di masa perkembangan anak selanjutnya. Melalui interaksi orang tua-anak yang frekuensinya sering akan mendukung terbentuknya kelekatan anak dengan orang tua. Oleh karena itu keluarga yang kukuh memiliki waktu untuk melakukan kegiatan bersama dan sering melakukannya. Misalnya makan bersama, bermain bersama, dan melakukan pekerjaan rumah bersama. Seringnya kebersamaan membantu anggota keluarga untuk menumbuhkan pengalaman dan kenangan bersama yang akan menyatukan dan menguatkan mereka.

 Mengembangkan spiritualitas.

Bagi sebagian keluarga, komunitas keagaaman menjadi keluarga kedua yang menjadi sumber dukungan selain keluarganya. Ikatan spiritual memberikan arahan, tujuan, dan perspektif. Ibarat ungkapan, keluarga-keluarga yang sering berdoa bersama akan memiliki rasa kebersamaan.  Menyelesaikan konflik serta menghadapi tekanan dan krisis dengan

efektif.

(17)

ditimpa krisis, keluarga yang kukuh akan bersatu dan menghadapinnya bersama-sama dengan saling memberi kekuatan dan dukungan.

 Memiliki ritme.

Keluarga yang kukuh memiliki rutinitas, kebiasaan, dan tradisi yang memberikan arahan, makna, dan struktur terhadap mengalirnya kehidupan sehari-hari. Mereka memiliki aturan, prinsip yang dijadikan pedoman. Ritme atau pola-pola dalam keluarga ini akan memantapkan dan memperjelas peran keluarga dan harapan-harapan yang dibangunnya.

Keberfungsian sosial keluarga juga dapat dilihat dari tiap-tiap peran anggota keluarganya. Peran di dalam keluarga, mencakup peran sebagai ayah, sebagai ibu, dan sebagai anak.

a. Peran Ayah

- Bertanggung jawab kepada seluruh anggota keluarga - Mencari nafkah untuk keluarga

- Pendidik dan memberi nasehat kepada anak-anaknya - Pelindung dan pemberi rasa aman

- Sebagai kepala keluarga b. Peran Ibu

- Mengurus keperluan rumah tangga

- Mendampingi ayah daam mengurus anak-anak - Mengasuh dan mendidik anak-anaknya

- Mengatur gizi makanan keluarga sehari-hari - Mengatur nafkah yang diberikan ayah - Pencari nafkah tambahan dalam keluarga c. Peran Anak Sebagai Kakak dan Adik

- Kakak

 Memberi contoh yang baik terhadap adik.

 Patuh dan taat terhadap perintah kedua orang tua

(18)

 Membantu pekerjaan kedua orang tua

 Belajar dengan giat agar tercapai cita-cita

- Adik

 Patuh dan taat terhadap perintah kedua orang tua

 Menghormati kedua orang tua

 Membantu pekerjaan kedua orang tua

 Belajar dengan giat agar tercapai cita-cita

Keluarga dapat berfungsi sosial jika peran tiap individu di dalam

keluarga dapat berfungsi sosial dengan baik. Jadi dapat dikatakan, bahwa keluarga dapat berfungsi sosial tergantung dengan keberfungsian tiap-tiap anggota dalam keluarga tersebut

2.5 Teori Sistem Keluarga

Teori sistem pertama kalidicetuskan oleh Minuchin (1974) yang mengajukan skema konsep yang memandang keluarga sebagai sebuah sistem yang bekerja dalam konteks sosial dan memiliki tiga komponen:

 Struktur keluarga berupa sistem sosiokultural yang terbuka dalam

transformasi.

 Keluarga senantiasa berkembang melalui sejumlah tahap yang mensyaratkan penstrukturan.

 Keluarga berdaptasi dengan perubahan situasi kondisi dalam usahanya untuk kontinuitas dan meningkatkan pertumbuhan psikososial tiap anggotanya.

(19)

 Aturan umum yang mengatur organisasi keluarga. Misalnya, dalam keluarga

terdapat hierarki kekuasaan dalam pola hubungan orang tua-anak, dan fungsi komplementer antara suami dan istri dalam bekerja sebagai tim.

 Adanya harapan bersama terhadap anggota keluarga tertentu. Harapan tersebut berasal dari negosiasieksplisit maupun implisit di antara anggota keluarga dalam kehidupan sehari-hari

Keluarga menghadapi tekanan dari dalam yang berasal dari perubahan perkembangan para anggotanya dan tekanan dari luar yang berasal dari kebutuhan untuk mengakomodasi institusi sosial yang berpengaruh signifikan terhadap anggota keluarga. Untuk itu dibutuhkan transformasi konstan terhadap posisi anggota keluarga dalam berelasi, agar anggota tetap dapat tumbuh sementara sistem keluarga mempertahankan kontinuitasnya. Stres dalam sistem keluarga dapat datang dari empat sumber:

 Kontak salah satu anggota dengan kekuatan di luar keluarga.

 Kontak seluruh anggota keluarga dengan kekuatan di luar keluarga.

 Stres pada titik transaksi dalam keluarga.

 Stress yang timbul di sekitar problem anggota yang berkebutuhan khusus atau keabnormalan fisik.

Dalam menghadapi stres tersebut keluarga mempertahankan kontinuitas sambil melakukan restrukturisasi yang dimungkinkan.

Randal D. Day (2010) mengungkapkan bahwa keluarga sebuah sistem memiliki karaktristik sebagai berikut:

1) Keseluruhan (the family as a whole)

Memahami keluarga tidak dapat dilakukan tanpa memahaminya sebagai sebuah keseluruhan. Persoalan individu tidak hanya dilihat terbatas pada individu yang bersangkutan. Dalam pendekatan keluarga sebagai sistem, perhatian utamanya justru diberikan pada bagaimana kehidupan keluarga, baru kemudian memberikan fokus pada individu.

2) Struktur (underlying structures)

(20)

dalam keluarga. Seorang peneliti atau terapis keluarga akan berusaha mengungkap pola-pola di dalam keluarga dengan mengamati bagaimana keluarga memecahkan masalah, bagaimana anggota keluarga berkomunikasi satu sama lain, dan bagaimana keluarga mengalokasikan sumber dayanya. 3) Tujuan (families have goals)

Setiap keluarga memiliki tujuan yang ingin diraih, tetapi untuk mengungkap tujuan keluarga ini, seorang peneliti atau terapis perlu memiliki keterampilan observasi yang memadaiuntuk dapat melihat pola-pola yang berulang di dalam keluarga sebelum tujuan terungkap. Tujuan keluarga ini memiliki rentang yang luas dan bervariasi dari satu keluarga dengan keluarga yang lainnya. Selain itu efektivitas pencapaian tujuan suatu keluarga tergantung seberapa besar sumbangan masing-masing anggota keluarga terhadap pencapaian tujuan.

4) Keseimbangan (equilibrium)

Keluarga merupakan sistem terbuka dan bersifat dinamis. Dalam rangka meraih tujuannya, keluarga akan menghadapi situasi dan kondisi di luar dirinya yang berubah dan berkembang. Keluarga akan senantiasa melakukan adaptasi, menyesuaikan dengan perubahan dan menanggapi situasi dan kondisi yang dihadapi. Keluarga akan berusaha mencapai tujuannya dengan menjaga kehidupannya agar tetap seimbang.

5) Kelembaman (morphostatis)

Keluarga mempertahankan aturan dan menjaga kelangsungan kehidupan sehari-hari agar berlangsung dengan baik. Ada rutinitas dan kebiasaan yang sudah menetap yang selalu dijaga untuk tetap berlangsung secara sama dari hari ke hari. Pada umumnya hal ini berkaitan dengan tugas-tugas kerumahtanggaan, misalnya memasak, menyapu lantai, dan memandikan anak.

6) Batas-batas (boundaries)

(21)

sebuah sistem terbuka, keluarga memiliki batas-batas terluar yang bersifat mudah tembus (permeable). Batas-batas dari keluarga dapat dilihat dari aturan-aturanyang dibangun dalam keluarga, misalnya apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggota keluarga. Apabila batas-batasnya mudah tembus, berarti keluarga memiliki batas-batas yang tidak rapat.

7) Subsistem

Di dalam sistem keluarga terdapat unit-unit subsistem, misalnya subsistem pasangan suami istri, subsistem relasi orang tua-anak, subsistem peran orang tua. Salah satu tuga utama dari subsistem keluarga adalah menjaga batas-batas keluarga. Bahwa keluarga bukan hanya terdiri dari individu-individu yang menjadi anggota keluarga, melainkan terdapat berbagai interaksi yang membentuk subsistem keluarga. Proses saling memengaruhi terjadi antar-individu, subsistem, atau antara subsistem dan individu.

8) Equifinality dan equipotentiality

Equifinality berarti bahwa permulaan dapat membawa padahasil yang sama, sementara suatu permulaanyang sama dapat pula membawa pada hasil akhir yang berbeda. Contohnya, berbagai kajian tentang interaksi orang tua-anak memperlihatkan bahwa keterlibatan yang berlebihan (overinvolvement) dari orang tua dapat menyebabkan hasil yang berbeda. Sikap orang tua yang sangat tanggap (over-responsive) dapat menyebabkan sebagian anak sangat berprestasi (overachieve) dan dapat pula menjadi kurang berprestasi (underachieve). Adapun equipotentiality, berarti bahwa suatu sebab dapat menghasilkan suatu akibat sangat terkait dengan proses apa yang berjalan mengikuti sebab tersebut.

(22)

(indirect effect) dapat berupa pengaruh satu pihak terhadap hubungan dua pihak lain, atau pengaruh hubungan dua pihak terhadap pihak yang lain. Misalnya, sikap seorang suami akan memengaruhi kualitas hubungan ibu dengan bayinya.

Semakin banyak anggota dalam keluarga akan membuat semakin kompleks sistem sosial yang terbangun, karena setiap anggota keluarga adalah sosok pribadi yang unik. Keluarga juga merupakan sistem yang dinamik, karena setiap anggotanya merupakan individu yang berkembang. Sebagai sistem yang dinamik dan berkembang maka perubahan dan perbaikan dapat dilakukan oleh keluarga. Keluarga sebagai sistem sosial juga tidak bisa terlepas dari konteks sosial dan budaya yang lebih besar. Faktor-faktor lingkungan yang memengaruhi keluarga dapat berupa agama, komunitas yang lebih besar maupun lingkungan pertetanggaan.

Keluarga sebagai sebuah sistem memiliki karakteristik yang terkait dengan kemapuan keluarga dalam beradaptasi untuk meraih kepuasan hidup keluarga (Henry, 1994). Karakteristk tersebut adalah kelekatan, fleksibilitas, dan stabilitas. Berbagai penelitian menemukan adanya hubungan antara derajat ikatan (bonding) yang moderat dan fleksibilitas dengan tingkat kepuasan remaja terhadap kehidupan keluarga. Ikatan mengindikasikan adanya perasaan dekat secara emosi dan memiliki waktu bersama. Fleksibilitas menggambarkan adanya perasaan mampu untuk menyesuaikan dengan kondisi yang dapat maupun tidak dapat diperkirakan. Adapun stabilitas merujuk pada pemanfaatan waktu untuk aktivitas rutin sehari-hari dan adanya perayaan pada waktu-waktu tertentu. Bila ikatan antaranggota keluarga terbentuk cukup kuat, para anggota keluarga mampu bersikap luwes dalam berinteraksi serta terpelihara saat-saat kebersamaan dalam keluarga, maka dimungkinkan untuk terwujud hubungan yang harmonis dalam keluarga. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa hubungan orang tua-anak yang harmonis mendukung perkembangan harga diri pada anak, perkembangan penalaran moral, dan pencapaian kebahagiaan pada anak.

(23)

dimiliki keluarga, bagaimana mereka melakukan penyelesaian masalah, serta bagaimana mereka memandang dunia ini.

2.6 Pendekatan Untuk Menganalisis Keluarga 1) Pendekatan Peranan

Keluarga sebagai sistem peran merupakan gambaran yang mengandung harapan, kebudayaan terhadap tingkah laku dalam keluarga merupakan tempat dimana peranan tersebut dipelajari dan diterapkan.

2) Pendekatan Sebab-Akibat

Menurut Nimkof, keluarga dapat dipandang sebagai:

 Keluarga sebagai variabel terikat : keluarga merupakan tujuan

terhadap harapan, tuntutan dan keinginan dari sistem sosial yang lebih besar.

 Keluarga sebagai variabel bebas : keluarga merupakan pendukung

kekuatan potensial bagi suatu generasi sebagai gambaran alternatif di masa yang akan datang.

3) Keluarga Sebagai Sistem Evolusi a. Trustee Family

Suatu bentuk keluarga dimana anggota-anggota keluarga merupakan orang-orang yang dipercaya atas nama keluarga. Jadi, yang disebut dan diakui sebagai anggota suatu keluarga adalah orang-orang yang mendapat kepercayaan yang sudah dianggap dan dipercaya sebagai keluarga sendiri.

(24)

b. Domestic Family

Suatu bentuk keluarga antara, yang lambat laun menjadi “Trustee Family” yaitu suatu kondisi untuk mencapai keleluasaan pengawasan keluarga terhadap anggota-anggotanya. Dengan adanya kepercayaan, maka keluarga dapat dengan leluasa melakukan pengawasan terhadap apa saja yang dilakukan oleh anggota-anggota keluarganya.

Keluarga membagi kekuasaan dan menciptakan konsep hak-hak individu agar dipelihara sehingga tidak bertentangan dengan kewenangan keluarga. Terjadi pembagian kekuasaan dan hak-hak yang disesuaikan sehingga diharapkan tidak terjadi pertentangan dengan kewenangan keluarga.

c. Atomistic Family

Suatu bentuk keluarga dimana kekuatan dan ruang lingkup kewenangan anggota keluarga dikurangi hingga batas terendah. Terjadi pengurangan kekuatan dan ruang lingkup kewenangan keluarga hingga batas terendah yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada. Sehingga keluarga dapat fleksibel dalam menempatkan dirinya, tidak bersifat kaku.

Keluarga menganggap bahwa anggota merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keluarga. Terjalinya ikatan emosional antar anggota keluarga membuat anggota-anggota keluarga sulit memisahkan diri satu sama lain. Mau bagaimanapun dan seperti apapun anggota keluarga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keluarganya. 4) Pendekatan Struktural

a. The Nuclear Family Meliputi tiga tipe, yaitu:

- Perintis, keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri.

(25)

- Bentuk sederhana, terdiri dari pasangan suami istri dengan anak-anak. Anggota keluarga menjadi bertambah ketika lahir anak-anak dari sepasang suami istri yang sudah menikah.

- Bentuk berkurang, hanya terdiri dari satu orang tua dan anak-anak. Kemudian anggota keluarga menjadi berkurang karena adanya kematian salah satu orang tua, orang tua bercerai, atau suatu hal yang membuat hanya ada satu orang tua dan anak-anaknya.

b. The Extended Family

Rumah tangga yang terdiri dari orang tua, anak-anak, kakek atau nenek, paman atau bibi dan saudara-saudara lain, yang masih ada hubungan keluarga. Keluarga ini juga disebut sebagai keluarga batih, dimana keluarga ini merupakan bagian yang lebih luas atau cabang dari keluarga inti. Terdiri dari keturunan yang masih sedarah yang tinggal dalam satu rumah, contohnya ada nenek-kakek, paman-bibi, cucu dan lain sebagainya.

c. The Augmented Family

Suatu kondisi atau situasi dimana jumlah anggota keluarga diperluas dan berkembang dengan anggota keluarga yang tidak memiliki hubungan keluarga.

5) Pendekatan Fungsional (Fungsi Sistem Keluarga)

a. Goal Attaitment : keluarga sebagai sarana untuk mencapai tujuan. b. Pattern Maintanance : keluarga berfungsi sebgai pemelihara pola-pola

hubungan.

c. Integration : keluarga merupakan penyatuan dari kepentingan, tujuan, hak, dan tanggung jawab dari masing-masing anggota keluarga.

d. Adaptation : keluarga merupakan lingkungan sosial paling kecil yang bisa melatih adaptasi sosial masing-masing anggotanya.

(26)

6) Deskripsi dan Klasifikasi Disfungsi Keluarga

a. Adequate Family : keluarga yang memadai, dibentuk oleh pengalaman-pengalaman dalam mengatasi permasalahan hidup dalam keluarga.

b. Chaostic Family : keluarga yang mengalami masalah tentang harapan-harapan atau kesadaran tentang tugas dan tujuan-tujuan keluarga. c. Neurotic Family : keluarga yang selalu dalam kecemasan yang

diakibatkan karena ketidakbahagiaan akibat dari berbagai masalah. d. Psychotic Family : keluarga yang bisa mengembangkan suatu unsur

psikis dengan baik atau melaksanakannya dalam cata tertentu atau mempunyai suatu inti persoalan psikis yang menyatakan gejala-gejala psikis dalam hal-hal tertentu.

e. The perfectionistic Family : keluarga yang selalu berharap dengan mencapai semua tujuan dan harapan yang selalu diimpikan dengan sempurna dan terjadi hubungan orang tua dan anak.

f. The Inadequate Family : keluarga yang mempunyai kepercayaan berlebihan pada satu orang untuk mendukung, memerintah, dan mengatasi persoalan-persoalan yang sebenarnya dapat diselesaikan oleh diri mereka sendiri.

g. The Egocentric Family : keluarga yang cenderung menginginkan anggota keluarganya berprilaku sesuai dengan yang diinginkan.

h. The Unsocial Family : keluarga yang tidak mempunyai hubungan dengan masyarakat atau lingkungannya secara baik dan wajar.

7) Aspek-aspek Keluarga a. Struktural

- Tujuan

(27)

- Boundary

Meliputi batasan-batasan berupa aturan-aturan yang ada pada suatu keluarga, yang meliputi mana yang boleh dan yang tidak boleh. - Differensiasi and Specialisasi

Differensiasi meliputi perbedaan-perbedaan (differensiasi) yang terdapat di dalam keluarga seperti; keturunan, genitas

Specialisasi meliputi hal-hal yang bersifat khusus yang terdapat di dalam suatu keluarga seperti; sifat, dan sebagainya

- Territoriaality

Meliputi batasan-batasan yang ada pada suatu keluarga, seperti batasan tempat tinggal yang hanya di tempati oleh keluarga itu sendiri, dan sebagainya.

b. Bihavioral - Kontrol Sosial

Keluarga memiliki peran penting untuk melakukan kontrol sosial kepada anggota-anggota keluarganya, agar anggota keluarga tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan yang tidak diharapkan dan agar tetap pada jalur yang diharapkan oleh keluarga.

- Sosialisasi

Agen sosialisasi yang paling pertama dan utama setiap diri individu yaitu keluarga. Bayi lahir di lingkungan keluarga, tumbuh dan berkembang dilingkungan keluarga dan untuk itu keluarga harus dapat menanamkan nilai-nilai yang baik kepada anak-anaknya.

- Komunikasi

(28)

c. Evolusioner - Stedy State

Stedy state adalah suatu keadaan dimana keluarga ada dalam keadaan seimbang (stabil). Keluarga selalu berupaya mencapai kondisi keseimbangan tersebut. Misalnya, ayah akan tetap berperan sebagai ayah, ibu akan tetap sebagai ibu, dan anak akan tetap berperan sebagai anak di dalam keluarga.

2.7 Krisis Keluarga

Krisis keluarga adalah kehidupan keluarga dalam keadaan kacau, tak teratur dan terarah, orang tua kehilangan wibawa untuk mengendalikan kehidupan anak-anaknya terutama remaja, mereka melawan orang tua, dan terjadi pertengkaran antara suami-istri. Keluarga krisis dapat berujung kepada perceraian. Dengan kata lain, krisis keluarga merupakan kondisi labil di dalam keluarga, dimana komunikasi dua arah dalam kondisi demokratis sudah tidak ada. Jika terjadi perceraian sebagai puncak dari krisis maka pihak yang paling menderita adalah anak-anak. Terkadang dalam kasus pengadilan perkara perceraian orang tua hanya mementingkan masalah siapa yang akan mengasuh anak tetapi jarang memperhatikan kondisi psikologi anak tersebut. Jika saat ini banyak terjadi kenakalan anak dan remaja, salah satu faktor penyebab adalah kebanyakan bayi atau anak yang diurus oleh pembantu rumah tangga.

Berikut adalah faktor-faktor penyebab terjadinya krisis keluarga, yaitu: 1) Kurang atau putus komunikasi diantara anggota keluarga

Faktor kesibukan dan kurangnya kualitas serta kuantitas komunikasi diantara anggota keluarga menjadi penyebab terjadinya krisis keluarga yang paling sering muncul. Hal ini dapat menyebabkan anak kurang kasih sayang dan asuhan dari orang tuanya. Akhirnya, banyak anak atau remaja tidak terurus dan berujung kepada kenakalan dan penyimpangan perilaku.

2) Sikap egosentrisme

(29)

pasangan suami-istri. Misalnya ayah bertengkar dengan ibu karena tidak mau mengurus anak, ayah lebih sering bersenang-senang sendiri tanpa memperhatikan keadaan rumah tangga. Akhirnya terjadi konflik antara ayah dan ibu di depan anak-anaknya yang menyebabkan sikap bandel dan nakal dalam diri anak-anak. Sikap bandel ini merupakan dampak dari kekesalan anak terhadap orang tuanya yang bersifat egosentrimse.

3) Masalah ekonomi

Ada dua jenis penyabab masalah ekonomi ini yaitu kemiskinan dan gaya hidup. Kemiskinan jelas berdampak terhadap kehidupan keluarga. Jika keadaan emosional suami-istri tidak dapat menghadapi dan memechakan masalah, maka akan timbul pertengkaran. Sebab, istri banyak menuntut hal-hal di luar makan dan minum padahal-hal pendapatan suami tidak seberapa. Pertengkaran ini juga akan menimbulkan perceraian apabila emosi suami dan istri tidak dapat tebendung lagi.Perbedaan gaya hidup antara suami dan istri akan menimbulkan konflik. Walaupun kondisi ekonomi keluarga sudah mapan, tetapi apabila suami bergaya hidup sederhana dan tidak senang dengan gaya hidup istri yang lebih cenderung bersifat hedonisme atau sebaliknya, maka akan menyebabkan pertengkaran. Mengenai hal ini, Muhammad Maftuh Basuni-yang saat itu menjabat sebagai menteri agama-(Republika, 19 Agustus 2008 halaman 7) mengemukakan bahwa disorientasi tujuan suami-istri dalam membangun rumah tangga, kemampuan mengatasi masalah, dan pengaruh perubahan dan norma yang berkembang di masyarakat menjadi penyebab perceraian.

4) Masalah kesibukan

(30)

sebanyak-banyaknya maka akan menyebabkan frustrasi. Hal tersebut juga dapat berpengaruh kepada hubungan terhadap anggota keluarganya.

5) Masalah pendidikan

Jika pasangan suami-istri memiliki kualitas pendidikan yang baik, maka mereka dapat mengatasi dan siap menghadapi dalam masalah yang terjadi dalam rumah tangganya. Namun sebaliknya, apabila kualitas pendidikan kurang baik pada suami, istri, ataupun keduanya maka akan sering terjadi saling meyalahkan apabila terjadi masalah dalam rumah tangga. Hal ini dapat menyebabkan pertengkaran antara suami dan istri.

6) Masalah perselingkuhan

Hubungan suami istri yang sudah kehilangan cinta dan kasih, tekanan pihak ketiga seperti mertua maupun anggota kelurga lain dalam hal ekonomi, dan adanya kesibukan masing-masing yang menyebabkan kurangnya hubungan biologis maupun psikologis sering menjadi penyebab utama perselingkuhan. 7) Jauh dari agama

Segala suatu keburukan perilaku manusia disebabkan karena dirinya jauh dari nilai dan ajaran agama. Semua agama selalu mengajarkan agamanya untuk berbuat baik dan mencegah dari perbuatan nahi dan mungkar. Keluarga yang menganut dan mengamalkan nilai dan ajaran agama lebih jarang mendapatkan masalah dibandingkan dengan keluarga yang jauh dari agama.Keluarga yang jauh dari agama lebih sering melakukan perbuatan tidak baik atau menyimpang dari nilai-nilai masyarakat. Hal tersebut dapat menyebabkan kerontokan hubungan keluarga dan kenakalan pada anak-anaknya.

2.8 Upaya Mengatasi Krisis Keluarga

(31)

jelas. Namun, apabila masalah tersebut bersumber dari anggota keluarga lain maka persoalan ini akan akan sulit untuk dipecahkan dan mencari solusinya.

Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan krisis keluarga. Mulai dari cara tradisional sampai cara modern atau bersifat ilmiah. Cara tradisional terbagi menjadi dua bagian, antara lain

a. Kearifan kedua orang tua.

Kearifan disini diartikan sebagai cara penyelesaian krisis dengan kasih sayang dan bersifat kekeluargaan. Cara ini memerlukan suatu forum keluarga atau waktu penting keluarga seperti makan malam bersama, rekreasi, maupun pembicaraan keluarga. Dengan kata lain kearifan keluarga dapat terjadi jika kedua orang tua memiliki waktu luang di rumah, dapat menciptakan kondisi keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang, dan memiliki pengetahuan mengenai kondisi psikologis anak dan remaja serta cara membimbing anak. b. Bantuan orang bijak.

Bantuan orang bijak dapat diperoleh dari tokoh masyarakat, orang yang berpengaruh dalam keluarga, maupun tokoh agama. Masalahnya adalah orang bijak tersebut hanya memiliki cukup wibawa dan kearifan tetapi kurang memahami mengenai psikologi anak dan cara membimbing keluarga tersebut. Tugas mereka hanyalah menasehati dan memberi wejangan agar tidak terjadi penyimpangan nilai kekeluargaan. Nasihat tersebut terkadang dapat menyinggung perasaan.

Cara ilmiah adalah cara konseling keluarga (family counseling). Cara ini telah dilakukan oleh para ahli konseling di seluruh dunia. Ada dua pendekatan yang dilakukan dalam hal ini yaitu pendekatan menggali emosi, pengalaman, dan pemikiran klien serta pendekatan kelompok yaitu diskusi dalam keluarga yang dibimbing oleh konselor keluarga.

(32)

keluarga. Tujuannya adalah agar konselor mengetahui hal-hal yang mempengaruhi perilakunya. Selanjutnya konselor berusaha memunculkan pikiran-pikiran sehat klien agar tercipta suatu keluarga yang utuh dan bahagia.

Konseling keluarga dilakukan setelah masalah-masalah yang rawan pada masing-masing anggota keluarga telah diselesaikan melalui konseling individual. Dengan cara demikian tugas konselor keluarga akan lebih ringan dalam membantu keluarga menyelesaikan masalahnya dan menciptakan keluarga yang utuh, setelah lancarnya komunikasi di antara mereka. Di dalam proses konseling keluarga, konselor berupaya sekuat tenaga agar setiap anggota keluarga yang terlibat dapat berbicara dengan bebas dalam menyatakan perasaan, pengalaman, dan pendapat mengenai anggota keluarga yang lain.

2.9 Karakteristik Konflik Keluarga

Keluarga merupakan salah satu unit sosial yang hubungan antaranggotanya terdapat saling ketergantungan yang tinggi. Oleh karena itu, konflik dalam keluarga merupakan suatu keniscayaan. Konflik di dalam keluarga terjadi karena adanya perilaku oposisi atau ketidaksetujuan antara anggota keluarga. Prevalensi konflik dalam keluarga berturut-turut adalah konflik sibling, konflik orang tua-anak, dan konflik pasangan (Sillars dkk., 2004). Tiga aspek yang membedakan konflik keluarga dengan kelompok sosial adalah intensitas, kompleksitas, dan durasi (Vuchinich, 2003).

Hubungan dalam keluarga merupakan hubungan yang bersifat kekal. Maka, seandainya konflik dihentikan dengan mengakhiri hubungan, misalnya perceraian atau minggat dari rumah, sisa-sisa dampak psikologis dari konflik tetap membekas.

(33)

memprediksi konflik sibling dibandingkan faktor usia, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga dan variabel yang lain.

Oleh karena sifat konflik yang tidak bisa dielakkan, maka vitalitas hubungan dalam keluarga sangat tergantung pada respon masing-masing terhadap konflik. Frekuensi konflik mencermikan kualitas hubungan, artinya pada hubungan yang berkualitas, frekuensi konflik lebih sedikit. Walaupun demikian, banyak keluarga yang sering mengalami konflik, namun tetap dapat berfungsi dengan baik (Vuchinich, 2003). Faktor yang membuat fungsi keluarga menjadi baik adalah bagaimana cara menanggapi dan menyelesaikan konflik dengan baik. Keluarga yang memiliki interaksi hangat menggunakan pemecahan masalah konstruktif, adapun keluarga dengan interaksi bermusuhan menggunakan pemecahan masalah yang destruktif (Rueter & Conger, 1995).

2.9 Pengaruh Keluarga Terhadap Perilaku Anak

Keluarga merupakan bagian dari sebuah masyarakat. Unsur-unsur yang ada dalam sebuah keluarga baik budaya, mazhab, ekonomi bahkan jumlah anggota keluarga sangat mempengaruhi perlakuan dan pemikiran anak khususnya ayah dan ibu. Pengaruh keluarga dalam pendidikan anak sangat besar dalam berbagai macam sisi. Keluargalah yang menyiapkan potensi pertumbuhan dan pembentukan kepribadian anak. Lebih jelasnya, kepribadian anak tergantung pada pemikiran dan tingkah laku kedua orang tua serta lingkungannya.

Di semua masyarakat yang pernah dikenal, hampir semua orang hidup terikat dalam jaringan kewajiban dan hak keluarga yang disebut hubungan peran (role relations). Seseorang disadarkan akan adanya hubungan peran tersebut karena proses sosialisasi yang sudah berangsung sejak masa kanak-kanak, yaitu suatu proses dimana ia belajar mengetahui apa yang dikehendaki oleh anggota keluarga lain daripadanya, yang akhirnya menimbulkan kesadaran tentang kebenaran yang dikehendaki.(Goode, 1983).

(34)

yang besar dan selalu ingin mencoba segala hal yang dianggapnya baru. Anak-anak hidup dan berpikir untuk saat ini, sehingga ia tidak memikirkan masa lalu yang jauh dan tidak pula masa depan yang tidak diketahuinya. Oleh sebab itu, seharusnya orang tua dapat menjadikan realitas masa sekarang sebagai titik tolak dan metode pembelajaran bagi anak (Zurayk, 1997).

Perkembangan karakter seorang anak dipengaruhi oleh perlakuan keluarga terhadapnya. Karakter seseorang terbentuk sejak dini, dalam hal ini peran keluarga tentu sangat berpengaruh. “Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil dalam masyarakat. Bagi setiap orang keluarga (suami, istri, dan anak-anak) mempunyai proses sosialisasinya untuk dapat memahami, menghayati budaya yang berlaku dalam masyarakatnya.” (Mudjijono, et al., 1995)

Bila seorang anak dibesarkan pada keluarga pembunuh, maka ia akan menjadi pembunuh. Bila seorang anak dibesarkan melalui cara-cara kasar, maka ia akan menjadi pemberontak. Akan tetapi, bila seorang anak dibesarkan pada keluarga yang penuh cinta kasih sayang, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi cemerlang yang memilki budi pekerti luhur. Keluarga sebagai tempat bernaung, merupakan wadah penempaan karakter individu.

Pada masa sekarang ini, pengaruh keluarga mulai melemah karena terjadi perubahan sosial, politik, dan budaya. Keadaan ini memiliki andil yang besar terhadap terbebasnya anak dari kekuasaan orang tua. Keluarga telah kehilangan fungsinya dalam pendidikan. Tidak seperti fungsi keluarga pada masa lalu yang merupakan kesatuan produktif sekaligus konsumtif. Ketika kebijakan ekonomi pada zaman modern sekarang ini mendasarkan pada aturan pembagian kerja yang terspesialisasi secara lebih ketat, maka sebagian tanggung jawab keluarga beralih kepada orang-orang yang menggeluti profesi tertentu.

(35)

Anak bukan lah orang dewasa, ia memiliki sifat-sifat yang khas. Seorang anak melihat, mendengar, berperasaan, dan berpikir dengan bentuk yang khas, namun tidak keluar dari logika dan perasaan yang sehat. Misalnya, anak-anak itu melihat, mendengar, dan berperasaan sebagaimana orang tua melihat, mendengar, berperasaan, dan berpikir. Karena itu, orang tua seharusnya mempergauli anak-anak berdasarkan pada anggapan bahwa dia adalah anak-anak-anak-anak. Sebagaimana dikatakan, “Pemuda tidak akan menjadi pemuda yang sebenarnya selama masa kanak-kanaknya tidak menjadi anak-anak yang sebenarnya.”

Keluarga memberikan pengaruh pada pembentukan budi luhur bagi seorang anak. Salah satu ciri anak yang berbudi luhur adalah selalu menunjukkan sikap sopan dan hormatnya pada orang tua. Budi luhur yang melekat pada setiap orang bukan datang dengan sendirinya, melainkan harus diciptakan. Terutama dalam keluarga dan bukan merupakan keturunan. Dengan kata lain, budi luhur tidak merupakan keturunan melainkan merupakan produk pendidikan dalam keluarga, merupakan perpaduan antara akal, kehendak, dan rasa.

(36)

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan

Keluarga di Indonesia umumnya terbentuk oleh suatu perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan yang disebut sebagai anggota keluarga adalah orang-orang yang terikat oleh hubungan darah. Untuk menjaga keharmonisan keluarga, agar terhindar dari krisis bahkan konflik yang terjadi, maka tiap-tiap anggota keluarga harus bisa melakukan komunikasi yang baik antar anggota keluarga.

Keluarga mempunyai peranan yang sangat penting kepada anggotanya sebagai sarana pendidikan, tempat untuk tumbuh kembang, dan sarana berinteraksi yang dilakukan pada tiap anggota. Di dalam keluarga inilah tempat meletakkan dasar-dasar kepribadian, keyakinan, agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan-keterampilan, sehingga sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan perilaku tiap anggota.

Dalam hal ini, keberfungsian sosial keluarga dapat pula dipengaruhi oleh tiap-tiap peran anggota keluarganya. Peran di dalam keluarga, mencakup peran sebagai ayah, sebagai ibu, dan sebagai anak. Jika peran-peran tersebut terlaksana dengan baik, maka keberfungsian keluarga juga akan berjalan dengan baik.

3.2 Saran

Referensi

Dokumen terkait

hanya terbatas pada arus LALU LINTAS JALAN RAYA saja, yakni tidak hanya memikirkan bagaimana memindahkan manusia dan barang dari satu tempat ke tempat lainnya.. MELAINKAN

Kawasan peruntukan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b terdapat di Distrik Kaimana, Distrik Buruway, Distrik Teluk Arguni, Distrik Arguni Bawah, Distrik

Faktor karakteristik balita dan perilaku keluarga terhadap kejadian ISPA

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: (1) Gaya Kepemimpinan, dan Motivasi Kerja secara bersama-sama tidak berpengaruh dan tidak

Perhitungan biaya tenaga kerja berdasarkan metode harga pokok pemesanan dalam menentukan harga pokok produksi perusahaan dengan menggunakan sistem upah

Dana pinjaman ini berasal dari zakat dan infaq beberapa pihak yang digulirkan oleh pengelola kepada masyarakat, atas dasar ini penulis menduga bahwa model

Hasil penghitungan analisa Gambar 6 diatas menunjukkan persentase pemotongan sapi perah betina umur produktif sebanyak 26 % atau 47 ekor dari total pemotongan 184

a) Siswa lebih aktif dan lebih banyak berlatih soal-soal terutama mengenai lingkaran, agar dapat melatih keahlian dalam berhitung, dan menambah ingatan siswa.