• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI ANAK TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI ANAK TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat mengembangkan potensi-potensinya agar mencapai pribadi yang bermutu. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mengemban tugas yang cukup berat diantaranya sebagai fasilitator bagi siswa untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Indikator keberhasilan sekolah dalam mengemban tugasnya dapat dilihat dari pencapaian prestasi akademik yang tinggi dan berbagai keterampilan khusus yang dimiliki oleh peserta didik (Nurwati, 2004).

Keberhasilan dari sebuah proses belajar di sekolah diukur dengan prestasi akademik yang dicapai siswa. Prestasi akademik siswa merupakan suatu istilah yang menunjukkan derajat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan belajar setelah melakukan proses belajar dari suatu program yang telah ditentukan. Prestasi belajar merupakan hasil kegiatan belajar dan kemajuan siswa yang berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang diajarkan (Suryabrata, 1998). Prestasi akademik pula yang menjadi tolak ukur dari tingkat pemahaman siswa terhadap materi tertentu yang telah diberikan setelah siswa mengalami proses belajar pada jangka waktu tertentu dan dinyatakan dalam bentuk nilai.

(2)

mencapai hasil seperti yang diharapkan. Ada siswa yang hasil belajarnya tinggi dan ada pula siswa yang hasil belajarnya rendah. Tingkat penguasaan belajar dalam setiap mata pelajaran dapat dilihat dari prestasi belajar. Prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru (Hasan, 2002).

(3)

mempunyai tugas yaitu membimbing dan mendidik anak-anaknya. Apalagi jika siswa ini memasuki usia remaja, yaitu berusia antara 15 – 18 tahun.

Masa remaja adalah masa peralihan, yang bukan hanya dalam arti psikologis,

tetapi juga fisiknya. Peralihan dari anak ke dewasa ini meliputi semua aspek

perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Basri (2000)

menyatakan bahwa masa remaja yang dilalui tidak ubahnya sebagai suatu jembatan

penghubung antara masa tenang yang selalu bergantung pada pertolongan dan

perlindungan dari orang tua dengan masa berdiri sendiri, bertanggung jawab dan

berpikir matang.

Masa remaja adalah masa yang paling menyenangkan tapi sekaligus juga paling membingungkan. Masa di mana seseorang mulai memikirkan tentang cita-cita, harapan, dan keinginan-keinginannya. Namun juga masa yang membingungkan, karena remaja mulai menyadari masalah-masalah yang muncul ketika mencoba untuk mengintegrasikan antara keinginan diri dan keinginan orang-orang di sekitarnya.

Pada saat inilah orang tua memiliki peranan yang sangat penting untuk menolong anak remajanya, supaya mereka tidak salah jalan. Tetapi tidak dapat dipungkiri apabila pada saat yang sama orang tua mengalami kesulitan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang dialami remaja, baik secara fisik maupun psikis. Oleh karena itu, orang tua perlu melakukan pendekatan-pendekatan yang tepat agar dapat mengerti dan memahami masalah anak remajanya. Jika tidak, maka hal ini akan menyebabkan banyak kesalahpahaman di antara mereka.

(4)

yang harmonis, dalam arti orang tua memberikan curahan kasih sayang, perhatian, serta bimbingan dalam kehidupan berkeluarga, maka perkembangan kepribadian anak tersebut cenderung positif (Dahlan dalam Gunarsa, 1991). Situasi keluarga yang harmonis dan bahagia akan melahirkan anak atau generasi-generasi penerus yang baik dan bertanggung jawab. Peran orang tua yang seharusnya adalah sebagai orang pertama dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan terhadap anak-anaknya. Orang tua juga harus dapat menciptakan situasi pengaruh perhatian orang tua dengan menanamkan norma-norma untuk dikembangkan dengan penuh keserasian, sehingga tercipta iklim atau suasana keakraban antara orang tua dan anak. Namun jika dalam keluarga tersebut sudah tidak ada keharmonisan lagi maka akan berdampak tidak baik pada anak, anak menjadi terpukul dan mungkin tidak menerima keadaan tersebut dan hal ini dapat mempengaruhi prestasi belajarnya.

Belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Namun, untuk pertama kalinya aktivitas belajar dilakukan dalam lingkungan keluarga, sebab keluarga adalah pendidik pertama dari pengalaman anak-anak (Partowisastro, 1993).

(5)

yang diinginkannya serta dapat berguna bagi keluarga mereka pada masa yang akan datang.

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa keluarga merupakan “pusat pendidikan” yang pertama dan terpenting karena sejak timbulnya adab kemanusiaan sampai kini, keluarga selalu mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti tiap-tiap manusia. Di samping itu, orang tua dapat menanamkan benih kebatinan yang sesuai dengan kebatinannya sendiri ke dalam jiwa anak-anaknya (Shochib, 1998).

Soelaiman (dalam Shochib, 1998) menyatakan bahwa dipandang dari psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal yang sama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Dalam usaha saling melengkapi dan saling menyempurnakan diri itu terkandung suatu kedekatan diantara mereka.

(6)

sebaliknya jika anak mempersepsi keluarganya berantakan atau kurang harmonis maka ia akan terbebani dengan masalah yang sedang dihadapi oleh orang tuanya tersebut. Apalagi jika anak masih menempuh pendidikan sehingga hal ini dikhawatirkan akan dapat mempengaruhi prestasi belajarnya (Maria, 2007).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2007) menyatakan bahwa suasana rumah mendukung untuk digunakan belajar. Lingkungan yang tenang dan

kondusif sangat mendukung anak ketika sedang belajar dirumah sehingga anak dapat

berprestasi dengan baik di sekolahnya. Marie (2006) menemukan bahwa konflik

keluarga berpengaruh terhadap prestasi belajar. Sedangkan penelitian Amy (2005)

menunjukkan bahwa gaya pengasuhan yang prediktor tidak lebih baik dari kemampuan kognitif anak-anak dari sosial ekonomi keluarga dan karakteristik demografi. Ketika anak-anak ditawarkan kesempatan untuk belajar dalam bahasa ibu mereka, mereka lebih cenderung untuk mendaftar dan berhasil di sekolah (Kosonen, dalam Jessica Ball, 2010).

(7)

dan ibunya harus bekerja. Ayahnya bekerja di Jakarta dan ibunya bekerja di Boyolali untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. NN memiliki seorang adik, tetapi adiknya ikut besama ayahnya dan tinggal di Jakarta. Komunikasi dengan ayahnya pun juga jarang dilakukan. Dengan keadaan tersebut menjadikannya tidak terlalu dekat dengan ayah dan ibunya.

Perhatian yang kurang dari kedua orangtuanya tidak mempengaruhi prestasinya sampai turun. Bahkan NN selalu masuk dalam 3 besar di kelasnya. Apabila dilihat dari segi fasilitas, NN sangat terjamin dari mulai laptop, motor dan uang saku yang sangat cukup. Akan tetapi, keadaan tersebut tidak membuat NN merasa nyaman dengan hanya dipenuhi dari sisi materi saja. Keinginannya adalah mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Temuan lain dari pra survey yang dilakukan, diperoleh keterangan dari guru BP di SMA Negeri 1 Boyolali bahwa ada beberapa siswa, salah satunya NN (16 tahun) siswa kelas XI yang di dalam keluarganya sedang mengalami masalah, di mana terjadi pertengkaran terus menerus antara ayah dan ibunya hingga akhirnya ibu dari siswa tersebut memutuskan untuk bercerai. Adanya kejadian tersebut menyebabkan anak mengalami depresi ringan dan menjadi terganggu konsentrasi belajarnya yang pada akhirnya juga berpengaruh pada penurunan prestasi belajarnya.

(8)

pekerjaannya masing-masing. Siswa tersebut merasa tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya, baik dalam belajarnya maupun dalam kehidupan sehari-harinya sehingga prestasi belajarnya menjadi menurun.

SMA Negeri 1 Boyolali termasuk salah satu sekolah favorit tetapi pada kenyataannya siswa-siswi yang bersekolah di tempat tersebut tidak selalu berasal dari keluarga yang harmonis dan siswa-siswinya selalu berprestasi baik. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji kaitan antara persepsi keharmonisan keluarga dengan prestasi belajar siswa.

Berdasarkan pada uraian latar belakang penelitian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara persepsi keharmonisan keluarga dengan prestasi belajar siswa. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut maka penulis tertarik mengadakan penelitian dengan judul, “Hubungan Antara Persepsi Anak terhadap Keharmonisan Keluarga dengan Prestasi Belajar”.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi anak terhadap keharmonisan keluarga dengan prestasi belajar.

C. Manfaat Penelitian

(9)

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca sebagai wahana dalam memahami keharmonisan dalam keluarga dengan prestasi belajar siswa, khususnya siswa usia remaja.

2. Secara Praktis

Referensi

Dokumen terkait

Pada suatu masyarakat, perilaku agresif (agresivitas) adalah perilaku yang tidak disukai dan cenderung untuk dihindari. Hal ini karena perilaku tersebut menimbulkan bahaya

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN HARGA DIRI PADA REMAJAi.

Hipotesis yang diajukan peneliti adalah ada hubungan positif antara persepsi terhadap kualitas komunikasi ayah dalam keluarga dengan konsep diri pada remaja. Semakin positif

Antara Persepsi Terhadap Kualitas Komunikasi Ayah Dalam Keluarga Dengan Konsep Diri Pada Remaja”...

HUBUNGAN PERSEPSI KEHARMONISAN KELUARGA, KONSEP DIRI, DAN PERILAKU AGRESI

Remaja yang memiliki keluarga yang harmonis dan konsep diri yang positif lebih memilki kualitas interaksi sosial yang lebih baik dari pada remaja yang dibesarkan dalam

Hasil untuk hubungan antara keharmonisan keluarga dengan prestasi belajar sebesar 0,005 yang berarti nilai tersebut di bawah nilai signifikansi yaitu 0,005

Penelitian lain yang dilakukan oleh Russel dalam Nurhayati, 2003 tentang pengaruh keadaan keluarga dengan sikap terhadap seks pranikah pada remaja menunjukkan bahwa keluarga yang