• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Standar Akuntansi Pemerintahan 2.1.1 Pengertian Akuntansi Pemerintahan - Analisis Akuntansi Pendapatan Perpajakan Dalam Rangka Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual (Studi Kasus : KPP Pratama Medan Kota)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Standar Akuntansi Pemerintahan 2.1.1 Pengertian Akuntansi Pemerintahan - Analisis Akuntansi Pendapatan Perpajakan Dalam Rangka Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual (Studi Kasus : KPP Pratama Medan Kota)"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Standar Akuntansi Pemerintahan

2.1.1 Pengertian Akuntansi Pemerintahan

Dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), pemerintah memerlukan informasi yang memadai atas pengelolaan aset dan sumber daya keuangan yang mampu menunjang transparansi serta akuntabilitas pengelolaannya. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui sistem pencatatan, pengikhtisaran dan pelaporan yang handal dan memadai. Proses maupun sistem dalam pemerintahan tersebut seringkali disebut sebagai akuntansi pemerintahan. Akuntansi pemerintahan digolongkan juga ke dalam akuntansi sektor publik.

Adapun mengenai pengertian Akuntansi Pemerintahan menurut Baswir (1998,7) adalah “Akuntansi Pemerintahan (termasuk di dalamnya akuntansi untuk lembaga-lembaga yang tidak bertujuan mencari laba lainnya), adalah bidang akuntansi yang berkaitan dengan lembaga pemerintahan dan lembaga-lembaga yang tidak bertujuan mencari laba”.

(2)

Berdasarkan pengertian diatas, akuntansi pemerintahan adalah akuntansi yang digunakan dalam suatu organisasi pemerintahan/lembaga yang tidak bertujuan untuk mencari laba, dan merupakan suatu bagian dari disiplin ilmu akuntansi yang utuh.

2.1.2 Dasar Hukum

Penerapan akuntansi pada pemerintahan sebelum adanya reformasi di bidang Keuangan Negara adalah dengan penerapan sistem single entry. Pada sistem pencatatan ini pencatatan transaksi ekonomi dilakukan dengan mencatat satu kali, yaitu transaksi yang menyebabkan bertambahnya kas dicatat di sisi penerimaan dan transaksi yang menyebabkan berkurangnya kas dicatat di sisi pengeluaran. Hasilnya pemerintah tidak memiliki catatan tentang piutang, utang, apalagi tentang aset tetap dan ekuitas.

Setelah pemerintah melakukan reformasi keuangan negara, maka ditetapkanlah Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Tidak berhenti sampai disitu, pemerintah pun menetapkan lagi Undang-Undang No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pada Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa akuntansi keuangan negara diselenggarakan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.

(3)

akrual, yaitu basis kas untuk pengakuan pendapatan, belanja, dan pembiayaan, serta basis akrual untuk pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dana.

Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 pasal 36 ayat (1) tentang keuangan negara dinyatakan bahwa penerapan basis kas menuju akrual masih bersifat sementara. Pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual menurut Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun, yang berarti paling lambat tahun 2008. Sejak tahun 2008 pemerintah pun mencanangkan reformasi di bidang akuntansi berupa keharusan penerapan akuntansi berbasis akrual yang merupakan best practice di dunia internasional pada setiap instansi pemerintahan baik pusat maupun daerah. Hasilnya ditetapkanlah PP No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan untuk mengganti PP No. 24 Tahun 2005.

Meskipun penerapan akuntansi berbasis akrual telah dicanangkan, PP 71 tahun 2010 masih memberikan ruang bagi untuk menerapkan akuntansi berbasis kas menuju akrual. Penerapan SAP berbasis akrual akan dilakukan secara bertahap, mulai dari penerapan SAP berbasis kas menuju akrual menjadi penerapan SAP berbasis akrual pada tahun 2015. Timeline strategi penerapan SAP berbasis akrual yang direncanakan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1. Timeline strategi penerapan SAP berbasis akrual Tahun Strategi penerapan SAP akrual

2010

• Penerbitan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual • Mengembangkan framework Akuntansi Berbasis Akrual dan

(4)

• Sosialisasi Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis Akrual

2011

• Penyiapan aturan pelaksanaan akuntansi

• Pengembangan sistem akuntansi dan teknologi informasi bagian pertama (proses bisnis dan detail requirement).

• Pengembangan kapasitas SDM

2012

• Pengembangan sistem akuntansi dan teknologi informasi • Pengembangan kapasitas SDM (lanjutan)

2013

• Piloting beberapa Kementerian/Lembaga dan Bendahara Umum Negara

• Review, evaluasi dan penyempurnaan sistem • Pengembangan kapasitas SDM (lanjutan)

2014

Parallel run dan konsolidasi seluruh LK • Review, evaluasi dan penyempurnaan sistem • Pengembangan kapasitas SDM (lanjutan)

2015

• Implementasi penuh

• Pengembangan kapasitas SDM (lanjutan)

Sumber : Rakhman, Azwar.dkk. Penyajian LKPP berdasarkan SAP Berbasis Akrual

(5)

menyebabkan dibutuhkan adanya pelaporan mengenai arus sumber daya yang diterima dan beban yang menjadi tanggungan dalam proses kegiatan rutin dimana dalam sektor privat/komersial disebut Laporan Laba/Rugi. Laporan inilah yang disebut dengan Laporan Operasional. Selain itu, dibutuhkan juga pelaporan mengenai surplus atau defisit anggaran yang akan menambah atau mengurangi kekayaan bersih suatu entitas sesuai dengan basis akrual yang telah ditetapkan.

2.1.2.1 Ruang Lingkup Peraturan

Ruang lingkup dari PP 71 tahun 2010 meliputi SAP berbasis akrual dan SAP berbasis kas menuju akrual. SAP berbasis akrual berlaku sejak tanggal ditetapkan dan dapat segera diterapkan oleh setiap entitas paling lambat di tahun 2015, sedangkan SAP berbasis kas menuju akrual berlaku selama masa transisi bagi entitas yang belum siap untuk menerapkan SAP berbasis akrual dengan batas waktu paling lama lima tahun. Walaupun untuk sementara masih diperkenankan menerapkan SAP Berbasis Kas Menuju Akrual, setiap entitas diharapkan dapat segera menerapkan SAP Berbasis Akrual.

2.1.2.2 Definisi Standar Akuntansi Pemerintahan

Berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010, definisi Standar Akuntansi Pemerintahan, yang selanjutnya disingkat SAP, adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah.

2.1.3 Basis Standar Akuntansi Pemerintahan

(6)

a. SAP Berbasis Kas Menuju Akrual

SAP berbasis kas menuju akrual atau disebut juga cash toward accrual

(CTA) adalah SAP yang mengakui pendapatan, belanja, dan pembiayaan berbasis kas, serta mengakui aset, utang, dan ekuitas dana berbasis akrual.

Laporan keuangan pokok yang wajib terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Selain laporan keuangan pokok tersebut, entitas pelaporan diperkenankan menyajikan Laporan Kinerja Keuangan dan Laporan Perubahan Ekuitas.

b. SAP Berbasis Akrual

SAP berbasis akrual adalah SAP yang mengakui pendapatan, beban, aset, utang, dan ekuitas dalam pelaporan finansial berbasis akrual, serta mengakui pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam pelaporan pelaksanaan anggaran berdasarkan basis yang ditetapkan dalam APBN/APBD.

Dalam penerapan basis akrual nantinya, pemerintah diwajibkan untuk menyusun tujuh laporan keuangan, yakni Laporan realisasi Anggaran (LRA), Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih, Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), Laporan Operasional (LO), Laporan Perubahan Ekuitas (LPE), dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). Perbedaan mendasar antara basis CTA dengan basis akrual terletak pada LRA dan LO.

(7)

1. Basis Akuntansi

Dalam basis akrual, dasar yang digunakan dalam semua laporan keuangan pemerintah adalah basis akrual penuh. Berbeda dengan basis kas menuju akrual yang menggunakan basis kas pada pengakuan pos pendapatan, belanja dan pembiayaan dan hanya menggunakan basis akrual pada pengakuan pos-pos aset, kewajiban, dan ekuitas dana.

Selain itu, pada basis akrual setiap entitas pelaporan wajib menggunakan basis akrual secara penuh sedangkan pada basis kas menuju akrual, penggunaan basis akrual secara penuh sifatnya adalah opsional.

Dampaknya yaitu pada basis kas menuju akrual, pendapatan diakui saat diterima dan belanja diakui saat dibayarkan sedangkan pada basis akrual baik pendapatan maupun belanja diakui pada saat terjadinya sehingga akuntansi berbasis akrual lebih mampu mencerminkan keadaan yang sebenarnya atas adanya tambahan atau penurunan kekayaan yang terjadi.

2. Perubahan Definisi

Perbedaan saat pengakuan pendapatan dan beban pada basis akrual dengan basis kas menuju akrual menimbulkan adanya perbedaan beberapa definisi istilah-istilah bagan akun yang digunakan dalam basis kas menuju dengan basis akrual. Perbedaannya adalah adanya istilah baru pada basis akrual penuh yang tidak terdapat pada basis kas menuju akrual atau adanya perubahan makna dari istilah yang ada pada basis kas menuju akrual.

(8)

Dikarenakan pada basis kas menuju akrual, pendapatan diakui dengan basis kas maka pendapatan didefinisikan sebagai semua penerimaan rekening kas umum negara/daerah yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah, dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah.

Pada basis akrual, pendapatan dikategorikan menjadi dua, yaitu: • Pendapatan - LRA

Semua penerimaan Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang menambah Saldo Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah, dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah.

• Pendapatan - LO

Hak pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai penambah ekuitas dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan dan tidak perlu dibayar kembali. b) Belanja

Pada basis kas menuju akrual belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah.

Pada basis akrual, terdapat pembedaan istilah belanja dengan beban sehingga definisi masing-masing istilah menjadi:

(9)

Semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang mengurangi Saldo Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah.

• Beban

Penurunan manfaat ekonomi atau potensi jasa dalam periode pelaporan yang menurunkan ekuitas, yang dapat berupa pengeluaran atau konsumsi aset atau timbulnya kewajiban.

c) Surplus/Defisit,

Definisi surplus/defisit pada basis kas menuju akrual adalah selisih lebih/kurang antara pendapatan dan belanja selama satu periode pelaporan dan pada basis akrual, surplus/defisit dikategorikan menjadi dua, yaitu:

• Surplus/Defisit-LRA,

Selisih lebih/kurang antara pendapatan-LRA dan belanja selama satu periode pelaporan.

• Surplus/Defisit-LO,

Selisih antara pendapatan-LO dan beban selama satu periode pelaporan, setelah diperhitungkan surplus/ defisit dari kegiatan non operasional dan pos luar biasa.

d) Pos Luar Biasa

(10)

transaksi yang bukan merupakan operasi biasa, tidak diharapkan sering atau rutin terjadi, dan berada di luar kendali atau pengaruh entitas bersangkutan.

3. Kerangka Konseptual

Untuk perbedaan dalam kerangka konseptual, dapat dilihat pada tabel di Lampiran I.

2.2 Tren, Isu, dan Langkah Penerapan Akuntansi Akrual Di Dunia Internasional

Penerapan akuntansi berbasis akrual pada sektor publik tidaklah berlangsung lancar. Dalam perjalanan implementasi sistem akuntansi tersebut, terdapat tren-tren yang terjadi di negara-negara yang telah menerapkan sistem akuntasi berbasis akrual, isu-isu yang beredar serta langkah-langkah penerapan selama proses implementasinya

2.2.5 Tren Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual Di Dunia Internasional Sejak tahun 1990, perpindahan ke basis akrual telah menjadi salah satu pilar utama dalam melakukan reformasi di bidang keuangan publik yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi, kinerja dan akuntabilitas. Penggunaan basis akrual telah menjadi salah satu ciri dari praktik menuju manajemen keuangan modern.

(11)

hingga Negara berkembang di Timur tengah telah mempertimbangkan transisi dan menunjukkan tren untuk mengadopsi reformasi akuntansi berbasis akrual.

Dibawah ini adalah daftar standar akuntansi yang telah diterapkan di beberapa Negara (data 2009):

Tabel 2.2 Basis Akuntansi di Berbagai Negara

Negara

Basis Kas (penuh)

Basis Kas Menuju Akrual

Basis Akrual (penuh)

Australia x

Austria x

Belgia x

Kamboja x

Kanada x

Colombia x

Republik Ceko x

Finlandia x

Prancis x

Jerman x

Yunani x

Hongaria x

Islandia x

Indonesia x

(12)

Negara

Basis Kas (penuh)

Basis Kas Menuju Akrual

Basis Akrual (penuh)

Israel x

Yordania x

Kenya x

Meksiko x

Maroko x

Belanda x

Selandia Baru x

Norwegia x

Rep. Slovakia x

Slovenia x

Suriname x

Swedia x

Turki x

Inggris x

Amerika Serikat x

Sumber : Abdul Khan and Stephen Mayes, Transition to Accrual Accounting

(13)

berbasis kas, tapi juga pada sumber daya lain yang berpotensi memberikan manfaat ekonomi di masa depan. Hanya saja, di negara-negara lain terutama Negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) penggunaan basis akrual lebih banyak diterima untuk pelaporan keuangan dari pada untuk tujuan penganggaran.

2.2.6 Isu Penerapan Akuntansi Akrual Di Dunia Internasional

Dalam proses transisi menuju basis akrual bagi lingkungan pemerintahan, Khan dan Meyes dalam studi Transition to Accrual Accounting telah mengumpulkan beberapa isu sebagai berikut:

a. Perumusan kebijakan akuntansi

(14)

b. Adanya gap dengan Standar Akuntansi Internasional

International Public Sektor Accounting Standards Board (IPSASB), merupakan bagian dari International Federation of Accountants (IFAC), adalah lembaga yang bertanggung jawab mengeluarkan International Public Sektor Accounting Standards (IPSAS) yang merupakan standar internasional untuk akuntansi sektor publik. Saat ini telah terdapat sekitar dua puluh standar yang dapat diaplikasikan untuk akuntansi berbasis akrual. Standar yang telah dikeluarkan IPSAS telah di desain untuk memfasilitasi generalisasi bentuk laporan keuangan pemerintah yang berkualitas dengan tingkat keterbandingan secara internasional.

Hanya saja masih ada gap (celah) antara standar akuntansi sektor publik internasional dengan standar yang diterapkan pemerintah suatu Negara, misalnya dalam hal pengakuan dan pengukuran pendapatan non pertukaran (misal pajak dan transfer), pengakuan dan pengukuran akuntansi untuk kebijakan sosial, aset bersejarah, dan partnership pemerintah-swasta. Untuk itu, pemerintah suatu negara perlu memformulasikan standar atau pedoman akuntansinya sendiri pada aspek tertentu.

c. Informasi kas dalam kerangka kerja akrual

(15)

d. Sinkronisasi antara akuntansi akrual dengan anggaran

Terdapat beberapa pihak yang berpendapat bahwa konsep akuntansi dan anggaran haruslah disamakan agar terdapat basis yang jelas dan transparan dalam pembandingan antara apa yang direncanakan pemerintah dan hasil keuangan yang aktual. Oleh karena itu jika penerapan basis akrual dilakukan, maka penganggaran juga harus menggunakan basis akrual.

Anggaran berbasis akrual akan menyajikan sumber daya secara utuh dan implikasi dari aktivitas yang direncanakan pemerintah. Oleh sebab itu anggaran harus menyajikan pendapatan dan beban secara akrual, penerimaan dan pengeluaran kas, serta estimasi dampak kegiatan pemerintah terhadap aset dan kewajiban pemerintah.

Hanya saja, secara teknik pemerintah dapat menerapkan basis akuntansi akrual tanpa membuat perubahan kerangka penganggaran yang berbasis kas. Dengan demikian, dalam pelaporan akuntansi berbasis akrual pertanggungjawaban anggaran berbasis kas akan tetap disusun.

e. Klasifikasi anggaran dan Bagan Akun Atandar (BAS)

(16)

Pada sistem yang sudah didesain dengan baik, BAS akan mengakomodir item-item dalam klasifikasi anggaran. Hal ini berarti selain akun yang dinyatakan dalam klasifikasi anggaran, BAS akan juga mencakup akun untuk keperluan pencatatan dan pelaporan keuangan. Contohnya, jika BAS memiliki akun untuk aset dan kewajiban, walaupun umumnya akun aset dan kewajiban tidak akan diumpai pada klasifikasi anggaran berbasis kas.

Isu yang penting dalam hal ini adalah jika pemerintah melakukan transisi menuju akuntansi dan anggaran berbasis akrual, maka klasifikasi antara BAS dengan anggaran akan sama. Namun bila pemerintah tetap menjalankan anggaran berbasis kas sekaligus akuntansi yang berbasis akrual, akan terdapat perbedaan yang signifikan antara klasifikasi dalam BAS dan anggaran. Oleh karena itu, BAS harus dirancang agar dapat menjembatani perbedaan antara kebutuhan penanggaran dengan kebutuhan pelaporan keuangan.

f. Pembentukan Neraca awal

(17)

g. Proses keuangan yang tersentralisasi atau terdesentralisasi

Sebuah keputusan struktural penting yang harus dibuat sehubungan dengan fungsi akuntansi adalah: haruskah akuntansi yang rinci dan proses pelaporan dilakukan oleh Kementerian Keuangan atau kementerian teknis dan lembaga? Pertanyaan berikutnya adalah jika tanggung jawab diserahkan pada kementerian teknis dan lembaga, haruskah mereka mengembangkan dan memelihara sistem keuangan mereka sendiri, atau sebaiknya mereka memiliki akses online untuk satu sistem yang dikelola oleh Kementerian Keuangan?

h. Konsolidasi Laporan Keuangan.

Terlepas dari apakah pemerintah mengadopsi model sentralisasi atau desentralisasi, adalah penting membuat laporan konsolidasi untuk sektor pemerintah secara umum atau sektor publik, dimana semua transaksi antar instansi telah diidentifikasi secara terpisah di masing-masing akun entitas untuk memudahkan eliminasi saat melakukan konsolidasi.

i. Item yang “terkendali” dan “dikelola”

(18)

2.2.7 Langkah Implementasi akrual menurut IPSASB

Dalam proses transisi, langkah dan tempo yang dibutuhkan akan bervariasi di antara tiap entitas. Berbagai macam metode pendekatan transisi dapat diterapkan. Berikut ini adalah langkah implementasi akrual menurut IPSASB dalam studi No 14 di Januari 2011

a. Analisa Gap

Sebelum mempertimbangkan alternatif langkah transisi yang akan ditempuh, dibutuhkan kesamaan pengertian tentang adanya gap atau celah antara sistem pelaporan yang diterapkan saat ini dengan sistem pelaporan yang seharusnya, apakah basis akrual penuh atau basis kas. Dewasa ini, tim yang dibentuk oleh Bank Dunia telah menciptakan sebuah alat diagnosa yang disebut “Analisis Gap” yang memfasilitasi pembandingan antara standar akuntansi sektor publik yang diterapkan disuatu Negara dan standar audit serta praktek di dunia internasional. Negara di Asia Selatan telah mulai menggunakan alat ini untuk pesiapan rencana transisi menuju akuntansi berbasis akrual. Alat analisis ini juga telah digunakan di Azerbaijan, India, Indonesia,dan Tajikistan

b. Penerapan Reformasi Akuntansi dalam Entitas Pemerintah

Reformasi akutansi dapat diterapkan di semua aspek sektor publik dalam lingkungan pemerintah atau dibatasi pada entitas tertentu saja. Sebagai contoh, implementasi akuntansi berbasis akrual dapat diterapkan dengan basis sektor per sektor atau dengan basis per daerah otonom.

(19)

akrual atau tidak pada periode waktu tertentu. Oleh karena itu dimungkinkan untuk menerapkan rancangan yang berbeda pada tiap entitas, bergantung pada tipe dan ukuran masing entitas. Tiap entitas memiliki pendekatan masing-masing dalam penerapan akuntansi berbasis akrual.

c. Laporan Pemerintah Secara Keseluruhan

Ketika pemerintah menentukan untuk mengimplementasikan Laporan Pemerintah secara keseluruhan, terdapat beberapa langkah yang dapat ditempuh. Laporan pemerintah yang pertama berbasis akrual bisa saja dibutuhkan pada saat yang sama dengan kebutuhan akan laporan akrual yang pertama sekali dibentuk masing-masing entitas. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan adanya jeda waktu antara penerapan akuntansi akrual di tiap entitas dengan penerapan akuntansi akrual pemerintah secara keseluruhan.

d. Penganggaran berbasis akrual

Jika penganggaran akrual telah dinyatakan sebagai bagian dari reformasi (dalam beberapa kasus, penganggaran akrual tidak diadopsi) perubahan dalam proses penganggaran akan terjadi pada saat yang sama ketika adopsi pelaporan keuangan menggunakan basis akrual. Meksipun demikian, di beberapa aturan, implementasi penganggaran akrual dapat terjadi setelah beberapa waktu implementasi basis akrual untuk pelaporan keuangan.

e. Periode Reformasi

(20)

masing-masing. Reformasi dapat berlangsung dalam waktu pendek (satu sampai tiga tahun), menengah (empat sampai enam tahun), atau panjang (lebih dari enam tahun).

Transisi menuju akuntansi berbasis akrual merupakan proyek utama di kebanyakan pemerintahan dunia. Sebagaimana proyek besar lainnya, transisi ini membutuhkan perencanaan yang hati-hati dan manajemen yang baik. Transisi akan berjalan dengan mulus jika tersedia hal-hal berikut:

a. Mandat yang jelas b. Komitmen politik

c. Komitmen entitas pusat dan pejabat kunci

d. Sumber daya yang andal (manusia dan keuangan); e. Struktur manajemen proyek yang efektif

f. Kapasitas teknologi dan sistem informasi yang memadai g. Penggunaan undang-undang

2.2.8 Penerapan Akuntansi Sektor Publik Berbasis Akrual di Beberapa Negara

Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, transisi menuju akuntansi sektor publik berbasis akrual merupakan salah satu prioritas dalam reformasi keuangan di banyak Negara. Dalam proses penerapan akuntansi sektor publik berbasis akrual terdapat beberapa sikap yang berbeda yang diambil masing-masing Negara. Menurut Widjajarso (2010,5) terdapat tiga sikap yang umumnya diambil, yaitu:

(21)

menerapkan basis akrual baik untuk akuntansi maupun anggarannya. Negara-negara tersebut ingin menerapkan secara total basis akrual, baik dalamakuntansinya maupun dalam penganggarannya, karena sistem yang dikembangkan akan disinkronisasikan antara perlakuan akuntansi sejak dari hulu (penganggarannya).

2. Basis akrual untuk akuntansi dan basis kas untuk anggaran. Amerika Serikat dan Spanyol adalah contoh negara yang menerapkan basis akrual untuk akuntansinya, meskipun belum seluruh state & local governments

menerapkan basis akrual untuk anggarannya. Dalam kelompok ini, masih terdapat variasi penyikapan lain, yakni negara-negara ini telah menerapkan basis akrual hanya untuk kementerian/lembaga,tetapi belum laporan konsolidasian, misalnya Jepang, Portugal dan Swiss. Negara-negara tersebut diatas merasa bahwa masalah akuntansi dapat dilepaskan dengan masalah penganggaran, sehingga dalam anggaran dirasa tidak perlu berbasis akrual.

3. Basis Kas untuk akuntansi dan untuk anggaran. Negara-negara dalam kelompok ini belum menerapkan basis akrual yang ternyata masih cukup banyak, seperti misalnya Jerman, Austria, Ceko, Luxemburg, Meksiko, Norwegia, Slovakia, dan Turki. Negara-negara tersebut masih menerapkan basis kas baik untuk akuntansinya maupun untuk anggarannya, karena mereka berprinsip bahwa operasional kegiatan pemerintahan tertuju pada peningkatan pelayanan, bukan pada operasional sistem, sehingga apa pun pilihannya disesuaikan dengankondisi masing-masing negara. Standar yang dikembangkan oleh lembaga internasional pun, seperti IPSASB memberikan pilihan.

Pada bagian ini, penulis akan memaparkan beberapa pengalaman Negara lain dalam penerapan akuntansi berbasis akrual serta beberapa hal yang dapat diadopsi oleh pemerintah Indonesia dalam proses penerapan basis akrual.

2.2.4.1 Penerapan Akuntansi Akrual Di Selandia Baru

(22)

Keberhasilan reformasi ini membawa perubahan positif, terutama dari segi keuangan yang terbukti dengan terciptanya surplus anggaran (1994-1995) setelah Selandia Baru mengalami defisit selama 20 tahun.

Dalam menerapkan basis akrual Selandia Baru menyiapkan aturan dan menjalankannya dalam beberapa fase. Fase yang dijalani Selandia Baru dalam penerapan akuntansi sektor publik berbasis akrual yaitu:

1. Fase marketisasi (1986-1991). Pada fase ini akuntansi serta penganggaran sektor publik berbasis akrual diperkenalkan. Hasilnya pada tahun 1991, semua departemen di Selandia Baru menggunakan akuntansi , biaya, dan anggaran dengan basis akrual penuh.

2. Fase strategi kolektif (1992-1996). Pada fase ini, Selandia Baru menjadi negara pertama yang berhasil membuat laporan keuangan seluruh instansi pemerintahan dengan basis akrual penuh. Fase ini juga ditandai dengan adanya diskusi terbuka dalam pembuatan kebijakan anggaran sehingga dapat ditentukan anggaran yang paling sesuai dengan kebutuhan tahun tersebut.

3. Fase Fase Kapasitas Adaptif (1997-Sekarang). Pada fase ini dilakukan evaluasi proses reformasi sistem akuntansi pemerintahan Selandia Baru serta dilakukan penguatan kapasitas stratejik.

2.2.4.2 Penerapan Akuntansi Akrual Di Swedia

(23)

penerapan akuntansi berbasis akrual berjalan mulus karena tidak ada perdebatan di pemerintah dan tidak ada penolakan dari kementerian.

Menurut Simanjuntak (2010,3) standar akuntansi berbasis akrual di Swedia memiliki beberapa karakteristik, yaitu:

1. Standar akuntansi berbasis akrual mencakup pemerintah (secara keseluruhan) dan kementerian/lembaga.

2. Standar akuntansi berbasis akrual yang diterapkan dapat dikelompokkan sebagai relatively full accrual accounting. Pengecualian hanya terhadap perlakuan aset bersejarah (heritage asset) dan pajak.

3. Penggunaan nilai historis.

4. Setiap kementerian/lembaga menyiapkan Laporan Operasional, Neraca, Laporan Dana dan Catatan atas Laporan Keuangan.

Penganggaran akrual tidak diterapkan di Swedia meskipun keinginan penerapan akrual telah ada sejak 1960. Setelah dilakukan berbagai studi, Departemen Keuangan Swedia memutuskan untuk membatalkan penerapan penganggaran berbasis akrual dengan alasan penerapan dual system (sistem akuntansi berbasis akrual dan penganggaran berbasis kas) telah sesuai dengan perkembangan internasional.

2.2.4.3 Penerapan Akuntansi Akrual Di Australia

Seperti halnya Selandia Baru, Australia juga telah lama menerapkan akuntansi akrual untuk lingkungan pemerintahan. Hanya saja reformasi akuntansi akrual di Australia lebih sederhana daripada Selandia Baru. Penerapan akuntansi akrual telah dimulai sejak 1995 dimana akuntansi akrual telah diimplementasikan di tingkat kementerian/lembaga. Dilanjutkan di tahun 1997 dalam penerapan laporan konsolidasian akrual.

(24)

1. Periode 1989-1992. Periode ini ditandai dengan penerapan akuntansi modifikasi kas.

2. Periode 1992-1994. Periode adalah periode dimana pemerintah menerapkan akuntansi akrual penuh. Pada periode ini menteri keuangan Australia mengumumkan agar setiap kementerian melaporkan dengan basis akrual paling lambat 30 Juni 1995. Pada periode ini juga dikeluarkan peraturan mengenai pedoman baru untuk laporan berbasis akrual yang diterapkan secara progresif mulai 1993.

3. Periode 1995 – setelahnya. Pada periode ini proses peralihan menuju akuntansi berbasis akrual penuh telah berlangsung stabil dan terukur. Implementasi akuntansi akrual penuh ditetapkan untuk tahun berakhir 30 Juni 1995.

Keberhasilan ketiga Negara di atas dalam menerapkan akuntansi berbasis akrual dalam lingkungan pemerintah tak lepas dari komintmen politik yang tinggi, SDM yang mumpuni, serta teknologi informasi yang memadai. Ketiga persyaratan ini merupakan hal utama yang menjadi pendukung kesuksesan reformasi akuntansi akrual. Hal ini dapat diadopsi pemerintah Indonesia dalam reformasi akuntansi akrual secara penuh hingga akhir 2015 nanti.

2.3 Pengakuan, Pengukuran,dan Pengungkapan Pendapatan Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan dan Standar Akuntansi Internasional.

(25)

IPSASB yang merupakan lembaga yang bertanggung jawab mengeluarkan

International Publik Sektor Accounting Standards (IPSAS) yang merupakan standar internasional untuk akuntansi sektor publik.

2.3.1 Pengakuan, Pengukuran, dan Pengungkapan Pendapatan Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan

Dalam PP 71 tahun 2010 Lampiran I.01 Kerangka Konseptual paragraf 84-86, definisi pengakuan dan penjelasan tentang manfaat ekonomi adalah sebagai berikut

(84) Pengakuan dalam akuntansi adalah proses penetapan terpenuhinya kriteria pencatatan suatu kejadian atau peristiwa dalam catatan akuntansi sehingga akan menjadi bagian yang melengkapi unsur aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan-LRA, belanja, pembiayaan, pendapatan-LO, dan beban, sebagaimana akan termuat pada laporan keuangan entitas pelaporan yang bersangkutan. Pengakuan diwujudkan dalam pencatatan jumlah uang terhadap pos-pos laporan keuangan yang terpengaruh oleh kejadian atau peristiwa terkait.

(85) Kriteria minimum yang perlu dipenuhi oleh suatu kejadian atau peristiwa untuk diakui yaitu :

1. Terdapat kemungkinan bahwa manfaat ekonomi yang berkaitan dengan kejadian atau peristiwa tersebut akan mengalir keluar dari atau masuk ke dalam entitas pelaporan yang bersangkutan;

2. Kejadian atau peristiwa tersebut mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur atau dapat diestimasi dengan andal.

(86) Dalam menentukan apakah suatu kejadian/peristiwa memenuhi kriteria pengakuan, perlu dipertimbangkan aspek materialitas.

(87) Dalam kriteria pengakuan pendapatan, konsep kemungkinan besar manfaat ekonomi masa depan terjadi digunakan dalam pengertian derajat kepastian tinggi bahwa manfaat ekonomi masa depan yang berkaitan dengan pos atau kejadian/peristiwa tersebut akan mengalir dari atau ke entitas pelaporan. Konsep ini diperlukan dalam menghadapi ketidakpastian lingkungan operasional pemerintah. Pengkajian derajat kepastian yang melekat dalam arus manfaat ekonomi masa depan dilakukan atas dasar bukti yang dapat diperoleh pada saat penyusunan laporan keuangan.

(26)

(98) Pengukuran adalah proses penetapan nilai uang untuk mengakui dan memasukkan setiap pos dalam laporan keuangan. Pengukuran pos-pos dalam laporan keuangan menggunakan nilai perolehan historis.

(99) Pengukuran pos-pos laporan keuangan menggunakan mata uang rupiah. Transaksi yang menggunakan mata uang asing dikonversi terlebih dahulu dan dinyatakan dalam mata uang rupiah.

Kriteria pengakuan umumnya didasarkan pada nilai uang akibat peristiwa atau kejadian yang dapat diandalkan pengukurannya. Namun terkadang pengakuan didasarkan pada hasil estimasi yang layak. Apabila pengukuran berdasarkan biaya dan estimasi yang layak tidak mungkin dilakukan, maka pengakuan transaksi demikian cukup diungkapkan pada Catatan atas Laporan Keuangan. Penundaan pengakuan suatu pos atau peristiwa dapat terjadi apabila kriteria pengakuan baru terpenuhi setelah terjadi atau tidak terjadi peristiwa atau keadaan lain di masa mendatang

2.3.1.1 Basis Akuntansi Pendapatan

(27)

2.3.1.2 Definisi Pendapatan

Berdasarkan PP 71 tahun 2010, definisi pendapatan LRA adalah sebagai berikut:

Pendapatan-LRA adalah penerimaan oleh Bendahara Umum Negara/Bendahara Umum Daerah atau oleh entitas pemerintah lainnya yang menambah Saldo Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah, dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah (Lampiran I.01 Kerangka konseptual akuntansi pemerintahan paragraf 62). Pendapatan-LRA juga dapat didefinisikan sebagai semua penerimaan Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang menambah Saldo Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah, dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah (Lampiran I.02 PSAP 01 Penyajian Laporan Keuangan paragraf 8)

Sedangkan definis pendapatan LO adalah sebagaimana berikut:

Pendapatan-LO adalah hak pemerintah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih (Lampiran I.01 Kerangka konseptual akuntansi pemerintahan paragraf 79). Pendapatan-LO juga dapat didefinisikan sebagai hak pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai penambah ekuitas dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan dan tidak perlu dibayar kembali (Lampiran I.02 PSAP 01 Penyajian Laporan Keuangan paragraf 8).

2.3.1.3 Pengakuan pendapatan 1. Pendapatan LRA

(28)

2. Pendapatan LO

Untuk pendapatan LO, PP 71 tahun 2010 menyatakan dalam Lampiran I.13 PSAP 12 Laporan Operasional paragraf 19 bahwa Pendapatan-LO diakui pada saat:

a) Timbulnya hak atas pendapatan;

b) Pendapatan direalisasi, yaitu adanya aliran masuk sumber daya ekonomi. Hal ini berarti bahwa pendapatan diakui pada saat hak untuk memperoleh pendapatan telah terpenuhi walaupun kas belum diterima di Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau oleh entitas pelaporan.

Penjelasan berikutnya tentang saat pengakuan pendapatan LO dapat dilihat pada paragraf 20-22 Lampiran I.13 PSAP 12 sebagaimana berikut

(20)Pendapatan-LO yang diperoleh berdasarkan peraturan perundang undangan diakui pada saat timbulnya hak untuk menagih pendapatan.

(21) Pendapatan-LO yang diperoleh sebagai imbalan atas suatu pelayanan yang telah selesai diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan, diakui pada saat timbulnya hak untuk menagih imbalan.

(22) Pendapatan-LO yang diakui pada saat direalisasi adalah hak yang telah diterima oleh pemerintah tanpa terlebih dahulu adanya penagihan

2.3.1.4 Pengukuran Pendapatan

(29)

2.3.1.5 Pengungkapan Pendapatan 1. Pendapatan LRA

Aturan dalam pengungkapan pendapatan LRA berdasarkan Lampiran I.03 PSAP 02 PP 71 tahun 2010 paragraf 22-29 adalah sebagai berikut:

(22) Pendapatan-LRA diklasifikasikan menurut jenis pendapatan

(24 )Akuntansi pendapatan-LRA dilaksanakan berdasarkan azas bruto, yaitu dengan membukukan penerimaan bruto, dan tidak mencatat jumlah netonya (setelah dikompensasikan dengan pengeluaran)

(25) Dalam hal besaran pengurang terhadap pendapatan-LRA bruto (biaya) bersifat variabel terhadap pendapatan dimaksud dan tidak dapat dianggarkan terlebih dahulu dikarenakan proses belum selesai, maka asas bruto dapat dikecualikan

(27) Pengembalian yang sifatnya sistemik (normal) dan berulang (recurring) atas penerimaan pendapatan-LRA pada periode penerimaan maupun pada periode sebelumnya dibukukan sebagai pengurang pendapatan-LRA

(28) Koreksi dan pengembalian yang sifatnya tidak berulang (non recurring) atas penerimaan pendapatan-LRA yang terjadi pada periode penerimaan pendapatan-LRA dibukukan sebagai pengurang pendapatan- LRA pada periode yang sama

(29) Koreksi dan pengembalian yang sifatnya tidak berulang (non recurring) atas penerimaan pendapatan-LRA yang terjadi pada periode sebelumnya dibukukan sebagai pengurang Saldo Anggaran Lebih pada periode ditemukannya koreksi dan pengembalian tersebut

2. Pendapatan LO

Aturan dalam pengungkapan pendapatan LO berdasarkan Lampiran I.13 PSAP 12 PP 71 tahun 2010 paragraf 23-31 adalah sebagai berikut:

(23) Pendapatan-LO diklasifikasikan menurut sumber pendapatan

(26) Akuntansi pendapatan-LO dilaksanakan berdasarkan azas bruto, yaitu dengan membukukan pendapatan bruto, dan tidak mencatat jumlah netonya (setelah dikompensasikan dengan pengeluaran)

(30)

(29)Pengembalian yang sifatnya normal dan berulang (recurring) atas pendapatan-LO pada periode penerimaan maupun pada periode sebelumnya dibukukan sebagai pengurang pendapatan

(30) Koreksi dan pengembalian yang sifatnya tidak berulang (non recurring) atas pendapatan-LO yang terjadi pada periode penerimaan pendapatan dibukukan sebagai pengurang pendapatan pada periode yang sama

(31) Koreksi dan pengembalian yang sifatnya tidak berulang (non recurring) atas pendapatan-LO yang terjadi pada periode sebelumnya dibukukan sebagai pengurang ekuitas pada periode ditemukannya koreksi dan pengembalian tersebut.

2.3.2 Pengakuan, Pengukuran, dan Pengungkapan Pendapatan Menurut Standar Akuntansi Sektor Publik Internasional (IPSAS) No. 23

Pada standar IPSAS, terdapat dua jenis pendapatan, yaitu pendapatan dari transaksi pertukaran (Revenue from exchange transaction) yang diatur dalam IPSAS No.9, dan pendapatan dari transasksi non pertukaran (revenue from non exchange transaction) yang diatur dalam IPSAS No. 23. Contoh dari pendapatan transaksi pertukaran adalah pendapatan dari penjualan asset Negara atau dari pemberian jasa. Sedangkan contoh dari pendapatan dari transaksi non pertukaran adalah pajak dan transfer. Karena pendapatan perpajakan masuk dalam kategori pendapatan non pertukaran, maka dalam skripsi ini standar internasional yang akan dibahas adalah standar dalam IPSAS No.23,khususnya tentang pendapatan perpajakan.

2.3.2.1 Basis akuntansi dan Ruang Lingkup

(31)

adalah pendapatan non pertukaran, seperti pajak dan transfer, termasuk hibah, penghapusan utang, pemberian, dan hadiah.

2.3.2.2 Definisi Pendapatan Berdasarkan IPSAS No.23:

1. Revenue comprises gross inflows of economic benefits or service potential received and receivable by the reporting entity, which represents an increase in net assets/equity, other than increases relating to contributions from owners (paragraf 12).

2. Non-exchange transactions are transactions that are not exchange transactions. In a non-exchange transaction, an entity either receives value from another entity without directly giving approximately equal value in exchange, or gives value to other entity without directly receiving approximately equal value in exchange (paragraf 7).

3. Taxes are economic benefits or service potential compulsorily paid or payable to public sector entities, in accordance with laws and or regulations, established to provide revenue to the government. Taxes do not include fines or other penalties imposed for breaches of the law (paragraf 7).

4. Transfers are inflows of future economic benefits or service potential from non-exchange transactions, other than taxes. (paragraf 7).

2.3.2.3 Pengakuan Pendapatan

Kriteria pengakuan pendapatan diatur dalam IPSAS No 23 paragraf 31 yaitu

An inflow of resources from a non-exchange transaction, other than services in-kind, that meets the definition of an asset shall be recognized as an asset when, and only when:

(a) It is probable that the future economic benefits or service potential associated with the asset will flow to the entity; and

(b) The fair value of the asset can be measured reliably.

(32)

2.3.2.4 Pengukuran Pendapatan

Pengukuran pendapatan diatur dalam IPSAS No 23 paragraf 48, yaitu “Revenue from non-exchange transactions shall be measured at the amount of the increase in net assets recognized by the entity”. Pendapatan transaksi non pertukaran harus diukur pada jumlah kenaikan aktiva bersih yang diakui oleh entitas. Ketika, sebagai hasil dari transaksi non-pertukaran, suatu entitas mengakui aset, maka juga harus mengakui pendapatan yang ekivalen dengan jumlah aset yang diukur,kecuali entitas tersebut juga harus mengakui adanya kewajiban.

2.3.2.5 Pengungkapan Pendapatan

Berdasarkan IPSAS No 23 paragraf 106 dinyatakan informasi yang harus diungkapkan oleh entitas baik di muka, atau dalam catatan atas laporan keuangan:

An entity shall disclose either on the face of, or in the notes to, the general purpose financial statements:

(a) The amount of revenue from non-exchange transactions recognized during the period by major classes showing separately:

(i) Taxes, showing separately major classes of taxes; and

(ii) Transfers, showing separately major classes of transfer revenue.

(b) The amount of receivables recognized in respect of non-exchange revenue; (c) The amount of liabilities recognized in respect of transferred assets subject to conditions;

(d) The amount of assets recognized that are subject to restrictions and the nature of those restrictions;

(e) The existence and amounts of any advance receipts in respect of non-exchange transactions; and

(f) The amount of any liabilities forgiven.

Selain itu, Berdasarkan IPSAS No 23 paragraf 107 Entitas harus mengungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan:

(a) The accounting policies adopted for the recognition of revenue from non-exchange transactions;

(33)

(c) For major classes of taxation revenue which the entity cannot measure reliably during the period in which the taxable event occurs, information about the nature of the tax; and

(d) The nature and type of major classes of bequests, gifts, donations showing separately major classes of goods in-kind received.

Jadi dalam IPSAS No 23, jumlah pendapatan harus diungkapkan sesuai dengan klasifikasi pendapatan. Selain itu kebijakan akuntansi pendapatan juga harus diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan entitas.

2.4 Standar Akuntansi Pendapatan Perpajakan 2.4.1 Pengertian Pajak

Pengertian pajak berdasarkan definisi resmi dalam UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 tahun 2009 adalah “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa:

a. Pajak merupakan kontribusi wajib, berarti harus dipenuhi dan tidak mengecualikan.

b. Bersifat memaksa, berarti jika pajak tidak dipenuhi dapat ditagih secara paksa.

(34)

d. Tidak mendapat imbalan secara langsung, artinya pembayar pajak tidak akan mendapat imbalan secara langsung atas pajak yang dibayarkan, berbeda halnya dengan retribusi atau pungutan lain.

2.4.2 Sistem dan Cara Pemungutan Pajak

Dalam sistem pemungutan pajak, terdapat tiga sistem pemungutan yaitu: a. Official Assesment, yaitu sistem dimana besarnya pajak terutang atau yang

harus dibayar dihitung oleh kantor pajak (fiskus). Contoh pelaksanaan : pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

b. Self Assesment, yaitu sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada masyarakat wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, contoh : Pada PPh pasal 25/29.

c. Witholding tax system, artinya pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain/pihak ketiga, contoh : PPh 21, PPh 23.

Pada dasarnya sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah sistem self assessment. Prinsip self assessment ini diatur dalam UU KUP pasal 12 yaitu :

1. Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.

2. Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

3. Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.

(35)

dan membuktikan hal lain. Surat ketetapan pajak akan terbit bila fiskus dapat membuktikan bahwa perhitungan wajib pajak tidak benar.

Namun dalam prakteknya, sistem pemungutan pajak di Indonesia tidak menerapkan self assessment secara murni. Hal ini disebabkan dalam Undang Undang No 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atau UU PPh di Indonesia mengenal adanya pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain/pihak ketiga yang disebut juga withholding tax.

Sistem self assessment membutuhkan kesadaran dan pengetahuan wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan. Untuk itu, demi menjamin keberlangsungan penerimaan Negara serta kebenaran jumlah pemotongan dan pemungutan pajak karena lebih dekat dengan sumber pendapatan, diterapkanlah sistem withholding tax.

Sistem withholding tax diatur dalam UU PPh pasal 20 yaitu:

1. Pajak yang diperkirakan akan terhutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.

2. Pelunasan pajak melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri tersebut, merupakan angsuran pajak yang akan dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang untuk seluruh tahun pajak yang bersangkutan.

Dalam hukum pajak dikenal tiga macam cara pemungutan pajak, yaitu: a. Stelsel Nyata

(36)

akan dapat diketahui pada akhir tahun.”. Kelebihan dari stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dipungut pada akhir periode (setelah obyeknya diketahui).

b. Stelsel Fiktif (fictive stelsel)

Menurut Brotodihardjo (2003,126) stelsel fiktif “bekerja dengan suatu anggapan. Anggapan ini bermacam-macam jalan pikirannya, tergantung dari bunyi kata undang-undang yang bersangkutan.” Misalnya dalam kaitannya dengan Pajak Penghasilan, anggapan yang digunakan adalah penghasilan si wajib pajak sama besarnya dengan penghasilan sesungguhnya tahun yang lalu dan tidak dipengaruhi penghasilan yang benar-benar diperoleh di tahun berjalan. Demikian seterusnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan dari stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun pajak. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.

c. Stelsel Campuran

(37)

pajak setelah tahun pajak berakhir sehingga mengakibatkan beban pekerjaan fiskus bertambah drastis dan akibatnya seringkali tidak terselesaikan.

Terkait stelsel campuran, pengakuan pendapatan perpajakan akrual untuk jenis pajak yang dipungut dengan stelsel campuran, seperti PPh 25/29 akan memerlukan estimasi pendapatan sebagaimana pedoman IPSAS No.23. Hal ini disebabkan nilai dari pendapatan perpajakan yang dibayarkan wajib pajak pada tahun berjalan masih berupa anggapan dengan asumsi penghasilan tahun berjalan sama dengan penghasilan tahun lalu. Oleh karena itu jika ingin mengikuti pedoman dalam IPSAS No.23, maka dibutuhkan estimasi yang cermat untuk menghitung besaran pendapatan perpajakan secara akrual. Hal ini akan dijelaskan lebih rinci dalam Bab IV.

2.4.3 Jenis Penerimaan Pajak

Pajak dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Sesuai dengan batasan yang ditetapkan dalam skripsi ini, yang akan dibahas adalah PPh, PPN, dan PPnBM saja.

2.4.3.1 Pajak Penghasilan (PPh) a. Pengertian

(38)

b. Klasifikasi Pajak Penghasilan

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, definisi penghasilan sangatlah luas. Oleh karena itu, pembagian klasifikasi pajak penghasilan didasarkan pada jenis-jenis penghasilan,dan dinamakan sesuai nomor pasal yang mengaturnya dalam UU PPh. Secara ringkas jenis peneriman PPh yang terdapat di KPP Pratama Medan Kota dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.3 Jenis Pajak Penghasilan

No Pasal Objek Pajak Sistem

Pemungutan 1 Pasal 21 Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang diterima oleh Orang Pribadi Withholding

2 Pasal 22

Pembayaran atas penyerahan barang kepada pemungut PPh 22 (mis : Bendahara pemerintah atas pembelian dari dana APBN/D) , Impor, Penyerahan kepada kegiatan usaha di bidang tertentu (industri kertas, semen, baja, dan otomotif)

Withholding

3 Pasal 23

Dividen, bunga, royalti, sewa, dan imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa

manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh 21.

Withholding

4 Pasal 25

Merupakan angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan‐bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan

Self Assesment

5 Pasal 26

Penghasilan yang berasal dari Indonesia yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri selain bentuk Usaha Tetap

Withholding

6 Pasal 29

Merupakan jumlah pajak yang harus dibayar untuk suatu tahun Pajak bila pajak yang

seharusnya terutang lebih besar daripada kredit pajak sesuai dengan aturan.

Self Assesment

7 Pasal 4 ayat 2

Dikenakan pada penghasilan yang bersifat final, seperti bunga deposito, bunga tabungan,

penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah/bangunan, dan penghasilan lainnya yang diatur berdasarkan peraturan pemerintah

Withholding

(39)

2.4.3.2 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) a. Pengertian

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pembelian Barang Kena Pajak dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak baik di dalam wilayah Indonesia maupun dari luar daerah Pabean. Pada dasarnya semua barang atau jasa merupakan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP), sehingga dikenakan PPN, kecuali jenis barang yang diatur dalam Undang Undang PPN. Misalnya barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya dan uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

b. Objek PPN

Berdasarkan Undang-undang No 8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah atau UU PPN dan PPnBM, PPN dikenakan atas:

a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;

b. impor Barang Kena Pajak;

c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan

(40)

c. Yang Bukan Termasuk Objek PPN

Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali ditentukan sebaliknya oleh Undang-undang No 8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai atau UU PPN. Dengan demikian, UU PPN ini menggunakan metode negative list untuk menentukan apakah suatu barang digolongkan sebagai BKP atau Non BKP. Jenis barang non BKP sesuai dengan UU PPN adalah:

a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;

b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,

warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan

d. uang, emas batangan, dan surat berharga.

Sedangkan Jasa Non JKP adalah:

a. jasa pelayanan kesehatan medis; b. jasa pelayanan sosial;

c. jasa pengiriman surat dengan perangko; d. jasa keuangan;

e. jasa asuransi; f. jasa keagamaan; g. jasa pendidikan;

h. jasa kesenian dan hiburan;

i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;

j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;

k jasa tenaga kerja; l. jasa perhotelan;

m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;

n. jasa penyediaan tempat parkir;

o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan

(41)

2.4.3.3 Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Terhadap barang-barang tertentu akan dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Berdasarkan UU PPN pengenaan PPnBM dilakukan terhadap:

a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan

b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya sekali, yaitu pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Barang mewah yang dimaksud dalam UU PPN ini adalah yang memenuhi kriteria:

1) Bukan merupakan barang kebutuhan pokok; 2) Dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;

3) Umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau 4) Dikonsumsi untuk menunjukkan status.

2.4.4. Penetapan Jumlah Pajak Terutang dan Piutang Pajak

(42)

membuktikan terdapat kesalahan penghitungan yang telah dilakukan wajib pajak. Untuk menetapkan pajak yang terutang, DJP akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak.

Adapun jenis surat ketetapan pajak adalah:

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), yaitu surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), yaitu surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. SKPKBT diterbitkan apabila ditemukan data baru (novum) yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT

c. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), yaitu surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), yaitu surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.

e. Surat Tagihan Pajak (STP) yaitu surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.

(43)

pajak pada laporan keuangan Wajib Pajak. Selanjutnya, DJP akan melakukan tindakan penagihan terhadap piutang pajak tersebut bila dalam tempo yang telah ditentukan Wajib Pajak belum melakukan pembayaran.

Terhadap kelima macam ketetapan pajak diatas, wajib pajak juga dapat melakukan upaya hukum bila merasa penetapan pajak yang dilakukan DJP tidak benar. Upaya hukum tersebut adalah permohonan pembetulan, pengurangan, atau pembatalan sanksi, keberatan, banding, dan peninjauan kembali.

2.4.5 Pengakuan Pendapatan Pajak

Pendapatan pajak dapat diakui berdasarkan basis kas menuju akrual dan basis akrual.

a. Basis kas menuju akrual

Pengakuan pendapatan pajak dengan basis kas menuju akrual adalah sesuai dengan PP 71 tahun 2010 tentang pendapatan LRA, yaitu pada saat pembayaran pajak diterima pada Rekening Kas Umum Negara.

b. Basis akrual

Pengakuan pendapatan pajak dengan basis akrual adalah sesuai dengan PP 71 tahun 2010 tentang pendapatan LO, yaitu ketika saat timbulnya hak atas pendapatan tersebut atau ada aliran masuk sumber daya ekonomi berupa masuknya kas ke rekening kas umum Negara.

2.4.6 Pencatatan Pendapatan Pajak

(44)

pembukuan hanya menggunakan sistem pencatatan single entry, sedangkan akuntansi dapat menggunakan sistem pencatatan single entry, double entry, dan

tryple entry. Menurut Halim (2007:43) dalam tulisan Oman Rusmana (2012,7) ketiga macam sistem pencatatan ini dapat diterapkan dalam akuntansi keuangan daerah. Menurut penulis ketiga sistem pencatatan ini juga dapat diterapkan dalam akuntansi keuangan pemerintah pusat. Berikut ini adalah penjelasan tentang ketiga sistem pencatatan tersebut:

a. Single Entry

Halim (2008;43) menyatakan

Sistem pencatatan single entry sering disebut juga dengan tata buku tunggal atau tata buku. Dalam sistem ini, pencatatan transaksi ekonomi dilakukan dengan mencatatnya satu kali. Transaksi yang berakibat bertambahnya kas akan dicatat pada sisi Penerimaan dan transaksi yang berakibat berkurangnya kas akan dicatat pada sisi Pengeluaran.”

b. Double Entry

Halim (2008;45) menyatakan

Sistem pencatatan double entry sering disebut dengan sistem tata buku berpasangan. Menurut sistem ini pada dasarnya suatu transaksi ekonomi akan dicatat dua kali. Pencatatan dengan sistem ini disebut dengan istilah menjurnal. Dalam pencatatan tersebut sisi Debit berada di sebelah kiri dan Kredit di sebelah kanan. Setiap pencatatan harus menjaga keseimbangan persamaan dasar akuntansi.

c. Triple Entry

Halim (2008;47) menyatakan

Sistem pencatatan triple entry adalah pelaksanaan pencatatan dengan menggunakan sistem pencatatan double entry ditambah dengan pencatatan pada buku anggaran. Jadi, sementara sistem pencatatan double entry

(45)

Berdasarkan PP 71 tahun 2010 pencatatan pendapatan pajak dapat dilakukan dengan menggunakan basis kas menuju akrual dan basis akrual. Untuk pencatatan dengan basis kas menuju akrual, maka jurnal standar pada Kantor Pelayanan Pajak adalah sebagai berikut:

a. Jurnal Penganggaran Target Penerimaan Pajak

Keterangan Dr Cr

Estimasi Pendapatan Pajak yang

Dialokasikan + Uraian xxx

Utang kepada Kas Umum

Negara (KUN) xxx

b. Jurnal Realisasi Pendapatan:

Keterangan Dr Cr

Utang Pada KUN xxx

Pendapatan Pajak + Uraian xxx

c. Jurnal Pengembalian Pendapatan

Keterangan Dr Cr

Pengembalian Pendapatan Pajak +

Uraian xxx

Utang Pada KUN xxx

d. Jurnal Penutup

Pada jurnal penutup selisih antara target penerimaan dengan realisasi penerimaan pajak dicatat pada akun surplus/defisit

Keterangan Dr Cr

Pendapatan Pajak + Uraian xxx

Surplus/Defisit xxx

Estimasi Pendapatan Pajak

(46)

Hingga skripsi ini ditulis, penulis belum menemukan peraturan atau buletin teknis yang menjelaskan jurnal standar pencatatan pendapatan pajak dalam basis akrual. Oleh karena itu, pembahasan mengenai pencatatan pendapatan pajak dengan basis akrual akan dibahas di Bab IV.

2.4.7 Pelaporan Pendapatan Pajak a. Basis kas menuju akrual

Pendapatan pajak dalam basis kas menuju akrual akan disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran dan diklasifikasikan sesuai dengan jenisnya.

b. Basis akrual

Pelaporan pendapatan pajak yang diakui dan dicatat dalam basis akrual akan disajikan dalam Laporan Operasional sebagai pendapatan LO. Selain itu pendapatan pajak yang diakui dan dicatat dalam basis kas untuk keperluan anggaran akan dicatat dalam Laporan Realisasi Anggaran.

2.4.8 Pengungkapan Informasi Akrual Berdasarkan Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. 62 Tahun 2009

(47)

penambah ekuitas dana dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan dan tidak perlu dibayar kembali”. Untuk penyesuaian pendapatan dilakukan dengan konsep pendapatan yang masih harus diterima dan pendapatan yang diterima dimuka.

2.4.8.1 Pendapatan yang masih harus diterima

Menurut Perdirjen PB No 62 tahun 2009 pendapatan yang masih harus diterima adalah “pendapatan yang sampai dengan tanggal pelaporan belum diterima oleh satuan kerja/pemerintah karena adanya tunggakan pungutan pendapatan dan transaksi lainnya yang menimbulkan hak tagih satuan kerja/pemerintah dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintahan”. Pendapatan yang masih harus diterima disajikan sebagai penambah pada informasi pendapatan secara akrual dan sebagai piutang pada neraca

Dalam penyajian informasi pendapatan secara akrual, realisasi pendapatan secara kas tahun berjalan harus disesuaikan yaitu dengan cara:

1) menambahkan pendapatan yang masih harus diterima pada tahun anggaran berjalan (piutang pada tahun berjalan); dan/atau

2) menambahkan pendapatan yang telah diterima oleh bendahara penerimaan K/L, namun belum disetorkan ke Rekening Kas Umum Negara (pendapatan ditangguhkan); dan/atau

(48)

Pendapatan perpajakan yang masih harus diterima merupakan pendapatan pajak yang seharusnya sudah diterima oleh Pemerintah, namun belum dilunasi oleh wajib pajak. Berdasarkan Perdirjen PB No 62 tahun 2009 , jenis transaksi pajak yang masih harus diterima adalah sebagai berikut:

1) PPh yang Masih Harus Diterima, berupa:

a) SKPKB/SKPKBT PPh yang diterbitkan di tahun berjalan, namun belum dibayar oleh WP sampai dengan berakhirnya tahun pajak;

b) STP PPh untuk menagih sanksi administrasi untuk tahun pajak berjalan yang belum dibayar oleh WP sampai dengan berakhirnya tahun pajak;

c) STP Bunga Penagihan terkait Piutang PPh diterbitkan di tahun berjalan yang belum dibayar oleh WP sampai dengan berakhirnya tahun pajak.

2) PPN yang Masih Harus Diterima, berupa:

a) SKPKB/SKPKBT PPN dan PPnBM yang diterbitkan di tahun berjalan, namun belum dibayar oleh WP sampai dengan berakhirnya tahun pajak.

b) STP PPN dan PPnBM untuk menagih sanksi administrasi untuk tahun pajak berjalan yang belum diterbitkan STP-nya atau telah diterbitkan STP-nya namun belum dibayar oleh WP sampai dengan berakhirnya tahun pajak.

c) STP Bunga Penagihan terkait Piutang PPN dan PPnBM yang diterbitkan di tahun pajak berjalan namun belum dibayar oleh WP sampai dengan berakhirnya tahun pajak.

Berikut ini disajikan contoh penghitungan pendapatan perpajakan secara akrual berdasarkan Perdirjen PB No 62 tahun 2009:

Berikut adalah data-data perpajakan selama tahun anggaran 20X1 pada KPP Madya:

a) Total realisasi penerimaan PPh Ps. 21 (MA 411121) secara kas tahun anggaran 20X1 sebesar Rp255.000.000.000. Jumlah tersebut termasuk realisasi penerimaan PPh Ps. 21 yang terutang pada tahun 20X0 sebesar Rp3.000.000.000.

b) Jumlah piutang pajak berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atas PPh Ps. 21 selama tahun 20X1 yang belum dilunasi sampai dengan 31 Desember 20X1 adalah sebesar Rp5.000.000.000.

Berdasarkan data tersebut, pendapatan secara akrual yang disajikan KPP Madya adalah sebagai berikut:

(49)

Dalam penyajian informasi pendapatan perpajakan secara akrual, pendapatan perpajakan yang masih harus diterima tahun 20X1 sebesar Rp5.000.000.000 akan menambah pendapatan perpajakan tahun 20X1 dan pajak terutang tahun 20X0 yang diterima tahun 20X1 sebesar Rp3.000.000.000 akan mengurangi pendapatan perpajakan tahun 20X1.

BA : 015 Departemen Keuangan Eselon I/UAPPA-E1 : 04 Ditjen Pajak UAPPA-W : xxxx

Satuan Kerja/UAKPA : xxxxxx KPP Madya

b) Penyajian di Neraca

Pendapatan perpajakan yang masih harus diterima sebesar Rp5.000.000.000 merupakan Piutang Pajak yang harus disajikan di Neraca, sehingga KPP Madya perlu membuat jurnal penyesuaian pada tanggal 31 Desember 20X1 sebagai berikut:

Debet : 113121 Piutang PPh Pasal 21 Rp5.000.000.000

Kredit : 311311 Cadangan Piutang Rp5.000.000.000 Piutang Pajak (PPh Pasal 21) disajikan sebagai aset lancar pada Neraca, sedangkan Cadangan Piutang akan disajikan sebagai ekuitas dana lancar pada neraca. Pendapatan Diterima Dimuka

2.4.8.2 Pendapatan diterima di muka

Menurut Perdirjen PB No 62 tahun 2009, pendapatan diterima di muka adalah

pendapatan yang diterima oleh satuan kerja/pemerintah dan sudah disetor ke Rekening Kas Umum Negara, namun wajib setor belum menikmati barang/jasa/fasilitas dari satuan kerja/pemerintah, atau pendapatan pajak/bukan pajak yang telah disetor oleh wajib pajak/bayar ke Rekening Kas Umum Negara yang berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau penelitian oleh pihak yang berwenang terdapat lebih bayar pajak/bukan pajak.

Pendapatan diterima di muka disajikan sebagai kewajiban jangka pendek. Dalam penyajian informasi pendapatan secara akrual, realisasi pendapatan secara kas tahun berjalan harus disesuaikan yaitu dengan cara:

No. Pendapatan / Belanja Realisasi Menurut Basis Kas

Penyesuaian Akrual

Informasi Akrual Dokumen Sumber

Kode Akun Uraian Tambah Kurang

1. 411121 PPh Pasal

21

(50)

1) mengurangkan pendapatan diterima di muka pada tahun berjalan; dan/atau

2) menambahkan pendapatan diterima di muka pada tahun lalu yang barang/jasa/ pelayanannya dilaksanakan pada tahun berjalan

Untuk pendapatan perpajakan, maka berdasarkan Perdirjen PB No 62 tahun 2009 dinyatakan

Pendapatan pajak diterima di muka adalah pajak yang telah disetor ke Rekening Kas Umum Negara dari Wajib Pajak dan setelah dilaksanakan pemeriksaan dan atau penelitian, pajak yang dibayar lebih besar dari pada pajak yang terutang. Transaksi ini disebut juga utang restitusi pajak. Dokumen sumber yang digunakan untuk mencatat pajak diterima di muka adalah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) yang sampai dengan akhir tahun yakni tanggal pelaporan belum dilakukan pengembalian restitusi/kompensasi oleh pemerintah kepada wajib pajak.

Pendapatan pajak diterima di muka untuk PPh dan PPN/PPnBM adalah karena WP menyetor lebih dari kewajiban karena kekeliruan penerapan ketentuan perpajakan atau salah pembayaran pajak. Dasar penetapan keputusan restitusi atau kompensasi adalah permohonan WP dan data utang pajak.

2.5 Tinjauan Peneliti Terdahulu

Berikut ini adalah penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian:

Tabel 2.4 Daftar Penelitian Terdahulu No

Nama Peneliti dan Tahun

Penelitian

Judul Penelitian Keterangan

1 Validita Kurniawan (2012)

Analisis Akuntansi Pendapatan Pajak Penghasilan Pasal 25 Dalam Rangka Implementasi Basis Akrual Studi Kasus: Kantor Pelayanan Pajak Pratama

Semarang Tengah Dua

(51)

Akuntansi Negara (STAN)

2 Oman Rusmana

dan Esti Saraswati

Conversion Of Local Government Financial Report (LKPD) Cash Toward Accrual Basis To Become Acrual Basis (Case Study in Local Government of Cirebon City)

Bab 13 Konversi LK Basis CTA ke Basis Akrual dan Bab 14 Studi

Kasus-Pemerintah Daerah Kota Cirebon

Tulisan merupakan bagian dari buku yang belum dipublikasikan (diperoleh via email)

4 Danang Prasetya (2010) 2.6 Kerangka Konseptual

Berdasarkan latar belakang dan landasan teori yang dijelaskan di atas, maka penulis membuat kerangka konseptual sebagai berikut:

Gambar 2.1

Sumber : Penulis KPP Pratama Medan Kota

Pendapatan Perpajakan Pada Laporan Keuangan KPP Tahun 2011 (Basis Kas Menuju Akrual)

Teori Pengakuan,Pengukuran, Pencatatan,dan Pelaporan Pendapatan Perpajakan Dengan

Basis Akrual

Proyeksi Akuntansi Pendapatan Perpajakan Dengan Basis Akrual

Gambar

Tabel 2.2 Basis Akuntansi di Berbagai Negara
Tabel 2.4 Daftar Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1 KPP Pratama Medan Kota

Referensi

Dokumen terkait

Dalam paradigma positivisme defenisi hukum harus melarang seluruh aturan yang mirip hukum, tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat, kepastian hukum

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor : 02 Tahun 2009 tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang

menu, yaitu menu pelanggan, barang, salesmen, dan ubah password. 2) Menu transaksi, memiliki 4 menu transaksi utama dalam aplikasi penjualan berbasis konsinyasi

Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Astrini (2013) yang menyatakan bahwa laju pertumbuhan PDRB tidak berpengaruh signifikan terhadap

• Kemajuan pelaksanaan strategi perlu dievaluasi, untuk memastikan apakah perencanaan sesuai dengan rencana, dan apakah pelaksanaan tersebut dapat mencapai tujuan

Suatu aktifitas kognitif yang menghasilkan suatu pandangan yang baru mengenai suatu bentuk permasalahan dan tidak dibatasi pada hasil yang pragmatis (selalu dipandang

Dalam situasi seperti ini yang biasa saya lakukan adalah.... Menunggu, sambil mengamati kalau ada yang saya kenal agar

berjudul SERTIFIKAT PATEN YANG DIJADIKAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN FIDUSIA DTINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA ini disusun untuk memenuhi