• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TERHADAP POLA DISTRIBUSI LAHAN USAHATANI (Studi Kasus di Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan)1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TERHADAP POLA DISTRIBUSI LAHAN USAHATANI (Studi Kasus di Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan)1"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

3 DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

TERHADAP POLA DISTRIBUSI LAHAN USAHATANI (Studi Kasus di Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Enrekang

Sulawesi Selatan)1

Suardi Bakri1, Farida Nurland2, M. Saleh S. Ali2, Didi Rukmana2

1

Program Studi Agribisnis, Universitas Islam Makssar, Jl. Perintis Kemerdekaan No. 29 Makassar

2

Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Hasanuddin

ABSTRAK

Kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia terus mengalami metamorfosis mencari pola yang efisien dan efektif untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu kesejahteraan petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak kebijakan pembangunan pertanian terhadap pola distribusi lahan di Sulawesi Selatan. Penelitian dilaksanakan di Desa Mojong, Kabupaten Sidrap dan Desa Salo Dua di Kabupaten Enrekang. Survei dilakukan dengan mengambil secara acak masing-masing 80 petani di Desa Mojong dan 60 petani di Desa Salo Dua. Selain Survei, FGD juga dilakukan untuk mengumpulkan data-data kualitatif. Perhitungan Indeks Gini menggunakan data penguasaan lahan dari 796 petani di Desa Mojong dan 232 petani di Desa Salo Dua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan pertanian yang selama ini dilaksanakan berdampak pada petani kelompok penguasaan 0.5 ha – 1.0 ha. Terjadi pergeseran penguasaan lahan dari kelompok pemilikan 0.5 ha – 1.0 ha ke arah penguasaan lahan lebih 1.0 ha. Pada kelompok petani kecil dengan penguasaan lahan dibawah 0.5 ha, kebijakan pembangunan pertanian cenderung tidak berdampak. Tidak terdapat pergeseran berarti pada kelompok penguasaan lahan kurang 0.5 ha. Distribusi lahan bergeser ke arah yang lebih baik dari periode sebelumnya, ditandai dengan semakin menurunnya Indeks Gini Lahan sejak tahun 1963 hingga 2013. Disimpulkan bahwa kebijakan pembangunan pertanian selain berdampak semakin membaiknya distribusi lahan juga berdampak pada pergeseran pola distribusi, utamanya bagi kelompok pengusaan 0.5 ha – 1.0 ha dan kelompok penguasaan 1,0 ha atau lebih. Diharapkan adanya kebijakan bahwa setiap unit usahatani hendaknya menguasai lahan tidak kurang dari 1,0 ha agar kebijakan pembangunan pertanian dapat lebih efektif.

Kata Kunci : kebijakan pertanian, petani, distribusi lahan, indeks Gini lahan

1

(4)

4

PENDAHULUAN

Kebijakan pembangunan pertanian, khususnya di negara-negara berkembang dibahas secara menyeluruh oleh Ellis (1992) dalam bukunya Agricultural Policies in Developing Country. Pada sektor pertanian terdapat setidaknya delapan jenis kebijakan yang dapat dirinci lagi menjadi sebelas sub jenis kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain kebijakan terkait output termasuk didalamnya kebijakan harga dan kebijakan pemasaran, kebijakan-kebijakan yang terkait input termasuk kebijakan-kebijakan harga input dan kebijakan-kebijakan sistem distribusi input. Selanjutnya juga terdapat kebijakan kredit, kebijakan mekanisasi, kebijakan land reform, kebijakan irigasi dan kebijakan penelitian.

Kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia terus mengalami metamorfosis mencari pola yang efisien dan efektif untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu kesejahteraan petani. Sejak awal kemerdekaan, perencanaan pengembangan pertanian mulai dilakukan dengan nama Rencana Kasimo yang kemudian digabung dengan recana Wicaksono (1950-1959) dan melahirkan Recana Kesejahteraan Istimewa (RKI). Pada Masa Orde Baru, pembangunan pertanian di Indonesia dilaksanakan dengan program Bimas, Insus dan Supra Insus yang mengantarkan swasembada beras pada tahun 1984. Selanjutnya pada tahun 90-an atau era reformasi, pemerintah mengarahkan tujuan pembangunan pertanian ke arah sistem agribisnis dan ketahanan pangan.

Menurut Booth (1988), keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia mencapai puncaknya setelah Presiden Soeharto diundang berpidato pada konfresi FAO ke 40 di Roma sebagai perwakilan dari negera sedang berkembang. Pidato tersebut membuktikan bahwa Indonesia telah berhasil dalam pembangunan pertanian sejak tahun 70-an, terutama dalam produksi bahan makanan. Dalam catatan statistik FAO, produksi sereal perkapita antara tahun 1974/5 dan 1984/5 adalah terbesar kedua di Asia setelah Burma, padahal pada tahun 1950an dan awal tahun 60an, FAO masih menggambarkan Indonesia sebagai negara yang tingkat pertumbuhan produksi pertaniannya yang paling lamban dibandingkan dengan negera-negara Asia Tenggara dan lebih lamban dibanding dengan beberapa negara Amerika Latin dan Afrika.

Pergeseran arah kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia diikuti dengan perubahan paradigma kebijakan. Pada masa Orde Baru secara konseptual dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), paradigma kebijakan pembangunan pertanian selalu tertuang dengan bertujuan peningkatan produksi untuk pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri, memperluas lapangan kerja dan produksi orientasi eksport. Pada akhir tahun 90-an atau era reformasi, paradigma pembangunan pertanian telah bergeser pada tujuan agribisnis yang lebih kompleks, yaitu meningkatkan peranserta (pertisipasi), efisiensi dan produktivitas petani.

(5)

5 dapat menyebabkan perubahan, tetapi pertumbuhan tanpa pemerataan akan kehilangan makna.

Kebijakan pembangunan pertanian tentunya diharapkan dapat memberikan efek distribusi, utamanya terhadap asset utama (lahan) petani ke arah yang lebih baik. Karena itu penelitian ini menganalisis dampak kebijakan pembangunan pertanian terhadap pergeseran pola distribusi lahan usahatani di Sulawesi Selatan.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Enrekang sebagai representasi kabupaten persawahan, penghasil utama padi dan kabupaten dataran tinggi, penghasil utama hortikultura. Dipilih Desa Mojong sebagai lokasi penelitian di Kabupaten Sidrap dan Desa Salo Dua di Kabupaten Enrekang. Sampel secara acak ditarik masing-masing 80 petani di Desa Mojong dan 60 petani di Desa Salo Dua. Sedangkan untuk perhitungan indeks Gini digunakan data penguasaan lahan dari 796 petani di Desa Mojong dan 232 petani di Desa Salo Dua.

Pengumpulan data dilakukan dengan survey, Diskusi kelompok terarah (FGD), wawancara mendalam dan penelusuran dokumen. Data kuantitatif untuk melihat distribusi lahan dianalisis menggunakan formula koefisien Gini yang dikembangkan oleh Szal dan Robinson (1977) sebagai berikut:

G = 1 + 1/n – 2/(n2 Yr) [ΣYi]

Dimana G adalah koefisien Gini, n adalah jumlah rumah tangga sampel, Yr

adalah luas penguasaan lahan rata-rata rumahtangga petani serta Yi luas lahan rumah tangga ke-i dengan teknik perhitungan menggunakan software Microsoft Excel (Arianto, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil studi sebelumnya banyak yang menyimpulkan bahwa distribusi lahan di Indonesia masih sangat timpang, dimana jumlah patani yang menguasai lahan pertanian sempit (<0,5 ha) sangat besar dan cenderung bertambah. Selain itu, indeks Gini penguasaan lahan masih jauh di atas negara-negara yang dianggap berhasil meredistribusi lahannya, seperti China, Korea Utara, Vietnam Utara, Jepang dan Taiwan.

Perhitungan indeks Gini dari 796 pengguna lahan di Desa Mojong menjukkan indeks Gini 0.68 yang berarti distribusi lahan di desa ini memang sangat timpang, bahkan lebih timpang dibanding tahun 2003 dimana indeks Gini yang dihitung berdasarkan data Sensus Pertanian 2003 oleh Rusastra dkk2 untuk penguasaan lahan diluar Jawa, 0.5816. Demikian halnya jika dibandingkan

2

(6)

6 dengan tahun sebelumnya yang dipublikasikan oleh Griffin (2002)3 bahwa pada tahun 1970-80 Indonesia secara umum memiliki Indeks Gini penguasaan lahan 0.56. Sementara itu, distribusi lahan sawah di Desa Salo Dua lebih merata dengan tingkat ketimpangan ringan. Indeks Gini distribusi lahan di Desa Salo Dua hanya 0.26.

Indeks Gini yang diperoleh dari dua desa penelitian dapat disebutkan bahwa distribusi lahan di Desa Mojong dengan kondisi pembangunan pertanian yang lebih “maju” dibandingkan dengan Desa Salo Dua, hampir tidak mengalami pergeseran dan bahkan cenderung lebih timpang lagi dibandingkan pada periode pembangunan pertanian sebelumnya. Sementara di Desa Salo Dua, menyamai kemerataan yang dicapai oleh Korea Selatan dan China yang masing-masing 0.2 dan 0.21.

Merujuk hasil penelitian Nuraliah (2009)4 yang menyebutkan bahwa ketimpangan di perkotaan selalu lebih besar dibandingkan di pedesaan memberikan legitimasi bahwa jika Desa Mojong telah mengarah pada kondisi perkotaan dengan akses yang mudah terhadap seluruh fasilitas menyebabkan desa ini lebih timpang dibandingkan dengan distribusi lahan di Desa Salo Dua, yang

lebih “terisolir” dan “terbelakang” dibandingkan dengan Desa Mojong. Walaupun

demikian, secara umum desa penelitian menunjukkan Indeks Gini 0.48 yang menunjukkan bahwa jika digabung dua desa penelitian menunjukkan ketimpangan yang sedang. Perbandingan distribusi lahan antara Desa Mojong dengan Desa Salo Dua disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1

Distribusi Lahan Sawah Menurut Kelompok, Rata-Rata dan Indeks Gini Penguasaan Lahan di Desa Penelitian, 2013

No Uraian

Sumber : Data Rincik Desa Mojong dan Data kelompok Tani Desa Salo Dua, Diolah, 2013

Selain menunjukkan perbedaan indeks Gini penguasaan lahan, Tabel 1 juga menunjukkan rata-rata penguasaan lahan per rumah tangga petani di dua desa

3

Lihat Griffin, Keith, Rahmanm Azizur dan Ickowitz, Amy (2002). Povertyand the Distribution of Land, Journal of Agrarian Change, 2 (2): 279-330.

4

(7)

7 penelitian yang juga berbeda. Rata-rata penguasaan lahan di Desa Mojong lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata penguasaan lahan di Desa Salo Dua. Hal ini menunjukkan bahwa dengan usia desa yang semakin lama, sektor pertanian semakin maju dengan program-program pembangunan pertanian yang intens menyebabkan fragmentasi dan pembagian lahan semakin tinggi dibandingkan dengan Desa Salo Dua yang relatif baru dengan sektor pertanian yang belum semaju dengan Desa Mojong serta masih adanya peluang-peluang pembukaan lahan sawah, memiliki rata-rata penguasaan lahan yang lebih tinggi.

Berdasarkan kelompok penguasaan lahan di Desa Mojong didominasi kelompok penguasa lahan di bawah 0,5 ha per rumah tangga (58,92%) sedangkan di Desa Salo Dua kelompok tersebut justru sangat kecil (0,43%). Kontrasnya perbedaan kelompok penguasaan lahan dibawah 0,5 ha pada dua desa penelitian kembali dapat dijelaskan bahwa desa yang jumlah penduduknya besar, kemajuan sektor pertanian dengan fasilitas sarana prasarana usahatani yang mendukung serta pekerjaan utama penduduk desa tergantung pada pertanian sawah, menyebabkan perpecahan lahan berlangsung cepat, apalagi desa tersebut tidak didukung lagi oleh lahan yang dapat dialihfungsikan sebagai lahan sawah. Tidak seperti Desa Salo Dua yang merupakan desa baru, lahan didominasi oleh lahan kering, hutan, ladang dan kebun yang sangat potensial untuk dialihfungsikan sebagai lahan sawah, sumber penghasilan utama bukan hanya pada sektor pertanian sawah tetapi juga hasil perkebunan menyebabkan perpecahan lahan tidak secepat Desa Mojong. Karena itu penguasaan lahan di Desa Salo Dua masih relatif lebih luas dibandingkan dengan penguasaan lahan di Desa Mojong. Hal tersebut juga dapat dilihat pada rumah tangga kelompok penguasaan lahan di atas 1,0 – 2,0 ha, di Desa Mojong hanya 14,45% sedangkan di Desa Salo Dua 51,72%. Data tersebut juga menandakan bahwa di Desa Mojong didominasi kelompok penguasaan lahan sampai 1,0 ha (74,74%) dibandingkan dengan Desa Salo Dua (10.77%). Penguasaan lahan 1,0 ha atau lebih sebaliknya didominasi oleh kelompok petani di Desa Salo Dua (89,22%) sementara di Desa Mojong hanya 25.25%. Masih terdapat pula 37,5% petani yang menguasai lahan di atas 2,0 ha di Desa Salo Dua dan tinggal 10,80% di desa Mojong. Jika digambarkan, struktur masyarakat di dua desa penelitian berdasarkan kelompok penguasaan lahan, maka di Desa Mojong struktur masyarakatnya berbentuk ”Piramida”, dimana persentase kelompok penguasaan lahan yang luas (diatas 2,0 ha) persentasenya kecil sementara kelompok penguasaan lahan dibawah 0.5 ha, sangat besar.

Sedangkan di Desa Salo Dua, struktur masyarakat adalah ”Belah Ketupat”, dimana kelompok menengah yang menguasai lahan 1,00-2,00 ha yang dominan dibanding yang menguasai lahan dibawah 0,5 ha dan lebih 2,0 ha.

(8)

8 kelompok yang mengusai 0.5 -1.0 ha (21%), 2-3 ha (18%) dan terendah (10%) adalah kelompok yang mengusai masing-masing kurang dari 0.25 ha dan 0.25 – 0.5 ha.

Jika menelusuri sejarah pembangunan pertanian sejak tahun 1963 sampai sekarang (2013), lihat Tabel 2, maka dapat dijelaskan masing-masing periode. Pada periode 1963-1972 indikator penguasaan lahan yang diukur pada tahun 1973 menunjukkan indeks Gini penguasaan lahan di luar Jawa 0,540 dengan rata-rata penguasaan lahan 1,54 ha per rumahtangga petani. Pola penguasaan lahan pada periode ini menunjukkan kelompok penguasaan lahan dibawah 1,0 ha sebesar 51%, penguasaan 1,0-2,0 ha 26,0% dan kelompok penguasaan di atas 2 ha 23%. Data ini menunjukkan bahwa penurunan persentase kelompok penguasaan lahan di bawah 1,0 ha dibandingkan tahun 1963 mengindikasikan adanya kelompok petani yang bertransformasi ke kelompok penguasaan di atasnya, dari menguasai lahan di bawah 1,0 ha menjadi penguasa 1,0 ha ke atas. Hal ini dapat diakibatkan karena gencarnya program Bimas dan kredit Massal pada periode ini sehingga petani-petani berpeluang menambah luas areal sawahnya, baik karena membeli maupun menyewa atau menyakap.

Tabel 2

Pergeseran Pola Penguasaan Lahan Pertanian 1963-2013

No. Uraian 1963 1973 1983 1983 distribusi lahan 1963-1983 dikutip dari Peirre van der Eng (1996) Tabel 3.24:151, lihat juga data yang dipublikasi Colin MacAndrew (1986). Tabel 1.5:12, Torbecke dan Pluijm (1993) Tabel 3.7-3.9: 69-72,Anne Both et al. (2012), Tabel 4.10:72, Rusastra dkk (2009). Tabel 2 dan 3: 103-104. Sedangkan data 2013 adalah data penelitian ini.

(9)

9 penguasaan diatas 1,0 ha persentasenya mengecil. Terjadinya laveling off pada periode ini dapat menjadi penyebab meningkatnya kelompok penguasa lahan di bawah 1,0 ha. Pada periode ini sebenarnya tiga macam program intensifikasi bersamaan dilaksanakan oleh pemerintah, ada Intensifikasi Massal, Intensifikasi Umum dan Intensifikasi Khusus, namun konsep Intensifikasi ternyata kurang memberikan hasil yang diharapkan, terbukti dengan terjadinya laveling off pada produksi pertanian dan yang lebih penting meningatnya secara drastis kelompok penguasaan lahan dibawah 1,0 ha.

Pada tahun1993 Indeks Gini kembali diukur dan hasilnya 0,499, tidak berbeda jauh dari indeks Gini tahun 1983, namun rata-rata penguasaan lahan kembali menurun dari 0,99 ha menjadi 0,87 ha, sementara kelompok penguasaan lahan di bawah 1,0 ha menurun menjadi 65,96% dan kelompok penguasaan 1,01-2,0 ha justru naik menjadi 20,90%. Capaian tolok ukur penguasaan lahan ini, dapat disebutkan sebagai dampak dari kebijakan pada periode 1983-1992, dimana pembangunan pertanian mencapai puncak kejayaannya dengan mewujudkan swasembada beras pada tahun 1984. Pada periode kebijakan pemerintah utamanya terkait dengan kredit berubah, dari kredit massal pola Bimas menjadi pola Kredit Usahatani melalui Koperasi Unit Desa (KUD).

Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 2003, secara nasional indeks Gini 0,404 sebagaimana dilaporkan oleh Rusastra dkk, tanpa memasukkan rumah tangga petani yang penguasaan lahannya dibawah 0,1 ha. Rata-rata penguasaan lahan pada tahun 2003 menjadi 0,79 semakin kecil dibandingkan dengan tahun 1993. Demikian halnya kelompok penguasa 1,0 ha masih tetap dominan (65,96%) menyusul kelompok yang menguasai 1,01-2,0 ha (20,90%) dan kelompok yang menguasai diatas 2,0 ha (13,14%). Sedangkan rata-rata penguasaan lahan per rumatangga petani kembali mengalami penurunan menjadi 0,87 ha. Kelompok penguasaan lahan juga bergeser, dimana pada tahun ini persentasi keluarga petani yang menguasai lahan di bawah 1,0 ha menjadi 74,82%. Jika dirinci kelompok penguasaan lahan di bawah 0,5 ha yang semakin meningkat, dari 45,29% pada tahun 1993 menjadi 56,41% tahun 2003, sementara kelompok penguasaan lahan yang lebih luas persentasinya menurun. Hal ini menunjukkan bahwa program-program pembangunan pertanian yang dilaksanakan selama kurun waktu 1993-2002 yang diikuti oleh faktor lain seperti pertambahan penduduk dan konversi lahan sawah. Konversi lahan antara tahun 1993-2003 tercatat seluas 1.264.140 ha5 juga menjadi penyebab percepatan perpecahan lahan.

Kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dicanangkan (RPPK) dilaksanakan tepatnya pada tahun 2005, kebijakan Revitalisasi sektor pertanian mencakup rehabilitasi jaringan irigasi lama dan membangun jaringan irigasi baru, membuka lahan pertanian baru khususnya di luar Jawa, memberikan subsidi sarana produksi untuk usaha primer, revitalisai sistem penyuluh dan kelembagaan petani dan mengembangkan sistem keuangan pertanian, termasuk keuangan mikro di pedesaan.

Pada tahun 2013 tolok ukur penguasaan lahan juga dapat dilihat dari hasil penelitian secara umum dua desa menunjukkan indeks Gini 0,48. Jika

5

(10)

10 dibandingkan, angka tersebut tidak jauh berbeda dengan indeks Gini penguasaan lahan pada tahun 2003, 1993 dan 1983. Jika merujuk kriteria Oshima et al. (1976) dalam Nuraliyah (2009) maka distribusi lahan di Indonesia sejak tahun 1983 hingga tahun 2013 justru sudah memasuki kategori ketimpangan sedang, dibandingkan dengan tahun sebelumnya (1963-1973) yang masih sangat tinggi.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa distribusi lahan menurut kelompok rumah tangga petani yang menguasai lahan kurang dari 1,0 ha masih dominan, yaitu 60,31% dengan rincian yang menguasai kurang dari 0,5 ha sebanyak 45,72% dan 0,5-1,0 ha 14,59%. Data ini menunjukkan adanya penurunan persentasi kelompok penguasa lahan kurang dari 0,5 ha jika dibandingkan dengan tahun 2003 namun tidak berbeda jauh dengan data tahun 1993 dan 1983 oleh Torbecke dan Pluijm (1993) dan tahun 1973, yang dirilis Colin MacAndrew (1986).

Secara umum untuk penguasaan lahan dapat digambarkan bahwa bahwa untuk kelompok penguasaan lahan dibawah 0.5 ha, hampir stagnan walaupun ada kecenderungan menurun selama kurun waktu 30 tahun, dari 47,0% pada tahun 1983 menjadi 45.72 pada tahun 2013 atau berkurang sebanyak 1.28% dalam kurun waktu tersebut. Sementara untuk kelompok penguasaan 0.5 – 1.0 ha cenderung menurun, utamanya dari tahun 1983 ke tahun 2013. Jika pada tahun 1983 jumlah petani yang menguasai lahan 0.5-1.0 ha sebanyak 22,0% menurun menjadi 20,7% pada tahun 1993, menurun lagi menjadi 18,41% pada tahun 2003 dan hasil penelitian ini (2013) tinggal 14.59% dengan kata lain terdapat penurunan sebanyak 4.41% selama kurun waktu 30 tahun pembangunan pertanian. Penurunan persentasi kelompok penguasaan lahan 0,5-1,0 ha lebih cepat dibandingkan dengan penurunan penguasaan lahan pada kelompok penguasaan kurang dari 0,5 ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa kelompok penguasaan lahan 0,5-1,0 ha atau lebih lebih cepat bertransformasi ke kelompok penguasaan lahan yang lebih luas. Hal ini sejalan dengan pernyataan Herman Suwardi (1973) dalam Billah dkk. (1976)6 yang menyebutkan bahwa sejak Repelita I program pembangunan pertanian lebih banyak melayani kepentingan pihak yang menguasai tanah pertanian, yang karena kedudukan sosial

ekonominya, golongan ini lebih “progresif” dan “responsif”.

Walaupun demikian, jika melihat data Sulawesi Selatan pada tahun 1983 yang disajikan oleh Torbecke dan Pluijm (1993) yang menunjukkan pola yang berbeda dengan pola nasional, kelompok penguasa lahan dibawah 0,5 ha pada tahun ini hanya 20,0% meningkat drastis menjadi 45,72% saat penelitian dilaksanakan, selanjutnya seluruh kelompok penguasaan mengalami penurunan persentase kecuali kelompok penguasaan di atas 2,0 ha. Hal ini dapat dihubungkan bahwa selain kebijakan pembangunan pertanian yang bekerja mempengaruhi pola penguasaan lahan, di Sulawesi Selatan juga terjadi konversi poisitif (penambahan areal) terhadap lahan pertanian yaitu pada periode

6

(11)

11 1993 sebesar 134.693 ha dan pada periode 1993-2003 seluas 412.064 ha.7 Karena itu, pergeseran kelompok penguasaan lahan yang terjadi akibat kebijakan pembangunan pertanian, mempertegas kebijakan pembangunan pertanian lebih efektif pada kelompok penguasaan lahan 0.5 - 1.0 ha

Khusus untuk rata-rata penguasaan lahan, hasil penelitian menunjukkan secara umum rata-rata penguasaan lahan di dua desa penelitian adalah 1,06 ha lebih tinggi dari rata-rata nasional sejak tahun 1973 namun tetap lebih rendah atau menurun jika dibandingkan dengan data rata-rata penguasaan lahan di Sulawesi Selatan, baik tahun 1973 maupun tahun 1993. Hal ini menujukkan pula bahwa rata-rata penguasaan lahan di Sulawesi Selatan cenderung menurun sejalan dengan penurunan rata-rata penguasaan lahan secara nasional. Pencetakan sawah yang menjadi program di Sulawesi Selatan selama kurun waktu 1983-1993 dan 1993-2003 belum mampu meningkatkan rata-rata penguasaan lahan petani.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kebijakan pembangunan pertanian yang selama ini dilaksanakan, hanya berdampak pada pergeseran penguasaan lahan pada kelompok penguasaan 0,5 ha

– 1,0 ha, dimana terjadi pergeseran penguasaan menjadi di atas 1,0 ha. Sedangkan untuk kelompok petani kecil yang penguasaan lahannya dibawah 0,5 ha tidak berdampak dan cenderung stagnan. Demikian pula distribusi lahan yang diukur dengan indeks Gini memperlihatkan pergeseran ke arah yang “lebih baik” dengan indeks Gini 0,48, walaupun terjadi perbedaan menyolok antar lokasi penelitian, yaitu Desa Mojong 0,68 dan Desa Salo Dua 0,26. Namun demikian, kebijakan pembangunan pertanian yang ada belum mampu memperbaiki rata-rata penguasaan lahan petani baik secara nasional maupun secara lokal Sulawesi Selatan.

Agar kebijakan pembangunan pertanian dapat lebih efektif, maka dibutuhkan kebijakan khusus untuk petani kecil yang menguasai lahan tidak lebih dari 0,5 ha termasuk petani penggarap, menciptakan sistem unit usahatani lahan sawah yang luasannya tidak boleh kurang dari 0,5 ha agar efektif menyerap kebijakan pembangunan pertanian yang dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA

Adyana, Made Oka; Suhaeti dan Rita, Nur (2000). Penerapan Indeks Gini untuk Mengidentifikasi Tingkat Pemerataan Pendapatan Rumah Tangga Pedesaan di Wilayah Jawa dan Bali. Puslitbang Sosek, Bogor : Departemen Pertanian.

Arianto, Effendi (2008). Membuat Kurva Lorenz dan Menghitung Koefisien Gini dengan MS Excel diunduh 5 Agustus 2012. Available from: http://strategika.wordpress.com /2008/07/20/membuat-kurva-lorenz/. Braun, Joachim v. (2005). Agricultural Economics and Distributional Effect.

Agricultural Economic Journal, 32 (2005) :1-20.

Ellis, Frank. (1992). Agricultural Policies in Developing Countries. New York: Cambridge University Press.

7

(12)

12 Griffin, Keith; Rahman, Azizur dan Ickowitz, Amy (2002). Poverty and the

Distribution of Land. Journal of Agrarian Change, 2 (2): 279-330.

MacAndrew, Colin (1986). Land Policy in Modern Indonesia. Boston USA: Oelgeschalger, Gunn & Hain Publisher Inc.

Nuraliyah (2009). Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan di Indonesia Pasca Krisis 1999-2005 (Skripsi). Bogor: Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Managemen, Istitut Pertanian Bogor.

Swastika, Dewa K.S. (2000). Struktur Penguasaan Lahan dan Pendapatan Rumahtangga Tani, Studi Kasus di Kabupaten Kapuas dan Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi, Litbang Pertanian, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Kalimantan Tengah.

Tashakkori, Abbas dan Teddlie, Charles (2010). Mixed Methodology, mengkombinasikan pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Torbecke, Erik dan van der Pluijm, Teodore (1993). Rural Indonesia: Socio-Economic Development in A Changing Environment. USA: International Fund for Agricultural Defelopment (IFAD) New York University Press. Van der Eng, Pierre (1996). Agriculture Growth in Indonesia, Productivity

Gambar

Tabel 1
Tabel 2 Pergeseran Pola Penguasaan Lahan Pertanian 1963-2013

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian apabila ada bangunan atau gedung sekolah yang rusak, maka kami segera menganggarkan untuk malkukan perbaikan atau rehab sedang maupun rehab berat." " selanjutnya yang

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Iqbal, dan Anita (Juni, 2016) Tentang Analisis faktor-faktor yang memengaruhi Financial Sustainability Ratio (FSR) Pada Bank Umum

11 Urus niaga di bawah diperoleh daripada buku Perniagaan Kukuh. 21 April 2013 : Menghantar nota debit kepada Kedai Gagah berjumlah RM210 kerana harga terkurang caj

Daun kelapa sawit terdiri dari beberapa bagian yaitu: (1) Kumpulan anak daun (leaflets) yang mempunyai helaian (lamina) dan tulang anak daun (midrib) , (2) Rachis

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka telah diadakan penelitian yang berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki oleh guru khususnya guru kelas III SD Negeri se-Kecamatan

(MUSRENBANGDESA) adalah forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan secara partisipatif oleh para pemangku kepentingan desa (pihak berkepentingan untuk mengatasi permasalahan desa

Yang menjadi masalah dalam konteks ini, anak-anak terpelajar lebih familiar dengan produk kebudayaan dan aplikasi teknologi negara-negara maju, tetapi tidak terinspirasi untuk

Dari uraian singkat di atas, dapat dilihat bahwa dasar utama proses pelaksanaan likuidasi bank adalah PP Nomor 25 Tahun 1999 dan SK Direksi BI Nomor