• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. awal berkembangnya Perbankan di Indonesia. Paket kebijakan Perbankan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. awal berkembangnya Perbankan di Indonesia. Paket kebijakan Perbankan yang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebijakan Deregulasi Perbankan 27 Oktober 1988 (Pakto) merupakan awal berkembangnya Perbankan di Indonesia. Paket kebijakan Perbankan yang diterbitkan dalam upaya peningkatan dan pemberdayaan bank tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa bank memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Akan tetapi paket kebijakan deregulasi tersebut setelah sepuluh tahun kemudian terlihat sangat liberal dan ekspansif serta tidak memiliki rambu-rambu pengaman yang sangat memadai dari otoritas moneter. Deregulasi perbankan tersebut telah menimbulkan dampak negatif antara lain berupa maraknya persaingan antar bank yang semakin kompetitif dan cenderung diabaikannya prudential banking. Di samping itu, mudahnya persyaratan pendirian bank telah mendorong munculnya bank-bank baru yang didirikan oleh para pemilik dana dengan latar belakang pengetahuan dalam bidang perbankan yang kurang memadai.1 Dapat dikatakan, paket deregulasi perbankan tersebut sangat berperan dalam memperburuk kualitas sistem perbankan Indonesia. Keadaan ini berujung pada, salah satunya, meningkatnya jumlah kredit bermasalah.

1

HLB Hadori & Rekan bekerjasama dengan Law Office Soehandjono & Associates-International Development Management Advisory Group-Canada, PT Grant Thornton Indonesia (Hasil Riset Bank Indonesia-Satgas BLBI), 2002, Studi Keuangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Bank Indonesia, hlm.28

(2)

Menurut Widigdo Sukarman sebagaimana yang dipaparkan oleh Zulkarnain Sitompul ada 6 (enam) faktor yang menyebabkan buruknya kondisi perbankan di Indonesia, yaitu :2

a. Penyaluran kredit yang terlalu ekspansif yang dipacu oleh pemasukan dana luar negeri yang bersifat rentan karena sifatnya jangka pendek;

b. Pemberian kredit tanpa melalui proses analisis kredit yang sehat;

c. Konsentrasi kredit yang berlebihan kepada suatu kelompok usaha atau individu baik yang terkait dengan bank maupun tidak;

d. Moral hazard karena belum tegasnya mekanisme exit policy dan berlarut-larutnya penyelesaian bank-bank bermasalah;

e. Campur tangan pemilik yang berlebihan dalam manajemen bank (bahkan tak sedikit pemilik yang merangkap jabatan sebagai pengurus bank); dan

f. Lemahnya aspek supervisi dan regulasi perbankan.

Setelah perjalanan panjang untuk mengatasi kejatuhan struktur keuangan nasional, akhirnya Pemerintah atas persetujuan DPR menerbitkan Undang-Undang Perbankan yang baru yaitu Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.3 Undang-Undang tersebut antara lain mengatur tentang penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank serta pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan bank.4

2

Zulkarnain Sitompul, 2007, Lembaga Penjamin Simpanan : Substansi dan Permasalahan, Booksterrace & Library, Bandung, hlm.21

3

Jimmy Adam, 2009, Perlindungan Hukum Kepada Nasabah Bank Dalam Pelaksanaan Likuidasi Bank di Indonesia, Tesis Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.2

4

(3)

Pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi dan lebih diperberat lagi dengan runtuhnya struktur keuangan nasional, khususnya sistem perbankan dan lemahnya sektor riil.5 Keterpurukan sistem perbankan ini menyebabkan 16 bank swasta nasional6 dinilai oleh otoritas perbankan tidak mungkin dipertahankan lagi eksistensinya, sehingga dicabut ijin usahanya pada 1 November 1997.7 Sesuai undang-undang yang mengatur perbankan waktu itu yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang memiliki kewenangan untuk menerbitkan dan mencabut ijin usaha bank adalah Menteri Keuangan berdasarkan rekomendasi dari Bank Indonesia (BI). Pada saat itu likuidasi terhadap 16 bank tersebut menimbulkan domino effect yang antara lain didahului dengan adanya

rush di sektor perbankan yang dipicu oleh ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional. Akibatnya banyak bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang sangat parah (mismatch) yang disusul dengan kelangkaan likuiditas perekonomian secara keseluruhan. Keadaan semakin diperparah dengan melambungnya suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) hingga mencapai 300% per tahun.8 Keputusan likuidasi 16 bank tersebut dianggap sebagai pemicu krisis kepercayaan yang berlanjut dengan terpuruknya sektor perbankan.

5

Jimmy Adam, op.cit., hlm.2

6

Ke-16 bank tersebut yaitu PT Bank Pinaesaan, PT Bank Industri, PT Anrico Bank Ltd.,PT Astria Raya Bank, PT Bank Andromeda, PT Bank Harapan Sentosa, PT Bank Guna Internasional, PT Sejahtera Bank Umum, PT Bank Umum Majapahit Jaya, PT Bank Jakarta, PT Bank Kosagraha Semesta, PT Bank Mataram Dhanarta, PT South East Asia Bank, PT Bank Pasifik, PT Bank Dwipa Semesta, dan PT Bank Citrahasta Dharma Manunggal.

7

Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 2004, Executive Summary hasil penelitian “Kewenangan dan Tanggung Jawab BI Dalam Kepailitan dan Likuidasi Lembaga Perbankan”, kerjasama FH Univ.Surabaya dengan BI, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol.2 No.2, Agustus 2004, hlm.18.

8

Unit Khusus Museum Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia : Perbankan Periode 1997-1999, hlm.2

(4)

Pada dasarnya tindakan likuidasi tersebut diambil untuk mencegah semakin meluasnya krisis perbankan dan besarnya risiko yang ditanggung masyarakat. Selain itu, keputusan likuidasi tersebut juga merupakan hasil evaluasi dan rekomendasi IMF yang dituangkan dalam Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah dengan IMF pada tanggal 31 Oktober 1997.9

Memasuki bulan Januari 1998, dampak krisis terutama yang menyangkut sektor perbankan semakin meluas. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menjamin pembayaran kewajiban bank yang dikenal dengan program penjaminan (blanket guarantee) yang merupakan financial safety net10 dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998.11 Tak hanya itu saja tindakan pemerintah dalam menanggapi kelemahan hukum perbankan pada masa krisis tersebut. Pemerintah juga mengesahkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.12 Dalam Undang-Undang Perbankan Tahun 1998 ini (Pasal 37B), setiap bank diwajibkan untuk menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Undang-Undang Perbankan Tahun 1998 ini juga memungkinkan dibentuknya badan

9

Ibid.

10

Sukarela Batunanggar, 2006, Jaring Pengaman Keuangan : Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.4, Nomor 3 Desember 2006, hlm.1 : Financial Safety Net (Jaring Pengaman Keuangan) merupakan salah satu pilar utama stabilitas system keuangan. Jaring Pengaman Keuangan mencegah bank run, meminimalkan kemungkinan terjadinya krisis keuangan, dan mengurangi frekuensi dan dampak kontraksi ekonomi

11

Fakultas Hukum Universitas Surabaya, op.cit., hlm.18

12

(5)

khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan nasional (Pasal 37A).

Sebagai pelaksanaan Pasal 37A tersebut telah dilakukan program restrukturisasi perbankan nasional dan pemulihan kepercayaan masyarakat, antara lain melalui program penjaminan pemerintah dan pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Keppres Nomor 27 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 dengan tugas utama melaksanakan program penjaminan pemerintah atas kewajiban bank-bank umum sekaligus melakukan upaya-upaya penyehatan perbankan.13

Sebagai tahap awal pembenahan perbankan, pemerintah mengambil langkah-langkah preventif untuk mengurangi dampak kerusakan terhadap sistem perbankan, dengan membekukan kegiatan usaha dan mengambil alih bank-bank yang dinilai dapat menjadi pemicu kerusakan sistem perbankan. Dalam kaitan ini pada tanggal 3 April 1998, pemerintah menetapkan 7 bank dibekukan kegiatan operasinya (BBO) dan 7 bank lainnya diambil alih (BTO). Mengingat kondisi beberapa bank BTO tersebut semakin memburuk, maka pada awal Agustus 1998 3 bank BTO dibekukan kegiatan operasinya. Selanjutnya dalam rangka pemulihan iklim perbankan melalui paket restrukturisasi perbankan, setelah dilakukan tahapan-tahapan dalam program rekapitalisasi perbankan, maka pada tanggal 13 Maret 1999 diputuskan untuk membekukan kegiatan usaha atas 38 bank (BBKU),

13

(6)

selain itu 7 bank di-BTO, dan 9 bank swasta nasional, 12 BPD dan semua bank BUMN ikut dalam program rekapitalisasi. 14

Dalam hal Bank Indonesia (BI) menilai suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, maka bank tersebut ditempatkan dalam pengawasan khusus BI. Selanjutnya berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, BI menetapkan bank dengan status Bank Dalam Penyehatan (BDP) atau Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan menyerahkan pengelolaan bank tersebut kepada BPPN. Pengaturan mengenai penetapan status bank dan penyerahan Bank kepada BPPN terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 2/11/PBI/2000 tentang Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank Kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Pada tanggal 12 Juni 2000 BI menetapkan PT Bank Ratu (selanjutnya cukup disebut Bank Ratu) ke dalam pengawasan khusus berdasarkan ketentuan PBI Nomor 2/11/PBI/2000 karena besarnya Rasio Kecukupan Modal (CAR) Bank Ratu hanya sebesar 2,87% (dibawah 4% sesuai ketentuan) dan Non Performing Loan (NPL) sebesar 75,29%.15 Sesuai ketentuan, BI memberikan kesempatan kepada Bank Ratu untuk memperbaiki kinerjanya. Namun Bank Ratu tidak berhasil meningkatkan CAR-nya sampai dengan batas waktu yang telah ditetapkan dengan perkembangan yang menunjukkan kecenderungan yang memburuk. Berdasarkan pertimbangan tersebut BI menetapkan Bank Ratu dengan status BBKU dan menyerahkan pengelolaannya kepada BPPN.16

14

Ibid.

15

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.455/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel, hlm.43.

16

Berdasarkan Surat Keputusan Deputi Gubernur Senior BI Nomor 2/25/KEP.DGS/2000 tanggal 20 Oktober 2000.

(7)

Berdasarkan tugas dan wewenangnya, BPPN melakukan tindakan-tindakan dalam rangka penyelesaian kewajiban Bank Ratu melalui program Penjaminan Pemerintah, penyelesaian hak-hak karyawan, dan upaya pengembalian uang negara serta hal-hal lainnya sesuai dengan kewenangan BPPN. Dengan pertimbangan bahwa Bank Ratu tersebut tidak dapat disehatkan kembali, secara efektif telah dalam keadaan beku usaha dan jangka waktu tugas BPPN yang akan berakhir, selanjutnya BPPN merekomendasikan pencabutan izin usaha Bank Ratu kepada BI. Berdasarkan Keputusan Gubernur BI Nomor 6/59/KEP.GBI/2004 tanggal 29 April 2004 tentang Pencabutan Izin Usaha PT Bank Ratu, maka izin untuk melakukan usaha sebagai bank umum bagi PT Bank Ratu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Keputusan Gubernur BI tersebut juga memerintahkan BPPN untuk menyelenggarakan RUPS guna memutuskan sekurang-kurangnya pembubaran badan hukum Bank Ratu dan membentuk Tim Likuidasi.17 Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 PBI Nomor 2/11/PBI/2000, penyelesaian selanjutnya dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku mengenai pencabutan izin usaha, pembubaran badan hukum dan likuidasi bank.

Dalam perjalanannya, proses likuidasi Bank Ratu sampai dengan saat ini masih menyisakan permasalahan terkait dengan gugatan dari pemegang saham terhadap Tim Likuidasi, Menteri Keuangan dan Bank Indonesia. Permasalahan tersebut berhubungan dengan masa kerja dan kewenangan Tim Likuidasi untuk melakukan tindakan hukum apapun menyangkut likuidasi Bank Ratu setelah masa

17

Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor 6/59/KEP.GBI/2004 tanggal 29 April 2004 tentang Pencabutan Izin Usaha PT Bank Ratu

(8)

pelaksanaan likuidasi berakhir tanggal 27 Oktober 2009 (5 tahun 180 hari)18 (lihat uraian di bawah). Di samping itu pemegang saham juga menuntut seluruh sisa harta/aset baik tunai maupun harta/aset yang belum terjual untuk diserahkan kepada pemegang saham berdasarkan Pasal 17 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank (selanjutnya dalam tesis ini cukup ditulis PP Nomor 25 Tahun 1999) dan Pasal 33 huruf (a) Surat Keputusan Direksi BI Nomor 32/53/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Umum (selanjutnya dalam tesis ini cukup disingkat SK Direksi BI Nomor 32/53/KEP/DIR).

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 4 PP Nomor 25 Tahun 1999, likuidasi bank adalah tindakan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank sebagai pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank. Ketentuan ini menjadi dasar bagi Tim Likuidasi untuk, hingga saat ini, meneruskan proses likuidasi mengingat masih terdapatnya sisa aset yang belum dicairkan dan masih terdapatnya kewajiban Bank Ratu kepada kreditor-kreditornya yang belum terbayarkan/terlunasi seluruhnya.

Dalam Pasal 12 PP tersebut di atas digariskan bahwa pelaksanaan likuidasi bank wajib diselesaikan paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal dibentuknya Tim Likuidasi, dan dalam hal proses likuidasi bank tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu tersebut maka penjualan harta bank dalam likuidasi dilakukan secara lelang. Sementara itu, SK Direksi BI Nomor

18

Jangka waktu ini dihitung sejak pembentukan Tim Likuidasi tanggal 30 April 2004 berdasarkan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 Jo. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (5) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/53/KEP/DIR

(9)

32/53/KEP/DIR pasal 22 menyebutkan bahwa pelaksanaan likuidasi dilakukan paling lama 5 (lima) tahun dan apabila tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu tersebut maka pelaksanaan likuidasi atas harta-harta yang belum terlikuidasi dilakukan dengan penjualan secara lelang oleh Kantor Lelang Negara dengan jangka waktu pelaksanaan lelang selambat-lambatnya selama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berakhirnya jangka waktu pelaksanaan likuidasi.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian singkat di atas, dapat dilihat bahwa dasar utama proses pelaksanaan likuidasi bank adalah PP Nomor 25 Tahun 1999 dan SK Direksi BI Nomor 32/53/KEP/DIR. Masalahnya adalah bahwa baik Pasal 12 PP Nomor 25 Tahun 1999 maupun Pasal 22 SK Direksi BI Nomor 32/53/KEP/DIR tidak menyebutkan secara tegas masa kerja Tim Likuidasi. Ketentuan-ketentuan tersebut hanya membatasi jangka waktu pelaksanaan likuidasi. Sedangkan masa kerja atau masa tugas Tim Likuidasi tidak diatur dengan tegas. Pada prakteknya, ketentuan-ketentuan tersebut di atas menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Pada intinya perbedaan penafsiran tersebut muncul karena kesaling terkaitan tiga faktor berikut: a) Masa penyelesaian atau jangka waktu likuidasi telah berakhir; b) hingga saat ini aset dan kewajiban Bank Ratu belum terselesaikan semua; dan c) tidak-jelasnya kapan masa kerja Tim Likuidasi berakhir. Timbul pertanyaan-pertanyaan seperti: berakhir atau tidakkah masa kerja tim tersebut setelah lewat jangka waktu 5 (lima) tahun ditambah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak

(10)

dibentuknya Tim Likuidasi? apakah tim tersebut masih memiliki kewenangan untuk menjalankan tugasnya hingga saat ini?

Peraturan perundang-undangan yang ada tidak secara tegas mengatur mengenai hal ini. Sebagaimana galibnya, orang memiliki penafsiran yang berbeda-beda atas suatu fenomena hukum yang sama. Adanya perbedaan penafsiran atas ketentuan di atas membawa implikasi legal pada kewenangan tim dalam menyelesaikan proses likuidasi (seperti misalnya penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank).

Penulis tertarik untuk membahas mengenai hal tersebut dan menuliskannya ke dalam tesis yang berjudul : ” KAJIAN TENTANG MASA KERJA TIM LIKUIDASI BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 25 TAHUN 1999 DAN SK DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 32/53/KEP/DIR TERHADAP PROSES PELAKSANAAN LIKUIDASI BANK (Studi Kasus pada PT Bank Ratu Dalam Likuidasi)”

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, penulis mencoba untuk merumuskan dua masalah yang akan dielaborasi lebih jauh lagi dalam tesis ini sebagai berikut :

1. Bagaimana wewenang Tim Likuidasi dalam melaksanakan proses likuidasi Bank setelah berakhirnya jangka waktu pelaksanaan likuidasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 PP Nomor 25 Tahun 1999 dan Pasal 22 SK Direksi Bank Indonesia Nomor 32/53/KEP/DIR ?

(11)

2. Bagaimana akibat hukum dari ketentuan Pasal 12 PP Nomor 25 Tahun 1999 dan Pasal 22 SK Direksi Bank Indonesia Nomor 32/53/KEP/DIR tersebut terhadap penyelesaian kewajiban Bank Dalam Likuidasi yang belum selesai ?

C. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran literatur yang penulis lakukan, ditemukan penelitian terdahulu yang membahas mengenai kasus Bank Ratu (Dalam Likuidasi) namun dengan topik pembahasan yang berbeda yaitu mengenai tanggung jawab pemilik Bank Dalam Likuidasi dalam hal aset bank tidak mencukupi untuk memenuhi kewajibannya. Sedangkan Tesis yang penulis susun ini tidak mengulas tanggung jawab pemilik Bank Ratu tetapi membahas perbedaan penafsiran ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 PP Nomor 25 Tahun 1999 dan Pasal 22 SK Direksi BI Nomor 32/53/KEP/DIR, sebagai dasar bagi pemegang saham menggugat Tim Likuidasi, Menteri Keuangan dan Bank Indonesia dalam pelaksanaan likuidasi PT Bank Ratu. Disamping itu penulis menemukan tulisan/jurnal yang membahas kewenangan Tim Likuidasi setelah jangka waktu likuidasi berakhir untuk bank yang dicabut izin usahanya sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 (UU LPS), namun dalam membahas kewenangan tersebut terdapat perbedaan antara yang disampaikan dalam Tesis ini dengan yang diulas oleh penulis sebelumnya, dimana penulis sebelumnya tidak mengkaitkan dengan gugatan dan putusan pengadilan, dan disamping itu dalam membahas kewenangan tersebut penulis memiliki pendekatan yang berbeda dengan yang telah disampaikan oleh penulis

(12)

sebelumnya (secara detail diuraikan dalam Bab Pembahasan-Analisa Permasalahan).

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berpotensi untuk menawarkan beberapa manfaat, baik manfaat teoritis maupun praktis. Adapun manfaat-manfaat tersebut adalah :

1. Manfaat teoritis/akedemis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kepustakaan/materi tentang masalah likuidasi bank, memberi masukan berupa pemikiran analitis bagi kalangan akademisi dan mahasiswa, serta dapat mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan hukum perbankan pada khususnya yang berkaitan dengan likuidasi bank.

2. Manfaat praktis

Dari segi praktis diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para regulator, praktisi hukum dan pihak-pihak terkait lainnya dalam menghadapi dinamika permasalahan sistem perbankan Indonesia.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, tujuan penelitian ini adalah :

(13)

1. Untuk mengeksplorasi dan menganalisa sejauh mana wewenang Tim Likuidasi dalam melaksanakan proses likuidasi berkaitan dengan ketentuan masa kerja tim sebagaimana Pasal 12 PP Nomor 25 Tahun 1999 dan Pasal 22 SK Direksi BI Nomor 32/53/KEP/DIR.

2. Untuk memahami dan menganalisa bagaimana akibat hukum dari ketentuan Pasal 12 PP Nomor 25 Tahun 1999 dan Pasal 22 SK Direksi Bank Indonesia Nomor 32/53/KEP/DIR tersebut terhadap penyelesaian kewajiban Bank Dalam Likuidasi yang belum selesai.

F. Sistematika Penulisan

BAB I, yang merupakan pendahuluan, menguraikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, keaslian penelitian, kegunaan penelitian dan tujuan penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II merupakan tinjauan pustaka yang memaparkan tentang likuidasi bank, meliputi pengertian likuidasi, dasar hukum likuidasi Bank, kesehatan bank, mekanisme/tata cara likuidasi dan jangka waktu pelaksanaan likuidasi Bank.

BAB III menguraikan metode pengumpulan data yang digunakan dalam menysusun tesis ini. Bab ini dibagi kedalam beberapa bagian yaitu sifat penelitian, jenis penelitian dan sumber data. Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan putusan pengadilan. Bab ini ditutup dengan memaparkan bagaimana data yang telah terkumpul dianalisis.

(14)

BAB IV membahas pokok permasalahan utama tesis ini, yaitu mengenai problematika yang muncul dari ditetapkannya jangka waktu pelaksanaan likuidasi di satu sisi dan dinamika proses likuidasi di lapangan yang cenderung sulit dibatasi waktu di sisi lain. Di atas dinamika tersebut ada peraturan perundangan-undangan yang berlaku yang ternyata mengundang banyak penafsiran.

BAB V, merupakan penutup yang berisikan simpulan atas pembahasan, kajian dan analisis untuk menjawab permasalahan yang telah dikemukakan pada bab pertama, juga memuat saran-saran yang penulis harapkan dapat menjadi solusi terhadap permasalahan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan sistem pemilu itulah yang melatarbelakangi DPD Partai Gerindra untuk melaksanakan pendidikan politik dibeberapa wilayah di Jawa Timur termasuk di Kabupaten Mojokerto

Dalam rangka meningkatkan kemampuan penggunaan Sistem Informasi Manajemen Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (SIMLITABMAS) di perguruan tinggi dalam unggah dan

penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2006 yaitu laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN masih mendapat predikat

[r]

Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol dari kulit kayu faloak (Sterculia sp) pada dosis 150 mg/kgBB, 300mg/KgBB, 600mg/KgBB dapat mempengaruhi penurunan

Berdasarkan tinjauan singkat tentang pandangan konsep pendidikan seni, dapatlah dikatakan bahwa arahan konsep pendidikan seni secara garis besar dapat dikelompokkan

Salah satu kasus hukum dari kesenjangan ( gap ) pelaksanaan Undang undang (dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016), adalah kasus yang menjadi