BAB II
LANDASAN TEORI
A. PENYESUAIAN SOSIAL
A.1. Pengertian Penyesuaian Sosial
Penyesuaian sosial merupakan salah satu bagian dari penyesuaian diri.
Oleh karena itu, ketika membahas penyesuaian sosial akan banyak merujuk pada
konsep penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan di
sekitarnya. Penyesuaian sosial merupakan keberhasilan individu untuk
menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok
pada khususnya (Hurlock, 1997).
Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai “the capacity to react adequately to social realities, situation and relations.”
Penyesuaian sosial menandakan kemampuan atau kapasitas yang dimiliki individu
untuk bereaksi secara efektif dan wajar pada realitas sosial, situasi dan relasi
sosial.
Lebih jelasnya, Schneiders (1964) menyatakan penyesuaian sosial sebagai
berikut, “Social adjustment signifies the capacity to react effectively and wholesomely to social realities, situation and relations so that the requirements
for social living are fulfilled in an acceptable and satisfactory manner.”
Penyesuaian sosial adalah kemampuan atau kapasitas yang dimiliki individu
sosial sehingga tuntutan hidup bermasyarakat terpenuhi dengan cara yang dapat
diterima dan memuaskan.
Mu’tadin (dalam Vianawati, 2008) mendefinisikan penyesuaian sosial
sebagai suatu proses saling mempengaruhi antar individu yang menghasilkan
suatu pola kebudayaan dan tingkah laku yang sesuai dengan aturan, hukum, adat
dan nilai-nilai yang dipatuhi, demi tercapainya penyelesaian bagi
persoalan-persoalan hidup.
Menurut Mu’tadin (dalam Wahyuni, 2009) individu juga mempelajari
keterampilan-keterampilan sosial yang diperlukan dalam penyesuaian sosial,
meliputi:
a. Kemampuan berkomunikasi,
b. Menjalin hubungan dengan orang lain,
c. Menghargai diri sendiri dan orang lain,
d. Mendengarkan pendapat dan keluhan dari orang lain,
e. Memberi dan menerima kritik,
f. Bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku.
Penyesuaian sosial adalah kesanggupan untuk mereaksi secara efektif dan
harmonis terhadap realitas sosial dan situasi sosial, bisa mengadakan reaksi sosial
yang sehat, bisa menghargai hak-hak sendiri di dalam masyarakat, bisa bergaul
dengan orang lain dan membina persahabatan yang kekal sehingga rasa
permusuhan, iri hati, persaingan, dengki dan emosi negatif dapat terkikis
merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengubah diri dan keinginan
agar sesuai dengan keadaan lingkungan atau kelompok.
Berdasarkan beberapa definisi penyesuaian sosial yang telah dikemukakan
di atas dapat disimpulkan penyesuaian sosial adalah kemampuan seseorang untuk
berperilaku sesuai dengan harapan orang lain, yang ditunjukkan dengan
memperlihatkan sikap dan tingkah laku yang menyenangkan, serta dapat
berinteraksi dengan orang lain sehingga ia mampu merasa puas terhadap dirinya
dan orang lain.
A.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial erat
kaitannya dengan penyesuaian diri karena penyesuaian sosial merupakan bagian
dari penyesuaian diri. Schneiders (1964) mengelompokan faktor-faktor yang
mempengaruhi penyesuaian diri sebagai berikut:
a. Physicalcondition (kondisi jasmaniah) meliputi:
1. Pengaruh pembawaan dan struktur jasmaniah
Beberapa ciri kepribadian memiliki hubungan dengan struktur jasmaniah
yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pembawaan, dapat diwariskan
secara genetis terutama dengan perantara temperamen.
2. Kesehatan dan kondisi jasmaniah
Kualitas penyesuaian diri yang baik dapat diperoleh dan dipelihara dalam
kondisi kesehatan jasmani yang sehat. Orang yang memiliki penyakit
ketergantungan, dan perasaan ingin diperhatikan oleh orang lain. Namun
tidak semua orang yang memiliki penyakit jasmani tidak dapat
menyesuaikan diri dengan baik.
b. Developmentandmaturation (perkembangan dan kematangan)
Perkembangan dan kematangan mempunyai hubungan yang erat dengan
proses penyesuaian diri, dalam arti bahwa proses penyesuaian diri itu akan
banyak tergantung pada tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapai.
Dalam proses perkembangan, respon anak berkembang dari respon yang
bersifat instingtif menjadi respon yang diperoleh melalui belajar dan
pengalaman. Dengan bertambahnya usia, anak juga matang untuk melakukan
respon, proses ini menentukan pola-pola penyesuaian sosial.
c. Psychologicalcondition (kondisi psikologis)
Banyak sekali faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi penyesuaian diri.
Diantaranya adalah faktor pengalaman, frustasi, konflik, iklim psikologis dan
lain-lain. Proses belajar merupakan suatu dasar yang fundamental dalam
penyesuaian diri, karena melalui proses belajar ini akan berkembang
pola-pola respon yang akan membentuk kepribadian.
d. Environmentalcondition (kondisi lingkungan)
1. Pengaruh rumah dan keluarga. Lingkungan rumah dan keluarga
merupakan faktor lingkungan yang paling besar pengaruhnya terhadap
penyesuaian diri individu. Hal ini karena keluarga merupakan lingkungan
2. Pengaruh masyarakat. Lingkungan masyarakat merupakan tempat individu
bergerak, bergaul dan melakukan peran sosial. Sehingga individu sedikit
banyak akan terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Pengaruh masyarakat
merupakan kondisi-kondisi yang menentukan proses dan pola-pola
penyesuaian diri.
3. Pengaruh sekolah. Sekolah mempunyai peran yang penting dalam
menentukan pola penyesuaian seseorang, karena sekolah mempunyai
peran sebagi medium untuk mempengaruhi kehidupan intelektual, sosial,
dan moral siswa sehingga individu diharapkan mampu mengembangkan
kemampuan menyesuaikan diri.
e. Cultureandreligion (budaya dan agama)
1. Faktor budaya. Faktor kebudayaan mempunyai pengaruh terhadap
pembentukan watak dan tingkah laku individu yang diperoleh melalui
media pendidikan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat secara
bertahap dipengaruhi oleh faktor-faktor kebudayaan. Budaya yang sehat
dalam suatu lingkungan masyarakat akan memberikan pengaruh yang
baik kepada anggota masyarakat, begitu pula sebaliknya budaya yang
tidak sehat akan mempengaruhi perilaku anggota yang ada di lingkungan
tersebut.
2. Pengaruh agama. Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan, dan
pola-pola tingkah laku yang akan memberikan arti, tujuan, dan kestabilan
tertentu dalam mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan lainnya
kemudian memberikan suasana tenang dan damai.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyesuaian
sosial dapat dipengaruhi oleh faktor dalam diri individu tersebut dan juga dari luar
diri individu. Adapun faktor dalam diri inidividu seperti kondisi jasmani yang
sehat, perkembangan dan kematangan melalui proses belajar dan pengalaman,
serta kondisi psikologis. Sedangkan faktor luar diri individu, yaitu kondisi
lingkungan seperti pengaruh keluarga, masyarakat dan sekolah, serta budaya dan
agama juga menjadi indikasi penyesuaian sosial yang baik jika semua berjalan
selaras.
A.3. Kriteria Penyesuaian Sosial
Hurlock (1997) mengatakan terdapat empat kriteria dalam menentukan
sejauh mana penyesuaian sosial seseorang mencapai ukuran baik, yaitu sebagai
berikut :
a) Penampilan nyata melalui sikap dan tingkah laku yang nyata
Perilaku sosial individu sesuai dengan standar kelompok atau
memenuhi harapan kelompok maka individu akan diterima sebagai anggota
kelompok. Bentuk dari penampilan nyata adalah (1) aktualisasi diri yaitu
proses menjadi diri sendiri, mengembangkan sifat-sifat dan potensi diri, (2)
keterampilan menjalin hubungan antar manusia yaitu kemampuan
berkomunikasi, kemampuan berorganisasi, dan (3) kesediaan untuk terbuka
memberikan dan sikap untuk bersedia menerima pengetahuan atau informasi
dari pihak lain.
b) Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok
Individu dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap berbagai
kelompok, baik kelompok teman sebaya maupun kelompok orang dewasa.
Bentuk dari penyesuaian diri adalah (1) kerja sama dengan kelompok yaitu
proses beregu (berkelompok) yang mana anggota-anggotanya mendukung dan
saling mengandalkan untuk mencapai suatu hasil mufakat, (2) tanggung jawab
yaitu sesuatu yang harus kita lakukan agar kita menerima sesuatu yang
dinamakan hak, dan (3) setia kawan yaitu saling berbagi, saling memotivasi
dalam kebaikan.
c) Sikap sosial
Individu dapat menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang
lain, terhadap partisipasi sosial, serta terhadap perannya dalam kelompok
maka individu akan menyesuaikan diri dengan baik secara sosial. Bentuk dari
sikap sosial adalah ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial di masyarakat,
berempati, dapat menghormati dan menghargai pendapat orang lain.
d) Kepuasan pribadi
Individu harus dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial,
merasa puas terhadap kontak sosialnya dan terhadap peran yang dimainkannya
dalam situasi sosial. Bentuk dari kepuasan pribadi adalah kepercayaan diri,
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kriteria dalam
penyesuaian sosial adalah penampilan nyata melalui sikap dan tingkah laku yang
nyata seperti kemampuan berkomunikasi dan kemampuan berorganisasi,
penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok, sikap sosial, dan kepuasan pribadi.
A.4. Penyesuaian Sosial Remaja
Salah satu perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang
berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan
lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus
menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah.
Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat
banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri
dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku
sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi
persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial (Hurlock,
1993).
Dengan meluasnya kesempatan untuk melibatkan diri dalam berbagai
kegiatan sosial, maka wawasan sosial semakin membaik pada remaja. Sekarang
remaja dapat menilai teman-temannya dengan lebih baik, sehingga penyesuaian
diri dalam situasi sosial bertambah baik dan pertengkaran menjadi berkurang.
Semakin banyak partisipasi sosial, semakin besar kompetensi sosial remaja,
seperti terlihat dalam mengadakan pembicaraan, dalam melakukan olahraga, dan
Dengan demikian remaja memiliki kepercayaan diri yang diungkapkan melalui
sikap tenang dan seimbang dalam situasi sosial (Hurlock, 1993). Keberhasilan
remaja tersebut akan mengantarkannya ke dalam suatu kondisi penyesuaian sosial
yang baik dalam keseluruhanya sehingga remaja yang bersangkutan dapat merasa
bahagia, harmonis dan dapat menjadi orang yang produktif (Nurdin, 2009).
Mereka diharapkan dapat memenuhi tanggung jawab orang dewasa, tetapi
berhubung antara pertumbuhan fisik dan pematangan psikisnya masih ada jarak
yang cukup lebar, maka kegagalan yang sering dialami remaja dalam memenuhi
tuntutan sosial ini menyebabkan frustasi dan konflik-konflik batin pada remaja
terutama bila tidak ada pengertian pada pihak orang dewasa (Monks, 2006).
Mereka dituntut untuk dapat menentukan sikap pilihannya dan
kemampuannya dalam menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungannya agar
partisipasinya selalu relevan dalam kegiatan masyarakat. Berdasarkan pengamatan
dalam kehidupan sehari-hari, kenyataan memperlihatkan bahwa tidak semua
remaja berhasil atau mampu melakukan penyesuaian sosial dalam lingkungannya.
Hal ini tampak dari banyaknya keluhan remaja yang dapat diketahui dari berbagai
berita atau ulasan mengenai masalah dan perilaku menyimpang remaja dalam
berbagai media, baik media cetak maupun elektronik (Setianingsih dkk, 2006).
Jika remaja tidak mampu melakukan penyesuaian sosial, maka akan
menimbulkan permasalahan yang semakin kompleks. Permasalahan-permasalahan
tersebut menuntut suatu penyelesaian agar tidak menjadi beban yang dapat
mengapa masa remaja dinilai lebih rawan daripada tahap-tahap perkembangan
manusia yang lain (Hurlock, 1997).
Menghadapi masalah yang begitu kompleks, banyak remaja dapat
mengatasi masalahnya dengan baik, namun tidak jarang ada sebagian remaja yang
kesulitan dalam melewati dan mengatasi berbagai permasalahan yang
dihadapinya. Remaja yang gagal mengatasi masalah seringkali menjadi tidak
percaya diri, prestasi sekolah menurun, hubungan dengan teman menjadi kurang
baik serta berbagai masalah dan konflik lainnya yang terjadi (Milarsari dalam
Setianingsih dkk, 2006).
Remaja-remaja bermasalah ini kemudian membentuk kelompok yang
terdiri dari teman sealiran dan melakukan aktivitas yang negatif seperti
perkelahian antar pelajar (tawuran), membolos, minum-minuman keras, mencuri,
memalak, mengganggu keamanan masyarakat sekitar dan melakukan tindakan
yang dapat membahayakan bagi dirinya sendiri (Setianingsih dkk, 2006).
A.5. Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu
Penyesuaian sosial sebagai salah satu aspek dari penyesuaian diri individu
yang menuju kepada kesesuaian antara kebutuhan dirinya dengan keadaan
lingkungan tempat ia berada dan berinteraksi secara efektif dan efisien.
Penyesuaian sosial seseorang mencapai ukuran baik menurut Hurlock (1997)
dapat dilihat dari penampilan nyata melalui sikap dan tingkah laku yang nyata,
penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok, sikap sosial yang menunjukan
sosial akan terasa menjadi penting, manakala individu dihadapkan pada
kesenjangan-kesenjangan yang timbul dalam hubungan sosialnya dengan orang
lain. Betapapun kesenjangan-kesenjangan itu dirasakan sebagai hal yang
menghambat, akan tetapi sebagai makhluk sosial, kebutuhan individu akan
pergaulan, penerimaan, dan pengakuan orang lain atas dirinya tidak dapat
dielakkan sehingga dalam situasi tersebut penyesuaian sosial akan menjadi wujud
kemampuan yang dapat mengurangi atau mengatasi kesenjangan-kesenjangan
tersebut (Nurdin, 2009).
Kehilangan pendengaran yang dialami remaja tunarungu berdampak pada
kemiskinan kosakata, kesulitan berbahasa dan berkomunikasi, efeknya dapat
mengalami berbagai hamabatan dalam meniti perkembangannya, terutama pada
aspek kecerdasan, dan penyesuaian sosial (Efendi, 2006). Penyesuaian sosial pada
remaja tunarungu mengalami hambatan sebagai dampak gangguan pendengaran
yang dideritanya. Keterbatasan dalam kemampuan berbahasa/bicara sebagai alat
untuk kontak sosial dan mengekspresikan emosinya mengakibatkan mereka
mengalami kesulitan dalam mengadakan kontak sosial. Hal tersebut juga
berdampak pada sikap menarik diri dari lingkungannya, ditambah lagi bila orang
sekelilingnya kurang memiliki kepedulian terhadap keberadaannya (Edja Sadjaah
dalam Heryati, 2010).
Sejalan dengan hal tersebut, Efendi (2006) menjelaskan bahwa
terganggunya pendengaran seseorang menyebabkan terbatasnya penguasaan
bahasa. Hal ini dapat menghambat kesempatan untuk berkomunikasi dengan
seringkali tampak frustasi. Akibatnya ia sering menampakkan sikap-sikap
bermusuhan atau menarik diri dari lingkungannya. Keadaan ini semakin tidak
menguntungkan ketika beban ini ditambah dengan sikap lingkungan atau tekanan
lain yang berasal dari luar diri (keluarga, teman sebaya, masyarakat sekitar) yang
berupa cemoohan, ejekan, dan bentuk penolakan lain sejenis dan berdampak
negatif. Hal ini tentu membuat penyandang tunarungu semakin merasa tidak
aman, bimbang dan ragu-ragu terhadap keberadaan diriya.
Beberapa dari mereka yang berhasil mengatasi permasalahannya
dikarenakan adanya konsep diri yang positif mengenai dirinya sehingga
menampilkan kesan yang baik jika berhubungan dengan orang di sekitarnya (Alfi,
2005). Di samping itu penerimaan yang baik di dalam kelompok sosial juga
membantu proses penyesuaian sosial dengan lingkungannya (Wasito, 2010).
Mereka mendapat harga diri seperti apa yang mereka harapkan karena orang lain
mengakui dan menerima kehadirannya, sehingga mereka merasa aman akan
kedudukannya dalam masyarakat (Sastrawinata, 1977).
B. METODE KOMUNIKASI B.1. Pengertian Komunikasi
Secara etimologis, komunikasi berasal dari bahasa latin communico yang
berarti membagi. Yang dimaksud membagi adalah membagi gagasan, ide atau
pikiran antara seseorang dan orang lain (Cangara dalam Shoelhi, 2009).
Communico berakar dari kata communis yang berarti sama, sama arti atau sama
terkandung kesamaan makna atau kesamaan pengertian. Tidak ada kesamaan
pengertian diantara mereka yang melakukan komunikasi, komunikasi tidak akan
berlangsung.
Secara terminologis, para ahli komunikasi mendefinisikan komunikasi dari
berbagai perspektif, yakni perspektif filsafat, sosiologis dan psikologis. Dalam
perspektif filsafat, komunikasi dimaknai untuk mempersoalkan apakah hakikat
komunikator-komunikan, dan bagaimana mereka menggunakan komunikasi untuk
berhubungan dengan realitas di alam semesta (Rakhmat dalam Shoelhi, 2009).
Aristoteles merumuskan komunikasi pada tiga komponen pokok, yaitu siapa yang
berbicara, apa yang dibicarakan dan siapa yang mendengarkan.
Dari perspektif sosiologis, Colin Cherry (dalam Shoelhi, 2009)
mendefinisikan komunikasi sebagai upaya untuk membuat satuan sosial yang
terdiri dari individu-individu dengan menggunakan satuan sosial yang terdiri dari
individu-individu dengan menggunakan bahasa atau tanda. Harnack dan Fest
(dalam Shoelhi, 2009) menganggap komunikasi sebagai proses interaksi di antara
orang-orang untuk tujuan integrasi intrapersonal dan interpersonal. Pendapat
tersebut menunjukkan bahwa sosiologi menitikberatkan komunikasi dalam
konteks interaksi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok.
Dari perspektif psikologis, Hovland, Janis dan Kelly (dalam Shoelhi,
2009) mendefinisikan komunikasi sebagai proses yang ditempuh seorang individu
(komunikator) untuk menyampaikan stimulus (biasanya dengan lambang
dilakukan untuk mengubah perilaku orang lain, yakni bagaimana caranya agar
orang berperilaku atau melakukan tindakan tertentu.
Kesimpulannya komunikasi adalah proses interaksi sosial yang dilakukan
seorang komunikator untuk menyampaikan pesan kepada pihak komunikan
dengan tujuan untuk mencapai tujuan-tujuan individu atau kelompok.
B.2. Proses Komunikasi
Dari pengertian komunikasi sebagaimana diutarakan di atas, tampak
adanya sejumlah komponen atau unsur yang merupakan persyaratan terjadinya
komunikasi. Komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut:
- Komunikator : orang yang menyampaikan pesan;
- Pesan : pernyataan yang didukung oleh lambang;
- Komunikan : orang yang menerima pesan;
- Media : sarana atau saluran yang mendukung pesan bila
komunikan jauh tempatnya atau banyak jumlahnya;
- Efek : dampak sebagai pengaruh dari pesan (Effendy, 2004).
Dalam komunikasi salah satu pihak menyampaikan pesan (pengirim atau
komunikator) kemudian pihak lain yang menerimanya (penerima atau
komunikan). Agar dapat berkomunikasi dengan baik dibutuhkan kemampuan
komunikasi yaitu kemampuan individu dalam mengolah kata-kata, berbicara
secara baik dan dapat dipahami oleh lawan bicara (Sarwono, 1997).
Cara penyampaian suatu pesan yang dilakukan seorang komunikator
yang disampaikan komunikator adalah pernyataan sebagai paduan pikiran dan
perasaan, dapat berupa ide, informasi, keluhan, keyakinan, imbauan, anjuran, dan
sebagainya (Effendy, 2004).
B.3. Metode Komunikasi Tunarungu B.3.1. Komunikasi Manual
Metode ini didasari oleh pandangan yang menyatakan bahwa sesuai
dengan kodratnya bahasa yang paling cocok untuk anak tunarungu. Pada abad ke
18 Abbe de L Eppee, seorang pendidik di Perancis memelopori mengajar dengan
bahasa isyarat kepada anak-anak tunarungu. Oleh karena itu metode manual
sering juga disebut metode Perancis. Isyarat itu dicoba digambarkan menjadi
tanda-tanda gambar, seperti tulisan Hieroglyph di Mesir dan tulisan Kanji di Cina.
Isyarat-isyarat yang sederhana membutuhkan 3000 sampai 4000 buah tanda
gambar (Sastrawinata, 1977).
Pengikut Abbe de L Eppee kemudian menyempurnakan tanda gambar
isyarat menjadi abjad jari yang lebih sederhana, karena disesuaikan dengan abjad
latin. Dengan media abjad jari anak tunarungu dapat mengetahui dan
memberitakan namanya, nama-nama anggota keluarganya, nama-nama benda di
sekitarnya, pekerjaan-pekerjaan yang dilakukannya dan hal-hal yang konkrit
lainnya. Buku-buku sederhana yang khusus ditulis untuk anak-anak tunarungu
disusun dengan mempergunakan kalimat-kalimat sederhana yang pendek-pendek
mempergunakan dua tangan kemudian dipergunakan satu tangan saja
(Sastrawinata, 1977).
Metode manual memiliki dua komponen dasar (Smith dalam Muawanah.
2009) yaitu bahasa isyarat dan fingerspelling. Yang pertama adalah bahasa
isyarat. Adapun isyarat dibagi atas dua yaitu isyarat alamiah dan isyarat formal
(Van Uden dalam Bunawan, 1997). Isyarat alamiah yaitu suatu isyarat
sebagaimana digunakan penyandang tunarungu (berbeda dari bahasa tubuh),
merupakan suatu ungkapan manual (dengan tangan) yang disepakati bersama
antar pemakai (konvensional), dikenal secara terbatas dalam kelompok tertentu
(esoteric), dan merupakan pengganti kata. Isyarat formal yaitu isyarat yang
sengaja dikembangkan dan memiliki struktur bahasa yang sama dengan bahasa
lisan masyarakat. Berbagai bentuk bahasa isyarat formal yang dikembangkan
antara lain, bahasa isyarat yang dinamakan Sign English atau juga disebut Pidgin
Sign English (PSE) yang merupakan gabungan atau campuran antara bahasa
isyarat asli/alami dengan bahasa Inggris, bahasa isyarat standar American Sign
Language (ASL) untuk menjelaskan kata dan konsep.
Metode manual yang kedua adalah fingerspelling. Fingerspelling
menggambarkan alfabet secara manual. Posisi-posisi tangan menunjukkan tiap
huruf alfabet huruf latin. Fingerspelling biasanya digunakan sebagai pelengkap
bahasa isyarat. Jika tidak ada bahasa isyarat untuk satu kata, maka digunakan
fingerspelling. Fingerspelling biasanya juga digunakan untuk menyebutkan nama
secara tepat atau bila orang tidak yakin akan bahasa isyarat untuk kata tertentu
Keuntungan metode komunikasi manual adalah metode komunikasi yang
sesuai dengan penyandang tunarungu yaitu dunia tanpa suara, sesuai dengan
kemampuan remaja tunarungu untuk menerima dan mengeluarkan pikiran-pikiran
melalui lambang visual sesuai dengan bahasa ibunya. Kelemahan-kelemanhan
metode ini adalah tidak efisien karena banyaknya isyarat yang harus diperlajari,
tidak semua pengertian dapat diisyaratkan, dan keragaman isyarat sesuai dengan
daerah serta dapat membatasi remaja tunarungu pada lingkungan masyarakat luas
(Sastrawinata, 1977).
B.3.2. Komunikasi Oral
Metode oral dipelopori oleh Samuel Heinecke seorang tokoh pendidikan
yang dikembangkan di Jerman. Oleh karena itu metode tersebut kadang-kadang
disebut metode Jerman. Secara eksperimental kemampuan berbicara anak
tunarungu telah dibuktikan oleh Pedro Ponce de Leon seorang pendidik khusus
gangguan pendengaran di Spanyol. Metode ini cepat sekali termashur dengan
terjadinya polemik antara pengikut Ake de L Eppe dengan
pengikut-pengikut Samuel Heinicke, dan ternyata metode ini lebih memberikan hari depan
yang baik bagi pendidikan anak tunarungu. Dari Jerman metode ini dibawa oleh
Johann Conrad Amman ke negeri Belanda dan kemudian meluas ke negara-negara
yang lain (Sastrawinata, 1977).
Metode komunikasi oral menekankan pada pembimbingan ucapan dan
speechreading (membaca ujaran) (David Smith dalam Muawanah, 2009; Moores,
penggunaan bahasa oral, siswa-siswa tidak didorong untuk menggunakan
komunikasi manual. Speechreading menggunakan informasi visual untuk
membantu memahami ucapan orang lain. Siswa dilatih memperhatikan gerak
bibir, posisi bibir, serta gigi agar dapat memahami apa yang sedang diucapkan.
Mereka diajarkan membaca ekspresi wajah yang akan mempermudah pemahaman
mereka terhadap apa yang sedang diucapkan (David Smith dalam Muawanah,
2009). Metode ini juga disertakan dengan penggunaan ekspresi wajah dan gesture
secara natural (Gravel, 2003).
Keuntungan dari penggunaan metode ini adalah penyandang tunarungu
dapat menerima akses kebahasaan yang lebih besar dari lingkungannya,
membawa dan mengarahkan penyandang tunarungu kepada kehidupan yang
mendekati kehidupan normal atau kehidupan seperti layaknya orang-orang pada
umumnya, serta dapat menerima pesan atau mengekspresikan gagasan, pikiran,
dan perasaannya diharapkan melalui cara-cara yang lazim digunakan oleh
anak-anak yang mendengar pada umumnya (Gravel, 2003). Keuntungan metode oral
yang telah dijabarkan yakni mampu berkomunikasi melalui cara-cara yang lazim
digunakan oleh orang normal, yang pada gilirannya dapat memberi remaja
tunarungu berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial
(Somad, 2010).
Kelemahan utama terletak pada keterbatasan kemampuan penyandang
tunarungu dalam menangkap dan mengeluarkan bahasa lisan (Sastrawinata,
1977). Sulit dilaksanakan ketika berinteraksi pada jarak yang berjauhan, dan
(Suparno, 1997). Penggunaan metode komunikasi ini saat membaca ujaran tidak
jarang pada akhirnya mereka hanya menebak-nebak karena intonasi dan tanda
baca yang tidak nampak (Parmawati, 2012).
B.3.3. Komunikasi Total
Sejak tahun 1960-an mulai diperkenalkan perpaduan antara metode
manual dan metode oral yang disebut dengan metode total (Efendi, 2006). Diawali
dari Negara-negara Amerika dan Skandinavia, telah terjadi adanya perubahan
secara besar-besaran dari komunikasi oral menuju ke arah komunikasi total dalam
program di sekolah bagi para penyandang tunarungu, baik
sekolah-sekolah yang berasrama maupun yang tidak berasrama (Suparno, 1997).
Metode komunikasi total dapat berupa gabungan dari metode oral, isyarat,
serta fingerspelling (abjad jari). Anak menerima input melalui membaca ujaran,
isyarat, dan fingerspelling, kemudian mengekspresikannya melalui bicara, isyarat
dan fingerspelling. Isyarat berbeda dengan fingerspelling, dengan isyarat
memungkinkan mereka menggambarkan ide atau kata-kata secara lengkap dari
pada menggunakan fingerspelling (Moores, 2001).
Sasaran penggunaan metode komunikasi total adalah agar penyandang
tunarungu tetap menguasai keterampilan berbicara dengan memberi penunjang
visual yang lebih nyata dan membaca ujaran karena dalam metode ini unsur bicara
digunakan bersamaan dengan unsur isyarat (Bunawan, 1997). Metode komunikasi
ini dapat meningkatkan pencapaian pendidikan umum, kemampuan membaca
Kelebihan penggunaan komunikasi total adalah komunikasi tersebut
memuat spektrum model bahasa yang lengkap. Dengan komunikasi total berarti
hak setiap tunarungu untuk bisa belajar menggunakan segala bentuk komunikasi
agar mereka memiliki kesempatan penuh mengembangkan kemampuan bahasa
pada usia sedini mungkin (Somantri, 2007). Komunikasi total juga
memungkinkan terciptanya iklim komunikasi yang fleksibel, bebas dari rasa
keraguan dan tekanan (Suparno, 1997). Kelemahan penggunaan komunikasi ini
lebih mengarah pada adanya penggunaan isyarat dan fingerspelling, yang
umumnya kurang diketahui oleh masyarakat luas.
Jordan, Gustason, dan Rosen (1976) melaporkan bahwa dari Tahun 1968
sampai tahun 1975, 302 program pada beberapa Negara bagian tetap pada
pengajaran metode oral, dan 333 program diubah kepada pengajaran komunikasi
total. Dalam kurun waktu 10 tahun sebanyak 481 program tetap pada pengajaran
metode oral, dan sebanyak 538 program beralih kepada komunikasi total (Moores,
2001).
Metode komunikasi yang dapat digunakan penyandang tunarungu baik
manual, oral maupun total, tidak semata-mata berdasarkan pada status
pendengarannya, sehingga tidak berbeda secara signifikan dalam pemilihan
penggunaan metode komunikasi pada individu yang deaf (tuli) atau hard of
hearing (lemah pendengaran). Umumnya dalam pemilihan penggunaan metode
komunikasi lebih ditekankan peranan orangtua yang bekerjasama dengan para
metode komunikasi yang paling efektif untuk perkembangan bahasa anak mereka
(Department of Health and Human Services, 2011).
C. REMAJA
C.1. Pengertian Remaja
Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia yang
menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa. Istilah remaja atau
adolescence berasal dari kata Latin yaitu adolescere (kata bendanya, adolescentia
yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” , yang
mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial
dan fisik. Masa remaja awal dimulai pada saat anak secara seksual menjadi
matang dan berakhir saat remaja mencapai matang secara hukum. Masa remaja
awal dibagi menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal dan akhir masa remaja.
Masa remaja awal berlangsung dari usia 13 sampai 16 tahun, dan akhir masa
remaja dari usia 16 sampai 18 tahun (Hurlock, 1993).
Monks, dkk (2006) masa remaja secara global berlangsung antara umur
12-21 tahun, dengan pembagian:
1. Masa remaja awal : 12-15 tahun, umumnya disebut dengan masa puber
yaitu terjadinya pemasakan seksual yang akan berdampak pada
perkembangan psikososialnya.
2. Masa remaja pertengahan : 15-18 tahun
3. Masa remaja akhir : 18-21 tahun, yakni usia di mana seseorang
melakukan kewajiban-kewajiban tertentu tidak tergantung pada
orangtua.
Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1993) menyatakan bahwa secara
psikologis, masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan
masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat
orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama,
sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Beberapa definisi yang telah dikemukakan sebelumnya dapat disimpulkan
masa remaja adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju
masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan
psikososial.
C.2. Ciri-ciri Masa Remaja
Masa remaja memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan
masa-masa sebelumnya dan sesudahnya. Menurut Hurlock (1993) ciri-ciri remaja
antara lain sebagai berikut.
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
Pada masa remaja terjadi perkembangan fisik dan mental yang
cepat dan penting dimana semua perkembangan itu menimbulkan perlunya
penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan
Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang
satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Dengan
demikian dapat diartikan bahwa apa yang telah terjadi sebelumnya akan
meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang,
serta mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru pada tahap
berikutnya.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja
sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik terjadi
dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Ketika
perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perilaku juga
menurun.
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun
masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh
anak laki-laki maupun anak perempuan.Ada dua alasan bagi kesulitan ini,
yaitu :
- Sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian
diselesaikan oleh orangtua dan guru-guru, sehingga kebanyakan
remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah.
- Karena para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin
mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orangtua dan
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak,
penyesuaian diri dengan standar kelompok lebih penting daripada bersikap
individualistis. Pada awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok
masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan, namun lambat laun
mereka mulai mendambakan identitas diri dengan kata lain ingin menjadi
pribadi yang berbeda dengan orang lain.
f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang
tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan
berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus
membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung
jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Pada masa ini, remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain
sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih
dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistik cita-citanya ia semakin menjadi
marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain
mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang
ditetapkannya sendiri.
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Dengan semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja
memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai
memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa
yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan dan
terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini
akan memberi citra yang mereka inginkan.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwasanya ciri-ciri masa
remaja antara lain terjadi perubahan fisik, psikis maupun sosialnya. Selain itu
remaja juga dianggap sebagai periode penting dan rawan dengan berbagai
masalah, masa mencari identitas, masa yang tidak realistik serta ambang masa
dewasa.
C.3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja
Tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Havighurst (dalam
Hurlock, 1993), yaitu :
1. Mencari hubungan baru dan yang lebih matang dengan memperluas
hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan
teman sebaya baik pria maupun wanita
2. Mencapai peran sosial pria dan wanita
3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif
4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab
5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang
dewasa lainnya
7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
8. Memperoleh peringkat nilai dan sistem etis
Tugas-tugas perkembangan remaja, menurut Havighurst (dalam Dariyo,
2004) ada beberapa, yaitu sebagai berikut.
a. Menyesuaiakan diri dengan perubahan fisiologis-psikologis
Diketahui bahawa perubahan fisiologis yang dialami oleh individu,
mempengaruhi pola perilakunya. Di satu sisi, ia harus dapat memenuhi
kebutuhan dorongan biologis, namun bila dipenuhi hal itu pasti akan
melanggar norma-norma sosial, padahal dari sisi penampilan fisik, remaja
sudah seperti orang dewasa. Oleh karena itulah, remaja menghadapi
dilema. Dengan demikian, dirinya dituntut untuk dapat menyesuaikan diri
dengan baik.
b. Belajar bersosialisasi sebagai seorang laki-laki maupun wanita
Dalam hal ini, seorang remaja diharapkan dapat bergaul dan
menjalin dengan individu lain yang berbeda jenis kelamin, yang
didasarkan atas saling menghargai dan menghormati antara satu dengan
yang lainnya, tanpa menimbulkan efek samping yang negatif. Pergaulan
dengan lawan jenis ini sebagai suatu hal yang amat penting, karena
dianggap sebagai upaya untuk mempersiapkan diri guna memasuki
c. Memperoleh kebebasan secara emosional dari orangtua
Ketika sudah menginjak remaja, individu memiliki hubungan
pergaulan yang lebih luas, dibandingkan dengan masa anak-anak
sebelumnya yaitu selain dari teman-teman tetangga, teman sekolah, tetapi
juga dari orang dewasa lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa individu
remaja tidak lagi bergantung pada orangtua. Bahkan mereka
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bergaul bersama dengan
teman-temannya.
d. Remaja bertugas untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab
Untuk dapat mewujudkan tugas ini, umumnya remaja berusaha
mempersiapkan diri dengan menempuh pendidikan formal maupun non
formal agar memiliki taraf ilmu pengetahuan, keahlian yang profesional.
Warga negara yang bertanggung jawab ditandai dengan kepemilikan taraf
keahlian dan profesi yang dapat disumbangkan oleh seorang individu
untuk mengembangkan dan memajukan seluruh warga masyarakat.
e. Memperoleh kemandirian dan kepastian secara ekonomis
Tujuan utama individu melakukan persiapan diri dengan
menguasai ilmu dan keahlian tersebut ialah untuk dapat bekerja sesuai
dengan bidang keahlian dan memperoleh penghasilan yang layak sehingga
dapat menghidupi diri sendiri maupun keluarga nantinya. Sebab keinginan
terbesar seorang individu adalah menjadi orang yang mandiri dan tak
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tugas-tugas
perkembangan remaja adalah mencari hubungan baru dan yang lebih matang
dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial pria dan
wanita, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif,
mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, mencapai
kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya,
mempersiapkan karir ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan keluarga dan
memperoleh peringkat nilai dan sistem etis.
C.4. Remaja Tunarungu
C.4.1. Pengertian dan Klasifikasi Tunarungu
Secara medis tunarungu adalah kekurangan atau kehilangan kemampuan
mendengar yang disebabkan oleh kerusakan dan mal-/dis-/non-fungsi dari
sebagian atau seluruh alat-alat pendengaran (Sastrawinata, 1977). Menurut
Somantri (2007) tunarungu adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran yang
mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama
melalui indera pendengarannya.
Seseorang dikategorikan normal pendengarannya apabila hasil tes
pendengarannya dinyatakan dengan angka 0 dB. Kondisi hasil tes pendengaran
yang menunjukkan angka 0 mutlak tersebut jarang atau hampir tidak ada, sebab
derajat minimum setiap orang masih ditemui kehilangan ketajaman
pendengarannya. Oleh karena itu, berdasarkan nilai toleransi ambang batas,
dianggap normal, sebab pada kenyataannya orang kehilangan pendengaran pada
gradasi 20 dB tidak menunjukkan kekurangan yang berarti (Efendi, 2006).
Hallahan dan Kaufman (1991) mendefinisikan tunarungu sebagai istilah
umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang
berat, dan diklasifikasikan dalam tuli (deaf) dan lemah pendengaran (hard of
hearing). Seseorang dikategorikan deaf jika ia kehilangan kemampuan
mendengar 70 dB atau lebih menurut ISO (International Standard Organization)
sehingga ia akan mengalami kesulitan untuk mengerti atau memahami
pembicaraan orang lain walaupun menggunakan alat bantu dengar atau tanpa
menggunakan alat bantu dengar. Sedangkan seseorang yang dikategorikan hardof
hearing jika ia kehilangan kemampuan mendengar antara 35-69 dB menurut ISO
(International Standard Organization) sehingga mengalami kesulitan mendengar
suara orang lain secara wajar, namun tidak terhalang untuk mengerti atau
mencoba memahami bicara orang lain dengan menggunakan alat bantu dengar.
C.4.2. Penyebab Tunarungu
Penyebab terjadinya tunarungu menurut S.C. Brown (dalam Heward,
1996) ada empat faktor yaitu:
1. Faktor keturunan, dapat mengakibatkan seorang anak mengalami ketulian
atau gangguan pendengaran. Ada bukti kuat yang menyatakan bahwa
kerusakan pendengaran tipe congenital menurun pada beberapa keluarga.
Faktor keturunan terjadi karena perpindahan gen-gen dominan dan gen-gen
Anak mengalami ketunarunguan karena di antara aggota keluarganya ada
yang mengalami ketunarunguan.
2. Faktor kondisi ibu saat mengandung, jika seorang ibu yang tengah
mengandung terserang virus rubella (terutama pada tiga bulan pertama waktu
kehamilan), maka anak yang dikandungnya memiliki potensi untuk
mengalami ketulian atau masalah serius lainnya.
3. Faktor kelahiran, proses lahir bayi yang terlalu dini sehingga berat badannya
atau panjang badannya relatif di bawah normal, dan jaringan-jaringan
tubuhnya sangat lemah, akibatnya anak lebih mudah terkena anoxia
(kekurangan oksigen) yang berpengaruh pada kerusakan inti cochlea.
4. Meningitis, adalah infeksi bakteri atau virus. Infeksi ini dapat mengakibatkan
hancurnya bagian-bagian sensitif yang terletak di telinga bagian dalam.
Kesulitan keseimbangan juga dapat terjadi akibat penyakit ini. Brown (dalam
Heward, 1996) menyatakan bahwa anak yang mengalami ketulian akibat
meningitis umumnya mengalami kerusakan pendengaran yang parah, namun
tidak mengalami permasalahan lainnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya
tunarungu adalah faktor keturunan, faktor kondisi ibu saat mengandung, faktor
D. PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL REMAJA TUNARUNGU DITINJAU DARI METODE KOMUNIKASI ORAL DAN TOTAL
Masa remaja adalah masa transisi yang memiliki tugas perkembangan
mencari identitas (Schultz, 1994). Pencarian indentitas diri dapat dilakukan remaja
melalui berhubungan dengan lingkungan sosialnya sehingga dituntut memiliki
kemampuan penyesuaian sosial yang baik. Kegagalan remaja dalam menguasai
kemampuan sosial akan menyebabkan remaja sulit menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Tidak berbeda dengan remaja normal, remaja tunarungu juga
dituntut melakukan penyesuaian sosial yang baik (Wasito, 2010). Dengan kondisi
ketunarunguan tersebut, tugas perkembangan untuk memenuhi penyesuaian sosial
tentu membutuhkan usaha yang lebih besar. Proses penyesuaian sosial
memerlukan peran komunikasi dan hal ini tidak dapat dihindari oleh remaja
tunarungu (Lukman, 2009). Sejalan dengan pendapat Shaliha (2007) bahwa
penyesuaian sosial yang baik sangat tergantung pada efektivitas komunikasi yang
dijalin individu dengan orang lain karena mereka akan bisa membina hubungan
dengan lingkunganya sehingga lebih mudah untuk bisa menerima dan diterima
oleh lingkungan. Begitu juga dengan penelitian Sari (2006) menunjukkan bahwa
ada hubungan positif antara komunikasi interpersonal dengan penyesuaian sosial.
Semakin baik komunikasi interpersonal maka semakin baik penyesuaian
sosialnya. Penelitian oleh Ni’mah (2010) menunjukkan bahwa secara signifikan terdapat hubungan positif antara komunikasi interpersonal dengan penyesuaian
Remaja tunarungu akan berhadapan dengan permasalahan terkait dengan
kesulitan untuk menjembatani hubungan sosial pada lingkungan sekitarnya seperti
kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang yang dapat mendengar secara
normal (Efendi, 2006). Kesulitan ini tidak dapat dihindari oleh remaja tunarungu
sehingga memerlukan komunikasi yang efektif yang dijalin individu dengan orang
lain.
Dalam proses komunikasi diperlukan peranan bahasa, bicara, dan
pendengaran yang menjadi pengontrol efektif ada tidaknya sebuah komunikasi
(Efendi, 2006). Metode komunikasi yang dapat digunakan tunarungu dalam
melakukan proses komunikasi ada tiga metode, yakni metode manual, metode oral
dan metode komunikasi total (Efendi, 2006).
Metode komunikasi oral dalam pelaksanaannya menitikberatkan kepada
pengucapan dalam penyampaian pesan (mengekspresikan gagasan/ pikiran/
perasaan) dan membaca ujaran (speechreading) dalam menerima pesan
(Bunawan, 1997). Metode ini juga disertakan dengan penggunaan ekspresi wajah
dan gesture secara natural (Gravel, 2003). Metode komunikasi ini mengarahkan
agar remaja tunarungu baik dalam menerima pesan atau mengekspresikan
gagasan, pikiran, dan perasaannya diharapkan melalui cara-cara yang lazim
digunakan oleh anak-anak yang mendengar pada umumnya. Sehingga dengan
metode komunikasi ini tunarungu dapat menerima akses kebahasaan yang lebih
besar dari lingkungannya (Gravel, 2003).
Dalam penggunaan metode komunikasi ini, mereka mampu berkomunikasi
memberi remaja tunarungu berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan
kehidupan sosial (Somad, 2010). Remaja tunarungu dapat berinteraksi aktif dalam
lingkungannya, baik lingkungan sesama, keluarga maupun masyarakat. Di dalam
interaksi sosial ada kemungkinan individu dapat menyesuaikan dengan yang lain,
atau sebaliknya (Faricha, 2008). Namun, penggunaan komunikasi ini seringkali
membuat lawan bicara meminta untuk mengulangi pembicaraan berkali-kali
sehingga diperlukan juga komunikasi isyarat untuk mempermudah komunikasi
(Suparno, 1997).
Metode komunikasi total merupakan perpaduan antara metode komunikasi
manual dan metode komunikasi oral (Efendi, 2006). Komunikasi total dapat
berupa gabungan dari metode oral, isyarat, dan fingerspelling (abjad jari). Anak
menerima input melalui membaca ujaran, isyarat, dan fingerspelling, kemudian
mengekspresikannya melalui bicara, isyarat dan fingerspelling (Moores, 2001).
Penyandang tunarungu tetap menguasai keterampilan berbicara dengan memberi
penunjang visual yang lebih nyata dan membaca ujaran karena dalam metode ini
unsur bicara digunakan bersamaan dengan unsur isyarat (Bunawan, 1997)
Metode komunikasi total dapat meningkatkan pencapaian pendidikan
umum, kemampuan membaca ujaran, dan kemampuan bahasa tulis dan
kematangan sosial. Demikian pula dalam hal kecepatan membaca efektif,
penyandang tunarungu yang dididik dengan menggunakan komunikasi total
memiliki kecepatan membaca efektif yang lebih baik daripada penyandang
Metode ini dapat mempermudah remaja tunarungu dalam meningkatkan
kemampuan komunikasinya. Remaja tunarungu tidak merasa kesulitan dalam
menjalankan perannya dan dapat menjalankan aktivitas komunikasinya dengan
orang lain, sehingga dengan metode komunikasi total remaja tunarungu dapat
bersosialisasi secara lebih mudah dan lebih baik dengan orang lain (Valintini,
2011). Kemampuan untuk bersosialisasi secara lebih efektif akan berdampak pada
penyesuaian yang baik secara sosial (Hurlock, 1997).
Penggunaan komunikasi total dianggap lebih efektif daripada oral, namun
di Medan masih ada SLB B yang tetap menerapkan komunikasi oral dan tidak
beralih pada penggunaan komunikasi total dengan alasan penggunaan komunikasi
total dapat memungkinkan siswa lebih fokus terhadap penggunaan isyarat dan
fingerspelling yang dapat berdampak semakin kecilnya penggunaan komunikasi
oral. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat penyesuaian sosial
antara metode komunikasi oral dan komunikasi total. Komunikasi manual tidak
disertakan dalam penelitian ini karena terbatasnya sampel penelitian yang
menggunakan komunikasi manual sekarang ini. Oleh karena itu penelitian
memfokuskan pada perbedaan metode komunikasi oral dan total.
Perbedaan metode komunikasi yang digunakan remaja tunarungu
memungkinkan terjadinya perbedaan proses belajar sosial dan peran yang
membutuhkan penyesuaian yang berbeda, yang memungkinkan akan membentuk
E. HIPOTESA
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan