• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KASUS AURIMA HANUN CEPHALGIA KRONIK DENGAN LIMFOMA NON HODGKIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "LAPORAN KASUS AURIMA HANUN CEPHALGIA KRONIK DENGAN LIMFOMA NON HODGKIN"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SYARAT MENGIKUTI UJIAN KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN SARAF

“CEPHALGIA KRONIK DENGAN LIMFOMA NON-HODGKIN

Diajukan Kepada:

dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, MSc

Disusun Oleh:

Aurima Hanun Kusuuma H2A014011P

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

SEMARANG

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

“CEPHALGIA KRONIK DENGAN LIMFOMA NON-HODGKIN”

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Bagian Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh: Aurima Hanun Kusuma

H2A014011P

Telah Disetujui Oleh Pembimbing

(3)

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. M

Tanggal Lahir : 21 Juni 1951

Umur : 67 tahun 5 bulan 7 hari Jenis kelamin : Laki-laki

Status perkawinan : Menikah Pendidikan : SD

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Agama : Islam

Alamat : Jl. Krajan II 02/03 Tegaron Banyubiru Kab. Semarang

No CM : 0947xx-20xx

Tanggal masuk RS : 28 November 2018

B. DATA DASAR

Diperoleh dari pasien serta keluarga pasien (Autoanamnesis dan alloanamnesis), dan catatan rekam medik, dilakukan pada tanggal 1 Desember 2018, pukul 15.15 di bangsal Dahlia.

C. KELUHAN UTAMA

Pasien mengeluhkan nyeri kepala

D. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Sejak 6 bulan yang lalu pasien mengeluhkan nyeri kepala dari bagian dahi hingga ke kepala bagian tengah, terutama di daerah kepala bagian belakang. Nyeri kepala tumpul dan lamanya serangan tidak menentu dengan skala VAS 3 dari 10. Keluhan dirasakan hilang timbul, dipengaruhi aktifitas berat dan nyeri kepala hilang dengan beristirahat. Keluhan tidak disertai gejala lain seperti mual, muntah, pusing berputar, dan posisi.

(4)

tiba-tiba membaik saat duduk ataupun tidur terlentang dengan skala VAS 5 dari 10. Nyeri kepala awalnya muncul hilang timbul terutama saat posisi pasien beraktifitas berat, dengan durasi setiap kali nyeri sekitar 1 jam. Nyeri kepala pasien akan mereda dengan tidur tengkurap. Pasien masih dapat menahan rasa nyeri kepala tersebut dan melakukan aktivitas di rumah seperti biasanya. Keluhan lain seperti demam, mual disangkal, muntah disangkal, silau saat melihat cahaya disangkal.

Sekitar 3 jam SMRS pasien merasa nyeri kepala menjadi semakin memberat muncul terus menerus dengan skala VAS 8 dari 10. Keluhan juga disertai pusing dan mual. Keluhan nyeri dirasakan hingga menyebabkan pasien tidak dapat beraktifitas dan hanya bisa tidur terlentang. Keluhan lain seperti muntah disangkal, demam disangkal, pandangan ganda disangkal, pandangan kabur disangkal, cedera kepala disangkal, kelemahan anggota gerak disangkal, pelo disangkal, kesulitan untuk menelan atau minum disangkal, kesemutan pada anggota gerak disangkal, telinga berdenging disangkal, keluar cairan dari telinga disangkal, nyeri pada telinga disangkal, pandangan silau disangkal, keluhan penurunan berat badan yang drastis akhir-akhir ini di sangkal, gangguan berkemih disangkal. Dikarenakan keluhan nyeri kepala tersebut semakin memberat dan disertai mual sehingga pasien diputuskan untuk di bawa ke IGD RSUD Ambarawa.

E. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

1. Riwayat keluhan serupa sebelumnya : disangkal

2. Riwayat vertigo diakui, sejak tiga tahun yang lalu dan sudah dilakukan pengobatan secara rutin tiap minggu di RSUD Ambarawa.

(5)

4. Riwayat stroke : disangkal

5. Riwayat jatuh : disangkal

6. Riwayat trauma kepala : disangkal

7. Riwayat masalah di mata : disangkal 8. Riwayat masalah di telinga dan hidung : disangkal 9. Riwayat gigi berlubang : disangkal 10. Riwayat penyakit jantung : disangkal 11. Riwayat penyakit maag : disangkal 12. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal 13. Riwayat penyakit gula : disangkal 14. Riwayat kolesterol tinggi : disangkal 15. Riwayat gangguan psikologi : disangkal

16. Riwayat alergi obat : disangkal

F. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

1. Riwayat keluhan serupa : disangkal

2. Riwayat stroke : disangkal

3. Riwayat DM : disangkal

4. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal

G. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI

Pasien sudah tidak bekerja, pembayaran menggunakan BPJS non PBI. Kesan ekonomi cukup. Pasien menyangkal pernah minum minuman keras. Pasien menyangkal memakai obat-obatan terlarang, obat-obat yang dibeli di luar resep dokter dan jamu jamuan rutin.

H. ANAMNESIS SISTEM

(6)

2. Sistem kardiovascular : tidak ada keluhan 3. Sistem respiratorius : tidak ada keluhan 4. Sistem gastrointestinal : mual (+)

5. Sistem neuromuskuler : tidak ada keluhan 6. Sistem urogenital : tidak ada keluhan 7. Sistem integumen : tidak ada keluhan

I. RESUME PASIEN

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis, alloanamnesis dan dari catatan rekam medis. Pasien seorang laki-laki 67 tahun datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan sejak 6 bulan yang lalu pasien mengeluhkan nyeri kepala dari bagian dahi hingga ke kepala bagian tengah, terutama di daerah kepala bagian belakang. Nyeri kepala tumpul dan lamanya serangan tidak menentu dengan skala VAS 3 dari 10. Keluhan dirasakan hilang timbul, dipengaruhi aktifitas berat dan nyeri kepala hilang dengan beristirahat. Keluhan tidak disertai gejala lain seperti mual, muntah, pusing berputar, dan posisi.

Sejak 3 hari SMRS saat di rumah pasien merasakan nyeri kepala tumpul dari bagian dahi hingga ke kepala bagian tengah, tertutama di daerah kepala bagian belakang dan tengkuk. Nyeri dirasakan hilang timbul dan secara tiba-tiba membaik saat duduk ataupun tidur terlentang dengan skala VAS 5 dari 10. Nyeri kepala awalnya muncul hilang timbul terutama saat posisi pasien beraktifitas berat, dengan durasi setiap kali nyeri sekitar 1 jam. Nyeri kepala pasien akan mereda dengan tidur tengkurap. Pasien masih dapat menahan rasa nyeri kepala tersebut dan melakukan aktivitas di rumah seperti biasanya. Keluhan lain seperti demam, mual disangkal, muntah disangkal, silau saat melihat cahaya disangkal.

(7)

kabur disangkal, cedera kepala disangkal, kelemahan anggota gerak disangkal, pelo disangkal, kesulitan untuk menelan atau minum disangkal, kesemutan pada anggota gerak disangkal, telinga berdenging disangkal, keluar cairan dari telinga disangkal, nyeri pada telinga disangkal, pandangan silau disangkal, keluhan penurunan berat badan yang drastis akhir-akhir ini di sangkal, gangguan berkemih disangkal. Dikarenakan keluhan nyeri kepala tersebut semakin memberat dan disertai mual sehingga pasien diputuskan untuk di bawa ke IGD RSUD Ambarawa.

Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal. Riwayat vertigo diakui, sejak tiga tahun yang lalu dan sudah dilakukan pengobatan secara rutin tiap minggu di RSUD Ambarawa. Riwayat keganasan diakui, limfoma non hodgkin sejak 1 tahun yang lalu. Pada tahun 2016 pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan pusing dan pada pemeriksaan fisik didapatkan benjolan dibagian leher kanan. Oleh dokter diberikan rujukan dengan diagnosa limfoma non hodgkin, lalu pasien dilakukan tatalaksana lebih lanjut dengan pemeriksaan dan kemoterapi di RS Dr. Kariadi Semarang.

Riwayat sosial ekonomi pasien saat ini sudah tidak bekerja, pembayaran menggunakan BPJS non PBI. Kesan ekonomi cukup. Pasien menyangkal pernah minum minuman keras. Pasien menyangkal memakai obat-obatan terlarang, obat-obat yang dibeli di luar resep dokter dan jamu jamuan rutin.

J. DIAGNOSIS SEMENTARA

1. Diagnosis klinis : Nyeri kepala dari bagian dahi hingga ke kepala bagian tengah, tertutama di daerah kepala bagian belakang dan tengkuk sejak 6 bulan yang lalu

2. Diagnosis topis : Jaringan peka nyeri Ekstrakranial 3. Diagnosis etiologi :

a) Cephalgia Kronik Sekunder ec Metastase Limfoma Non-Hodgkin dd Post Kemoterapi Limfoma Non-Hodgkin

(8)

Cluster Headace dd Nyeri Kepala Lainnya K. DISKUSI PERTAMA

Dari hasil anamnesa didapatkan seorang pasien laki-laki 67 tahun mengeluhkan nyeri kepala dari bagian dahi hingga ke kepala bagian tengah, tertutama di daerah kepala bagian belakang dan tengkuk sudah 6 bulan yang lalu. Nyeri kepala timbul karena perangsangan terhadap struktur yang peka didaerah kepala dan leher yang peka terhadap rasa nyeri. Bangunan-bangunan peka nyeri pada kepala dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bangunan intrakranial meliputi sinus venosus, arteri-arteri basalis, durameter, nervus V, IX, X, dan bangunan ekstrakranial meliputi pembuluh darah dan otot kulit kepala, orbita, membrane mukosa sinus nasalis dan paranasalis, telinga luar dan tengah, gigi dan gusi, nervus cervical II dan III. Perangsangan bangunan-bangunan ekstrakranial akan dirasakan pada umumnya sebagai nyeri pada daerah terangsang. Sedangkan nyeri kepala sebagai akibat perangsangan bangunan intracranial akan diproyeksikan ke permukaan dan dirasakan di daerah distribusi saraf yang bersangkutan.

Keluhan nyeri kepala dapat disebabkan oleh riwayat penyakit dahulu berupa adanya keganasan limfoma non hodgkin nasofaring sejak 1 tahun yang lalu. Pada limfoma non hodgkin gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf kranialis. Gejalanya antara lain sakit kepala yang terus menerus dan rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen. Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari limfoma non hodgkin.

L. CEPHALGIA 1. Definisi

(9)

2. Epidemiologi

Faktor resiko terjadinya sakit kepala adalah gaya hidup, kondisi penyakit, jenis kelamin, umur, pemberian histamin atau nitrogliserin sublingual dan faktor genetik.

Prevalensi sakit kepala di USA menunjukkan 1 dari 6 orang (16,54%) atau 45 juta orang menderita sakit kepala kronik dan 20 juta dari 45juta tersebut merupakan wanita. 75 % dari jumlah di atas adalah tipe tension headache yang berdampak pada menurunnya konsentrasi belajar dan bekerja sebanyak 62,7 %. Menurut IHS, migren sering terjadi pada pria dengan usia 12 tahunsedangkan pada wanita, migren sering terjadi pada usia diatas 12 tahun. HIS juga mengemukakan cluster headache 80-90 % terjadi pada pria dan prevalensi sakit kepala akan meningkat setelah umur 15 tahun.

3. Etiologi

a) Penggunaan obat yang berlebihan.

Hampir semua obat sakit kepala, termasuk dan penghilang migrain seperti acetaminophen dan triptans, bisa membuat sakit kepala parah bila terlalu sering dipakai untuk jangka waktu lama. Menggunakan terlalu banyak obat dapat menyebabkan kondisi yang disebut rebound sakit kepala.

b) Stres

Stress adalah pemicu yang paling umum untuk sakit kepala, termasuk sakit kepala kronis. Selain itu, itu terkait dengan kecemasan dan depresi, yang juga faktor risiko untuk berkembang menjadi sakit kepala kronis.

c) Masalah tidur

(10)

Dokter tidak yakin persis mengapa, menjaga berat badan yang sehat tampaknya dapat dihubungkan dengan penurunan risiko untuk sakit kepala kronis. Sementara kafein telah ditunjukkan untuk meningkatkan efektivitas ketika ditambahkan ke beberapa obat sakit kepala, terlalu banyak kafein dapat memiliki efek yang berlawanan. Sama seperti obat sakit kepala berlebihan dapat memperburuk gejala sakit kepala, kafein yang berlebihan dapat menciptakan efek rebound.

d) Penyakit atau infeksi

Penyakit atau infeksi seperti meningitis, saraf terjepit di leher, atau bahkan tumor.

e) Gangguan lain

Gangguan lain seperti cedera kepala, penyakit mata, penyakit telinga, hidung, penyakit vascular.

4. Klasifikasi

Berdasarkan The International Classification of Headache Disorders, 2nd Edition, dari the International Headache Society (Sjahrir dkk, 2013) secara garis besar nyeri kepala diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Nyeri Kepala Primer 1) Migren

2) Tension-Type Headache 3) Cluster headache

4) Nyeri kepala primer lainnya b) Nyeri Kepala Sekunder

1) Nyeri kepala yang berkaitan dengan trauma kepala dan/atau leher 2) Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan vaskuler kranial dan/

atau servikalis

3) Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan non vaskuler

4) Nyeri kepala yang berkaitan dengan suatu substansi atau proses withdrawal nya

(11)

6) Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan hemostasis

7) Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan kranium, leher, mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut atau struktur fasial atau kranial lainnya

8) Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan psikiatri

Jenis-Jenis Nyeri Kepala:

Nyeri

Kepala Sifat Nyeri Lokasi Lama Nyeri Frekuensi Gejala

Migren

6-48 jam Sporadik Mual, muntah,

Unilateral 3-12 jam Sporadik Prodromal visual, mual,

orbita 15-20 menit Serangan berkelompok dengan

tegang Tumpul, ditekan Difus, Bilateral Terus menerus Konstan Depresi, ansietas Neuralgia

menerus Konstan Depresi, kadang-kadang psikosis Sinus Tumpul/

tajam Di atas sinus Bervariasi Sporadik atau konstan Rinore Lesi

desak ruang

Bervarias

i Unilateral (awal), Bilateral (lanjut)

Bervariasi,

(12)
(13)

headache).

Pada penelitian MRI (Magnetic Resonance Imaging) terhadap keterlibatan batang otak pada penderita migren, CDH (Chronic Daily Headache) dan sampel kontrol yang non sefalgik, didapat bukti adanya peninggian deposisi Fe di PAG pada penderita migren dan CDH dibandingkan dengan control.

Pada cephalgia, struktur di wajah yang peka terhadap rasa nyeri adalah kulit, fasia, otot-otot, arteri ekstra serebral dan intra serebral, meningen, dasar fosa anterior, fosa posterior, tentorium serebri, sinus venosus, nervus V, VII, IX, X, radiks posterior C2, C3, bola mata, rongga hidung, rongga sinus, dentin dan pulpa gigi. Sedangkan struktur yang tidak sensitif terhadap nyeri seperti parenkim otak, ependim ventrikel, pleksus koroideus, sebagian besar duramater, piarachnoid meningen. Pada struktur tersebut terdapat ujung saraf nyeri yang mudah dirangsang oleh:

a) Traksi atau pergeseran sinus venosus dan cabang-cabang kortikal b) Traksi, dilatasi, atau inflamasi pada arteri intrakranial dan ekstrakranial c) Traksi, pergeseran atau penyakit yang mengenai saraf kranial dan

servikal

d) Perubahan tekanan intrakranial yang meningkat

e) Penyakit jaringan kulit kepala, wajah, mata, hidung, telinga dan leher

6. Manifestasi Klinis

Menurut Arif Mansjoer, dkk (2000) manifestasi klinis adanya nyeri kepala atau cephalgia memerlukan anamnesis khusus yaitu:

a) Awitan dan lama serangan

b) Bentuk serangan; paroksismal periodik atau terus menerus c) Lokalisasi nyeri

d) Sifat nyeri; berdenyut-denyut, rasa berat, menusuk-nusuk, dll e) Prodromal

(14)

h) Faktor yang mengurangi atau memberatkan nyeri kepala i) Pola tidur

j) Faktor emosional/stress k) Riwayat keluarga l) Riwayat trauma kepala

m) Riwayat penyakit medik; peradangan selaput otak, hipertensi, demam tifoid, sinusitis, glaukoma, dsb.

n) Riwayat operasi o) Riwayat alergi p) Pola haid bagi wanita

q) Riwayat pemakaian obat; analgetik, narkotik, penenang, vasodilator

7. Macam- Macam Penyebab Cephalgia Sekunder

Nyeri kepala sekunder merupakan sakit kepala yang disebabkan adanya suatu penyakit tertentu (underlying disease). Pada sakit kepala kelompok ini, rasa nyeri di kepala merupakan tanda dari berbagai penyakit.

a) Nyeri Kepala akibat Kanker

Kanker tertentu dapat menyebabkan sakit kepala, terutama jenis-jenis ini:

1) Kanker otak dan sumsum tulang belakang 2) Tumor kelenjar pituitari

3) Kanker tenggorokan bagian atas, disebut kanker nasofaring 4) Beberapa bentuk limfoma

5) Kanker yang telah menyebar ke otak

Infeksi. Sinusitis dan meningitis dapat menyebabkan sakit kepala. Sinusitis adalah infeksi pada sinus. Ini adalah bagian berlubang di tulang di sekitar hidung. Dengan meningitis, selaput pelindung yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang membengkak.

Terapi kanker berikut dapat menyebabkan sakit kepala:

(15)

2) Terapi radiasi ke otak

3) Imunoterapi, pengobatan yang meningkatkan pertahanan alami tubuh untuk melawan kanker

Obat lainnya. Obat untuk gejala terkait kanker atau kondisi lain dapat menyebabkan sakit kepala:

1) Antibiotik, digunakan untuk mengobati infeksi

2) Antiemetik, digunakan untuk mencegah atau mengobati muntah 3) Obat jantung

Efek samping terkait kanker atau kondisi lainnya. Gejala atau efek samping yang berkaitan dengan kanker atau perawatan kanker juga dapat menyebabkan sakit kepala:

1) Anemia, jumlah darah merah rendah 2) Hiperkalsemia, kadar kalsium yang tinggi 3) Trombositopenia, jumlah trombosit yang rendah

4) Dehidrasi, hilangnya terlalu banyak air dari tubuh. Ini mungkin disebabkan oleh muntah hebat atau diare.

Faktor lain. Stres, kelelahan, kecemasan, dan masalah tidur juga bisa menyebabkan nyeri kepala.

Nyeri kepala adalah salah satu komplikasi paling umum dari perawatan kanker. Pasien dengan riwayat nyeri kepala sebelum perawatan mungkin lebih rentan. Namun semua pasien berisiko mengalami nyeri kepala. Mekanisme nyeri kepala sebagian besar tidak diketahui, tetapi nyeri kepala lebih sering terjadi pada agen yang menembus sawar darah otak, terutama temozolomide, nelarabine, dan intratekal (IT) atau methotrexate intravena dosis tinggi.

b) Nyeri kepala yang berkaitan dengan trauma kepala dan / atau leher.

(16)

perdarahan subdural atau epidural. Nyeri kepala setelah trauma biasanya merupakan bagian dari sindrom pasca trauma yang meliputi dizziness, kesulitan konsentrasi, gelisah , perubahan kepribadian , dan insomnia. Penatalaksanaan sesuai jenis nyeri kepala yang muncul pada pasca trauma.

c) Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan vaskuler cranial atau servikal

1) Nyeri kepala pada tekanan darah tinggi (hipertensi)

Tekanan darah tinggi dapat menimbulkan keluhan nyeri kepala. Semua penderita nyeri kepala harus mengetahui tekanan darahnya. Minum obat sakit kepala tanpa menurunkan tekanan darah dapat berbahaya, karena 'hipertensi' merupakan ancaman bagi terjadinya kerusakan organ target hipertensi (ginjal, otak, jantung dan pembuluh darah).

2) Nyeri kepala SAH (Subarachnoid Hemorhage)

Nyeri kepala terjadi mendadak, seluruh kepala, hebat, disertai muntah proyektil dan kadang – kadang kesadaran menurun dan pada pemeriksaan neurologis didapatkan tanda–tanda rangsangan meningeal.

d) Nyeri Kepala Yang Berkaitan Dengan Kelainan Non Vaskuler Intrakranial

(17)

Lokasinya sering menetap disuatu daerah. Nyeri sering terjadi pada saat bangun tidur pagi hari, dan diperburuk oleh maneuver valsa berupa batuk, bersin atau mengejan. Nyeri juga diperburuk dengan aktivitas fisik.

e) Nyeri kepala yang berkaitan dengan substansi atau withdrawalnya Nyeri kepala juga bisa terjadi karena terlalu lama (lebih dari 15 hari) minum obat sakit kepala, kemudian ketika 'putus obat' malah menimbulkan keluhan nyeri kepala.

f) Nyeri kepala yang berkaitan dengan infeksi

1) Nyeri kepala karena infeksi susunan saraf pusat terutama meningitis

Pada meningitis bakterialis, nyeri kepala ditandai gejala infeksi, gejala rangsang meningeal dan gejala serebral berupa kejang atau kelumpuhan. Meningitis tuberkulosa dapat menunjukkan gejala nyeri kepala berat sebelum munculnya gejala serebral lain dan gejala rangsang meningeal. Berbeda dengan peninggian tekanan intrakranial lain, pada meningitis tuberkulosa sering ditemukan atrofi papil N. II karena saraf otak ke II terkena langsung. Gejala abses otak mirip dengan tumor otak ditambah gejala infeksi.

2) Nyeri Kepala Pada Arthritis Servikal

Nyeri kepala disertai nyeri leher dan timbul dalam mengerakan kepala.

3) Nyeri Kepala Pada Abses Otak

Nyeri baru dirasakan, hilang-timbul, bersifat ringan sampai berat, dirasakan di satu titik atau di seluruh kepala Sebelumnya penderita mengalami infeksi telinga, sinus atau paru-paru atau penyakit jantung rematik atau penyakit jantung bawaan.

(18)

kranium, leher, mata, telinga, hidung, gigi, mulut, atau struktur facial atau kranial lainnya.

1) Nyeri kepala karena sakit gigi

Keluhan sakit gigi (nyeri gigi) dapat disebabkan karena berbagai penyakit pada gigi sehingga kelainan / penyakit pada gigi perlu dicari dan diatasi oleh dokter gigi.

2) Nyeri kepala pada Hidung i. Sinusitis

Nyeri kepala ringan hingga berat dirasakan di daerah muka, pipi atau dahi, biasanya disertai juga dengan keluhan 'THT' (telinga, hidung dan tenggorakan) yang lain, misalnya berdahak, hidung mampet, hidung meler dan lain-lain.

ii. Rhinitis

Nyeri kepala dan gangguan hidung (hidung tersumbat, rinore, rasa sesak atau terbakar) berulang, diakibatkan bendungan dan edema membran mukosa hidung. Nyeri kepala terutama pada bagian anterior, ringan sampai sedang dalam intensitasnya. Penyakit ini biasanya merupakan bagian dari reaksi individu selama stress. Seringkali disebut ‘rinitis vasomotor’.

3) Nyeri kepala pada kelainan mata

Kelainan mata seperti Iritis, glaukoma dan gangguan retina, dapat menimbulkan nyeri kepala dan bagian sekitarnya. Mata dapat tampak memerah atau disertai dengan gangguan penglihatan.

h) Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan psikiatrik

(19)

8. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang disarankan menurut Basuki Pramana (2007) adalah: a) Foto Rontgen terhadap tengkorak

b) Pemeriksaan kadar Lemak darah (kolesterol, Trigliuseride HDL dan LDL)

c) Kadar Hemoglobin darah ( Hb ) dll pemeriksaan

Lebih lanjut menurut Arif Mansjoer, dkk, (2000) pemeriksaan khusus pada cephalgia meliputi palpasi pada tengkorak untuk mencari kelainan bentuk, nyeri tekan dan benjolan. Palpasi pada otot untuk mengetahui tonus dan nyeri tekan daerah tengkuk. Perabaan arteri temporalis superfisialis dan arteri karotis komunis. Pemeriksaan leher, mata, hidung, tenggorok, telingan, mulut dan gigi geligi perlu dilakukan. Pemeriksaan neurologis lengkap, ditekankan pada fungsi saraf otak termasuk funduskopi, fungsi motorik, sensorik serta koordinasi.

Beberapa nyeri kepala menunjukkan tanda bahaya dan memerlukan evaluasi penunjang adalah:

1) Nyeri kepala hebat pertama kali yang timbul mendadak 2) Nyeri kepala yang paling berat yang pernah dialami

3) Nyeri kepala yang berat progresif selama beberapa hari atau minggu 4) Nyeri kepala yang timbul bila latihan fisik, batuk, bersin, membungkuk

atau nafsu seksual meningkat

5) Nyeri kepala yang disertai penyakit umum atau demam, mual, muntah atau kaku kuduk

6) Nyeri kepala yang disertai gejala neurologis seperti afasia, koordinasi buruk, kelemahan fokal atau rasa baal, mengantuk, fungsi intelek menurun, perubahan kepribadian dan penurunan visus.

Pemeriksaan penunjang tersebut antara lain:

(20)

2) Elektroensefalogram dilakukan bila ada riwayat kejang, kesadaran menurun, trauma kepala atau presinkop.

3) Foto sinus paranasal untuk melihat adanya sinusitis dan foto servikal untuk menetukan adanya spondiloartrosis dan fraktur servikal.

M. LIMFOMA NON-HODGKIN 1. Definisi

Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan prirner limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sangat jarang berasal dari sel NK ("natural killer") yang berada dalam sistem lirnfe; yang sangat heterogen, baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan, maupun prognosis1.

Limfoma non-Hodgkin (LNH) atau non-Hodgkin Lymphomas merupakan penyakit yang sangat heterogen dilihat dari segi patologi dan klinisnya. Penyebarannya juga tidak seteratur penyakit Hodgkin serta bentuk ekstra-nodal jauh lebih sering dijumpai3.

2. Epidemiologi

Limfoma maligna merupakan salah satu kanker yang dapat disembuhkan dengan kemoterapi atau dengan kombinasi radioterapi. Insiden penyakit ini khususnya LNH terlihat terus mengalami peningkatan sekitar 3,4% setiap tahunnya. The American Cancer Society memperkirakan terdapat 65.980 kasus baru setiap tahun dan 19.500 di antaranya meninggal dunia akibat LNH pada tahun 2009.

Di Indonesia, LNH menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak, bahkan Badan Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia (BAKORNAS HOMPEDIN) menyatakan, insiden Limfoma lebih tinggi dari leukemia dan menduduki peringkat ketiga kanker yang tumbuh paling cepat setelah melanoma dan paru2.

(21)

Etiologi terjadinya sebagian besar LNH sampai saat ini belum diketahui. Ada beberapa faktor risiko terjadinya LNH yaitu1,3,4:

a. Imunodefisiensi: diketahui sekitar 25% kelainan herediter langka yang berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain adalah severe combined immunodeficiency, hypogamma globulinemia, common variable immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia. Limfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan tersebut seringkali dihubungkan pula dengan Epstein-Barr virus (EBV) dan jenisnyaberagam, mulai dari hiperplasia poliklonal sel B hingga limfoma monokional.

b. Agen Infeksius: EBV DNA ditemukan pada95% limfoma Burkit endemik, dan lebih jarang ditemukan pada limfoma Burkit sporadik. Karena tidak pada semua kasus limfoma Burkit ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma Burkit belum diketahui. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor lingkungan dapat meningkatkan jumlah prekursor yang terinfeksi EBV dan meningkatkan risiko terjadinya kerusakan genetik. EBV juga dihubungkan dengan posttranspIant lymphoproIifer ative disorders (PTLDs) dan AIDS-associat ed lymphomas.

Selain EBV DNA, HTLV-1 juga merupakan agen penyebab leukimia/limfoma sel T dewasa/ imunodefisiensi (herediter atau didapat) yang merupakan faktor pencetus untuk terjadinya limfoma sel B. Pada sindrom defisiensi imun didapat (AIDS) terdapat peningkatan insidensi limfoma di tempat-tempat yang tidak umum, misalnya di sistem saraf pusat. Limfoma tersebut biasanya berasal dari sel B dan secara histologi berderajat tinggi atau sedang.

(22)

pencetusnya dikaitkan dengan infeksi Helicobacter. Infeksi hepatitis C juga telah diajukan sebagai faktor risiko terjadinya limoma non-Hodgkin.

c. Paparan Lingkungan dan Pekerjaan: Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan dengan risiko tinggi adalah petemak sefta pekerja hutan dan peftanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut organik.

d. Diet dan Paparan Lainnya: risiko LNH meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok. dan yang terkena paparan ultraviolet.

4. Klasifikasi dan Histopatologik

Klasifikasi histopatologik merupakan topik yang paling membingungkan dalam studi limfoma maligna karena perkembangan klasifikasi ini demikian cepat dan dijumpai berbagai jenis klasifikasi yang satu sama lain tidak kompatibel. Pada tahun 1994 telah dikeluarkan klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL) dan diterapkan secara luas. Klasifikasi REAL/WHO mencakup semua keganasan limfoid dan limfoma dan lebih berdasarkan klinis dibandingkan dengan skema-skema klasifikasi sebelumnya. Secara umum terjadi pergeseran pembagian limfoma yang awalnya hanya berdasarkan penampilan histologik menjadi lebih ke arah sindrom dengan gambaran morfologik, imunofenotipe, genetik, dan klinis yang khas. Klasifikasi ini juga berguna untuk mempertimbangkan kemungkinan asal keganasan masing-masing limfoid berdasarkan fenotipe dan status penataan ulang imunoglobulinnya3.

Tabel 1. Klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL) untuk neoplasma limfoid

(23)

Neoplasma prekursor sel B

 Limfoma/leukimia limfoblastik

prekursor B (ALL-B/LBL) Neoplasma sel B matur (perifer)

 Leukimia limfositik kronik sel

B/ Limfoma limfositik kecil

 Leukimia prolimfositik sel B  Limfoma limfoplasmasitik  Limfoma sel B zona marginal

limpa (limfosit vilosa)

 Leukimia sel berambut  Myeloma sel plasma/

plasmasitoma

 Limfoma sel B zona marginal

ekstranodal tipe MALT

 Limfoma sel mantel  Limfoma folikular

 Limfoma sel B zona marginal

nodal

 Limfoma sel B besar difus  Limfoma Burkitt

Neoplasma prekursor sel T

 Limfoma/leukimia limfoblastik

prekursor T (ALL-T/LBL) Neoplasma sel T matur (perifer)

 Leukimia prolimfositik sel T  Leukimia limfositik granular sel T  Leukimia sel NK agresif

 Leukimia/Limfoma sel T dewasa

(HTLV-1)

 Limfoma sel T/NK ekstranodal,

tipe nasal

 Limfoma sel T jenis enteropati  Mycosis fungoides/ sindrom

Sezary

 Limfoma sel besar anaplastik, tipe

kutaneus primer

 Limfoma sel T perifer, tidak

dispesifikasi

 Limfoma sel T angioimunoblastik  Limfoma sel besar anaplastik, tipe

sistemik primer

5. Patogenesis Limfoma Non Hodgkin

Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblas. Perkembangan limfosit terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak tergantung antigen (antigent independent) dan tahap yang tergantung anrigent (antigent dependent).

(24)

immunoglobuline gene rearrangement. Pada tahap akhir menghasilkan sel plasma yang akan pulang kembali ke sumsum tulang.

Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan tubuh seperti sel limfosit T dan B yang matur akan berproliferasi menjadi suatu sel yang disebut imunoblas T atau imunoblas B. Pada LNH, proses proliferasi ini berlangsung secara berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini disebabkan akibat terjadinya mutasi pada gen limfosit tersebut. Proliferasi berlebihan ini menyebabkan ukuran dari sel limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya membesar, kromatinnya menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat, dan protein permukaan selnya mengalami perubahan.

Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiv B cell dapat langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian besar naiv B cell dapat langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian besar naiv B cell mengalami transformasi melalui mantle cell, follicular B-blast, centroblast, centrocyte, monocyte B cell dan sel plasma.

Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Proses ini terjadi di dalam kelenjar getah bening, dimana sel limfosit tua berada dlluar "centrum germinativum" sedangkan imunoblast berada di bagian paling sentral dari "centrum germinativum" Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya makin besar; 2). Kromatin inti menjadi lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein permukaan sel mengalami perubahan reseptor1.

(25)

pertemuan ini Kirschhas telah memberikan bukti bahwa paparan kerja pestisida dapat meningkatkan laju pembentukan rekombinasi yang salah [misalnya, inv (7) PL3, Q35)] antara gen reseptor sel T. Sementara inversi ini tidak terkait dengan aktivasi onkogen, ini menunjukkan bahwa faktor-faktor eksogen dapat mempengaruhi proses rekombinasi dalam sel. telah dijelaskan penyusunan ulang kromosom, termasuk translokasi stabil dalam aplikator fumigan (pengasapan) terpajan fosfin9. Gen Ig di B-sel (dan T-sel reaktivitas gen dalam sel-T) mengalami perubahan struktural yang luas selama perkembangan normal. Ada dua proses penataan ulang terpisah: V-(D)-J penyusunan ulang yang terjadi selama tahap pro-B/pre-B awal dan berat rantai isotipe beralih yang terjadi di matang perifer B-sel. Dalam setiap proses DNA rusak dan bergabung kembali, enzim yang berbeda mungkin terlibat dalam kedua proses. V-(D)-J gen menata ulang langkah melibatkan gen Ig dalam tiga lokus kromosom yang berbeda: DHJH, VH DHJH pada kromosome (chr) 14; VKJK pada kromosom 2, dan V λJλ pada kromosom 229.

(26)

Selain mutasi gen, penuaan mungkin merupakan faktor penting dalam patogenesis Kelompok I LNH sel B, karena tumor ini terjadi terutama di kelompok usia yang lebih tua, dan peningkatan angka kejadian dalam setiap kelompok usia lebih dari 55 tahun. Penjelasan biologis bagaimana penuaan berpengaruh terhadap limfoma genesis belum dipahami dengan baik. Efek penuaan pada sistem kekebalan tubuh telah dipelajari selama beberapa tahun. Konsep bahwa penuaan adalah keadaan imunodefisiensi mungkin peryataan yang terlalu umum. Pada pemeriksaan sumsum tulang ditemukan Clonotypes baru. Hasil yang didapatkan oleh peneliti sebelumnya yaitu adanya disregulasi dari sistem kekebalan tubuh. Pertama, diketahui bahwa timus berinvolusi sehingga sel T bergantung lebih banyak pada kolam perifer. Selain itu, proliferasi sel T dan produksi IL-2 mengalami penurunan. Sel T autoreaktif muncul dengan bertambahnya usia. Dalam garis keturunan sel B respon humoral terhadap antigen asing menurun sementara produksi antibodi autoreaktif meningkat. Perubahan dalam repertoar B-sel pada tikus terjadi dengan penuaan yang mungkin berubah yaitu gen V, D,dan J. sel B manusia dari individu yang berusia tua mengalami proliferasi 50% kurang efisien dibandingkan dari usia muda, perbedaan ini mungkin karena gangguan dalam komponen jalur transduksi sinyal tertentu dalam sel-B. Penuaan juga berhubungan dengan ketidakseimbangan dalam T-dan B-repertoar. Pengaturan ukuran dan aktifitas proliferasi clonotypes B-sel tertentu pada orang tua mungkin kurang dikontrol dengan baik karena perubahan dalam kompartemen sel-T. Ini ditambah dengan peningkatan frekuensi autoreaktif clonotypes, dapat menghasilkan populasi B-sel yang kurang patuh pada peraturan oleh sel T, sehingga meningkatan risiko untuk mengalami pertumbuhan otonom9.

(27)

timbul dalam berbagai bentuk immunodeficiency seperti EBV+, menunjukkan peran partisipatif gen EBV dalam proses lymphomagenic. Mekanisme dasar untuk limfomagenesis pada immunodeficiency diduga melibatkan gangguan pengawasan imunologi dan kemampuan sel-T untuk menghilangkan sel-sel mengekspresikan antigen permukaan sel atipikal. Dalam sel B virus dipertahankan sebagai plasmid dalam sitoplasma sel yang beristirahat, sehingga sejumlah besar sel B terinfeksi. Kondisi ini akan mempengaruhi pertumbuhan sel B menjadi sel ganas. Sel B yang baru terinfeksi (nonneoplastic) dan baris sel lymphoblastoid yang dibiakkan dari darah orang yang terinfeksi terus-menerus mengekspresikan beberapa protein virus EBNAs 1, 2a, 3a, 3b, 3c dan EBNA-LP, LMP1, 2A, 2B tapi menghasilkan sangat sedikit virus. Protein membran merupaka target antigen untuk sitotoksik T-sel9.

Sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap rnempertahankan sifat "dasar"nya. Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat mudah masuk aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah, sedangkan sel kanker dari imunobias amat jarang masuk ke dalam aliran darah, namun dengan tingkat mitosis yang tinggi1.

6. Klasifikasi Limfoma Non-Hodgkin

Secara umum klasifikasi LNH dibuat berdasarkan kemiripan sel-sel pada suatu tipe LNH dengan limfosit normal dalam berbagai kompartemen diferensiasi. Klasifikasi histopatologik harus disesuaikan dengan kemampuan patologis serta fasilitas yang tersedia. Dua jenis klasifikasi yang paling umum dipakai adalah klasifikasi Kiel dan Working formulation. Dibawah ini di uraikan klasifikasi Rappaport yang merupakan awal klasifikasi LNH modern, Working formulation, serta klasifikasi terbaru REAL3,4.

(28)

a. Nodular (NLPD)

Klasifikasi Rappaport memakai dasar bentuk morfologik, makin mendekati bentuk limfosit kecil dianggap sel yang berdiferensiasi baik, sedangkan sel yang lebih besar dianggap berdiferensiasi tidak baik. Sehubungan dengan itu, dilihat susunan sel, apakah noduler, atau difus.

Klasifikasi Kiel

Klasifikasi Kiel membagi LNH menjadi 2 golongan besar, yaitu: a. LNH dengan derajat keganasan rendah

b. LNH dengan derajat keganasan tinggi

Klasifikasi Kiel sudah menyesuaikan dengan kompartemen dari kelenjar getah bening, serta membedakan asal sel, apakah dari limfosit B atau limfosit T

(29)

Large cell anaplastic (Ki-1+) Burkitt’s lymphoma

Lymphoblastic Rare types

Large cell anaplastic (Ki-1+) Lymphoblastic

Rare types

Perumusan Praktis untuk Penggunaan Klinis

Perumusan praktis untuk penggunaan klinik (working formulation for clinical usage) merupakan klasifikasi yang banyak dipakai. Sebetulnya klasifikasi ini merupakan jembatan antar berbagai klasifikasi yang ada.

Klasifikasi yang baru dibuat berdasarkan perkembangan limfosit yang dengan demikian dapat dihubungkan dengan letak sel pada kompartemen kelenjar getah bening normal. Maka secara umum klasifikasi limfoma berasal dari sel B adalah:

1. Precursor B-cell lymphoma

Limfoma dianggap berasal dari limfoblast. Dapat terjadi dalam bentuk leukemia ataupun limfoma, yang keduanya identik atau disebut lymphoblastic leukemia/lymphoma.

2. LNH yang berasal dari naive B-cell

LNH ini disebut sebagai small lymphocytic lymphoma (SLL) yang identik dengan bentuk chronic lymphocytic leukemia (CLL).

3. LNH berasal dari germinal center dari suatu folikel limfoid. LNH dari germinal center dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:

a. Follicular lymphoma: terdiri dari sel yang sangat mirip dengan sel dari germinal center normal. LNH jenis ini biasanya bersifat indolen, tetapi incurable. Follicular lympoma sering disertai translokasi kromosom 14 dan 18 {t(14;18)} yang menyebabkan juxtaposisi bcl-2 gene yang mengatur apoptosis dengan Ig heavy chain gene.

b. Large cell lymphoma: terdiri dari sel-sel besar yang terdapat dalam folikel normal (centroblast). Jenis ini sering bersifat difus karena itu disebut sebagai diffuse large cell lymphoma. LNH jenis ini bersifat agresif, tetapi sangat responsif terhadap kemoterapi.

(30)

LNH jenis ini disebut sebagai mantle zone lymphoma. Secara imunofenotipe mirip dengan SLL, tetapi menunjukkan CD5 positif. Perjalanan klinis slowly progressive dan incurable dengan standard chemotherapy.

5. LNH yang berasal dari marginal zone atau parafollicular

Termasuk dalam golongan ini adalah: B-cell monocytoid lymphoma, low-grade mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma dan splenic marginal zone lymphoma. Terdiri dari sel-sel limfosit kecil yang menempati zone marginal atau prafolikuler dari folikel limfoid normal.

7. Gambaran Klinis Limfoma Non-Hodgkin a. Gejala klinik limfoma non-hodgkin

1. Limfadenopati superfisial. Sebagian besar pasien datang dengan pembesaran kelenjar getah bening asimetris yang tidak nyeri pada satu atau lebih regio kelenjar getah bening perifer.

2. Gejal konstutisional. Demam, keringat pada malam hari, dan penurunan berat badan lebih jarang terjadi pada penyakit Hodgkin. Dapat terjadi anemia dan infeksi dengan jenis yang ditemukan pada penyakin Hodgkin

3. Gangguan orofaring. Pada 5-10% pasein, terdapat penyakit di struktur orofaringeal (cincin Waldeyer) yang dapat menyebabkan timbulnya keluhan sakit tenggorok atau nafas berbunyi atau tersumbat.

4. Anemia, netropenia dengan infeksi, atau trombositopeni dengan purpura merupakan gambaran pada penderita penyakit sumsum tulang difus. Sitpenia juga dapat disebabkan oleh autoimun.

(31)

6. Gejala pada organ lain. kulit, otak, testis, atau tiroid sering terkena. Kulit juga secara primer terkena pada dua jenis limfoma sel T yang tidak umum dan terkait erat: mikosis fungoides dan sindrom Sezary.

b. Kelainan Hematologi

Pada pemeriksaan hematologi seorang LNH dapat dijumpai kondisi sebagai berikut:

1. Biasanya ditemukan anemia normositik normokrom, tetapi hemolitik autoimun juga dapat terjadi3.

2. Pada penyakit lanjut yang disertai dengan keterlibatan sumsum tulang, mungkin terdapat netropenia, trombositopenia (khususnya jika limpa membesar), atau gambaran leukoeritroblastik.

3. Dapat dijumpa sel sel limfoma (misalnya sel zona selubung, sel limfoma folikuler berbelah, atau blast) dengan kelainan inti yang bervariasi, dapat ditemukan dalam darah tepi beberapa pasien.

4. Biopsi trephin sumsum tulang menunjukkan lesi fokal pada 20% kasus. keterlibatan sumsum tulang lebih sering ditemukan pada limfoma maligna derajat rendah. Pada pemeriksaan petanda imunologik dengan teknik fluorensi atau peroksidase dapat mendeteksi keterlibatan minimal (misalnya suatu populasi klonal sel B yang terbatas) yang mudah dikenali dengan mikroskop konvensional7. c. Petanda imunologik

Pemeriksaan petanda imunologik (immunological marker) untuk melihat ekspresi antigen pada permukaan sel sangat penting untuk menentukan jenis sel (sel B atau sel T) serta tingkat perkembangannya. Antigen diferensiasi kelompok yang berguna dalam penegakan diagnosis limfoma dapat dilihat pada tabel.

Tabel 4. Antigen diferensiasi kelompok (cluster differentiation, CD) Sel T Sel B Petanda aktivasi Antigen umum leokosit

(32)

CD7

Subset sel T CD4 CD8

CD24

Sel B langka CD5

Berbagai subtipe limfoma non-hodgkin dikaitkan dengan translokasi kromosom khas yang mempunyai nilai diagnostik dan prognostik. Kalainan yang sangat khas adalah t(8;4) pada limfoma Butkitt, t(14;18) pada limfoma folikular, t(11;14) pada limfoma sel selubung, t(2;5) pada sel besar anaplastik.

d. Kimia Darah

Dapat terjadi peningkatan asam urat serum. Uji fungsi hati yang abnormal mengesankan adanya penyakit diseminata. Kadar LDH serum meningkat pada penyakit yang lebih cepat berproliferasi dan kuas serta dapat digunakan sebagai suatu petanda prognostik.

9. Stadium Penyakit

Penentuan stadium didasarkan pada jenis patologi dan tingkat keterlibatan. Jenis patologi (tingkat rendah, sedang atau tinggi) didasarkan pada formulasi kerjayang baru. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor.

a. Formulasi kerja yang baru5 Tingkat rendah:

1. Limfositik kecil

2. Sel folikulas, kecil berbelah

3. Sel folikulas dan campuran sel besar dan kecil berbelah Tingkat sedang:

1. Sel folikulis, besar 2. Sel kecil berbelah, difus 3. Sel campuran besar dan kecil, difus 4. Sel besar, difus

(33)

1. Sel besar imunublastik 2. Limfoblastik

3. Sel kecil tak berbelah

b. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor1 Stadium I:

Keterlibatan satu daerah kelenjar getah bening (I) atau keterlibatan satu organ atau satu tempat ekstralimfatik(IIE)

Stadium II:

Keterlibatan 2 daerah kelenjar getah bening atau lebih pada sisi diafragma yang sama. II2: pembesaran 2 regio KGB dalam 1 sisi diafragma. II3: pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisi diafragma. IIE: pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalam 1 sisi diafragma dan 1 organ ekstra limfatik tidak difus / batas tegas.

Stadium III:

Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada kedua did diafragma (III), yang juga dapat disertai dengan keterlibatan lokal pada organ atau tempat ekstralimfatik (IIIE) atau keduanya (IIIE+S)

Stadium IV:

Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi secara difus.

10. Diagnosis a. Anamnesis

Umum:

 Pemebesaran kelenjar getah bening dan malaise umum

- Berat badan menurun 10% dalam waktu 6 bulan - Demam tinggi 380C 1 minggu tanpa sebab - Keringan malam

 Keluhan anemia

 Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring)

 Penggunaan obat (Diphantoine)

(34)

 Penyakit autoimun

 Kelainan darah

 Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis)

b. Pemeriksaan Fisik

 PembesaranKGB

 Kelainan/pembesaran organ

 Performace status: ECOG atau WHO/Kamofsky

c. Pemeriksaan Diagnostik a. Laboratorium

 Rutin

Hematologi:

- Darah perifer lengkap - Gambaran darah tepi Urinalisa:

- Urin lengkap Kimia klinik:

- SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam urat.

- Alkali fosfatase

- Gula darah puasa dan 2 jam pp - Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P

 Khusus

- Gamma GT

- Cholinesterase (CHE) - LDH/fraksi

- Serum Protein Elektroforesis (SPE) - Imuno Elektroforese (IEP)

(35)

 Biopsi KGB dilakukan hanya I kelenjar yang paling

representatif, superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenj ar perifer/superfi sial yang representatif, maka tidak perlu biopsi intra abdominal atau intratorakal. Spesimen kelenjar diperiksa:

- Rutin

Histopatologi: REAL-WHO dan Working Formulation

- Khusus

Imunoglobulin permukaan dan Histo/sitokimia

 Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi dan sitologi.

FNAB dilalrukan atas indikasi tertentu.

 Tidak diperlukan penentuan stadium laparatomi.

c. Aspirasi sumsum tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina iliaca dengan hasil spesimen sepanjang 2 cm.

d. Radiologi

 Rutin:

- Toraks foto PA dan lateral

- CT scan seluruh abdomen (atas dan bawah)

 Khusus:

- CT scan toraks - USGAbdomen

- Limfografi,limfosintigrafi

e. Cairan tubuh lain: cakan pleura, asites, cairan serebrospinal j ika dilakukan punksi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, di samping pemeriksaan rutin lainnya.

f. Immunophenotyping: Parafinpanel: CD 20, CD 3.

(36)

dipakai (di Indonesia umumnya gabungan working formulation dan Kiel). Kemudian dilakukan prosedur penderajatan penyakit sehingga derajat penyakit dapat ditentukan.

11. Penatalaksanaan

Terapi untuk LNH terdiri atas terapi spesifik untuk membasmi sel limfoma dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita atau untuk menanggulangi efek samping kemoterapi atau radioterapi. Terapi spesifik untuk LNH dapat diberikan dalam bentuk berikut:

1. Radioterapi

a. Untuk penyakit yang terlokalisir (derajat I) b. Untuk ajuvan pada bulky disease

c. Untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut 2. Kemoterapi

a. Kemoterapi tunggal (singel agent)

Chlorambucil atau siklofosfamid untuk LNH derajat keganasan rendah

b. Kemoterapi kombinasi dibagi menjadi 3, yaitu: i. Kemoterapi kombinasi generasi I terdiri atas:

 CHOP (cyclophosphamide, doxorubicine, vincristine,

prednison)

 CHOP-Bleo/Bacop (CHOP + bleomycine)

 COMLA (cyclophosphamide, vincristine, methotrexate with

leucovorin rescue)

 CVP/COP (cyclophosphamide, vincristine, prednison)

 C-MOPP (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine,

prednison, procarbazine)

ii. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:

 COP-Blam (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine,

(37)

 Pro-MACE-MOPP (prednison, methotrexate with leucovorin

rescue, doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide, mechlorethamine, vincristine, procarbazine).

 M-BACOD (methotrexate with leucovorin rescue, bleomycin,

doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, dexamethasone). iii. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:

 COPBLAM III (cyclophosphamide, infusional vincristine,

prednison, infusional bleomycin, doxorubicine, procarbazine).

 ProMACE-CytaBOM (prednison, methotrexate with

leucovorin rescue, doxorubicine, doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide, cytarabine, bleomycin, vincristine, methotrexate with leucovorin rescue).

 MACOP-B (methotrexate with leucovorin rescue,

doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, prednison, bleomycin).

Dari perkembangan terapi sampai saat ini ternyata kemoterapi kombinasi CHOP terbukti paling efektif dibandingkan kemoterapi kombinasi lain. penambahan jenis kemoterapi ataupun lama pemberian tidak menambah angka kesembuhan. Oleh karena itu, kemoterapi generasi kedua dan ketiga jarang digunakan. (hemato merah).

1. Transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel induk merupakan terapi baru dengan memberikan harapan kesembuhan jangka panajang. 2. Kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem

cell transplantasi.

3. Terapi dengan imunomodulator

Terapi dengan interferon diberikan untuk indolent lymphoma, dikombinasikan dengan kemoterpai atau diberikan setelah kemoterapi untuk memperpanjang masa remisi. Tetapi hasilnya sampai sekarang masih kontroversial.

(38)

Antibodi monoklonal: rituximab suatu chimeric monoclonal antibody ditujukan untuk antigen CD20 yang diekspresikan oleh semua sel limfosit B. Pemberian rituximab intravena setiap minggu selama 4 minggu memberikan remisi parsial pada 50% LNH indolen. Sekaran gcenderung digabung dengan kemoterapi (CHOP) dan juga dicobakan pada LNH agresif.

Regimen kemoterapi yang paling umum dipakai adalah CHOP: 1. Cyclophosphamide 750 mg/m2 i.v. hari 1

2. Hydroxydaunomycine (adriamycine) 50 mg/m2 i.v. hari 1 3. Oncovin (vincristine) 2 mg/m2 i.v. hari 1 dan 5

Siklus diulangi setiap 3 minggu, sampai terjadi remisi komplit, kemudian ditambah 2 siklus lagi. Jika sampai siklus ke-6 tidak terjadi remisi komplit, sebaiknya diganti regimen lain. Data terbaru menunjukkan bahwa penambahan anti-CD20 (Rituximab) pada terapi CHOP memperbaiki tingkat remisi DLCL8.

12. Prognosis

LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik yaitu Indolent Lymphoma dan Agresif Lymphoma. LNH Indolen memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median survival I 0 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif. Risiko kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologis "divergen" baik pada kelompok Indolen maupun Agresif.

(39)

stadium anatomis, dan jumlah lokasi ekstra nodal.

Setiap faktor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga abnormalitas dijumlahkan untuk mendapatkan indeks prognostik. Skor yang didapat arfiara 0-5. Pada pasien usia <60 “ (age adjusted lPl), indeks yang digunakan lebih sederhana yaitu hanya meliputi faktor stadium anatomis, serum LDH, dan status “performance”, tanpa status ekstra nodal.

Gambar 1. Indeks Prognostil Pasien LNH

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V

N. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Sabtu, 1 Desember 2018 pukul 15.15 di bangsal Dahlia.

Status generalisata

a) Keadaan umum : Tampak sakit

b) Kesadaran : Composmentis / GCS = E4M6V5= 15

c) VAS : 7 dari 10

d) Vital sign

 TD : 90/70 mmHg

 Nadi : 80 x/menit

(40)

 Suhu : 36,40 C (axiller)

 SpO2 : 99%

e) Status internus

1) Kepala : Kesan mesocephal, tidak ada kelainan

2) Mata :

3) Hidung : Rhinorea (-)

4) Wajah : Simetris, nyeri tekan maxillaris (-) 5) Mulut : Mukosa tidak hiperemis (-)

6) Gigi : gigi karies (-)

7) Telinga : Otorhea (-), tinitus (-)

(41)

3. Perkusi

Inspeksi : ictus cordis tampak, ICS normal.

Palpasi : ictus cordis teraba, kuat angkat (+), teraba 1-2 cm medial ICS V linea midclavikularis sinistra

Perkusi :

Kanan jantung : ICS V linea sternalis dextra

Kiri bawah : ICS V 1-2 medial midclavicularis sinistra

(42)

Kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra Auskultasi : Suara jantung murni: Suara I dan Suara II regular,

murmur (-), gallop (-).

10) Abdomen : datar, timpani, BU (+) normal, hepar & lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrik (-)

11) Kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan 12) Ekstremitas :

a) Tingkah laku : Normoaktif b) Perasaan hati : Normotimik c) Orientasi : Baik

d) Kecerdasan : Normal e) Daya ingat : Normal 2. Status neurologis

a) Sikap tubuh : Lurus dan simetris b) Gerakan abnormal : Tidak ada

c) Kepala : nyeri kepala tumpul dari bagian dahi hingga ke kepala bagian tengah, tertutama di daerah kepala bagian belakang dan tengkuk

d) Nervus cranialis :

N. I (OLFAKTORIUS) Lubang hidung Kanan

Lubang hidung Kiri

(43)

N. II (OPTIKUS) Mata Kanan Mata Kiri

Daya Penglihatan Normal Normal

Pengenalan Warna Normal Normal

Lapang pandang Normal Normal

N.III (OKULOMOTORIS) Mata Kanan Mata Kiri

Ptosis -

-Gerak Mata Ke Atas + +

Gerak Mata Ke Bawah + +

Gerak Mata Ke Media + +

Ukuran Pupil 3mm 3mm

Bentuk Pupil Isokor Isokor

Reflek Cahaya Langsung + +

Reflek Cahaya Konsesuil + +

Strabismus Divergen -

-Diplopia -

-N.IV (TROKHLEARIS) Mata Kanan Mata Kiri

Gerak Mata Lateral Bawah - +

Strabismus Konvergen -

-Diplopia -

-N. V (TRIGEMINUS) Kanan Kiri

Mengigit Normal Normal

Membuka Mulut Normal Normal

Sensibilitas Muka Atas Normal Normal

Sensibilitas Muka Tengah Normal Normal

Sensibilitas Muka Bawah Normal Normal

Reflek Kornea + +

N. VI (ABDUSEN) Mata Kanan Mata Kiri

Gerak Mata Lateral Normal Normal

Starbismus Konvergen -

-Diplopia -

-N. VII (FASIALIS) Kanan Kiri

Kerutan Kulit Dahi Normal Normal

Kedipan Mata Normal Normal

Lipatan Nasolabial Normal Normal

Sudut Mulut Normal Normal

(44)

Mengangkat Alis Normal Normal

Menutup Mata Normal Normal

Meringis Normal Normal

Tik Fasial -

-Lakrimasi -

-Daya Kecap 2/3 Depan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. VIII (AKUSTIKUS) Kanan Kiri

Mendengar Suara Berbisik Normal Normal

Mendengar Detik Arloji Normal Normal

Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.IX (GLOSSOFARINGEUS) KETERANGAN

Arkus Faring Simetris

Daya Kecap 1/3 Belakang Tidak dinilai

Reflek Muntah (+)

Sengau (-)

Tersedak (-)

N. X (VAGUS) KETERANGAN

Arkus faring Simetris

Reflek muntah (+)

Bersuara Normal

Menelan Normal

N. XI (AKSESORIUS) Keterangan

Memalingkan Kepala Normal

Sikap Bahu Normal

Mengangkat Bahu Tidak dapat dinilai

Trofi Otot Bahu Eutrofi

N. XII (HIPOGLOSUS) Keterangan

Sikap lidah Normal

Artikulasi Normal

Tremor lidah (-)

Menjulurkan lidah Normal

Trofi otot lidah (-)

(45)

e) Fungsi motorik

Kanan Kiri

Gerakan Bebas Bebas

Kekuatan 555 555

Tonus + +

f) Refleks Fisiologis

Kanan Kiri

Refleks Biceps Normal Normal

Refleks Triceps Normal Normal

Refleks Ulna dan Radialis Normal Normal

Refleks Patella Normal Normal

Refleks Achilles Normal Normal

g) Refleks Patologis

Kanan Kiri

Babinski -

-Chaddock -

-Oppenheim -

-Gordon -

-Schaeffer -

-Mendel Bachterew -

-Rosollimo -

-Gonda -

-Hofman Trommer -

-h) Fungsi Sensorik

Kanan Kiri

Eksteroseptif Terasa Terasa

Rasa nyeri Terasa Terasa

Rasa raba Terasa Terasa

Rasa suhu Terasa Terasa

Propioseptif Terasa Terasa

Rasa gerak dan sikap Terasa Terasa

Rasa getar Terasa Terasa

Diskriminatif Terasa Terasa

Rasa gramestesia Terasa Terasa

Rasa barognosia Terasa Terasa

Rasa topognosisa Terasa Terasa

(46)

Kaku kuduk

-j) Pemeriksaan fungsi luhur dan vegetatif Fungsi luhur : baik

Fungsi vegetatif : BAK lancar dan selama perawatan belum BAB O. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium, tanggal 30 November 2018

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

DARAH LENGKAP

Hemoglobin 11,9 11,7 – 15,5 g/dl

Leukosit

Eritrosit 6,57 H 3,8 – 5,2 juta

Hematokrit 35,8 35 – 47 %

Trombosit 219 150 – 400 ribu

(47)

GDP 99 82 – 115 mg/dl

SGOT 27 0 – 35 U/L

SGPT 39 0 – 35 U/L

Ureum 35 10 – 50 mg/dl

Kreatinin (1,5) H 0,62 – 1,1 mg/dl

HDL

 HDL Direct

 LDL Cholesterol

36 109

37 – 92 mg/dl <150 mg/dl

Asam urat 8,6 (H) 2 – 7 mg/dl

Cholesterol 163 <200 mg/dl

Trigliserida 89 70 – 140 mg/dl

P. DIANOSIS AKHIR

1. Diagnosis klinis : Nyeri kepala bagian dahi hingga kepala bagian tengah, tertutama di daerah kepala bagian belakang dan tengkuk sejak 6 bulan yang lalu disertai mual

2. Diagnosis topis : Jaringan peka nyeri Ekstrakranial

3. Diagnosis etiologi : Cephalgia Kronik Sekunder ec Metastase Limfoma Non Hodgkin dd Post Kemoterapi Limfoma Non Hodgkin

Q. DISKUSI KEDUA

(48)

pemeriksaan diatas tidak didapatkan kelainan pada status neurologi, nervus cranialis lainnya tidak didapatkan adanya kelainan. Pada pemeriksaan fungsi motorik, fungsi sensorik dan reflek fisiologis tidak ditemukan adanya kelainan. Pada pemeriksaan hasil lab didapatkan hasil peningkatan pada neutrofil, RDW, Kreatinin, dan Asam Urat walaupun tidak signifikan.

Sebagian besar pasien dengan nyeri kepala pada pemeriksaan fisiknya ditemukan normal. Hanya sebagian kecil saja yang tidak normal. Apabila ditemukan ketidaknormalan pada pemeriksaan fisik pasien dengan nyeri kepala, maka hal ini merupakan tanda bahaya (red flags). Red flags adalah tanda bahaya atau kondisi yang harus diwaspadai. Beberapa hal yang terkategori sebagai red flags pada kasus nyeri kepala adalah.

Kemudian pada anamnesis pasien didapatkan data bahwa pasien memiliki riwayat Limfoma Non Hodgkin sejak 1 tahun yll, hal ini dapat sebagai pencetus dari terjadinya keluhan nyeri kepala yang terus menurus pada pasien yaitu berdasarkan terjadinya metastase dari kanker tersebut yang menyebar ke otak dan saraf-saraf kranialis secara hematogen, walaupun harus dilakukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut seperti CT-scan untuk memastikannya, Menurut perdossi (2006) Nyeri kepala karena adanya gangguan structural seperti HIV, kanker, meningitis, tumor metastasis, gangguan intra kranial lain dikategorikan dalam nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala dapat disebabkan multifaktorial, kanker dalam bentuk limfoma dan adanya metastasis di otak dapat menyebabkan gejala klinis ini.

(49)

R. TERAPI

Pada pasien ini diberikan terapi : 1. Infus Asering 20 tpm

2. Inj. Piracetam 3 x 3 gr 3. Inj. Citicolin 2 x 250mg 4. P.O Ranitidin 2 x 1 5. P.O Diazepam 2 x 2mg 6. P.O Paracetamol 2 x 650 mg 7. P.O Flunarizin 2 x 5 gr

S. INNITIAL PLAN

1. Pemeriksaan Penunjang a) CT – Scan

b) MRI

c) Pemeriksaan Serologis 2. Tatalaksana

a) Radioterapi b) Kemoterapi c) Operasi d) Imunoterapi

DISKUSI 3

(50)

dan juga dapat mengurangi severitas atau kemunculan post traumatik / concussion sindrom.

2. Citicolin berperan untuk perbaikan membran sel saraf melalui peningkatan sintesis phosphatidylcholine dan perbaikan neuron kolinergik yang rusak melalui potensiasi dari produksi asetilkolin. Citicoline juga menunjukkan kemampuan untuk meningkatkan kemampuan kognitif, Citicoline diharapkan mampu membantu rehabilitasi memori pada pasien dengan luka pada kepala dengan cara membantu dalam pemulihan darah ke otak. Studi klinis menunjukkan peningkatan kemampuan kognitif dan motorik yang lebih baik pada pasien yang terluka di kepala dan mendapatkan citicoline. Citicoline juga meningkatkan pemulihan ingatan pada pasien yang mengalami gegar otak. 3. Ranitidine merupakan antagonis reseptor H2 (AH2) yang bekerja

menghambat sekresi asam lambung. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung, dengan pemberian ranitidine maka reseptor tersebut akan dihambat secara selektif dan reversible sehingga sekresi asam lambung dihambat. Ranitidine diberikan sebagai gastroprotektor dan mencegah efek samping dan interaksi obat lain.

4. Diazepam merupakan turunan bezodiazepin. Kerja utama diazepam yaitu potensiasi inhibisi neuron dengan asam gamma-aminobutirat (GABA) sebagai mediator pada sistem syaraf pusat. Diazepam diberikan sebagai muscle relaxant pada kasus ini.

5. Paracetamol adalah jenis obat yang termasuk kelompok analgesik atau pereda rasa sakit. Paracetamol juga bisa dipakai untuk menurunkan demam. Paracetamol bekerja mengurangi rasa sakit dengan cara mengurangi produksi zat dalam tubuh yang disebut prostaglandin. Prostaglandin adalah unsur yang dilepaskan tubuh sebagai reaksi terhadap rasa sakit. Paracetamol menghalangi produksi prostaglandin.

(51)

Flunarizine juga terbukti dapat menghambat kontraksi otot polos pembuluh darah, melindungi kekakuan sel darah merah serta mampu melindungi sel-sel otak dari efek hipoksia (kekurangan oksigen pada jaringan tubuh yang terjadi akibat pengaruh perbedaan ketinggian)

T. PROGNOSIS

Death : dubia ad bonam

Disease : dubia ad bonam Disability : dubia ad bonam Discomfort : dubia ad bonam Dissatisfaction : dubia ad bonam Destitution : dubia ad bonam

FOLLOW UP

S

O

A P

Kamis, 29 November 2018

Pasien mengeluhkan nyeri kepala, pusing (+) dan cekot-cekot. Mual (+), muntah (-), riwayat limfoma non hodgkin

GCS : E4M6V5 VAS : 8 dari 10 TD : 130/80 mmHg N : 68 x/menit RR : 20 x/menit T : 36,5 0C Cephalgia Kronis 1. Infus Asering 20 tpm 2. Inj. Ketorolac 3 x 30 mg 3. Inj. Piracetam 3 x 3 gr 4. Inj. Citicolin 2 x 500 mg

S O

Jumat, 30 November 2018

(52)

A P

VAS : 7 dari 10 TD : 100/80 mmHg N : 80 x/menit RR : 20 x/menit T : 36 0C Cephalgia kronis

1. Infus Asering 20 tpm 2. Inj. Ketorolac 3 x 30 mg 3. Inj. Piracetam 3 x 3 gr 4. Inj. Citicolin 2 x 500 mg 5. Inj. Mecobalamin 1x1 6. P.O Renadinac 3 x 2 tab 7. P.O Diazepam 2 x 1 mg 8. P.O Ranitidin 2 x 1 tab

S O

A P

Sabtu, 1 Desember 2018

Pasien mengeluhkan nyeri kepala, pusing (+). Mual (-), muntah (-) GCS : E4M6V5

VAS : 5 dari 10 TD : 90/70 mmHg N : 82 x/menit RR : 18 x/menit T : 36,4 0C Cephalgia kronis

(53)

9. P.O flunarizin 2 x 5 g

Sudah membaik, Mual (-), muntah (-) GCS : E4M6V5

1. Infus Asering 20 tpm 2. Inj. Citicolin 2 x 500 mg 3. P.O Renadinac 3x2 tab 4. P.O Diazepam 2 x 1 mg 5. P.O Paracetamol 2 x 650 mg 6. P.O flunarizin 2 x 5 g

(54)

5. P.O Paracetamol 2 x 650 mg 6. P.O flunarizin 2 x 5 g

(55)

DAFTAR PUSTAKA

1. Gilroy, J. Basic neurology. 3rd ed. Michigan: McGraw-Hill. 2000. p 123-126. 2. Srivasta S. Pathophysiology and treatment of migraine and related headache.

[Internet]; 2010 Mar 29 [cited 2013 February 14]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1144656-overview.

3. Katzung, Bertram. Basic and Clinical Pharmacology. 10th edition. Boston: McGraw Hill. 2007. p 289

4. Chawla J. Migraine Headache: Differential Diagnoses & Workup. [Internet]; 2010 Jun 3 [cited 2013 February 14]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1142556-diagnosis.

5. Brunton, LL. Goodman and Gilman’s Pharmacology. Boston: McGraw-Hill. 2006.

6. Gladstein. Migraine headache-Prognosis. [Internet]; 2010 Jun 3 [cited 2013

February 14]. Available from:

http://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_migraines_000097_2.htm 7. Blanda, M. Migraine headache. [Internet]; 2010 Jul 12 [cited 2013 February

14]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/792267-overview 8. Chawla J. Migraine headache: Follow-up. [Internet]; 2010 Jun 3 [cited 2013

February 14]. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1142556-followup

9. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. Edisi 4. Jakarta: EGC, 2010. Hal: 358-370.

10. Brunton, LL. Goodman and Gilman’s Pharmacology. Boston: McGraw-Hill. 2006.

11. Eccher M, Suarez JI. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics. In : Suarez JI, ed. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey : Humana Press.

12. Ginsberg, L. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Edisi-8. Erlangga Medical Series. Jakarta. 74-75

(56)

Department of Neurology University of California. San Francisco. Diunduh dari : http://www.americanheadachesociety.org.

14. Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

15. Lumbantombing, SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2004.

16. Pertemuan Nasional III Nyeri, Nyeri Kepala & Vertigo PERDOSSI, Solo, 4-6 Juli 2008.

17. Price Sylvia. Patofisiologi. Edisi 6. Volume 1. EGC: Jakarta. 2006. hal : 231-236 & 485-90.

18. Rasad, Sjahriar. 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Halaman 359.

19. Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. 2000. Oftalmologi umum (General ophthalmology) edisi 17. EGC: Jakarta. p. 12-199.

20. Khurana. Diseases of retina in comprehensive ophthalmology 4th edition. New

Age International Limited Publisher: India. p. 249- 279.

21.Setioyohadi, B. 2009. Limfona Non-Hodgkin. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 1251-1260. 22.Sutrisno, H. 2010. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Limfoma

Non-Hodgkin Yang Dirawat Di Rsup Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam volume 2; 96-102

23.Hoffbrand A.V. 2005. Limfoma maligna. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta: EGC; 185-198

24.Bakta IM. 2007. Limfoma maligna. Hematologi klinik ringkas. Cetakan I. Jakarta: EGC;.p.192- 219.

25.Santoso, M., Krisfu, C. 2004. Diagnostik dan Penatalaksanaan LNH. Dexa media: No. 4(17).

26.Emmanouillides C, Casciato DA. 2004. Hodgkin and non-Hodgkin lymphoma. In Manual of clinical oncology, 5th Ed. Lippincot Williams & Wilkins : 435-56.

(57)

28.Forspointner R, Dreyling M, Repp R, et all. 2004. The summary: The addition of rituximab to a combination of fludarabine, cyclophosphamide, mitoxantrone (FCM) significantly increases the response rate and prolongs survival as compared to FCM alone in patients with relapsed and refractory follicular and mantle cell lymphomas. Results from a prospective randomized study of the German Low Grade Lymphoma Study Group (GLSG). Blood (4); 3061-7l.

29.Potter M. 1992. Pathogenetic Mechanisms in B-Cell Non-Hodgkin's Lymphomas in Humans. Cancer Research. 52: 5525s-5528s.

30.Pasqualucci, at al. 2003. Molecular Pathogenesis of Non-Hodgkin's Lymphoma: the Role of Bcl-6. Institute for Cancer Genetics, Columbia University. Vol 44 (S3) S5-S12.

Gambar

Tabel 3. Klasifikasi Kiel
Tabel 4. Antigen diferensiasi kelompok (cluster differentiation, CD)
Gambar 1. Indeks Prognostil Pasien LNH

Referensi

Dokumen terkait

selain membuka layanan 7 hari dalam seminggu, perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta menyediakan fasilitas berupa Wireless hotspot dan beberapa komputer yang

Fungsi dari pengukuran debit aliran adalah untuk mengetahui seberapa  banyak air yang mengalir pada suatu sungai dan seberapa cepat air tersebut mengalir dalam

memberikan obat lewat telepon diterima secara benar Apa yang anda lakukan sebelum memberikan obat kepada pasien.

Saya berpendapat demikian kerana aktiviti kebahasaan yang dianjurkan oleh pihak sekolah dapat menarik minat para pelajar untuk menggunakan bahasa kebangsaan yang betul

Berdasarkan pemikiran di atas, penulis tertarik untuk mengembangkan algoritma cepat untuk penduga GS regresi berganda dengan memodifikasi metoda yang dipakai dalam

Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang hendak diteliti yaitu analisis yuridis mengenai pengaturan sanksi terkait dengan pelaksanaan tanggung jawab

Pada realisasi Pendistribusian BBM Tahun 2017 dari H-16 s.d H+2, terdapat kenaikan yang signifikan terjadi pada hari ke-7 (H-9) dengan kenaikan sebesar 64% apabila dibandingkan

CAN Tour and Travel adalah 2 orang, karena angka yang didapat diasumsikan bahwa jumlah tenaga kerja staff reservasi yang hanya satu pada saat ini tidak dapat