• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN UPAYA PAKSA YANG DILAKUKAN DENSUS 88 ANTI TEROR DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA TERORISME (Tinjauan Terhadap Penegakan Ham Di Indonesia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PELAKSANAAN UPAYA PAKSA YANG DILAKUKAN DENSUS 88 ANTI TEROR DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA TERORISME (Tinjauan Terhadap Penegakan Ham Di Indonesia)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN UPAYA PAKSA YANG DILAKUKAN DENSUS 88 ANTI TEROR DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA TERORISME

(Tinjauan Terhadap Penegakan Ham Di Indonesia)

(Jurnal)

Oleh

JOHAN IMMANUEL

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

▸ Baca selengkapnya: hal yang dilakukan oleh bu veni dalam mengungkapkansejarah tanam paksa di atas menggunakan pendekatan ….

(2)

ABSTRAK

PELAKSANAAN UPAYA PAKSA YANG DILAKUKAN DENSUS 88 ANTI TEROR DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA TERORISME

(Tinjauan Terhadap Penegakan Ham Di Indonesia) Oleh :

Johan Immanuel, Sunarto, Gunawan Email :johanimsnuel@gmail.com

(3)

I. PENDAHULUAN

Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.1

Peristiwa bom Bali yang menghentakkan dunia oleh pelaku terorisme, tanggal 1 Oktober 2005, ledakan bom di R.AJA’s Bar dan Restaurant, Kuta Square, Pantai Kuta dan di Nyoman Cafe’Jombaran, telah mengakibatkan 22 orang meninggal dan 102 orang luka-luka. Tanggal 17 Juli 2009, kembali terjadi pengeboman di Hotel JW Mariott dan Hotel Ritz Carlton yang membuat Indonesia menjadi ancaman dari para pelaku terorisme yang merenggut nyawa manusia. Peristiwa ini telah membuat 9 orang meninggal dan 50 orang luka-luka, diantaranya warga negara Indonesia dan warga Asing. Tanggal 8 Maret 2016, Densus 88 AT meringkus terduga pelaku terorisme di Klaten, Jawa Tengah dan membuat terduga teroris Siyono meninggal. Beberapa pendapat baik Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak

1

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Penetapan Atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Kekerasan (KONTRAS), dan Ahli Hukum Pidana menyatakan penangkapan Siyono terduga teroris tidak sesuai hukum acara pidana, baik tidak ada surat penangkapan, surat penggeledahan, maupun status Siyono yang belum tersangka.

Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme. Untuk melakukan pengusutan diperlukan perangkat hukum yang dapat mencegah dan memerangi terorisme tersebut. Namun untuk mendapatkan kepastian hukum hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan kebijakan criminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme.

Terorisme sebagai salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) yang bersifat global membuat Polri membentuk satuan khusus untuk menangani kejahatan ini. Penanganan yang dilakukan Polri dalam menugaskan satuan khusus yaitu Detasemen Khusus Anti Teror Polri (Densus 88 At). Melalui Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, hal ini sekaligus menandai terbentuknya Detasemen Khusus 88 Anti Teror, disingkat Densus 88 AT Polri. Keberadaan Skep Kapolri tersebut merukan tindak lanjut dari diterbitkannya Undnag-Undnag Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme atau yang biasa disebut dengan Undang-Undang Anti Terorisme yang mempertegas kewenangan Polri sebagai unsur utama dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.

(4)

preventif, deradikalisasi, reperesif, dan rehabilitasi. Ipaya preventif dimaksud untuk mencegah wilayah dan warga masyarakat dengan mengedapankan fungsi intelijen atau penyelidikan yaitu kegiatan deteksi dan cegah dini seperti

surveillance, identifikasi dan dukungan teknis lainnya, upaya deradikalisasi yaitu merubah pemahaman radikal terhadap orang/kelompok yang dianggap radikal, upaya represif dilaksanakan apabila telah terjadi peledakan bom.teror dengan melakukan penyidikan seperti pengumpulan bukti-bukti, penangkapan, penahan, penyitaan barang bukti, membuat berkas perkara dan pengiriman berkas perkara ketingkat Kejaksaan/JPU, upaya rehabilitasi diperlukan guna mengembalikan suatu tempat atau daerah yang terkena dampak kegiatan terorisme.

Ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan tindak pidana terorisme hanya dengan memperoleh bukti permulaan yang cukup, menggunakan setiap laporan intelijen penyidik dapat melakukan upaya selanjutnya.

Kejelasan hal tersebut sangat diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat dalam hal ini penyidik (Densus 88 AT).

Berdasarkan hal yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk menelitinya dan menyusunnya ke dalam penulisan hukum yang hasilnya akan

dijadikan skripsi dengan judul “Pelaksanaan Upaya Paksa Yang Dilakukan Densus 88 AT Dalam Mengungkap Tindak Pidana Terorisme (Tinjauan Terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia)”.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan dibahas dan dikembangkan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Bagaimanakah pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan Densus 88 AT dalam mengungkap tindak pidana terorisme berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme?

2. Bagaimanakah pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan Densus 88 AT dalam menungkap tindak pidana terorisme dari perspektif Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM?

(5)

II. PEMBAHASAN

A. Upaya Paksa Oleh Densus 88 AT Dalam Mengungkap Tindak Pidana Terorisme berdasarkan KUHAP

Seseorang yang ditangkap berdasarkan alasan hukum yang jelas, sesuai dengan Pasal 17 KUHAP, bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Saat seseorang ditangkap, akan dijelaskan perbuatan pidana yang disangkakan serta alat bukti yang digunakan sehingga ia ditangkap. Alat bukti yang digunakan sebagai landasan hukum harus jelas dan cermat memang perbuatan pidana memang dilakukan oleh yang disangkakan. Liivingstone Hsll menjelaskan bahwa tidak hanya dengan alasan kuat (probable cause), tetapi “good cause” (diduga keras, karena bukti permulaan yang cukup) yakni alasan-alasan yang wajar untuk menduga bahwa orang itu bersalah suatu kejahatan.2

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Musa Tampubolon 3 selaku Anggota Kepolisian Daerah Lampung berpendapat bahwa penangkapan yang dilakukan seseorang yang diduga terorisme , sebelum melakukan penindakan penangkapan terlebih dahulu melakukan persiapan seperti memantau, menganalisis, serta mengumpulkan segala bukti-bukti yang

2

Livingstone Hall,Hak Tertuduk Dalam Perkara Pidana, Dalam Talks on American Law,Alih bahasa oleh Gregory Churchill, course material Program Pasca Ilmu Hukum universitas

Indonesia, Jakarta, hlm. 17. 3

Hasil Wawancara dengan Musa Tampubolon pada tanggal 17 November 2016 Pukul 10.00 WIB.

ada sehingga memiliki dasar yang kuat dan jelas untuk penangkapan serta proses penyelidikan serrta penyidikan kedepan.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Sanusi Husin4 selaku Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung bahwa penangkapan dilaksanakan guna seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dengan alasan bukti permulaan yang cukup.

Mengenai pelaksanaan penangkapan, diatur dalam Pasal 18 yang pada intinya bahwa kegiatan penangkapan dilakukan oleh Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, saat penangkapan diperlihatkan kepada tersangka surat tugas dan surat penangkapan, penangkapan diperlihatkan kepada tersangka surat tugas dan surat penangkapan, penangkapan yang dalam hal tertangkap tangan, tanpa adanya surat perintah penangkapan, tetapi dengan maksud tersangka segera diserahkan kepada Penyidik disertai barang bukti yang ada padanya, dan setelah surat perintah penangkapan baru diberikan kepada keluarganya. Penangkapan sebagaimana Pasal 19 KUHAP dilakukan paling lama satu hari.

Penahanan yang termuat dalam Pasal 20 KUHAP, berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Musa Tampubolon5 bahwa penahanan yang dilakukan Kepolisian berdasarkan prosedur dan aturan-aturan KUHAP maupun Peraturan Kapolri untuk acuan proses

4

Hasil wawaqncara dengan Sanusi Husin pada tanggal 20 November 2016 Pukul !!.00 WIB 5

(6)

penyidikaan. Penahanan yang dilakukan untuk menindaklanjuti dari penangkapan sehingga pemeriksaan atas diduganya terjadi suatu tindak pidana bisa diketahui dan akibat hukum dari tindakannya.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Sanusi Husin6, bahwa penahanan dalam suatu proses penegakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dalam sistem peradilan Indonesia, sehingga terciptanya keserasian hukum dan membuat terjaminnya kepastian hukum serta guna untuk menjalankan proses penyidikan sehingga terangnya suatu dugaan tindak pidana.

Syarat-syarat seseorang untuk dilakukan penahanan yang diduga sebagai tersangka sebagaimana Pasal 21 yaitu :

1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana; 2) Penahanan atau penahanan

lannjutan dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan

6

Hasil wawancara dengan Sanusi Husin pada tanggal 20 November 2016 Pukul 11.0 0WIB

serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan;

3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahan lanjutan atau penetapan Hakim sebgaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.

Kesimpulan menurut penulis dalam lingkup penahanan adalah :

a) Kewenangan badan-badan peradilan pidana melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa, dibatasi oleh perlindungan hak-hak tersangka atau terdakwa menurut ketentuan dalam undang-undang;

b) Penahanan dilakukan bila perlu sekali;

c) Mendorong agar badan-badan peradilan dalam menggunakan kewenangan tersebut memperhatikan dan mensinkronasikan kebjakan dan praktek masing-masing. Kekeliruan yang dilakukan mempengaruhi kebersamaan tujuan yang diharapkan dan yang merupakan tanggung jawab bersama.

Penggeledahan berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Musa Tampubolon7 ialah tindakan penyidik Polri dalam mencari bukti-bukti yang diduga tersimpan pada tersangka dan atau suatu tempat tempat tinggal atau tempat yang sering dikunjungi guna

7

(7)

kepentingan penyidikan dan memperoleh bukti-bukti yang kuat.surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat8 tata caranya adalah :

a) Tanpa terlebih dahulu meminta/mendapat surat izin dari Ketua PN Penyidik dpat segera melakukan penggeledahan terhadap :

• Halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada diatasnya;

• Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada; • Tempat tindak pidana

dilakukan atau bekasnya; • Tempat penginapan dan

tempat umum lainnya.

b) Dalam pelaksanaan penggeledahan tersebut diatas Penyidik tidak diperkenankan memeriksa dan atau menyita surat, buku dan tulisan lainnya yang tidak merupakan benda berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan.tetapi terhadap benda yang berhubungan dan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana, Penyidik dapat memeriksa dan menyitanya dengan kewajiban untuk segera melaporkan kepada Ketua PN guna memperoleh persetujuannya (baik persetujuan penggeledahan maupun persetujuan penyitaan);

c) Dalam waktu paling lama dua hari setelah melakukan penggeledahan rumah, Penyidik

8

Lihat Pasal 34 KUHAP

harus membuat Berita Acara Penggeledahan Rumah (model SERSE: A.11.08) yang turunannya/tembusannya/salinan nya diberikan kepada tersangka dan atau pemilik dan atau penghuni rumah yang bersangkutan.9

Penggeledahan jika di luar daerah hukum penyidik :10

Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum dimana penggeledahan itu dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Sanusi Husin11, menjelaskan penggeledahan dalam lingkup upaya paksa menjadi suatu keharusan, karena untuk mencari bukti-bukti akibat atau sebab yang ditimbulkan oleh tersangka dalam melaksanakan tindak pidana yang disangkakan kepadanya. Selain itu juga dengan tata cara atau prosedur pelaksanaanya sesuai aturan yang berlaku. Penulis menarik kesimpulan bahwa pada penggeledahan bisa dilakukan pada orang yang diduga melakukan tindak pidana dan suatu tempat yang menjadi persinggahan tersangka,dengan tata cara yang diamanatkan dalam KUHAP sehingga didapatkan bukti-bukti guna terpenuhinya penyidikan.

Penyitaan berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Musa Tampubolon12

9

Lihat Pasal 33 ayat (5) KUHAP 10

Lihat Pasal 36 KUHAP 11

Hasil wawancara dengan Sanusi Husin pada tanggal 20 November 2016 pukul 11.00 WIB. 12

(8)

adalah serangkaian tindakan penyidik dalam melakukan proses tindakan hukum terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana, yang mengambil alih dan atau menguasai benda apapun terkait tindak pidana yang dilakukan. Penyiaan yang dilakukan berupa mengambil barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, maupun barang yang diperuntukkan melancarkan tindak pidana.

A.Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Sanusi Husin13 menjelaskan mengenai penyitaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum ialah untuk kepentingan proses penegakan hukum terhadap seseorang yang diduga sebagai tersangka, akibat perbuatannya melakukan tindak pidana, sehingga saat dilakukan penangkapan ditemukan bukti-bukti atau barang-barang baik berwujud maupun tidak berwujud yang diambil alih untuk sementara waktu hingga kepentingan proses hukum seorang tersangkaselesai dan mendapat keadilan. Sedangkan menurut penulis, penyitaan memang sesuatu yang harus dilakukan oleh Penyidik terhadap seorang tersangka yang diduga melakukan tindak pidana, sehingga penyidik menemukan bukti-bukti yang diambil alih sementara untuk mendukung pembuktian sehingga tersangka tersebut mendapatkan kepastian hukum dalam tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya.

B. Upaya Paksa Oleh Densus 88 At Dalam Mengungkap Tindak Pidana Terorisme Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2013 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

13

Hasil wawancara dengan Sanusi Husin tanggal 20 November 2016 pukul 11.00 WIB

Penangkapan di dalam Undang-Undang Terorisme bahwa :14

Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagiamana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam. Penahanan dalam kasus terorisme diperlukan untuk kepentingan penyidikan, penututan dan kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Terdapat ketentuan khusus dalam penyidikan delik terorisme ialah mengenai penahanan terhadap seseoang yang dituduh melakukan tindak pidana terorisme. Dalam penahanan terhadap tersangka tindak pidana terorisme seorang penyidik dalam penyidikannya danpenuntutan diberi wewenang untuk melakukan penahan terhadap tersangka tindak pidana terorisme paling lama 6 bulan.15. penggeledahan di dalam Undang-Undang Terorisme dijelaskan bahwa :16

1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidaa terorisme, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan dari bank dan lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang dketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme.

2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim

14

Lihat Pasal 28 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003

15

Lihat Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 2003

16

(9)

tidak berlaku ketentuan undang-undang yang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.

3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai :

a) Nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; b) Identitas setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme;

c) Tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan

d) Tempat harta kekayaan berada.

4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh :

a) Kepala Kepolsian Daerah atau pejabat yang setingkat pada tingkat pusat dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik;

b) Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh Penuntut Umum;

c) Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara bersangkutan.

Penyitaan di dalam Undang-Undang Terorisme dijelaskan bahwa :17

1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan pembelokiran terhadap harta kekayaan setiap

17

Lihat Pasal 29 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003

orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme.

2) Perintah pentidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai :

a) Nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;

b) Identitas setiap orang yang tealh dilaporkan oleh bank dan lembaga jasa keuangan kepada penyidik, tersanka, atau terdakwa; c) Alasan pemblokiran; d) Tindak pidana yang

disangkakan atau didakwakan; dan

e) Tempat harta kekayaan berada.

3) Bank dan lembaga jasa keuangan wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakm paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran. 4) Harta kekayaan yang diblokir

harus tetap berada pada bank dan lembaga jasa keuangan yang bersangkutan.

(10)

C. Perspektif Pelaksanaan Upaya Paksa Oleh Densus 88 At Dalam Mengungkap Tindak Pidna Terorisme Ditinjau Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Sanusi Husin18 Husin proses penangkapan dalam mengungkap tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Densus 88 AT, harus dilandasi proses prosedur yang benar baik dari ketentuan KUHAP maupun Undnag-Undang khusus yang mengaturnya. Dalam kajian pembahasan pelaksanaan penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 AT berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Musa Tampubolon19 sebelum menindak terduga pelaku terorisme Densus 88 AT melakukan tahap pra persiapan sampai dengan pelaksanaan penindakan. Baik mencari dan menemukan bukti permulaan yang cukup berdasarkan laporan hasil intelijen sampai dengan mencari fakta-fakta yang relevan agar penindakan terhadap terduga pelaku terorisme sesuai aturan yang berlaku.

Akan tetapi sebaliknya yang telah dilakukan penulis selama proses penelitian di Komnas HAM Jakarta, penulis mewawancarai Agus Suntoro20 dalam proses penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 AT harus memenuhi prosedur baik secara KUHAP maupun Undang-Undang Khusus yaitu Undang-Undang tentang Terorisme. Selain itu, dalam menentukan seseorang yang diduga sebagai terorisme, Densus 88 AT harus

18

Hasil wawancara dengan Sanusi Husin tanggal 20 November 2017 pukul 11.00 WIB 19

Hasil wawancara dengan Musa Tampubolon tanggal 17 November 2017 Pukul 10.00 WIB 20

Hasil wawancara dengan Agus Suntoro tanggal 18 November 2017 Pukul 12.00 WIB

memiliki bukti permulaan yang cukup yang nantinya dijadikan dasar dalam penyelidikan maupun penyidikan, serta Densus 88 AT harus berpedoman dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dalam menindak terduga terorisme dengan menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai kemanusiaan tanpa membeda-bedakan orang.

Dengan demikian, menurut penulis dalam kaitan hal penangkapan dalam lingkup upaya paksa, proses peradilan harus ditegakkan dengan prinsip kehati-hatian, prinsip asas praduga tak bersalah, prinsip persamaan dimata hukkum, serta rasa keadilan bagi setiap orang, dengan itu maka Densus 88 AT dalam menjalankan tugasnya dapat melaksanakan dengan penuh profesional tanpa menciderai prinsip negara hukum (rechstaat) dan prinsip negara yang menjung Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Sanusi Husin21 dalam kaitan penahanan tindak pidana terorisme, Densus 88 AT melaksanakan proses bagian penegakan hukum yang berlandakan aturan-aturan yang umum mamupun khusus, sehingga terciptanya norma-norma yang sesuai dengan negara Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Musa Tampubolon22dalam penahanan tindak pidana terorisme memang berbeda dengan aturan di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam Undang-Undang Terorisme penahanan dilakukan selama 6 bulan, memang sangat lama namun dalam waktu 6 bulan Densus 88 AT mencari fakta-fakta pendung serta bukti-bukti yang

21

Hasil wawancaran dengan Sanusi Husin tanggal 20 November 2016 pukul 11.00 WIB 22

(11)

valid dalam kasus yang terjadi dalam terorisme. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Agus Suntoro23 menyatakan lanjutan proses hukum yaitu penahanan tindak pidana terorisme menjadi fokus utama, karena waktu penahanan yang 6 bulan bisa menjadikan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Densus 88 AT. Densus 88 AT dapat melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang diduga terorisme dengan mengabaikan aturan hukum yang berlaku dan prinsip Hak Asasi Manusia, seperti Hak untuk bebas dari penyiksaan dan Hak untuk tidak mendapat perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Dengan demikian Densus 88 AT harus benar-benar profesional dalam menjalankan tugas dan melaksanakan semua aturan-aturan hukum yang berlaku bagi pemenuhan rasa keadilan bagi seseorang yang diduga sebagai tpelaku terorisme.

Dengan demikian menurut penulis rangkaian upaya paksa yaitu penahan tindak pidana terorisme yang selama 6 bulan, harus dilaksanakan olleh Densus 88 AT dengan sangat menjungjung tinggi hukum dan melaksanakan tanggung jawabnya dengan profesional agar bukti-bukti dapat dipenuhi dan menjamin keutuhan kemanan negara Indonesia.

Berdasarkan hasil wawancara penulis

dengan Musa

Tampubolon24menjelaskan dalam lingkup penggeledahan sebagai bagian dari upaya paksa yang dilakukan oleh Densus 88 AT dalam terciptanya supremasi hukum. Penggeledahan biasanya dilakukan terhadap seseorang

23

Hasil wawancara dengan Agus Suntoro tanggal 18 November 2016 pukul 12.00 WIB 24

Hasil wawancara dengan Musa Tampubolon tanggal 17 November 2016 pukul 10.00 WIB

yang diduga melakukan tindak pidana, rumah yang menjadi kediaman, rumah lainnya yang sering disinggahi, atau tempat-tempat lainnya yang diduga keras sebagai pelaksaan tindak pidana. Penggeledahan dalam tindak pidana terorisme dilakukan oleh Densus 88 AT dengan berdasarkan standard prosedural yang tinggi agar bukt-bukti yang didapatkan deengan fakta-fakta yang ada menjadi satu-kesatuan dalam rangkai tindak pidana terorisme.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Sanusi Husin25dalam hal penggeledahan bahwa Densus 88 AT dalam menjalankan tugasnya harus mempersiapkan rangkaian tahapan persiapan sebelum penggeledahan seperti surat perintah izin penggeledahan, dengan itu seseorang yang diduga melakukan tindak pidana terorissme dapat terjamin dan Hak Asasi Manusianya tidak terbentur dengan kesewenang-wenangan yang dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Agus Suntoro26 pelaksanaan penggeledahan terhadap terduga trorisme yang dilakukan Densus 88 AT harus menjamin Hak Asasi Manusia terbut, karena jangan sampai Densus 88 AT menyampingkan ketetapan prosedural pelaksaan penggeledahan yang anantinya berakbiat pada pelanggaran Hak Asasi Manusia pada terduga terorisme tersebut.

Dengan demikian menurut penulis, penggeledahan menjadi rangkaian tindakan yang dilakukan Densus 88 AT dalam mengumpulkan bukti-bukti yang relevan dan mencari fakta-fakta yang menjadi dugaan keras sebagai proses

25

Hasil wawancara dengan Sanusi Husin tanggal 20 November 2016 pukul 11.00 WIB 26

(12)

tindak pidana terorisme, dengan itu Densus 8 AT harus memegang prosedural dan menjalankannya dengan ketentuan yang sudah ada agar tidak melanggar Hak Asasi dari terduga terorisme tersebut.

III. PENUTUP A. Simpulan

Setelah melakukan pembahasan terhadap data yang diperoleh dalam penelitian maka sebagaimana penutupan dari pembahasan atas permasalahan dalam skripsi ini, penulis menarik simpulan :

1. Upaya paksa oleh Detasement Khusus 88 Anti Teror (Densus 88 AT) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam mengungkap tindak pidana terorisme berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) digariskan dalam 5 (lima) pelaksanaan, diantaranya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat.

2. Dalam mengungkap tindak pidana terorisme, Densus 88 AT berpedoman pada aturan umum yaitu KUHAP. Dalam KUHAP, proses upaya paksa dimulai dari penangkapan. Penangkapan dilakukan oleh Penyidik untuk mengekang sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa yang di duga keras melakukan tindak pidana terorisme. Tindakan pengekangan sementara waktu selama 1 (satu) hari yang dilakukan oleh Penyidik Densus 88 AT.

3. Dalam proses selanjutnya yaitu penahanan, Penyidik menetapkan seseorang ditahan karena terdapat bukti dugaan keras terjadi tindak pidana terorisme. Penahanan yang dilakukan oleh Penyidik ini selama 20 (dua puluh) hari terhadap terduga terorisme dan biasanya statusnya sudah menjadi tersangka. Tujuan penahanan semata-mata agar tersangka terorisme tidak melarikan diri dan menghilangkan atau memusnahkan barang bukti yang ada.

4. Kemudian dalam penggeledahan, Penyidik melakukan penggeledahan terhadap terduga terorisme baik rumah tempat tinggal maupun tempat lainnya. Penyidik melakukan penggeledahan guna menemukan bukti-bukti yang diduga keras sebagai aksi tindak pidana terorisme.

5. Selanjutnya penyitaan, penyidik setelah melakukan penggeledahanmenemukan bukti-bukti yang diduga keras sebagai tindak pidana terorisme, lalu dilakukan penyitaan. Penyitaan ini baik setiap dokumen-dokumen atau yang memang dipergunakan oleh terduga terorisme melakukan aksinya.

6. Proses upaya paksa terakhir adalah pemeriksaan surat, Penyidikmelakukan

(13)

terduga terorisme dalam menjalankan aksinya. Pemeriksaan surat ini sifatnya sangat rahasia, sehingga Penyidik harus menjaga semua bukti-bukti yang didapat.

7. Upaya paksa oleh Detasement Khusus 88 Anti Teror (Densus 88 AT) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam mengungkap tindak pidana terorisme berdasarkan Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

8. Upaya paksa oleh Detasement Khusus 88 Anti Teror (Densus 88 AT) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam mengungkap tindak pidana terorisme berdasarkan Undang-Undang tentang Terorisme digariskan dalam 5 (lima) pelaksanaan, diantaranya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat.

Densus 88 AT selain aturan umum yaitu KUHAP, harus berpedoman undang-undang khusus yaitu undang-undang tentang terorisme. Pertama dalam proses penangkapan dilakukan oleh Penyidik terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam. Sangat berbeda dengan ketentuan KUHAP yang menggariskan selama 1 (satu) hari.

Kedua penahanan dilakukan terhadap tersangka tindak pidana terorisme selama paling lama 6

(enam) bulan. Kemudian penggeledahan dalam undnag-undang tentang terorisme menjelaskan pada penggeledahan pada pihak Bank dan Lembaga Jasa Keuangan serta mengenai harta kekayaan yang diduga keras sebagai tindak pidana terorisme.

Selanjutnya penyitaan, dilakukan oleh Penyidik utnuk memerintahkan Bank dan Lembaga Jasa Keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan karena diduga keras sebagai hasil tindak pidana terorisme. Selanjutnya pemeriksaan surat dilakukan untuk membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melaui pos atau jasa pengiriman karena terkait tindak pidana terorisme, serta melakukan penyadapan telepon atau komunikasi.

9. Perspektif pelaksanaan upaya paksa oleh Detasement Khusus 88 Anti Teror (Densus 88 AT) dalam mengungkap tindak pidana terorisme ditinjau penegakan hak asasi manusia atau Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

(14)

88 AT, baik dari teknis surat perintah penangkapan sampai dengan bukti-bukti yang memadai sehingga melanggar rasa penerapan hukum yang dijunjung ting oleh negara Indonesia. Dalam proses penahanan terduga terorisme, jangka waktu penahanan selama 6 bulan terbilang lebih lama jika dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan waktu 6 bulan bida diartikan dapat terjadi kesewenang-wenangan menjalankan tugas oleh Densus 88 AT, jika tidak memegah teguh aturan hukum yang berlaku dan prinsip kemanusiaan. Karena Hak Asasi Manusia dalam negara Indonesia sangat dilindungi, terbukti dari Pasal 3

Universal Declaration of Human

Rights, yaitu The Rights to life, liberty and security. Hak-hak warga negara ini tidak akan berarti bilamana secara sewenang-wenang negara melalui aparatnya dapat membunuh (extrajudicial excecution), terkhusus dalam hal penahanan sseorang warga negara. Dalam pelaksanaan penggeledahan dari perspektif Hak Asasi Manusia, lebih ditekankan pada pelaksaan penggeledehan yang seseuai dengan prosedur dan menjunjung tinggi rasa kemanusiaan. Densus 88 AT harus sangat memperhatikan, walaupun ini sebagai extraordinary crimes jangan sampai luput dari aturan yang ada. Dalam pelaksaan penyitaan yang dilakukan oleh Densus 88 AT harus berpedoman pada standar prosedural agar penyitaan terhadap dokumen-dokumen yang diduga keras menjadi aksi tindak pidana terorisme tidak melanggar Hak Asasi Manusia. Karena dalam hal penyitaan terhadap dokumen-dokumen yanng sifatnya rahasia, Densus 88 AT harus bersikap profesional dan menjaga keamanan kerahasiaan dokumen-dokumen tersebut, karena jika dillanggar melanggar Hak Asasi seseorang yang

bersifat pribadi yang tidak menjaddi konsumsi publik. Dalam pelaksanaan pemeriksaan surat, Densus 88 AT sukar mengabaikan hukum acara yang berlaku dan prinsip kemanusia. Karena terorisme sebagai extraordinary crime

sehingga pelaksanaannya sangat luar biasa oleh Densus 88 AT. Seharusnya dengan menunjung prinsip negara hukum dan Hak Asasi Manusia, Densus 88 AT dapat melaksanakan tugasnya dengan profesional dan berkeadilan.

B. Saran

Adapun saran yang perlu diajukan penulis adalah :

1. Detasement Khusus 88 Anti Teror (Densus 88 AT) dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum harus profesional, taat hukum, kode etik, dan hak asasi manusia, sesuai yang diamanatkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undnag tentang Hak Asasi Manusia maupun peraturan pelaksana lainnya

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Livingstone Hall, Hak Tertuduk Dalam Perkara Pidana, Dalam Talks on American Law, Alih bahasa oleh Gregory Churchill, course material Program Pasca Ilmu Hukum universitas Indonesia,

Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Referensi

Dokumen terkait

Misalkan himpunan kompak secara barisan maka setiap barisan { } di memiliki subbarisan yang konvergen secara kuat ke suatu titik di.. Di lain pihak, Teorema 3.1 menunjukan

Fig.1- The TLC chromatogram of petroleum extract (A) and fraction 8, 9,10,11 containing phytosterols (B).. An analysis using gas chromatogram has been conducted and the

1) Masalah penjadwalan delay lampu hijau dapat dimodelkan sebagai model optimisasi linear tak tentu. Model ini diselesaikan dengan menerapkan logika fuzzy metode Mamdani.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui peningkatan hasil belajar matematika menggunakan dakon bilangan di kelas IV Sekolah Dasar Negeri 14 Sungai Kunyit

Proses Enkripsi Modifikasi Hill cipher menggunakan 2 kunci yaitu inisial awal Linear Feedback Shift Register dan matriks kunci yang invertible5. Untuk prosesnya ditunjukkan

[r]

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa koefisien korelasi dinotasikan dengan (R) besarnya 0,529 yang artinya kekuatan hubungan yang positif antara variabel

Data primer berupa pendapat dari beberapa stakeholder tentang pelaksanaan studi lingkungan (AMDAL/UKLUPL) dan implementasi ISO 14001 pada industri kimia yang dicatat